Kesaksian seorang keturunan langsung nabi muhammad saw

Orang-orang dari seluruh dunia yang murtad (termasuk dari FFInternasional). Siapa mereka dan mengapa mereka meninggalkan Islam ? Murtadin2 dari FFIndonesia silahkan masukkan pengakuan ke 'Mengapa Saya Murtad ?'
User avatar
rainy
Posts: 634
Joined: Thu Feb 08, 2007 1:28 pm
Location: makassar

Kesaksian seorang keturunan langsung nabi muhammad saw

Post by rainy »

Ini adalah kesaksian Gulshan Fatima, puteri bungsu dari sebuah keluarga Islam Sayed yang merupakan keturunan langsung Nabi Muhammad melalui puterinya Fatima.

Tulisan ini merupakan sebuah buku berjudul THE TORN VEIL atau KERUDUNG YANG TERKOYAK, diterbitkan oleh Marshal Paperblacks.
Buku tersebut terdiri dari 15 bab dan akan saya akan usahakan untuk menyajikannya satu bab setiap satu atau dua hari sesuai dengan kemampuan saya untuk men-scan dan memperbaiki susunan hurufnya.
Alangkah baiknya bila pembaca dapat menyebarluaskannya dengan mengcopy, mencetak atau meng-email-nya ke sebanyak mungkin pihak.

Susunan per bab sbb:
1. Ke Mekkah
2. Naik Haji
3. Air Kehidupan
4. Pesta Kawin
5. Getirnya Kematian
6. Mobil Ayah
7.Kemasyhuran
8.Alkitab
9.Baptisan
10.Hubungan Persaudaraan
11.Terperangkap
12.Godaan
13.Lilin Yang Menyala
14.Bersaksi
15.Penutup
User avatar
rainy
Posts: 634
Joined: Thu Feb 08, 2007 1:28 pm
Location: makassar

Post by rainy »

BAB 1.
KE MEKKAH

http://www.geocities.com/gekari_mk/kesa ... udung1.htm

Dalam keadaan yang biasa, tidak akan terbit keinginan dalam hatiku untuk mengunjungi Inggris pada musim semi tahun 1966 itu. Saya, Gulshan Fatima, yang adalah puteri bungsu dari sebuah keluarga Islam Sayed yang merupakan keturunan langsung Nabi Muhammad melalui puterinya Fatima. Sepanjang masa hidupku selama ini menjalani suatu kehidupan yang sunyi dan tersendiri di datam sebuah rumah di Punyab, Pakistan. Keadaan seperti ini bukanlah merupakan satu-satunya alasan kenapa saya dibesarkan dibagian rumah yang terpisah (purdah) sejak berusia 7 tahun. menaati ajaran Islam Shiah Orthodoks, tapi juga karena sava adalah seorang yang lumpuh dan bahkan tidak sanggup meninggalkan kamarku sendiri tanpa dibantu. Saya mengenakan kerudung untuk menutupi wajahku dari pandangan para pria, karena hal ini hanya diperbolehkan bagi kaum keluargaku yang dekat, misalnya ayah, kedua kakak lelaki dan pamanku Bagian terlama dari masa empat belas tahun pertama waktu awal hidupku yang suram, dibatasi oleh dinding-dinding vang mengelilingi halaman rumah kami yang luas di Jhang, kira¬kira 450 km dari Lahore dan dinding-dinding ini merupakan pembatas gerak dan pandangku.

Ayahlah yang membawaku ke lnggris walaupun beliau sendiri memandang rendah orang-orang Inggris karena mereka menyembah tiga Allah dan bukannya Allah Yang Maha Esa. Malah beliau tidak memperbolehkan saya mempelajari bahasa kafir itu waktu saya diajar oleh guruku Razia, karena takut jangan sampai saya tercemar oleh dosa dan dapat men jauhkan saya dan iman kepercayaan kami. Walaupun demikian beliau tokh membawa saya ke Inggris setelah kami mengeluarkan banyak biaya dan usaha pengobatan dokter yang terbaik.

Beliau melakukan hal ini karena adanya dorongan kasih sayang serta keprihatinannya yang begitu besar untuk kebahagiaanku di masa datang. Namun, waktu kami mendarat di lapangan terbang Heathrow pada awal April itu, betapa kami tidak menyadari akan datangnya kesulitan serta kesedihan yang bakal menimpa keluarga kami. Yang aneh kemudian ialah, saya, anak lumpuh yang dinilai dan dianggap paling lemah dari antara anak-anak ayah, pada akhirnya malah menjadi yang terkuat diantara semua kami serta menjadi batu karang yang menghancurkan semua yang telah beliau pelihara dan jaga dengan penuh kasih sayang. Bahkan sesudah saya dewasa ini, dengan memejamkan mataku, dapat muncul satu gambaran didepanku yaitu ayahku, Aba-Jan tercinta, begitu tinggi, kurus, mengenakan jubah hitam yang dijahit rapih berleher panjang dihiasi kancing-kancing emas diatas celana longgar dan memakai ikat kepala putih, dijalin dengan sutera biru.

