Wawancara Ayaan Hirsi Ali tentang Israel

Analisa hubungan Islam dan Yahudi sejak jaman Muhammad dan Islam sampai saat ini.
Post Reply
User avatar
Adadeh
Posts: 8184
Joined: Thu Oct 13, 2005 1:59 am

Wawancara Ayaan Hirsi Ali tentang Israel

Post by Adadeh »

Wawancara Ayaan Hirsi Ali tentang Israel
oleh Ayaan Hirsi Ali
Jun 30, 2013

Image
Ayaan Hirsi Ali

Ali: Bahkan jikalau Israel menyerahkan seluruh tanah negaranya sekalipun, tindakan itu tetap tidak akan memecahkan masalah di Timur Tengah.

Wawancara dengan Ayaan Hirsi Ali, penulis buku Infidel. Katanya, “Dari sudut pandang para pemimpin Arab, mendirikan dua negara terpisah di Israel berarti mengkhianati Allah. Jika kau benar² ingin damai dan tidak cuma mengadakan proses damai saja, maka kau harus menciptakan kedamaian diantara masyarakatnya. Perantara perdamaian tidaklah penting.”

Terdapat kesang anggun pada sikap Ayaan Hirsi Ali yang tenang tapi meyakinkan sewaktu dia bangkit berdiri diantara para penonton dan berjalan menuju podium untuk menyampaikan pidatonya. Sejarah hidup Ayaan Hirsi Ali bermula di Somalia, di mana dia lahir di keluarga Muslim. Di usia lima tahun, dia menjalani sunat klitoris. Di usia remaja, dia menjadi Muslimah yang taat. Di awal usia 20 tahunan, sewaktu dia menyadari dirinya akan dinikahkan secara paksa, dia melarikan diri ke Belanda, lalu melamar suaka politik. Hirsi Ali lalu belajar di Universitas Leiden dan mulai menulis berbagai artikel tentang Islam, kondisi Muslimah, dan lain².

Dia juga menulis naskah film Belanda berjudul Submission yang disutradarai Theo van Gogh, yang akhirnya dibunuh seorang Muslim. Hirsi Ali bergabung bersama People’s Party for Freedom dan Democracy dan di tahun 2003 dipilih menjadi anggota Parlemen Belanda. Beberapa tahun kemudian dia hijrah ke AS, dan menjadi ahli pengamat bagi American Enterprise Institute. Dia menulis beberapa buku, termasuk autobiografinya yang berjudul Infidel yang jadi bestseller di dunia internasional. Di tahun 2005, majalah Time menyebut Hirsi Ali sebagai salah satu dari 100 orang yang paling berpengaruh di dunia. Banyak sekali keterangan akan dirinya di internet, lengkap dengan berbagai artikel dan video ceramahnya.

Tidak bisa disangkal lagi bahwa Hirsi Ali adalah orang yang pemberani. Dalam usahanya melawan Islam, dia menerima banyak ancaman kematian dan serangan dari kaum liberal Barat yang tidak setuju dengan kritiknya atas multi budaya dan kebutaan masyarakat Barat dalam menghadapi ancaman Islam terhadap keberadaan masyarkat yang merdeka.

Ayaan Hirsi Ali sedang mengunjungi Israel untuk hadir dalam Konferensi Presiden di Yerusalem.

Israel Hayom:
Dalam wawancaramu, kau menyatakan berbagai referensi tentang keadaan di Timur Tengah. Kau berkata bahwa masyarakat Barat tidak mengerti bahwa apa yang sedang terjadi di Timur Tengah bukanlah sebuah dialog.

Ayaan Hirsi Ali:
Ada lebih dari satu masalah di sini. Tentang perihal Israel-Palestina, masalah utama adalah kau bisa saja bicara tentang proses damai, tapi yang kau capai hanyalah proses saja, dan bukan kedamaian sebenarnya. Mengapa prosesnya berlangsung sangat lama? Karena bagi negosiator Palestina, masalahnya bukanlah masalah daerah kekuasaan tapi masalah agama dan etnik. Bagi mereka, masalahnya bukan hanya Palestina saja, tapi seluruh Arab. Masalah di atas segalanya adalah masalah agama Islam.
Dari sudut pandang para pemimpin Arab, mencapai solusi dua negara (Israel dan Palestina) berarti mengkhianati Allah, Qur’an, hadith dan budaya Islam.

