[Bagian Ketujuh] [Habis]
Ibadah Haji Besar Islam
By Dr. Rafat Amari
http://religionresearchinstitute.org/" onclick="window.open(this.href);return false;
ASAL USUL PERAYAAN2 IBADAH HAJI
Bulan peribadahan haji dilakukan disebut Du al-Hijjah. Peribadahan haji, atau penziarahan keagamaan, adalah sebuah tradisi yang dipraktekkan oleh orang2 Arab pagan, dalam mana mereka melakukan perjalanan untuk mengunjungi dewa2 mereka dan kuil2nya. Bulan di mana peribadahan haji Islam dilaksanakan adalah bulan yang sama dengan orang2 Arab pagan melakukan peribadahan haji mereka. Di antara tulisan yang ditemukan di jazirah Arab, istilah “Du Hajjinin,” yang mana berarti “Du al-Hijjah,” merupakan bulan yang sama orang2 Arab pagan melaksanakan peibadahan ziarah mereka.[55]
Jazirah Arab Utara juga mempunyai sebuah bulan di mana mereka mengunjungi kuil2 mereka dan memuliakan dewa2 mereka.
Epiphanius membicarakan mengenai bulan ini dalam mana Arab2 pagan melaksanakan ritual2 peribadahan haji mereka.[56] Kaum muslim, kini, melaksanakan peribadahan haji mereka pada bulan yang sama di bulan Du al-Hijjah. Sementara penulis2 klasik juga menulis mengenai bulan2 suci bagi orang2 Arab, Photius menulis mengenai bulan2 di mana orang2 menganggap “Haram”, di mana di dalamnya mereka setuju untuk tidak berperang. Cendekiawan seperti Winekler, telah mengidentifikasi bulan2 adalah bulan2 yang sama ketika orang2 Arab melaksanakan sebuah ibadah haji, dengan tambahan pada bulan ketika mereka berpuasa, yang mereka sebut Ramadan[57]. Dalam masa bulan Du al-Hajjeh, setiap orang Arab pergi ke kuilnya, atau bukit khusus, untuk menyembah dewanya sendiri. Ada banyak tempat di mana orang2 Arab biasa melaksanakan peribadahan haji.[58]
Hal ini membantu kita untuk melihat bahwa peribadahan haji di sekitar Mekah dilakukan terpisah oleh dua kelompok dalam masa bulan yang sama dengan peribadahan haji. Satu kelompok pergi ke Arafah untuk menyembah Matahari, kelompok lainnya pergi ke Muzdalifah untuk menyembah bulan. Setelah melakukan perhentian2 keagamaan mereka untuk memuliakan dewa2 mereka sendiri, kedua kelompok melakukan perhentian2 untuk menghormati Manat dan memohon hujan. Ritual2 peribadahan haji dan Du al-Hijjah, bulan peribadahan ziarah, diketahui luas di antara orang2 Arab pagan, sebuah fakta yang diakui sejarawan2 dan penulis2 Islam. [59]
Perayaan Pelemparan Batu2 ke Bukit
Kami telah menyebutkan bahwa
di Muna, atau Mina’, penziarah melemparkan tujuh buah batu2 ke sebuah bukit. Tradisi Islam mengklaim lokasi ini adalah di mana Abraham bertemu dengan setan dan melemparkan batu2 padanya. Sejarah memberitahu kita bahwa Abraham tidak pernah mengunjungi Mekah, karena Mekah tidak eksis pada masa Abraham. Mekah muncul kemudian, setelah abad keempat Masehi. Jazirah Arab Barat bagian tengah, di mana Mekah kemudian berada, tidak berpenghuni pada masa kehidupan Abraham yang hidup pada abad ke 21 Sebelum Masehi. Ia berupa sebuah gurun pasir, tidak dikenal oleh para penghuni Mesopotamia, di mana Abraham lahir, dan tidak dikenal oleh daerah Kanaan, di mana Abraham pergi untuk berdiam.
