Patah Salero wrote:Gw rasa gw gak pernah ngebantah eksistensi nilai moral objektif. Yang gw tanya dari awal adalah DARI MANA KITA TAHU BAHWA SUATU NILAI ADALAH OBJEKTIF ??
Disamping itu, bila terjadi konflik diantara nilai-nilai moral ini, bagaimana kita mengetahui bahwa suatu prinsip moral lebih tinggi nilainya dari prinsip moral yang lain.
Misalnya, Anak kecil juga tau bahwa kita harus menghargai kehidupan kita, menghargai kehidupan orang tua kita, dan menghargai kehidupan anak kita. Persoalannya, bila ketiga nyawa terancam, maka nyawa siapa yang harus pertama kali diselamatkan ??
Contoh lain, Gampang sekali untuk membandingkan antara membunuh dengan tidak membunuh. Atau jujur atau tidak jujur. Anak TK juga udah tahu bahwa membunuh dan berbohong adalah perbuatan tidak bermoral. Yang anak TK enggak paham adalah apakah seseorang dianggap bermoral ketika berbohong untuk mencegah terjadinya suatu pembunuhan.
Contoh kasus: Begal motor sadis dikejar-kejar ratusan orang pake golok, besi dan segala macam. Itu rampok yang keetakutan akhirnya sembunyi di halaman rumah gw. Apa yang harus gw lakukan ?? Apakah gw harus jujur yang mengkin mengakibatkan kematian, atau gw diam aja yang membuat rampok ini lari dan gak ketangkap.
Anak TK juga tau bahwa menginginkan istri orang lain dan membunuh adalah perbuatan tidak bermoral.
Pertanyaannya, bolehkah gw membunuh orang yang SEDANG memperkosa istri gw ??
Salam bro patah dan teman-teman semua. Lamo tak basuo..
Bro patah, kenapa anda seperti kebingungan? Jika kita berpikir bahwa nilai-nilai moral objektif ada, maka kita akan dituntun secara logis ke kesimpulan bahwa Tuhan itu ada. Saya menarik kesimpulan anda sepakat dengan pernyataan ini berdasarkan perkataan anda bahwa anda tidak menolak adanya moralitas objektif. Atau anda barangkali percaya ada moral objektif tapi itu tidak berlandaskan kepada TUHAN? Kalau itu maksud anda, kita ingin melihat premisnya seperti yang diminta oleh bro kibou. Kewajiban moral serta benar dan salah memerlukan keberadaan TUHAN.
Pertanyaan yang dimunculkan dalam pembahasan trit ini adalah, tuhan yang mana yang layak menjadi landasan nilai moral objektif itu, apakah allah nya islam? Nilai moral objektif bukan soal bagaimana anda menentukan atau membuat keputusan moral dalam sebuah situasi. Moral objektif adalah bagaimana suatu perbuatan baik tetap bernilai baik dan perbuatan salah tetap bernilai salah terlepas dari kondisi, waktu, budaya, konsensus dan kesepakatan yang melatarbelakanginya. Bagaimana kita mengetahui objektivitas? Saya tidak akan membahasnya secara panjang lebar, anda boleh mempelajarinya sendiri berdasarkan poin-poin berikut yang menurut saya cukup mewakili dalam memahaminya.
Pertama kita bisa mengetahuinya berdasarkan prinsip a posteriori. Ada hal yang kita tahu sebagai hasil dari penemuan yang kita lakukan di dunia nyata. Kita menggunakan indera kita secara empiris menguji lingkungan kita. Setelah mengumpulkan informasi, kita sampai kepada kesimpulan bahwa apa yang kita percayai dibenarkan oleh bukti. Kedua, hal-hal kita ketahui melalui kemurnian akal. Kita menarik kesimpulan berdasarkan sebab dan akibat, atau kita menarik kesimpulan dengan menggunakan hukum rasionalitas.
Ketiga, intuisi. Ini adalah cara mengetahui yang sangat mendasar sehingga pembenaran adalah mustahil. Itu karena pengetahuan melalui intuisi tidak diperoleh dengan mengikuti serangkaian fakta atau garis penalaran pada suatu kesimpulan. Sebaliknya, kita mengetahui kebenaran intuitif hanya dengan proses introspeksi dan kesadaran langsung.