Kenanganku terhadap beliau muncul sama halnya dulu beliau begitu sering masuk kekamarku untuk mengajar saya tentang agama kami. Saya teringat ketika beliau berdiri disisi tempat tidurku yang ditempatkan berseberangan dengan tempat pal¬ing suci bagi kami yaitu Kaabah yang menurut kisah-kisahnya dibangun oleh Nabi Ibrahim dan dipugar oleh Nabi Muhammad. Ayah mengambil Al Qur'an suci dari rak penyimpanannya ditempat yang paling tinggi letaknya didalam kamarku karena tidak diperbolehkan menempatkan sesuatu barang lain lebih tinggi dari Al Qur'an. Pertama-tama beliau akan mencium kain sutera penutup yang berwarna hijau seraya mengucapkan "Bismillah i-Rahman-ir Rahim (saya memuliakannya dalam nama Allah Yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang). Lalu beliau akan membuka tutup sutera hijau tapi sebelumnya beliau mengambil air wudhu dan dengan khidmat melaksanakan pencucian menurut tata cara agama yang perlu dilakukan sebelum menyentuh atau membawa kitah suci tersebut. Beliau mengulangi lagi ucapan Bismillah, kemudian menempatkan Al Qur'an itu di atas sebuah tempat khusus berbentuk huruf X, menyentuhnya dengan ujung-ujung jarinya. Beliau duduk sedemikian caranya sehingga sambil bersandar dikursi, saya dapat memandang ke Kitab itu. Sebelumnya sayapun harus sudah melaksanakan wudhu dengan bantuan pembantu wanitaku. Dengan telunjuknya ayah menelusuri huruf-huruf suci bertulisan Arab dekoratip dan saya, yang ingin sekali menyenangkan hati beliau, menguianginya mengikuti beliau membaca Al Fatiha.

Pembukaan ini adalah kata-kata yang mengikat erat seluruh umat Islam dimanapun mereka berada.
"Puji bagi Allah, Tuhan Pencipta. Maha Pengasih. Maha Penyayang, Raja dihari Penghakiman ! Engkau sendirilah vang kami sembah dan padaMu sendirilah kami memohon doa meminta pertolongan. Tunjukkanlah kami kearah jalan yang lurus. Jalan bagi mereka yang Engkau kasihi, bukannya bagi mereka yang Engkau murkai atau bagi mereka yang murtad".
Hari ini kami membaca Sura Ali Imran :
"Ya Allah! Tiada Tuhan selain Dia Yang Hidup dan Kekal". "Ia telah mewahyukan kepadamu Kitab berisi kebenaran yang mengukuhkan kitah-kitab suci vang mendahuluinya: karena la telah mewahyukan Taurat dan Injil sebagai petunjuk bagi umat manusia untuk mernbedakan vang baik dan yang jahat"

Saya menjalani tahapan hidup sehagaimana Yang ditempuh oleh seriap kanak-kanak Islam sewaktu mereka dibesarkan dalam keluarga orthodoks sejak awal masa kanak-kanak, membaca Al Qur'an suci dalarn tulisan Arab. Kami umat Islam mernahami bahwa Kitab tersebut tidak boleh diterjemahkan, tidak seperti halnya buku yang lain tanpa mengalami kehilangan pengertiannya vang sebenarnya oleh karena nilainya yang keramat. Ketika saya hampir menyelesaikan pembacaannya untuk pertama kalinya, sekitar umur 7 tahun. Yang merupakan umur vang dinilai mulai memperlihatkan gejala kewaspadaan maka diadakan suatu jamuan vang kami namakan "amin" dari Al Qur'an suci dimana anggota-anggota keluarga, kawan-kawan serta para tetangga diundang. Di bagian tengah halaman terbuka di bungalow kami, para pria duduk diternpat yang dipisahkan dari para wanita oleh sebuah tirai pemisah, disitulah guru agarna (mullah) akan mengucapkan doa vang menandakan sampainya saya pada suatu tahap baru yang penting dalam hidup ini dan pada saat itu para wanita yang duduk dibagian dalam dari halaman itu akan menghentikan bisik-bisik antara mereka untuk mengikuti upacara tersebut.

Sekarang. kami telah sampai pada akhir pembacaan Sura itu, lalu ayahku memandangku dengan senyum tersungging dibibirnya: 'Kau teiah meiakukannya dengan baik, Beiti (anak perempuan kecil)' katanya

Sekarang jawablah pertanyaan-pertanyaan ini :
'Dimanakah Allah?'
Dengan malu-malu saya mengulangi pelajaran vang telah saya ketahui dengan baik :
'Allah ada dimana-mana'
‘Apakah Allah mengetahui akan segala tindak tandukmu di dunia ?'
'Ya. Allah tahu akan segala tindak tanduk yang saya lakukan didunia, mau yang baik demikian pula yang jahat'.
'Apa yang telah Allah lakukan bagimu :''
'Allah telah menciptakan saya, begitu pula seluruh dunia. Ia mencintai saya dan membuatku senang. la akan memherikan pahala bagiku di sorga bagi semua tingkah laku saya yang baik dan menghukumku dalam neraka bagi semua perbuatanku yang jahat'.

‘Bagaimana caranya engkau memperoleh cintanya Allah ?'
‘Saya dapat memperoleh cinta kasih Allah dengan penyerahan penuh pada kehendakNya serta mematuhi perintah¬perintahNya'.

`Bagaimana engkau dapat mengetahui kehendak dan perintah - perintah Allah?"
'Saya dapat mengetahui kehendak dan perintah Allah dari Al Qur'an suci dan juga Hadits dari Nabi kita Muhammad (kiranya damai dan berkat Allah menyertainya).
`Bagus sekali' kata ayah.
`Sekarang apakah ada sesuatu yang ingin kau ketahui'?'
'Ya, ayah; katakanlah mengapa Islam lebih baik dari agama lainnya?'
Saya menanyakan hal ini bukan karena saya mernpunyai pengetahuan tentang agama lain tapi karena saya ingin mendengar sendiri dari ayahku penjelasan tentang agama kami. Jawaban ayah jelas dan tegas.

'Gulshan, saya mau engkau mengingat akan hal ini. Agama kita lehih besar dari agama lainnya karena:
Pertama, kemenangan Allah adalah Muhammad yang membawa berita terakhir dari Tuhan bagi umat manusla dan tidak lagi diperlukan nabi lain sesudahnya.
Kedua. Mluhammad adalah sahabat Allah. Ia menghancurkan semua berhala dan semua orang diubahnya dari penyembah berhala menjadi penganut agama Islam.
Ketiga, Allah mengaruniakan Al Qur' an kepada Muhammad setelah semua kitab suci lainnya. Ini adalah Firman Tuhan yang terakhir dan kita harus rnematuhinya. Semua tulisan lainnya tidak lengkap.
Saya mendengarkan penjelasan beliau yang membentuk tulisan sendiri dalam pikiran dan hatiku. Jika masih ada waktu, saya masih meminta beliau menjelaskan kepadaku tentang gambar yang tergantung dikamarku.