Israel Hayom:
Meskipun tampaknya mereka adalah golongan sekuler?

Ayaan Hirsi Ali:
Anggapan bahwa para negosiator Palestina adalah orang² sekuler tidak didukung oleh fakta. Jika mereka itu sekuler, maka sejak dulu telah akan tercapai persetujuan pembagian daerah. Tapi sampai sekarang tetap tak ada persetujuan, karena masalahnya bagi Muslim sudah menjadi masalah jihad Islam, sedangkan pihak Israel melihatnya sebagai masalah daearah kekuasaan. Tentu saja ada pihak Israel yang melihatnya sebagai masalah agama, tapi jumlahnya sangat kecil dibandingkan jumlah dari pihak Muslim. Mencapai persetujuan membagi wilayah menjadi dua negara merupakan pengkhianatan bagi Islam – tidak hanya bagi para pemimpinnya tapi juga Muslim pada umumnya. Pihak Barat harus mengerti akan hal ini.

Israel Hayom:
Mengapa kok begitu/ Setelah kau bertahun-tahun hidup di negara Barat, bagaimana caranya kau menerangkan hal ini?

Ayaan Hirsi Ali:
Konsep agama di Barat di abad ke 20 dan 21 sangat berbeda dengan konsep agama Muslim Timur Tengah. Pihak Barat telah berhasil memisahkan agama dan politik. Tapi konsep agama Barat bahkan di abad ke 13 atau 15 berbeda dengan konsep agama di Timur Tengah.
Islam adalah suatu Orthopraxy, Islam punya tujuan akhir. Jika kau adalah Muslim tulen, maka kau harus berjuang untuk mencapai tujuan itu. Kau bisa mengusahakan perdamaian atau gencatan senjata sesaat, tapi ini hanya sesaat saja dan tak berlangsung seterusnya. Masalahnya bagi Muslim bukan hanya masalah daerah kekuasaan, karena daerah tidak dimiliki oleh manusia, tapi dimiliki oleh Allah. Jadi bagi pemimpin Palestina – bahkan jika dia sekuler atau atheis – untuk meninggalkan meja perundingan dengan menerima solusi dua negara berarti dia akan dibunuh Muslim begitu dia keluar pintu.

Israel Hayom:
Banyak orang pandai dan bijak yang datang di konferensi ini untuk memberi nasehat bagi kami orang Israel untuk bertindak secara rasional. Apakah pertikaian ini ada hubunganya dengan rasionalisme?

Ayaan Hirsi Ali:
Orang² Eropa dan Amerika – bukan hanya pemimpinnya saja, tapi masyarakat pada umumnya – ketika mereka menghadapi suatu masalah, mereka mengira bahwa mereka harus mencapai suatu kompromi di meja perundingan. Yang tidak bisa diterima oleh mereka adalah bahwa salah satu pihak berkata “satu²nya hasil yang rasional bagi kami adalah kemenangan mutlak.” Jika kau menyingkirkan keadaan Israel-Palestina, maka kau bisa melihat unsur² dari budaya ini di berbagai peristiwa di Syria, bahkan Lebanon. Kau bisa melihat itu melalui kasus Mubarak. Ada pihak yang menang dan yang kalah, tapi tak bisa kedua belah pihak jadi pemenang.

Israel Hayom:
Jadi usul untuk mencapai kompromi berasal dari orang² naif?

Ayaan Hirsi Ali:
Kau boleh menyebut mereka dengan julukan apapun. Aku telah mendengar Tony Blair berbeicara di dua atau tiga konferensi di mana dia berpidato. Dia bukan lagi seorang yang naif seperti sepuluh tahun lalu dalam memandang masalah ini. Semakin banyak pemimpin yang melihat pertikaian ini tidak akan bisa dipecahkan dengan cara pandang Barat, yang mengira semua konflik bisa terpecahkan dan tiada yang meninggalkan meja perundingan dengan tangan kosong.
Dalam budaya Islam yang didikte dengan hal kehormatan dan kemaluan – sebagai bagian dari masalah Islam – kalah dalam bentuk apapun, misalnya dengan berkompromi, berarti meninggalkan ruang perundingan dengan tangan kosong. Kompromi itu berarti kalah dalam budaya Islam. Sukar sekali menerangkan hal ini pada orang² Barat jaman sekarang.

Israel Hayom:
Banyak orang² liberal di seluruh dunia, yang mendukung solusi dua negara, dan mereka cenderung untuk menyalahkan Israel.