Kota2 jazirah Arab utara, seperti Dedan dan Qedar, di bangun sekitar abad kesembilan SM. Kota2 seperti Yathrib dibangun setelah rute antara Yaman dan daerah bulan sabit berkembang, di sekitar abad keenam SM., tetapi rute di sepanjang laut merah di antara kota2 utara jazirah Arab dan Yaman tidak dibuat sampai abag ketiga SM seperti yang dijelaskan oleh ahli2 geografi Yunani. Walaupun ahli2 geografi dan penulis2 klasik memberitahu kita beberapa perhentian muncul kemudian, area di mana Mekah sebenarnya dibangun tidak berpenghuni sampai setelah masa Kristen.
Jadi, bagaimana mungkin Abraham telah meninggalkan tempat tinggalnya di Tanah Kanaan, untuk datang ke sebuah gurun pasir di mana tidak ada yang pernah tinggal sebelumnya ?
Lebih jauh, menyerang setan dengan batu2 adalah sebuah mitos yang tidaklogis karena setan adalah sebuah roh, tidak tersentuh ketika barang2 materi dilemparkan kepadanya. Setan tidak mempunyai sebuah tubuh materi untuk dilukai oleh batu2. Hal yang sama ketika bintang2 (meteor?) dilemparkan kepada mereka. Quran mengklaim bahwa meteorit adalah bintang2 yang Allah gunakan untuk menyerang setan2.
Lebih2, pelemparan batu pada setan adalah sebuah perayaan pagan yang dipraktekkan oleh berbagai sekte2 pagan di Timur Tengah[60]. Pelemparan batu2 merupakan sebuah ritual yang dimulai di Muna oleh suku Sufa yang memimpin perayaan2 di bukit Arafah. Suku Sufa tidak mengizinkan siapapun untuk melangkah dari Arafah ke perhentian peribadahan haji berikutnya sebelum semua suku2 selesai melakukannya. Tidak seorangpun diizinkan melempar batu2 sebelum mereka melakukannya. [61] Ini mengindikasikan bahwa Sufa memulai pelemparan batu2 sebagai bagian dari peribadahan haji mereka di bagian dari jazirah Arab, dan membuatnya menjadi bagian dari tradisi mereka.
Ritual penganut Zoroastria Pelemparan Kerikil2 dan Tradisi Persia yang lain meninggalkan suatu pengaruh dalam Peribadahan haji orang2 Arab.
Penganut Zoroastria juga melempar batu2 pada air dank e dalam air kencing sapi jantan. Air dan air kencing tersebut dipersiapkan untuk pencucian dan pembersihan tubuh2 dan obyek2. Sekali mereka melempar, batu2 ini, atau kerikil2, akan tertanam dalam lubang2 di dalam tanah, sedianya untuk menyerang serangga2 atau ulat2 di dalam tanah yang dianggap sebagai setan2 oleh Penganut Zoroastria. Kita membaca mengenai perayaan ini dalam banyak bab Surat Manuskihar, bagian dari Teks Pahlavi, literature tradisional bagi interpretasi Avesta, yang merupakan tulisan2 suci Zoroastrianisme.[62]
Konsep di belakang pelaksanaan Pencucian dalam Zoroastrianisme adalah untuk mengusir, atau menolak, setan dari tubuh. Dalam kitab2 penganut Zoroastria, seperti Vendidad, bagian dari Zenda Avesta, kita menemukan bahwa setan di usir dari suatu bagian tubuh setiap kali air pencucian mencapai bagian itu. Kemudian setan lari ke bagian dalam, sampai ait menyentuh jari2 kaki, dan sang setan terusir. [63] Kami menemukan konsep yang sama dalam Teks Pahlavi, sebagaimana tercantum dalam “Perayaan Bareshnum”. [64] Juga dalam Shayast La-Shayast, Bab XX, di mana kami menemukan bahwa, supaya setan dapat lari dari tubuh, orang harus melakukan pencucian dalam air dan air kencing sapi jantan sebelum matahari terbit.[65] Air dalam Zoroastrianisme adalah seorang dewa yang membersihkan jiwa dan melepaskan noda dan efek dari sang setan. Quran berisi ajaran yang sama mengenai arti penting air: untuk membersihkan jiwa orang dan mengusir setan dan nodanya dari tubuh. Kita membaca dalam QS 8:11:
