Zwemer: Mengapa Murtadin Jarang Ada

ali5196
Posts: 16757
Joined: Wed Sep 14, 2005 5:15 pm

Zwemer: Mengapa Murtadin Jarang Ada

Post by ali5196 »

Tulisan Samuel Zwemer, "The Law of Apostasy in Islam"/Hukum Ridda dlm Islam, bisa dibaca secara keseluruhan di internet, dlm bhs inggris. http://www.muhammadanism.org/Zwemer/apostasy.pdf

Image
Zwemer, misionaris dan akademisi abad 19 dan permulaan abad 20 teah tinggal, bekerja, melancong dan secara diam2 mendakwah di negara2 Muslim. Ia memiliki segudang pengalaman pribadi dengan penderitaa mereka yang mencoba meninggalkan Islam; ia juga sangat fasih dlm pengetahuan syariah dan buku2 suci Islam.

Buku ini rada berbau Kristen, tapi karena mencakup pengalaman oragn Jawa maka saya rasa perlu dimasukin disini. Bagian2 ttg Kristen bisa dilewatin.


Salut buat penerjemah yg mau mengangkat kisah ini! =D> =D>
ali5196
Posts: 16757
Joined: Wed Sep 14, 2005 5:15 pm

Re: Zwemer: Mengapa Murtadin Jarang Ada ***

Post by ali5196 »

eh .. pigimane copy pdf ke sini???
User avatar
Rasionalis
Posts: 1069
Joined: Sun Dec 19, 2010 12:29 am
Location: Whereever I want to be

Re: Zwemer: Mengapa Murtadin Jarang Ada ***

Post by Rasionalis »

Anne,

Where are you, honey? Will you do this translation for us? Please! You are one of the best translator we have.
anne
Posts: 502
Joined: Wed Sep 21, 2011 9:52 pm

Post by anne »

sudah diperiksa om Ali5196


PENGANTAR


Dikisahkan bahwa Damocles, saat berada di istana Dionysius dari Sisilia, pria yang dianggap Damocles paling bahagia di bumi. Namun, ketika Damocles diizinkan menduduki singgasana Dionysius, ia merasakan sebilah pedang menggantung di sehelai bulu kuda di atas kepalanya. Bayangan kebahagiaanpun lenyap, dan ia memohon pada Dionysius untuk boleh beranjak dari singgasananya yang berbahaya ini. Dewasa ini (ingat bahwa ini ditulis pada abad 19, tapi dgn mudah bisa diterapkan pada abad 21 ini ---ali5196) kita membaca tentang janji2 bagi kebebasan serta kesetaraan bagi minoritas2 di bawah pemerintahan Islam; surat kabar meyakinkan era baru telah datang di Timur Dekat. Bayangkan: pembangunan ekonomi, kebangkitan intelektual, reformasi, konstitusi, parlemen dan janji-janji muluk lainnya. Namun, apakah pedang Damocles masih bergantung di atas kepala para murtadin? Apakah Islam baru ini lebih toleran dibanding Islam model lama? Akankah nyawa dan harta benda para murtadin ini dilindungi, dan hak-hak minoritas dihargai? Buku kecil ini mencoba menjawab satu aspek dari pertanyaan besar ini.

Berkali-kali sudah pihak Eropa menekankan usaha untuk menerapkan kesetaraan hukum bagi semua agama dan ras di Timur Dekat. Namun, sedemikian banyak usaha yang dilakukan sebanyak itu pulalah kegagalan yang dialami. Setiap kegagalan baru lebih menakutkan dari sebelumnya. Penyebabnya adalah nurani dan keyakinan Muslim yang paling tulus dan jujur sekalipun terikat pada Quran dan Hadist. Peradaban tidak dapat memberantas keyakinan yang begitu mendalam. Senapan dan kapal perang, café, teater, konstitusi tertulis, parlemen yang representatif; tidak ada satupun diantaranya bisa menjangkau jauh ke bawah permukaan. Kebebasan sejati, pengalaman relijius yang lebih dalam, dan kehidupan yang lebih bermartabat dari yang ditawarkan keyakinan mereka, harus dialami sebelum umat Islam dapat menjadi bagian kebebasan lebih besar sebagaimana yang telah kita nikmati.

Dr. Snouck Hurgronje, yang sangat paham akan topik ini, dalam tulisannya mengatakan, “Seperangkat hukum yang menurut Islam harus mengatur hubungan antar kaum beriman dan kaum kafir, adalah bentuk campuran agama dan politik gaya Abad Pertengahan. [Dalam Islam] Pihak yang memiliki kekuasaan harus juga mendominasi pola pikir pihak yang dikuasai; kemungkinan bahwa penganut agama yang berbeda dapat hidup bersama sebagai warga negara dengan hak yang sama, tidak berlaku. Seperti itulah situasi di Abad Pertengahan, dan ini tidak saja terjadi pada penganut Islam. Sebelum dan bahkan setelah Reformasi, para leluhur kita punya pandangan tidak jauh berbeda mengenai masalah ini. Perbedaan utamanya adalah, Islam telah menetapkan semua aturan dari abad pertengahan ini dalam bentuk hukum abadi, sehingga generasi selanjutnya, yang walaupun memiliki wawasan yang lebih luas, mengalami kesulitan untuk melepaskan diri dari aturan tersebut.” 1 The Holy War, by Dr. C. Snouck Hurgronje (Putman, New York, 1915), pp.10, 11.

Diantara hukum-hukum yang mengatur hubungan antar komunitas Muslim dan para murtadin adalah hukum ridda, atau hukum bagi mereka yang murtad. Untuk memperlihatkan apa sebenarnya hukum ini; kita harus melihat bagaimana cara kerjanya dalam masyarakat dan terhadap individu; apa dampaknya terhadap hubungan Islam dan Kristen; serta pentingnya mengabrogasi hukum ini, atau memodifikasinya, sehingga bisa tercipta kebebasan nurani dan hak dasar manusia.

Dalam persiapan buku ini, kami telah memeriksa sumber-sumber literatur Arab, dan literatur lain yang dicantumkan dalam bibliografi. Kami juga berhutang budi pada korespondensi yang kami terima dari para misionaris di berbagai negara: mulai dari Jawa dan Cina bagian barat, hingga ke Maroko dan Nigeria. Kesaksian mereka yang disatukan menjadi lebih penting karena mencakup wilayah yang begitu besar, dan berasal dari saksi-saksi tak tercela.

Para penulis Islam akhir-akhir ini ... telah mencoba memperlihatkan bahwa Islam adalah agama toleransi. Mereka menyodorkan ayat-ayat Quran yang terlihat mendukung doktrin tersebut:

QS 2 : 62 :
Sesungguhnya orang-orang mu'min, orang-orang Yahudi, orang-orang Nasrani dan orang-orang Shabiin, siapa saja diantara mereka yang benar-benar beriman kepada Allah, hari kemudian dan beramal saleh, mereka akan menerima pahala dari Tuhan mereka, tidak ada kekhawatiran kepada mereka, dan tidak (pula) mereka bersedih hati.


Namun, ayat ini tidak membuktikan adanya Magna Charta kebebasan bagi minoritas di negara Islam manapun. Tidak di Arab selama abad ke-7, bahkan tidak juga di India sepanjang abad ke-12. Khwajah Kemal-ud-Din di bukunya India in the Balance (p.136) berkata, “Mengenai perpindahan agama serta hukumannya di bawah aturan Islam, tidak perlu ada kekhawatiran. Dalam Islam tidak ada hukuman bagi kemurtadan.” Suatu pernyataan positif. Ia melanjutkan, “Islam bukanlah agama pedang, sebaliknya, sebuah agama yang damai, toleran dalam hal ide sekaligus demokratis dalam visi duniawinya. Karena itu harus dinilai berdasarkan prinsip-prinsip dan aturan-aturannya, bukan oleh pelanggarannya.''

Dalam Islamic Review (November 1916) kita baca, “Ditegaskan secara aman bahwa Islam tidak menetapkan hukuman apapun di dunia ini bagi kemurtadan. Hal ini, untuk alasan-alasan yang jelas, bersandar pada fakta bahwa kemenangan terbesar yang telah diperoleh Agama Allah yang Benar, terletak pada fakta bahwa Islam sangat rasional, persuasif dan manusiawi.” Dan (mengutip satu apologis Islam lagi) Mohammed Ali, M.A., dalam terjemahan Quran bahasa Inggrisnya, mencantumkan catatan kaki terkait kemurtadan, ia katakan, “tidak di ayat ini maupun di ayat manapun dalam Quran suci, berupa isyarat sekalipun mengenai hukuman mati atau hukuman apapun terhadap kemurtadan.” Sementara Islamic Review yang tidak merasa cukup dengan pembelaan khusus berdasar Quran ini, menghubungkan juga dengan Hadist, dan mengatakan bahwa, “kehidupan Nabi Suci, yang setiap tindakannya dicatat secara detail oleh para sejarawan, juga tidak memiliki referensi langsung maupun tak langsung yang mungkin dapat memberi petunjuk kemurtadan telah dikutuk mati semata-mata karena mengubah keyakinannya.” Statement 2seperti ini tentu saja tidak dapat dibiarkan begitu saja. Buku ini dapat dianggap sebagai pemaparan fakta-fakta dari sudut lain pertanyaan tersebut; dan keputusan berada di tangan pembaca yang jujur.

Kairo, 1924. S. M. Zwemer
Last edited by anne on Sun Jan 15, 2012 10:03 pm, edited 1 time in total.
User avatar
Rasionalis
Posts: 1069
Joined: Sun Dec 19, 2010 12:29 am
Location: Whereever I want to be

Re: Zwemer: Mengapa Murtadin Jarang Ada

Post by Rasionalis »

Anne,

...There you are. Thanks a lot, honey. Keep the excellent work rolling! Uncle love you.
anne
Posts: 502
Joined: Wed Sep 21, 2011 9:52 pm

BAB III

Post by anne »

BAB III. CARA KERJA HUKUM RIDDA
SUDAH DIPERIKSA ali5196

Image
http://www.gutenberg.org/files/32231/32 ... htm#p082-1

''Mengapa anda melepaskan turban putih dari fez (topi merah tipe Ottoman--lihat foto atas) anda? Mengapa anda berhenti menjadi 'imam'?'' 'Shemseddin menjawab, ''Karena saya (kini) Kristen.''
Selama lebih dari 1 1/2 jam ia diinterogasi dan massa penonton semakin banyak. Jawabannya sangat jelas, tidak ragu2, lembut. ''Silahkan anda membunuh saya,'' katanya, ''dengan cara apapun yang anda sukai; anda bisa menjadikan saya budak tapi hati saya sudah dibebaskan. Saya melihat dalam Islam banyak tanaman tapi yang bukan ditanam Tuhan dan saya ingin melakukan apa saja untuk mencabutnya dari akar2nya . Saya melihat sebuah bangunan besar, sangat tinggi dan megah, yang dibangun dengan paksa, tapi tanpa jiwa atau jantung didalamnya. Suatu hari, bangunan itu akan rubuh dan menghancurkan mereka yang menghuninya.''
S. RALPH HARLOW dalam Student Witnesses for Christ.

Hukum ridda, sebagaimana diuraikan dalam bab sebelumnya (bab II) bukanlah hukum yang sudah lapuk/mati. Hukum ini diperkenalkan pada Muslim sejak mereka kecil, walau tidak secara rinci, namun guna menumbuhkan sikap pahit untuk membenci orang yang beralih ke agama lain. Apalagi yang dihasilkan hukum semacam itu kecuali sikap fanatik terhadap semua yang tidak beragama Islam? Semakin merasuk ajaran Islam di suatu negara atau komunitas, semakin mereka membenci agama lain, terutama Kristen.
Mereka yang telah mengembara menyusuri jejak C.M. Doughty (Travels in Arabia Deserta, 1888) memahami gambaran yang ia berikan tentang sikap terhadap kaum Nasrani: ''‘Allah mengutuk kaum Yahudi dan Nasrani.’ Para pengendara unta berkata, 'Engkau aman di negaramu sendiri, kau mungkin tetap hidup disana; tapi karena engkau datang ke tanah Muslim, Tuhan telah menyerahkanmu ke tangan kami untuk mati—maka binasalah semua kaum Nasrani! Dan dibakar di neraka bersama ayahmu, Syaitan.’” 1Wanderings in Arabia, by C. M. Doughty (London: Duckworth), vol. ii, p.279.

Murtad dari Islam menghadapi resiko kematian di tanah Arab. Bahkan hingga saat ini di kota-kota pantai, dimana hukum Islam tidak diizinkan, hasrat untuk membunuh murtadin tetap ada, dan ini harus diwaspadai.

“’Aku pasti akan menembak saudaraku dengan senapan ini jika pernah kulihat ia menghadiri ibadah Minggu sore Kristen!’ demikian pernyataan saudara laki-laki salah seorang murtadin yang dibaptis di Basra,1920. ‘Tolong, menjauhlah dari ibadah gereja, agar abangmu tidak melaksanakan ancamannya,’ ibu si pemuda memohon. ‘Kau katakan agama barumu adalah agama kasih,’ lanjutnya, ‘engkau tidak memperlihatkan kasih jika kau memberi kesempatan pada saudaramu untuk membunuhmu.’ Demi ibunya, ia tidak menghadiri beberapa ibadah Minggu sampai abangnya pergi ke India. Ibunya akhirnya yakin bahwa ia sungguh-sungguh dengan iman Kristennya, dan kunjungan ibunya menjadi berkurang. Baru-baru ini ibunya mengatakan, ‘Akan menjadi hari yang membahagiakanku bila kau mau berkata, ‘Diam-diam, aku seorang Muslim.’ Ia menjawab, ‘Akan menjadi hari yang membahagiakanku bila hanya mendengar ibu berkata, ‘Aku Kristen, tapi diam-diam.’ ‘Tak ada keraguan,’ kata ibunya, ‘Kau memang seorang Kristen.’ Orang-orang datang ke rumah sakit sekedar melihat murtadin ini, dan menyaksikan bagaimana keyakinan baru telah mengubah penampilannya. Dua orang Arab dari pedalaman datang sekali waktu, saat ia sedang istirahat siang, ‘Dimana dia? Dimana dia?’ tanya mereka. Seorang pasien menunjuk ke arah teman kami, ‘Itu dia,’ katanya. ‘Tapi ia masih tampak seperti manusia!’ seru mereka. ‘Apa yang kauharap akan kau temukan?’ mereka ditanya, namun mereka buru-buru pergi tanpa menjawab. Anak-anak saling berbisik-bisik satu sama lain sewaktu melintasi rumah sakit dan melihat dia duduk di salah satu bangku, dan mereka semua mengutuk dia dengan fasihnya.” 2 Neglected Arabia. Quarterly Report for 1922.

Ada jarak, perbedaan jauh dari Pantai Timur Arabia ke Universitas Michigan di Amerika, namun pedang Damocles yang mengintimidasi dan mengancam setiap murtadin juga tergantung di sehelai benang disana. Beberapa tahun lalu, saya menjumpai seorang pelajar Muslim India di universitas tersebut, yang rindu untuk dibaptis dan memiliki pengetahuan menyeluruh mengenai Perjanjian Baru; namun ia berkata, “Aku khawatir mengakui Kristus secara terbuka karena ayahku di Punjab. Jangkauan lengan Islam panjang dan kejam, dan aku tidak tahu apa yang mungkin terkadi padaku jika ayahku mendengar bahwa aku telah berpaling dari imannya dan menginjak warisan panjangku sebagai seorang Muslim,” katanya.

MESIR

Dari setiap ladang misi ada illustrasi melimpah bagaimana hukum ridda bekerja mengintimidasi serta mengarah ke penganiayaan walau tak selalu berakhir pada kematian sang murtadin. Dr. R.S. McClanahan berkata: “Walaupun aku tidak dapat memaparkan banyak hal mengenai orang-orang yang menderita akibat hukum ini, namun aku kenal salah seorang pemuda yang berpindah ke Kristen di Delta (Mesir) beberapa lalu, yang setelah dibaptis di Alexandria dan dalam proses menjadi pegawai di departemen pos, mengalami berbagai kesulitan dalam hal penempatannya karena ia tidak dapat memberi bukti resmi peralihan statusnya. Umat Kristen yang mengenalnya semenjak kecil, diintimidasi dan takut memberi kesaksian bahwa ia telah mengubah namanya dari Abd el Majid menjadi Abd el Masih; dan umat Islam di Delta tentu saja tak akan pernah mau bersaksi atas perubahan ini. Para pegawai pemerintahan, yang bersembunyi dibalik berbagai formalitas, mencoba menggagalkannya memperoleh jabatan dengan mengajukan pertanyaan apakah yang bernama Abd el Masih orang yang sama dengan Abd el Majid, nama yang tercantum dalam surat-surat penghargaan yang ia terima atas pengabdiannya selama perang.”

Misionaris lain di Mesir menceritakan tentang sebuah kunjungan yang dilakukannya beberapa tahun lalu ke sebuah desa dekat Denshawi di provinsi Menoufieh: “Aku mengunjungi desa ini untuk bertemu dengan seorang penjahit yang sedang mempelajari Kitab Suci, dan ia minta bantuan memecahkan masalah yang timbul saat ia membaca. Sangat sulit untuk berbicara secara pribadi dengannya, dan kunjungan yang membahas hal-hal menarik, dilakukan di tengah kerumunan sekitar 30-an orang. Dalam keheningan di gerai jahit kecil di tengah desa itu; si penjahit sendiri, atas saranku – menjadi juru bicara. Tak lama setelah kunjunganku, terjadilah peristiwa buruk Denshawi yang terkenal (pemberontaakan terhdp kehadiran tentara Inggris), dan ditengah kekacauan yang terjadi dan selagi para pejabat disibukkan dengan persidangan2 (terhdp orang Inggris di Mesir), sang Omdeh (kepala desa) memberikan secangkir kopi pada si penjahit. Ia meninggal seketika itu juga, dan dikuburkan dengan diam-diam serta dilupakan. Kembali ke saat aku beranjak hendak meninggalkan persidangan tersebut yang waktu itu juga dihadiri sang Omdeh, ia berkata, ‘Tak seorangpun di desa ini pernah menjadi Kristen, dan aku akan memastikan hal tersebut.” Hanya ada satu kesimpulan yang dapat kutarik dari kejadian ini. Orang ini sama sekali belum jadi murtadin, melainkan masih pada taraf seorang penyidik. Tapi kalau seorang penyidik saja sampai dibunuh seperti ini, bisa anda banyangkan apa yang akan dilakukan hukum Islam terhadap para murtadin?”

Kedua insiden ini relatif baru (saat buku ini ditulis--1924); dan spirit Islam tidak berubah, walau banyak yang menyerukan kebebasan, kemerdekaan dan kemandirian. Para pendeta gereja-gereja evangelis sendiri diintimidasi dengan ancaman saat mereka membaptis para murtadin di Mesir.

“Pada pertemuan musim dingin di kediaman pendeta di Assiout Presbytery, February 1922,” tulis W.T. Pairman, “pendeta Sanabo mengajukan permintaan dari seorang pria bernama Mohammed P____ untuk dibaptis. Ia dan putri kecilnya. Menurut pendeta, pria ini adalah seorang yang sungguh percaya. Ia telah menghadiri ibadah gereja sekitar empat tahun dan meminta baptisan beberapa kali, namun selalu ditunda. Majelis menunjuk sebuah komite yang terdiri atas dua orang, pendeta dan saya sendiri, untuk memeriksa pria ini serta memberi saran tindakan apa yang harus diambil. Walaupun ia seorang buta huruf, kutemukan ia memiliki dasar-dasar yang baik dalam doktrin-doktrin Kristen, dan dengan penuh keyakinan bicara mengenai pengalaman rohani. Pendeta menilainya memiliki karakter yang sangat baik, dan tidak ada keraguan akan dia. Kami laporkan pada Majelis bahwa menurut pendapat kami kemutadannya tidak diragukan, serta menyarankan agar ia dibaptis. Di penutupan sesi, ia dan putri kecilnya dibaptis. Pria ini duda, atas permintaannya dan pendeta, putrinya ditempatkan di panti asuhan Assiot. Setelah pertemuan berakhir, pria itupun pulang. Ia menulis pada kerabatnya di Sanabo, memberitahu apa yang telah ia lakukan, dan berkata mereka tidak perlu mengatakan apapun; ia telah mengambil keputusan, bertindak, dan tak dapat ditarik kembali. Bila mereka hendak menemuinya, mereka dapat mengunjunginya di Mallawi. Mereka pergi ke Mallawi, tapi ia telah pergi dan tak seorangpun mengetahui keberadaannya. Mereka segera pergi ke pendeta dan mengancam akan memukulnya hingga tewas jika ia tidak mengungkapkan keberadaan pria tersebut. Pendeta berkata ia tidak dapat melakukannya; selanjutnya kerabat si murtadin ini memaksa pendeta pergi bersama mereka ke panti asuhan dan meminta gadis cilik itu. Sebelumnya sang pendeta menolak memberitahu dimana gadis cilik itu berada, namun akhirnya ia terpaksa menuruti mereka dan gadis cilik tersebut diserahkan. Mereka kemudian berkata, ‘Karena kau tahu gadis ini berada, pasti kau juga tahu dimana ayahnya.’ Dan walaupun mereka mengancam membunuhnya bila ia tidak memberitahu, ia tetap bersikeras, dan berkata ia tidak bertanggung jawab karena pria tersebut sudah dewasa, bukan anak-anak lagi. Namun pendeta sangat terintimidasi sehingga ia meninggalkan kota dan gereja bersama istri dan keluarganya. Akhirnya sang murtadin ditemukan oleh pihak berwenang dan ditangkap di Deirout; namun saat dihadapkan pada kerabatnya dan Kadi, ia tetap berdiri teguh dan menolak untuk kembali. Apa yang terjadi setelah itu, aku tidak tahu. Atas saranku, pendeta kembali ke gerejanya dan masih terus disana.”