Ayaan Hirsi Ali:
Banyak kaum liberal yang menganggap Israel itu segolongan dengan mereka, liberal juga, kulit putih juga, negara rasional juga, dll. Karena itu mereka mengharapkan Israel memecahkan masalah dengan cara yang sama seperti mereka juga. Tapi masalahnya, kaum liberal itu melihat konflik dari konteks AS atau Eropa, atau sistem negara Barat lainnya, di mana ada hukum yang jelas untuk pergi ke pengadilan jika ada konflik. Di Barat ada pengadilan daerah, sistem naik banding jika tak setuju, pengadilan agung, dan begitu hakim tertinggi memutuskan masalah, maka keputusannya adalah final. Pihak yang kalah harus menerima keputusan itu.
Yang tidak dimengerti pihak liberal adalah kita bicara dalam konteks yang sangat amat berbeda, di mana infrastruktur sistem keadilan seperti itu TIDAK ADA, dan yang mendukung sistem seperti ini hanyalah kaum minoritas yang tertindas.
Meskipun begitu aku tetap optimistik, terutama setelah terjadi Arab Spring. Aku melihat orang² yang ingin menyingkirkan sistem pemerintahan agama dan menghendaki kompromi. Mereka belum tahu bagaimana cara mencapainya karena tidak punya badan atau organisasai untuk mencapai hal itu. Tapi ini bisa tercapai nantinya.

Israel Hayom:
Pandanganmu itu berbeda dengan pandangan media liberal atau tokoh intelek liberal. Apakah kau pernah menghadapi kesulitan dalam mengutarakan pendapatmu itu?

Ayaan Hirsi Ali:
Diantara kaum elit liberal Barat, ada yang telah mengalami kejadian yang sebenarnya dan ada yang belum pernah. Mereka yang telah benar² menghadapi aspek apapun dari budaya atau agama Islam, dan telah mengusahakan semua cara untuk mendapatkan kompromi, akhirnya keluar – setelah bertahun-tahun berusaha tanpa hasil – dengan cara pandang yang sangat amat berbeda. Aku tak perlu menjelaskan pada mereka.
Aku tadi telah menyebut Tony Blari, tokoh liberal yang paling terkenal yang sudah berubah cara pandangnya. Dia dulu yakin bahwa mencapai kompromi di meja perundingan merupakan seni tersendiri. Tapi sekarang dia tidak lagi berbicara demikian. Sewaktu kita berhadapan dengan konflik Islam, kita perlu suara seperti Tony Blair untuk mendidik pihak liberal Barat lainnya mengapa masalah Islam itu sangat berbeda.
Kupikir orang² yang menganggap bahwa kita semua adalah sama dan bisa memecahkan masalah konflik ini adalah orang² yang tak peduli, tak mau belajar, dan tak punya pengalaman.

Israel Hayom:
Tentunya ada unsur idealisme …

Ayaan Hirsi Ali:
Punya idealisme itu bagus. Tapi jika idealisme membentur realitas, kau tidak bisa memanipulasinya agar sesuai dengan angan²mu. Kau harus menghadapinya sebagai realitas. 93000 orang telah mati di Syria karena kedua belah pihak yang saling berperang tidak mau, tidak bisa, pokoknya enggan berkompromi. Jumlah kematian ini jauh lebih tinggi dibandingkan konflik Israel-Palestina!
Jadi, menurutku untuk bisa terus menerus membahas konflik Israel-Palestina, kau harus pakai obat bius atau merokok mariyuana untuk merasa lebih enak. Kau tak bisa menghadapi realitas, sehingga hanya bisa menenggak sesuatu yang membuatmu lebih nyaman. Ingat juga jumlah orang yang tewas di Lybia karena Kaddafi dan pihak musuhnya tidak bisa berkompromi. Kecenderungan ini berulangkali terjadi di daerah Islam, tidak hanya hari ini saja, tapi juga sepanjang sejarah Islam. Mencapai kompromi bagi Muslim berarti kehilangan muka.

Israel Hayom:
Jadi kau pikir segala percakapan tentang negosiasi yang dilontarkan pihak Arab itu hanyalah tipuan belaka, tanpa niat tulus di belakangnya? Kami tahu bahwa setelah perjanjian Oslo tercapai, Arafat bicara di mesjid di Afrika Selatan dengan membandingkan perjanjian Oslo dengan perjanjian Hudaybiyah oleh Muhammad dengan musuh²nya. Di Israel, ada sebagian orang yang mengerti akan hal ini, dan mengatakan Arafat itu berbicara dengan dua bahasa, satu untuk umatnya, dan satu lagi untuk musuhnya.