Bagaimana rasanya menunaikan ibadah Haji dikota suci Mekkah yang merupakan magnit kearah mana setiap umat Islam berkiblat sewaktu berdoa lima kali sehari? Didalam kotaku, kamipun berkiblat kesana, sewaktu Muazzin mengumandangkan azan dari kubah masjid. Suara tersebut memantul sepanjang jalan-jalan mengatasi keributan lalu-lintas dan bazaar serta memasuki jendela kami yang dipasangkan gorden, balk diwaktu fajar, tengah hari, sore serta malam hari memanggil umat yang setia untuk berdoa dengan Allah `Maha Besar'. Tidak ada Tuhan selain Allah dan Muhammad adalah Rasul Allah!” Ayah memberi penjelasan tentang semua ini. Beliau telah dua kali menunaikan Ibadah Haji. Sekali sendirian dan kami berikutnya bersama ibu. Bagi setiap umat Islam merupakan kewajiban untuk menunaikannya sekurang-¬kurangnya sekali seumur hidup atau lebih asal mampu. Menunaikan ibadah haji adalah Rukun Islam ke lima, yang mempersatukan berjuta-juta umat Islam clan berbagai negara yang berbeda. serta memberi keyakinan terhadap kesinambungan bagi iman kami.

`Apakah saya akan ke Mekkah, ayah?' tanyaku.
Beliau tertawa seraya membungkuk mencium keningku. `Engkau akan kesana, Gulshan kecil, apabila kau sudah lebih besar dan barangkali.....' Ayah tidak menyelesaikan kalimat tersebut, namun saya mengerti bahwa beliau hendak mengatakan..... `apabila doa kita untukmu telah dijawab'.
Dengan berpedoman pada perintah-perintah ini, saya belajar berbakti kepada Allah, terikat dengan agamaku serta tradisinya. memiliki perasaan bangga yang menyala-nyala terhadap gans keturunan nenek moyangku sejak nabi Muhammad melalui menantunya Ali, dengan memahami martabat ayahku yang bukan hanya merupakan kepala keluarga tapi juga sebagai keturunan nabi, seorang sayed dan seorang Shah. Beliau juga adalah seorang Pir, pemimpin agama serta seorang tuan tanah yang memiiiki tanah luas dipedalaman dan sebuah bungalow yang luas dipinggiran kota kediaman kami.

Saya mulai memahami mengapa keluarga kami begitu disegani, baik oleh para pemuka agama (mullah) atau maulvi yang datang bertanya kepada ayah masalah keagamaan yang tidak dimengertinya. Sambil mengenangkan kembali semuanya, kini saya dapat melihat akan adanya suatu maksud vang terkandung selama masa saya terkungkung begitu lama seumparna kuncup bunga mawar dipekarangan kami yang dipeiihara begitu baik oleh tukang kebun.

Namaku Gulshan, yang daiam bahasa Urdu artinya tempat bunga-bunga berkembang, yaitu halaman. Keadaan saya malah merupakan sebuah tanaman yang sakit-sakitan untuk dapat menyandang nama seperti itu, juga dipelihara dengan penuh kasih oleh ayahku. Beliau rnencintai kami semua, Safdar Shah, Alim Shah. Anis Bibi, Samina dan saya sendiri. Walaupun beliau kecewa karena waktu lahir ternyata saya seorang perempuan, kemudian waktu berumur 6 bulan menjadi lumpuh karena terserang penyakit typhus, namun ayah tetap mencintaiku malah kurasakan melebihi kasihnya terhadap saudara-saudaraku yang lain. Bukankah ibuku pada saat-saat !erakhir hayat dipembaringan kematiannya mengajukan permintaan kepada ayah untuk memelihara saya?

'Saya memohon kepadamu Sah-Ji, janganlah kawin lagi demi si Gulshan kecil', pinta ibu sambil menghembuskan nafas Yang terakhir. Beliau ingin melindungiku, karena kehadiran seorang ibu tiri dengan anak-anaknya akan menyebabkan hak warisan bagi anak perempuan dari istri pertama akan berkurang. ‘Tmabahan pula mereka dapat memperlakukannya dengan buruk jika anak perempuan itu sakit-sakitan, apalagi kalau sampai tidak kawin. Telah bertahun-tahun lamanya sejak ayah berjanji pada ibu dan beliau tetap menepatinya walaupun ayah hidup disuatu lingkungan dimana seorang pria diizinkan beristri sampai empat orang, jika ia cukup kaya untuk memperlakukan masing-masing istrinya dengan adil sesuai Al Qur' an.

Keadaan inilah yang merupakan pola hidupku sampai waktu saya mengunjungi Inggris pada usia 14 tahun Secara terselubung, keadaan ini berangsur-angsur mengubah segala sesuatu, tersusun menjadi gerakan yang merupakan rnata rantai yang membawa dampak yang tidak terduga. Tentu saja saya tidak merasakan firasat bahwa hal ini akan terjadi pada waktu saya menunggu dalam sebuah kamar hotel di London pada hari ketiga sejak kami tiba disana dengan ditemani oleh para pembantuku Salima dan Sema. Waktu itu kami menantikan keputusan seorang dokter spesialis, seorang Inggris yang direkomendasikan kepada ayahku, ketika beliau mencari-cari pengobatan bagiku di Pakistan. Dokter ini akan menetapkan sekali dan untuk selamanya tontang masa depanku.
Jika saya dapat disembuhkan dari penyakit yang telah melumpuhkan bagian kiri tubuhku sejak bayi, maka sava akan bebas untuk menikah dengan sepupuku yang telah dipertunangkan dengan saya sejak berusia 3 bulan dan sekarang sedang menunggu-nunggu di Multan Punjab. Jika tidak sembuh, maka pertunanganku akan diputuskan dan perasaan maluku akan lebih besar lagi dibandingkan dengan keadaan bila dikawinkan lalu diceraikan kembali. Kami mendengar bunyi langkah mendekat. Salima dan Sema berlompatan berdiri dan dengan gugup mengatur dopattanya yang panjang berbentuk seperti selendang. Salima menarik gaunku sampai ke wajahku dan saya sendirl berbaring diatas tempat tidurku. Saya menggigil bukan karena kedinginan. Malah terpaksa saya mengatupkan gigiku agar berhenti gemeretak.