Contoh penganiayaan berikut tercantum dalam laporan2 Egypt General Mission (1903-1922): “Seorang ayah melihat putranya membaca Alkitab, merebutnya dari tangannya, melemparkannya ke kobaran api, dan mencoba mencelakakan anak tersebut dengan melemparkannya dari atas tangga. Di kemudian hari, si pemuda mendapatkan salinan Alkitab dan brosur kecil yang disimpannya selama berminggu-minggu dalam kantongnya. Ketika ayahnya akhirnya kebetulan melihat, dengan kejam ia memukul anaknya sebegitu parah, dan meneruskan penganiayaan sampai anak tersebut akhirnya diusir dari rumah.”

Dari murtadin lain kami membaca kesaksian ia dipukul setiap hari dengan cambuk tradisional/kasar, dan hanya mereka yang pernah melihatnya tahu seperti apa rupanya. Karena ia tetap bersiteguh, potongan kayu membara dibawa dan diletakkan di atas tubuhnya untuk memaksanya mengaku salah, namun semua sia-sia. Ia katakan, “Bunuh aku, dan aku akan langsung berada bersama Yesus.” Beberapa sahabatnya menderita perlakuan yang sama. Dalam salah satu kasus, seorang ayah memutuskan untuk membunuh putranya. Ia menyiramkan minyak tanah ke seluruh tubuhnya, dan hendak menyalakan api saat seorang paman masuk dan memohon untuk kehidupan sang anak. Si ayah mempertimbangkan permohonan tsb, dan mengusir putranya dari rumah dan keluarganya untuk selama-lamanya.

Tahun 1912, badai penganiayaan terjadi pada A.T._____ Baju-bajunya diambil, Alkitabnya dibakar. Ayahnya mencoba meracuninya. Pamannya menembak, dan peluru terbenam di kakinya. Ayahnya mengajukan pilihan antara sejumlah uang (sekitar £2.000) dan imannya, sementara kepala desa memasuki kamar pribadi (kamar istri) di rumahnya--suatu bentuk penghinaan luarbiasa dalam Islam-- mencari korespondensi surat yang memberatkan. Dua kali usaha pembunuhan lewat racun dilancarkan padanya; dua kali mereka mencoba menyuap dan mengancam akan membuat istrinya tak setia padanya. Seluruh hidup orang ini diwarnai dengan kesendirian, kemiskinan dan penghinaan yang ditanggung dengan senang hati olehnya.

Tahun 1923, seorang pria muda di salah satu desa di Delta yang bekerja sebagai juru masak, menerima Kristus. “Di rumah, Alkitabnya dibakar dan saudaranya membuat situasi sangat tidak menyenangkan baginya; namun ini tidak seberapa dengan apa yang menimpanya saat ia memutuskan untuk dibaptis setelah menjalani masa persiapan. Para kerabat dari jauh dan dekat berkumpul di rumahnya, mengancam dan mengutuknya: salah seorang sepupu, yang sedang berada dalam penjara, berkata bahkan bila ia bersembunyi di benteng sekalipun, sepupunya akan mengejar dan membunuhnya. Di bawah ancaman dan kebencian, keberanian si pemuda runtuh, dan ia lantas berjanji tidak akan dibaptis. Tiga kali sudah ia memutuskan hendak dibaptis, walau kemudian rasa takut selalu mencegahnya. Saudara-saudaranya yang sering mendengar ttg Injil, sangat menentangnya—ibunya, yang sangat mencintainya, lebih memilih melihatnya mati daripada dibaptis.” 3 M. Cay, dari Shubra Zanga, Egypt, menunjuk pada fakta lapangan terkait hukum ridda, yang walaupun tidak dapat diberlakukan secara hukum di Mesir, orang-orang pedesaan terutama takut pada para kerabat dan tetangga, yang menerapkan hukum tsb secara tidak langsung; karena, kenyataannya, “mereka umumnya menuduh murtadin bersalah atas sesuatu yang tak memiliki hubungan jelas dengan kemurtadannya, dengan harapan dia dihukum seberat-beratnya di bawah hukum pidana.”

TURKI

Dengan kondisi seperti ini di Mesir, kita tak bisa berharap ada kebebasan lebih longgar di TURKI. Koresponden kami menulis tentang para murtadin yang dipenjara, dan setelah menjalani masa tahanan mereka benar-benar menghilang. Ini adalah nasib 20 pria dan wanita dari distrik Cesarea beberapa tahun lalu.
“Kecenderungan dewasa ini, bukannya semakin toleran, tapi justru semakin ketat dan tanpa ampun. Pemerintahan Nasionalis sebagian besar terdiri dari orang-orang yang tidak relijius sama sekali. Mereka menggunakan Islam sebagai alat untuk mencapai tujuan yang dikejar oleh gerakan Pan-Islamic. Di wilayah-wilayah yang berada di bawah pendudukan Yunani dan Sekutu, tumbuh kebebasan yang tak biasa selama tiga tahun terakhir, tapi di Anatolia periode ini telah berakhir, dan mungkin hal serupa segera terjadi pula di Konstantinopel, dan hukum ridda akan diterapkan secara kaku. Berapa lama keadaan seperti ini akan berlangsung, tak seorangpun dapat memastikan. Mungkin tidak berapa lama lagi. Banyak yang percaya berbagai upaya akan dilakukan untuk menghukum mati para murtadin.”

C.P. Gates, rektor Robert College, menulis, “Aku mengetahui kasus-kasus murtadin yang menderita karena fanatisme rekan seagama mereka. Contohnya, ketika aku berada di Mardin, seorang murtadin dikirim ke Mekah. Disana ia selalu berada dalam ruangan, namun suatu petang ia melangkah keluar dari pintu dan ditembak. Di Smyrna, seorang Muslim murtad, dan dua tahun kemudian ia ditikam. Salah seorang mantan mahasiswaku yang murtad, dilacak dan ditangkap saat hendak naik kapal meninggalkan negeri tersebut, kemudian dikirim pulang untuk dihukum mati. Akan tetapi ia berhasil meloloskan diri dan masih tetap hidup. Ini fakta yang sudah dikenal, bahwa murtadin besar kemungkinan dibunuh, bukan oleh hukuman pengadilan, tapi oleh pembunuhan rahasia atau dengan kekerasan massa.”

Pendeta S. Ralph Harlow, dalam Student Witnesses for Christ, mengisahkan cerita Shemseddin, seorang murtadin di perguruan tinggi dekat Smyrna, yang menderita penganiayaan berat sebelum tewas. “Dalam kehidupan kampus, pengaruh murtad Shemseddin begitu hebat. Kemurtadan-nya menandai titik balik kehidupan spiritual di perguruan tinggi. Pemuda-pemuda Yunani dan Armenia yang menyandang nama Kristen, namun nilai-nilai Kekristenan mereka hanya sedikit mempengaruhi cara hidup mereka, sekarang berhenti mempertanyakan kekuatan tersembunyi dalam kepercayaan mereka sendiri.

“Shemseddin adalah murid pertama di perguruan tinggi yang menandatangani deklarasi Student Volunter (Mahasiswa Relawan). Selama dua tahun ia bersaksi. Kata-kata dan perbuatannya sehari-hari mencerminkan ajaran Injil yang menyatu dalam darah dan dagingnya.

“Dan sekarang (1921) tiba-tiba menyeruak berita ini: diluar dinding Smyrna, tubuhnya telah ditemukan, ditikam di banyak tempat. Hanya bagaimana ia meninggal dan siapa yang membunuhnya, tak seorangpun di Smyrna mampu menjawabnya. Satu hal yang kita ketahui bersama, yakni hanya tubuh duniawinya yang tewas oleh pisau para pembunuh, namun jiwanya, terlindung perisai Tuhan, pergi menjumpai Kaptennya, muka tatap muka.”

NIGERIA

Di bawah pemerintahan Inggris di Nigeria tidak ada hukuman mati yang diperbolehkan terhadap murtadin, namun beberapa tahun lalu ini tidak berlaku. “Di Kano,” kata Dr. Walter R. Miller, “sekitar 20 tahun sebelum kedatangan kami, seorang Mullah yang dalam perjalanan ke Mekah, mendengar Injil sewaktu melintasi Mesir; dan, walaupun hanya samar-samar memahaminya, rupanya terkesan dengan keagungan kepribadian Kristus. Ia kembali ke Kano dan mengabarkan yang ia ketahui. Ia kemudian disiksa dan tewas, karena menolak untuk berhenti dari apa yang ia yakini. Hampir 30 tahun kemudian, sebagai rentetan akibat kisah ini, banyak dari para muridnya yang telah melarikan diri, datang di bawah panggilan Injil. Singkat cerita, sebuah desa Kristen tumbuh. Komunitas yang terdiri dari sekitar 130 jiwa, dan hidup di bawah hukum dan ajaran Kristen, serta banyak yang dibaptis. Berjangkitnya penyakit ‘Sleeping sickness’ selama empat tahun terakhir, hampir memusnahkan komunitas kecil ini. Saya tidak bisa mengatakan ada perubahan atas sikap Muslim disini. Saya percaya dan bahkan memiliki bukti, bahwa bila kekuasaan Inggris disini berhenti, setiap umat Kristiani akan dieksekusi sekaligus.''

PERSIA/IRAN

Kami diberitahu bahwa kondisi di Persia telah berubah secara radikal dalam duapuluh tahun terakhir. Konstitusi menjamin lebih banyak kebebasan dalam pemikiran dan tindakan. Departemen kepolisian sekarang menangani banyak hal yang dulunya ditangani para Mullah, dan menjamin keamanan murtadin dari kekerasan massa dan fanatisme individual. Kenyataan bahwa para murtadin berada di bawah naungan misionaris asing seringkali membuat orang takut pada mereka, karena para murtadin dianggap mendapatkan semacam perlindungan politik dari para misionaris.

Beberapa tahun lalu, kondisiya berbeda. Semua murtadin awal mengalami penganiayaan, dan beberapa dijatuhi hukuman mati.

Dari negeri inilah berasal kisah Mirza Paulos, seorang imam Islam yang bertobat dan memeluk agama Kristen. Setelah pertobatannya, dia menjadi sasaran segala macam hinaan dan hukuman dari para ulama Islam. “Pada akhirnya, karena tidak ada belenggu ataupun siksaan yang dapat menggoyahkannya, ia diseret di jalanan hampir telanjang dan diusir pergi, dan diancam hukum mati bila mendekati misionaris. Paulos langsung pergi ke pria yang membaptisnya dan dalam keadaan luka memar dan sobek, ia berkata, ‘Sahib, sebelumnya aku berpikir bahwa aku adalah salah satu domba Kristus, namun sekarang karena Ia telah menjadikanku layak menderita bagiNya, aku sungguh yakin akan hal itu.’ Dengan mengemban tanda-tanda Tuhan Yesus di tubuhnya, dirampas semua harta benda demi imannya, dan dihina sebagai orang terbuang dari kaumnya, Paulos mencoba berbagai cara untuk bisa makan sehari-hari. Anak-anaknya mulai menjual buah-buahan di jalanan, namun, karena dikenali, buah-buah mereka dianggap tercemar sentuhan anak-anak Kristen. Akhirnya, bersama istri dan anak-anaknya, Paulos meninggalkan kota yang senantiasa jadi rumah dimana ia dihormati dan dihargai; dan setelah beberapa bulan, tiba di Teheran, dimana ia tinggal selama lima tahun—kadangkala dalam kesulitan dan kesusahan, kadangkala dianiaya, dan senantiasa dalam kemiskinan: namun tak sekalipun terpikir untuk menukar imannya ke kepercayaan yang akan memberinya posisi dan kekayaan berlebih. Ia jarang membicarakan apa yang telah ia alami, hanya berkata: ‘Aku tak suka mengatakan apa yang telah kualami sebagai penderitaan. Dibandingkan penderitaan Tuhanku, ini bukanlah apa-apa. Aku tak henti memuji dan berterimakasih padaNya karena telah membuatku mengenal keselamatanNya padaku.’” 4 S. M. Jordan, in The Indian Witness, Nov. 8th, 1906.

AFRIKA UTARA/MAROKO

Dari Afrika Utara datang kabar bahwa walaupun penganiayaan menurut hukum ridda tidak ada secara terbuka, siapapun yang murtad dari Islam, mengalami penderitaan dari kerabat mereka seperti kecaman, gangguan fisik ataupun bujukan yang seringkali dirasakan sebagai “penderitaan pilu karena putusnya ikatan kekeluargaan.”

Salah seorang koresponden melanjutkan:

“Kami merasakan bahaya yang mereka hadapi adalah pada taraf yang paling buruk. Disekitar mereka bertebaran resiko pemakaian obat, mantra-mantra, dan hipnotisme, dan kami simpulkan, tampaknya sebagian besar yang menyebabkan para murtadin kembali ke kebiasaan lama yang buruk adalah kombinasi pengaruh-pengaruh buruk ini; karena tidak bisa tidak, mantra-mantra (melibatkan pengaruh dan kehadiran Setan) punya andil dalam terjadinya malapetaka. Dari sefi fisik, kami perkirakan--dengan membandingkan catatan misionaris INdia mengenai gejala-gejala fisik yang ini-- tanaman datura digunakan secara luas sebagai obat bius. Apapun jenisnya, lazim dipakai untuk tipu daya di kalangan mereka, dan dapat diberikan tanpa disadari dalam makanan dan minuman. Tampaknya untuk merangsang emosi dan melumpuhkan kemauan. Berdasarkan gambaran yang kami peroleh dari pengakuan beberapa jiwa malang, ada suatu kegelapan besar yang melingkupi roh mereka, dan hal ini berlangsung selama beberapa bulan sampai memudar dengan sendirinya. Sementara hal tersebut berlangsung, mereka tidak dapat mendekati ataupun berurusan dengan kami.

Bersama kami sekarang ada seorang gadis murtadin yang telah berjalan setia dengan Kristus selama bertahun-tahun, namun di musim semi lalu, ia jatuh dibawah kekuasaan seorang dukun wanita yang diundang abang si gadis untuk tinggal dirumahnya, dengan tujuan agar adiknya berpaling dari kami; dan dengan tiba-tiba ia tak lagi berhubungan dengan kami. Dalam penolakannya si gadis mengatakan, ‘Ia (dukun itu) mengetahui semua isi hatiku, dan aku harus melakukan apa yang ia perintahkan.’ Sebagai jawaban atas doa kami, akhirnya si dukun keluar dari rumah tersebut, namun awan hitam yang melingkupi roh si gadis baru dalam tahap mulai terangkat.

Kisah lain yang teringat olehku mungkin bagi sementara orang tampak tak masuk akal, namun diceritakan oleh misionaris terkait, yang berjuang dan meninggal di jajaran Misi Afrika Utara. Ia memiliki semangat menyelamatkan jiwa orang, yang hanya dimiliki sedikit orang. Di tempat misinya yang terpencil, ada seorang murtadin muda dari keluarga yang baik. Segalanya berjalan baik untuk beberapa waktu, sampai tiba-tiba ia berhenti datang ke Rumah Misionaris, tak ada kabar berita apapun. Musim dingin tiba, dan saat para pekerja sedang membersihkan perapian, mereka menemukan nama pemuda ini di secarik kertas. Mereka membersihkan dan menguraikan artinya. Ternyata semacam jimat/mantra untuk mencegahnya menginjakkan kaki di rumah misi atau berhubungan dengan misionaris. Mereka berdoa dalam nama Yesus agar mantra jahat itu rusak, dan membakar kertas tsb. Dalam waktu satu jam, si pemuda kembali masuk ruangan, berlutut dengan hati hancur mengaku pada Tuhan atas kejatuhannya. Di kemudian hari, ia bercerita pada misionaris bahwa yang ia tahu ia telah dibius, dan kemudian dipenuhi kebencian untuk mendekati mereka.”


Pengalaman-pengalaman yang luarbiasa ini disejajarkan dengan pengalaman serupa di Arab Timur, dimana obat-obatan dan sihir/perdukunan sering digunakan untuk mempengaruhi orang-orang yang murtad dari Islam.

:finga: :finga:
anne
Posts: 502
Joined: Wed Sep 21, 2011 9:52 pm

BAB III

Post by anne »

SUDAH DIPERIKSA ali5196

Dr. F. Harper menulis dalam kasus-kasus semacam itu, kerusakan utama di Mesir disebabkan oleh obat yang disebut manzoul, yang mengandung ganja India (Canabis Indica). Tanaman datura juga memiliki daya kerja kuat, dan digunakan untuk maksud serupa: meningkatkan gairah seksual.

Dr. Henry H. Jessup, yang berbagi pengalaman selama 53 tahun sebagai misionaris di Syria, mengatakan bahwa ia telah membaptis tidak kurang dari 30 Muslim, dan mengetahui ada sekitar 40 hingga 50 murtadin, namun sebagian besar harus mengungsi dari negara tsb karena takut penganiayaan.

“Seorang murtadin, Naamet Ullah, yang murtad tahun 1895, tiba di Beirut di musim semi. Ia ditahan, dilempar ke dinas ketentaraan dan menulis sehelai surat padaku dari barak militer. Ia dan resimennya dikirim ke Hauran, desersi, muncul lagi di Beirut, dari situ ke Tripoli, kemudian naik kapal ke Mesir, dan hilang dari peredaran.” 5 Fifiy-three Years in Syria, by Henry H. Jessup, vol. ii, p.635.

“Di bulan Juni tahun 1900, dua pria beserta istri-istri mereka, murtad dari Islam, dan melakukan perjalanan ke Mesir. Mereka menerima Kristus lewat tetangga mereka yang saleh di sebuah kota di pedalaman, dan setelah masa percobaan yang panjang, diterima sebagai saudara seiman. Kami mendapatkan tiket bagi mereka ke Alexandria naik kapal laut, dan mereka pergi ke rumah baru mereka di Mesir dimana mereka segera terlibat dalam pekerjaan pelayanan mandiri yang membawa kepuasan besar oleh karena ketulusan dan kesetiaan mereka. ... Untuk menenangkan beban pikiran saudara seiman yang telah mengirim mereka pada kami, khawatir mereka akan dihalangi untuk pulang naik kapal ke Syria, aku menulis surat pada mereka sbb: ‘Barang-barang yang anda kirim pada kami tiba dengan dengan aman, dan kami kapalkan ke Mesir dengan kapal uap Khedivial, 30 Juni, kepada agen bisnis kami. Bungkusan besar, yang ternyata terlalu tua untuk dikapalkan, kami kembalikan ke agen di Damaskus untuk diteruskan pada anda. Kami berharap keuntungan besar dari bagian yang dikirim ke Mesir.’”

Alasan mengapa surat ini ditulis dengan gaya komersil adalah karena setiap surat akan dibaca petugas pos, yang dapat membawa kesulitan bagi pihak-pihak terkait. 6 Ibid., vol. ii, pp. 691-692.


