Hukum Rajam Ternyata Tidak Terdapat di Al Qur’an
Posted: Thu Nov 18, 2010 9:16 pm
Hukum Rajam Ternyata Tidak Terdapat di Al Qur’an
By jakarta45 13 Comments
Categories: Artikel, Dokumen Bersejarah, Jiwa Semangat Nilai-nilai 45, News and Opini
Tags: Leadership, Moslem Wisdom, Nation & Character Building, Nationalism, Religious, Spirituality, Statemanship
“firdaus cahyadi” <[email protected]> , MediaCare, 16 September 2009
Hukum Rajam Ternyata Tidak Terdapat di Al Qur’an. Lho lantas mengapa Aceh akan menerapkan hukum rajam ya?
Mungkin tulisan ini dapat memberikan pencerahan bagi kita semua terkait hukum rajam dalam Islam
Menurut Prof. Dr. Azyumardi, ( kini Rektor UIN Jakarta), Rajam hukum sampai mati ( stoning to death ) bagi pezina laki-laki dan perempuan yang sudah atau pernah menikah ( muhshan ) harus diakui merupakan hukum hudud, yang kontraversial, di kalangan ulama dan fuqaha. Terdapat perbedaan pendapat tentang hukum dasarnya ( dalil naql ), baik penetapan hukum rajam, maupun metode pelaksanaannya.
Dalam Al- Quran, tidak ada sebuah ayatpun yang memerintahkan, harus di rajam orang yang telah berzina, jika telah pernah nikah. Yang ada, dalam Al-Quran, hanyalah perintah cambuk, seratus kali. Dapat dilihat pada ayat yang artinya : “ Perempuan yang berzina, dan laki-laki yang berzina, maka deralah keduanya, ( masing-masing ) seratus kali dera, dan janganlah belas kasihan kepada keduanya, jika kamu beriman kepada Allah dan hari akhirat, dan hendaklah pelaksanaan hukuman mereka, disaksikan oleh sekumpulan dari orang-orang beriman “ (QS. Al-Nur ( 24 ) : 2).
Mengenai ayat lain yang ditafsirkan sebagian Ulama yang menggiring kaum penzina di rajam, yaitu : “ Terhadap wanita yang mengerjakan perbuatan “ fahisyah ” (keji), hendaklah ada empat orang saksi diantara kamu, yang menyaksikannya. Kemudian apabila empat saksi itu telah memberikan penyaksian, maka kurunglah ( wanita-wanita penzina itu ) dalam rumah sampai menemui ajalnya, atau sampai Allah memberi jalan yang lain kepadanya “ ( QS.al-Nisa’ (4) :l5).
Dari kedua ayat tersebut diatas, ( S. Al-Nur 2 dan S. Al-Nisa l5 ), jelas sekali, tidak menggunakan kata rajam. Yang ada, hanya kata “dera seratus” dan mengurung di rumah sampai ajalnya datang, atau ada cara lain. Disamping itu, khusus surah Al-Nur l5 dengan kata “ fahisyah ” itu, ada dua tafsirnya. Pertama zina biasa, yang kedua, zina luar biasa, yaitu antara perempuan dengan perempuan ( homoseks ). Berarti, belum tentu zina biasa dan itupun hukumannya bukan rajam. Kemudian syarat yang lebih besar dalam persaksian, ada empat orang saksi mata melihat langsung secara transparan, ( maaf ), persis pedang dimasukkan ke dalam sarungnya. Apa mungkin hal ini terjadi bagi orang normal ?. Hampir mustahil. dapat disaksikan.
Hadis dha’if:
Yang digunakan oleh ulama yang cenderung ” menghukum rajam ” kaum penzina muhshsan ( yang sudah kawin), adalah hadis ahad ( dha’if ). Dari seorang perawi Ubadah bin Shamit saja. Katanya Nabi bersabda : “ Ambillah olehmu dariku, Allah telah membukakan jalan bagi mereka; lajang dengan lajang, dicambuk seratus kali, dan dibuang selama setahun, janda dengan duda, dicambuk seratus kali dan di rajam “.
Jika kita perhatikan hukum yang bersumber dari hukum pertama Al-Quran, dan sumber kedua Hadis, jelas ada perbedaannya. Al-Quran hanya menyebut dera (cambuk) seratus kali ( lajang atau janda ), sedang Hadis menambah “ dibuang satu tahun ” ( lajang ), dan di rajam” ( janda ).
