Rafat Amari: Islam, Ditinjau dari Pengamatan Sejarah (1)

Pembelaan bahwa Islam adalah ajaran dari Tuhan.
User avatar
straightfaith
Posts: 177
Joined: Thu May 12, 2011 3:28 pm

Re: Rafat Amari: Islam, Ditinjau dari Pengamatan Sejarah (1)

Post by straightfaith »

oh iya sebagai catatan bagaimana muhammad bisa tabah mengarang islam selama 13 tahun di mekkah dengan perlakuan teror sebagian besar penduduk mekkah waktu itu berkali2 terancam nyawanya, dicaci maki terus menerus..

padahal secara ekonomi dan kedudukan tanpa wahyu itu muhammad sudah jelas sukses sebagai pedagang-peternak dan menikah dengan khadijah yg kaya raya serta kedudukan dan nama baik yg sudah ia sandang jauh sebelum wahyu..
User avatar
duren
Posts: 11117
Joined: Mon Aug 17, 2009 9:35 pm
Contact:

Re: Rafat Amari: Islam, Ditinjau dari Pengamatan Sejarah (1)

Post by duren »

Ternyata emang bener ... muslim kesurupan setelah kisah di buku ini di buat komik .

Kesimpulan :
Islam membuat muslim GAGAL MENCERNA KALIMAT ... cuma bisa mencerna KOMIK kekeke
User avatar
straightfaith
Posts: 177
Joined: Thu May 12, 2011 3:28 pm

Re: Rafat Amari: Islam, Ditinjau dari Pengamatan Sejarah (1)

Post by straightfaith »

Muhammad semenjak kecil mengisi harinya dengan menggembalakan ternak terutama kambing dan domba, bahkan ketika semakin dewasa semakin banyak ternak yang digembalakannya, baik milik sendiri dan keluarga Abu Thalib, maupun titipan dari penduduk Makkah yang mengupahnya untuk menggembalakan ternak mereka. Profesi ini seakan telah ditetapkan oleh Tuhan kepada orang-orang pilihan-Nya yang dipersiapkan sebagai utusan-Nya. Hampir semua nabi ditetapkan oleh Allah sebagai penggembala kambing atau domba, Musa, Yakub, maupun Isa. Ini adalah salah satu ciri kenabian seseorang yang telah ditetapkan Allah.

Pada saat-saat tertentu, Muhammad juga berdagang membantu perdagangan milik Abu Thalib atau barang dagangan titipan dari orang lain. Pada usia 12 tahun untuk pertama kalinya dia diajak pamannya, Abu Thalib, berdagang keluar tanah Arab, yaitu ke daerah Syam. Dengan hasil perdagangan dan ternak, penghidupan Muhammad dan keluarga Abu Thalib semakin bagus pada saat ia semakin dewasa. Semakin lama, semakin banyak ternak yang digembalakan oleh Muhammad, baik milik pribadi dan keluarga Abu Thalib, maupun milik masyarakat Makkah. Selain itu, perdagangannya dari barang dagangan yang dititipkan maupun milik pribadi juga semakin banyak dan menuai sukses. Walhasil, pada usia 24-an tahun, Muhammad merupakan salah satu orang yang cukup kaya di Makkah dari hasil ternak dan perdagangan, namun dia tetap dipercaya orang untuk menjualkan barang dagangan mereka, ini membuktikan bahwa Muhammad merupakan tipe orang yang jujur dan bisa dipercaya. Puncaknya, pada usia 25-an dia diberi kepercayaan oleh seorang pedagang besar dan merupakan seorang janda kaya untuk membawakan dagangannya ke negeri Syam, dia adalah Khadijah. Seluruh perdagangannya sebelum itu dibawakan oleh para pekerjanya sendiri. Namun, melihat kesuksesan dan keuntungan yang diperoleh Muhammad dan pedagang lain yang mempercayakan dagangan mereka kepada Muhammad, maka Khadijah memberikan kepercayaan kepada Muhammad untuk memimpin kafilah/rombongan dagang miliknya, meskipun pada saat itu Khadijah mengikutsertakan seorang pembantu kepercayaannya yang bernama Maisarah untuk mengawasi perdagaanngn tersebut. Singkat cerita, perdagangan sukses dan banyak laba yang masuk, Khadijah semakin mempercayai Muhammad, dan beberapa bulan kemudian Khadijah meminta keluarganya untuk melamar Muhammad bagi dirinya.



Dari rangkaian cerita diatas, seakan-akan alasan Khadijah menikah dengan Muhammad semata karena Muhammad terbukti sebagai pedagang yang terkenal jujur, dapat dipercaya, dan sukses. Apakah memang seringkas itu? Apakah sesederhana itu? Jika dipikirkan dengan objektif, tentu saja kurang masuk akal atau terlalu ringkas cerita yang disampaikan disana. Nah, dalam hal ini beberapa ahli berusaha mengungkap dan membahas beberapa hal yang kurang diperhatikan oleh banyak kalangan mengenai alasan utama Khadijah bersedia menikah dengan Muhammad. Pendapat ini menyatakan bahwa salah satu hal yang menyebabkan Khadijah ingin menikah dengan Muhammad adalah karena Khadijah tahu bahwa ada ciri-ciri kenabian dalam diri Muhammad / calon nabi. Bagaimana bisa demikian? Apa dasar dari pendapat ini? Lantas mengapa Muhammad mau menikah dengan janda berusia 40 tahun disaat umurnya baru 25 tahun? Bahkan, pada saat menikahi Khadijah tersebut Muhammad memberikan mahar pernikahan kira-kira 100 ekor unta yang pada masa sekarang kurang lebih harganya sama dengan satu sedan Mercedes Benz terbaru atau lebih dari 1 milyar rupiah.



Dalam hal ini, Muhammad bersedia menikah dengan Khadijah dikarenakan berbagai pertimbangan, diantaranya adalah:

1. Muhammad mengenal dengan baik segala hal mengenai keluarga Khadijah dan silsilahnya, sehingga paham bahwa Khadijah berasal dari keluarga terhormat dan beretika, dimana pada masa itu di Makkah sukar ditemukan keluarga yang tidak menyembah berhala dan menjalankan adat jahiliyah.
2. Silsilah Muhammad dan Khadijah terpaut tidak terlalu jauh, yaitu Muhammad bin Abdullah bin Abdul Muthalib bin Hasyim bin Abdu Manaf bin Qushai bin Kilab bin Murrah. Sedangkan Khadijah bint Khuwaylid bin Asad bin Abdul Uzza bin Qushai. Dengan demikian ada pertemuan silsilah antara keduanya.
3. Khadijah meskipun berusia lebih tua dan janda, namun dikalangan penduduk Makkah terkenal berpribadi luhur, berakhlaq mulia, tidak menyembah berhala, dermawan, kemungkinan beragama nasrani (kristen unitarian) karena beberapa tetua dan pemimpin keluarganya adalah ahli kitab dan ahli bahasa kuno.



Itulah beberapa pertimbangan dari Muhammad untuk menerima Khadijah menjadi istrinya. Sedangkan dari Khadijah sendiri memiliki pertimbangan lain, yang diataranya adalah karena dia tahu bahwa Muhammad adalah calon nabi. Apa dasar dari pendapat ini? Pendapat yang menyatakan bahwa Khadijah sudah melihat adanya ciri kenabian pada diri Muhammad bahkan sebelum mereka menikah adalah:

1. Keluarga besar Khadijah, terutama para tetua, kakek, dan pemimpin keluarganya adalah ahli kitab (Injil dan Taurat) yang paham betul nubuat dan penafsiaran dari kitab sucinya secara langsung dalam bahasa kuno (Ibrani dan Aramic) sebagai bahasa kitab suci mereka pada masa dahulu kala, bukan sekedar dari terjemahan didalam bahasa harian mereka (Arab). Keadaan keluarga ini memang kurang dibahas dengan mendetail.
2. Ada sebuah cerita tambahan (bagian ini kurang dibahas para ahli sejarah), menyebutkan bahwa beberapa waktu sebelum Muhammad lahir, saudara sepupu Khadijah pernah pula akan dinikahkan dengan Abdullah, ayah Muhammad, namun gagal. Uraian cerita ini kembali ke masa sebelum tahun 571M, beberapa tahun sebelum kelahiran Muhammad yang pada saat itu Khadijah berusia kira-kira 14-15 tahun. Seorang pamannya (ahli kitab) melihat adanya ciri kenabian pada diri Abdullah bin Abdul Muthalib dan setelah diperhatikan dengan seksama dan penuh keyakinan maka bersegeralah ia melamar Abdullah untuk putrinya (sepupu Khadijah, mungkin usianya sebaya atau lebih tua sedikit dibanding Khadijah). Namun Allah berkehendak lain, Abdullah dipertemukan dengan Aminah bint Wahab bin Abdu Manaf bin Zuhrah bin Kilab, dan akhirnya menikahinya. Paman Khadijah yang gagal melamar Abdullah tetap percaya adanya ciri kenabian pada diri Abdullah, oleh sebab itu maka ia memberitahukan segala hal tersebut kepada segenap keluarga besarnya termasuk didengar pula oleh Khadijah sendiri. Namun, dengan kematian Abdullah diusia muda setelah menikah dengan Aminah (bahkan ketika anaknya belum lahir), para ahli kitab dari keluarga ini melihat ciri kenabian yang lebih jelas terlihat pada diri anaknya, yaitu Muhammad bin Abdullah. Pada masa itu, keluarga Asad ini menutup informasi ini dari orang lain karena dalam nubuat kitab suci mereka juga disebutkan bahwa orang-orang sesat yang tahu dengan keberadaan calon nabi itu pastilah akan berusaha membunuhnya. Alasan ini diperkuat dengan pertemuan rombongan dagang Abu Thalib yang disertai Muhammad pada saat berusia 12 tahun ketika berdagang ke Syam dengan seorang rahib bernama Bukhaira yang juga melihat adanya ciri kenabian pada diri Muhammad dan percaya bahwa dia adalah nabi yang dijanjikan, dan dalam pertemuan itu dia mewasiatkan kepada Abu Thalib untuk segera pulang ke Makkah dan menjaga Muhammad dengan cermat karena sebagai calon nabi dia banyak dicari untuk dibunuh oleh kaum yang sesat dan tahu akan nubuat dalam kitab suci mereka.