Image
Pasar di Peshawar, 1909 http://www.gutenberg.org/files/32231/32 ... .htm#pb159

V.H. Starr dari Peshawar, menceritakan tentang seorang murtadin (beralias 'Flower of the King'), pemuda berusia 18 tahun, yang menyerahkan hidupnya bagi Kristus. Ia berasal dari suku liar Afridis, AFGHANISTAN dan datang ke rumah sakit untuk mendapatkan pengobatan. Ia tetap berada disana sebagai pelayan, dan tak lama setelahnya memohon untuk menjadi seorang Kristen. Ayah dan saudaranya datang untuk suatu urusan tahun 1914. Mereka senang dapat menjumpai anak itu lagi, dan mengetahui ia punya penghasilan tetap. Karena mereka datang dengan bersahabat, tidak ada yang curiga. Segera setelah itu, sang ayah meminta izin bagi anaknya untuk mengunjunginya. Anak muda tersebut mendapat izin satu hari penuh; dan, dengan mengenakan pakaian terbaiknya serta senyum bahagia, ia berangkat. Malam menjelang…. dan ia tidak kembali…. Tak ada jejak dimana ia berada…. Setelah itu kebenaran terungkap. Ia telah dirayu keluar dari rumah sakit, dan dicerca telah membawa aib pada keluarga karena masuk Kristen. Hanya ada satu pilihan, melepas iman barunya atau nyawanya. Tidak diketahui secara detil, namun fakta menjelaskan pemuda Afridi ini dirajam sampai mati oleh ayahnya dan keluarganya sendiri, karena tak ada pilihan lain. Boleh jadi bagi 'Santo Stefanus' muda abad 20 ini, surga terbuka dan ia melihat kemuliaan Yesus. 7 Mrs. V. H. Starr, in The Moslem World, vol. xi, p. 80. http://www.archive.org/stream/muslimwor ... t_djvu.txt

Image
http://www.rawa.org/photo7.htm


Image
Bahkan di PULAU JAWA, dimana jumlah murtadin dari berbagai jenis misi Belanda mencapai jumlah hampir 30 ribu jiwa, semangat penganiayaan masih ada; dan banyak yang menghadapi sikap permusuhan yang datang dari keluarga sendiri. Dalam Het Zendings Blad terbitan Gereja Reformasi (Oktober 1923) kami temukan terjemahan dari sepucuk surat menyedihkan yang ditulis seorang gadis Jawa pada sahabatnya. Dari surat tersebut, kami terjemahkan paragraf berikut:

“Engkau tahu, saudaraku Yusuf telah diusir dari rumah, dan saudarinya yang malang ini sendirian. Kuberitahukan padamu apa yang terjadi padaku di hari Kamis, tanggal 31 Mei, jam dua. Ayahku memanggilku, dan seperti biasa mulai berbicara menyerang agama Kristen. Isi pembicaraan kami tidak akan menarik bagimu; namun saat aku mulai menangis, ayah, dan juga ibu mulai memukulku. Mereka menyeretku ke sebuah ruangan di bagian belakang rumah kami, dan semakin aku menangis, semakin menjadi-jadi kemarahan mereka. Ayah memukuliku dengan sendalnya… di kepala dan punggungku, keduanya menangkapku dengan cepat ketika aku mencoba meloloskan diri. Kemudian ibu merampas gelang-gelangku karena aku mengucapkan nama Kristus.”

“Tahukah kau apa yang ayah katakan padaku? Ia berpaling pada ibu dan berseru, ‘Kita bunuh saja dia, punya anak perempuan atau tidak, bukan masalah.’ Sekali lagi aku mencoba meloloskan diri, namun aku dikunci di sebuah ruang sempit. Saat ayah berkata, ‘Kita bunuh saja dia,’ bukan sekedar kata-kata belaka….Ia memang bermaksud melakukannya…. ia membenturkan kepalaku ke dinding dan mencoba mencekikku. Lantas aku mulai berdoa, dan ibu berkata, ‘Lihat! Lihat! Ia berdoa lagi.’ Kemudian ayah memukuli wajahku dengan sendalnya….; dan mereka meninggalkanku. Aku teringat kisah Paulus yang dipenjara—bagaimana, setelah pemukulan atasnya, ia bernyanyi memuji Tuhan; dan aku dipenuhi kerinduan untuk bernyanyi. Akupun bernyanyi dengan lirih agar tak seorangpun mendengarku:.. ‘Kami memujiMu, hanya Engkau!”

“Jam enam, kudengar langkah ibuku, dan aku berkata padanya, ‘Biarkan aku keluar!’ Jam tujuh ayah datang, namun hanya untuk menyiksaku dengan berbagai pertanyaan sulit yang tak bisa kujawab.” Setelah menjelaskan berbagai hukuman lain yang ia alami, serta rasa sakit yang ia rasakan di sekujur tubuhnya, surat tersebut berlanjut, “Setelah aku menangis selama satu jam, ibu membuka pintu dan menyuruhku makan, sementara ayah mengancam memukulku bila mencoba kabur. Ibu bertanya apakah sekarang aku akan berhenti mengakui iman Kristen, namun aku tak berani berjanji karena jauh di lubuk hati, aku tetap ingin menjadi Kristen. Mereka telah mengambil Alkitabku, buku-bukuku, dan aku iri pada Yusuf, saudaraku, karena ia hanya diusir dari rumah.” Kisah ini terjadi di Jawa Tengah, terkait salah satu sekolah Kristen.


Image
Salah satu murtadin yang sangat terkenal di MESIR adalah Mikhael Mansur. http://www.answering-islam.org/Testimon ... index.html

Sekitar tiga puluh tahun lalu ia menyelesaikan dua belas tahun studinya di Universitas Al-Azhar, dan walaupun hampir berusia dua puluh tahun, ia telah mencapai tingkat seorang Sheikh. Seorang mahasiswa brillian, seorang master di bidang bahasa dan sastra Arab, namun tak pernah kontak dengan Kekristenan. Suatu hari, tanpa sengaja ia membaca sebuah ayat dari Kitab Suci yang dikutip dalam suatu serangan terhadap Kekristenan, ayat yang tak tertahankan memukaunya – “Dan inilah hidup yang kekal itu, yaitu bahwa mereka mengenal Engkau, satu-satunya Tuhan yang benar, dan mengenal Yesus Kristus yang telah Engkau utus.” Mempelajari bahwa kata-kata ini dikutip dari Injil Yohanes, ia ingin sekali memperoleh salinan buku tersebut. Dengan membawa Alkitab yang tersembunyi dibalik jubahnya, ia pulang ke rumah dan mulai membaca. Di kemudian hari saat menceritakan kejadian ini, ia berkata bahwa ia tak berhenti membaca sepanjang malam. Kata-kata dari dalam buku itu seperti api membara dalam jiwanya. Ia bergumul dengan keraguan dan kekhawatiran, yang membuka jalan ke masalah teologis. Seperti Saulus dari Tarsus, ia merenungkan semua kehidupan masa lalunya dan prospek masa depan berupa puing-puing reruntuhan jika ia menjadi seorang Kristen. Namun keputusan sudah dibuat, dan kemudian ia mencari pembaptisan. Karena takut mengakui imannya di kota asal, dan karena adanya keterlambatan dan kesalahpahaman, ia akhirnya pergi ke sebuah gereja Katolik Roma di kota lain dan dibaptis disana. Selama beberapa tahun ia tetap bersama gereja tersebut, mengajar di sekolah mereka. Ia dibawa ke Roma dan diperkenalkan pada Paus Leo XIII. Namun perjalanan ini, bukannya membuatnya terkesan dengan kebesaran Roma, melainkan memperlihatkan sisi lemah Roma. Ia kembali ke Gereja Evangelis setelah pulang ke Mesir dan tetap menjadi jemaat setia gereja tersebut sepanjang hidupnya. Mulanya ia bekerja sebagai guru, namun ia segera memperlihatkan kemampuannya yang luarbiasa dalam berpidato, dan selama beberapa tahun menyelenggarakan pertemuan-pertemuan bagi diskusi keagamaan. Pertemuan-pertemuan ini semakin banyak peminatnya, sampai tak ada lagi gedung misi yang cukup besar untuk menampung peserta, yang hampir seluruhnya terdiri dari Muslim, dan banyak diantaranya mahasiswa Al-Azhar. Selama delapan belas tahun, dua kali seminggu, ia meneruskan pertemuan semacam ini di Kairo. Rasa khawatir dan malu di masa-masa awal, telah meninggalkan dia sepenuhnya. Para sahabat Kristennya kadangkala khawatir akan keselamatannya, namun ia sendiri sepertinya tidak mengenal rasa takut. Ia menganggap semua orang sahabatnya. Sesekali ia menerima surat ancaman. Dan pernah ia memperlihatkan surat semacam itu di hadapan kerumunan padat dalam pertemuan, dan sambil membuka mantelnya ia berkata, “Bila ada yang ingin menembak, aku siap, namun aku harus terus, dengan kasih karunia Tuhan, memberitakan Injil Kristus.” Ia adalah seorang pria dengan kepribadian menarik, memiliki rasa humor spontan dan keramah-tamahan yang langka. Ia meninggal tahun 1918. Berapa banyak jiwa persisnya yang telah ia menangkan tidaklah mudah untuk dikatakan, namun satu diantaranya adalah saudaranya sendiri (Sheikh Kamel Mansour), yang memiliki talenta serupa, dan saat ini meneruskan pelayanannya. Kedua bersaudara ini merupakan gambaran fakta bahwa keberanian mengakui Kristus adalah bagian dari kebijaksanaan, bahkan saat berhadapan dengan Muslim fanatik di kota seperti Kairo.

Kota Aden dan daerah pedalamannya telah begitu lama berada di bawah kekuasaan Inggris (sejak 1837) sehingga orang berharap hukum ridda telah kehilangan kekuatannya, namun spirit Islam sulit mati. “Sheikh Salem, seorang murtadin, tak diragukan lagi menderita akibat hukum ini,” tulis Dr. J.C. Young. “ketika ia berada di Dhala, sebagai sekretaris bahasa Arab Kapten Warneford, orang-orang Arab disana mengadakan pertemuan di mesjid. Diumumkan secara terbuka bahwa ia harus dihukum mati, dan ia diperingatkan hidupnya dalam bahaya, kemudian ia kembali ke Aden, dimana ia aman, kecuali bila ada tikaman tiba-tiba dari seorang fanatik gila, yang untunglah tak ada satupun di Aden saat itu. Walau demikian, beberapa minggu lalu, sebuah batu besar dilempar pada seorang pemuda yang sedang duduk di pinggir pantai berbicara dengan Pdt. C.J. Rasmussen dan dua wanita Denmark. Pemuda ini, beberapa tahun lalu, saat masih seorang bocah berusia 12 tahun, tertarik pada kata-kata Sheik Salem di rumah sakit kami; dan sepulangnya ke Aden setelah perang, ia berkata pada wanita misionaris yang sedang membalut kakinya bahwa ia pernah mendengar kisah Injil bertahun lalu, dan tak penah dapat melupakan kesan yang ia dapat dari kisah tersebut.”

Di PALESTINA sebelum perang, kondisinya, seperti yang dikatakan Uskup Ridley yang mengunjungi Misi tahun 1908, “Baptisan Muslim tidak dikenal di Palestina, walau murtadin relatif sedikit. Dalam beberapa kasus, mereka harus dikirim ke Mesir untuk keselamatan mereka. Baptisan murtadin di bawah pemerintahan Turki adalah pertanda penjara, dan kemungkinan disusul dengan kemartirannya. Bertentangan dengan perjanjian2 yg ditandatangani, kebebasan nurani tidak ditoleransi….Belum begitu lama, seorang sheik mendatangi sekolah misi, menyeret keluar salah satu murid perempuan dan memukulinya sampai hampir tewas. Diantara yang menemukan Kristus di rumah sakit Jaffa, adalah seorang Afghanistan, tapi ia kemudian ditembak oleh seorang Muslim—orang yang ia tolak untuk dituntut—dan ia dibawa kembali ke rumah sakit, dimana ia dibaptis atas permintaannya sendiri sebelum meninggal dunia.’” 8 History of the Church Missionary Society, by Eugene Stock (London, 1916), Vol. iv, p 127.

Walaupun jumlah murtadin di INDIA cukup banyak, disana sekalipun kesulitan-kesulitan yang mereka hadapi amat besar. Apa yang ditulis Sir G.K. Scott-Moncrieff dalam bukunya yang berharga, Eastern Missions from a Soldier’s Standpoint, tahun 1907, masih sangat benar di beberapa bagian India. “Tentu saja, hukum di negara tersebut, sejauh yang ia bisa, memberi kebebasan beragama, dan tak seorangpun dapat dihukum di pengadilan karena beralih ke agama lain. Namun, coba biarkan seseorang melanggar, keluar garis batas agama Islam, ia akan mendapati semua kekuatan kefanatikan dan penganiayaan diarahkan padanya dengan berbagai cara. Aku mengenal dua kasus, dimana pegawai Kristen di Kantor Layanan Umum, yang keduanya murtadin, menjadi korban konspirasi licik oleh rekan seagama mereka sebelumnya. Bukti-bukti ‘diramu’ secara licik sehingga tak terbantahkan, walau bagi yang mengenal kedua orang ini hal tersebut sangat mustahil. Konspirasi tersebut berhasil menghancurkan korbannya. Aku mengenal kasus seorang kepala clan muda yang akan dibaptis. Ia diculik, ditelanjangi dan dipukuli, setelah bujukan uang suap tidak mempan; dan seorang teman Muslim muda yang sangat meyakini kebenaran Injil, memohon padaku untuk membawanya ke Inggris, dibaptis disana, karena ia katakan kehidupan seperti itu sangat tidak mungkin di negaranya.” 9 Ibid., vol. iv, pp.154-155.

Di sepanjang perbatasan utara, fanatisme Muslim India lebih kental. “Di Mardan,’ tulis Dr. Marie K.T. Hoist, “putri seorang mullah datang ke rumah sakit meminta diagnosa atas kedua matanya. Sewaktu berada di rumah sakit, awalnya ia sangat menentang ajaran Kristen di lingkungan rumah sakit, kemudian perlahan-lahan menjadi tertarik, dan suatu minggu sore, ketika Bartimeus menjadi subjek bahasan, ia akhirnya memutuskan untuk ikut Kristus. Bagaimana mengagumkan Tuhan menguasai gadis muda tersebut, memberinya kekuatan untuk melepas segalanya serta mengaku Yesus dalam baptisan, dan bagaimana kemudian, ketika diancam hukuman mati di desanya sendiri di perbatasan, ia mengakui Kristus tanpa berkedip, menolak mengucap Kalima (syahadat), dan akhirnya dengan pertolongan seorang wanita Muslim, berhasil melarikan diri. ‘Apakah sangat sulit?’ tanya misionaris saat ia kembali dari cuti. ‘Ya, pada awalnya aku begitu kesepian. Lantas terlintas di pikiranku teks yang kau berikan sebelum kepergianmu: Hendaklah engkau setia sampai mati, dan Aku akan mengaruniakan kepadamu mahkota kehidupan.”

Kisah Abdul Karim, seorang AFGHANISTAN yang menemukan Kristus di Rumah Sakit C.M.S. di Quetta, dan setelah itu bergabung dengan Dr. T.L. Pennel di Bannu, bersinar dengan kemuliaan para martir. Murtad (apostate) dari Islam, namun seorang Rasul (Apostle) Kristus!

Image
Bannu Mission. A Group of Patients
http://www.gutenberg.org/files/32231/32 ... htm#p082-1

Di musim panas 1907, Abdul Karim, merasakan hasrat yang kuat untuk masuk ke Afghanistan, dan mengabarkan Injil disana. Ia menyeberangi perbatasan di Chaman, dan ditangkap oleh beberapa tentara Afghan. Ia akhirnya dibawa menghadap Gubernur Kandahar. Ia ditawari imbalan dan penghargaan jika mengakui kesalahan dan menerima agama Islam, dan sewaktu ia menolak, ia dimasukkan ke penjara, diberati rantai 80pounds (3, 3kg.) Ia diperiksa oleh sang Amir (penguasa) dan saudara sang Amir, Nasirullah. Namun ia tetap teguh dalam iman Kristennya.”

Akhirnya, ia digelandang ke Kabul dalam kondisi yang sangat memprihatinkan. Dari berbagai laporan yang sampai ke India, ia harus berjalan dengan rantai dan tali kekang di mulutnya dari Kandahar hingga Kabul, sementara setiap umat Islam yang bertemu dengannya di perjalanan, menampar pipinya dan menarik janggutnya. Setelah mencapai Kabul, dilaporkan bahwa ia meninggal dalam penjara. Namun, ada laporan lain dari seorang saksi mata yang layak dipercaya, mengatakan ia dibebaskan di Kabul dan menuju India seorang diri.

Dalam perjalanan, orang-orang di sebuah desa dimana ia sedang beristirahat, mengetahui siapa dia—mungkin salah satu mendengar tentangnya—dan membawanya ke mesjid mereka, memaksanya mengucap Kalimat (syahadat): ‘Tiada Tuhan selain Allah, dan Muhammad Nabi/Utusan Allah.’ Abdul Karim menolak.

Image
Pedang Afghan yg memutuskan lengan2 murtadin yg tetap keukeuh menolak Islam
http://www.gutenberg.org/files/32231/32 ... htm#p082-1

Pedangpun beraksi, dan lengan kanannya putus, dan ia kembali diperintahkan untuk mengulanginya, namun sekali lagi ia menolak. Lengan kirinya menderita dengan cara yang sama, dan…., pada penolakan yang ketiga kalinya, lehernyapun putus. Tak ada keraguan, apapun rincian kemartirannya, Abdul Karim dengan setia bersaksi hingga saat terakhirnya bagi Juruselamatnya Kristus, dan tewas karena ia tidak mau menyangkaliNya.” 10 Among the Wild Tribes of the Afghan Frontier, by T. L. Pennell (London,1909), pp.293-294. http://www.gutenberg.org/files/32231/32 ... 2231-h.htm Masyarakat Afghanistan, tak diragukan lagi, akrab dengan Tradisi tersebut.

[CATATAN: Buku Pennell juga menyebutkan ttg dua kolonel INggris, Stoddart dan Conolly yang ditangkap dan disiksa oleh seorang Amir Afghanistan. Stoddart digorok lehernya dgn pisau dan Conolly ditawarkan keselamatan jika mau menerima Islam. Conolly, setelah disiksa selama 99 hari, MENOLAK! Akhirnya ia dipenggal. Yang menarik, pihak Inggris tidak membalas kematian kedua kolonel itu dgn membunuh si Amir. Adik Conolly di INggris 'membalas' kematian kakaknya dengan menyumbang tempat tidur bagi rumah sakit di Bannu untuk rakyat Afghan. Orang Agfghan sampai heran dgn 'cara balas dendam' ala Kristen ini. http://www.gutenberg.org/files/32231/32 ... htm#p082-1]

Katalog penderitaan yang dialami karena iman dalam Pasal 11 Ibrani, bisa disejajarkan dengan kehidupan orang-orang yang menderita bagi Kristus karena kemurtadannya dari Islam. Setiap orang yang membuat pilihan menghadapi kemungkinan kesendirian, pencabutan hak waris, penganiayaan dan bahkan kematian. Kita diingatkan akan kisah kehidupan Kardinal Lavigerie. Bagaimana ia mendirikan the White Fathers, lembaga misionaris luarbiasa yang berperan mulia dalam misi di Afrika. Kaum muda dari seluruh Eropa datang ke Aljazair, memohon dapat ikut serta. Mereka telah mendengar panggilan ke Afrika, dengan iklimnya yang membakar, padang pasir dan misterinya, suku-suku kejam dan Muslim fanatik. Sebagai prajurit elite (soldats d'elite), kami siap menghadapi bahaya. Pada makalah yang disajikan salah seorang pastor muda, Uskup Agung, menulis di kolom biasa: Visum pro martyno (Lulus sebagai martir). “Bacalah, engkau menerimanya?” katanya pada mereka. “Untuk itulah aku datang,” jawab sang pastor singkat.


BAB IV INTOLERANSI DAN PENGANIAYAAN SELAMA BERABAD-ABAD
Muhammad saw bukan hanya mendakwahkan toleransi; ia mewujudkannya dalam sebuah hukum. Untuk semua negara taklukan ia menawarkan kebebasan beragama. Jizyah – pajak, adalah satu-satunya kompensasi yang harus mereka bayar untuk ibadah dan kenyamanan dalam iman mereka. Setelah jizyah atau pajak disepakati—setiap gangguan terhadap agama atau kebebasan nurani mereka—dianggap sebagai perlawanan terhadap hukum Islam. Apakah ini juga diterapkan kepercayaan2 lainnya? Paksaan agama dengan pedang, sepenuhnya bertentangan dengan naluri Muhammad.” SEYID AMEER ALI, dalam The Spirit of Islam, p.175.
Cara Muhammad memenangkan pengikut ... adalah dengan kekerasan. Baginya, penyebaran agama identik dengan perang melawan kafir. Muhammad adalah nabi dan tiran dalam satu badan …] OTTO PAUTZ, Mohammeds Lehre der Offenbarung, p.283.
“Bunuh siapapun yang mengubah agamanya.” – Sahih al-Bukhari 9:84:57
anne
Posts: 502
Joined: Wed Sep 21, 2011 9:52 pm

Post by anne »

BAB IV.
INTOLERANSI DAN PENGANIAYAAN SELAMA BERABAD-ABAD

Sudah diperiksa om Ali5196

Insiden-insiden yang tercatat dalam bab sebelumnya memperlihatkan bagaimana hukum ridda bekerja dewasa ini. Hasilnya: bertumbuhnya intoleransi selama berabad-abad terhadap para murtadin. Para murtadin awal, beberapa diantaranya yang beralih ke Kristen dan mengalami penderitaan akibat kemurtadannya, adalah orang-orang yang hidup di masa Muhammad sendiri. Kisah mereka disimpan bagi kita dalam dua tulisan paling awal, berjudul: The Life of the Prophet, oleh Ibn Hisham (meninggal 834 A.D), dan kisah Moslem Conquest, oleh Al Baladhuri (meninggal 892 A.D).