Pintu terbuka dan ayah masuk bersama dokter. `Selamat pagi', sapanya dengan suara yang amat menyenangkan dan sopan. Saya tidak dapat melihat wajah dokter David tersebut, namun rasanya beliau adalah seorang yang berwibawa dan terpelajar. Tangan-tangannya yang kokoh mengangkat gaunku keatas lalu melakukan pengujian pada lengan kiriku yang lemas, sesudah itu pada kakiku yang sudah tidak berdaya.

'Tidak ada obat untuk sakit ini kecuali doa', kata dokter David kepada ayahku. Rasanya tidak terdengar ada ucapan yang salah pada kata akhirnya yang lemah itu. Sambil berbaring di dipan terdengar olehku suara dokter Inggris yang asing itu menyebut nama Allah. Saya bingung. Bagaimana gerangan ia mengetahui tentang Allah ? Dan cara-caranya yang baik dan simpatik saya merasakan bahwa beliau sedang membangkitkan harapan kami terhadap kesembuhanku, malah ia mengajarkan kepada kami cara berdoa.

Ayah mengantarkannya sampai kepintu. Ketika kembali beiiau berkata: `Alangkah baiknya orang Inggris itu mengajari kita caranya berdoa'. Salima mernbalikkan dopattaku seraya membantuku duduk. `Ayah, apakah beliau tidak dapat membuat keadaanku menjadi tebih baik?. Saya tidak dapat menahan suaraku agar tidak terdengar gemetar. Air mata menumpuk di pelupuk mataku. Ayah mengusap tanganku yang tidak berdaya. Katanya dengan cepat: 'Hanya ada satu jalan lagi sekarang. Mari kita mengetuk pintu sorga. Kita akan ke Mekkah sesuar rencana kita. Allah akan mendengar doa-doa kita dan kita masih dapat pulang dengan perasaan syukur'. Beliau tersenyum kepadaku dan saya berusaha untuk tersenyum kembali.

Kesedihanku sama besarnya dengan kesedihannya namun beliau tidak berputus asa. Pada suaranya terdengar adanya harapan baru. Tentu saja di Rumah Allah atau pada mata air Zam-zam, mata air kesembuhan, bukankah kita akan memperoleh apa yang menjadi keinginan hati kita ?'
Kami masih tinggal di hotel itu beberapa hari dan kesempatan ini digunakan ayah untuk mengurus penerbangan kami ke Jedah, lapangan terbang yang biasa digunakan para jemaah haji untuk menuju Mekkah. Sebelum itu beliau belum mengurus hal ini karena masih menunggu hasii pengobatan yang telah dianjurkan bagiku. Kunjungan ini telah beliau rencanakan sedemikian rupa agar bertepatan dengan masa menjelang bulan haji tahunan, sehingga sesudah peagobatan, kami dapat menuju Mekkah untuk mengucapkan syukur.
Selama waktu penantian mi ayah berkesempatan mengunjungi kawan-kawan masyarakat Pakistan atau sebaliknya mereka datang mengunjungi beliau. Biasanya para wanita dari keluarga-keluarga tersebut akan mengunjungi saya. Tapi saya merasa malu dengan keadaanku serta tidak terbiasa menemui tamu-tamu asing dirumah sehingga hanya sedikit dari mereka yang datang mengetuk pintu kamarku.
Siapakah yang suka melihat lengan yang layu, kulit yang menghitam berkeriput dan lemah lunglai serta jari-jarinya terjalin bersama dengan otot sehingga bentuknya seperti selai? Pada usia dimana kawan-kawan sebayaku mulai berangan-¬angan tentang waktu akan mengenakan gaun pengantin berwarna merah dengan sulaman emas, kemudian berlalan¬-jalan mengenakan perhiasan dengan membawa mas kawin yang bagus kerumah suaminya, maka keadaanku sebaliknya sedang menghadapi masa depan yang sunyi, terputus dari hubungan dengan kawan-kawan sebayaku. Suatu makhluk non manusia, tidak akan pernah sembuh, menjadi perempuan yang sempurna ditudungi dengan kerudung yang memalukan.

Tempat kami terletak pada tingkat dua hotel itu, kamarnya menyenangkan persis disebelah kamar ayah. Ruangan itu beralaskan permadani tebal dan mempunyai kamarmandi sendiri. Disampmg merawatku serta mencuci pakaian kami. Salima dan Sema yang tidur dikamarku secara bergantian duduk menjaga dan melayani kebutuhanku. Hampir tidak ada tugas lain untuk mereka kerjakan, namun sambil membaca buku- ¬buku. melaksanakan sholat lima waktu, jam rasanya berjalan cukup cepat karena disamping memberi makan seorang yang cacat selalu membutuhkan waktu yang iebih lama. Saya pernah mendengarkan keduanya berkasak-¬kusuk menggelikan. Sesekali mereka menyelinap ke lobby bawah, namun terlalu takut untuk keluar sendirian. Mereka merasa puas dengan melewatkan waktu-waktunya separti itu, berkesempatan melihat dunia luar melalui jendela dan melaporkan kepadaku apa yang mereka lihat. Reaksinya polos sebagaimana layaknya gadis-gadis desa Pakistan dan hal ini membuat saya tertawa.

