Menyelami Dilema Sang Allah

Siapa 'sosok' Allah, apa maunya, apa tujuannya ?
User avatar
buncis hitam
Posts: 948
Joined: Sun May 13, 2012 9:35 pm
Location: Yang jelas di tempat yang aman jauh dari para jihadis

Re: Menyelami Dilema Sang Allah

Post by buncis hitam »

palero wrote:Berarti pandangan loe bertentangan dengan Ayn Rand. Salah seorang yang menyatakan bahwa moralitas objektif itu ada dan rasional.

Survival as the Ultimate Value

Menurut Ayn Rand setiap orang harus bertanggung jawab atas keselamatan dirinya. Inilah moral yang bener. Jadi, bila loe tau bahwa keselamatan loe terancam (50 %), tindakan yang bermoral adalah menyelamatkan diri sendiri.

paham, gak ?? Ini adalah pandangan orang yang menganggap moralitas objektif itu ada.
:stun: :stun:
Baca nih yang bener dari artikel elo entuh:
For human beings, happiness, intellectual and artistic pursuits and rationality/morality are all means to survival.
Ini bukan soal moral tetapi soal bertahan hidup dijadikan sebagai nilai yang paling tinggi. Ingat bukan nilai moral. Dan ada yang menarik dari artikel tsb:
So even if morality enhances our chances of survival, it cannot be necessary for survival.

Dan ini:
Under some circumstances, such as in a dictatorial system, acting morally decreases our chances of survival
Jadi terkadang bertahan hidup bertentangan dengan moralitas di bawah situasi tertentu.
User avatar
buncis hitam
Posts: 948
Joined: Sun May 13, 2012 9:35 pm
Location: Yang jelas di tempat yang aman jauh dari para jihadis

Re: Menyelami Dilema Sang Allah

Post by buncis hitam »

Jadi bijimane dengan pertanyaan sederhana ini:
Chika, wanita dewasa berumur 20 tahun, single, belum pernah menikah. Tuti, seorang perempuan berusia 6 tahun. Sang palero ingin menikah dengan seseorang, manakah yang seharusnya dipilih, chika atau tuti???? Panduan moral seperti apa yang seharusnya diikuti????
User avatar
Kibou
Posts: 1359
Joined: Mon Nov 03, 2008 11:30 am
Location: Land of the free

Re: Menyelami Dilema Sang Allah

Post by Kibou »

@ Palero

Bro, saya lihat kamu masih banyak men-skip pertanyaan teman-teman yang lain. Coba kamu jawab dulu pertanyaan mereka, supaya tidak menimbulkan kesan kamu berusaha melarikan diri. Nanti kalau sudah saya akan berikan jawaban atas pertanyaan kamu. Salam hangat.
rahimii
Posts: 311
Joined: Sun Mar 06, 2011 6:33 pm

Re: Menyelami Dilema Sang Allah

Post by rahimii »

Patah Salero wrote:Bro, gw udah bilang, kalau bagi muslim seseorang gak bisa menggantungkan sesuatu kepada Tuhan sebelum punya bukti, yaitu teks wahyu. Nah loe bilang, loe gak perlu teks wahyu untuk menentukan apakah sesuatu itu sesuai dengan moralitas objektif transenden. Misalnya kasus pernikahan Muhammaddengan Aisyah.

Karena loe YAKIN bahwa pernikahan Aisyah dan Muhammad SAW bertentangan dengan ajaran Tuhan AKA MORALITAS OBJEKTIF, gw tanya lagi, apakah tradisi yahudi yang mengawinkan perempuan diumur 12-14 tahun sesuai dengan moralitas objektif ??
Kalau loe agak nekad, boleh loe lanjutkan dengan menjawab pertanyaan, apakah perkawinan seorang gadis (siapapun gadis itu) berumur 14 tahun dan seorang laki-laki (siapapun laki-laki itu) berumur 90 tahun sesuai dengan moralitas objektif ?? Kalau pake istilah Kibou, loe mencium bau busuk atau aroma bunga mawar ketika membaca pertanyaan gw ??

Gw heran kenapa loe keberatan standar nilai loe diuji. Kalau loe konsisten gak perlu ada yang ditutup-tutupi, kan ??
Saya sama sekali tidak keberatan standar nilai saya diuji. Saya persilahkan anda buat trit nya. Saya bukan tidak tergelitik untuk mengikuti alur argumentasi anda, namun saya hanya mencoba konsisten untuk mengikuti aturan yang ada di forum ini. Mari kita coba dudukkan lagi beberapa keberatan anda. Sangat umum saya pikir, untuk menganggap bahwa karena hal-hal yang dilakukan secara berbeda dalam budaya dan agama yang berlainan, atau hal-hal yang dilakukan secara berbeda di masa lalu, maka orang-orang itu memegang nilai-nilai moral yang berbeda pula dari kita. Kita mengamati wujud keyakinan moral tercermin dalam praktek-praktek yang sangat beragam dari budaya yang berbeda di seluruh dunia (seperti perbudakan, kanibalisme, tukaran istri, pembunuhan bayi dll), dan menarik kesimpulan hal itu telah menyajikan bukti bahwa moralitas itu sendiri adalah murni dibangun dari relativisme, dibentuk oleh suatu budaya.

Fakta jelas dari wujud perbedaan dalam keyakinan moral yang ditunjukkan oleh perilaku yang berbeda dari satu budaya ke yang berikutnya sebagai bukti bahwa immoral tidak pernah berarti apa-apa, hanya dianggap sebagai perbuatan yang bertentangan dengan adat istiadat, waktu dan tempat. Orang yang mendukung adanya nilai moral dalam perilaku tertentu yang tidak kompatibel dengan standard nilai yang kita pegang sekarang karena dipraktekkan oleh yang diteladaninya, segera bisa menerima penjelasan bahwa berbagai perilaku ada karena memang ada berbagai macam komitmen moral dasar yang berbeda dan berlaku secara luas. Bahwa setiap budaya memiliki nilai-nilai moral uniknya masing-masing. Tapi benarkah standard moral itu relatif? Relativist tidak menyangkal kebenaran moral ada, tetapi mereka percaya bahwa kebenaran moral adalah relatif tergantung budaya, kelas, individu atau set prinsip aturan.