Dalam volume terakhir, kita baca mengenai, 1) “Abu-‘Amir, yang melarikan diri dari hadapan Allah dan Nabinya, ke Mekah, dan dari sana ke Syria, dimana ia beralih ke Kristen. Sebab itu diwahyukan Allah, “Ada sementara orang yang membangun mesjid untuk kejahatan dan kekafiran dan memecah belah ‘kaum beriman’ serta menunggu kedatangan orang yang telah memerangi Allah dan RasulNya sejak dahulu.’” 1 Futuh Al-Buldan, oleh Al-Baladhuri, diterjemahkan oleh Hitti (New York, 1916), p. 16. Saat kematian Muhammad, banyak orang Arab, bahkan di Mekah, murtad dari Islam. Karena itulah hukum mati diterapkan tanpa ampun. Cf. Ibn Hisham, vol. iii, p.104 (edisi Cairo).

Peristiwa menarik berikutnya adalah tentang Mikyas ibn-Subabah: “Numailah ibn-Abdallah al-Kinani membunuh Mikyas ibn-Subaba-al-Kinani. Nabi mengumumkan barangsiapa yang menemukannya boleh membunuhnya. Nabi melakukan hal ini karena alasan-alasan berikut: Mikyas mempunyai saudara, Hashim ibn-Subabah ibn-Hazm, yang masuk Islam dan bersama Nabi menyaksikan invasi yang dilakukan terhadap al-Muraisi. Hashim dibunuh oleh orang Ansar yang secara keliru menyangka Hashim sebagai penyembah berhala. Mikyas kemudian menemui Nabi dan Nabi memutuskan bahwa kerabat si pembunuh bertanggung jawab membayar uang darah. Mikyas menerima uang darah tersebut dan menjadi Muslim. Di kemudian hari ia menyerang pembunuh saudaranya, membunuhnya, melarikan diri, dan murtad dari Islam. Katanya:

SIngkatnya: Numailah (atas perintah nabi krn Mikyar murtad) bunuh Mikyar yg membunuh Al Ansar yg membunuh Hashim.

Jiwaku terobati dengan melihat ia terbaring,
Tergenang dalam darah yang mengalir dari pembuluh darah membasahi jubahnya
Aku membalas dendam padanya dengan kekerasan, meninggalkannya untuk para pemimpin tertinggi Banu-an-Najjar untuk membayar hutang darahnya. Dengan demikian aku menuntaskan ambisiku, dan memuaskan dendamku, dan Aku yang pertama keluar Islam.

2 Futuh Al-Buldan, oleh Al-Baladliuri, diterjemahkan oleh Hitti (New York, 1916),p.67.

Tapi bukan ia orang pertama yang meninggalkan Islam. Murtadin pertama yang keluar dari Islam dan masuk Kristen adalah 3) Obeidallah Ibn Jahsh, orang yang mendampingi para pengikut Islam yang melarikan diri dari Mekah ke Abyssinia (Ibn Hisham, vol. I, pp. 76 and iii). Kutipan Ibn Hisham yang diambil dari Ibn Ishak hanya sepotong-sepotong/tidak lengkap, namun dari situ dapat disimpulkan betapa pentingnya pengaruh awal Kekristenan terhadap Islam, dan bagaimana umat Islam sendiri berani mencatat cahaya kebenaran Kristen lebih besar dari cahaya agama baru ini: “Namun, mengenai Obeidallah Ibn-Jahsh, ia berada dalam ketidakpastian, hingga ia menjadi Muslim; kemudian ia melarikan diri dengan pengikut Islam ke Abyssinia, membawa serta istrinya, Um Habiba bint Abu Sufyan, yang juga Muslim. Namun, setelah ia menikahi istrinya, ia memeluk Kristen, meninggalkan Islam, dan akhirnya meninggal sebagai umat Kristen. Ibn Ishak berkata bahwa Muhammad Ibn Jafar berkata padanya: ‘Obeidallah Ibn Jahsh, ketika menjadi seorang Kristen, biasa menemui para sahabat Nabi (saw) sewaktu mereka bersama-sama di Abyssinia, dan berkata pada mereka, kami [umat Kristen] dapat melihat dengan jelas, namun kalian masih berkedip-kedip; yakni, kami memiliki visi kebenaran sementara kalian masih meraba-raba untuk visi tsb, dan belum dapat melihat dengan jelas. Kata yang digunakannya dipakai untuk anak anjing yang berkedip membuka mata ketika ingin melihat sesuatu. Kata lain yang digunakannya bermakna melihat dengan sangat jelas.’ Ibn Ishak meneruskan bahwa ‘Rasullullah (saw) mewarisi istri Obeidallah Ibn Jahsh, Um Habiba ibn Ali Sufyan ibn Harb, dan membayar 400 dinar untuk mas kawinnya.’” :finga: 3 Moslem World, vol. iii, pp. 328-329, dikutip dari Ibn Hisham, vol. i, p.76.

Menurut Caetani, Muhammad menganjurkan pengikutnya beremigrasi ke Abyssinia, bukan untuk menyelamatkan umatnya dari kekerasan fisik atau siksaan, tapi karena ia takut mereka akan menyerah pada tekanan dan sindiran, serta mengingkari iman Islam. Karena hanya sebagian Muslim yang pergi ke Abyssinia, dapat disimpulkan bahwa Muhammad sengaja memisahkan diri dari para pengikut yang tidak dipercayainya dan yang punya prospek menyerah pada tekanan dan penalaran kaum Quraysh bila tetap tinggal di Mekah. Dengan demikian, pelarian ke Abyssinia merupakan gambaran kelemahan, bukan ketegaran atau keberanian [untuk mempertahankan iman Islamnya]. Di kemudian hari, kembalinya para emigran tsb, justru mengkonfirmasikan fakta bahwa Muhammad telah gagal: hampir setiap emigran telah beralih memeluk Kristen setelah lama tinggal di Abyssinia.

Caetani memberi daftar nama-nama emigran tersebut, dan mengatakan bahwa orang-orang ini memiliki semangat yang lebih tinggi dibanding kerabat mereka; dilengkapi perasaan lebih mulia, tulus dan relijius. Mereka tidak puas dengan tata cara ibadah penyembahan berhala Quraish yang dangkal, dan menginginkan suatu agama yang akan memuaskan konsep mereka akan dunia spiritual. “Tahukan engkau,” kata mereka satu sama lain, “kerabat kita tidak mengikuti ajaran yang benar, dan mereka telah memalsukan agama leluhur, Abraham? Bagaimana kita dapat menyembah batu yang tidak dapat melihat atau mendengar, yang tak mendatangkan kebaikan atau keburukan? Carilah agama lain, karena yang ini tidak layak.” Menurut tradisi, itulah pendapat yang beredar di kalangan mereka; dan karena didorong hasrat yang sama untuk menemukan iman yang sesungguhnya, mereka memutuskan untuk menyatukan upaya, memperkenalkan suatu agama, yang karena ketidaktahuan, telah dihapus oleh para leluhur mereka. Orang-orang ini sesudah itu menolak menyembah berhala dan tidak turut makan daging hewan yang telah dikorbankan dalam upacara pagan. Setelah itu mereka menyebar ke seluruh dunia, mencari al-Hanifiyyah (agama Abraham). Ibnu Hisyam, p.143; Al Halabi, vol. i, pp.169-170.

Walaupun Caetani mengkritik tradisi-tradisi terkait penganiayaan di Mekah, dan menyangkal bahwa ada dua emigrasi ke Abyssinia, ia mengakui historisitas murtadin masa awal, khususnya 4) Abeidallah Ibn Jahsh. 4 Annali dell' Islam, oleh Caetani; Introduction, sections 180, 271, 277 ; vol. i, A. H. 7, sections 53, 55, 58, etc.

Tidak hanya murtadin dari Islam ke Kristen di Abyssinia, namun banyak diantara orang Arab sendiri yang kembali lagi ke tata cara pemujaan berhala lama mereka setelah kematian Muhammad, diperlakukan sebagai murtadin. Perang dinyatakan terhadap mereka di bawah ujung pedang. Di masa Oman, banyak diantara mereka yang dibantai. “Wanita-wanita tertentu di an-Nujair bersuka cita atas kematian sang Nabi. Abu Bakr memerintahkan agar tangan dan kaki mereka dipotong. Diantara para wanita ini terdapat ath-Thabja al-Hadramiyah, dan Hind, anak perempuan Yamina, orang Yahudi.” 5 Al-Baladhuri, p. '55.

Hanya dengan mengirim dan membayar upeti (jizyah) mereka bisa menyelamatkan nyawanya. Ketika 5) orang-orang Arab Bahrain murtad di bawah kepemimpinan Al-Hutam, perang dikobarkan atas mereka; dan salah satu penyair Muslim merayakan kemenangan serta kematian Al-Hutam sbb: 6 Ibid. p. 128.

“Kami tinggalkan Shuraih dengan darah yang menutupinya seperti jumbai-jumbai gaun Yaman.
Itulah saat dimana kami memisahkan Um-Ghadban dari anaknya, dan mematahkan tombak kami dalam mata Habtar.
Itulah saat kami membiarkan Misma terpuruk di tanah, di bawah belas kasih serigala hyena dan burung elang yang akan memangsanya.”


Semangat untuk murtad di negara-negara sekitar diperlihatkan dengan dengan jelas di baris-baris berikut, yang berasal dari ‘Ali ibn Abi Talib:

‘Bunga-bunga kami adalah pedang dan belati
Bunga Narcissus dan Myrtle tak berguna.
Minuman kami adalah darah para musuh kami;
Gelas piala kami tengkoraknya, saat kami bertempur’

7 As-saifu wa'l khanjar rihanuna
'Ufun 'ala '1 narjis wa'l as
Dam 'adauna shurabuna
Wa jumjumat ras al kas.


Ini sesuai ajaran Quran untuk menghukum mati musuh:
Q 5:33,
Sesungguhnya pembalasan terhadap orang-orang yang memerangi Allah dan Rasul-Nya dan membuat kerusakan di muka bumi, hanyalah mereka dibunuh atau disalib, atau dipotong tangan dan kaki mereka dengan bertimbal balik, atau dibuang dari negeri (tempat kediamannya). Yang demikian itu (sebagai) suatu penghinaan untuk mereka didunia, dan di akhirat mereka beroleh siksaan yang besar,

8 Cf. The Mizanu 'l Haqq (Balance of Truth), oleh Rev, C. G. Pfander, D.D., pp.360, 361

Persaudaraan ideal Islam yang hanya untuk sesama umat Islam merupakan daya tarik besar untuk memeluk Islam, karena hak-hak khusus selalu diberikan untuk para pemeluk baru. Sementara kondisi umat Kristiani semakin terpuruk dibawah pemerintahan Kalif berikutnya di abad pertama. T.W. Arnold, walaupun ia seorang apologis bahwa Islam agama toleran (Preaching of Islam, p.66.) , mengakui juga hal ini. 9 Dalam hal kepentingan kaum beriman (Islam), kondisi menjengkelkan kadangkala diterapkan pada populasi non-Muslim (atau dhimmi, sebagaimana mereka disebut dalam perjanjian perlindungan yang dibuat dengan mereka), dengan tujuan mengamankan kepentingan sosial kaum beriman yang lebih superior. Upaya-upaya yang gagal telah dibuat oleh beberapa Kalif untuk menyingkirkan mereka dari kantor-kantor umum. Keputusan-keputusan ini disahkan oleh Al Mutawakkil (547-861), Al Muqtadir (908-832), dan di Mesir oleh Al Amir (1101-1130), salah satu kalif dinasti Fatimid, dan oleh Sultan Mamluk di abad ke-14. Kondisi-kondisi menjengkelkan, adalah suatu eufemisme terhadap apa yang dialami oleh umat Kristen selama berabad-abad. Tidak ada yang namanya kesetaraan yang sesungguhnya, dalam masalah agama maupun sipil. Meninggalkan Islam adalah pengkhianatan, sementara meninggalkan Kristen untuk Islam mendatangkan hak-hak khusus, bahkan diberi pengampunan atas pelanggaran-pelanggaran di masa lampau. Dalam masalah sipil, umat Kristen bukan hanya harus membayar pajak khusus (jizyah), mereka juga menjadi sasaran berbagai ketidakadilan. Toleransi oleh para penguasa Islam selalu dikondisikan sebagai penerimaan non-Muslim atas status inferior mereka. (Dr Shedd, Islam and the Oriental Churches, pp. 131 and 134.)

Non-Muslim, menurut hukum, diwajibkan untuk mengikuti aturan berikut ini, yang diterapkan untuk tiap individu: 10 The Law Affecting Foreigners in Egypt as a Result of the Capitulations, oleh James Harry Scott (Edinburgh: William Green & Sons, 1908), pp.157-158.

“Tidak mendirikan gereja, biara atau bangunan keagamaan lainnya, atau membangun rumah setinggi, atau lebih tinggi dari rumah umat Islam; Tidak boleh mengendarai kuda, hanya bagal atau keledai, dan bahkan bila terkait tatakrama wanita [perempuan sekalipun, bila Kristen hanya boleh naik keledai]; Mundur, dan memberi jalan bagi Muslim di jalan-jalan utama; Mengenakan pakaian yang berbeda dari orang-orang Muslim, atau mengenakan beberapa atribut yang membedakan; Mengenakan tanda khusus di pemandian umum, seperti gelang besi, timah, atau tembaga; tidak minum anggur atau makan daging babi; Tidak merayakan hari raya keagamaan secara terbuka; tidak menyanyi atau membaca teks Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru dengan keras, dan tidak membunyikan bel; Tidak berbicara dengan nada menghina Allah atau Muhammad; Tidak memperkenalkan inovasi dalam negara, dan tidak memurtadkan Muslim; Tidak masuk mesjid tanpa ijin; Tidak menginjakkan kaki di wilayah Mekah, atau berdiam di distrik Hedjaz.” 11 Siraj-el-Muluk, Boulak Edition, 1289, p.229, bab: the Rules

Dalam Gibbon’s History of the Roman Empire (vol. V, p.493), peraturan ini didefinisikan sbb:

“Gereja-gereja jajahan di Timur telah menderita di setiap jaman oleh keserakahan dan kefanatikan para penguasa Islam mereka; Pembatasan secara hukum maupun biasa harus dibuat menyerang kebanggaan atau semangat umat Kristen. Sekitar 200 tahun setelah Muhammad, umat Kristen dibedakan dari sesamanya dengan sorban atau ikat pinggang dengan warna yang kurang terhormat; Sebagai pengganti kuda atau bagal, mereka diharuskan untuk mengendarai keledai, sebagai bentuk perlakuan sopan terhadap wanita; Bangunan-bangunan umum dan pribadi mereka diukur dengan standar yang sudah diturunkan; Di jalanan atau tempat pemandian, sudah menjadi kewajiban mereka untuk memberi jalan atau menunduk dihadapan Muslim terendah sekalipun; Dan kesaksian mereka ditolak bila ada kecenderungan merugikan orang beriman [Muslim]. Kemegahan prosesi, suara bel atau bermazmur dilarang dalam ibadah mereka; Memberikan penghormatan pada agama negara diharuskan menjadi bagian dari khotbah-khotbah atau pembicaraan mereka; Upaya melanggar kesucian dengan masuk mesjid atau membujuk seorang Muslim tidak akan lolos dari hukuman. Namun, dalam kebisuan dan ketidakadilan, umat Kristen memang tidak pernah dipaksa meninggalkan Injil atau memeluk Islam, tapi hukuman mati ditimpakan pada murtadin yang mengaku dan meninggalkan hukum Muhammad.”
Mengenai 'Tributaries" lihat juga catatan U.S.A. Consular Report, 1881, p.32. Di gunung Libanon, masih tersisa bukti hidup yang ingat saat dimana umat Kristen tidak ada yang berani masuk kota Syria bila mengenakan pakaian berwarna putih atau hijau, karena kafir hanya diperkenankan muncul dengan memakai pakaian dan perlengkapan berwarna gelap. Di Homs dan Hamah, bahkan hingga tahun 1874, saat saya berada disana, umat Kristen tidak boleh membunyikan bel diluar gereja mereka; Di Beirut, orang pertama yang meletakkan sebuah bel besar adalah para biarawan Capucine, dan segera setelah itu para misionaris Amerika di tahun 1830 menggantungkan sebuah bel gereja kecil di atas atap tempat ibadah mereka. Tahun 1876, kepala biarawan Fransiskus memasang sebuah LONCENG, sesuatu yang sampai saat itu belum terdengar, diatas sebuah gereja baru yang dibangun di kota ALEPPO, namun karena menimbulkan masalah di kalangan Muslim Herzegovinia dan Bosnia, dan hal tersebut tidak menyenangkan Muslim Aleppo, sejumlah utusan dari kalangan Kristen berpengaruh yang ada di Aleppo, memohon pada kepala biara untuk menurunkan lonceng, sambil mengatakan padanya bahwa lonceng itu mungkin menjadi penyebab serangan gencar terhadap semua umat Kristen di kota. Sang kepala biara dengan bijaknya menurunkan lonceng tersebut.”


Image
Gereja di ALEPPO yg didirikan thn 1873, sampai sekarang masih berdiri dibawah aturan Muslim yang ketat http://www.sacred-destinations.com/syri ... hedral.htm


-------------------------------------
SELINGAN ... Fast forward abad 21: http://www.asianews.it/news-en/Minya:-y ... 22227.html

Image
07/28/2011, EGYPT/Minya: wanita Koptik yg sedang HAMIL DISERANG MUSLIM gara2 lonceng gereja. SI penyerang keberatang atas lonceng baru dalam gereja Koptik setempat di desa Ezbet Jacob Bebawi, didekat kota Samalout. Massa Muslim bersenjatakan tongkat besi dan celurit menyerang sekelompok lelaki Koptik yang mencoba menyelamatkan wanita hamil yg sedang dipukuli oleh seorang lelaki Muslim. Pasukan keamanan meredakan keamanan dan 6 orang luka2. Anehnya, pasukan hanya menangkap pihak Kristen, malah suami wanita hamil yg dipukuli karena tuduhan 'menyandang senjata ilegal.' Menurut Fr Estephanos Shehata, "Alasan sebenarnya adalah bahwa lonceng gereja itu sangat membuat marah Muslim di desa tsb." Anehnya, mayoritas penduduk desa itu adalah Kristen dan sebelumnya tidak pernah ada konflik dgn Muslim setempat. Tetapi dengan masuknya para khotib baru, konflik mulai menjalar. Kristen kini mengkhawatirkan berlanjutnya serangan karena melihat Muslim semakin banyak mendatangi desa tsb. ---------------------------------------


Inilah hukum toleransi dalam Islam. Memang ada kalanya bahwa Muslim bersikap toleran terhadap kepercayaan lain dibandingkan sesama Kristen sejamannya, dan sejarah Kristen Eropa memilki lembaran kelam penganiayaan. Namun sebagaimana yang dikatakan Dr. Shedd, “Harus diingat pula bahwa apa yang dianggap kemajuan di abad ke-7 merupakan penghalang tanpa harapan di abad ke-20, dimana berbagai bentuk penganiayaan berkembang dengan sendirinya, sementara toleransi mandek, dan oleh sebab itu menjadi jauh lebih berbahaya. Argumen terkuat adalah argumen yang mengandung kebenaran, dan Islam secara sangat meyakinkan dikutuk oleh penilaian yang paling adil.” 12 Islam and the Oriental Churches, oleh William Ambrose Shedd (New York, 1908), pp.136-137.

Peraturan untuk minoritas Kristen yang diterapkan di Hedaya juga serupa: “Penting bagi Imam untuk membedakan antara Mussulman (Muslim) dan Zimmees (Dhimmis) baik dalam hal berpakaian maupun perlengkapan. Tidak diijinkan bagi Zimmees untuk menunggang kuda, mengenakan baju besi, menggunakan pelana atau pakaian yang sama atau tutup kepala seperti Mussulman; dan tertulis, di Jama Sageer, bahwa Zimmees harus diarahkan mengenakan Kisteel secara terbuka di bagian luar pakaian mereka (Kisteel adalah tali atau sabuk wol yang dikenakan Zimmees di pinggang mereka di sebelah luar baju); dan juga, mereka harus diarahkan, jika menunggang hewan, harus mempersiapkan pelana seperti panier untuk keledai……Harus ditegaskan bahwa tanda/lambang kedudukan yang harus mereka pakai adalah tali atau sabuk dari wol di pinggang, bukan ikat pinggang sutera. Diwajibkan, para istri Zimmees berada terpisah dari para istri Mussulmans, baik itu di jalanan umum, dan juga di pemandian; dan diwajibkan juga dipasang tanda di tempat tinggal mereka, agar pengemis-pengemis yang datang ke rumah mereka tidak mendoakan mereka. Kaum terpelajar Zimmees juga tidak diizinkan mengendarai apapun, kecuali dalam kasus-kasus yang mutlak penting; dan jika karena kasus tersebut Zimmees diizinkan mengendarai, ia harus turun setiap kali ia melihat Mussulman berkumpul; dan bila ia harus menggunakan pelana, harus dibuat seperti panniers untuk menunggang keledai. Zimmees yang berkedudukan lebih tinggi juga harus dilarang memakai pakaian-pakaian mahal.” 13 Hedaya, book ix, bab. viii: , 'Zimmees' adalah ucapan lain dari Dhimmis, sbg contoh. non-Moslems diizinkan tinggal di negara Muslim di bawah aturan-atutan jizyah."