Itulah beberapa alasan kenapa Khadijah ingin menikah dengan Muhammad meskipun usianya jauh lebih tua dan paham betul bahwa orang yang baik tidak akan menikah hanya sekedar melihat usia dan kecantikan semata. Dan juga Khadijah percaya bahwa perkiraan tetua keluarganya yang menyatakan bahwa Muhamad adalah calon nabi yang dijanjikan adalah sesuatu yang benar. Jadi kepercayaan pada diri Khadijah kepada kenabian Muhammad tidaklah setelah turunnya wahyu, namun jauh sebelum itu. Oleh karena itu, begitu Muhammad menerima wahyu yang pertama, Khadijah langsung menghadap pamannya, Waraqah bin Naufal, salah satu ahli kitab di keluarganya yang paham isi Injil dan Taurat, mampu berbahasa Ibrani, namun sudah tua dan buta. Ketika Khadijah menceritakan kejadian atas diri Muhammad, sang paman menyatakan kebenaran dan validitas kenabian Muhammad. Selanjutnya, beberapa hari kemudian, Muhammad diajak Khadijah untuk menghadap pamannya tersebut untuk meminta nasehat. Pada saat itu bahkan Waraqah bin Naufal menyatakan kepastian bahwa suatu ketika nanti dia akan diburu dan diusir oleh kaumnya sendiri, juga pengikut-pengikutnya akan dianiaya atau dibunuh. Dan memang demikianlah yang terjadi dan berlaku kepada semua utusan Tuhan yang membawa risalah kenabian baru seperti juga yang terjadi terhadap Musa, Isa, dan begitu pula dengan Muhammad.
ali5196
Posts: 16757
Joined: Wed Sep 14, 2005 5:15 pm

Post by ali5196 »

straightfaith, masukin linkmu dong, cayangk .. ini versi Islib atau ustadzmu? Mana bukti2mu atas pernyataan2 diatas?

[quote=''straightfaith'']Profesi ini seakan telah ditetapkan oleh Tuhan kepada orang-orang pilihan-Nya yang dipersiapkan sebagai utusan-Nya. Hampir semua nabi ditetapkan oleh Allah sebagai penggembala kambing atau domba, Musa, Yakub, maupun Isa. Ini adalah salah satu ciri kenabian seseorang yang telah ditetapkan Allah.[/quote]


ADUUUHHH !! Isa bukan penggembala kambing tapi tukang kayu.

Nonton The Passion-nya Mel Gibson, gak? Lihat adegan Yesus ngukur2 meja makan nggak? Tuh khan, disini ketahuan lagi letak kesalahan Muslim. Yesus sering menggunakan METAFOR bahwa dia itu bak penggembala kambing yang mencari domba2 yang tersesat ... ehhhh ... Muslim menyangka bahwa dia benar2 penggembala kambing. ADUUUHHH LUCU DEHHHH!! :rolling:]
Metafor kok dijadiin fakta????

Musa & Yakub aslinya juga tidak berprofesi penggembala kambing.

Nih keterangannya dari situs Muslim sendiri: http://wiki.answers.com/Q/Was_Moses_a_Shepherd
Yes. After Moses (peace be upon him) escaped from Pharaohs palace, he married Tzipora - Jethro's daughter - and shepherded his sheep.


TERJEMAHAN: Ya, Musa saw jadi penggembala kambing setelah ia menikah dengan puteri Jethro. Jethro punya banyak embeeee ... dan akhirnya Musa yang menggembalakan kambingnya [sekedar untuk nyenangin mertua! Jadi si Musa ditunjuk jadi gembala kambing oleh mertua, bukan ditunjuk Yahwe! Kecuali Yahwe nyamar jadi Jethro!]

Si Yakub jelas bukan penggembala kambing tapi produsen film sinetron. Benar gak nih, Kristen? :rolling:

Gua usulin si straightfaith bikin thread baru deh! Jangan ngerusak thread terjemahan ini.
Last edited by ali5196 on Sat May 14, 2011 6:05 pm, edited 16 times in total.
User avatar
straightfaith
Posts: 177
Joined: Thu May 12, 2011 3:28 pm

Re: Rafat Amari: Islam, Ditinjau dari Pengamatan Sejarah (1)

Post by straightfaith »

Kelahiran Nabi SAW



Usia Abd’l-Muttalib sudah hampir mencapai tujuhpuluh tahun atau lebih tatkala Abrahah mencoba menyerang Mekah dan menghancurkan Rumah Purba. Ketika itu umur Abdullah anaknya sudah duapuluh empat tahun, dan sudah tiba masanya dikawinkan. Pilihan Abd’l-Muttalib jatuh kepada Aminah bint Wahb bin Abd Manaf bin Zuhra, – pemimpin suku Zuhra ketika itu yang sesuai pula usianya dan mempunyai kedudukan terhormat.



Pada hari perkawinan Abdullah dengan Aminah itu, Abd’l-Muttalib juga kawin dengan Hala, puteri pamannya. Dari perkawinan ini lahirlah Hamzah, paman Nabi dan yang seusia dengan dia. Abdullah dengan Aminah tinggal selama tiga hari di rumah Aminah, sesuai dengan adat kebiasaan Arab bila perkawinan dilangsungkan di rumah keluarga pengantin puteri. Sesudah itu mereka pindah bersama-sama ke keluarga Abd’l-Muttalib.



Beberapa saat setelah perkawinan, Abdullahpun pergi dalam suatu usaha perdagangan ke Suria dengan meninggalkan isteri yang dalam keadaan hamil. Dalam perjalanannya itu Abdullah tinggal selama beberapa bulan. Dalam pada itu ia pergi juga ke Gaza dan kembali lagi. Kemudian ia singgah ke tempat saudara-saudara ibunya di Medinah sekadar beristirahat sesudah merasa letih selama dalam perjalanan. Sesudah itu ia akan kembali pulang dengan kafilah ke Mekah. Akan tetapi kemudian ia menderita sakit di tempat saudara-saudara ibunya itu. Kawan-kawannyapun pulang lebih dulu meninggalkan dia.



Abd’l-Muttalibmengutus Harith – anaknya yang sulung – ke Medinah, supaya membawa kembali bila ia sudah sembuh. Tetapi sesampainya di Medinah ia mengetahui bahwa Abdullah sudah meninggal dan sudah dikuburkan pula, sebulan sesudah kafilahnya berangkat ke Mekah. Kembalilah Harith kepada keluarganya dengan membawa perasaan pilu atas kematian adiknya itu. Rasa duka dan sedih menimpa hati Abd’l-Muttalib, menimpa hati Aminah, karena ia kehilangan seorang suami yang selama ini menjadi harapan kebahagiaan hidupnya.Peninggalan Abdullah sesudah wafat terdiri dari lima ekor unta, sekelompok ternak kambing dan seorang budak perempuan, yaitu Umm Ayman – yang kemudian menjadi pengasuh Nabi. Boleh jadi peninggalan serupa itu bukan berarti suatu tanda kekayaan; tapi tidak juga merupakan suatu kemiskinan.



Aminah melahirkan beberapa bulan kemudian. Selesai bersalin dikirimnya berita kepada Abd’l Muttalib di Ka’bah, bahwa ia melahirkan seorang anak laki-laki. Alangkah gembiranya orang tua itu setelah menerima berita. Sekaligus ia teringat kepada Abdullah anaknya. Gembira sekali hatinya karena ternyata pengganti anaknya sudah ada. Cepat-cepat ia menemui menantunya itu, diangkatnya bayi itu lalu dibawanya ke Ka’bah. Ia diberi nama Muhammad. Nama ini tidak umum di kalangan orang Arab tapi cukup dikenal.



Mengenai tahun ketika Muhammad dilahirkan, beberapa ahli berlainan pendapat. Sebagian besar mengatakan pada Tahun Gajah (570 Masehi). Ibn Abbas mengatakan ia dilahirkan pada Tahun Gajah pada tanggal duabelas Rabiul Awal. Ini adalah pendapat Ibn Ishaq dan yang lain. Pada hari ketujuh kelahirannya itu Abd’l-Muttalib minta disembelihkan unta. Hal ini kemudian dilakukan dengan mengundang makan masyarakat Quraisy. Setelah mereka mengetahui bahwa anak itu diberi nama Muhammad, mereka bertanya-tanya mengapa ia tidak suka memakai nama nenek moyang. “Kuinginkan dia akan menjadi orang yang Terpuji,1 bagi Tuhan di langit dan bagi makhlukNya di bumi,” jawab Abd’l Muttalib.



Masa Kecil Nabi SAW



Sudah menjadi kebiasaan bangsawan-bangsawan Arab di Mekah bahwa anak yang baru lahir disusukan kepadakepada salah seorang Keluarga Sa’d. Sementara masih menunggu orang yang akan menyusukan itu Aminah menyerahkan anaknya kepada Thuwaiba, budak perempuan pamannya, Abu Lahab. Selama beberapa waktu ia disusukan, seperti Hamzah yang juga kemudian disusukannya. Jadi mereka adalah saudara susuan. Thuwaiba hanya beberapa hari saja menyusukan.



Akhirnya datang juga wanita-wanita Keluarga Sa’d yang akan menyusukan itu ke Mekah. Mereka memang mencari bayi yang akan mereka susukan. Akan tetapi mereka menghindari anak-anak yatim, karena mereka mengharapkan upah yang lebih. Sedang dari anak-anak yatim sedikit sekali yang dapat mereka harapkan. Oleh karena itu di antara mereka itu tak ada yang mau mendatangi Muhammad. Salah seorang dari mereka, Halimah bint Abi-Dhua’ib, ternyata tidak mendapat bayi lain sebagai gantinya. Setelah mereka akan meninggalkan Mekah, Halimah memutuskan untuk mengambil Muhammad. Dia bercerita, bahwa sejak diambilnya anak itu ia merasa mendapat berkah. Ternak kambingnya gemuk-gemuk dan susunyapun bertambah. Tuhan telah memberkati semua yang ada padanya. Selama dua tahun Muhammad tinggal di sahara, disusukan oleh Halimah dan diasuh oleh Syaima’, puterinya. Udara sahara dan kehidupan pedalaman yang kasar menyebabkannya cepat sekali menjadi besar, dan menambah indah bentuk dan pertumbuhan badannya.