`Oh, lihat kota yang indah ini', kata Salima. 'Banyak yang lalu lalang dan banyak sekali mobil'. Kemudian Sema menjerit. 'Oh, para wanita tidak mempunyai perasaan malu. Mereka tidak menutupi kakinya. Lelaki dan perempuan berjalan bersama, bergandengan tangan. Mereka berciuman. Oh, mereka langsung ke neraka.

Kami tetah diajarkan tentang peraturan yang ketat tentang tatacara berpakaian serta berperilaku sejak kecil. Kami menutup diri kami dengan sopan dari leher sampai ke pergelangan kaki mengenakan 'shalwar kameeze' dari Pun¬jab, jubah longgar dan celana panjang yang ujungnya terkumpul dipergelangan kaki. Di leher kami mengenakan sehelai selendang lebar atau dopatta yang dapat ber-fungsi sebagai penutup kepaia bila diperlukan atau ditarik menutupi wajah dan dengan demikian kamipun dapat menutupi diri memakai syal bila dingin. Jika kami harus keluar maka kami mengenakan burka, sebuah kerudung yang panjang yang tidak tembus pandang menutupi diri kami dari krpala sampai ke tumit, terkumpul menjadi sepotong pelindung kepala yang mempunyai celah didepan untuk keperluan meiihat. Dengan demikian, secara biasa tidak mungkrn untuk dapat bercakap-cakap dijalanan serta mengurangi kemampuan, pemakai untuk melihai dan mendengarkan lalu lintas.
Pada waktu itu kami tidak mempertanyakan tentang atura - aturan yang diberikan kepada kami dan tentu saja takut untuk. menentang kebiasaan-kebiasaan tersebut. Pada kenyataannya kami merasakan bahwa kerudung itu malah merupakan pelindung. Kami dapat melihat ke dunia luar sebagaimana adanya, tapi dunia tidak dapat melihat kami.
Waktu kami menyaksikan bagaimana para wanita di London rnemamerkan dirinya dengan mengenakan mini skirt yang tidak sopan dimana ujungnya cukup jauh diatas lutut, maka jelas bagi kami bertiga bahwa kota ini merupakan kota yang paling maksiat didunia.

Di negen kami, terutama di kotaku, untuk bercakap-cakap dengan seorang pria yang bukan kerabat dekat ataupun kepada pembantu pria dapat menyebabkan kami dianggap hina. Manfaat 'purdah' secara menyeluruh tentu saja sebagai pelindung kehormatan keluarga. Tidak boleh terlihat adanya gejala atau noda sedikitpun yang mencurigakan melekat pada diri para puteri keluarga Islam. Hukuman terhadap kesembronoan dalam hal ini bisa fatal.

Tiga kali dalam sehari seorang pelayan mengantarkan makanan dengan menggunakan rak dorong. Pembantu akan mengambil dari pelayan itu di depan pintu. Kadang-kadang seorang pembantu wanita menyertainya, diwaktu mana saya akan menutup mataku agar tidak melihat kaki-kakinya. Saya mulai merasa bosan dengan makanan-makanan hotel itu. Tiap hari ayah memesan masakan ayam bagi kami karena inilah yang halal, daging yang diperkenankan, dipotong mengikuti tatacara yang diperbolehkan oleh agama.
Babi nrerupakan daging yang haram dan dilarang, bahkan untuk menyebut kata 'babi' saja dapat menyebabkan mulut seseorang menjadi najis. Sampai sekarang saya masih mengenakan kata Punyabi "barta' yang berarti 'barang luar' jika berbicara tentang binatang itu. Jadi, dapat dibayangkan betapa kuatnya pengaruh hasil didikan dasar sejak kecil. Setiap daging yang lainpun dapat dicurigai bahwa mungkin dapat dimasak memakai minyak babi. Sayur-sayuran dihidangkan bersama ayam ditambah pelezatnya, es krim. Minuman kami Coca Cola dan cukup banyak persediaan di dalam kamar.

Saya mengharapkan kiranya muncul masakan memakai bumbu `kari' atau `kebab' namun sia-sia saja, begitu juga buah¬-buahan misalnya buah persik atau mangga dan pepohonan di halaman rumahku.

Ayah membantu membangkitkan kegembiraanku dengan membawa saya berkeliling ke luar- sebentar. 2 atau 3 kali. Sekali saya diajak berkeliling sekitar hotel dan sekali bersama kedua pembantuku memakai taksi. Beliau memberikan penjelasan padaku tentang kenapa orang-orang Inggns berbeda dengan kami ialah :
‘Negeri ini adalah sebuah negeri Kristen. Mereka percaya kepada nabi Isa, Yesus Kristus sebagai Anak Allah'.
Tentu saja mereka salah, karena Allah tidak pernah kawin dan bagaimana mungkin la beranak? Tetapi mereka juga rnemiliki sebuah kitab suci sebagaimana halnya dengan kita Umat Is¬lam dan umat Kristen mendasarkan imannya pada kuab suci yang sama itu. Hal ini merupakan teka-teki bagiku. Kenapa kita mempunyai dasar kitab suci vang sama namun perbedaannya begitu banyak?

‘Mereka bebas melakukan banyak hal, sedangkan tidak demikian dengan kita', kata ayah. 'Mereka behas makan daging babi serta minum minuman keras tidak ada pembatasan antara pria dan wanita. Mereka hidup bersama tanpa nikah dan bila anak-anaknva dewasa mereka tidak menghormati orang – orang tuanya.Namun mereka orang-orang baik, sangat tepat waktu serta memiliki prinsip - prinsip yang baik. Bila berjanji mereka menepatinya, tidak seperti orang Asia'.
Ayah, berpengalaman dan terpandang dalam bidang perdagangan. Beliau selalu berhubungan dengan orang-orang asing dalam mengekspor katun yang ditanamnya di Pakistan. ‘Kita dapat saja berbeda agama dengan mereka, namun mereka merupakan orang-orang yang simpatik bila bekerjasama serta memililai perasaan perikemanusiaan', kata ayah mengakhiri penjelasannya.