Tetapi bila kita sepakat bahwa argument moralitas adalah salah satu upaya filosofis terbaik yang membuktikan adanya figur transendental diluar realitas manusia dan alam semesta, maka hanya kepada sesuatu yang transenden inilah moralitas dapat menjadi objektif. Maka sungguh aneh, bila ada orang yang mengaku percaya kepada tuhannya tetapi memandang moralitas sebagai sesuatu yang subjektif pula, seperti anda. Dalam argument moral objektif, nilai-nilai dan kewajiban moral harus dinyatakan dalam hal sifat TUHAN dan kehendaknya daripada kepentingan diri sendiri, kontrak sosial, atau kebahagiaan umum. Nilai-nilai moral ditentukan oleh kehendak TUHAN dan sifatnya, bukan dengan cara subjektif lainnya. Dengan relativisme, perbaikan moral adalah mustahil. Tentu, relativis dapat mengubah etika pribadi mereka, tetapi mereka tidak pernah bisa menjadi orang bermoral.

Reformasi moral menyiratkan semacam aturan obyektif perilaku sebagai standar untuk dituju. Tapi aturan objektif ini adalah apa yang secara telak relativisme sangkal. Jika tidak ada cara yang lebih baik, tidak akan ada perbaikan. Tidak hanya itu, bahkan tidak ada motivasi untuk memperbaiki. Relativisme menghancurkan dorongan moral yang membuat orang naik di atas diri mereka sendiri karena tidak ada "lebih di atas" untuk dinaiki. Relativisme menolak kehidupan sebagai sarana bagi manusia untuk mengetahui ada nilai kebaikan transendental yang tidak diungkapkan dalam teks ilahi. Mengatakan kalau bagi muslim seseorang gak bisa menggantungkan sesuatu kepada tuhan sebelum punya bukti, yaitu teks wahyu, sama saja menghina kehidupan sebagai sarana pengungkapan lain dan bukti eksistensi transenden yang menekankan fakta bahwa kita menemukan nilai-nilai moral, tidak menciptakannya.

Adanya ketidaksepakatan moral tidak menunjukkan kebenaran relativisme moral. Perselisihan atas fakta-fakta menunjukkan bahwa relativisme berlaku untuk keyakinan faktual. Jika saya percaya pedofilia adalah tidak bermoral dan anda yakin sebaliknya, kita tidak bisa mengatakan bahwa keyakinan saya adalah benar bagi saya dan keyakinan anda yang benar bagi anda. Salah satu dari kita mesti keliru. Moral tidak bertalian dengan apa yang anda yakini, moral menunjuk kepada jalan kebenaran. Orang-orang memiliki keyakinan yang berbeda tentang hal-hal sepanjang sejarah, tapi yang penting adalah mana satu keyakinan yang benar itu. Meski budaya yang berbeda percaya akan nilai-nilai yang berbeda, fakta bahwa mereka memiliki keyakinan ini tidak mengakibatkan kebenaran. Entah satu atau lainnya salah, atau mereka berdua tidak benar. Berapa banyak budaya dan nilai eksis di dunia ini? Apa yang membedakan antara kelompok dan apa yang terjadi jika ada nilai-nilai yang bertentangan antara kelompok? Siapa yang memiliki wewenang untuk menentukan dan mendefinisikan mana nilai-nilai moral yang wajib diikuti? Oleh sebab itu, dibutuhkan suatu standard moralitas objektif yang kita sebut TUHAN yang berada diluar dan diatas nilai-nilai kita. TUHAN ini haruslah baik dan benar dalam segala karakternya, tidak ada kebaikan dan kebenaran lain dapat didefinisikan diluar dirinya. Pertanyaannya tetap sama, apakah TUHAN ini adalah allah nya islam, yang diklaim muhammad memberikan legitimasi moral bagi muhammad mengawini dan menikmati kontak seksual dengan anak kecil? Kebenaran dan kebaikan universal apa yang dapat diambil dari praktek pedofilia bagi seluruh umat manusia?
angky
Posts: 3354
Joined: Wed Aug 18, 2010 11:11 am

Re: Menyelami Dilema Sang Allah

Post by angky »

@ Bro Rahimi,

Saya tidak melihat ada nya garis singgung dari diskusi anda (dan kafirun lainnya) dengan bung PS. Mengapa?? Karena bung PS acuan nya adalah koran, selama tidak tertulis dalam koran, bung PS akan berpendapat berlawanan. Sementara kafirun acuan nya adalah moral yang dihasilkan oleh adanya kebebasan berfikir.

Jika Muslim berhadapan dengan Sokrates, Filsuf Etika, maka hukuman meminum racun akan datang dari kaum muslim bukan dari kaum athena.
Bung PS, coba bung gunakan metoda sokrates untuk menguji moral islam, apakah bisa bertahan pada acuan wahyu saja?? percayalah tidak bisa, karena anda sudah mengatakan sebelumnya tidak menyetujui praktik pedofilia. Menurut sokrates bung sedang mengkhianati acuan moral yang bung katakan dari wahyu Tuhan. Jika Sokrates dipaksa bunuh diri karena dianggap menghina dewa dewa yunani, maka sokrates akan mati di penggal jika berhadapan dengan muslim.

Saran ane sih, uji saja moral bawaan koran yang diwakili auloh swt. Monggo bung PS berikan Presuposisi yang clear lebih dahulu.

Menyelami Dilema Sang Allah
Mirror 1: Menyelami Dilema Sang Allah
Follow Twitter: @ZwaraKafir
Faithfreedompedia static
User avatar
keeamad
Posts: 6954
Joined: Tue Aug 23, 2011 4:06 pm

Re: Menyelami Dilema Sang Allah

Post by keeamad »

keeamad wrote:@Palero,
gampang banget ....

Gw bertindak cepat dengan menyelamatkan bayi lebih dulu,
waktu yg butuhkan lebih cepat,
karena bayi lebih ringan dan tenaga serta waktu yg gw pakai,
relatif tidak terlalu banyak ....

Setelah bayi itu aman,
kemudian baru gw selamatkan orang tua,
dengan sisa waktu dan tenaga yg relatif masih banyak .....