Setiap tindakan moral terdiri dari tiga unsur: tindakan obyektif (apa yang kita lakukan), tujuan subyektif atau niat (mengapa kita melakukan tindakan), dan situasi konkrit atau keadaan di mana kita melakukan tindakan (di mana, kapan, bagaimana, dengan siapa, konsekuensi, dll). Beberapa tindakan, terlepas dari niat atau alasan untuk melakukannya, selalu salah karena mereka berlawanan dengan nilai kebaikan dasar manusia yang fundamental yang tidak selayaknya untuk dikompromikan. Pembunuhan langsung terhadap orang yang tidak bersalah, penyiksaan, dan pemerkosaan adalah contoh tindakan yang selalu salah. Tindakan seperti itu disebut jahat secara intrinsik, yang berarti bahwa tindakan itu salah dalam dirinya sendiri, terlepas dari adanya alasan mengapa tindakan itu dilakukan atau keadaan sekitar mereka. Pedofilia, secara intrinsik selalu jahat karena itu adalah bentuk penyiksaan dan pemerkosaan seksual terhadap anak-anak yang dalam kesadarannya sendiri belum cukup dewasa untuk memahami kenapa tindakan itu dilakukan kepada mereka. Terlepas yang melakukannya mengaku nabi, tuhan atau orang suci, atau budaya dan nilai-nilai suatu kelompok mengakuinya sebagai tindakan yang benar. Niat baik tidak dapat membuat satu tindakan yang buruk (sesuatu yang pada hakikatnya jahat) menjadi baik.
Niat baik atau niat suci nan holistik seorang muhammad yang menikahi dan menyetubuhi anak-anak, tidak membuat perbuatan menikahi dan menyetubuhi anak kecil itu menjadi baik. Bagi TUHAN yang seluruh hakikat dan karakternya hanyalah kebaikan, pedofil harusnya tetaplah pedofil yang tidak memiliki nilai moral yang baik. Niat baik anda untuk melindungi keluarga dengan membunuh orang yang hendak menyakiti keluarga anda, tidak membuat tindakan membunuh itu menjadi baik. Itulah yang disebut dengan pengetahuan moral objektif.
Dalam contoh kasus-kasus yang anda pertanyakan, anda terlihat dibingungkan akan perbedaan antara hukum moral objektif dan hukum sipil. Hukum sipil benar adalah salah satu sumber yang menetapkan kewajiban moral kita. Dalam hukum sipil, tidak ada aturan moral yang dilanggar bila anda harus membunuh, berbohong untuk mendapatkan suatu output yang baik sebagai hasilnya. Dalam aturan normatif yang dituangkan dalam hukum sipil masyarakat yang beradab, gagasan yang melekat akan moralitas adalah pandangan yang benar tentang perilaku. Kita mengatakan bahwa ada sesuatu yang bermoral ketika menampilkan perilaku yang tepat sesuai nilai yang dianut masyarakat tersebut. Sebaliknya, sesuatu menjadi tidak bermoral ketika bertentangan dengan perilaku yang semestinya.
Tapi apakah moralitas yang dikondisikan dalam tindakan berdasarkan dari suatu situasi yang dibenarkan oleh hukum sipil adalah objektif? Di banyak negara, homoseks, aborsi, prostitusi dan seks bebas dijamin oleh undang-undang. Itu tidak menjadikan perilaku tersebut menjadi objektif benar bukan? Tindakan moral yang anda contohkan adalah penerapan dari etika situasional yamg merupakan turunan dari gagasan moral dalam hukum sipil, yang mengevaluasi tindakan seseorang dalam terang konteks situasi. Bahwa keputusan moral tidak dapat dibuat atas dasar beberapa hal selalu benar dan beberapa hal selalu salah, tapi setiap keputusan moral harus dibuat dalam lingkup situasi tertentu. Saya juga setuju berbohong dan membunuh dalam situasi yang anda contohkan itu sebagai bentuk tindakan moral yang benar. Namun tentu saja itu tidak dapat dikatakan objektif secara moral.
Mari kita sedikit bermain dengan kegundahan anda dengan menelaah contoh lain yang berbeda, tapi secara makna sama dengan contoh-contoh anda. Agar lebih mendekati kepada kasus pedofilia muhammad, contoh ini adalah gambaran sebuah hubungan seksual menyimpang dimana penyimpangan menurut anda dapat dibenarkan oleh situasi, karena menghasilkan suatu output yang baik seperti terjadi pada aisyah yang pada akhirnya menjadi pencerita hadis terbanyak meski menjadi korban pedofilia.
Pada Perang Dunia 2, seorang prajurit Jerman ditangkap dan dibawa ke sebuah kamp tawanan perang di Negara lain. Istrinya kemudian , karena terpaksa mencari makanan untuk ketiga anak mereka , tertangkap oleh patroli tentara Soviet. Sang istri ini lalu dikirim ke kamp penjara di Ukraina .