Dan berikut ini adalah contoh toleransi masa modern (1867):

Ketika Dr. St. Clair Tisdall berada di Persia dekat Ishafan, ia memiliki seorang kenalan Muslim yang tinggal di desa tetangga. Orang Persia kenalannya ini berkata padanya: Waktu aku masih kecil, sekitar 50 tahun yang lalu, semua orang di kampungku, termasuk aku dan orangtuaku adalah penganut Zoroaster. Suatu hari, kepala Mujtahid kota Ishafan mengeluarkan dekrit yang memerintahkan kami untuk memeluk agama Islam. Kami mengajukan petisi pada Pangeran-Gubernur provinsi, menolak mengganti agama kami, dan kami menawarkan uang suap untuk untuk para pemuka Muslim dan ulama. Mereka mengambil uang kami, tapi tidak menolong kami sama sekali. Mujtahid memberi batas waktu hingga tengah hari, di Jumat berikutnya agar kami beralih agama, dan menyatakan yang tidak beralih ke Islam hingga batas waktu itu akan dihukum mati. Pagi di hari yang ditentukan, semua bajingan terendah dari kota sekitar desa kami, dengan membawa berbagai senjata mematikan di tangan mereka, menunggu jam dimana mereka diizinkan menjarah dan membunuh. Kami menunggu dengan sia-sia sampai hampir tengah hari, berharap musuh akan mengalah. Akhirnya, tepat sebelum tengah hari kami masuk Islam agar nyawa kami selamat.” 14 The Mizan 'u Haqq (Balance of Truth), oleh Rev. C. G. Pfander, D.D., p.366. Edisi revisi Tisdall, 1867. /

Apa yang disebut sebagai ‘Ordinances of Omar’ (Pakta/Traktat Umar/Omar) atau ‘Hak-hak Konstitusional’ minoritas non-Muslim, secara tradisional dikatakan sebagai perjanjian yang dibuat dan diterapkan oleh kota-kota Kristen yang tunduk pada penakluk Arab (seakan Kristen dgn suka rela merancangnya!). Namun, tak satupun dari sejarawan Islam awal menyatakan tentangnya, Sir William Muir meragukan otentisitasnya dan menganggapnya berisikan istilah-istilah menindas yang mencirikan masa-masa setelah rejim Omar. Isinya:

“Dengan nama Allah, yang maha pengasih, maha penyayang! Ini adalah tulisan dari umat Kristen dari kota ini dan itu kepada Omar ibnu-l Khattab. Bila kau menyerang kami, kami minta perlindungan bagi diri kami, keluarga kami, harta dan rekan seagama kami; Dan kami membuat persyaratan ini denganmu, bahwa kami tidak akan mendirikan di kota kami atau di pinggiran kota, biara, gereja, sel atau pertapaan; Bahwa kami tidak akan memperbaiki bangunan-bangunan semacam itu bila runtuh menjadi puing, atau memperbaiki yang sudah ada dan terletak di wilayah Muslim; Bahwa kami tidak akan menolak Muslim masuk ke dalam gereja kami, malam ataupun siang hari; Bahwa kami akan membuka lebar-lebar gerbang kami bagi para penumpang dan pengelana; Bahwa kami akan menerima setiap pengelana Muslim dalam rumah kami, serta memberinya makanan dan penginapan selama tiga malam; Bahwa kami tidak akan menampung mata-mata apapun di dalam gereja maupun rumah kami, atau menyembunyikan setiap musuh Islam; Bahwa kami tidak akan mengajarkan Quran pada anak-anak kami 15 Dianggap suatu kejahatan bila memegang, membaca atau mempelajari Quran bila belum menjadi Muslim. Aturan ini masih lazim diterapkan di Arab dan negara Islam lain.; Bahwa kami tidak akan memperlihatkan agama Kristen atau mengundang siapapun untuk memeluknya; Bahwa kami tidak akan melarang kerabat kami yang ingin masuk Islam. Bahwa kami akan menghormati Muslim dan memberikan tempat terhormat dalam pertemuan kami bila mereka ingin hadir; Bahwa kami tidak akan meniru mereka dalam cara berpakaian, baik itu topi, turban, sandal, atau gaya rambut; Bahwa kami tidak akan meniru cara bicara, atau menggunakan nama keluarga mereka; Bahwa kami tidak akan menunggang dengan pelana, atau menggunakan pedang, atau memiliki dan memakai senjata, atau mengukir huruf Arab pada cincin kami; Bahwa kami tidak akan menjual anggur; bahwa kami tidak akan mencukur bagian depan kepala kami; Bahwa kami akan mempertahankan gaya busana kami, dimanapun kami berada; Bahwa kami tidak akan memakai korset di pinggang; Bahwa kami tidak akan memasang salib di atas gereja kami atau menampilkan salib atau buku suci kami di jalanan Muslim atau di tempat-tempat belanja mereka; Bahwa kami tidak akan mengambil budak apapun yang dalam kepemilikan Muslim, atau memata-matai rumah mereka; Dan bahwa kami tidak akan menyerang Muslim manapun. Semua ini kami berjanji untuk dilaksanakan, atas nama diri kami sendiri dan rekan seagama kami, dan memperoleh perlindungan darimu sebagai gantinya; dan jika kami melanggar apapun dari perjanjian ini, maka kami kehilangan perlindunganmu dan kau bebasa memperlakukan kami sebagai musuh dan pemberontak.”

16 The Constitution of 'Omar. dari Arnold's Preaching of Islam, p. 59. Bandingkan juga The Book of Religion and Empire, oleh Ali Tabari (A.D. 847-865), diterjemahkan oleh A. Mingana (Manchester University, 1923). Buku ini ditulis oleh seorang yang keluar dari Kristen, dan ditulis saat toleransi agama berubah menjadi penganiayaan di mahkamah Kalif, yang dijuluki ‘Pembenci Kristen.’ Penulis sendiri memeluk Islam untuk menghindar dari peraturan semacam itu, yang diterapkan atasannya yang ‘melarang mempekerjakan umat Kristen di kantor-kantor pemerintahan dan menampilkan salib di Minggu Palem; Ia juga memerintahkan patung setan dari kayu dipakukan di pintu-pintu mereka, bahwa mereka harus mengenakan tudung kepala kuning, ikat pinggang zonarion, bahwa mereka harus mengenakan pelana dengan sanggurdi kayu dengan dua bola di belakang pelana, bahwa pakaian mereka harus menyertakan sepasang kain tambalan dengan warna yang berbeda dari pakaian yang mereka kenakan, tiap tambalan lebarnya 4 inch, dan kedua tambalan itu juga memiliki warna yang berbeda.

Bukti-bukti mengenai kondisi dimana umat Kristen hidup sepanjang abad-abad ini diperlihatkan oleh fatwa-fatwa atau keputusan agama yang dikeluarkan berkaitan dengan penunjukan non-muslim di setiap kantor di negara Islam. Non-muslim selalu dianggap sebagai dhimmi, yi, orang yang hak-haknya dilindungi oleh pembayaran upeti. Teks dokumen semacam itu yang memperlihatkan hubungan antara umat Islam dengan minoritas, diberikan oleh Goldziher (17 Revue des Etudes Juives. vol. xxviii, p.75.) dan juga Belin (18 S Journal Asiatique. 1851, p.431). Fatwa yang lebih terkini, ditemukan oleh Richard Gottheil di perpustakaan Yerusalem. Manuskrip tersebut kemungkinan berasal dari abad ke-12. Menjawab pertanyaan apakah orang Kristen atau Yahudi dapat ditunjuk sebagai jurutulis resmi, pengumpul pajak, dan sebagainya. Difatwakan: “Menempatkan seorang kafir memegang otoritas atas Muslim, tidak akan pernah terpikirkan oleh seseorang yang memiliki ‘Detak Jantung.’ Yang melakukannya pastilah ia orang yang tak bertuhan atau yang **** dalam hukum dan praktek Islam.” Ulama tersebut mencoba membuktikan bahwa seorang dhimmi bahkan tidak layak dipekerjakan sebagai jurutulis, penukar uang atau tukang daging, dsbnya, dengan mengutip ayat-ayat dari Quran, dari tradisi-tradisi para sahabat dan pengikut, dan dari para ulama terdahulu. Ayat Quran yang dikutip adalah Q4:143,140; Q5:56, 62. Dari hadist, dikisahkan bagaimana Muhammad menolak bantuan kafir sampai ia mengakui dan masuk Islam. Salah satu hadist yang dikutip, “Jangan mendapatkan cahaya dari api penyembah berhala,” dengan penjelasan “Jangan berkonsultasi dengan mereka mengenai apapun,” yang dikutip untuk mendukung Q3:114. Dikisahkan mengenai Abu Bakr yang memerintahkan pengikutnya untuk tidak berurusan dengan para penyembah berhala yang sudah masuk Islam, tapi kembali menjadi penyembah berhala.” 19 Feseschrift Ignas Goldziher, von Carl Bezold (Strassburg. 1911), pp.206 and 207.

Sejarah gereja Koptik di Mesir dan gereja Nestorian di Persia menjadi saksi fasih tentang semangat martir dari gereja-gereja ini. Di Persia, perempuan-perempuan Kristen dicambuk seribu kali dengan cambuk dari tali kulit banteng untuk membuat mereka murtad (dari agama Zoroastrian), namun mereka tetap bertahan. Di Mesir, Kristen Koptik ditoleransi di bawah pemerintahan Islam, namun toleransi yang dimaksud adalah serangkaian penganiayaan mengerikan yang panjang dan memuakkan. Seperti yang dikatakan Fortescue: “Selama masa ini, sejumlah besar orang mualaf. Hal ini tidak mengejutkan. Selama pembantaian umum umat Kristen, sangat mudah untuk lolos dari siksaan dan kematian dengan mengakui Islam. Jika kembali, kematian menunggu. Yang luarbiasa, dengan semua itu, Kristen Koptik tetap memelihara imannya selama abad-abad mengerikan ini.” 20 The Lesser Eastern Churches, oleh Adrian Fortescue, p.94.

Sepanjang periode pemerintahan Islam, dengan beberapa jeda singkat di bawah gubernur tertentu, ada sejumlah kasus konstan pembantaian Kristen dan perampokan besar-besaran harta benda Kristen Koptik. Selama periode ini, sejumlah besar memeluk Islam untuk menghidari pembantaian; dan karena hukumannya mati bila berbalik ke Kristen. Dan hanya sedikit punya keberanian kembali ke Kristen, maka jumlah Kristen Koptik berkurang dengan pasti. 21 Persisnya kondisi seperti apa yang terjadi di abad ke-19, dijelaskan oleh Kuriakos Mikhail dalam bukunya, Copts and Moslems under British Control (London, 1911).

“Tahun 1389, suatu prosesi besar Kristen Koptik yang masuk Islam di bawah tekanan rasa takut akan kematian, berbaris di jalanan Kairo. Seraya bertobat menyesali perbuatannya, mereka sekarang ingin menebusnya dengan konsekuensi tak terelakkan (mati) bila kembali ke Kristen. Saat berbaris, mereka menyatakan bahwa mereka percaya pada Kristus dan menolak Muhammad. Merekapun ditangkap, dan semua kaum pria dipenggal satu demi satu di lapangan terbuka di hadapan kaum wanita. Namun hal ini tidak membuat gentar para wanita; dan mereka juga, semuanya menjadi martir.” 22 The Lesser Eastern Churches, oleh Adrian Fortescue, p.247


Image
Tangis kaum Koptik dari jaman ke jaman http://www.asianews.it/news-en/Truth-an ... 22911.html
Last edited by anne on Fri Jan 27, 2012 11:04 pm, edited 1 time in total.
anne
Posts: 502
Joined: Wed Sep 21, 2011 9:52 pm

Re: Zwemer: Mengapa Murtadin Jarang Ada

Post by anne »

Kisah kemartiran SAN GERONIMO, seorang pembelot Calabria (Spanyol), layak mendapat perhatian, sebagian karena merupakan contoh khas bagaimana metode kuno Aljazair diterapkan terhadap murtadin, sebagian lagi karena sekuel dramatisnya.

Kejadiannya sekitar 1536 A.D. Spanyol menyerang suku-suku Arab yang bermasalah dan para tahanan Arab dibawa ke Oran/Aljazair, yang ketika itu merupakan wilayah Katolik/Spanyol. Diantara para tahanan Arab terdapat seorang anak lelaki berusia sekitar empat tahun. Bersama dengan tahanan lain ia dijual sebagai budak. Ia dibeli oleh Gubernur-Jendral, Juan Caro, dibesarkan sebagai seorang Kristen dan dibaptis dengan nama Geronimo. Sewaktu merebak wabah di tahun 1542 A.D., Geronimo melarikan diri, kembali ke tempat asalnya, dan selama beberapa tahun hidup sebagai Muslim. Bulan Mei 1559 A.D., di usia 25 tahun, ia memutuskan untuk meninggalkan kampung halamannya, kembali ke Oran dan sekali lagi memeluk agama Kristen. Ia diterima oleh majikan lamanya, Juan Caro, menikah dengan gadis Arab yang juga Kristen, dan terdaftar di salah satu skuadron bernama ‘Cuadrillas de Campo.’

Mei 1569, ia dikirim dari Oran dengan sembilan sahabat untuk berekspedisi kesebuah desa (Douar) di tepi pantai. Tapi ia kemudian ditawan awak kapal layar Tetuan/Arab, dan dibawa ke Aljazair, untuk sekali lagi dijual sebagai budak. Sewaktu para budak dibariskan, sang Ali Pasha punya hak memilih satu dari sepuluh budak untuk dirinya sendiri, demikianlah—Geronimo beralih ke tangan Pasha Ali. Semua usaha dilakukan agar ia sekali lagi menyangkal iman Kristennya dan kembali ke Islam. Namun sia-sia. Pasha kemudian terlibat dalam pembangunan benteng Burj-Setti-Takelilt (dikemudian hari, untuk alasan yang tak diketahui dinamai ‘Le Fort des Vingt-Quatre Heures’) untuk melindungi gerbang masuk pantai, Bab-el-Oued, Aljazair. Tanggal 18 September 1659 A.D., Geronimo dikirim kesana dan diberi pilihan: menyangkal iman Kristen atau dikubur hidup-hidup di salah satu kotak dimana tiang beton sedang dibangun untuk konstruksi benteng.

Namun keimanan Geronimo tidak tergoyahkan. Rantai kemudian dilepaskan dari kakinya, diikat tangan dan kakinya, dan dilempar ke dalam liang beton. Tamango, seorang pembelot Spanyol yang kemudian memeluk Islam dengan nama Jaffar, melompat ke atas tubuhnya, dan dengan godam/palu besarnya, memukul Geronimo masuk dalam adukan beton. Tiang kemudian dibangun di dinding utara benteng tersebut, namun posisinya dicatat dan diingat oleh ‘Michael dari Navarre,’ seorang tukang batu ahli beragama Kristen, yang membuat adukan beton. Fakta-fakta tersebut dikumpulkan oleh Don Diego deHaedo, dan dicetak dalam karyanya ‘Topography of Algiers.’

Image
http://en.wikipedia.org/wiki/Ketchaoua_Mosque
Katedral St Philipe yg setelah Aljazair dihancurkan dan dibantai Muslim dijadikan mesjid. Disitu terletak monumen kuburan Geronimo. Tapi pihak pemandu turis di mesjid tsb tidak menyebutnya pada milis mereka. Lihat:http://www.algeria.com/religious-sites/ ... ua-mosque/
Memalukan memang kalau turis tahu bahwa mesjid itu sebenarnya merupakan tepat kuburan seorang murtad dari Islam! Sementara itu, Spanyol mengabadikan nama sang martir, San Geronimo, sbg nama sebuah kawasan di Spanyol: http://es.wikipedia.org/wiki/Municipio_ ... e_Guayabal

Tahun 1853, Perancis merasa perlu untuk meruntuhkan benteng tersebut. Tepat jam 12.30, tanggal 27 Desember tahun itu, ledakan tambang menghancurkan salah satu tiang beton dan menyingkapkan tulang belulang Geronimo, yang tergeletak di makam anehnya selama hampir tiga ratus tahun. Pecahan tiang yang berisikan tulang-tulang tersebut ditempatkan di katedral, namun karena relik tersebut tidak menghasilkan mukjizat, gelar santo untuk Geronimo tidak diberikan. Tercantum di batu nisannya, ‘Ossa venerabilis servi Dei Geronimi,’ (Tulang belulang Geronimo, hamba Tuhan yang dimuliakan). (Gelar Santo baru diberikan belakangan)

Sebuah gips yang diambil dari rongga menunjukkan lengan Geronimo masih terikat, namun perjuangan mengerikan sebelum mati lemas telah membuat ikatan kakinya terlepas (lihat gambar depan di dokumen pdf buku ini di bagian atas post ini). 23 Cf. Cyril Fletcher Grant's Studies in North Africa (London, 1912) pp.239-240.A. Berbrugger's Geronimo, le Martyr du Fort des Vingt-Quatre Heures a Alger (Algiers, 1859).

Tragedi2 macam ini sering yang terekam di dinding2 katedral di sepanjang Timur Dekat; banyak gereja telah diubah menjadi mesjid, dan mosaik-mosaik berharga yang pernah menceritakan kisah-kisah Injil sekarang diplester, ditimpa dengan tulisan-tulisan Islam. Semua reruntuhan ini menjadi saksi bisu yang fasih akan abad-abad penganiayaan terhadap minoritas Kristen. Ambil contoh, katedral Famagusta, lambang kemegahan kerajaan Venesia dan salah satu kota terindah di Cyprus.

Image
St. Nicholas' the Cathedral of Famagusta: (right) façade with the minaret added by Lala Mustafa Pacha; (right) apse http://romeartlover.tripod.com/Cipro2.html

Ketika Turki mengepung kota tersebut tahun 1571, BRAGGADINO, jendral Kristen Venesia yang berani, bertahan habis-habisan. Akhirnya, dengan syarat-syarat perjanjian terhormat ia menyerah pada Mustapha Pasha, komandan Turki. Tetapi, Turki melanggar perjanjian tsb dan sejumlah besar pejuang yang selamat, dibantai .“Menurut sejarawan Marcantino, Braggadino diharuskan menyaksikan pembunuhan atas perwira-perwira utamanya ‘dan berkali-kali menanggung kepedihan kematian mereka sebelum akhirnya ia sendiri tewas.’ Dua hingga tiga kali Mustapha membuat Braggadino, yang sama sekali tidak memperlihatkan rasa takut, merentangkan lehernya seolah akan memancungnya, namun membiarkannya hidup dan menebas telinga dan hidungnya, dan saat ia terbaring di tanah, Mustapha mencacinya, mengutuk Tuhan kita dengan mengatakan: ‘Dimana sekarang Kristusmu, mengapa Ia tidak menolongmu?’ Sang Jendral tidak menjawab, namun dengan kesabaran tinggi menunggu akhir.”

“Dua belas hari setelah itu, pada hari Jumat, Braggadino digiring, penuh dengan luka yang tidak mendapat perawatan, ke hadapan Mustapha, untuk melakukan kerja paksa pertahanan kota, dan dengan segala kelemahannya dipaksa membawa sekeranjang tanah naik dan turun di tiap kubu, dan dipaksa mencium tanah ketika melintas di depan Mustapha. Kemudian ia digiring ke pantai, digeletakkan di bangku tanpa sandaran, diberi sebuah mahkota di kakinya, dan digantung di halaman Kapten Rhodes, menggelantung seperti bangau di bawah tatapan semua prajurit Kristen di pelabuhan. Kemudian, pria terhormat ini digiring ke lapangan. Genderang ditabuh, terompet-terompet berbunyi….dan dihadapan kerumunan besar orang-orang, mereka menelanjanginya dan menjadikannya bahan hinaan dengan menempatkannya di papan pasungan.