Setelah cukup dua tahun dan tiba masanya disapih, Halimah membawa anak itu kepada ibunya dan sesudah itu membawanya kembali ke pedalaman. Hal ini dilakukan karena kehendak ibunya, kata sebuah keterangan, dan keterangan lain mengatakan karena kehendak Halimah sendiri. Ia dibawa kembali supaya lebih matang, juga memang dikuatirkan dari adanya serangan wabah Mekah. Dua tahun lagi anak itu tinggal di sahara, menikmati udara pedalaman yang jernih dan bebas, tidak terikat oleh sesuatu ikatan jiwa, juga tidak oleh ikatan materi.



Pada masa itu, sebelum usianya mencapai tiga tahun, ketika itulah terjadi cerita yang banyak dikisahkan orang. Yakni, bahwa sementara ia dengan saudaranya yang sebaya sesama anak-anak itu sedang berada di belakang rumah di luar pengawasan keluarganya, tiba-tiba anak yang dari Keluarga Sa’d itu kembali pulang sambil berlari, dan berkata kepada ibu-bapanya: “Saudaraku yang dari Quraisy itu telah diambil oleh dua orang laki-laki berbaju putih. Dia dibaringkan, perutnya dibedah, sambil di balik-balikan.” Dan tentang Halimah ini ada juga diceritakan, bahwa mengenai diri dan suaminya ia berkata: “Lalu saya pergi dengan ayahnya ke tempat itu. Kami jumpai dia sedang berdiri. Mukanya pucat-pasi. Kuperhatikan dia. demikian juga ayahnya. Lalu kami tanyakan: “Kenapa kau, nak?” Dia menjawab: “Aku didatangi oleh dua orang laki-laki berpakaian putih. Aku di baringkan, lalu perutku di bedah. Mereka mencari sesuatu di dalamnya. Tak tahu aku apa yang mereka cari.”



Keluarga itu kemudian ketakutan, kalau-kalau terjadi sesuatu pada anak itu. Sesudah itu, dibawanya anak itu kembali kepada ibunya di Mekah. Atas peristiwa ini Ibn Ishaq membawa sebuah Hadis Nabi sesudah kenabiannya. Dalam riwayat yang diceritakan Ibn Ishaq, dikatakan bahwa sebab dikembalikannya kepada ibunya bukan karena cerita adanya dua malaikat itu, melainkan ada beberapa orang Nasrani Abisinia memperhatikan Muhammad dan menanyakan kepada Halimah tentang anak itu. Dilihatnya belakang anak itu, lalu mereka berkata: “Biarlah kami bawa anak ini kepada raja kami di negeri kami. Anak ini akan menjadi orang penting. Kamilah yang mengetahui keadaannya.” Halimah lalu cepat-cepat menghindarkan diri dari mereka dengan membawa anak itu.



Lima tahun masa yang ditempuhnya itu telah memberikan kenangan yang indah sekali dan kekal dalam jiwanya. Demikian juga Ibu Halimah dan keluarganya tempat dia menumpahkan rasa kasih sayang dan hormat selama hidupnya itu. Penduduk daerah itu pernah mengalami suatu masa paceklik sesudah perkawinan Muhammad dengan Khadijah. Bilamana Halimah kemudian mengunjunginya, sepulangnya ia dibekali dengan harta Khadijah berupa unta yang dimuati air dan empat puluh ekor kambing. Dan setiap dia datang dibentangkannya pakaiannya yang paling berharga untuk tempat duduk Ibu Halimah sebagai tanda penghormatan. Ketika Syaima, puterinya berada di bawah tawanan bersama-sama pihak Hawazin setelah Ta’if dikepung, kemudian dibawa kepada Muhammad, ia segera mengenalnya. Ia dihormati dan dikembalikan kepada keluarganya sesuai dengan keinginan wanita itu.



Kemudian Abd’l-Muttalib yang bertindak mengasuh cucunya itu. Ia memeliharanya sungguh-sungguh dan mencurahkan segala kasih-sayangnya kepada cucu ini. Biasanya buat orang tua itu – pemimpin seluruh Quraisy dan pemimpin Mekah – diletakkannya hamparan tempat dia duduk di bawah naungan Ka’bah, dan anak-anaknya lalu duduk pula sekeliling hamparan itu sebagai penghormatan kepada orang tua. Tetapi apabila Muhammad yang datang maka didudukkannya ia di sampingnya diatas hamparan itu sambil ia mengelus-ngelus punggungnya. Melihat betapa besarnya rasa cintanya itu paman-paman Muhammad tidak mau membiarkannya di belakang dari tempat mereka duduk itu.



Kematian Ibunda



Ketika Nabi berusia 6 tahun, Aminah membawanya ke Medinah untuk diperkenalkan kepada saudara-saudara kakeknya dari pihak Keluarga Najjar. Dalam perjalanan itu dibawanya juga Umm Aiman, budak perempuan yang ditinggalkan ayahnya dulu. Sesampai mereka di Medinah kepada anak itu diperlihatkan rumah tempat ayahnya meninggal dulu serta tempat ia dikuburkan. Itu adalah yang pertama kali ia merasakan sebagai anak yatim. Dan barangkali juga ibunya pernah menceritakan dengan panjang lebar tentang ayah tercinta itu, yang setelah beberapa waktu tinggal bersama-sama, kemudian meninggal dunia di tengah-tengah pamannya dari pihak ibu.



Sesudah cukup sebulan mereka tinggal di Medinah, Aminah bersama rombongan kembali pulang dengan dua ekor unta yang membawa mereka dari Mekah. Tetapi di tengah perjalanan, ketika mereka sampai di Abwa’,2 ibunda Aminah menderita sakit, yang kemudian meninggal dan dikuburkan pula di tempat itu. Anak itu oleh Umm Aiman dibawa pulang ke Mekah, pulang menangis dengan hati yang pilu, sebatang kara. Ia makin merasa kehilangan; sudah ditakdirkan menjadi anak yatim. Terasa olehnya hidup yang makin sunyi, makin sedih. Baru beberapa hari yang lalu ia mendengar dari Ibunda keluhan duka kehilangan Ayahanda semasa ia masih dalam kandungan. Kini ia melihat sendiri dihadapannya, ibu pergi untuk tidak kembali lagi, seperti ayah dulu. Tubuh yang masih kecil itu kini dibiarkan memikul beban hidup yang berat, sebagai yatim-piatu. Lebih-lebih lagi kecintaan Abd’l-Muttalib kepadanya. Tetapi sungguhpun begitu, kenangan sedih sebagai anak yatim-piatu itu bekasnya masih mendalam sekali dalam jiwanya sehingga di dalam Qur’anpun disebutkan, ketika Allah mengingatkan Nabi akan nikmat yang dianugerahkan kepadanya itu: “Bukankah engkau dalam keadaan yatim-piatu? Lalu diadakanNya orang yang akan melindungimu? Dan menemukan kau kehilangan pedoman, lalu ditunjukkanNya jalan itu?” (Qur’an, 93: 6-7)



Nabi kemudian di bawah asuhan kakeknya, Abd’l-Muttalib. Tetapi orang tua itu juga meninggal tak lama kemudian, dalam usia delapanpuluh tahun, sedang Muhammad waktu itu baru berumur delapan tahun. Sekali lagi Muhammad dirundung kesedihan karena kematian kakeknya itu, seperti yang sudah dialaminya ketika ibunya meninggal. Begitu sedihnya dia, sehingga selalu ia menangis sambil mengantarkan keranda jenazah sampai ketempat peraduan terakhir.



Bersama Abu Talib



Kemudian pengasuhan Muhammad di pegang oleh Abu Talib, sekalipun dia bukan yang tertua di antara saudara-saudaranya. Saudara tertua adalah Harith, tapi dia tidak seberapa mampu. Sebaliknya Abbas yang mampu, tapi dia kikir sekali dengan hartanya. Oleh karena itu ia hanya memegang urusan siqaya (pengairan) tanpa mengurus rifada (makanan). Sekalipun dalam kemiskinannya itu, tapi Abu Talib mempunyai perasaan paling halus dan terhormat di kalangan Quraisy. Dan tidak pula mengherankan kalau Abd’l-Muttalib menyerahkan asuhan Muhammad kemudian kepada Abu Talib. Abu Talib mencintai kemenakannya itu sama seperti Abd’l-Muttalib juga. Karena kecintaannya itu ia mendahulukan kemenakan daripada anak-anaknya sendiri. Budi pekerti Muhammad yang luhur, cerdas, suka berbakti dan baik hati, itulah yang lebih menarik hati pamannya.



Perjalanan Pertama Ke Syam



Ketika usia Nabi baru duabelas tahun, ia turut dalam rombongan kafilah dagang bersama Abu Talib ke negeri Syam. Diceritakan, bahwa dalam perjalanan inilah ia bertemu dengan rahib Bahira, dan bahwa rahib itu telah melihat tanda-tanda kenabian padanya sesuai dengan petunjuk cerita-cerita Kristen. Rahib itu menasehatkan keluarganya supaya jangan terlampau dalam memasuki daerah Syam, sebab dikuatirkan orang-orang Yahudi yang mengetahui tanda-tanda itu akan berbuat jahat terhadap dia.



Dalam perjalanan itulah, Nabiyullah mendapat pengalaman dan wawasan yang berguna. Beliau dapat melihat luasnya padang pasir, menatap bintang-bintang yang berkilauan di langit yang jernih cemerlang. Dilaluinya daerah-daerah Madyan, Wadit’l-Qura serta peninggalan bangunan-bangunan Thamud. Didengarnya dsegala cerita orang-orang Arab dan penduduk pedalaman tentang bangunan-bangunan itu, tentang sejarahnya masa lampau. Dalam perjalanan ke daerah Syam ini ia berhenti di kebun-kebun yang lebat dengan buab-buahan yang sudah masak, yang akan membuat ia lupa akan kebun-kebun di Ta’if serta segala cerita orang tentang itu. Taman-taman yang dilihatnya dibandingkannya dengan dataran pasir yang gersang dan gunung-gunung tandus di sekeliling Mekah itu. Di Syam Muhammad mengetahui berita-berita tentang Kerajaan Rumawi dan agama Kristennya, didengarnya berita tentang Kitab Suci mereka serta oposisi Persia dari penyembah api terhadap mereka dan persiapannya menghadapi perang dengan Persia. Sekalipun usianya baru dua belas tahun, tapi dia sudah mempunyai persiapan kebesaran jiwa, kecerdasan otak, tinjauan yang begitu dalam, ingatan yang cukup kuat, serta segala sifat-sifat semacam itu yang diberikan Allah kepadanya sebagai suatu persiapan akan menerima risalah (misi) maha besar yang sedang menantinya. Ia melihat ke sekeliling, dengan sikap menyelidiki, meneliti. Ia tidak puas terhadap segala yang didengar dan dilihatnya. Ia bertanya kepada diri sendiri: Di manakah kebenaran dari semua itu?