Kalo emang gak sempat,
atau gw malah menjadi korban kebakaran itu,
gak masalah,
yang penting niat, usaha dan tindakan nyata gw dulu ....

Itu panduannya bro ....
Patah Salero wrote:
Berarti pandangan loe bertentangan dengan Ayn Rand. Salah seorang yang menyatakan bahwa moralitas objektif itu ada dan rasional.

Survival as the Ultimate Value

Menurut Ayn Rand setiap orang harus bertanggung jawab atas keselamatan dirinya. Inilah moral yang bener. Jadi, bila loe tau bahwa keselamatan loe terancam (50 %), tindakan yang bermoral adalah menyelamatkan diri sendiri.

paham, gak ?? Ini adalah pandangan orang yang menganggap moralitas objektif itu ada.
Dasar muslim kalo gak 6u08lok ya PENIFU .....

Udah coba oot, tapi ujung2xnya NELEN LUDAH LAGI ....
Survival itu BERTAHAN Untuk Kelangsungan Hidup .....

Kalo emang lo gak 6ul80k2x amat - dari tulisan di link yang lo gadang2x :
TOLONG TUNJUKIN DIMANA SESEORANG HARUS SELALU MENYELAMATKAN DIRI -Hanya Karena Alasan Survival,
TANPA MENGAMBIL RESIKO Sedikitpun .... ??? (Yg kata lo itu hingga 50%) ... ???

COBA LO BACA KUTIPAN DARI LINK LO SENDIRI - Pemikiran si Rand:
Whether, and how much, one should help others depends on their place in one's rationally defined hierarchy of values, and on the particular circumstances (whether they are worthy of help, what the likely consequences are of helping them, and so on).
The greater their value vis-à-vis one's rational self-interest, the greater the help that one should be willing to give, ceteris paribus.


==========

Jadi menurut lo,
PARA PETUGAS PEMADAM KEBAKARAN ITU ORANG2X GAK BERMORAL ... ???


Yang ada,
ORANG2X KAYAK LO ADALAH ORANG YG GAK PUNYA OTAK DAN HATI NURANI LAGI KARENA Ajaran islam ....

Makanya lo sampe bisa bilang :
ORANG YG GAK KAWIN DI USIA 30 TAHUN ADALAH SAMA GAK BERMORALNYA DENGAN,
PRIA YANG MENGAWINI BOCAH UMUR 6 TAHUN .....

:toimonster:


BTW:
Lo bisa MENERJEMAHKAN Tulisan di bawah dengan benar gak:
For human beings, happiness, intellectual and artistic pursuits and rationality/morality are all means to survival.

Karena lo sudah GAK RASIONAL LAGI, Menganggap Pedofilia salah,
tapi gak bisa menjadi juri untuk PERBUATAN NABI LO YG MELAKUKAN PEDOFILIA pd 1500 tahun yg lagu .....
MAKA SESUNGGUHNYA YG GAK BERMORAL ITU ADALAH LO PATAH SALERO ...

Rasionalitas itu ==== > Untuk KELANGSUNGAN HIDUP.
Jika lo sudah GAK PUNYA RASIO LAGI :
Maka Nilai/Kelangsungan Hidup lo SUDAH GAK PUNYA ARTI LAGI,
Contohnya JIHADIS BOMBER ....

Kalo NILAI / KELANGSUNGAN HIDUP LO SUDAH GAK ADA ARTINYA LAGI,
BERARTI Lo Juga Sudah TIDAK PUNYA MORAL LAGI ....

Dan itu sudah sesuai sekali dengan ajaran islam,
islam itu DIIMANI DAN DIAMINI SAJA,
Jangan DIpertanyakan Lagi Dengan RASIO (Akal), Logika dan Hati Nurani (Moral) ...

Dan sesuai dengan tulisan lo sendiri :
agama islam TIDAK MENGURUSI FAKTA ....


Lengkap sudah kesimpulan dari RAND;
Agama islam itu TIDAK ADA RASIONALOITAS DAN MORALITASNYA SAMA SEKALI ....
Karena TIDAK PERNAH MENGHARGAI KELANGSUNGAH HIDUP (contoh amat nyata : Ajaran Jihad dan JIHADIS2X ....)
:butthead:
User avatar
qprim
Posts: 259
Joined: Wed Nov 09, 2005 4:01 pm

Re: Menyelami Dilema Sang Allah

Post by qprim »

Patah Salero wrote:Ngerti konsep ABSTAIN, GAK. kalau loe belajar database istilahnya NULL VALUE.

Kalau loe abstain, berarti loe enggak berpendapat, titik. Bukan berarti loe diam-diam setuju. Atau diam-diam enggak setuju.

Itu yang gw bilang berkaitan umur minimal menikah dalam Quran. Quran sama sekali tidak mengatur. Koq loe pelintir jadi Quran menyetujui perkawinan bayi, jaka sembung, bro...
Kelihatannya PS ini masih belum bisa membedakan antara standar moral sebagai acuan sikap dan perilaku dengan voting.
Dalam voting pilihannya memang bisa 3, ya, tidak, atau abstain. Namun hal itu tidak berlaku bagi sebuah standar moral. Yang namanya standar moral ya harus bisa dipakai untuk menjadi acuan dan pedoman untuk menilai berbagai macam sikap, tindakan, dan perilaku. Bukan standar moral namanya kalau tidak bisa dipakai untuk menilai baik buruknya suatu sikap, tindakan dan perilaku.
qprim wrote:Kalau anda punya anak perempuan usia 3 tahun, dan kemudian ada laki2x tua usia 67 tahun sudah punya 3 istri, datang untuk melamar anak anda, apa yang anda lakukan? Laki2x itu dengan tegas dan jelas mengakui bahwa dia (maaf) birahi pada anak anda dan dengan terang-terangan menyatakan akan menyetubuhi (maaf lagi) anak anda segera setelah pernikahan yang syah berlangsung. Mana yang akan anda gunakan sebagai dasar untuk menerima atau menolak lamaran itu?
Pernyataan pertama, kedua, atau ketiga? Monggo, silahkan.......
Patah Salero wrote:Coba gw tanya sama loe. Di Indonesia ada gak ATURAN YANG MENGATUR USIA MINIMAL MENIKAH BAGI LAKI-LAKI ATAU PEREMPUAN ??