Ayaan Hirsi Ali:
Aku mendengar hal seperti itu berkali-kali, sama seperti hubungan antara Presiden Turki Erdogan dan orang² Saudi. Tahukah kau apa kesalahan dalam masalah ini? Jika kau ingin damai dan bukan hanya proses damai, maka kau harus menciptakan kedamaian diantara masyarakatnya. Pihak negosiator itu tidaklah penting. Mereka itu hanyalah segelintir orang yang besok mungkin sudah kehilangan kekuasaan atau mati. Kau harus berdamai dengan masyarakat yang berkonflik denganmu, dan selama mereka tidak mau berdamai denganmu, maka kau tetap tidak akan mendapatkan perdamaian. Hanya pada saat masyarakat mayoritas siap untuk berkompromi maka perdamaian bisa tercapai.
Ini benar pada politik² domestik pada negara apapun atau politik dalam negeri dengan negara² asing, yang melihat konflik Israel-Palestina sebagai simbol terbesar hubungan luar negeri di dunia Arab Islam.
Harus ada perubahan sikap dan pandangan dalam budaya dan masyarakat Muslim, dan kuharap kita bisa menyaksikan hal ini terjadi.
Aku yakin emansipasi sejati tidak bisa muncul tanpa kebebasan individual, tanpa ruang dan suara bagi setiap orang. Nyatanya, individualisme itu tidak ada di dunia Arab Muslim, karena semuanya harus seragam. Jika seseorang punya pandangan berbeda diantara masyarakat Muslim, maka mereka menganggapnya sebagai aib.
Kau harus mempertanyakan mengapa rejim Syria dan sejenisnya tidak mampu menghentikan pertumpahan darah setelah jatuh korban 10, 100, 10000 orang. Kenapa? Masalah ini tidak terjadi karena Israel atau Amerika atau negara asing lainnya, tapi ini adalah masalah budaya mereka sendiri. Agar budaya bisa lepas dari fenomena saling bunuh ini, maka harus terjadi perubahan dari dalam tubuh masyarakat itu.

Israel Hayom:
Kalau begitu, apakah ada gunanya bernegosiasi jika kita ingin mencapai damai, sedangkan pihak Pemerintah Palestina menggunakan buku² sekolah yang sarat dengan pesan anti-Israel dan bahkan tidak menyebut nama Israel di peta geografi mereka?

Ayaan Hirsi Ali:
Sekarang sih tak ada gunanya. Tiada gunanya selama mayoritas masyarakat Muslim tidak ingin damai. Pemimpin Arab yang benar² ingin damai harus meyakinkan masyarakatnya terlebih dahulu, harus mendapat dukungan dari mereka, dan barulah bisa pergi untuk mencapai perdamaian. Karena itulah yang harus dibenahi bukannya hubungan dengan Israel, tapi perubahan dalam budaya Islam dan Arab. Prosesnya tidak tergantung pada dirimu, meskipun kau bisa sedikit menolong; hal ini tidak tergantung pada dirimu, pada AS atau pada bagian dunia lainnya.

Israel Hayom:
Mengenai hubungan dengan teori dari buku Samuel Huntington berjudul Clash of Civilizations, tampaknya Eropa mulai bangkit menghadapi ancaman terhadap mereka. Kami merasa Israel dijadikan kambing hitam bagi seluruh dunia. Apakah Eropa bisa mengatasi penyebaran Muslim di sana?

Ayaan Hirsi Ali:
Iya, tapi hal ini tidak terjadi secara diam² lagi setelah 9/11 dan berbagai plot teror di Eropa. Karena negara² Eropa dan AS itu adalah negara² demokrasi, maka masyarakatnya menikmati kebebasan berbicara. Semakin banyak kita mendengarkan, semakin tampak perbedaan budaya, seperti yang disebut Huntington. Orang harus tahu akan hal ini sebelum menyalahkan Israel, jika tidak, maka tak akan terjadi perubahan. Orang² Eropa semakin sadar akan hal ini.
Aku mengunjungi Israel pertama kali tahun 1998 atau 1999, dan aku lihat para prajurti ada di mana², di bus, pasar, jalanan. Temanku orang Eropa yang melihat hal ini merasa sangat aneh. Kau tidak akan pernah lihat hal serupa di Belanda waktu itu. Tapi sekarang berbagai airport di Eropa dan AS dipenuhi tentara dan pengamanan, semuanya memegang senjata api, persis seperti yang kulihat di Israel. Setelah kejadian bom Marathon Boston, aku yakin perayaan 4 Juli (hari kemerdekaan AS) akan dipenuhi lebih banyak polisi daripada penontonnya.
Sewaktu demokrasi liberal Barat mulai menghadapi hal yang serupa yang dihadapi Israel, maka sikap mereka juga berubah.