Masa Remaja Nabi SAW



Muhammad yang tinggal dengan pamannya, menerima apa adanya. Ia melakukan pekerjaan yang biasa dikerjakan oleh mereka yang seusia dia. Bila tiba bulan-bulan suci, kadang ia tinggal di Mekah dengan keluarga, kadang pergi bersama mereka ke pekan-pekan yang berdekatan dengan ‘Ukaz, Majanna dan Dhu’l-Majaz, mendengarkan sajak-sajak yang dibawakan oleh penyair-penyair Mudhahhabat dan Mu’allaqat, yang melukiskan lagu cinta dan puisi-puisi kebanggaan, melukiskan nenek moyang mereka, peperangan mereka, kemurahan hati dan jasa-jasa mereka. Didengarnya ahli-ahli pidato di antaranya orang-orang Yahudi dan Nasrani yang membenci paganisma Arab. Mereka bicara tentang Kitab-kitab Suci Isa dan Musa, dan mengajak kepada kebenaran menurut keyakinan mereka. Dinilainya semua itu dengan hati nuraninya, dilihatnya ini lebih baik daripada paganisma yang telah menghanyutkan keluarganya itu. Tetapi tidak sepenuhnya ia merasa lega.



Dengan demikian sejak muda-belia takdir telah mengantarkannya ke jurusan yang akan membawanya ke suatu saat bersejarah, saat mula pertama datangnya wahyu, tatkala Tuhan memerintahkan ia menyampaikan risalahNya itu. Yakni risalah kebenaran dan petunjuk bagi seluruh umat manusia. Kalau Muhammad sudah mengenal seluk-beluk jalan padang pasir dengan pamannya Abu Talib, sudah mendengar para penyair, ahli-ahli pidato membacakan sajak-sajak dan pidato-pidato dengan keluarganya dulu di pekan sekitar Mekah selama bulan-bulan suci, maka ia juga telah mengenal arti memanggul senjata, ketika ia mendampingi paman-pamannya dalam Perang Fijar.



Perang Fijar



Perang Fijar bermula dari peristiwa pembunuhan yang dilakukan oleh Barradz bin Qais dari kabilah Kinana kepada ‘Urwa ar-Rahhal bin ‘Utba dari kabilah Hawazin pada bulan suci yang sebenarnya dilarang untuk berperang. Seorang pedagang, Nu’man bin’l-Mundhir, setiap tahun mengirimkan sebuah kafilah dari Hira ke ‘Ukaz, tidak jauh dari ‘Arafat. Barradz menginginkan membawa kafilah itu ke bawah pengawasan kabilah Kinana. Demikian juga ‘Urwa menginginkan mengiringi kafilah itu. Nu’man memilih ‘Urwa (Hawazin), dan hal ini menimbulkan kejengkelan Barradz (Kinana). Ia kemudian mengikutinya dari belakang, lalu membunuhnya dan mengambil kabilah itu. Maka terjadilah perang antara mereka itu. Perang ini hanya beberapa hari saja setiap tahun, tetapi berlangsung selama empat tahun terus-menerus dan berakhir dengan suatu perdamaian model pedalaman, yaitu yang menderita korban manusia lebih kecil harus membayar ganti sebanyak jumlah kelebihan korban itu kepada pihak lain. Maka dengan demikian Quraisy telah membayar kompensasi sebanyak duapuluh orang Hawazin. Perang fijar ini terjadi ketika Nabi berusia antara limabelas tahun sampai duapuluh tahun.



Beberapa tahun sesudah kenabiannya Rasulullah menyebutkan tentang Perang Fijar itu dengan berkata: “Aku mengikutinya bersama dengan paman-pamanku, juga ikut melemparkan panah dalam perang itu; sebab aku tidak suka kalau tidak juga aku ikut melaksanakan.”



Perang Fijar itu berlangsung hanya beberapa hari saja tiap tahun. Sedang selebihnya masyarakat Arab kembali ke pekerjaannya masing-masing. Pahit-getirnya peperangan yang tergores dalam hati mereka tidak akan menghalangi mereka dari kegiatan perdagangan, menjalankan riba, minum minuman keras serta pelbagai macam kesenangan dan hiburan sepuas-puasnya



Akan tetapi Nabi telah menjauhi semua itu, dan sejarah cukup menjadi saksi. Yang terang ia menjauhi itu bukan karena tidak mampu mencapainya. Mereka yang tinggal di pinggiran Mekah, yang tidak mempunyai mata pencarian, hidup dalam kemiskinan dan kekurangan, ikut hanyut juga dalam hiburan itu. Jiwa besarnya yang selalu mendambakan kesempurnaan, itu lah yang menyebabkan dia menjauhi foya-foya, yang biasa menjadi sasaran utama pemduduk Mekah. Ia mendambakan cahaya hidup yang akan lahir dalam segala manifestasi kehidupan, dan yang akan dicapainya hanya dengan dasar kebenaran. Kenyataan ini dibuktikan oleh julukan yang diberikan orang kepadanya dan bawaan yang ada dalam dirinya. Itu sebabnya, sejak masa ia kanak-kanak gejala kesempurnaan, kedewasaan dan kejujuran hati sudah tampak, sehingga penduduk Mekah semua memanggilnya Al-Amin (artinya ‘yang dapat dipercaya’).



Yang menyebabkan dia lebih banyak merenung dan berpikir, ialah pekerjaannya menggembalakan kambing sejak dalam masa mudanya itu. Dia menggembalakan kambing keluarganya dan kambing penduduk Mekah. Dengan rasa gembira ia menyebutkan saat-saat yang dialaminya pada waktu menggembala itu. Di antaranya ia berkata: “Nabi-nabi yang diutus Allah itu gembala kambing.” Dan katanya lagi: “Musa diutus, dia gembala kambing, Daud diutus, dia gembala kambing, aku diutus, juga gembala kambing keluargaku di Ajyad.” Gembala kambing yang berhati terang itu, dalam udara yang bebas lepas di siang hari, dalam kemilau bintang bila malam sudah bertahta, menemukan suatu tempat yang serasi untuk pemikiran dan permenungannya.



Pemikiran dan permenungan demikian membuat ia jauh dari segala pemikiran nafsu manusia duniawi. Ia berada lebih tinggi dari itu sehingga adanya hidup palsu yang sia-sia akan tampak jelas di hadapannya. Oleh karena itu, dalam perbuatan dan tingkah-lakunya Muhammad terhindar dari segala penodaan nama yang sudah diberikan kepadanya oleh penduduk Mekah, dan memang begitu adanya: Al-Amin. Pada suatu hari ia ingin bermain-main seperti pemuda-pemuda lain. Hal ini dikatakannya kepada kawannya pada suatu senja, bahwa ia ingin turun ke Mekah, bermain-main seperti para pemuda di gelap malam, dan dimintanya kawannya menjagakan kambing ternaknya itu. Tetapi Allah SWT selalu melindunginya, sesampainya di ujung Mekah, perhatiannya tertarik pada suatu pesta perkawinan dan dia hadir di tempat itu. Tetapi tiba-tiba ia tertidur. Pada malam berikutnya datang lagi ia ke Mekah, dengan maksud yang sama. Terdengar olehnya irama musik yang indah, seolah turun dari langit. Ia duduk mendengarkan. Lalu tertidur lagi sampai pagi.



Kenikmatan yang dirasakan Muhammad sejak masa pertumbuhannya yang mula-mula yang telah diperlihatkan dunia sejak masa mudanya adalah kenangan yang selalu hidup dalam jiwanya, yang mengajak orang hidup tidak hanya mementingkan dunia. Ini dimulai sejak kematian ayahnya ketika ia masih dalam kandungan, kemudian kematian ibunya, kemudian kematian kakeknya. Kenikmatan demikian ini tidak memerlukan harta kekayaan yang besar, tetapi memerlukan suatu kekayaan jiwa yang kuat. sehingga orang dapat mengetahui: bagaimana ia memelihara diri dan menyesuaikannya dengan kehidupan batin.



Pernikahan Dengan Khadijah ra



Ketika Nabi itu berumur duapuluh lima tahun. Abu Talib mendengar bahwa Khadijah sedang menyiapkan perdagangan yang akan dibawa dengan kafilah ke Syam. Abu Talib lalu menghubungi Khadijah untuk mengupah Muhammad untuk menjalankan perdagangannya. Khadijah setuju dengan upah empat ekor unta. Setelah mendapat nasehat paman-pamannya Muhammad pergi dengan Maisara, budak Khadijah. Dengan mengambil jalan padang pasir kafilah itupun berangkat menuju Syam, dengan melalui Wadi’l-Qura, Madyan dan Diar Thamud serta daerah-daerah yang dulu pernah dilalui Muhammad dengan pamannya Abu Talib.



Dengan kejujuran dan kemampuannya ternyata Muhammad mampu benar memperdagangkan barang-barang Khadijah, dengan cara perdagangan yang lebih banyak menguntungkan daripada yang dilakukan orang lain sebelumnya. Demikian juga dengan karakter yang manis dan perasaannya yang luhur ia dapat menarik kecintaan dan penghormatan Maisara kepadanya. Setelah tiba waktunya mereka akan kembali, mereka membeli segala barang dagangan dari Syam yang kira-kira akan disukai oleh Khadijah. Setelah kembali di Mekah, Muhammad bercerita dengan bahasa yang begitu fasih tentang perjalanannya serta laba yang diperolehnya, demikian juga mengenai barang-barang Syam yang dibawanya. Khadijah gembira dan tertarik sekali mendengarkan. sesudah itu, Maisara bercerita juga tentang Muhammad, betapa halusnya wataknya, betapa tingginya budi-pekertinya. Hal ini menambah pengetahuan Khadijah di samping yang sudah diketahuinya sebagai pemuda Mekah yang besar jasanya.