Kalau ada, dan ada orang yang melawan aturan tersebut tentu AKAN GW LAPORKAN KE POLISI karena telah melanggar undang-undang.
Saya tau kalau PS akan menggunakan jawaban ini, bahwa dia akan menggunakan aturan formal negara utk menjustifikasi pertanyaan hipotesis yang saya ajukan. Sepertinya memang PS ini punya masalah dalam mencerna maksud dalam suatu kalimat.
Justru pertanyaan intinya, yang dihindari oleh PS, adalah: kenapa PS perlu menggunakan hukum formal negara sebagai acuan dalam menentukan sikap moralnya? Bukankah sebagai muslim dia mengimani alquran sebagai teks wahyu? Apakah sebuah teks wahyu yang (mestinya) mengandung nilai kebenaran absolut tidak bisa memberikan panduan untuk menjawab pertanyaan hipotesis yang sederhana?

Bro rahimii telah membuat thread yang briliant :supz:. Moga2x para pembaca bisa melihat bagaimana seorang PS harus pontang panting menjungkir balikkan logikanya untuk menanggapi pertanyaan sederhana soal pedophilia.

Btw, silahkan rekan2x kafirun menebak-nebak argumen apalagi yang akan diajukan oleh PS setelah ini :roll:
User avatar
Kibou
Posts: 1359
Joined: Mon Nov 03, 2008 11:30 am
Location: Land of the free

Re: Menyelami Dilema Sang Allah

Post by Kibou »

Hmmm...halaman trit semakin bertambah, tapi sepertinya inti dari permasalahan semakin kabur. Coba saya rekap yah:

Premis 2: Ada nilai moral objektif dan kewajiban moral objektif.

Sekali lagi Dawkins:

“There is at bottom no design, no purpose, no evil, no good, nothing but pointless indifference.”

Proposisi Dawkins di atas sifatnya ontologikal. Dengan kata lain Dawkins menyatakan suatu ontological claim. Dawkins is making a claim about the way things really are or what ultimate reality is like.

Pernyataan Dawkins tentu saja berkontradiksi dengan premis 2. Jadi pernyataan Dawkins bisa dimodifikasi menjadi:

~2: Tidak ada nilai moral objektif dan kewajiban moral objektif.

Tapi perlu diingat bahwa premis 2, seperti juga pernyataan Dawkins, adalah suatu ontological claim. Sejauh ini pihak yang menolak premis 2 membawa premis-premis yang bisa dirangkum sbb:

A. Satu manusia berbeda pendapat mengenai moralitas dengan manusia yang lain.

Dari A bisa ditarik lebih lanjut (as a matter of observation, not of logical entailment):

A*. Satu kelompok manusia berbeda pendapat mengenai moralitas dengan kelompok manusia yang lain.

Baik A maupun A* tidak cukup untuk menghasilkan kesimpulan logis bahwa:

~2 : Tidak ada nilai moral objektif dan kewajiban moral objektif.

(Perlu digaris-bawahi, sebenarnya fakta bahwa saat ini kita berbeda pendapat mengenai kebenaran premis 2, adalah juga perbedaan pendapat mengenai moralitas! Tapi fakta bahwa saat ini kita sedang mempertanyakan kebenaran premis 2 tidak menunjukkan bahwa premis 2 itu False.)

Untuk menghasilkan ~2 diperlukan setidaknya satu premis tambahan sehingga konjungsi dari A atau A* dan premis tambahan tersebut menghasilkan argumen deduktif yang valid dan menunjukkan logical entailment dengan ~2. Sebelum premis tambahan tersebut diberikan, diskusi kita tidak akan mengalami kemajuan. Yang saya harapkan adalah argumen, bukan premis sepotong-sepotong.

Salam hangat untuk semua.
User avatar
Kibou
Posts: 1359
Joined: Mon Nov 03, 2008 11:30 am
Location: Land of the free

Re: Menyelami Dilema Sang Allah

Post by Kibou »

Sebagai bahan perenungan:

hd-haryo-sasongko-memasung-aliran-kepercayaan-t54653/

artikel HD. Haryo Sasongko: Memasung Aliran Kepercayaan:
Di sinilah perlunya kita membangun kehidupan keberagamaan yang lebih humanistik agar dapat melahirkan humanistic ethics guna membangun batasan-batasan yang jelas agar aliran kepercayaan yang begitu banyak di masyarakat tidak dinilai salah atau benar menurut parameter tunggal, apalagi kalau diiringi dengan cara-cara kekerasan.
Humanistic ethics itu maksudnya yang bagaimana?

Apakah maksudnya:

Manusia berpegang kepada standar etika yang berasal dan bergantung dari opini manusia tersebut?

Lalu apa masalahnya kalau ada manusia atau kelompok manusia yang memiliki standar etika "aku dan kelompok aku benar, orang lain dan kelompok orang lain salah"?

Kalau penganut kepercayaan ingin bebas dari intimidasi dan tekanan dari kelompok lain, maka langkah paling logis yang ditempuh bukanlah mengambil perlindungan dari relativisme moral. Ini cuma berputar-putar dalam masalah yang sama. Humanistic ethics? Which humans are we talking about? Ini berhubungan erat dengan tulisan saya mengenai "manusia" dan "manusiawi".

Salam.

Menyelami Dilema Sang Allah
Mirror 1: Menyelami Dilema Sang Allah
Follow Twitter: @ZwaraKafir
Faithfreedompedia static
rahimii
Posts: 311
Joined: Sun Mar 06, 2011 6:33 pm

Re: Menyelami Dilema Sang Allah

Post by rahimii »

Kibou wrote:Hmmm...halaman trit semakin bertambah, tapi sepertinya inti dari permasalahan semakin kabur. Coba saya rekap yah:

Premis 2: Ada nilai moral objektif dan kewajiban moral objektif.

Sekali lagi Dawkins:

“There is at bottom no design, no purpose, no evil, no good, nothing but pointless indifference.”

Proposisi Dawkins di atas sifatnya ontologikal. Dengan kata lain Dawkins menyatakan suatu ontological claim. Dawkins is making a claim about the way things really are or what ultimate reality is like.