Israel Hayom:
Apakah kau melihat adanya perubahan terhadap Israel? Apakah mereka semakin mengerti keadaan Israel?

Ayaan Hirsi Ali:
Sebagian orang malah menjadi semakin berkepala batu. Aku tidak mengerti mengapa Stephen Hawking menolak datang ke Israel. Sebagian intelektual melakukan boykot terhadap Israel. Masyarakat Boston merupakan masyarakat yang paling liberal di AS, mirip dengan San Francisco, meskipun demikian mereka senang tuh melihat para tentara dan polisi menjaga jalanan mereka, yang berarti mengurangi kebebasan kehidupan warga di tempat itu. Tapi orang² lebih memlih menghadapi kenyataan daripada kehilangan anggota badan karena dibom.

Israel Hayom:
Apakah ada pesan yang ingin kau sampaikan pada pembaca koran Israel Hayom?

Ayaan Hirsi Ali:
Pesanku persis seperti apa yang kusampaikan dalam pidato²ku. Kau harus menyadari bahwa bukan Israel yang jadi masalah atau solusinya. Aku menyampaikan harapan bagi Muslim agar bisa memperbaiki hidup mereka, bagi kaum homosex yang tertindas, bagi umat agama minoritas. Jika ada orang di Israel yang ingin menjadi aktivis politik, maka mereka harus punya hubungan dengan pihak Muslim di Timur Tengah yang punya keinginan sama dengan yang diinginkan Israel.

Israel Hayom:
Apakah kau pikir tindakan menyerahkan sebagian kekuasaan tanpa adanya perubahan budaya Muslim merupakan kesalahan yang sangat besar?

Ayaan Hirsi Ali:
Aku mengatakan bahwa Israel itu bukan masalahnya atau solusinya. Bahkan jikalau kau menyerahkan seluruh wilayah Israel, keputusan itu tidak akan menyelesaikan masalah apapun di Timur Tengah. Hal itu tidak akan menghapus kelaliman, tidak akan mengangkat derajat wanita, tidak akan menolong umat agama tertindas. Tidak akan membawa perdamaian bagi siapapun. Bahkan jikalau Israel tidak menyerahkan tanah barang seinci sekalipun, hasilnya tetap akan sama.
Jika kau hanya ingin proses damai, maka tetaplah lakukan hal yang sama. Jika kau ingin perdamaian yang sebenarnya, yang langgeng, maka harus ada perubahan dari dalam orang² Arab secara individu, keluarga, sekolah, daerah, pendidikan, dan politik. Masalahnya bukan terletak pada pihak Israel.
Kau harus memanfaatkan kesempatan yang ada. Karena teknologi modern, keadaan bisa berubah secara cepat. Lihat saja di Iran; apa yang dicapai masyarakat Iran selama 30 tahun, bisa dicapai masyarakat Mesir dalam waktu 5 atau 10 tahun.

Israel Hayom:
Untuk jadi masyarakat sekuler?

Ayaan Hirsi Ali:
Bukan, tapi jadi masyarakat mayoritas yang menolak Syariah. Inilah yang aku katakan tentang Muslim secara umum: Muslim menghendaki Syariah hanya sampai saat mereka mendapatkannya … (maksudnya adalah setelah Syariah diterapkan, Muslim pada gak betah dan berusaha mengenyahkan Syariah atau kabur dari negaranya ke negara kafir)

Israel Hayom:
Untuk mengadakan perubahan budaya, diperlukan waktu ratusan tahun.

Ayaan Hirsi Ali:
Pilih jumlah tahun sesukamu. Aku berbicara tentang masa yang panjang dan penuh darah. Tapi, keadaan itu akan berubah.

Wawancara Ayaan Hirsi Ali tentang Israel
FFI Alternative
Faithfreedompedia
Post Reply