Dalam waktu singkat saja kegembiraan Khadijah ini telah berubah menjadi rasa cinta, sehingga dia – yang sudah berusia empatpuluh tahun, dan yang sebelum itu telah menolak lamaran pemuka-pemuka dan pembesar-pembesar Quraisy – tertarik juga hatinya mengawini pemuda ini, yang tutur kata dan pandangan matanya telah menembusi kalbunya. Pernah ia membicarakan hal itu kepada saudaranya yang perempuan – kata sebuah sumber, atau dengan sahabatnya, Nufaisa bint Mun-ya – kata sumber lain. Nufaisa pergi menjajagi Muhammad seraya berkata: “Kenapa kau tidak mau kawin?” “Aku tidak punya apa-apa sebagai persiapan perkawinan,” jawab Muhammad. “Kalau itu disediakan dan yang melamarmu itu cantik, berharta, terhormat dan memenuhi syarat, tidakkah akan kauterima?” “Siapa itu?” Nufaisa menjawab hanya dengan sepatah kata: “Khadijah.” “Dengan cara bagaimana?” tanya Muhammad. Sebenarnya ia sendiri berkenan kepada Khadijah sekalipun hati kecilnya belum lagi memikirkan soal perkawinan, mengingat Khadijah sudah menolak permintaan hartawan-hartawan dan bangsawan-bangsawan Quraisy. Setelah atas pertanyaan itu Nufaisa mengatakan: “Serahkan hal itu kepadaku,” maka iapun menyatakan persetujuannya.



Tak lama kemudian Khadijah menentukan waktunya yang kelak akan dihadiri oleh paman-paman Muhammad supaya dapat bertemu dengan keluarga Khadijah guna menentukan hari perkawinan. Kemudian perkawinan itu berlangsung dengan diwakili oleh paman Khadijah, Umar bin Asad, sebab Khuwailid ayahnya sudah meninggal sebelum Perang Fijar. Di sinilah dimulainya lembaran baru dalam kehidupan Muhammad. Dimulainya kehidupan itu sebagai suami-isteri dan ibu-bapa, suami-isten yang harmonis dan sedap dari kedua belah pihak, dan sebagai ibu-bapa yang telah merasakan pedihnya kehilangan anak sebagaimana pernah dialami Muhammad yang telah kehilangan ibu-bapa semasa ia masih kecil.
User avatar
Adadeh
Posts: 8184
Joined: Thu Oct 13, 2005 1:59 am

Re: Rafat Amari: Islam, Ditinjau dari Pengamatan Sejarah (1)

Post by Adadeh »

straightfaith wrote:Pada saat-saat tertentu, Muhammad juga berdagang membantu perdagangan milik Abu Thalib atau barang dagangan titipan dari orang lain. Pada usia 12 tahun untuk pertama kalinya dia diajak pamannya, Abu Thalib, berdagang keluar tanah Arab, yaitu ke daerah Syam. Dengan hasil perdagangan dan ternak, penghidupan Muhammad dan keluarga Abu Thalib semakin bagus pada saat ia semakin dewasa.
Kreatif sekali dustamu, Muslim. Hasil mengarang bebas kayak gini mau dijadikan bukti ilmiah? Sumber referensinya mana? Diambil dari buku apa, siapakah pengarangnya, halaman berapa keterangan tersebut, siapa penerbitnya, kapan tahun penulisannya? Kalo mau dianggap serius di sini, cantumkan data referensi yang lengkap. Gak ada keterangan seperti di atas di seluruh buku Sirat yang terasli dari Ibn Ishaq, Ibn Hisyam, Tabari, Ibn Sa'd, dll.

Islam itu punya dua kaki: (1) Dusta/Taqiya; dan (2) Jihad (bunuh serang kafir, baik dengan cara terang2an atau diam2). Yang kamu lakukan sekarang adalah Taqiya, alias menyebar dusta demi mendongkrak citra Nabimu yang rusak parah. Muslim giat mengarang bebas yang indah² tentang Muhammad sebab literatur asli Islam ternyata tidak sesuai dengan harapan mereka akan Muhammad.
User avatar
Adadeh
Posts: 8184
Joined: Thu Oct 13, 2005 1:59 am

Re:

Post by Adadeh »

ali5196 wrote:straightfaith, masukin linkmu dong, cayangk .. ini versi Islib atau ustadzmu? Mana bukti2 yg mendukung fakta2 diatas?
Bukti²nya nanti saja, mbah Ali. Allah nanti berikan di akhirat. :rofl:

Netter straighfaith copas dari Sirat yand ditulis Muhammad Hussein Haykal di tahun 1933. Penulis Muslim abad ke 20 memang sangat suka mengganti berbagai keterangan asli tentang Muhammad. Sirat punya Haykal ini sangat populer di kalangan Muslim modern, sebab sosok Muhammad ditampilkan secara lebih ramah, lebih baik hati, lebih simpatik dibandingkan Sirat² asli di abad 8,9,10 M (punya Ibn Sa'd, Tabari, Ibn Ishaq, Ibn Hisyam, Halabiya, Mubarakpuri). Usaha pemalsuan kisah Muhammad ini dilakukan banyak Muslim, karena mereka tak suka dengan apa yang mereka baca tentang Muhammad di Sirat² kuno.

Para kafir di sini tentunya tak mau memakai Sirat² palsu buatan Muslim modern, sebab kami lebih memilih kebenaran daripada dusta.
ali5196
Posts: 16757
Joined: Wed Sep 14, 2005 5:15 pm

Post by ali5196 »

Iya yahh .. kalau seandainya pemuda2 Indonesia lebih giat mencari bukti dan tidak menelan mentah2 apa yang disiarkan sinetron Islami ini, maka negara kita akan lain bentuknya.

Siapapun, entah pengikut agama ataupun pengikut MaotseTung atau atheisme, bisa menangis tersedu2 mendengar cerita pahlawan2 mereka. Padahal kalau mereka berani korek dikiIIIIttt ajah, mereka bisa dengan mudah melihat bahwa pahlawan mereka itu mahluk2 VUSUK!

Ane pernah lihat buku merah RRC yang penuh dengan gambar kehebatan chairman Mao! ADUUUUUHHHH ... buku ini toh yang bikin jutaan massa RRC sampai histeris terisak2 dan kebanggaan mereka begitu high saat mereka melihat idola mereka tampil di panggung. Padahal .. yeileeeh ... itu khan cuma encek2 gila angpao dan aktris2 bahenol!

Malah ada nyanyian wajib berjudul 'Kebaikan Mao' yang harus didengungkan 5 kali sehari !

Kindness Of Mao: a Cultural Revolution song
http://www.youtube.com/watch?v=l209eLNj ... re=related

Gilee ! Kalau orang yang membunuh 60 juta rakyatnya sendiri dalam waktu 10 tahun saja bisa disebut raja 'Kebaikan' gimana kalau lagi jahat yahh??? Gile gile gileeeee!!! :shock: :shock:

Mao jelas tidak beda jauh dari Muhammad. Spt Muhammad menghancurkan patung2 berhala di Mekah, lihat saja nih bgm Maomao memerintahkan penghancuran patung2 Yesus dan Buddha. Orang kayak gini disebut raja 'Kebaikan' ??

Image
http://www.fsmitha.com/h2/ch25prc6.htm

Image
Ajaran Budha diganti dengan ajaran rekayasa Mao dalam bentuk Buku Merah, dlm foto diatas disampaikan oleh istrinya yang kebetulan mantan aktris bahenol. Kalau jaman Komunis perempuan bengis macam ini pake seragam komunis nenteng2 buku merah, sekarang perempuan2 bengis mengenakan jilbab, burka, sambil nenteng buku ijo.

PAS deh !! Maomao = jelmaan Mamad. namanya aja hampir sama.

Oh slim ... bukalah matamu slim ...
Last edited by ali5196 on Sat May 14, 2011 6:18 pm, edited 5 times in total.
ali5196
Posts: 16757
Joined: Wed Sep 14, 2005 5:15 pm

Re: Rafat Amari: Islam, Ditinjau dari Pengamatan Sejarah (1)

Post by ali5196 »

baidewe .. gua kalo lihat aktris bahenol macam Miyabi juga histeris terisak2 ! :shock:

ehh sori yah, adadeh, ane ikut ngotorin thread ente ini! :axe:
User avatar
Adadeh
Posts: 8184
Joined: Thu Oct 13, 2005 1:59 am

Re: Rafat Amari: Islam, Ditinjau dari Pengamatan Sejarah (1)

Post by Adadeh »

straightfaith wrote:Profesi ini seakan telah ditetapkan oleh Tuhan kepada orang-orang pilihan-Nya yang dipersiapkan sebagai utusan-Nya. Hampir semua nabi ditetapkan oleh Allah sebagai penggembala kambing atau domba, Musa, Yakub, maupun Isa.Ini adalah salah satu ciri kenabian seseorang yang telah ditetapkan Allah.
ali5196 wrote:baidewe .. gua kalo lihat aktris bahenol macam Miyabi juga histeris terisak2 ! :shock:
Mbah Ali, Miyabi juga penggembala kambing lho. Jangan² Miyabi Rasulullah juga tuh!

Image
User avatar
straightfaith
Posts: 177
Joined: Thu May 12, 2011 3:28 pm

Re: Rafat Amari: Islam, Ditinjau dari Pengamatan Sejarah (1)

Post by straightfaith »

maaf saya oot, tapi
ada thread adadeh yg membahas penulis perjanjian lama gak?
MasaIya
Posts: 241
Joined: Mon Oct 24, 2005 10:06 am

Re: Rafat Amari: Islam, Ditinjau dari Pengamatan Sejarah (1)

Post by MasaIya »

straightfaith wrote:maaf saya oot, tapi
ada thread adadeh yg membahas penulis perjanjian lama gak?
Ini orang tampaknya penasaran dan obsessed banget sama bung Adadeh. Ditawarin duren, gak mau, maunya Adadeh melulu. Apa karena durennya kurang wangi dan maniskah? wkwkwkwkwk...