(Ingatlah), ketika Allah menjadikan kamu mengantuk sebagai suatu penenteraman daripada-Nya, dan
Allah menurunkan kepadamu hujan dari langit untuk mensucikan kamu dengan hujan itu dan menghilangkan dari kamu gangguan-gangguan syaitan dan untuk menguatkan hatimu dan mesmperteguh dengannya telapak kaki(mu). (8:11)
Para penganut Zoroastrian percaya kekuatan air kencing sapi jantan dalam membersihkan dan menyembuhkan. Dalam literature penganut Zoroastria yang disebut Surat Manuskihar, Surat I, Bab VII, air kencing tersebut digambarkan sebagai “Penyembuhan yang baik dalam tindakan”. [66] Dalam Vendidad, para penganut Zoroastrian mengklaim bahwa Ahura Mazda, dewa utama Zoroastrianisme, menganjurkan untuk meminum susu dan air kencing sapi jantan untuk menyembuhkan penyakit.[67]
Muhammed meminjam jenis penyembuhan ini dari penganut Zoroastria, tetapi ia mengubah penggunaan air kencing sapi jantan dengan air kencing unta betina. Dia mengklaim bahwa air kencing unta betina dapat menyembuhkan semua penyakit. Orang yang datang kepadanya dengan penyakit2 diperintahkan oleh Muhammed untuk meminum air kencing unta betina.[68]
Orang2 biasa meminum air kencing Muhammed di depannya, dan dia menyukainya, menyinggung bahwa air kencingnya suatu pengobatan untuk penyakit2.[69] Kita mengetahui betapa berbahaya dan resiko air kencing, apakah dari unta atau manusia, karena kuman2 yang keluarkan oleh tubuh melalui air kencing, di samping senyawa asam berbahaya lainnya dan material yang dikeluarkan oleh tubuh.
Kami menemukan ritual2 lain dalam masa sebelum peribadahan haji Islam yang datang dari Zoroastrianisme. Salah satu dewa2 penganut Zoroastria Persia adalah api. Qusayy, pendahulu kedelapan Muhammed, datang dari Yaman dan menduduki Mekah. Dia menyalakan api di Muzdalifah, tempat di mana bulan disembah dalam masa sebelum peribadahan haji Islam. Al-Tabari menulis bahwa api ini terus berkobar pada masa Muhammed, dan tiga khalifah yang datang sesudah dia.[70] Kita dapat mengerti bagaimana peribadahan keagamaan Persia menjadi bagian dari peribadahan haji, saat kita mengerti pengaruh orang2 Persia terhadap orang2 Yaman dan wilayah selatan jazirah Arab. Di Yaman, ada api yang terus menerus berkobar bertahun2 menurut pemujaan orang2 Persia.[71]
Tradisi Zoroastrianisme lain memerintahkan pengikut2nya untuk melakukan kegiatan2 yang baik dan praktek2 keagamaan mewakili kerabat dan teman2 yang telah meninggal.[72] Kita menemukan bahwa Muhammed mengadopsi ritual yang sama. Dalam sebuah hadits, dilaporkan oleh al-Bukhari, Muhammed menasehati seorang wanita untuk melaksanakan ibadah haji bagi ibunya yang telah meninggal.[73]
Fase2 yang dilalui bulan mempengaruhi penyembahan di Timur Tengah, khususnya di jazirah Arab. Cara bagaimana bulan disembah di Muzdalifah dalam masa sebelum Islam mengingatkan pada kita penyembahan orang2 Persia pada bulan. Bulan dalam Nyayis, sebuah literature suci Zoroastria, adalah menghadap bulan tiga kali setiap bulan: pertama, pada saat ketika bulan muncul pertama kalinya; kedua, ketika purnama; dan akhirnya, ketika mulai menghilang.[74] Hal itu mengingatkan kita mengenai bagaimana orang2 Arab menyembah bulan di Muzdalifah sampai bulan menghilang. Mereka menyelesaikannya dengan berpuasa, kemudian makan ketika bulan sabit muncul kembali. Faktanya, permulaan Ramadan dimulai ketika bulan sabit muncul kembali. Bulan memainkan peranan yang penting dalam Islam kini, seperti yang kita lihat dari bulan sabit yang merupakan symbol identitas Islam.