Mengenai kedudukan hukum pertama dan kedua, selalu berbeda. Satu dari Allah dan yang satu dari Nabi. Karena Hadis tidak selalu penjelasan dari Al-Quran, dan juga tidak selalu berlaku universal, tapi terkadang hanya local saja. Maka kita harus hati-hati dan memahaminya juga lain. Apalagi kalau Hadisnya ahad ( dha’if ). Mengenai Hadis dha’ifpun, ulama Syafie memakainya, jika menyangkut ibadah atau fadhail amal ( pahala-pahala dalam amal ), supaya merangsang pengamalan. Tapi, jika menyangkut hukum, ulama Sunni termasuk Syafie, juga menolak menjadikan rujukan.
Karena adanya kemusykilah dalam hukum rajam tersebut, maka negeri-negeri Islam terjadi penetrapan hukum ini kontraversial. Negara-negara yang menulis dalam konstutusinya berlandaskan Al-Quran, seperti Saudi Arabiyah dan negara-negara Teluk, berusaha menerapkannya. Sebaliknya, negara-negara yang mengadopsi hukum pidana Barat seperti Mesir, Syria, Aljazair dan Maroko tidak memberlakukan hukum rajam.
Di Pakistan sendiri, pernah terjadi diskusi panjang, tentang hukum rajam dengan mengambil qiyas, di zaman nabi, lalu disepakati, bahwa sebenarnya hukuman rajam, tidak ada dalam Al-Quran. Karena itu hukum rajam yang dijalankan sebagian negeri Islam, merupakan hukuman tambahan berkenaan dengan hak Allah ( hudduullah yang diputuskan secara ta’zir, kebijakan hakim ). Karena kebijakan hakim yang sangat berperanan, maka dera seratus pun dianggap hukum maksimal, lalu memperlakukan yang minimal, yaitu hanya di dera 25 kali, seperti yang dipraktekkan di Sudan.
Yang pernah dipraktekkan Rasul sebelum turunnya Surah al-Nur, sehingga tidak ada ketentuan ini berlaku universal, dan masih harus dilaksanakan yaitu “ Seorang lelaki mendatangi Rasul lalu berkata, “ ya Rasul saya telah berzina “, tapi Rasul tidak menghiraukan dan memalingkan muka, sehingga lelaki itu mengulang sampai empat kali, dan pergi mencari 4 saksi, setelah menghadap Rasul, dengan saksi-saksinya, baru Rasul bertanya, “ apa kamu tidak gila ?’. Di jawab “ tidak “. Kemudian Rasul bertanya lagi, “ apa kamu sudah pernah nikah ?. “ Dijawab “ya”, Kalau begitu, bawalah orang ini dan Rajamlah “ ( HR. Bukhari ).
Jika seorang hakim mengambil hukum qiyas dari hadis dhaif dari Ubadah diatas, atau menggunakan hadis yang sudah mansukh dengan turunnya Surah al-Nur dengan menambah kata “ rajam ” atau meyakini bahwa riwayat Bukhari bersifat universal dan bukan local, serta masih berlaku, mengapa Rasul ketika dilapori 4 kali baru mau menoleh menerima laporan ?. Hakikatnya, agar menghindarkan si pelapor, dari hukuman, karena dasar utama Islam adalah etika ( makarim al- akhlaq ). Tapi terlihat sipelaku sendiri terlalu bernafsu mau sekali dihukum, lalu dijalankan.
Seorang hakim perlu mengetahui, bahwa Al-Quran tidak pernah menyebut istilah “rajam” secara akspelisit. Satu-satunya ayat yang ada adalah istilah “ fahisyah ” itupun mutasyabihat ( meragukan )..
Jadi menurut hemat penulis, dalil “merajam” penzina itu lemah sekali. Itulah sebabnya sehingga di Negara Islam Pakistan sudah menghentikan hukum rajam, setelah selesai diskusi panjang ulama, mengenai rajam, yang tidak ditemukan satu ayatpun dalam Al-Quran.
Akhirnya, berdasarkan uraian singkat diatas, yakni alasan rajam, menggunakan ayat “fahisyah” ( mutasyabihat ) atau hadis dhaif atau hadis yang sudah mansukh dengan turunnya surah Al-Nur, maka kita doakan, semoga banding terakhir bagi TKW Kartini, dapat lolos dari hukum rajam maut yang musykil. Apalagi menurut pengakuannya dilakukan karena dipaksa, sekalipun berteriak keras, tidak ada seorangpun yang mendengarnya. Maka kebijakan ta’zir hakim, hendaknya berlaku lunak, terhadap seorang wanita yang terpaksa jadi pembantu. Dan yang lebih penting diketahui, hukum rajam itu sendiri tidak ditemukan secara ekspelisit dalam Al-Quran. ( Wa Allahu a’lam ).