Ada kok topik Adadeh yang membahas Perjanjian Lama, tapi tidak khusus tentang itu saja, karena juga membahas Yudaisme, Zoroastria, Hindu, dll yang semuanya dicontekin Nabi Besoar SAW (Sex After War). Monggo klik ini:
BUKTI KUAT QUR'AN KARANGAN MUHAMMAD
ali5196
Posts: 16757
Joined: Wed Sep 14, 2005 5:15 pm

Re: Rafat Amari: Islam, Ditinjau dari Pengamatan Sejarah (1)

Post by ali5196 »

Aduuuhhh .. ini thread kok makin seru! SEX AFTER WAR >.. WOAHAHAAAAAAA ... !!! ternayta om ali masih perlu banyak belajar dari om adaduren!

Aya wae wae neng Miyabih ... om ali jadi suka embeeeee.. \:D/ \:D/
User avatar
straightfaith
Posts: 177
Joined: Thu May 12, 2011 3:28 pm

Re: Rafat Amari: Islam, Ditinjau dari Pengamatan Sejarah (1)

Post by straightfaith »

mereka (ismail's descs) sudah musnah sejak 7 SM????

subjektif amiiirrr!!!
User avatar
straightfaith
Posts: 177
Joined: Thu May 12, 2011 3:28 pm

Re: Rafat Amari: Islam, Ditinjau dari Pengamatan Sejarah (1)

Post by straightfaith »

Abraham peace be upon him sent Hagar and Ishmael to Paran:

Let us look at the following Verses: "Then God opened her [Hagar] eyes and she saw a well of water. So she went and filled the skin with water and gave the boy a drink. God was with the boy as he grew up. He lived in the desert and became an archer. While he was living in the Desert of Paran, his mother got a wife for him from Egypt. At that time Abimelech and Phicol the commander of his forces said to Abraham, "God is with you in everything you do. (From the NIV Bible, Genesis 21:19-22)"

Hagar was an Arab. Abraham peace be upon him had Ishmael from her, who was 13 years older than Issac. After Sarah, Abraham's wife gave birth to Issac, Abraham decided to let Hagar and her son Ishmael go. He sent to the desert of Arabia in the region of Paran.

Then GOD Almighty promised Ishmael that from him, He will increase his numbers and make from him a great nation, the Arab nation; "And as for Ishmael, I have heard you: I will surely bless him; I will make him fruitful and will greatly increase his numbers. He will be the father of twelve rulers, and I will make him into a great nation. (From the NIV Bible, Genesis 17:20)"

The Bible clearly says that Paran is south of Sinai in Egypt; "He said: 'The LORD came from Sinai and dawned over them from Seir; he shone forth from Mount Paran. He came with myriads of holy ones from the south, from his mountain slopes.' (From the NIV Bible, Deuteronomy 33:2)"

Kedar came from Ishmael; "These are the names of the sons of Ishmael, listed in the order of their birth: Nebaioth the firstborn of Ishmael, Kedar, Adbeel, Mibsam, and Mishma, and Dumah, and Massa, Hadar, and Tema, Jetur, Naphish, and Kedemah: These are the sons of Ishmael, and these are their names, by their towns, and by their castles; twelve princes according to their nations. Kedar and Ancient Arabs (From the NIV Bible, Genesis 25:13)" The Arabian desert region was named after Kedar. See the second map below.

Image
Image

The Ishmaelites were Arabs and not Egyptians. They came from the Arabian desert; "As they sat down to eat their meal, they looked up and saw a caravan of Ishmaelites coming from Gilead. Their camels were loaded with spices, balm and myrrh, and they were on their way to take them down to Egypt. (From the NIV Bible, Genesis 37:25)" "take them down to Egypt" means taking them to the land of Egypt. It doesn't mean taking them toward the south direction. When for instance you say "my house is right down the street", it doesn't mean the house is south of the street. The house could be on the north side. The sentence means that the house is on the street, or will be found if the person walks in the path that you lead him to.

The point however in the above Verse is that the Ishmaelites were not from Egypt. They came from another land. They had loaded camels and they were heading to Egypt. Arabs used to rely heavily on camels for traveling. And as we've seen from the above Verses regarding Ishmael and his Mother (Hagar) living in the desert of Paran in the South, this clearly proves to us that the desert of Paran is located in Arabia and not in Egypt, since the Ishmaelites are not Egyptians.



Mecca, Bacca and Paran:

Let me paste for you the following Verses from the Bible and the Noble Quran:

"Blessed is the man whose strength is in thee; in whose heart are the ways of them. Who passing through the valley of Baca make it a well; the rain also filleth the pools. (From the NIV Bible, Psalms 84:5-6)"

"The first House (of worship) appointed for men was that at Bakka full of blessing and of guidance for all kinds of beings: In it are signs manifest; (for example) the Station of Abraham; whoever enters it attains security; pilgrimage thereto is a duty men owe to Allah those who can afford the journey; but if any deny faith Allah stands not in need of any of his creatures. (The Noble Quran, 3:96-97)"

"And God heard the voice of the lad; and the angel of God called Hagar out of heaven, and said unto her, What aileth thee, Hagar? fear not; for God hath heard the voice of the lad where he is. Arise, lift up the lad, and hold him in thine hand; for I will make him a great nation. And God opened her eyes, and she saw a well of water; and she went, and filled the bottle with water, and gave the lad drink. And God was with the lad; and he grew, and dwelt in the wilderness, and became an archer. And he dwelt in the wilderness of Paran: and his mother took him a wife out of the land of Egypt. (From the NIV Bible, Genesis 21:17-21)"



More Verses on Paran:

"Then the Israelites set out from the Desert of Sinai and traveled from place to place until the cloud came to rest in the Desert of Paran. (From the NIV Bible, Numbers 10:12)" Here the desert of Paran means the region of Paran, which would be either at or near Mecca.

"After that, the people left Hazeroth and encamped in the Desert of Paran. (From the NIV Bible, Numbers 12:16)" Here the desert of Paran means the region of Paran, which would be either at or near Mecca.

"So at the LORD's command Moses sent them out from the Desert of Paran. All of them were leaders of the Israelites. (From the NIV Bible, Numbers 13:3)"

"These are the words Moses spoke to all Israel in the desert east of the Jordan--that is, in the Arabah--opposite Suph, between Paran and Tophel, Laban, Hazeroth and Dizahab. (From the NIV Bible, Deuteronomy 1:1)"



Kaabah (the cube black building in Mecca) and Mecca:

Atharva Veda X, 2, Mantras 28 and 31
28. Whether it is built high, its walls are in a straight line or not, but God is seen in every corner of it. He who knows the House of God, knows it because God is remembered there.
31. This abode of the angels has eight circuits and nine gates. It is unconquerable, there is eternal life in it and it is resplendent with Divine light.

The Ka'bah is not exactly cubical and its sides are not of the same length. The Holy Sanctuary (Haram) of which Ka'abah is at the center remains open day and night throughout the year and it is always filled with people praying and supplicating to Allah (the One True God). Muslims face toward it during prayer forming circle in the Haram (Holy House) and the circle extends out in this manner throughout the planet Earth.

The holy sanctuary (Haram) has remained unconquerable. Abraha al-Ashram, the Abbysinian viceroy of Yemen, tried to demolish it in 570 CE with a strong army and hordes of elephants but was prevented from entering the city (Holy precinct). The people of Makkah had decided not to defend the Ka'bah, fled the city and took refuge in nearby hills overlooking Ka'bah. By Allah's Command, the 'Abaabeel' (flying creatures, birds) pelted stones at Abraha's army and decimated it, leaving them like green crops devoured by cattle.

This incident is described in the Surah (chapter) 105 of the Qur'an. The year 570 CE is popularly known by the Arabs as 'The year of the Elephant,' and Prophet Muhammad was born in that year.



Paul in the book of Galatians and the most recent Archeological Discoveries suggest that Mount Sinai is in Saudi Arabia and NOT in Egypt's Sinai desert:

Recent archeological discoveries along with Paul's own words in Galatians 4:25 clearly suggest that Mount Sinai is located in Saudi Arabia. This means that Paran being south of Mount Sinai clearly means that it is the Holy City of Mecca as I showed above:

The Bible clearly says that Paran is south of Sinai in Egypt; "He said: 'The LORD came from Sinai and dawned over them from Seir; he shone forth from Mount Paran. He came with myriads of holy ones from the south, from his mountain slopes.' (From the NIV Bible, Deuteronomy 33:2)"

This verse is elaborated on further above. Now, let us first look at Galatians 4:25, then the archeological evidence:

"Now Hagar stands for Mount Sinai in Arabia and corresponds to the present city of Jerusalem, because she is in slavery with her children. (From the NIV Bible, Galatians 4:25)"

Why isn't there any record of millions of Jews wandering in the desert?

Image

There has been a lot of speculation on the route of the Exodus and why the traditional site hasn't yielded any archaeological evidence. After all, if two million people wander in a desert for forty years, you'd think that at least something would be found to support it. But, nothing at all has been unearthed in the Sinai Peninsula supporting the biblical account of the Exodus. Various explanations for this range from the idea that it is naturally difficult to find any archeological evidence in a desert of sand to the explanation that the traditional site is the wrong one.

First of all, no archaeological find has ever contradicted the Bible. Archaeology has only confirmed what the Bible says. As has been the case with so many other things in the Bible, as archaeology progresses, they will most certainly uncover evidence in the future. The Bible has yet to be proven wrong by archaeology.
Second, lack of evidence doesn't mean there wasn't an Exodus. However, this is a slippery slope since having a lack of evidence for an ice cream factory on Jupiter doesn't mean that there is one. What we need is evidence and it is fair to say that there should be some evidence for the wanderings of two million people for forty years in a desert.