Ritual2 yang berhubungan dengan bulan dan penyembahannya juga berakar dalam penyembahan orang2 Arya. Kita membaca dalam Apastamba, sebuah kitab suci Arya, bahwa sebuah pesta dimulai ketika bulan sabit muncul. Orang2 yang religius tidak dapat studi, atau melakukan apapun, selama dua malam [75]. Ritual ini berulang dalam Ramadan. Setelah satu bulan berpuasa, kaum muslim berpesta ketika mereka melihat bulan sabit muncul di langit.
Kita mengetahui bahwa Ramadan aslinya adalah sebuah ritual orang2 Harran yang bertempat di kota Harran, di perbatasan antara Syria, Irak dan Asia Minor (Turki sekarang). Orang2 Harran berpuasa selama satu bulan, dimulai minggu pertama atau kedua dalam bulan Maret, identik dengan Ramadan. Puasa ini untuk Sin, dewa bulan. Beberapa sejarawan Arab mengidentifikasi puasa orang2 Harran identik dengan puasa Ramadan. Ketika bulan sabit muncul, orang2 Harran mengakhiri puasa mereka dan memulai suatu festival, cara yang sama dengan orang2 Aran merayakan Ramadan setiap tahun. Kita mengasumsikan perayaan Ramadan ditransfer dari Harran ke jazirah Arab pada masa abad keenam SM ketika Nabonidus, Raja Harran dari Babylonia, menduduki jazirah Arab Utara dari tahun 556~539 SM. Untuk lebih mengetahui topic ini, saya rujukkan pembaca ke subyek Ramadan.
Ritual ketiga Ibadah Haji adalah pemotongan rambut penziarah
Pemotongan rambut adalah sebuah kebiasaan yang dipraktekkan oleh beberapa suku2 Arab setelah sebuah ibadah ziarah untuk menghormati dewa2 mereka. Salah satu dari dewa mereka adalah sebuah berhala bernama al-akyaser الأقيصر. Mereka melakukan sebuah peribadahan ziarah ke berhala di mana mereka memotong rambut mereka, dicampur dengan tepung dan melemparkannya ke udara.[76] Perayaan yang sama juga dilakukan oleh banyak suku2 pagan Yaman.[77] Suku2 yang beremigrasi ke Medina, dan area sekitar Mekah, datang dari Yaman setelah hancurnya dam di Ma’rib, sekitar tahun 150 Masehi.
Hal ini membantu kita memahami mengapa pemotongan rambut adalah ritual yang mengakhiri peribadahan haji.
Saya telah menyebutkan sebelumnya bahwa beberapa suku2 Yaman memuliakan Manat, putri Allah. Manat dilambangkan dengan sebuah batu, ke mana suku2 ini pergi dalam peribadahan haji mereka. Pada akhir peribadahan haji, mereka memotong rambut mereka. Ibn al-Kalbi, al-Azruki, dan lainnya menulis mengenai tradisi2 jazirah Arab. Mereka memberitahu kita suku2, seperti Oas, Khazraj, Oz, dan Ghassan merupakan suku2 yang seluruhnya berasal dari Yaman yang melakukan peribadahan haji ke Manat.
Di banyak tempat, mereka melakukan perhentian2 keagamaan untuk memuliakan dewa2 mereka tanpa memotong rambut mereka sampai mereka tiba di Manat, di mana mereka mengakhiri peribadahan haji mereka dengan pemotongan rambut mereka. Mereka tidak melihat peribadahan haji mereka lengkap kecuali kalau mereka melakukan seperti itu.[78]
Anda mungkiin ingat bahwa Manat adalah dewi kepada siapa mereka akan memohon hujan. Setelah mereka melakukan peribadahan haji kepada dewa2 mereka, mereka akan datang kepada Manat, memotong rambut mereka dan mempersembahkan korban binatang mereka. Perhentian2 sebelum masa peribadahan haji Islam mencakup Arafah, tempat di mana mereka akan berhenti untuk menyembah matahari, dan Muzdalifah, di mana mereka akan berhenti untuk menyembah bulan.
Kemudian ibadah haji akan selesai di Mina, disebut Muna, tempat yang didedikasikan kepada Manat, di mana mereka memotong rambut mereka dan mempersembahkan korban binatang mereka. Pada masa Muhammed, ibadah haji yang sama ditransfer kepada Islam dengan ritual2 yang sama, termasuk ritual pemotongan rambut di Manat.