Pernyataan Dawkins tentu saja berkontradiksi dengan premis 2. Jadi pernyataan Dawkins bisa dimodifikasi menjadi:

~2: Tidak ada nilai moral objektif dan kewajiban moral objektif.

Tapi perlu diingat bahwa premis 2, seperti juga pernyataan Dawkins, adalah suatu ontological claim. Sejauh ini pihak yang menolak premis 2 membawa premis-premis yang bisa dirangkum sbb:

A. Satu manusia berbeda pendapat mengenai moralitas dengan manusia yang lain.

Dari A bisa ditarik lebih lanjut (as a matter of observation, not of logical entailment):

A*. Satu kelompok manusia berbeda pendapat mengenai moralitas dengan kelompok manusia yang lain.

Baik A maupun A* tidak cukup untuk menghasilkan kesimpulan logis bahwa:

~2 : Tidak ada nilai moral objektif dan kewajiban moral objektif.

(Perlu digaris-bawahi, sebenarnya fakta bahwa saat ini kita berbeda pendapat mengenai kebenaran premis 2, adalah juga perbedaan pendapat mengenai moralitas! Tapi fakta bahwa saat ini kita sedang mempertanyakan kebenaran premis 2 tidak menunjukkan bahwa premis 2 itu False.)

Untuk menghasilkan ~2 diperlukan setidaknya satu premis tambahan sehingga konjungsi dari A atau A* dan premis tambahan tersebut menghasilkan argumen deduktif yang valid dan menunjukkan logical entailment dengan ~2. Sebelum premis tambahan tersebut diberikan, diskusi kita tidak akan mengalami kemajuan. Yang saya harapkan adalah argumen, bukan premis sepotong-sepotong.

Salam hangat untuk semua.
Mengikuti argument dari patah salero, maka premisnya menjadi :

1.Jika budaya yang berbeda memiliki nilai-nilai moral yang berbeda, maka salah dan benar relatif tergantung budaya
2.Tidak ada nilai moral objektif dan kewajiban moral objektif
3. Karena itu salah atau benar relatif tergantung budaya

So, ini menjadikan allahnya islam tidak dalam posisi penentu absolut akan benar dan salah. Allah adalah tuhan yang relatif.
rahimii
Posts: 311
Joined: Sun Mar 06, 2011 6:33 pm

Re: Menyelami Dilema Sang Allah

Post by rahimii »

Kibou wrote:Sebagai bahan perenungan:

hd-haryo-sasongko-memasung-aliran-kepercayaan-t54653/

artikel HD. Haryo Sasongko: Memasung Aliran Kepercayaan:

Di sinilah perlunya kita membangun kehidupan keberagamaan yang lebih humanistik agar dapat melahirkan humanistic ethics guna membangun batasan-batasan yang jelas agar aliran kepercayaan yang begitu banyak di masyarakat tidak dinilai salah atau benar menurut parameter tunggal, apalagi kalau diiringi dengan cara-cara kekerasan.

Humanistic ethics itu maksudnya yang bagaimana?

Apakah maksudnya:

Manusia berpegang kepada standar etika yang berasal dan bergantung dari opini manusia tersebut?

Lalu apa masalahnya kalau ada manusia atau kelompok manusia yang memiliki standar etika "aku dan kelompok aku benar, orang lain dan kelompok orang lain salah"?

Kalau penganut kepercayaan ingin bebas dari intimidasi dan tekanan dari kelompok lain, maka langkah paling logis yang ditempuh bukanlah mengambil perlindungan dari relativisme moral. Ini cuma berputar-putar dalam masalah yang sama. Humanistic ethics? Which humans are we talking about? Ini berhubungan erat dengan tulisan saya mengenai "manusia" dan "manusiawi".

Salam.

Menyelami Dilema Sang Allah
Mirror 1: Menyelami Dilema Sang Allah
Follow Twitter: @ZwaraKafir
Faithfreedompedia static
Cicero pernah mengatakan :“Kita semua disebut ‘manusia’, tetapi hanyalah yang telah terdidik melalui pembelajaran peradaban manusia yang selayaknya disebut ‘manusia.' Menurut Cicero, percuma jika seseorang mengerti suatu kebenaran tapi tidak dapat meyakinkan orang lain mengenai kebenaran tersebut. Percuma jugalah jika seseorang dapat meyakinkan orang lain, tetapi ia sendiri tidak tahu apakah yang disampaikannya itu benar adanya. Bagi para humanis, tidak ada kontradiksi antara kasih terhadap TUHAN dan kasih terhadap manusia, maupun antara TUHAN dengan kebudayaan. Kasih yang benar terhadap TUHAN terekspresikan di dalam kasih terhadap manusia. Secara logika kontraposisi, maka ketika kita tidak mengasihi manusia, itu artinya kita sedang tidak mengasihi TUHAN. Namun ketika kita mengasihi manusia tanpa referensi kepada TUHAN, kita sedang melakukan pemberhalaan. Jadi landasan yang benar bagi etika humanitas kita sepertinya tetap dipakukan pada satu referensi diluar manusia.
User avatar
Mahasiswa98
Posts: 1480
Joined: Wed Mar 28, 2012 6:50 pm
Location: Dalam TerangNya

Re: Menyelami Dilema Sang Allah

Post by Mahasiswa98 »

rahimii wrote: Cicero pernah mengatakan :“Kita semua disebut ‘manusia’, tetapi hanyalah yang telah terdidik melalui pembelajaran peradaban manusia yang selayaknya disebut ‘manusia.' Menurut Cicero, percuma jika seseorang mengerti suatu kebenaran tapi tidak dapat meyakinkan orang lain mengenai kebenaran tersebut. Percuma jugalah jika seseorang dapat meyakinkan orang lain, tetapi ia sendiri tidak tahu apakah yang disampaikannya itu benar adanya. Bagi para humanis, tidak ada kontradiksi antara kasih terhadap TUHAN dan kasih terhadap manusia, maupun antara TUHAN dengan kebudayaan. Kasih yang benar terhadap TUHAN terekspresikan di dalam kasih terhadap manusia. Secara logika kontraposisi, maka ketika kita tidak mengasihi manusia, itu artinya kita sedang tidak mengasihi TUHAN. Namun ketika kita mengasihi manusia tanpa referensi kepada TUHAN, kita sedang melakukan pemberhalaan. Jadi landasan yang benar bagi etika humanitas kita sepertinya tetap dipakukan pada satu referensi diluar manusia.
Tapi apakah setelah melakukan kasih kepada manusia maka urusan kepada Tuhan menjadi selesai?
Bukankah sebenarnya Kasih itu adalah naturalnya manusia dalam kehidupan ini? bagian dari kehidupan adalah kasih itu sendiri, tidak selalu merupakan keharusan mendapatkan referensi dari Tuhan. tanpa Tuhan memberikan referensi setelah manusia menjadi "ADA" manusia sudah memiliki natural kasih. Tuhan berperanan dalam mendorong manusia memberikan kasihnya sepenuh penuhnya. Tuhan mendorong manusia mengerti bahwa kasih adalah kasih, kasih tidak mungkin berpihak pada 1 keadaan saja karena kalau demikian maka kasih menjadi relative belaka. bayangkan jika berbuat kasih sekedar pada golongannya saja? maka golongan lainnya menjadi manusia yang nomor 2. sedangkan kasih harus tetap menjadi kasih dan tidak realative.