Image
http://en.wikipedia.org/wiki/Marco_Antonio_Bragadin

Kemudian mereka menariknya ke tanah dan dengan brutal mengulitinya hidup-hidup……..Dengan keberanian luarbiasa, tokoh menakjubkan ini menanggung semuanya dengan penuh ketabahan …..tak pernah kehilangan keberaniannya, namun dengan keteguhan tak tergoyahkan, mencela mereka karena iman mereka yang rusak, dan dengan tidak menunjukkan keraguan sedikitpun ia memuji, menyerahkan dirinya pada Juruselamatnya, dan ketika besi baja mencapai pusarnya….ia menyerahkan….jiwanya pada Penciptanya.”

“Kulit sang martir kemudian diisi dengan jerami dan diarak di jalan-jalan di atas punggung sapi, sementara payung merah yang biasa digunakan Braggadino berkuda semasa masih memegang jabatan kenegaraannya, dipakai untuk memperolok-olokkannya. Akhirnya kulit berisi jerami tersebut dikirim ke Constantinopel sebagai sebuah piala. Dalam perjalanan, objek pemandangan yang mengerikan tersebut digantung di kapal dan setelahnya, diarak di wilayah kekuasaan Turki sebagai sebuah tontonan.''
24 "A Tragedy in Stone," dalam The Near East, 11 October, 1923.

Namun, di bawah Turki Ottoman (1517-1882) kondisi komunitas Kristen menjadi agak lebih baik, dan mereka berkembang sejauh yang dimungkinkan dibawah sebuah pemerintahan Islam. Tetapi, pendapat bahwa pemerintahan Islam memerintah dengan pedang, bukan hanya JELAS bagi yang mempelajari sejarah kaum minoritas, Yahudi dan Kristen, di jaman kekaisaran Ottoman, tapi juga terlihat dalam inskripsi-inskripsi yang tertera di pedang-pedang kerajaan di sepanjang periode ini. Di museum Kairo, terdapat banyak specimen pedang yang indah. Salah satu diantaranya (No.3595) berasal dari abad ke-16, setelah gelar kehormatan, tertera inskripsi berikut: “Abu Nasr Tuoman Bey, Bapa kaum miskin Islam; Pembantai kaum kafir dan pagan; Penegak keadilan dunia!” Pedang lain, yang berasal dari abad ke-18, milik suatu dinasti Turki, memiliki inskripsi dengan referensi serupa, yakni dipakai untuk membantai kafir. Di seluruh dunia Islam, kecuali di negeri seperti Cina dimana Islam tidak melakukan penaklukan dengan pedang, pedang kayu digenggam oleh setiap khotib saat solat Jumat di mesjid-mesjid. Ini adalah lambang khas Islam. Simbol nyata hukum ridda yang tidak pernah diabrogasi bagi murtadin dan bagi kafir di sepanjang sejarah negara islam kecuali di bawah Akbar di India.

Image
http://www.qantara-med.org/qantara4/pub ... do_id=1376

Kita sering diyakinkan para ahli Islam bahwa umat Kristen dan Yahudi dibawah Turki Ottoman diperlakukan dengan toleran dan minoritas hidup dalam damai dengan tetangga Muslim. Namun, perlakuan terhadap mereka yang meninggal membuktikan sebaliknya. Berikut bukti dokumen historis dari sumber yang otoritatif:

“Dalam apa yang tanpa keraguan Turki anggap sebagai masa-masa bahagia abad lampau, warga non-Muslim merupakan sasaran bagi Sultan untuk mendapat perlakuan kurang hormat dari umat Islam sepanjang hidup mereka; dan ketika akhirnya mereka dengan malang—atau justru beruntung! meninggal dunia, cemoohan dari Muslim masih terus mengejar mereka. Bila non-Muslim meninggal dunia, mereka perlu mendapat izin/otorisasi khusus untuk dikuburkan di tanah Turki; dan izin ini harus didapat oleh Gereja, atau kepala agama dimana ia menjadi jemaatnya. Jangan dikira izin tersebut ditulis dengan kata-kata yang bebas dari celaan, justru kenyataannya, perwakilan dari Padishah kelihatannya telah berusaha sebisanya menjadikan diri mereka sebrutal/sekasar mungkin. Di bawah ini kami berikan contoh, yang diterjemahkan dari bahasa Turki, tiga buah surat yang dikeluarkan pihak yang berwenang masa itu, berisikan persetujuan untuk penguburan seorang Kristen Orthodoks, seorang Armenia, dan seorang Yahudi. Surat-surat ini ditemukan oleh seorang koresponden, diantara berbagai souvenir berharga milik sebuah keluarga Konstantinopel kuno. Mengandung ekspresi yang sangat tidak pantas; namun kami mereproduksinya, agar para pembaca kami dapat menilai secara tepat spirit apa yang menjiwai dan menggerakkan para ‘Pengusung Kebesaran Usmani’ di masa-masa itu, yang tidak diragukan lagi bertanggungjawab atas kebencian yang dirasakan terhadapnya dari orang-orang yang dulu berada di bawah pemerintahannya.”

“Setelah diteliti kemudian, ternyata tanggal pada Surat Otoritas untuk Imam Armenia hilang, namun koresponden kami menginformasikan bahwa kemungkinan surat tersebut ditulis di saat yang sama dengan kedua surat lain, atau dalam kalender Turki, diantara tahun 1223-1239 (1808-1824A.D.)”

Berikut terjemahan ketiga surat tersebut:
1
“Kepada Imam Yunani. ---- Wahai Engkau, yang jubahnya sehitam iblis, dan yang bajunya sewarna ter, biarawan menjijikkan, imam gendut, kotor dan licik, yang kehilangan kasih karunia Yesus Kristus Kudus, perhatikanlah:

“Izin telah diberikan untuk menggali sebuah kuburan dan melempar ke dalamnya daging busuk menjijikkan (yang bahkan bumipun menghindar) dari kafir Constantin, yang berasal dari ras-mu dan baru saja meninggal.—21 Chaban 1223.”
2
“Kepada Imam Armenia. ---- Engkau yang mengenakan mahkota iblis, yang mengenakan pakaian sewarna ter, imam gendut, licik dan kotor, dan kehilangan pengampunan ilahi, inilah hasil pembicaraan kita:

“Kafir Kirkor, yang berasal dari kawanan menjijikkan yang merupakan bagian ras kotor-mu, baru saja meninggal. Benar bahwa bumi tak berkenan memiliki bangkai babi ini; tetapi untuk mencegah bau busuknya menginfeksi wilayah Mussulman [Muslim], Aku perintahkan engkau menggali sebuah kuburan dengan segera, untuk melemparnya ke dalam, dan meruntuhkan tanpa berhenti, tanah yang harus kau pakai menutup lubang babi terkutuk ini.”
3
“Kepada kaum Yahudi. ---- Wahai Engkai, Rabbi dari bangsa pengkhianat, yang menyangkal kedatangan Yesus Kristus, dan tidak mengenali Musa Kudus, perhatikanlah:

“Salah satu dari kawanan beban komunitas-mu yang didirikan di Salonika, baru saja menyerahkan jiwanya kepada iblis kejam, dan dengan demikian jatuh ke dalam api neraka. Chery yang terhormat memberi wewenang padamu, Rabbi penghianat, untuk menemukan, di suatu tempat, sebuah tempat buang kotoran, yang akan kamu isi dengan melempar bangkai busuknya ke dalam.—15 Redjeb, 1239.”
25 " Korespondensi dari Turki, dalam The Near East, Nov. 24th, 1921.


Begitulah bentuk penghargaan terhadap minoritas, yang hidup maupun sudah meninggal, oleh pemerintahan Islam di awal abad ke-19!

Seberapa jauh penganiayaan, deportasi dan pembantaian terhadap orang Armenia oleh pemerintahan Islam diakibatkan oleh adanya semangat Jihad, mungkin diperdebatkan 26 Hal ini tidak diperdebatkan lagi oleh banyak orang yang mempelajari sejarah Islam spt Cf. Schulthess, Die Machtmittel des Islams (Zurich, 1923). Namun, semua yang membaca dokumen resmi mengenai perlakuan terhadap orang Armenia di bawah kekaisaran Ottoman, akan sampai pada kesimpulan yang sama dengan Viscount Bryce, dalam kata pengantar The British Blue Book:

Image
http://www.gomidas.org/books/bryce.htm

Pembantaian dalam skala besar dan kekejaman tak kenal ampun yang menyertai deportasi, membuat para pembaca membuang keraguan akan otentisitas dalam cerita tersebut. Dapatkah manusia (manusiakah ini?) melakukan kejahatan seperti itu terhadap wanita dan anak-anak yang tak berdosa? Namun, dengan mengingat kembali pembantaian-pembantaian sebelumnya, memperlihatkan bahwa kejahatan seperti itu merupakan bagian dari kebijakan yang sudah diberlakukan sejak lama dan sering diulang kembali oleh para penguasa Turki. Di Pulau Chios, hampir seabad lalu, orang Turki membantai hampir seluruh populasi Yunani di pulau tersebut. Di Turki bagian Eropa, tahun 1876, ribuan orang Bulgaria dibunuh karena kecurigaan yang bertumbuh; dan kebiadaban terhadap wanita, dalam skala kecil, memang seburuk yang tercatat di buku ini. Tahun 1895 dan 1896, lebih dari seratus ribu Kristen Armenia dibunuh oleh Abd-ul-Hamid, ribuan diantaranya memilih meninggal sebagai martir bagi iman Kristiani mereka, dan menolak Islam, sesuatu yang dapat membuat mereka tetap hidup. Semua pembantaian ini tidak hanya tercatat dalam Press records fakta sejarah terkini, tapi juga dalam laporan diplomatik dan konsuler resmi tertulis milik pemerintah Inggris di masa itu. Peristiwa tersebut seterang dan sejelas peristiwa lain di masa kini. Sebab itulah, tidak ada celah ketidakmungkinan intoleransi dan penganiayaan semacam itu tidak terjadi di masa lampau. Semua yang terjadi di tahun 1915 merupakan bagian dari sejarah garis kebijakan Turki. Perbedaannya hanya pada skala tindak kejahatannya, dan pada fakta bahwa penderitaan tak berujung deportasi, mengakibatkan kematian yang sama banyaknya dengan pembantaian, termasuk kekerasan khusus terhadap wanita dalam peristiwa akhir-akhir ini. Catatan sejarah penguasa Turki selama dua atau tiga abad terakhir, sejak Sultan memegang tampuk kekuasaan hingga ke peristiwa distrik Mutassarif, secara keseluruhan merupakan rangkaian sejarah tak terputus dari tindak korupsi, ketidakadilan serta penindasan yang seringkali meningkat menjadi kekejaman mengerikan. The Young Turks (Gerakan Pembaharu Turki), ketika menggulingkan Abd-ul-Hamid, tampil sebagai agen kebebasan yang menjamin persamaan hak dan perlakuan terhadap semua warga Ottoman. Fakta-fakta yang tercatat di buku ini memperlihatkan bagaimana janji itu TIDAK ditepati. Dapatkah orang terus berharap kejahatan dari pemerintahan semacam itu dapat disembuhkan? Ataukah bukti-bukti yang tercatat di buku ini justru semakin memperkuat bukti mengerikan tersebut,yi, sama sekali tidak diperbolehkan untuk memiliki keyakinan yang berbeda?” 27 The Treatment of Armenians in the Ottoman Empire, 1915-1916. Dokumen yang diprentasikan pada viscount Grey dari Falloden, oleh viscount Bryce.I

Pembantaian Armenia merupakan aib abad ke-19, yang tidak kalah dengan yang terjadi di abad ke-20. Setiap seperempat abad, ditandai dengan penjagalan keji oleh Islam. Tahun 1822, 50 ribu Kristen tak berdaya dibunuh di Pulau Chios. Tahun 1850, 10 ribu Nestorian dibantai di pegunungan Kurdish. Tahun 1860, sebelas ribu Maronite dan Syria dibunuh di Libanon dan Damascus. Tahun 1876, diikuti dengan kekejaman Bulgaria, dimana Konsul-Jendral Amerika memperkirakan jumlah orang Bulgaria yang dibunuh Turki sedikitnya berjumlah 15 ribu orang. Tahun 1892, terjadi pembantaian Yezidees di Mosul; dan ada pembantaian lan tahun 1867 dan 1877 terhadap penduduk Armenia dan Kreta. Tahun 1894, fanatisme dan intoleransi pecah lagi. Pertama pecah di Sassoun, dimana 10 ribu orang Armenia dibunuh. Ada sebelas pembantaian di tahun 1895, dan peristiwa pembunuhan di Sassoun terulang dimana-mana. “Di Birejik, tentara menemukan sekitar 20 orang pria, wanita dan anak-anak yang berlindung dalam sebuah gua. Mereka diseret keluar dan semuanya dibunuh karena tidak mau masuk Islam. Setelah memotong bagian tubuh seorang pria tua yang menolak masuk Islam, mereka meletakkan bara menyala di atas tubuhnya, dan saat ia menggeliat kesakitan, mereka membuka Alkitab di depannya dan dengan mengejek, memintanya membaca beberapa janji yang ia percayai.”

The British Blue Book (1896), merupakan suatu bab kengerian; suatu gambaran kekejian mengenai pemerkosaan, penjarahan dan pembantaian. Bagi mereka yang skeptis apakah Islam disebarkan dengan pedang, tidak sulit untuk mempelajari sejarah pembantaian Armenia untuk melihat bagaimana spirit intoleransi dan kebencian terhadap kafir; serta bagaimana hukum Islam yang memerintahkan pengikutnya untuk mempermalukan orang-orang Kristen, masih berlaku.

Sebagai jawaban terhadap mereka yang menentang semua bukti dan mengatakan pembantaian Armenia semata-mata karena alasan politis dan bukan kebencian agama, dengar apa yang Dr. Johannes Lepsius katakan dalam laporannya mengenai pembantaian 1914-1918 tersebut: 28 Dikutip di Armenia: A Martyr Nation, p.269. dari karya asli Dr. Johannes Lepsius, Deutschland und Armenien, 1914-1918. Sammlung

“Lantas, apakah pembantaian Armenia itu? Tanpa keraguan, asal mulanya adalah politik; atau untuk menyatakannya lebih tepat, suatu tindakan administratif. Namun fakta-fakta selanjutnya membuktikan bahwa karakter orang-orang Islam, yang hasrat politik terdalamnya hanya bangkit karena motif agama, tindakan administratif ini pasti dan telah mengambil suatu bentuk penganiayaan agama pada skala yang amat besar. Apakah kemudian kita dilarang bicara tentang pembantaian Armenia semata-mata karena kepercayaan mereka? Jika demikian, maka tidak pernah ada yang namanya penganiayaan atas nama agama di dunia; karena semuanya, tanpa kecuali dihubungkan dengan gerakan politik, dan bahkan kematian Kristus bukanlah apa-apa, hanya peristiwa politik, karena motif politik telah membalik peristiwa penyalibanNya.

“Kami memiliki daftar: 559 desa dimana sisa penghuninya yang masih hidup, masuk Islam karena api dan pedang; 568 gereja yang secara keseluruhan dijarah, dihancurkan dan diratakan dengan tanah; 282 gereja Kristen yang dialih fungsi jadi mesjid; 21 pengkhotbah Protestan dan 170 imam Gregorian (Armenia) yang setelah mengalami siksaan yang tak terkatakan, dibunuh karena menolak masuk Islam. Bagaimanapun, kami ulangi, angka-angka tersebut hanya mengungkapkan jangkauan informasi kami (hanya puncak gunung es), belum mencakup semua realitas. Apakah ini suatu penganiayaan agama atau bukan?.....

Image
http://indonesia.faithfreedom.org/forum ... 71m-t2681/

Image

Image

Image
User avatar
AkuAdalahAink
Posts: 1083
Joined: Thu Mar 11, 2010 9:44 pm
Contact:

Re: Zwemer: Mengapa Murtadin Jarang Ada

Post by AkuAdalahAink »

anne... Ai Lep Yu :heart: :heart: :heart: =D> =D> =D> :supz: :supz: :supz:
User avatar
tukang ojek
Posts: 1527
Joined: Sun Sep 18, 2011 2:39 am
Location: Di hati kaum muslimin dan muslimah :)

Re: Zwemer: Mengapa Murtadin Jarang Ada

Post by tukang ojek »

@anne...
anne...terima kasih banyak atas terjemahnnya ya....
Semoga segala kebaikan yang telah ada pada dirimu akan selalu dan senantiasa terus tumbuh dan bertambah.
Selalu sehat selamat murah rejeki dan semakin indah.

Terima kasih...
User avatar
keeamad
Posts: 6954
Joined: Tue Aug 23, 2011 4:06 pm

Re: Zwemer: Mengapa Murtadin Jarang Ada

Post by keeamad »

kesimpulannya,
islam adalah kesesatan yang nyata ....
anne
Posts: 502
Joined: Wed Sep 21, 2011 9:52 pm

Re: Zwemer: Mengapa Murtadin Jarang Ada

Post by anne »

AkuAdalahAink wrote:
anne... Ai Lep Yu :heart: :heart: :heart: =D> =D> =D> :supz: :supz: :supz:
I love you, too, mbah :heart:

@tukang ojek

terimakasih ya bro O:) cocoknya sih untuk om Ali5196
User avatar
AkuAdalahAink
Posts: 1083
Joined: Thu Mar 11, 2010 9:44 pm
Contact:

Re: Zwemer: Mengapa Murtadin Jarang Ada

Post by AkuAdalahAink »

AkuAdalahAink wrote:
anne... Ai Lep Yu :heart: :heart: :heart: =D> =D> =D> :supz: :supz: :supz:
anne wrote: I love you, too, mbah :heart:
koq mbah sih ??? aku kan sebentar lagi memasuki usia laik nikah sama anak perempuan 6 tahun sis !!! :finga:
User avatar
AkuAdalahAink
Posts: 1083
Joined: Thu Mar 11, 2010 9:44 pm
Contact:

Re: Zwemer: Mengapa Murtadin Jarang Ada

Post by AkuAdalahAink »

anne wrote: terimakasih ya bro O:) cocoknya sih untuk om Ali5196
kalau ke si engkon nyang itu mah kite-kite ude ngucapin "WO AI NI" ATUH !!! \:D/
User avatar
Bigman
Posts: 3186
Joined: Sat Jan 03, 2009 8:19 pm
Contact:

Re: Zwemer: Mengapa Murtadin Jarang Ada

Post by Bigman »

AkuAdalahAink wrote:koq mbah sih ??? aku kan sebentar lagi memasuki usia laik nikah sama anak perempuan 6 tahun sis !!! :finga:
Sis anne AAA, maseh muda perkaza.....! :finga:
Liat avatarnya dunk...! :lol:

Trim's Anne cape lelahnya....... =D>
User avatar
Lo-Sheker
Posts: 1106
Joined: Tue Oct 04, 2011 12:15 am
Location: Yerusalem Baru

Re: Zwemer: Mengapa Murtadin Jarang Ada

Post by Lo-Sheker »

Nandain trit..
Lanjut mbak Anne... Thank's buat bang Ali dan mbak Anne.

Salam Hikmat.
anne
Posts: 502
Joined: Wed Sep 21, 2011 9:52 pm

Post by anne »

JIHAD

Image
Damainya Islam: Pembunuhan kaum Koptik oleh militer Mesir di Maspero-2011 http://www.wenatcheeworld.com/photos/2011/oct/10/96125/

Keseluruhan doktrin jihad, atau perang agama dalam Islam, menunjukkan semangat intoleransi, yang walaupun disangkal oleh penulis-penulis Islam modern, merupakan jantung ajaran Islam. Diantara para apologis modern, jihad dianggap sebagai perang untuk membela/mempertahankan Islam. Kesalahan ini telah ditunjukkan secara meyakinkan. Professor D.B. Macdonald mengatakan bahwa Islam harus dirombak sepenuhnya sebelum doktrin ini dapat dihilangkan. (Lihat artikel ‘Djihad’ dalam Encyclopedia of Islam). Ayat yang sering dikutip untuk membuktikan betapa tolerannya Islam, ‘Janganlah ada paksaan dalam agama,’ yang sudah ada terlebih dulu dibatalkan oleh ayat Pedang. Dan perintah dalam Q2:186-7 untuk berperang melawan mereka yang memerangi, tapi tidak melanggar dengan menyerang terlebih dulu, menurut Zamakhshari dan lainnya, dibatalkan oleh perintah, ‘Perangi semua penyembah berhala.’ (Lihat Zamakhshari in loco dan artikel mengenai Jihad oleh W.R.W. Gardner dalamThe Moslem World. Vol.2) 29 Bahwa Quran sendiri mengajarkan perang tersebut, jelas ditunjukkan oleh Obbink, De Heilige Oorlog (Brill, Leiden, 1901

Image
http://www.wenatcheeworld.com/photos/2011/oct/10/96117/

Pembantaian Turki, apapun yang menjadi penyebab langsungnya, dilakukan dalam semangat kebencian agama. Mr. Trowbridge menggambarkan pembantaian Adana, April 1909: “Kenyataan bahwa ajaran Islam pada dasarnya meruapakan akar dari pembantaian ini, dibuktikan dengan banyak cara, misalnya, oleh fakta dimana toko-toko milik warga Turki ditulisi ‘Islam’ malam sebelum pembantaian, untuk menyelamatkan mereka dari penjarahan dan pembantaian. Aku memiliki sebuah foto salah satu toko yang ditandai dalam huruf Turki. Namun, bukti paling jelas adalah keikutsertaan para mullah dan mufti secara mencolok dalam kekejaman tersebut.