Ritual Berteriak dalam peribadahan Haji
Ritual lain yang dilakukan dalam masa peribadahan haji besar adalah meneriakkan dua hal: “Allah adalah mereka, Aku ada disini” dan “Allah Maha Besar.” Al-Ya'akubi, sejarawan Arab, menulis bahwa setiap orang2 Arab akan berhenti dihadapan berhalanya dan meneriakkan “Allah adalah mereka, Aku ada di sini.”[79]
Kami menemukan bahwa ketika ibadah haji ditransfer kepada Islam, ia menampilkan kata keagamaan yang sama. Ketika mereka datang kepada bukit yang didedikasikan untuk menyembah bulan, mereka meneriakkan “Allah Ackber,” yang berarti “Allah Maha Besar”. Hal ini karena bulan, yang merupakan Allah dilihat sebagai pimpinan Keluarga Bintang dan lebih besar daripada anggota2 lainnya, Ellat, si matahari, dan Manat dan al-‘Uzza, kedua planet. Teriakan “Allah Maha Besar” bukanlah teriakan Islam tetapi, lebih, suatu teriakan pagan di mana penyembah Keluarga Bintang biasa berteriak. Syair2 masa sebelum Islam di jazirah Arab seringkali memuliakan anggota2 Keluarga Bintang dengan menekankan Allah sebagai pimpinan Keluarga Bintang dengan mengulang2 kata2 “Allah Ackber.” Sebagai contohnya, Loas Bin Hagar, penyair Arab masa Jahiliyah, yang merupakan periode sebelum Islam, mengatakan:
Aku bersumpah demi Ellat dan al-‘Uzza dan semua yang mengikuti agama mereka, dan dalam Allah, Allah lebih besar daripada mereka.[80]
Abdel Mutaleb, kakek Muhammed, yang bukan seorang muslim tetapi adalah seorang penyembah Keluarga Bintang jazirah Arab juga terikat pada agama jin jazirah Arab, biasa meneriakkan teriakkan yang sama,”Allah Maha Besar.” [81] Mereka melakukan teriakan yang sama dengan semua penyembah anggota2 Keluarga Bintang. Ini menjelaskan mengapa kita menemukan teriakan ini dalam ritual2 peribadahan haji, yang mana aslinya didedikasikan kepada tiga anggota2 Keluarga Bintang:bulan, matahari, dan Manat, putri Allah dan dewi hujan.
Kelihatannya bahwa ketika peribadahan haji dimulai pertama kalinya, bulan masih menikmati title Allah sebelum title tersebut diambil alih Venus. Ketika orang2 Arab pagan sebelum Islam melihat bulan sabit, mereka akan meneriakan dengan suatu suara yang keras “Allah Akber,” yang adalah “Allah Maha Besar.” Dari masa kuno, bulan adalah “ Allah” bagi banyak suku2 Arab dan, seperti itulah, dewa mereka terlihat. Bulan dalam bentuk bulan sabit, setelah itu menghilang untuk satu periode waktu, memotivasi mereka untuk meneriakkan penyembahan padanya.
Teriakkan, dan memuliakan bulan ketika bulan sabit muncul, masih memiliki pegaruhnya pada ritual2 Islam kini. Saat ini, Anda akan melihat ketika kaum muslim melhat bulan sabit muncul, mereka mengakhiri puasa mereka dan memulai makan Ramadan, mengikuti persis ritual kuno penyembah bulan. Bagi para penyembah, bulan adalah dewa dan focus mereka, dan kepada bulan mereka memulai puasa Ramadan.
