Patah Salero wrote:Bro, gw udah bilang, kalau bagi muslim seseorang gak bisa menggantungkan sesuatu kepada Tuhan sebelum punya bukti, yaitu teks wahyu. Nah loe bilang, loe gak perlu teks wahyu untuk menentukan apakah sesuatu itu sesuai dengan moralitas objektif transenden. Misalnya kasus pernikahan Muhammaddengan Aisyah.
Karena loe YAKIN bahwa pernikahan Aisyah dan Muhammad SAW bertentangan dengan ajaran Tuhan AKA MORALITAS OBJEKTIF, gw tanya lagi, apakah tradisi yahudi yang mengawinkan perempuan diumur 12-14 tahun sesuai dengan moralitas objektif ??
Kalau loe agak nekad, boleh loe lanjutkan dengan menjawab pertanyaan, apakah perkawinan seorang gadis (siapapun gadis itu) berumur 14 tahun dan seorang laki-laki (siapapun laki-laki itu) berumur 90 tahun sesuai dengan moralitas objektif ?? Kalau pake istilah Kibou, loe mencium bau busuk atau aroma bunga mawar ketika membaca pertanyaan gw ??
Gw heran kenapa loe keberatan standar nilai loe diuji. Kalau loe konsisten gak perlu ada yang ditutup-tutupi, kan ??
Saya sama sekali tidak keberatan standar nilai saya diuji. Saya persilahkan anda buat trit nya. Saya bukan tidak tergelitik untuk mengikuti alur argumentasi anda, namun saya hanya mencoba konsisten untuk mengikuti aturan yang ada di forum ini. Mari kita coba dudukkan lagi beberapa keberatan anda. Sangat umum saya pikir, untuk menganggap bahwa karena hal-hal yang dilakukan secara berbeda dalam budaya dan agama yang berlainan, atau hal-hal yang dilakukan secara berbeda di masa lalu, maka orang-orang itu memegang nilai-nilai moral yang berbeda pula dari kita. Kita mengamati wujud keyakinan moral tercermin dalam praktek-praktek yang sangat beragam dari budaya yang berbeda di seluruh dunia (seperti perbudakan, kanibalisme, tukaran istri, pembunuhan bayi dll), dan menarik kesimpulan hal itu telah menyajikan bukti bahwa moralitas itu sendiri adalah murni dibangun dari relativisme, dibentuk oleh suatu budaya.
Fakta jelas dari wujud perbedaan dalam keyakinan moral yang ditunjukkan oleh perilaku yang berbeda dari satu budaya ke yang berikutnya sebagai bukti bahwa immoral tidak pernah berarti apa-apa, hanya dianggap sebagai perbuatan yang bertentangan dengan adat istiadat, waktu dan tempat. Orang yang mendukung adanya nilai moral dalam perilaku tertentu yang tidak kompatibel dengan standard nilai yang kita pegang sekarang karena dipraktekkan oleh yang diteladaninya, segera bisa menerima penjelasan bahwa berbagai perilaku ada karena memang ada berbagai macam komitmen moral dasar yang berbeda dan berlaku secara luas. Bahwa setiap budaya memiliki nilai-nilai moral uniknya masing-masing. Tapi benarkah standard moral itu relatif? Relativist tidak menyangkal kebenaran moral ada, tetapi mereka percaya bahwa kebenaran moral adalah relatif tergantung budaya, kelas, individu atau set prinsip aturan.
Tetapi bila kita sepakat bahwa argument moralitas adalah salah satu upaya filosofis terbaik yang membuktikan adanya figur transendental diluar realitas manusia dan alam semesta, maka hanya kepada sesuatu yang transenden inilah moralitas dapat menjadi objektif. Maka sungguh aneh, bila ada orang yang mengaku percaya kepada tuhannya tetapi memandang moralitas sebagai sesuatu yang subjektif pula, seperti anda. Dalam argument moral objektif, nilai-nilai dan kewajiban moral harus dinyatakan dalam hal sifat TUHAN dan kehendaknya daripada kepentingan diri sendiri, kontrak sosial, atau kebahagiaan umum. Nilai-nilai moral ditentukan oleh kehendak TUHAN dan sifatnya, bukan dengan cara subjektif lainnya. Dengan relativisme, perbaikan moral adalah mustahil. Tentu, relativis dapat mengubah etika pribadi mereka, tetapi mereka tidak pernah bisa menjadi orang bermoral.
Reformasi moral menyiratkan semacam aturan obyektif perilaku sebagai standar untuk dituju. Tapi aturan objektif ini adalah apa yang secara telak relativisme sangkal. Jika tidak ada cara yang lebih baik, tidak akan ada perbaikan. Tidak hanya itu, bahkan tidak ada motivasi untuk memperbaiki. Relativisme menghancurkan dorongan moral yang membuat orang naik di atas diri mereka sendiri karena tidak ada "lebih di atas" untuk dinaiki. Relativisme menolak kehidupan sebagai sarana bagi manusia untuk mengetahui ada nilai kebaikan transendental yang tidak diungkapkan dalam teks ilahi. Mengatakan kalau bagi muslim seseorang gak bisa menggantungkan sesuatu kepada tuhan sebelum punya bukti, yaitu teks wahyu, sama saja menghina kehidupan sebagai sarana pengungkapan lain dan bukti eksistensi transenden yang menekankan fakta bahwa kita menemukan nilai-nilai moral, tidak menciptakannya.
Adanya ketidaksepakatan moral tidak menunjukkan kebenaran relativisme moral. Perselisihan atas fakta-fakta menunjukkan bahwa relativisme berlaku untuk keyakinan faktual. Jika saya percaya pedofilia adalah tidak bermoral dan anda yakin sebaliknya, kita tidak bisa mengatakan bahwa keyakinan saya adalah benar bagi saya dan keyakinan anda yang benar bagi anda. Salah satu dari kita mesti keliru. Moral tidak bertalian dengan apa yang anda yakini, moral menunjuk kepada jalan kebenaran. Orang-orang memiliki keyakinan yang berbeda tentang hal-hal sepanjang sejarah, tapi yang penting adalah mana satu keyakinan yang benar itu. Meski budaya yang berbeda percaya akan nilai-nilai yang berbeda, fakta bahwa mereka memiliki keyakinan ini tidak mengakibatkan kebenaran. Entah satu atau lainnya salah, atau mereka berdua tidak benar. Berapa banyak budaya dan nilai eksis di dunia ini? Apa yang membedakan antara kelompok dan apa yang terjadi jika ada nilai-nilai yang bertentangan antara kelompok? Siapa yang memiliki wewenang untuk menentukan dan mendefinisikan mana nilai-nilai moral yang wajib diikuti? Oleh sebab itu, dibutuhkan suatu standard moralitas objektif yang kita sebut TUHAN yang berada diluar dan diatas nilai-nilai kita. TUHAN ini haruslah baik dan benar dalam segala karakternya, tidak ada kebaikan dan kebenaran lain dapat didefinisikan diluar dirinya. Pertanyaannya tetap sama, apakah TUHAN ini adalah allah nya islam, yang diklaim muhammad memberikan legitimasi moral bagi muhammad mengawini dan menikmati kontak seksual dengan anak kecil? Kebenaran dan kebaikan universal apa yang dapat diambil dari praktek pedofilia bagi seluruh umat manusia?