Third, it may be that the traditional site of Mt. Sinai is incorrect. Gal. Gal. 4:25 says "Now this Hagar is Mount Sinai in Arabia, and corresponds to the present Jerusalem, for she is in slavery with her children." Present theories dealing with Mt. Sinai's location have it in the Sinai Peninsula, yet the Bible says it was in Arabia. The map to the right shows the traditionally accepted route (in black) and the currently accepted location of Mt. Sinai. The problem is that there has been absolutely no archaeological evidence unearthed at that site to verify the Exodus. The route in red shows an alternate path that is consistent with Paul's description in Gal. 4:25. This would have Mt. Sinai be in Arabia, which is now Saudi Arabia, instead of the traditionally accepted Sinai peninsula.
In a recent book titled "In search of the Mountain of God," by Bob Cornuke and David Halbrook (Broadman and Holman, 2000), Bob Cornuke (a Christian) recounts his story of going into Saudi Arabia with his friend Larry Williams (a non-Christian commodities trader). They uncovered evidence of an alternate site where the real Mt. Sinai might be. Bob Cornuke was a police officer, swat team member, and crime scene investigator in Southern California and is the President of the Bible Archaeology Search and Exploration (BASE) Institute BaseInstitute.org. He and Mr. Williams have produced a video and book (available on that site) where they claim to have found evidence in Saudi Arabia to support that Mt. Sinai is located within its borders. Now, I must admit that this has not been verified by any "official" archaeologists, but the video, which I have seen, does raise some interesting possibilities.
Mr. Cornuke and Williams claim to have simply let the Bible guide them as they attempted to locate the actual route of the Jews of the Exodus. Through trial and error over several weeks, they followed what they believed was the route as is laid out by the Bible and they found the items described in Exodus 13 - 19 including, springs, a split rock, an altar, an underwater land bridge at the end of the Sinai Peninsula where the people of Israel could have crossed, and much more. The present location of Mt. Sinai, according to the locals in their account, is known as Jabal Al Laws as is traditionally known by them as the mount of Moses. The Saudis have the area fenced off with warning signs in Arabic and English telling people not to enter. If this is so, why would the Saudis not want anyone to know about the place? It might be because if Mt. Sinai is located in Muslim territory then one of the most holy places of the Jewish and Christian religions it could pose serious political problems.
I must admit that this is speculative at present and it has not been verified. But the video was compelling. Whether or not this is a valid option is yet to be determined and it is supportive of the idea that the traditional location of Exodus route might indeed be incorrect, as Gal. 4:25 seems to suggest.

Is Mount SINAI in the SINAI?

For centuries Bible scholars and religious pilgrims have been seeking the location of the real Mt. Sinai.Today, most people are unaware that not one piece of hard evidence has been produced to verify thatwhat is traditionally designated at “Mount Sinai” in the south central Sinai Peninsula is indeed thefamed mountain of Moses and the Exodus. In fact, the only verifiable reason that the traditional site is designated “Mount Sinai” at all is because a Roman mystic designated it and Helena, mother of Constantine I, anointed it as the true Mount Sinai early in the 4th century AD. (Helena also claimed she discovered the true “holy sepulchre” in Jerusalem and the true cross of Christ.)

Several other proposed sites for the true Mount Sinai have been suggested by biblical scholars, but thus far they have produced no archaeological evidence to support them. If we are ever to discern a correct location for the historical events recorded in the biblical Book of Exodus, it’s important to use the Scriptures as a guide, just as we would use any ancient documents that have proven reliable in the past.

In the New Testament, Paul wrote in Galatians 4:25, “Now Hagar stands for Mount Sinai in Arabia . . .”Although some argue that here the Roman designation of Arabia includes the Sinai Peninsula, Arabia in Paul’s day encompassed a larger region that primarily designated the populated regions of ancient Midian, or modern-day Saudi Arabia. As a “Hebrew of Hebrews,” Paul’s understanding of Arabia would have been one that was consistent with Old Testament passages like 1 Kings 10:15, 2 Chronicles 9:14, Isaiah 21:13, Jeremiah 25:24, and Ezekiel 27:21, in which Arabia is clearly identified with the region east of the Gulf of Aqaba, where “kings” ruled and the “Dedanites” co-dwelt with other nomadic peoples.

Even more telling, Exodus 3:1 plainly identifies Mount Horeb (Sinai) as being in Midian: “Now Moses was tending the flock of Jethro his father-in-law, the priest of Midian. And he led the flock to the back of the desert, and came to Horeb, the mountain of God.” Here, there are two important issues. First, the region of “Midian” referred to here is undeniably the same as present-day Saudi Arabia. Second, at the traditional site of Mt. Sinai on the Sinai Peninsula, there is nothing that would cause it to be geographically identified with the “back” of a desert, in distinction from its surroundings. By contrast, the site proposed by BASE Institute is, indeed, on the far side or margin of a vast desert in ancient Midian.

However, can ancient Midian be identified with the Sinai Peninsula, which in the time of Moses, was considered a part of Egypt (although designated as the “wilderness” of Egypt)? It is apparent from Exodus 2:15 that the two were separate entities. After killing an Egyptian, Moses fled Egypt for safer ground: “When Pharaoh heard of this, he tried to kill Moses, but Moses fled from Pharaoh and went to live in Midian.” Egypt and its holdings would not have been safe for Moses under any circumstances. He would not have fled to the Sinai Peninsula, where archaeology shows that Pharaoh had multiple mining interests and military outposts. The Bible is clear that Moses went out of Egypt, to the land of Midian east of the gulf of Aqaba.

The Bible makes several references to Moses returning to Egypt from Midian, including Exodus 4:19 where we read, “Now the Lord had said to Moses in Midian, ‘Go back to Egypt, for all the men who wanted to kill you are dead.” All passages associated with Moses’ stay in Midian point toward present-day Saudi Arabia as the area to which Moses fled, subsequently met God at the burning bush, and then returned with the children of Israel.

Because so many Bible references as well as archaeological evidence (or the lack of it) pointed away from traditional Mount Sinai and toward Saudi Arabia as the location of the historical mountain of Moses, a site inspection was necessary to determine if other evidence could be found to support this theory. Saudi Arabia’s closed borders made it impossible for a team of scholars and archaeologists to enter the country. As a result, Larry Williams and I surreptitiously slipped into the country, traced what appears to be the Exodus route, and climbed the mountain which many scholars now consider to be the true Mount Sinai.

What follows is a condensed account of our adventures, our findings, and how these relate directly to the Bible.

Mt. Sinai - the Evidence

RED SEA CROSSING SITE In 1 Kings 9:26, the Bible tells us, “King Solomon also built ships at Ezion Geber, which is near Elath in Edom, on the shore of the Red Sea.” This verse provides us with some compelling clues. First, Solomon had his port at Elath (modern Eilat) on the shores of the northern tip of the Gulf of Aqaba (which forms the eastern “finger” of the Red Sea proper). The NIV Study Bible references this verse as follows: “Red Sea. The Hebrew for this term, normally read as Yam Suph (‘sea of reeds’), refers to the body of water through which the Israelites passed at the time of the Exodus. It can also be read, however, as Yam Soph (‘sea of land’s end’), a more likely reading when referring to the Red Sea, and especially . . . to its eastern arm, the Gulf of Aqaba.”

This could well mean that the “sea of land’s end,” at the tip of the Sinai Peninsula, was the site of the Israelites’ crossing. At the very least, the use of the same Hebrew term both for the place where the Israelites crossed and for the Gulf of Aqaba at Elath shows that the body of water in question is not an isolated lake, but includes the bulk of what we know as the Red Sea.

BITTER LAKES: Many scholars suggest that the actual crossing of the “sea of reeds” was in the Bitter Lakes region, north of the Gulf of Suez, where some observers have claimed that wind can cause the lake level to fluctuate several feet. However, this simply is not consistent with numerous other Biblical references, including the account of an entire, Egypt-engulfing locust swarm being blown into Yam Suph (Exodus 10:19), Solomon sailing a fleet of ships on Yam Suph (1 Kings 9:26), and the description of the way in which Pharaoh’s soldiers died at Yam Suph: “But You blew with your breath, and the sea covered them. They sank like lead in the mighty waters” (Exodus 15:10). The Bitter Lakes region is a marsh with no mighty waters. At the tip of the Sinai Peninsula, however, at the entrance of the Gulf of Aqaba, the “mighty waters” of the Red Sea can reach incredible fury and awesome depths.

TRADITIONAL MOUNT SINAI: Having visited the traditional Mount Sinai in the southern Sinai Peninsula, I have seen first hand that the only place the Israelites could possibly have camped was a small, flat valley area adjacent to the mountain, allowing for only about one square yard per person (assuming that roughly 2 million people were involved in the Exodus). And despite extensive archeological investigation throughout the region, nothing has ever been found that can conclusively be tied to the Exodus of the Hebrews from Egypt - or can even argue for a large population of people ever occupying the area.

UNDERWATER LAND BRIDGE: Following a theory that the route of the Exodus actually took the Hebrews past (not through) the bitter Lakes and then southward along the west coast of the Sinai Peninsula, we traveled to the tip of the Sinai and explored the underwater topography (bathymetry) of the Strait of Tiran, where the Gulf of Aqaba is narrowest between the Sinai Peninsula and Saudi Arabia. There we found that an underwater land bridge exists that today is so problematic for shipping that two separate routes or “lanes” are designated for northbound and southbound ships to pass through. Further correlation of the Bible’s account of the route of the Exodus causes us to realize that this unusual submarine formation may well have been trod by the Hebrews themselves.

BITTER SPRINGS OF MARAH: Exploring the further possibility that the Israelites passed through the waters of the Red Sea at the Strait of Tiran, we picked up our search for landmarks on the Saudi Arabia side of the Gulf of Aqaba. There we started at the coastline on the eastern side of the Strait of Tiran and traveled the most natural route approximately 30 kilometers inland to a group of springs, where the water in some of the springs was terribly bitter. Exodus 15:22-23 tells us, “So Moses brought Israel from the Red Sea; then they went out into the wilderness of Shur. And they went three days in the wilderness and found no water. Now when they came to Marah, they could not drink the waters of Marah, for they were bitter.”

THE 70 PALMS AND 12 SPRINGS OF ELIM: As we traveled generally toward Jabal al Lawz (the Saudi Arabian mountain that is held by generations of Bedouins to be the mountain of Moses), we next encountered a group of clear water springs, with a grove of palm trees adjacent to them. We marveled at the description in Exodus 15:27: “Then they came to Elim, where there were twelve wells of water and seventy palm trees; so they camped there by the waters.”

CAVES OF MOSES: While at the springs, we discovered that some nearby caves were being excavated by Saudi archaeologists. A worker at the site said that writings found in the caves indicated that the prophet Musa (Moses) had come through this area with his nation of Hebrews.