Sumber;
http://jakarta45.wordpress.com/2009/09/ ... -al-quran/
By jakarta45 13 Comments
Categories: Artikel, Dokumen Bersejarah, Jiwa Semangat Nilai-nilai 45, News and Opini
Tags: Leadership, Moslem Wisdom, Nation & Character Building, Nationalism, Religious, Spirituality, Statemanship
“firdaus cahyadi” <[email protected]> , MediaCare, 16 September 2009
Hukum Rajam Ternyata Tidak Terdapat di Al Qur’an. Lho lantas mengapa Aceh akan menerapkan hukum rajam ya?
Mungkin tulisan ini dapat memberikan pencerahan bagi kita semua terkait hukum rajam dalam Islam
Menurut Prof. Dr. Azyumardi, ( kini Rektor UIN Jakarta), Rajam hukum sampai mati ( stoning to death ) bagi pezina laki-laki dan perempuan yang sudah atau pernah menikah ( muhshan ) harus diakui merupakan hukum hudud, yang kontraversial, di kalangan ulama dan fuqaha. Terdapat perbedaan pendapat tentang hukum dasarnya ( dalil naql ), baik penetapan hukum rajam, maupun metode pelaksanaannya.
Dalam Al- Quran, tidak ada sebuah ayatpun yang memerintahkan, harus di rajam orang yang telah berzina, jika telah pernah nikah. Yang ada, dalam Al-Quran, hanyalah perintah cambuk, seratus kali. Dapat dilihat pada ayat yang artinya : “ Perempuan yang berzina, dan laki-laki yang berzina, maka deralah keduanya, ( masing-masing ) seratus kali dera, dan janganlah belas kasihan kepada keduanya, jika kamu beriman kepada Allah dan hari akhirat, dan hendaklah pelaksanaan hukuman mereka, disaksikan oleh sekumpulan dari orang-orang beriman “ (QS. Al-Nur ( 24 ) : 2).
Mengenai ayat lain yang ditafsirkan sebagian Ulama yang menggiring kaum penzina di rajam, yaitu : “ Terhadap wanita yang mengerjakan perbuatan “ fahisyah ” (keji), hendaklah ada empat orang saksi diantara kamu, yang menyaksikannya. Kemudian apabila empat saksi itu telah memberikan penyaksian, maka kurunglah ( wanita-wanita penzina itu ) dalam rumah sampai menemui ajalnya, atau sampai Allah memberi jalan yang lain kepadanya “ ( QS.al-Nisa’ (4) :l5).
Dari kedua ayat tersebut diatas, ( S. Al-Nur 2 dan S. Al-Nisa l5 ), jelas sekali, tidak menggunakan kata rajam. Yang ada, hanya kata “dera seratus” dan mengurung di rumah sampai ajalnya datang, atau ada cara lain. Disamping itu, khusus surah Al-Nur l5 dengan kata “ fahisyah ” itu, ada dua tafsirnya. Pertama zina biasa, yang kedua, zina luar biasa, yaitu antara perempuan dengan perempuan ( homoseks ). Berarti, belum tentu zina biasa dan itupun hukumannya bukan rajam. Kemudian syarat yang lebih besar dalam persaksian, ada empat orang saksi mata melihat langsung secara transparan, ( maaf ), persis pedang dimasukkan ke dalam sarungnya. Apa mungkin hal ini terjadi bagi orang normal ?. Hampir mustahil. dapat disaksikan.
Hadis dha’if:
Yang digunakan oleh ulama yang cenderung ” menghukum rajam ” kaum penzina muhshsan ( yang sudah kawin), adalah hadis ahad ( dha’if ). Dari seorang perawi Ubadah bin Shamit saja. Katanya Nabi bersabda : “ Ambillah olehmu dariku, Allah telah membukakan jalan bagi mereka; lajang dengan lajang, dicambuk seratus kali, dan dibuang selama setahun, janda dengan duda, dicambuk seratus kali dan di rajam “.
Jika kita perhatikan hukum yang bersumber dari hukum pertama Al-Quran, dan sumber kedua Hadis, jelas ada perbedaannya. Al-Quran hanya menyebut dera (cambuk) seratus kali ( lajang atau janda ), sedang Hadis menambah “ dibuang satu tahun ” ( lajang ), dan di rajam” ( janda ).