Islam menjadi gagal total ketika berbicara mengasihi. dalam islam mengasihi berarti mengasihi dalam golongannya saja tidak golongan diluar islam. diluar islam menjadi kafir. dan tuhanya islam menyatakan demikian. itu pernyataan yang sangat mendasar dan absolut. tidak ada kesemaptan mendapat kasih diluar islam. standar kasih islam gak bakalan pernah ketemu dengan natural kasih manusia. padahal harusnya tidak bisa bertentangan dengan naturalnya kasih manusia.
rahimii
Posts: 311
Joined: Sun Mar 06, 2011 6:33 pm

Re: Menyelami Dilema Sang Allah

Post by rahimii »

rahimii wrote: Cicero pernah mengatakan :“Kita semua disebut ‘manusia’, tetapi hanyalah yang telah terdidik melalui pembelajaran peradaban manusia yang selayaknya disebut ‘manusia.' Menurut Cicero, percuma jika seseorang mengerti suatu kebenaran tapi tidak dapat meyakinkan orang lain mengenai kebenaran tersebut. Percuma jugalah jika seseorang dapat meyakinkan orang lain, tetapi ia sendiri tidak tahu apakah yang disampaikannya itu benar adanya. Bagi para humanis, tidak ada kontradiksi antara kasih terhadap TUHAN dan kasih terhadap manusia, maupun antara TUHAN dengan kebudayaan. Kasih yang benar terhadap TUHAN terekspresikan di dalam kasih terhadap manusia. Secara logika kontraposisi, maka ketika kita tidak mengasihi manusia, itu artinya kita sedang tidak mengasihi TUHAN. Namun ketika kita mengasihi manusia tanpa referensi kepada TUHAN, kita sedang melakukan pemberhalaan. Jadi landasan yang benar bagi etika humanitas kita sepertinya tetap dipakukan pada satu referensi diluar manusia.
Mahasiswa98 wrote:Tapi apakah setelah melakukan kasih kepada manusia maka urusan kepada Tuhan menjadi selesai?
Bukankah sebenarnya Kasih itu adalah naturalnya manusia dalam kehidupan ini? bagian dari kehidupan adalah kasih itu sendiri, tidak selalu merupakan keharusan mendapatkan referensi dari Tuhan. tanpa Tuhan memberikan referensi setelah manusia menjadi "ADA" manusia sudah memiliki natural kasih. Tuhan berperanan dalam mendorong manusia memberikan kasihnya sepenuh penuhnya. Tuhan mendorong manusia mengerti bahwa kasih adalah kasih, kasih tidak mungkin berpihak pada 1 keadaan saja karena kalau demikian maka kasih menjadi relative belaka. bayangkan jika berbuat kasih sekedar pada golongannya saja? maka golongan lainnya menjadi manusia yang nomor 2. sedangkan kasih harus tetap menjadi kasih dan tidak realative.

Islam menjadi gagal total ketika berbicara mengasihi. dalam islam mengasihi berarti mengasihi dalam golongannya saja tidak golongan diluar islam. diluar islam menjadi kafir. dan tuhanya islam menyatakan demikian. itu pernyataan yang sangat mendasar dan absolut. tidak ada kesemaptan mendapat kasih diluar islam. standar kasih islam gak bakalan pernah ketemu dengan natural kasih manusia. padahal harusnya tidak bisa bertentangan dengan naturalnya kasih manusia.
Secara sederhana, saya sebenarnya hanya mencoba menanggapi aspek humanis yang disinggung bro kibou. Bahwa asal muasal kemanusiawian yang membuat kita lebih dari sekedar menjadi manusia, bersumber dari apa yang disebut sense of divinity. Dan tolong dipahami, bahwa referensi disini bermuatan makna sebagai rujukan dimana kita dapat mengerti dan tahu sesuatu itu dengan benar karena adanya pengetahuan akan TUHAN yang benar pula. Ketika kita melakukan hal yang baik kepada sesama manusia, perbuatan baik itu tidak sekedar kewajiban untuk memenuhi persyaratan tertentu, tidak pula sekedar sebuah transaksi ilahi untuk mendapatkan imbal balik (pahala).
User avatar
Kibou
Posts: 1359
Joined: Mon Nov 03, 2008 11:30 am
Location: Land of the free

Re: Menyelami Dilema Sang Allah

Post by Kibou »

rahimii wrote: Cicero pernah mengatakan :“Kita semua disebut ‘manusia’, tetapi hanyalah yang telah terdidik melalui pembelajaran peradaban manusia yang selayaknya disebut ‘manusia.' Menurut Cicero, percuma jika seseorang mengerti suatu kebenaran tapi tidak dapat meyakinkan orang lain mengenai kebenaran tersebut. Percuma jugalah jika seseorang dapat meyakinkan orang lain, tetapi ia sendiri tidak tahu apakah yang disampaikannya itu benar adanya. Bagi para humanis, tidak ada kontradiksi antara kasih terhadap TUHAN dan kasih terhadap manusia, maupun antara TUHAN dengan kebudayaan. Kasih yang benar terhadap TUHAN terekspresikan di dalam kasih terhadap manusia. Secara logika kontraposisi, maka ketika kita tidak mengasihi manusia, itu artinya kita sedang tidak mengasihi TUHAN. Namun ketika kita mengasihi manusia tanpa referensi kepada TUHAN, kita sedang melakukan pemberhalaan. Jadi landasan yang benar bagi etika humanitas kita sepertinya tetap dipakukan pada satu referensi diluar manusia.
Setuju.