Image
http://www.wenatcheeworld.com/photos/2011/oct/10/96130/

“Bukan hanya semangat intoleransi dan penganiayaan, namun contoh bagaimana pembunuhan atas nama agama telah bekerja seperti ragi dalam kehidupan dan pemikiran umat Islam. Banyak perkembangan akhir-akhir ini dari agama Bab, yang kemudian menjadi Bahaisme; namun, bahkan agama baru ini, yang dikatakan lebih maju dibanding Islam lama, tidak keberatan dengan pembunuhan agama. Dalam sebuah artikel terkait masalah ini (Moslem World, vol. IV, p.143), Pendeta S.G Wilson menyimpulkan sbb:

“Sayid Kamil, seorang Bahai dari Shiraz, berkata pada Prof. Browne dengan ekspresi amat terkejut, ‘Anda sudah pasti tidak bisa berpura-pura menyangkal bahwa nabi, yang merupakan inkarnasi Kecerdasan Universal, memiliki hak untuk mematikan, terbuka maupun diam-diam, pada siapapun yang keras kepala menentangnya. Seorang nabi tidak dapat lebih disalahkan untuk menyingkirkan penentangnya yang keras kepala dibanding seorang dokter bedah mengamputasi anggota jaringan tubuh mati yang terkena gangren.’

Prinsip ini diakui di kalangan penganut Bahai. Di Yezd, mereka katakan, ‘Seorang utusan ilahi memiliki hak untuk membunuh dan memaksa sebagaimana seorang dokter bedah mengamputasi.’ Para missionaries Bahai menyatakan, ‘Seorang nabi memiliki hak untuk membunuh; jika ia merasa pembunuhan atas beberapa orang tersebut dapat mencegah banyak orang lain tersesat, maka ia dibenarkan memerintahkan pembunuhan tersebut. Tak seorangpun boleh mempertanyakan haknya untuk menghancurkan tubuh beberapa orang agar jiwa banyak orang dapat hidup.’ Seorang kenalan Bahai, Dr. Frame dari Resht, berkata padanya ‘tanpa merasa malu, bahwa ia telah membayar amat banyak untuk menyingkirkan seorang penganiaya.’ Dalam kaitannya dengan semua fakta di atas, harus diingat bahwa ‘pembunuhan atas nama agama telah dipraktekkan secara bebas sejak awal berdirinya Islam, dan Nabi Muhammad memberikan contoh di banyak kesempatan.”

Terlepas dari semua hukum dan semangat intoleransi ini, sungguh menakjubkan bahwa, bagaimanapun juga ada sejumlah orang yang murtad dari Islam ke Kristen. Walapun kemurtadan ini bukan hal lazim, namun kita dapatkan di gereja Yunani ortodoks ritual tetap yang dilakukan untuk penerimaan para murtadin dari agama Islam dan masuk atau masuk kembali ke pangkuan gereja. Salah satu formula penyangkalan ini ditunjukkan Prof. Edouard Montet dalam bahasa asli Yunani dengan terjemahannya. 30 Etudes Orientales et Religieuses, by Edouard Montet (Geneve, 1917), pp. 205-228. Berasal dari manuskrip yang diperkirakan bertanggal 1281 A.D., namun teksnya sendiri berasal dari abad ke-9. Ritual yang ditulis mencakup kutukan pada Saracens, Muhammad dan para Kalif, Quran, surga Islam, ibadah haji ke Mekah, serta doktrin-doktrin lain. Salah satu paragraph penting ritual ini: ‘Aku menolak semua perintah Muhammad, perintah yang menghina umat Kristen, mengatakan mereka pendusta yang membuat usaha dan perkumpulan, dan perintah yang mendorong kaum Saracen untuk membenci dan membunuh umat Kristen, perintah yang menyatakan kehendak Tuhan untuk memerangi umat Kristen, dan menyatakan kaum Saracen yang melakukan perang itu sebagai anak-anak yang layak dari Tuhan surgawi.’ memperlihatkan para murtadin menolak metode-metode propaganda lama, setidaknya dalam pengakuan terbuka mereka. : supz:

Berbagai kasus murtad, walau hanya sedikit, tercatat dalam literatur Kristen maupun Islam. Di salah satu kasus, seorang Muslim dikatakan murtad karena mukjizat penglihatan anak domba di sebuah gereja Kristen pada saat perayaan Ekaristi. Ia dipenjarakan oleh Kalif Harun ur Rashid dan dieksekusi dua tahun kemudian, seorang martir karena imannya. 31 Bar Hebraeus, Syr. Chron. p.132. Dua kisah lainnya di Bar Hebraus dapat dikutip untuk menggambarkan insiden yang seringkali dihubungkan dengan para murtadin. Kasus-kasus semacam ini lebih sering terjadi manakala negara sedang kacau, dan menjadi jarang manakala pemerintahan kuat, dan dapat dengan mudah disejajarkan dengan kasus-kasus modern. Salah satunya tentang seorang gadis yang hidup di abad ke-12 (1159A.D.) di lingkungan Mosul dan bertunangan dengan seorang Kristen. Ayahnya, Kristen sejak lahir, menjadi mualaf Islam, sementara anggota keluarga lainnya tetap dengan iman mereka; akibatnya, umat Islam menentang pernikahannya dengan seorang Kristen. Maphriana, orang yang berwenang melakukan upacara pernikahan, ditangkap, dan sang gadis, tentu saja dibawa menghadap pihak yang berkuasa. Ia bertahan dalam pengakuan iman Kristennya. Akhirnya, keteguhan hatinya dan juga Maphriana, yang telah dipenjara selama 40 hari, menang, sehingga ia tidak dipaksa masuk Islam; namun ia tidak boleh tetap berada di lingkungannya dan akhirnya menghabiskan sisa hidupnya sebagai biarawati di Yerusalem 32 Shedd, Islam and the Oriental Churches, pp. 149, 153.

Bagaimana kisah mualaf Islam di Aljazair, tahun 1678, dengan jelas digambarkan dalam bahasa Inggris kuno oleh Joseph Pitts, pelaut muda Exeter yang ditangkap bajak laut dan dijual, serta menjadi orang Eropa pertama yang mengunjungi Mekah:

“Kami kembali ke Aljazair dalam waktu singkat; dan segera setelahnya, ia membawaku ke Perkemahan bersamanya; dan terjadilah demikian, kedua saudara, yang menjadi Spahys atau prajurit ditempatkan bersama dalam satu tenda. Saudara laki-laki yang lebih muda begitu sering (sembunyi-sembunyi maupun terang-terangan) membujukku untuk memeluk Islam dan untuk meraihku, ia memberikan penawaran besar; namun hanya sedikit kuperdulikan. Saudara laki-laki tertua, yang menjadi tuan/pelindung utamaku, tidak begitu senang dengan ide tersebut; karenanya ia sering mengancamku, jika aku beralih ke Islam, dan tidak mempelajari Kitabku dengan baik, ia akan menghajarku. Namun, ketika adiknya, yang sering membujukku melihat bahwa segala bujukan dan hadiah yang ditawarkan tidak berhasil, ia mulai sering berbohong secara meyakinkan pada abangnya untuk memaksaku mualaf; dan sebagai argumen, ia sering katakan pada abangnya bahwa ia selama ini ‘telah menjalani hidup sebagai pria tak bermoral dan pembunuh, sehingga dengan memualafkan-ku, akan menjadi semacam tebusan bagi kesalahan-kesalahan di masa lalunya. Dan dengan yakin mengatakan pada saudaranya, bahwa bila tidak demikian, ia tidak akan pernah masuk surga’. Sementara itu (sebagai seorang pria yang merasa bersalah dan bertanggung jawab mengubah segala kebohongan menjadi kebahagiaan, walau sedikit dan tak masuk akal) saudara tertua berupaya membujuk-ku; dan mengetahui hal tersebut tidak mempan, ia mengancam mengirimku ratusan mil ke negara, dimana aku tidak akan pernah menemui satupun umat Kristen. Namun, setelah semua cara tidak berhasil, kedua bersaudara itu bersepakat satu sama lain dan mencoba cara yang kasar dan keras, untuk melihat apa akan berhasil.

Maka, di suatu hari, ketika tukang cukur pelindungku datang untuk mencukur rambutnya, aku hadir disana menunggu perintah, pelindung memintaku berlutut di depannya dan kulakukan. Ia kemudian memerintahkan tukang cukur untuk memotong rambutku dengan gunting; namun entah bagaimana aku mencurigai rencana mereka, memberontak, namun dengan paksaan kekuatan, rambutku dipotong, dan kemudian tukang cukur mulai mencukur kepalaku, sementara pelindungku menahan tanganku. Aku menggeleng-gelengkan kepala, dan ia terus menatap tajam wajahku. Setelah kepalaku dicukur dengan penuh kehebohan, pelindungku memerintahkanku melepas bajuku dan menggantinya dengan baju Islam. Kukatakan dengan tegas tidak mau: akibatnya aku diseret ke tenda lain, tenda perlengkapan; dimana dua orang pria, yakni, si juru masak dan pelayan; salah satunya memegangku, lainnya melepas bajuku menggantinya dengan baju Islam. Aku terus menangis dan berkata pada pelindungku, walaupun ia mengubah penampilanku, ia tak akan bisa mengubah hatiku. Malamnya, sebelum ia beranjak tidur, ia memanggilku, menyuruh berlutut di sisi tempat tidurnya, dan kemudian memohon dengan sangat, aku akan membahagiakannya bila melepaskan agamaku. Kukatakan padanya bahwa hal tersebut bertentangan dengan nuraniku, dan berharap ia menjualku saja dan membeli anak lain yang mungkin lebih mudah untuk dimenangkan; bagi diriku sendiri, aku khawatir akan mendapat kutukan abadi bila memenuhi permintaannya. Ia katakan padaku, ia akan menggadaikan jiwanya untuk jiwaku, serta mengajukan berbagai ungkapan mendesak lainnya. Akhirnya, aku memintanya untuk membiarkan aku pergi tidur, dan aku akan berdoa pada Tuhan, agar aku bisa berpikir dengan lebih baik dan kembali besok pagi. Aku tak tahu apa yang akan kulakukan, namun bila diteruskan hasilnya akan sama, aku ingin ia menghentikan pembicaraan ini. Ia setuju dan akupun pergi tidur. Namun (entah ada apa dengannya) tidak sabar menunggu jawabanku hingga esok pagi, ia membangunkanku di tengah malam, serta menanyakan bagaimana perasaanku sekarang. Aku katakan masih sama. Kemudian ia meraihku dengan tangan kanan, dan memaksaku menegakkan jari telunjuk, seperti yang biasa mereka lakukan saat mengucapkan kata-kata itu, yakni, La Allah ellallah, Mohammed Rasulullah (yang menyatakan ke-Islaman mereka, seperti yang kukatakan sebelumnya) namun aku berusaha sebisa mungkin menekuknya ke bawah, sehingga ia beranggapan harus menggunakan cara kekerasan padaku; Ia segera memanggil kedua pelayannya, serta memerintahkan mereka untuk mengikat kakiku dengan tali tambang ke tenda; dan setelah mereka melakukannya, dengan sebuah gada besar ia memukul kaki telanjangku. Karena ia orang yang kuat, dan penuh semangat, pukulannya amat kuat; semakin ia memukuliku, semakin kesal dan marah ia, dan mengatakan, jika aku tidak segera masuk Islam, ia akan memukuliku sampai tewas. Aku meraung merasakan sakit luarbiasa pukulannya yang kasar; tapi semakin aku menangis semakin bertambah marah ia; dan untuk menghentikan tangisanku, ia menutup mulutku dengan kakinya; aku memohon dilepaskan, namun ia terus memukuliku. Setelah aku mengalami perlakuan kejam tanpa ampun begitu lama, hingga hampir pingsan dan tewas, serta melihatnya masih menggila dan bersikap keras, aku memohonnya berhenti. Menarik nafas sejenak, namun dengan kaki masih menggantung, ia memerintahkanku untuk mengucapkan kata-kata tersebut. Aku menolak, membuatnya kembali tegang; kukatakan padanya, aku tidak dapat mengucapkannya. Ia menjadi lebih marah dari sebelumnya, dan memukuliku dengan cara yang paling biadab. Setelah dipukul bertubi-tubi dengat keras kedua kalinya, aku memohonnya berhenti, ini membuatnya berharap aku mau berubah pikiran; dan setelah menarik nafas lagi, kukatakan seperti sebelumnya, aku tak dapat memenuhi keinginannya. Akibatnya, aku membuatnya kembali marah untuk ketiga dan keempat kalinya; namun akhirnya, merasakan kekejamannya terhadapku takkan berakhir kecuali aku menurut, melalui terror aku melakukannya, mengucapkan kata-kata tersebut sambil menegakkan jari telunjuk tangan kananku. Aku dilepaskan dari siksaan, dan dirawat dan untuk mengobati kakiku (yang sangat parah sehingga tak dapat kugunakan untuk beberapa lama) dan begitulah aku dibaringkan di tempat tidur. 33 A Faithful Account of the Religion and Manners of the Mahometans, oleh Joseph Pitts of Exon (London, 1738), pp. 192-196.

Kisah Henry Martyn tentang para murtadin awal, merupakan illustrasi pelaksanaan singkat mutilasi sesuai hukum ridda. “Sabat dan Abdallah, dua orang Arab dari silsilah terkemuka, menjalin persahabatan, dan memutuskan untuk melakukan perjalanan bersama-sama. Setelah mengunjungi Mekah, mereka pergi ke Kabul, dimana Abdallah ikut ibadah Zaman Shah, seorang Amir terkenal. Disana, seorang Armenia meminjaminya Alkitab berbahasa Arab, ia kemudian menjadi Kristen dan untuk keselamatan jiwanya, ia melarikan diri ke Bokhara. Sabat sudah ada disana mendahuluinya, sekaligus mengenalinya di jalan. ‘Aku tidak kenal belas kasihan,’ kata Sabat setelahnya. ‘Aku menyerahkan ia ke Morad Shah, sang Raja. Ia ditawarkan nyawanya jika mau menyangkal Kristus. Ia menolak. Lantas salah satu tangannya dipotong, dan lagi ia dipaksa mengakui kesalahan. Ia tidak menjawab, namun menatap ke atas dengan tabah, seperti Stefanus, martir pertama, matanya dipenuhi air mata. Ia melihat padaku, namun dengan dengan wajah penuh pengampunan. Tangannya yang lain dipotong. Namun ia tidak pernah berubah, dan saat ia menundukkan kepalanya untuk menerima ayunan kematian terakhir, seakan seluruh kota Bokhara berkata, ‘Sungguh sesuatu yang berbedakah ini?’ Rasa sesal mendorong Sabat ke pengembaraan panjang, yang membawanya ke Madras, dimana pemerintah memberinya jabatan mufti, atau pengurai hukum Islam di pengadilan sipil. Di Vizagapatam, ia mendapati sebuah salinan Perjanjian Baru berbahasa Arab, edisi revisi Solomon Negri, yang dikirim ke India oleh Society for Promoting Christian Knowledge di pertengahan abad lalu. Ia membandingkan isinya dengan Quran, kebenaran melingkupinya ‘seakan banjir cahaya,’ dan ia mencari baptisan di Madras di tangan Pendeta Dr. Kerr. Ia dinamai Mathaniel. Saat itu ia berusia 27 tahun. Ketika berita ini sampai pada keluarganya di Saudi Arabia, saudaranya berangkat untuk membunuhnya, menyamar sebagai orang Asia, melukainya dengan pisau belati sewaktu ia sedang duduk di rumahnya di Vizagapatam.” 34Henry Martyn, oleh George Smith (London, 1892), pp.226-227. Kisah serupa terjadi di Saudi Arabia, Turki, Afganistan, Persia, Aljazair, India: tidak ada ampun bagi murtadin dan tidak ada kesetaraan atau kemerdekaan bagi minoritas Kristen.


Image Image
http://www.christiansofiraq.com/newattacks.html

Saat kita melihat kembali ke abad-abad penganiayaan saudara Kristiani kita, Nestorian, Armenian, Yunani dan Koptik, kita menyadari kebenaran kesatuan kita dalam Kristus, dan sampai pada kesimpulan yang sama dengan Adrian Fortescue, sejarawan Katolik Roma: “Di suatu negara yang diperintah Islam, berada di dasar, sebentuk solidaritas hakiki diantara semua umat Kristiani. Umat Kristen denominasi lain juga adalah anak-anak Bapa yang dibaptis sebagaimana kita. Hierarki terhormat mereka tak terputus dari para Bapa Timur, yang adalah Bapa kita juga. Saat mereka beribadah dengan liturginya, mereka memuja Kehadiran Suci yang sama yang menguduskan altar kita, dalam komuni-komuni mereka, mereka menerima anugrah yang juga kita terima. Dan setidaknya untuk satu hal kita harus iri pada mereka, atas kemuliaan mahkota martir yang telah mereka kenakan selama lebih dari seribu tahun. Kita tidak dapat melupakan hal itu. Sepanjang abad-abad kegelapan tersebut, tidak ada Koptik atau Jacobit, tidak ada Nestorian atau Armenian, yang mampu membeli kebebasan, kemudahan dan kenyamanan dengan menyangkal Kristus dan beralih ke Islam. Aku tak dapat memikirkan hal lain di dunia. Rayahs (umat Kristiani masa Ottoman) malang yang terlupakan, dalam kesendirian menyedihkan mereka selama 1300 tahun penganiayaan yang seringkali mengerikan, tetap mempertahankan kesetiaan mereka pada kristus. Dan masih atas NamaNya, mereka menanggung dengan sabar perlakuan hamba dan kebencian dari para tiran mereka. Masihkah kita bisa menyebut mereka bid’ah dan skismatik? Mereka adalah martir dan putra para martir. Noda darah panjang, yang harus ditebus, lebih dari ditebus dalam sejarah mereka, atas kesalahan mereka mengenai Efesus dan Khaldea. Karena, siapa dapat meragukan bahwa ketika hari akhir tiba, ketika semua manusia dihakimi, kemuliaan pengakuan mereka akan melebihi skisme mereka? Siapa dapat meragukan bahwa ribuan dan puluhan ribu jiwa tak dikenal akan mendapatkan pengampunan atas kesalahan yang tidak mereka sadari, ketika mereka memperlihatkan luka yang mereka tanggung demi Kristus? Bilamana saat itu tiba, kukira kita akan menyaksikan bahwa dalam gereja mereka yang tak sempurna ini, mereka bahkan lebih katolik dari yang kita kira. Karena umat Kristiani Timur ini lebih berhak atas janji (Kristus) daripada kita yang hidup nyaman dibawah pemerintahan toleran: “Qui me confessus fuerit coram hominibus, confitebor et ego eum coram Patri meo." (Ia yang mengakui Aku di depan manusia, Aku juga akan mengakuinya di depan Bapa-Ku di sorga) 35 The Lesser Eastern Churches, by Adrian Fortescue (London, 1913).

"And Naaman said, If not, yet, I pray thee, let there be given to thy servant two mules' burden of earth; for thy servant will henceforth offer neither burnt-offering nor sacrifice unto other gods, but unto Jehovah. In this thing Jehovah pardon thy servant; when my master goeth into the House of Rimmon to worship there, and he leaneth on my hand, and I bow myself in the house of Rimmon: when I bow myself in the house of Rimmon, Jehovah pardon thy servant in this thing." (2Kings 5:17,18)

“The same came to Jesus by night." (John 3:2)
Orang percaya yang paling diberkatilah ia
Yang berada di dalam negeri kegelapan dan kebutaan
Sayap kesembuhanmu yang lama dinanti dapat menyaksikan
Ketika engkau bangkit
Dan, apa yang tak penah dapat dilakukan lebih,
Dilakukan saat malam bicara dengan matahari!