Kesimpulan
Al-Shahrastani, sejarawan Arab, menulis mengenai masyarakat pagan Jahiliyah. Dia mengatakan mereka seringkali melakukan ibadah haji dalam bulan yang lain dari Du al-Hijjah, tetapi mereka melaksanakan ritual2 yang sama seperti ibadah haji Islam, berhubungan dengan hari2 dalam bulan tersebut. Mereka membuat hari kesepuluh untuk korban binatang, persis sama dengan kaum muslim kini melaksanakan korban pada hari kesepuluh dalam bulan Du al-Hijjah. Dengan kata lain, kadang2 mereka memilih bulan lain, tetapi mengikuti ritual2 yang sama pada tempat2 yang sama.[82] Dengan bukti ini, kita menyimpulkan bahwa ibadah haji Islam telah dipraktekkan oleh suku2 pagan Arab. Peribadahan haji dimulai pertama kalinya oleh beberapa suku2 untuk dewa2 mereka sendiri. Kemudian, beragam elemen peribadahan haji dikonsolidasikan. Kini, ibadah haji Islam menampilkan ritual2 yang mana diketahui dipraktekkan oleh suku2 pagan di sekita Mekah dan Medina, didirikan oleh suku2 yang beremigrasi dari Yaman, dan melaksanakan ritual2 ini kepada dewa2 mereka.
Walaupun kaum muslim mengklaim bahwa ibadah haji berhubungan dengan Abraham, peribadahan haji ini sama sekali tidak berhubungan dengan Abraham.
Tidak satupun dari suku2 tersebut pernah menyebutkan sebuah hubungan antara ibadah haji pagan mereka dengan Abraham atau Ishmael, sebagaimana klaim2 Islam.
Tidak ada satupun syair2 orang2 Arab pada masa Jahiliyah mempersembahkan ibadah haji mereka kepada Abraham atau Ishmael. Peribadahan haji, aslinya dilakukan pada Keluarga Bintang jazirah Arab, yang dipersembahkan kepada Abraham hanya setelah Islam muncul pada pentas.
Bagi kaum muslim pergi berhaji ke mana suku2 pagan Arab memuliakan anggota Keluarga Bintang tidak akan pernah menghubungkan mereka dengan Tuhan yang Benar. Ritual ini sama dengan banyak ritual yang dilaksanakan oleh kaum pagan di Timur Tengah dan Asia. Penambahan nama Abraham pada ritual2 pagan dari beberapa suku2 Arab di sekitar Mekah dan Medina tidak akan pernah mengubah asal usul perayaan2 pagan mereka. Kaum muslim, sebaliknya, perlu mempelajari kepercayaan Abraham seperti yang dikisahkan dalam Bible. Abraham tidak pernah berpuasa ketika bulan menghilang, maupun meneriakan dan makan ketika bulan sabit muncul. Dia tidak pernah menghubungkan penyembahannya dengan pergerakan benda2 apapun dalam tata surya, atau dengan bintang2 atau dengan batu2. Dai juga tidak melemparkan batu2 pada setan, atau memotong rambutnya di depan sebuah batu.
Kita hidup dalam sebuah masyarakat yang toleran di mana orang2 bebas untuk mempercayai apa yang mereka inginkan, dan memiliki kebebasan berbicara untuk memohon perpindahan. Kaum muslim kini mencari para penganut dengan menyebarkan ajaran palsu, dan banyak yang tertipu. Banyak orang berasumsi bahwa Allah dan Tuhan adalah sama, dan tidaklah penting agama mana yang kita anut. Tetapi, kini kita telah belajar bahwa Tuhan dan Allah tidaklah sama. Doktrin Allah dalam Islam bercampur-aduk dari banyak bentuk penyembahan pagan dan ritual2nya selama bertahun2. Terbentuk dari penyembahan bulan pada satu sisi dan penyembahan Venus pada sisi lainnya.