Saya merenungkan kontradiksi tentang orang Inggris ini, bangsa yang memiliki kasih, tinggal d inegara yang orang – orangnya lemah lembut. Dimana hujan sering turun dan kitab sucinya memberikan begitu banyak kemerdekaan bagi mereka. Malah kitab suci kami masih mempunyai kaitan dengan kitab sucinya. Apakah sebenarnya kunci perbedaan ini ? Bagi seorang gadis berusia 14 tahun, hal ini masih terlalu dalam.
Pertanyaan itu saya hilangkan dalam pikiranku lalu bersiap- siap menyongsong peralanan berikutnya. Diperlukan waktu bertahun-tahun lamanya bagiku sebelum hal ini menjadi jeias dan sesudah menemukan kejelasan itu maka saya tidak dapat menganggap pertanyaan !ersebut sehagai hal yang sepele.

--------------------
--------------------
tunggu 1 - 2 hari untuk bab 2 : naik haji
manusia_bodoh
Posts: 35
Joined: Tue Jul 10, 2007 4:57 pm

Re: Kesaksian seorang keturunan langsung nabi muhammad saw

Post by manusia_bodoh »

tuhan kutemukan lagi 1 orang **** disini
rainy kalo memang buku nya sebutkan judul dan penerbitnya, atau paling tidak URL source nya dimana
jangan2x ini hanya karangan lo doang aja

dasar ****....
User avatar
rainy
Posts: 634
Joined: Thu Feb 08, 2007 1:28 pm
Location: makassar

Re: Kesaksian seorang keturunan langsung nabi muhammad saw

Post by rainy »

manusia_**** wrote: tuhan kutemukan lagi 1 orang **** disini

rainy kalo memang buku nya sebutkan judul dan penerbitnya, atau paling tidak URL source nya dimana

jangan2x ini hanya karangan lo doang aja

dasar ****....
lihat yang aku underlined diatas
selamat membaca ....
Sashimi
Posts: 3390
Joined: Sun Jul 09, 2006 8:19 am

Post by Sashimi »

thanks rainy, postinganmu seru dan menantang, ku tunggu bab bab selanjutnya
User avatar
cahkangkung
Posts: 1334
Joined: Mon Sep 25, 2006 8:43 am
Location: Malta

Post by cahkangkung »

Yang namanya manusia ****,cukuplah **** saja! Jangan ditambah dengan kebuta hurufan seperti Nabimu plus kuper. Torn Veil ini udah cukup beken beberapa bulan terakhir. Apa susahnya di google cari detailnya sendiri?? Memang kamu sesuai dengan namamu ya?!
SQUALL LION HEART
Posts: 2155
Joined: Thu Nov 23, 2006 8:56 am
Location: ujung langit

Post by SQUALL LION HEART »

Cerita Torn Veil sangat bagus..
Postingin semua deh.. sangat membantu..
User avatar
Adadeh
Posts: 8184
Joined: Thu Oct 13, 2005 1:59 am

Re: Kesaksian seorang keturunan langsung nabi muhammad saw

Post by Adadeh »

manusia_**** wrote:tuhan kutemukan lagi 1 orang **** disini
rainy kalo memang buku nya sebutkan judul dan penerbitnya, atau paling tidak URL source nya dimana
jangan2x ini hanya karangan lo doang aja
dasar ****....
Wahai kau manusia ****, buku itu bisa dibeli di amazon.com:
THE TORN VEIL

Image
User avatar
Basman
Posts: 1011
Joined: Tue May 22, 2007 9:54 pm

Post by Basman »

Sudah gak sabar nih......... :lol: :lol: :lol:
Bisa aja rainy, baru satu bab sudah pancing komentar, habis babnya ada baptisan segala....
tongtong
Posts: 3546
Joined: Wed Jan 24, 2007 10:52 am

Re: Kesaksian seorang keturunan langsung nabi muhammad saw

Post by tongtong »

namanya juga manusia ****, tentu **** lah
User avatar
rainy
Posts: 634
Joined: Thu Feb 08, 2007 1:28 pm
Location: makassar

Post by rainy »

ini yang bab 2, kalau gak ada halangan bab 3 bisa aku submit nanti sore / malam.

SELAMAT MEMBACA ..............

BAB 2. NAIK HAJI

Pesawat terbang yang indah bentuknya, berwarna putih milik penerbangan Pakistan International Airline, bertengger laksana seekor burung diatas landasan lapangan terbang. Begitu saya diangkat ke atas tangga pesawat dengan kursi rodaku, saya merasakan adanya perasaan merdeka sewaktu meninggalkan Inggris. Kunjungan ini telah mencapai sesuatu yang mengakhiri ketidakpastian kami, Sekarang hanya tertinggal satu harapan saja lagi dan kami sedang ditarik menuju kesana dengan kecepatan tinggi. Dalam mimpiku, saya menggambarkan kota suci Mekkah laksana cahaya berlian yang bening, sebuah tempat yang belum saya kenal tetapi sangat terkenal ketempat mana umat Islam berkeinginan untuk mengunjunginya sekurang-kurangnya sekali seumur hidupnya.