Coba kita kupas lebih lanjut mengenai istilah "humanistic ethics". Humanistic di sini saya rasa berasal dari konsep humanisme:

http://www.merriam-webster.com/dictionary/humanism

Humanism = a system of values and beliefs that is based on the idea that people are basically good and that problems can be solved using reason instead of religion.

Sekarang, dari manakah munculnya "the idea that people are basically good"?

Ingat kata Sartre:

"Thus there is no human nature, since there is no God to conceive it.”

Sehingga:

“The existensialist, on the contrary [i.e., as opposed to those who believe that there are values independently of human choice] thinks it very distressing that God does not exist, because all possibility of finding values in a heaven of ideas disappears along with Him; there can no longer be an a priori good, since there is no infinite and and perfect consciousness to think it. Nowhere is it written that the good exists, that we must be honest, that we must not lie; because the fact is that we are on a plane where there are only men.”

Jika tidak ada Tuhan, maka sesungguhnya manusia tidak memiliki nature (hakikat), dan jika manusia tidak memiliki hakikat maka seorang humanist yang setuju dengan Sartre tidak bisa menjustifikasi "the idea that people are basically good". Tidak hanya bahwa manusia tidak memiliki hakikat, tapi juga bahwa tidak ada Good! Kalau apa yang dikatakan Sartre itu benar, maka apa yang dikenal para humanis sebagai "Good" hanyalah isapan jempol saja.

Jadi selaras dengan yang dikatakan Bro rahimii, humanisme lebih kompatibel dengan keyakinan adanya Tuhan yang mengajarkan Kasih ketimbang atheisme.
GoodSniper
Posts: 724
Joined: Wed Apr 20, 2011 4:38 pm

Re: Menyelami Dilema Sang Allah

Post by GoodSniper »

rahimii wrote: Mengikuti argument dari patah salero, maka premisnya menjadi :

1.Jika budaya yang berbeda memiliki nilai-nilai moral yang berbeda, maka salah dan benar relatif tergantung budaya
2.Tidak ada nilai moral objektif dan kewajiban moral objektif
3. Karena itu salah atau benar relatif tergantung budaya

So, ini menjadikan allahnya islam tidak dalam posisi penentu absolut akan benar dan salah. Allah adalah tuhan yang relatif.
Betul..3 poin di atas adalah premis-premis patah salero untuk melindung nabi junjungannya dari sorotan mata para kafirin dan murtadin yang tercerahkan..makanya ia menggunakan satu senjata lain yaitu etnosentrisme sebagai tameng untuk melindungi si nabi junjungannya dari panah-panah kritik..walaupun dengan demikian ia harus rela dianggap sebagai pembela budaya arab jahiliyah (yg dikecam koran) dengan demikian telah mendiskualifikasi muhammad dari status universalitas ke-nabiannya..sebab..muhammad juga cacat secara moralitas objektif yg bersifat universal..dan akhirnya mempermalukan si aulo swt yang telah terlanjur membabi buta memuja-muja akhlak nabi kekasihnya ini...hehehe..kecuali auloh ini sebenarnya juga adalah tools muhammad untuk melindungi dirinya..

Apakah si Patah Salero masih punya senjata-senjata lain..? mari kita tunggu..!
FHLI
Posts: 92
Joined: Tue Jul 24, 2012 7:15 pm

Re: Menyelami Dilema Sang Allah

Post by FHLI »

GoodSniper wrote:Betul..3 poin di atas adalah premis-premis patah salero untuk melindung nabi junjungannya dari sorotan mata para kafirin dan murtadin yang tercerahkan..makanya ia menggunakan satu senjata lain yaitu etnosentrisme sebagai tameng untuk melindungi si nabi junjungannya dari panah-panah kritik..walaupun dengan demikian ia harus rela dianggap sebagai pembela budaya arab jahiliyah (yg dikecam koran) dengan demikian telah mendiskualifikasi muhammad dari status universalitas ke-nabiannya..sebab..muhammad juga cacat secara moralitas objektif yg bersifat universal..dan akhirnya mempermalukan si aulo swt yang telah terlanjur membabi buta memuja-muja akhlak nabi kekasihnya ini...hehehe..kecuali auloh ini sebenarnya juga adalah tools muhammad untuk melindungi dirinya..

Apakah si Patah Salero masih punya senjata-senjata lain..? mari kita tunggu..!


Dengan kata lain muhammad bukanlah teladan yang sempurna, karena perilakunya tidak dapat ditiru oleh manusia jaman sekarang. Kalau muhammad adalah teladan yang sempurna, pastilah semua perilakunya dapat ditiru oleh manusia segala jaman. PS maju kena, mundur kena, kiri kena, kanan kena, atas kena, bawah kena ; seperti makan buah simalakama. :goodman:
User avatar
Kibou
Posts: 1359
Joined: Mon Nov 03, 2008 11:30 am
Location: Land of the free

Re: Menyelami Dilema Sang Allah

Post by Kibou »

Salam hangat untuk semua.

Ternyata masih belum muncul argumen yang menunjukkan bahwa Premis 2 itu False.

Premis 2: Ada nilai moral objektif dan kewajiban moral objektif.

Karena sepertinya sampai titik ini pernyataan (proposisi) yang disodorkan untuk menyangkal premis 2 sifatnya epistemological padahal premis 2 adalah pernyataan ontological (dan hal ini sebelumnya sudah disinggung oleh Bro rahimii) dan masih kurang setidaknya satu pernyataan tambahan.

Dalam silogisme deduktif diperlukan minimal 2 premis dan dari 2 premis tersebut bisa ditarik kesimpulan yang valid sesuai aturan logical inference (penarikan kesimpulan). Dan jika kebenaran kedua premis tersebut bisa dipertanggungjawabkan, maka kesimpulannya juga bisa dipertanggungjawabkan.