Religion Research Institute- Home
________________________________________
[55] D.Nielsen, Die Altarabischen Mondreligion (Strassburg, 1904), S. 86 ; Jawad Ali, al-Mufassal Fi Tarikh al-Arab Khabel al-Islam, vi, page 348
[56] Shorter Encyc.of Islam, page 124; quoted by Jawad Ali, vi, page 348
[80] al-Kalbi, al-Asnam, Dar al-Kutub al-Masriyah (Cairo, Egypt, 1925), 11
[81] Ibn Hisham I, page 118
[1] Sahih Muslim, 9, page 100
[2] Bukhari, 2, page 141; Sahih Muslim 9, page 119
[3] Al-Biruni,op.cit.,page 318 ( cited by The Knowledge of Life, Sinasi Gunduz, Oxford University, 1994, page 183
[4] Ibn al-Nadim, al-Fahrisit, page 322
[5] Ibn Kathir, Al Bidayah Wal Nihayah, Dar Al Hadith, (Cairo, 1992), 2 : 243
[6] Ibn Darid, Al-Ishtiqaq 84; Qastallani Ahmad ibn Muhammed, Irshad al-Sari, 6, page 171 ; Ibn Kathir, al-Bidayah Wal Nihayah 2, page 244; Ibn al-Atheer, Asad al-Ghabah Fi Maarifat al-Sahabah 2, page 231
[7] M. A. al-Hamed, Saebat Harran Wa Ikhawan al-Safa, ( al-A'hali- Damascus, 1998), page 199
[8]Tarikh al-Tabari, I, 156, 157
[9] Ibn Habib, Munammaq, page 275 ; cited by Patricia Crone, Meccan Trade, Princeton University Press, 1987, page, 173
[10] Muhammad Ibn Habib, Kitab al- Munammaq, page 196
[11] Azruqi, Akhbar Mecca, page 132
[12] Wellhausen, Reste , page 83; cited by Patricia Crone, Meccan Trade, Princeton University Press, 1987, page, 174
[13] Patricia Crone, Meccan Trade, Princeton University Press, 1987, page, 175
[14] ( Ibn Saad, Tabaqat, 1, page page 216 ); Ibn Hisham, page 281 ; Cited by Crone, page 175
[15] Ibn Hisham, page 286; ( Ibn Saad, Tabaqat 1, page 217;
Cited by Crone page 175
[16] Ibn Habib, Kitab al-Muhabbar, page 315
[17] Jawad Ali, al-Mufassal, vi, 328
[18] Ibn Habib, Kitab al-Muhabbar, page 313
[19] al-Kalbi, al-Asnam, Dar al-Kutub al-Masriyah, Cairo-Egypt, 1925, 14; Yaqut al-Hamawi, Mujam al-Buldan, 8: 169; Azruqi, Akhbar Mecca, I, 73
[20] al-Kalbi, al-Asnam, Dar al-Kutub al-Masriyah, Cairo-Egypt, 1925, pages 13, 15; Yaqut al-Hamawi, Mujam al-Buldan 8, page 169
[21] Al- Bukhari, 2, page 166
[22]Tarikh al-Tabari, I, page 553
[23]Tarikh al-Tabari, I, page 553
[24] Bukhari, 3, page 181
[25] Al-Aghani, by Al Asfahani, 4, pages 122- 195
[26] Sahih Muslim 9, page 39; Bukhari, 2, page 178
[27] Bukhari, 2, page 178
[28] Suhih Muslim 9, pages 42 and 43
[29] Taj Al Aruss 10, page 351; Tafsir al-Tabari 27
[30] Al-Tabarsi al-Fadl ibn al-Hasan, Majma' al-Bayan fi tafsir al-Qur'an, 9, page 176; Yaqut al-Hamawi, Mujam Al Buldan 2: 944; Jawad Ali, vi, page 246
[31] Al-Ya'akubi, I, page 312
[32] al-Kalbi, al-Asnam, Dar al-Kutub al-Masriyah, Cairo-Egypt, 1925, 14 ; see also Yaqut al-Hamawi, Mujam Al Buldan 8; page 169
[33] Tafsir al-Tabari 27, page 35
[34] Tafsir al-Tabari 27, page 35
[35] Tafsir al-Tabari 27, page 32
[36] Tafsir al-Tabari 27: 32; Al Zamkhari al- Khawarismi, Al Kashaf , 3, page 144
[37] Al Azruqi, Akhbar Mecca, 1, page 73; Al Kalbi, Alasnam, page 14; Yaqut al-Hamawi, Mujam al-Buldan, 8, page 169
[38] Tafsir Ibn al-Kathir 4, page 252
[39] Al Shahrastani, Al Milal Wa Al Nah'el, page 578
[40] Sahih al-Bukhari, 5, page 158
[41] Sahih al-Bukhari, 4, page 235
[42] Halabieh, I, 127 and 128
[43] Ibn Hisham, I, page 100; Tarikh al-Tabari, I, page 507