Dalam beberapa bulan, prajurit Jerman itu dibebaskan kembali ke negaranya dan mulai mencari keluarganya . Dia menemukan ketiga anak mereka di sebuah sekolah penahanan Soviet, tapi mereka mencari dengan sia-sia akan keberadaan sang istri sekaligus ibu mereka. Keberadaannya tetap menjadi misteri . Sementara itu di Ukraina , istri sang prajurit mengetahui melalui penjaga kamp Soviet yang simpatik, bahwa suaminya dan anak-anaknya di Jerman mati-matian berusaha untuk menemukannya . Tapi aturan Soviet akan memungkinkan pembebasannya hanya dengan dua alasan : 1 ) penyakit yang membutuhkan perawatan medis di luar fasilitas kamp dan ( 2 ) kehamilan, dalam hal ini dia akan dikembalikan ke Jerman sebagai kewajiban.
Dia bergumul dengan alternatif dan akhirnya meminta penjaga kamp yang simpatik itu menghamili dirinya . Ketika kondisinya secara medis diverifikasi hamil , ia segera kembali ke Jerman dan bersatu kembali dengan keluarganya . Sang prajurit dan anak-anaknya menyambut dengan tangan terbuka bahkan tidak memiliki keberatan saat si istri menceritakan kepada mereka bagaimana caranya dia berhasil keluar dari kamp itu. Ketika anak hasil perzinahan itu lahir , mereka tetap mencintainya , merasa bahwa ia telah melakukan apa yang orang lain tidak bisa lakukan, yakni membawa keluarga kembali bersama-sama. Kisah ini dalam tataran subjektivitas masyarakat kita, akan banjir dukungan dan secara moral acceptable.
Bagaimana tanggapan moral anda terhadap kisah itu patah salero? Untuk mengetahui objektivitasnya, coba posisi sang istri prajurit digantikan oleh aisyah. Menurut anda apakah aisyah disitu harus tetap dianggap salah karena melakukan perzinahan? Kalau ya, berarti anda telah melihat secara objektif. Nah, mengapa anda tidak bisa berlaku objektif yang sama dalam memandang kasus pedofilia muhammad terhadap aisyah? Selanjutnya, silahkan direnungkan apakah keputusan aisyah sebagai istri sang prajurit yang menghamilkan dirinya agar dapat bersatu kembali dengan keluarganya dapat diterima secara moral?
Bro patah, membunuh, berbohong, berzinah, pedofilia, secara independen terlepas apa niat dan sistuasi yang melatarbelakangi orang melakukan tindakan itu, mestilah selalu salah secara moral objektif. Membunuh tetaplah perbuatan yang tidak baik terlepas niat baik dalam sebuah situasi yang melatarbelakangi kita melakukannya. Hasil akhir tidak membenarkan cara melakukannya. Dalam kasus pedofil muhammad, anda melihat hasil akhirnya sebagai sebuah kebaikan karena aisyah menjadi penyampai hadis terbanyak dalam sejarah islam. Tapi dalam kerangka moral objektif, the end does not justify the means, hasil akhir tidak membenarkan caranya.
Jika kita menganggap bahwa etika situasional, yang menunjukkan bahwa suatu tindakan tidak dapat dinilai oleh standar mutlak dan bahwa kebenaran atau kekeliruan tergantung pada situasi, sebagai contoh itu akan salah untuk berbohong jika kebohongan itu menyakitkan untuk orang lain, namun jika kebohongan bisa membantu orang lain maka berbohong itu akan menjadi benar, maka seperti yang ditunjukkan sebelumnya, moralitas akan menjadi otonom. Otonom disini berarti "hukum diri." Ini berarti bahwa setiap manusia adalah hukum moral itu sendiri. Nah, jika itu terjadi, bagaimana mungkin pernah ada sebuah situasi di mana seseorang bisa berbuat salah? Otonomi etis manusia dan moralitas situasional adalah proposisi yang saling eksklusif, jadi sama sekali bukan objektif.
Patah Salero wrote:Menyatakan bahwa ada nilai moral yang objektif itu gampang. Tapi apa gunanya pernyataan itu kalo gak bisa diterapkan.
Standard moral objektif yang dilandaskan kepada TUHAN yang benar, memang tidak akan bisa kita terapkan. Justru inti trit ini adalah mencari TUHAN yang memiliki standard yang tidak bisa kita terapkan itu, bukan soal menerapkan standardnya yang tidak akan pernah bisa kita lakukan. Anehnya, dalam islam justru orang bisa masuk surga meski tidak pernah dapat memenuhi standard moral objektif TUHAN itu sendiri. Bukankah begitu bro patah? Layakkah allah islam dijadikan sebagai landasan moral objektif kalau begitu?