CHARRED PEAK AND MELTED ROCK: Continuing to Jabal al Lawz, and after a great deal of maneuvering to gain access to the mountain, we found the top of the mountain to be thoroughly blackened, as if the rocks had been severely scorched from without. When we broke open the rocks, we found that they were actually granite rocks with a blackened “rind” and an untouched core of pure granite inside. We had already read in Exodus 19:18, “Now Mount Sinai was completely in smoke, because the Lord descended upon it in fire . . . .”

BOUNDARY MARKERS: As we explored further around the base of the mountain, we discovered large piles of rocks arranged in a semicircle around the front of the mountain, spaced about every 400 yards. Measuring about five feet high and 20 feet across, these piles could be the boundary markers set up by Moses, as he had been instructed by God: “. . . You warned us saying, ‘set bounds around the mountain and consecrate it’” (Exodus 19:23).

GOLDEN CALF ALTAR: In a flat area at the base of the mountain we also discovered that large boulders had been placed together, creating an altar-like formation 30 feet tall and 30 feet across - quite possibly the altar where the golden calf was set up and worshiped by God’s disobedient people. On the rocks were etched ancient drawings of a bull god, as described in Exodus 32:4, where Aaron “. . . received the gold from the hand, and he fashioned it with an engraving tool, and made a molded calf.”

More Evidence follows on the next page including information on the golden calf, the split rock at Horeb, the 12 pillars, Moses' altar and Elijah's cave.

Mt. Sinai - More Evidence

GOLDEN CALF ALTAR: In a flat area at the base of the mountain we also discovered that large boulders had been placed together, creating an altar-like formation 30 feet tall and 30 feet across - quite possibly the altar where the golden calf was set up and worshiped by God’s disobedient people. On the rocks were etched ancient drawings of a bull god, as described in Exodus 32:4, where Aaron “. . . received the gold from the hand, and he fashioned it with an engraving tool, and made a molded calf.”

MOSES' ALTAR and the 12 PILLARS: At the foot of the mountain we found a V-shaped altar, with each arm approximately 60 feet long and 20 feet wide. Next to it were several toppled pillars in sections measuring about 22 inches in diameter and 20 inches in length. Exodus 24:4 records that Moses “. . . built an altar at the foot of the mountain, and twelve pillars according to the twelve tribes of Israel.”

SPLIT ROCK AT HOREB: (Full credit for verification and documentation of the split rock at Horeb goes to Jim and Penny Caldwell, who conducted their research while living in Saudi Arabia.) One of the most startling discoveries at Jabal al Lawz was a massive, prominent, split rock on the west side of Jabal al Lawz, which showed evidence of gushing water from within - jagged rocks that had been smoothed off by an abundant flow of water. Exodus 17:6 records God’s instructions to Moses when the Israelites were dying of thirst in the wilderness: “Behold, I will stand before you there on the rock in Horeb; and you shall strike the rock, and water will come out of it, that the people may drink.”

CAVE OF ELIJAH: High on the mountain was a cave by which Elijah may have stood to hear God’s voice, as described in 1 Kings 19:18b, 13b: “. . . and he went . . . as far as Horeb, the mountain of God . . . . and he went out and stood in the entrance of the cave . . . .”

This expedition yielded the first of a wealth of compelling new evidence, to suggest that the Strait of Tiran on the Gulf of Aqaba was the crossing point for the route of the Exodus, and that Jabal al Lawz in Saudi Arabia is the true Mount Sinai.

The real significance in all this is that the Bible again has apparently been shown to be true, reliable, and accurate, down to the smallest historical detail. Critics who claim that the Bible does not coincide with known history and geography are again shown to be wrong once the physical evidence begins to surface. The account in the Bible is true, and the implications are incredible.

God descended on Mount Sinai in flames like a furnace. He spoke to Moses and gave him the Ten Commandments as the laws for the life of Israel. He communicated His love and mercy through the laws for sacrifice and atonement. And though we are unworthy, He gave us the opportunity to enter into a personal, caring relationship with the Eternal Father.

The exploits of the BASE Institute team may sound like a treasure hunt to others, but a more important adventure awaits those who would seek out the treasures of the Word of God. The Bible reveals His plan for reconciliation - and the most important discovery any of us can ever make is how to begin a personal relationship with Jesus Christ. This is the best adventure.
User avatar
straightfaith
Posts: 177
Joined: Thu May 12, 2011 3:28 pm

Re: Rafat Amari: Islam, Ditinjau dari Pengamatan Sejarah (1)

Post by straightfaith »

Historical Proof of Abraham Built the Kaaba

http://www.youtube.com/watch?v=O0Ib4rhGTW0
User avatar
Adadeh
Posts: 8184
Joined: Thu Oct 13, 2005 1:59 am

Re: Rafat Amari: Islam, Ditinjau dari Pengamatan Sejarah (1)

Post by Adadeh »

straightfaith wrote:Abraham peace be upon him sent Hagar and Ishmael to Paran:
Tak ada satu pun keterangan bahasa Inggris yang lo copas ini yang menjelaskan asal-usul bangsa Arab atau Mekah. Yang ada hanya pengakuan Muslim saja, tanpa bukti arkelologi apapun. Ini satu saja contoh kesalahan artikelmu itu:
straighfaith wrote:The Ishmaelites were Arabs and not Egyptians. They came from the Arabian desert; "As they sat down to eat their meal, they looked up and saw a caravan of Ishmaelites coming from Gilead.
Yang berwarna biru di atas adalah tulisan dari Alkitab. Tak disebut bahwa orang² yang datang adalah orang² Arab, tapi disebut orang² Ismael. Ini sudah jelas menunjukkan bahwa orang² Yahudi di jaman Yusuf tahu bahwa orang² Arab bukanlah orang² Ishmael. Ini semua sudah dijelaskan di buku Rafat Amari, Islam: in the Light of History yang sedang gw terjemahin. Anehnya lagi, umat Muslim ini doyan copas kitab suci punya orang Kristen dan Yahudi untuk membenarkan Islam, tapi di saat yang sama mereka juga menuduh kitab suci kafir telah diganti oleh kafir sendiri. Kenapa gak pake bukti dari Qur'an? Ini kan sikap yang kontradiktif dan sangat tak masuk akal?

Muslim menulis ribuan artikel tentang teori/dongeng asal-usul Mekah, tapi tak bisa mengajukan satu pun bukti arkeologi sejarah Mekah dari jaman Sebelum Masehi. Mana prasasti² Mekah di jaman SM? Kok gak ada, padahal prasasti serupa banyak ditemukan di kota² kuno Arab lainnya? Ngomongnya aja yang gede, tapi begitu ditanya mana buktinya, langsung dah pada mengkeret.

Satu hal lagi: ni forum Indonesia, dan bukan forum berbahasa Inggris. Terjemahkan artikel²my terlebih dahulu ke bahasa Indonesia sebelum elo copas di sini. Nyampah aja ni orang.
User avatar
CRESCENT-STAR
Posts: 8225
Joined: Wed Nov 04, 2009 10:48 pm

Re: Rafat Amari: Islam, Ditinjau dari Pengamatan Sejarah (1)

Post by CRESCENT-STAR »

kalau saya yg pegang kunci Kabah, saya panggil ilmuwan untuk mencek pondasi kabah dan maqam ibrahim berapa usianya ...
F-22x
Posts: 775
Joined: Tue Sep 09, 2008 9:07 am

Re: Rafat Amari: Islam, Ditinjau dari Pengamatan Sejarah (1)

Post by F-22x »

CRESCENT-STAR wrote:kalau saya yg pegang kunci Kabah, saya panggil ilmuwan untuk mencek pondasi kabah dan maqam ibrahim berapa usianya ...
Yup ente berani ngomong gini krn ente ndak dlm posisi memegang kunci kabah. Coba kalo ente bener2 megang kunci kabah, paling2 ente juga ndak akan berani melakukannya. :axe:

Contoh lain yg sangat umum, congor muslim koar2 setinggi langit kalo quran tidak pernah berubah dr jaman muhammad sampe kiamat, bukti kalo quran itu firman allah.

Lha kalo muslim punyai klaim spt itu ya gampang saja khan utk membuktikannya. Manuskrip2 quran tertua spt di sanaa, topkapi, kairo, samarkhand dll itu sebenarnya khan berada di tangan muslim sendiri. Bukankah utk membuktikan quran tdk pernah berubah muslim tinggal meng-online-kan manuskrip2 quran tertua ini? Apa seh sulitnya wong semua manuskrip quran tertua ini berada di tangan muslim sendiri? :-k

Krn ente ndak dalam posisi memegang manuskrip2 quran tertua ini, tentu saja dg mudah ente bisa berandai2 kalo misalnya manuskrip2 tertua ini berada di tangan ente, ente akan meng-online-kan semuanya. Ya ndak? :-#
MasaIya
Posts: 241
Joined: Mon Oct 24, 2005 10:06 am

Re: Rafat Amari: Islam, Ditinjau dari Pengamatan Sejarah (1)

Post by MasaIya »

straightfaith wrote:Historical Proof of Abraham Built the Kaaba

http://www.youtube.com/watch?v=O0Ib4rhGTW0
Salah tuh! Baca itu bukan Mekah! Duh, Muslim! Segitu rendah dirinya kah dikau sampai-sampai begitu butuh pengakuan dari kitab suci kafir untuk membenarkan agamamu. Udah gitu nipu, lagi. Pasti ini kerjaan si Dedat Rasullullah yang ditabok Yahweh sampai koma 9 tahun.

Mazmur 86:6
Apabila melintasi lembah Baka, membuatnya menjadi tempat yang bermata air; bahkan hujan pada awal musim menyelubunginya dengan berkat.

Ini baca:

Baka Bukanlah Mekah

Di manakah letak Baka yang disebut Daud di Mazmur? Di sini lhooo:


Image
Baka terletak di tanah Kanaan, di daerah Israel, bukan di Jazirah Arabia, apalagi di Mekah. Ngimpi kaleee....

Image
Baka itu dekat Laut Mediterania, bukan Laut Merah!

Image
Baka jauuuh banget dari Mekah!

:rofl: Keluarkan semua jurus tipu dayamu, Muslim. Kami di sini udah terbiasa kok sama segala kebohongan Muslim.

Image
Post Reply