Mengenai kedudukan hukum pertama dan kedua, selalu berbeda. Satu dari Allah dan yang satu dari Nabi. Karena Hadis tidak selalu penjelasan dari Al-Quran, dan juga tidak selalu berlaku universal, tapi terkadang hanya local saja. Maka kita harus hati-hati dan memahaminya juga lain. Apalagi kalau Hadisnya ahad ( dha’if ). Mengenai Hadis dha’ifpun, ulama Syafie memakainya, jika menyangkut ibadah atau fadhail amal ( pahala-pahala dalam amal ), supaya merangsang pengamalan. Tapi, jika menyangkut hukum, ulama Sunni termasuk Syafie, juga menolak menjadikan rujukan.
Karena adanya kemusykilah dalam hukum rajam tersebut, maka negeri-negeri Islam terjadi penetrapan hukum ini kontraversial. Negara-negara yang menulis dalam konstutusinya berlandaskan Al-Quran, seperti Saudi Arabiyah dan negara-negara Teluk, berusaha menerapkannya. Sebaliknya, negara-negara yang mengadopsi hukum pidana Barat seperti Mesir, Syria, Aljazair dan Maroko tidak memberlakukan hukum rajam.
Di Pakistan sendiri, pernah terjadi diskusi panjang, tentang hukum rajam dengan mengambil qiyas, di zaman nabi, lalu disepakati, bahwa sebenarnya hukuman rajam, tidak ada dalam Al-Quran. Karena itu hukum rajam yang dijalankan sebagian negeri Islam, merupakan hukuman tambahan berkenaan dengan hak Allah ( hudduullah yang diputuskan secara ta’zir, kebijakan hakim ). Karena kebijakan hakim yang sangat berperanan, maka dera seratus pun dianggap hukum maksimal, lalu memperlakukan yang minimal, yaitu hanya di dera 25 kali, seperti yang dipraktekkan di Sudan.
Yang pernah dipraktekkan Rasul sebelum turunnya Surah al-Nur, sehingga tidak ada ketentuan ini berlaku universal, dan masih harus dilaksanakan yaitu “ Seorang lelaki mendatangi Rasul lalu berkata, “ ya Rasul saya telah berzina “, tapi Rasul tidak menghiraukan dan memalingkan muka, sehingga lelaki itu mengulang sampai empat kali, dan pergi mencari 4 saksi, setelah menghadap Rasul, dengan saksi-saksinya, baru Rasul bertanya, “ apa kamu tidak gila ?’. Di jawab “ tidak “. Kemudian Rasul bertanya lagi, “ apa kamu sudah pernah nikah ?. “ Dijawab “ya”, Kalau begitu, bawalah orang ini dan Rajamlah “ ( HR. Bukhari ).
Jika seorang hakim mengambil hukum qiyas dari hadis dhaif dari Ubadah diatas, atau menggunakan hadis yang sudah mansukh dengan turunnya Surah al-Nur dengan menambah kata “ rajam ” atau meyakini bahwa riwayat Bukhari bersifat universal dan bukan local, serta masih berlaku, mengapa Rasul ketika dilapori 4 kali baru mau menoleh menerima laporan ?. Hakikatnya, agar menghindarkan si pelapor, dari hukuman, karena dasar utama Islam adalah etika ( makarim al- akhlaq ). Tapi terlihat sipelaku sendiri terlalu bernafsu mau sekali dihukum, lalu dijalankan.
Seorang hakim perlu mengetahui, bahwa Al-Quran tidak pernah menyebut istilah “rajam” secara akspelisit. Satu-satunya ayat yang ada adalah istilah “ fahisyah ” itupun mutasyabihat ( meragukan )..
Jadi menurut hemat penulis, dalil “merajam” penzina itu lemah sekali. Itulah sebabnya sehingga di Negara Islam Pakistan sudah menghentikan hukum rajam, setelah selesai diskusi panjang ulama, mengenai rajam, yang tidak ditemukan satu ayatpun dalam Al-Quran.
Akhirnya, berdasarkan uraian singkat diatas, yakni alasan rajam, menggunakan ayat “fahisyah” ( mutasyabihat ) atau hadis dhaif atau hadis yang sudah mansukh dengan turunnya surah Al-Nur, maka kita doakan, semoga banding terakhir bagi TKW Kartini, dapat lolos dari hukum rajam maut yang musykil. Apalagi menurut pengakuannya dilakukan karena dipaksa, sekalipun berteriak keras, tidak ada seorangpun yang mendengarnya. Maka kebijakan ta’zir hakim, hendaknya berlaku lunak, terhadap seorang wanita yang terpaksa jadi pembantu. Dan yang lebih penting diketahui, hukum rajam itu sendiri tidak ditemukan secara ekspelisit dalam Al-Quran. ( Wa Allahu a’lam ).
Sumber;
http://jakarta45.wordpress.com/2009/09/ ... -al-quran/