[44]Tarikh al-Tabari, I, page 507
[45]Tarikh al-Tabari, I, page 508
[46]Tarikh al-Tabari, I, page 508
[47] Ibn Hisham I, page 101
[48] Taj Al Aruss 2, page 207
[49] Jawad Ali, al-Mufassal Fi Tarikh al-Arab Khabel al-Islam, vi, page 384
[50] Jawad Ali, al-Mufassal Fi Tarikh al-Arab Khabel al-Islam, vi, page 384
[51] Taj Al Aruss 2, page 207
[52] Sahih al-Bukhari, 4, page 238
[53] Sahih al-Bukhari, 2 , page 171
[54] Sahih Muslim 9, page 23
[57] Winekler, ALF., II, Reihe, Ibd., S.336; quoted by Jawad Ali,vi,page 349
[58] Wellhausen, Reste, Arabischen Heidentums, Berlin, 1927, p. 84; quoted by Jawad Ali, vi, page 351
[59] Al Masudi, Muruj Al Thahab, II, pages 212 and 213
[60] Alessandro Bausani, L’Islam, Garzanti Milano, 1980, page 61
[61]Tarikh al-Tabari, I, page 508; Ibin Hisham, I, page 100
[62] Epistles of Manuskihar, Epistle I, Chapter VII, 16, Pahlavi Texts, Part II, Translated by E.W. West, The Sacred Books of the East, Volume 18, Published by Motilal Banarsidass, page 308; Epistles of Manuskihar, Epistle II, Chapter III, 12, ; Epistles of Manuskihar, Epistle I , Chapter IX , 6 ;Appendix- The Bareshnum Ceremony, Pahlavi Texts, Part II, Translated by E.W. West, The Sacred Books of the East, Volume 18, Published by Motilal Banarsidass, page 447
[63] Vendidad, Fargard VIII :41-71, translated by James Darmesteter, The Zenda –Avesta part I , The Sacred Books of the East, Volume IV, pages 105-110
[64] Appendix- The Bareshnum Ceremony, Pahlavi Texts, Part II, Translated by E.W. West, The Sacred Books of the East, Volume 18, Published by Motilal Banarsidass, page 437
[65] Shayast La-Shayast, Chapter XX, 5, Pahlavi Texts, Translated by E.W. West, Part I, The Sacred Books of the East, Volume 5, Published by Motilal Banarsidass 1970, page 394
[66] Epistles of Manuskihar, Epistle I, Chapter VII, 17, Pahlavi Texts, Part II, The Sacred Books of the East, Volume 18, Published by Motilal Banarsidass, page 309
[67] Vendidad, Fargard VII:66
[68] Sahih al-Bukhari, 5, pages 64 and 70
[69] Halabieh, I, page 86
[70]Tarikh al-Tabari, I, page 512
[71] Al-Nuwayri, Nihayat al-arab fi funun al-adab, I, page 109; Alusi al-Baghdadi Mamud Shukri, Bulugh al-arab fi ma'rifat ahwal al-arab, 2, page 102
[72] Dadistan-I Dinik, Chapter VIII, 1, Pahlavi Texts, Part II, Translated by E.W. West, The Sacred Books of the East, Volume 18, Published by Motilal Banarsidass, page 26
[73] Sahih al-Bukhari, 8, page 150
[74] Comment on Nyayis, The Zenda –Avesta part II, translated by James Darmesteter, The Sacred Books of the East, Volume 23, page 349
[75] Apastamba, Prasna I, Patala 3, Khanda 9, 28, Sacred Laws of the Aryas, Part I, Translated by Georg Buhler, The Sacred Books of the East, Volume 2, Published by Motilal Banarsidass, Delhi, page 35
[76] al-Kalbi, al-Asnam, Dar al-Kutub al-Masriyah, Cairo-Egypt, 1925, 18; Yaqut al-Hamawi, Mujam al-Buldan, 1, page 341
[77] Yaqut al-Hamawi, Mujam al-Buldan, 1, page 341
[78] Azruqi, Akhbar Mecca, I, page 73; Yaqut al-Hamawi, Mujam al-Buldan, 8, 169; al-Kalbi, al-Asnam, Dar al-Kutub al-Masriyah ( Cairo, Egypt, 1925), 14
[79] Al-Ya'akubi, I, page 225
[82] Al Shahrastani, Al Milal Wal Nahel, page 590
[SELESAI]
---------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------