HENRY Vaughan.
Image
http://global.christianpost.com/news/ar ... rdy-64861/
ali5196
Posts: 16757
Joined: Wed Sep 14, 2005 5:15 pm

Post by ali5196 »

ini buku om akan lanjutin lagi ...
anne
Posts: 502
Joined: Wed Sep 21, 2011 9:52 pm

Re: Zwemer: Mengapa Murtadin Jarang Ada

Post by anne »

BAB V.
MURID-MURID TERSEMBUNYI


Pastilah ada yang datang pada Yesus di malam hari, sebagaimana Nikodemus; dan dalam kisah Perjanjian Lama, jelas bahwa Naaman bukan satu-satunya orang yang menyembah Yehuwa, namun berada di luar lingkaran dalam Israel. Di semua ladang Misi, banyak ditemui kejadian serupa. Di masa-masa penganiayaan, intoleransi, dan permusuhan terbuka terhadap umat Kristiani, mereka yang takut mengakuiNya secara terbuka di hadapan manusia, namun percaya padaNya secara rahasia, datang di malam hari. Para Misionaris diantara umat Islam, semuanya bersaksi akan fakta, bahwa di bawah hukum ridda, sangat sulit meminta seorang murtadin mengakui secara terbuka, kala pengakuan terbuka seperti itu akan berarti meninggal sebagai martir. Berikut ini, sebagai contoh, empat kasus terakhir dari salah satu sudut dunia Islam yang besar. Keempatnya, lewat pengalaman salah satu pekerja Misi, dan kasus-kasus seperti ini banyak ditemui di banyak ladang Misi.

“Musim panas ini, saya bertemu X yang dididik di sebuah sekolah misi kecil di perbatasan gurun dekat Damaskus. Bersama-sama Arab Muslim lainnya, ia mendengar tentang Yesus, mempelajari ajaran-ajaranNya: dan sekarang ia seorang Kristen, namun belum dibaptis. Ia sedang mencari tempat mengajar yang berada di lingkungan pengaruh Kristen. Ia telah diminta untuk pulang ke desa asalnya, yang ia tinggalkan saat dalam keadaan bahaya; jika ia melakukannya ia akan mempertaruhkan hidupnya, karena ia sudah diawasi. Maka, ia tetap di Beirut sebagai pengikut tersembunyi yang menanti petunjuk Tuhan. Akankah kau memerintahkan X untuk kembali, mengakui Kristus di desanya sendiri, dan siap mati disana?”

“Di sebuah sekolah putri di dekatnya, seorang wanita datang pada seorang guru Amerika secara diam-diam, memintanya membaca sebuah Buku yang tidak ia mengerti. Buku Injil. Setelah setahun, ia mengakui secara terbuka bahwa Yesus adalah Guru Agung, dan berkata ia akan masuk Kristen bila guru-guru dapat melindunginya. Ia tidak berani mengakui Kristus di hadapan kaumnya, karena hal tersebut berarti kematian atau penderitaan. Namun, tidak ada jaminan yang bisa diberikan, dan ia tidak memiliki uang untuk keluar dari negara itu. Ia kembali ke keyakinan lama, menikah dengan seorang Turki, dan di suatu tempat, di balik cadar, seorang perempuan Turki diam-diam mencari Sang Guru Agung dalam kerinduan. Apa yang akan kau katakan padanya?”

Seorang anak berusia enam belas tahun saaat ini berada di sebuah sekolah misi. Ayahnya yang berdarah Arab telah menceraikan ibunya yang berdarah Turki. Setelah beberapa tahun bergaul erat dengan para guru dan firman Tuhan, ia telah menerima ajaran sang Guru. Namun, ia bukan Kristen yang dibaptis. Andai ia mengaku secara terbuka saat ini, mungkin ia tidak hidup lagi saat surat ini tiba di tanganmu. Dan ia bukan seorang Muslim; kasih Kristus telah mengubahnya. Dalam kediaman, ia menjalani hidup yang tenang dan baik, contoh kemurnian dan moralitas sebagai anak lelaki Kristen dan Muslim yang disayangi dan dihormati semua orang. Dalam keheningan ia menerima anugrah kekuatan yang memberi kehidupan dari Sang Guru Agung. Apa yang akan kauperintahkan untuk ia lakukan?”

“Salah seorang guru kami adalah seorang wanita Arab tua yang dipanggil ‘Orang Asing,’ karena ia meninggalkan negerinya bertahun-tahun lampau untuk sampai kemari. Sewaktu masih gadis kecil, ia belajar tentang Kristus, menerimaNya, mengakuiNya. Ia diusir dari rumah dan berlindung di sebuah sekolah misi. Selama 30 tahun ia telah menjadi seorang guru setia yang tenang, dihargai sebagai seorang Kristen. Setelah kejadian kekerasan pertama di masa kecil, ia mengalami sedikit penganiayaan; namun, di rumah barunya, dimana masa kecilnya sebagai Muslim tidak diketahui, dengan tenang ia terus bersaksi bagi Kristus.”

Masalah-masalah seperti itulah yang dihadapi para misionaris diantara umat Islam di setiap negara. Dalam pengalaman nyata, tidak ada solusi semudah yang tercantum di atas kertas.

Sepanjang pengalaman misionaris awal-ku di Saudi Arabia, Aku ingat saat mendengar dari sekelompok orang Arab di kota Hofhuf, Hassa, yang berkumpul bersama malam demi malam untuk membaca Kitab Suci. Salah seorang dari mereka datang ke klinik kami dan memperlihatkan pemahaman yang mengagumkan akan isi dan ajaran Perjanjian Baru. Ia berkata padaku bahwa orang-orang lain di kelompok mereka juga meyakini bahwa Yesus Kristus lebih superior daripada Muhammad, karakter dan kehidupanNya adalah teladan terbaik, dan Ia telah mati serta bangkit kembali. Juruselamat yang Hidup. Namun, mengungkapkan keberadaan kelompok semacam ini pada pihak yang membenci Kabar Baik, akan membubarkan dan membahayakan mereka.

Gerbang ke firman Tuhan senantiasa memberi cahaya dan sering membawa kehidupan. Pelopor nyata missionaris, dalam hampir setiap kasus, adalah pedagang buku keliling, dan dalam keyakinanku, tidak ada lembaga yang telah amat sangat digunakan Tuhan di dunia Islam, secara ekstensif dan intensif, selama seperempat abad terakhir, sebagaimana ‘the British and Foreign’ dan ‘American Bible Societies.’ Perubahan sikap terhadap Kitab Suci dan Ajaran Kristen terutama disebabkan pencapaian hasil dan jangkauan pelayanan lembaga-lembaga ini. Dalam laporan tahunan mereka, kita sering mendengar adanya sejumlah umat percaya rahasia diantara umat Islam. Di Muscat, Saudi Arabia, tidak sedikit yang mengetahui bahwa Injil satu-satunya Firman yang benar, namun sedikit yang mau berserah diri secara total, karena melibatkan terlalu banyak kehilangan di dunia ini. 1 Laporan the American Bible Society, 1923. Mengenai Delta di Mesir, kita membaca banyak Muslim membeli Alkitab serta memperlajarinya untuk mencari jalan keselamatan. Beberapa diantara mereka di desa-desa, mengundang pedagang buku keliling untuk datang dan menjelaskan mengenai berbagai hal yang telah mereka baca dalam Alkitab, namun tidak mereka pahami atau tidak sesuai dengan apa yang telah diajarkan pada mereka.

Seorang pedagang buku keliling di Albania menceritakan kisah berikut, “Suatu hari, aku masuk ke sebuah kedai kopi, dimana aku menjumpai seorang Muslim yang kukenal bertahun-tahun. Setelah memberi salam seperti biasa, ia mulai bicara tentang Tuhan Yesus Kristus dan Kabar BaikNya. Ia seorang pria yang kasar dan jahat semasa mudanya, namun di masa tuanya ia berbeda. Ia bicara dengan dengan nada hormat mengenai ajaran-ajaran dan perumpamaan-perumpamaan dalam Injil, serta menyebut Yesus dengan panggilan ‘Tuhan Kita,’ sementara saat bicara mengenai Muhammad ia hanya menyebutnya ‘Muhammad’ saja. Seorang Muslim lain yang ada disitu mendengarkan dia dengan penuh perhatian. Aku kemudian diberitahu bahwa ia telah membeli sebuah Perjajian Baru Turki sewaktu ia berada di Konstantinopel. Beberapa waktu lalu juga aku pernah bertemu seorang pria di jalan dengan sebuah buku di bawah lengannya. Aku bertanya, buku apa itu. Ia memperlihatkan padaku, sebuah Perjanjian Baru, yang terlihat jelas telah sering dibaca karena banyak ditandai. Pria tersebut berkata, ‘Aku telah memiliki buku ini selama bertahun-tahun, buku inilah penuntunku di masa kini, masa depan dan selama-lamanya.’” 2 Laporan the British and Foreign Bible Society, 1923. Contoh-contoh tersebut, dan banyak lagi kejadian serupa, memperlihatkan bahwa Roh Kudus senantiasa bekerja melalui Firman Tuhan dan membawa banyak orang bertobat.

Di Persia, seorang imam Muslim memasuki toko perlengkapan Society di Teheran mencari sebuah buku bahasa Inggris. Karena tidak dapat menemukan yang ia inginkan, ia membeli sebuah Injil berbahasa Inggris. Kemudian ia kembali lagi dan membeli sebuah Alkitab berbahasa Persia. Seminggu kemudian ia datang kembali dan berkata, “Sudah sangat lama aku mencari kebenaran, dan kupikir aku telah menemukannya sekarang. Dapatkah buku ini menyelamatkanku?” “Tidak..” jawab agen kami, “buku itu tidak dapat menyelamatkan anda, melainkan Juruselamat yang diberitakan buku tersebut.” Dua minggu berlalu, dan ia kembali datang. “Aku telah menemukan apa yang kucari,” katanya, “dan aku hendak menyampaikan pada orang lain, kabar keselamatan tersebut.” Seorang Muslim Persia dari keluarga yang baik, membuat pengakuan ini: “Injil (Kabar Keselamatan) adalah buku terbaik dari semua buku. Aku telah membacanya dan merasakan kasih, damai sejahtera dan keselamatan daripadanya.” 3 Ibid, 1924.

Dari ribuan salinan Injil beredar setiap tahunnya, kita dapat berharap bahwa ada terdapat para pengikut rahasia. Pendeta J.H. Boyd, dari Tanta, menulis dan menyebutkan enam diantaranya; serta mengatakan daftarnya bisa sangat panjang. “Seorang di Alexandria, salah satu yang memiliki pemahaman terbaik akan Kitab Suci dari semua pria yang kukenal, sering menghadiri kebaktian gereja, dan tidak ragu memperlihatkan pada yang lain bahwa ia seorang Kristen. Namun, ia tidak pernah berani membuat pengakuan publik. Lainnya adalah seorang guru di sebuah sekolah pemerintah yang secara terbuka mengakui Kristus pada orang lain, dan berharap untuk segera dibaptis. Ia seorang pemuda yang baik. Kemudian ada seorang operator telegraf yang telah mengakui Kristus sebagai Juruselamatnya, dan yang kuyakin menjadi orang yang diselamatkan. Yang keempat, seorang Sheikh yang menghadiri salah satu pertemuan di desa kami dan seorang yang sangat beriman; Ia memberikan sebuah penjelasan yang indah mengenai keselamatan dalam pembicaraan baru-baru ini denganku; dan ia juga menceritakan tentang seorang pria Al-Azhar yang telah bicara terang-terangan di sebuah ‘acara perkabungan,’ mengajak semua untuk membaca Alkitab sebgai buku Tuhan, serta mengatakan adalah kerugian bagi mereka bila tidak melakukannya. Beberapa pendengarnya menulis pada rektor Al-Azhar, dan ia dikeluarkan tahun lalu. Seorang Sheikh lain, guru di salah satu sekolah kami, mengakui dirinya sebagai seorang Kristen. Ia berasal dari keluarga yang baik; seorang yang santun, bersih, dan jujur. Kristus yang memeliharanya, mengasihinya seperti semua pengikutNya. Akhirnya, seorang pengusaha perkebunan kaya dalam sebuah diskusi di hadapan banyak orang dalam sebuah kereta, mengakui kebaikan Kekristenan; kemudian berkata, ‘Ambillah aku, dan kau akan mendapatkan lima ratus orang bersamaku.’ Di kemudian hari, dengan penuh semangat ia melindungi orang lain yang dianiaya karena kecenderungan Kristennya, serta menyemangati orang tersebut untuk tetap pada imannya, dan berkata padanya bahwa ia berada di jalan yang benar.”

Berikut, pertanyaan-pertanyaan yang timbul mengenai kondisi baptisan. Mungkinkah diselenggarakan secara pribadi, atau haruskah selalu menekankan pada pengakuan publik? Persiapan apa yang diperlukan? Adakah kasus-kasus dimana harus diselenggarakan diam-diam untuk menenggang adat budaya Islam atau bolehkah diselenggarakan sebagaimana biasanya? Sulit menjawab pertanyaan-pertanyaan seperti itu. Namun, kala seseorang telah digerakkan Roh Kudus dan sungguh-sungguh berusaha masuk gerbang yang sukar, kita harusnya tidak mempersulit lagi sesuatu yang sudah cukup sulit baginya. Kita seharusnya tidak menuntutnya sesuatu, yang berdasarkan kondisi dimana ia telah ditempatkan Tuhan, tidak dapat dipenuhinya; namun lihatlah pada tujuan utama, yakni, iman dalam Kristus serta doa pribadi padaNya. Kita serahkan peristiwa tersebut dan masalah luar pada nurani masing-masing. Ini, sudah tentu, adalah pelajaran yang diberikan Elisa pada Naaman, rahasia kesederhanaan kudus dalam kerinduannya memenuhi hukum Israel. Tuhan yang akan menyempurnakan karya kasih karuniaNya. Sekali dikaruniakan pada mereka, orang yang murni hatinya tidak akan kehilangan arah, bila mereka terus mencari Tuhan. Namun, masalah tetap sukar dan membutuhkan banyak doa. Kita takkan berani melupakan tuntutan pemuridan. Jangan pernah memperlakukan mereka lebih keras dan lebih tegas daripada perlakuan Kristus sendiri.

“Barangsiapa menyangkal Aku di hadapan manusia….” “Kecuali ia melepaskan diri dari segala miliknya, ia tidak dapat menjadi muridKu.

Pada Konfrensi Missionaris pertama atas nama dunia Islam, yang diselenggarakan di Kairo, 4-9 April 1906, salah satu topik yang diangkat berkaitan dengan kondisi baptisan. Walaupun semua yang hadir bersikeras bahwa upacara kudus ini seharusnya tidak boleh diberikan pada mereka yang hanya secara intelektual meyakini ke-Ilahi-an Kristus dan karya penebusanNya, namun memang dirasakan bahwa untuk menuntut sebuah pengakuan publik, melibatkan kesulitan yang teramat besar. Baptisan secara pribadi dengan dihadiri beberapa teman, tampaknya telah diterapkan di sejumlah Misi, dimana baptisan publik terbukti berakibat penganiayaan atau bahkan hukuman mati. “Suatu kesalahan serius bila membaptis secara publik di Damaskus, Teheran atau Maroko, dimana pemerintahnya sangat Islami dan masyarakatnya **** serta fanatik. Di negara-negara di bawah pemerintah Kristen: Inggris, Perancis, Jerman atau Belanda, mungkin aman dan bijaksana menyarankan murtadin mengakui Kristus dengan berani dalam baptisan, sebagai bukti ketulusan dan kesaksian bagi orang lain. Perjuangan bagi kebebasan beragama harus diperjuangkan dan dimenangkan suatu saat, namun tak seorangpun dapat memutuskan bagi orang lain bila waktunya tiba.” 4 Methods of Mission Work Among Moslems, p.146

Seorang murtadin yang hadir di Konfrensi yang disebut di atas, memberikan opini bahwa baptisan seharusnya tidak ditunda. Ini adalah kasih karunia. Ia mengutip contoh Rasul Petrus dengan Kornelius sang perwira dan Filipus dengan sida-sida. “Saya melihat tidak ada alasan mengapa seorang murtadin seharusnya tidak dibaptis, segera setelah ia mengakui imannya pada Kristus sebagai Anak Tuhan, Juruselamat serta Penebus, karena atas dasar itulah ia dibaptis.” 5 Ibid. p.151. Jika baptisan ditunda terlalu lama, bahkan misionaris akan menyesalinya. Ada kasus dimana hak istimewa ini ditunda karena khawatir terjadi penganiayaan, namun hal tersebut tidak bisa mencegah terjadinya penganiayaan, bahkan justru membuatnya meninggal sebagai martir.

Beberapa tahun lalu, seorang pemuda Mesir datang untuk kuliah di Kairo, dan menyatakan keinginannya untuk menerima pengajaran iman Kristen. Ia kelihatan cerdas dan pandai, dan tampaknya berasal dari keluarga baik-baik, dan ia segera menarik perhatianku. Aku bahkan lebih terkejut, saat kutanyakan namanya, lantas ia mengeluarkan sebuah buku saku dan memperlihatkannya padaku dengan sebuah kartu di permukaannya yang tertera, ‘William Famison.’ Aku berkata, “Kau bukan orang Inggris, kan?” Jawabnya, “Bukan, namun aku telah mengubah namaku dan berharap menjadi seorang Kristen.” Ia kemudian berkata padaku bahwa ayahnya memegang posisi bagus di bawah Pemerintahan Mesir, dan seorang Muslim yan tercerahkan, namun sangat taat pada ajaran Islam, dan sangat sedih anaknya telah membaca buku-buku Kristen. Pemuda ini pertama kali tertarik pada ajaran-ajaran Injil melalui beberapa selebaran bergambar dari ‘Nile Mission Press,’ khususnya salah satu selebaran berjudul ‘The Black Stone and Rock of Ages,’ yang ia bawa di sakunya.

Kami berdoa bersama, dan aku menasehatinya untuk tetap berdamai dengan ayahnya. Ini sangat sulit, katanya, dan beberapa minggu kemudian ia datang dan berkata padaku bahwa sebuah usaha pembunuhan telah terjadi padanya, dari keluarganya sendiri. Ia memperlihatkan sebilah pisau padaku yang ia bawa untuk melindungi diri. Aku membaca bersamanya bagian dari Khotbah di Bukit, yang berbicara tentang mengasihi musuh kita dan tidak membalas, serta mengatakan padanya lebih baik meninggal daripada membalas orang yang menyerang, semata-mata demi agamanya. Ia terbujuk meninggalkan pisau tersebut padaku, dan setelah beberapa minggu ia berkata tidak berhasrat lagi menggunakan senjata tersebut. Ia dengan setia menghadiri ibadah gereja dan membuat kemajuan pesat dalam membaca buku-buku yang kuberikan padanya. Sejak awal, ia menyatakan keinginan kuat untuk menjadi seorang pengkhotbah Injil, dan mengatakan keinginan terdalamnya memenangkan jiwa kaumnya untuk kebenaran. Namun, perlahan-lahan wajahnya semakin menyiratkan kekhawatiran. Ia tetap tinggal di rumahnya seraya terus membaca dan berdoa secara rahasia. Suatu hari, ia datang padaku dengan bersemangat, dan berkata ayahnya telah menerima sepucuk surat yang juga telah ia baca, dan ia berikan salinannya padaku.
KAIRO, 19 Januari 1916.

“TUAN YANG TERHORMAT,

“Demi rasa cinta akan Islam dan Muslim, aku berani katakan padamu bahwa putramu akan atau telah menjadi Kristen, seperti yang ditegaskan banyak orang. Segeralah, demi Islam dan Nabi, mengambil langkah-langkah untuk menarik kembali anakmu yang salah langkah ke agama asalnya, atau kau membuatnya berada dalam bahaya, bukan karena kami membencinya, tapi karena kecintaan kami pada agama kita dan hasrat untuk membela kehormatan umat beriman. Bersegeralah, demi Tuhan, Quran, dan Rasul.

Ditulis oleh seorang pencinta agamanya, seorang pembalas dendam yang keras dan bersemangat demi kebaikan agamanya.” P.S. –(i) Untuk memastikan kau menerima surat ini, aku sendiri yang menjatuhkannya ke kotak suratmu saat petugas jagamu tidak ada di tempat.

P.S. –(2) Hubungan yang ada antara putramu dan aku yang mendorongku memberitahumu tentang hal ini. Agar kau yakin aku mengatakan yang sebenarnya, akan kukatakan bahwa ia setiap hari pergi ke rumah Zwemmer terkutuk. Ia juga telah pergi ke Misi Amerika dan menghabiskan hari dengan para siswa Teologi.

Kemudian ia berteman dengan seorang Kristen terkutuk, yang kuketahui berinisial S.F.”

Setelah menerima surat ini, kami berdua merasa memang sebaiknya ia harus meninggalkan Kairo. Kupikir, ia mungkin bisa menemukan pekerjaan sebagai seorang guru atau pengajar misionaris-misionaris baru di Assiut, dan demikianlah, dengan hati gembira, namun dengan perasaan was-was terhadap keluarganya, ia berangkat ke Mesir Atas. William berusia 20 tahun, dan dengan demikian aku merasa, bukan hanya menurut hukum Islam, tapi dalam berbagai cara, ia berhak memutuskan untuk dirinya sendiri.
Last edited by anne on Wed Mar 14, 2012 10:21 pm, edited 1 time in total.
Post Reply