Mari kita tunggu bersama-sama.
User avatar
Mahasiswa98
Posts: 1480
Joined: Wed Mar 28, 2012 6:50 pm
Location: Dalam TerangNya

Re: Menyelami Dilema Sang Allah

Post by Mahasiswa98 »

rahimii wrote: Secara sederhana, saya sebenarnya hanya mencoba menanggapi aspek humanis yang disinggung bro kibou. Bahwa asal muasal kemanusiawian yang membuat kita lebih dari sekedar menjadi manusia, bersumber dari apa yang disebut sense of divinity. Dan tolong dipahami, bahwa referensi disini bermuatan makna sebagai rujukan dimana kita dapat mengerti dan tahu sesuatu itu dengan benar karena adanya pengetahuan akan TUHAN yang benar pula. Ketika kita melakukan hal yang baik kepada sesama manusia, perbuatan baik itu tidak sekedar kewajiban untuk memenuhi persyaratan tertentu, tidak pula sekedar sebuah transaksi ilahi untuk mendapatkan imbal balik (pahala).
Saya setuju dengan hal ini, makanya sejak awal saya sudah katakan sebagai natural manusia. pertanyaannya adalah siapakah yang memberikan atau meletakkan itu pada spesies manusia? sedangkan spesies manusia tidak pernah melihat hal tersebut pada spesies lainnya. bahkan sekalipun ada hewan lain yang termasuk mamalia seperti hal nya manusia hal tersebut tidak pernha ditemukan. saya adalah manusia yg tidak pernah percaya dengan nasib ataupun takdir sebagai argumennya adalah mengenai hal balas budi. banyak orang terjebak dalam urusan ini, seolah olah manusia harus atau menjadi berhutang pada manusia lain karena berbuat hal yang baik atau kasih. bagi saya hal tersebut tidak benar karena berbuat baik dan kasih adalah natural manusia. manusia harusnya mengerti bahwa berhutang budi pada Pencipta karena sudah diadakan. oleh karena itu omong kosong tentang pahala seharusnya tidak pernah ada. balik kemasalah kasih tadi, esensi segala sesuatu pada manusia harus diberikan dahulu baru bisa berjalan karena menjadi "Ada". tidak kemudian menjadi ada karena diberi pengertian bahwa hal tersebut ada. saya sudah menulis bahwa kegagalan islam dalam pemahaman kasih yang relative dan juga masalah pahala seharunya sudah mampu membuat mereka berfikir jernih. pertanyaan bagi para moslem adalah Apakah ketika manusia menjadi lebih manusiawi karena diberi pengertian terlebih dahulu baru sadar atau karena manusia sudah memiliki hal tersebut sehingga menjadi sadar?
singkatnya adalah :
1. Menjadi Ada
2. Setelah Ada

kira kira menurut moslem mana yang benar dari poin 1 dan 2?
User avatar
Kibou
Posts: 1359
Joined: Mon Nov 03, 2008 11:30 am
Location: Land of the free

Re: Menyelami Dilema Sang Allah

Post by Kibou »

Sambil menunggu, kita guyon dikit yuk.

1. Muslim kalo bukan fenifu, bahlul.*
2. Rhoma Irama adalah Muslim.
3. Rhoma Irama bukan fenifu.
Maka
4. Rhoma Irama bahlul.

(* premis 1 copyright dipegang oleh Bro keeamad)
Patah Salero
Posts: 2703
Joined: Tue Dec 21, 2010 12:31 am

Re: Menyelami Dilema Sang Allah

Post by Patah Salero »

Kibou wrote:Salam hangat untuk semua.

Ternyata masih belum muncul argumen yang menunjukkan bahwa Premis 2 itu False.

Premis 2: Ada nilai moral objektif dan kewajiban moral objektif.

Karena sepertinya sampai titik ini pernyataan (proposisi) yang disodorkan untuk menyangkal premis 2 sifatnya epistemological padahal premis 2 adalah pernyataan ontological (dan hal ini sebelumnya sudah disinggung oleh Bro rahimii) dan masih kurang setidaknya satu pernyataan tambahan.

Dalam silogisme deduktif diperlukan minimal 2 premis dan dari 2 premis tersebut bisa ditarik kesimpulan yang valid sesuai aturan logical inference (penarikan kesimpulan). Dan jika kebenaran kedua premis tersebut bisa dipertanggungjawabkan, maka kesimpulannya juga bisa dipertanggungjawabkan.

Mari kita tunggu bersama-sama.
Gw rasa gw gak pernah ngebantah eksistensi nilai moral objektif. Yang gw tanya dari awal adalah DARI MANA KITA TAHU BAHWA SUATU NILAI ADALAH OBJEKTIF ??
Disamping itu, bila terjadi konflik diantara nilai-nilai moral ini, bagaimana kita mengetahui bahwa suatu prinsip moral lebih tinggi nilainya dari prinsip moral yang lain.

Misalnya, Anak kecil juga tau bahwa kita harus menghargai kehidupan kita, menghargai kehidupan orang tua kita, dan menghargai kehidupan anak kita. Persoalannya, bila ketiga nyawa terancam, maka nyawa siapa yang harus pertama kali diselamatkan ??

Contoh lain, Gampang sekali untuk membandingkan antara membunuh dengan tidak membunuh. Atau jujur atau tidak jujur. Anak TK juga udah tahu bahwa membunuh dan berbohong adalah perbuatan tidak bermoral. Yang anak TK enggak paham adalah apakah seseorang dianggap bermoral ketika berbohong untuk mencegah terjadinya suatu pembunuhan.
Contoh kasus: Begal motor sadis dikejar-kejar ratusan orang pake golok, besi dan segala macam. Itu rampok yang keetakutan akhirnya sembunyi di halaman rumah gw. Apa yang harus gw lakukan ?? Apakah gw harus jujur yang mengkin mengakibatkan kematian, atau gw diam aja yang membuat rampok ini lari dan gak ketangkap.

Anak TK juga tau bahwa menginginkan istri orang lain dan membunuh adalah perbuatan tidak bermoral.
Pertanyaannya, bolehkah gw membunuh orang yang SEDANG memperkosa istri gw ??

Menyatakan bahwa ada nilai moral yang objektif itu gampang. Tapi apa gunanya pernyataan itu kalo gak bisa diterapkan.
Post Reply