Kami duduk dikelas satu dan seperti biasanva saya duduk diantara para pembantuku dimana Sema bertindak selaku penopang untuk bagian kiriku yang lemah sedangkan Salima siap untuk mengangkat dan memapah. Ayah mengambil tempat duduk pada jarak terpisah 2 tempat duduk didepan kami darimana beliau menjelaskan tentang tahapan pelaksanaan perjalanan kepadaku. Kita sekarang terbang pada ketinggian 30.000 kaki diudara katanya ketika pesawat berhenti menanjak. Saya melihat keluar jendela dan menarik natas. Kami berada pada suatu dunia yang penuh sinar matahan dan dibawah kami berterbangan awan putih laksana katun bergelembung seperti bahan kasur pengantin. Salima dan Sema juga memandang keluar dan mengeluarkan seruan-seruan kecil karena kagum. Lihatlah, betapa banyaknya besi yang berterbangan di udara ungkapnya kagum dalam bahasa campuran Punjab dan Urdu dengan menggunakan aksen daerahnya Jhang yang kentara. Secara sembunyi-sembunyi saya tersenyum. Mereka gadis desa dan bagi mereka banyak sekali hal yang telah terjadi. Tiba-tiba pesawat mulai terasa jatuh lalu naik lagi ke udara dan saya takut. Ayah menjelaskan bahwa kami membentur sebuah kantong udara. Jangan takut, segala sesuatu cukup aman, katanya. Ada jemaah-jemaah lain di pesawat itu, saya mengetahuinya karena seperti kami, mereka memiiki baju-baju ihram putih dalam tasnya yang harus dikenakan oleh setiap jemaah yang menunaikan ibadah haji.
Sekali, ayah pernah membawa saya menyaksikan film tentang naik haji. Film itu diperuntukkan bagi orang-orang beragama yang bermaksud pergi ke Mekkah selama bulan haji dan disitu diperlihatkan tentang semua adat istiadat dalam tata warna indah. Saya telah diajarkan tentang sejarah lahirnya agama kami digurun-gurun Arab. Pemandangan pada kejadian¬kejadian tersebut sama akrabnya bagiku dengan pengalaman yang saya cintai pada rumah dan pekarangan kami.

Pramugari berseragam hijau memakai tanda dopatta dibawah dagunya membawakan makanan namun saya hanya mencomotnya saja. Salima memandang kearah makanan yang hampir tidak disentuh itu seraya berkata dengan lembut : `Bib- Ji apakah anda tidak makan untuk menjaga kekuatanmu? Saya menggeleng, saya tidak lapar. Pada kenyataannya saya merasa agak sakit yang sebagian penyebabnya ialah karena hempasan pesawat dan sebagian karena kegembiraan terhadap apa yang akan kuhadapi nanti. Saya tidak mengatakan apa-apa mengenai perasaanku yang sebenarnya kepadanya. Bagaimana saya dapat bertukar pikiran dengan seorang pelayan mengenai harapan dan ketakutan yang silih berganti selalu melintas dipikiranku seperti awan vang berkejar-kejaran di angkasa.

Di Abu Dhabi kami bertukar pesawat dan para jemaah dan berbagai tempat yang jauh bergabung dengan kami. Dengan penuh perhatian saya mempelajari adat-istiadat mereka sambil mengetahui darimana asalnya. Saya dapat mengidentifikasikan orang-orang dari Iran, Nigeria, Cina. Indonesia, Mesir, sebuah dunia yang rasanya bergerak menuju ke kota Mekkah.
Terdengar bunyi gemerisik di pengeras suara. Dalam 2 bahasa: Inggris dan Arab, pramugari memberitahukan bahwa kami sedang mendekati Jeddah dan bersiap-siap untuk mendarat. Sebuah tanda menyala. 'Kita harus mengenakan sabuk pengaman', kata ayah. Kami melaksanakannya. Salima membantuku dan ayah meneliti apakah sudah dikerjakan dengan benar. Di luar jendela saya melihat padang gurun berwarna-warni karena mudah ditiup menjadi bentuk sabit oleh angin panas yang terik. Saya dapat melihat gunung-gunung di cakrawala bermil-mil jauhnya dan kemudian sebuah kota besar terbentang dibawah kami dengan bangunan-bangunan tinggi serta jalan besar yang banyak jumlahnya. Saya dapat melihat pepohonan dan halaman-halaman yang hijau. Ayah berkata, lihat apa yang dapat dilakukan oleh air terhadap gurun hanya dalam jangka waktu beberapa tahun sejak air disalurkan melalui pipa dari Wadi Fatima.

Saya mengangguk, dalam pelajaran-pelajaranku saya belajar bagaimana kekayaan minyak telah membawa begitu banyak perbaikan bagi suatu bangsa yang sebelumnya miskin dan terbelakang, tinggal di rumah-rumah tanah jika mereka petani atau bertenda Badui jika mereka pengembara dan semua ini terjadi tanpa turunnya hujan bertahun-tahun.

Pesawat menyentuh landasan dan di tapangan terbang kami dijemput sahabat lama ayahku si Sheikh dengan mobil shevroletnya yang besar. Sheikh ini mempunyai 8 istri dan 18 anak yang tinggal di villanya yang besar. Semua ada 13 puteri dan 5 putera. Saya percaya anak-anaknya ada yang telah kawin dan belajar di luar negeri. Beliau memiliki sumur minyak sendiri yang menunjang tata cara hidupnya yang mewah. Disampingitu beliau seorang tuan tanah, memiliki hewan peliharaan unta, domba dan kambing.
Saya berkesempatan menyaksikan penyelenggaraan pekerjaan rumah tangga besar ini selama beberapa hari berikutnyasambil menikmati keramahtamahan keluarga Sheikh ini. Sheikh memperkenalkan saya dengan semua istrinya, Fattima, Yura, Rubbia. Rukia sampai yang terakhir. Saya tidak mempunyai favorit ujarnya, semua istriku sama. Saya mengerti kenapa beliau berkata demikian; sebab Al Qur' an jelas - jelas mengatakan hahwa seorang pria boleh mengawini lebih dari satu istri tetapi ia harus memperlakukan semua istrinya seadil-adiinya. Nabi, tentu saja memiliki beberapa istri namun katanya orang-orang biasa menemui kesulitan besar untuk melaksanakan perintahnya tentang sikap kesamaan yang memperlakukan keadilan dan kejujuran. Namun, tentu saja poligami tidak dianjurkan dalam masyarakat kami, tapi di sini keiihatannya bertumbuh subur dan tiap orang merasa berpadanan satu terhadap yang lain

Puteri paling besar dari rumah tangga tersebut yang saya taksir berusia 18 tahun diperkenalkan kepadaku oleh seorang penterjemah wanita, Bilquis. Mereka masuk ke kamar tamu wanita dimana saya bersama para pembantuku ditempatkan dan mereka menanyakan kepadaku mengenai Pakistan Apakah ada jalan-jalan? Kota-kota? Apa yang anda makan? Jenis sayuran apa saja yang anda tanam? Apakah ada sekolah bagi anak--anak perempuan ? Apakah anda memakai pakaian semacam itu separnjang waktu? Saya mencoba menjawab sebaik mungkin dan mereka merasa gembira ketika berkata ingin ke Pakistan untuk menyaksikan semuanya itu. Sebaliknya saya bertanya tentang bagaimana kehidupan mereka disini. Apa yang dikerjakan disini? jawabannya rasanya sangat sedikit. Sheikh menempatkan para istrinya dan putrinya di rumah. Para puteri yang cukup berpendidikan kelihatannya sedikit sekali bekerja selain beraenang-senang sama sendirinya. Mereka melewatkan waktunya dengan kasak ¬kusuk nonton TV serta sedikit membaca dalam bahasa Inggris dan Arab. Namun kelihatannya mereka cukup bahagia karena setiap keinginanya terpenuhi. Jika mereka ingin berbelanja Bilquis pergi bersama rnereka dan mengatur keuangannya, mereka memilih apa yang mereka inginkan. Bagi para istri Sheikh selain bergantian berbelanja atau berkunjung ke rumah sakit bersama Bilquis, diwaktu mana mereka menutupi tubuhnya dengan 'burka' berwarna hitam, baik yang panjang maupun jenis dari Turki terbelah di bahunya, maka tugas utama mereka kelihatannya ialah rnenyenangkan hati si Sheikh. Mereka duduk bersila diatas kasur kecil dengan mengenakan jubah kafta bersulam emas dan perak. Ada sofa disekeliling dinding ruangan berlantai marmer tersebut, namun mereka lebih senang duduk di lantai. Kadang-kadang mereka mengenakan pakaian barat vang rapih dan bagus, modenya dipesan dan lnggris atau Amerika dan memakai perhiasan yang mahal. Aroma udara penuh dengan parfum tebal yang disemprotkan oleh para pelayan. Di waktu malam hari sebelum tidur, saya sempat bertemu dengan ayah beberapa menit diruangan umum, berceritera dan saling memperbandingkan catatan.

Menurut ayah, Sheikh itu berusia 65 tahun namun kelihatannya awet muda karena kulitnya yang licin dan tidak keriput, tata caranya merupakan perpaduan antara cara kuno dan modern, terutama kesukaannya dalam kehidupan sosial bersama kawan-kawan prianya, mencari kesenangan hatinya drumah. baik dengan pesta mewah atau sederhana. Beliau senang merokok dan minum teh tua serta mendengarkan musik Arab yang disalurkan kesetiap ruangan sehingga semua dapat turut menikmati kesenangannya. Pola ini saya katakan merupakan ciri khas orang Arab. Semua fasilitas rumah itu haruslah dinikmati bersama oleh setiap orang, baik disukai ataupun tidak. Sebagaimana adanya saya tidak memahami musik Arab.

Waktu makan adalah saat yang menyenangkan. Seekor anak domha utuh dimasak dan dihidangkan bagi seluruh anggota rumah tangga, dibagi untuk ruang makan pria dan wanita. Orang-orang yang makan menanggalkan sepatunya sebelum menginjak permadani Persia yang berwarna-warni. Mereka makan sarnhil berbaring dtatas kasur tebal yang ditempatkan mengelilingi sebuah lingkaran. Sebuah baki besar berisi nasi yang dirempah-rempahi serta anak domba yang sedang direbus ditempatkan ditengah-tengah dan disekelilingnya ditaruh penganan dari terong, selada, roti yang dipotong rata serta pudeng atau `halva'. Tiap orang makan memakai tangan kanannya, menggenggam nasi menjadi gumpalan lalu dimasukkan kedalam mulutnya seraya memecahkan potongan-potongan roti. Saya makan dikamarku, karena tidak dapat menyesuaikan diriku diantara kasur-kasur kecil kalau makan dibawah lirikan sebegitu banyak orang yang ingin tahu. Namun Sheikh berbaik hati mengijinkan saya melakukan apa yang saya senangi. Ruanganku sangat menyenangkan karena diberi permadani yang indah, beberapa tanaman hijau, jendela yang cantik, bahkan dipasangkan kaca besar dan ada kamar mandi kecil dikamar serta sebuah toilet yang dilengkapi dengan alat penguras modern. Orang-orang Arab sangat memperhatikan keramah-tamahan dan keadaan seperti ini telah berlangsung sejak suku-suku Arab berjuang mempertahankan hidupnya dan kekejaman gurun pasir dimana hidup matinya seseorang dapat bergantung pada belas kasihan orang Badui yang memberinya tempat untuk berteduh. Menurut cerita, pada masa lampau seorang Sheikh di padang gurun akan menjamu seorang tamu dan melayaninya selama tiga hari sebelum menanyakan nama atau pekerjaannya. Sheikh ini tetap mempertahankan adat¬istiadatnya dengan memperkenankan kami menikmati fasilitas dalam rumahnya termasuk sebuah mobil bersama sopir selama kami tinggal bersamanya. Ini berarti kami dapat menikmati panorama indah kota Jeddah.

Ayah duduk didepan bersama sopir berjubah putih bernama Qasi, sedangkan saya mengintip dari jendela belakang yang dipasangkan tirai selama berkeliling kota. Kota tersebut penuh dengan jemaah yang melimpah ruah baik yang memakai kapal di pelabuhan maupun yang datang dengan setiap penerbangan di lapangan terbang baru itu. Qasi menunjukkan kepada kami perbedaan-perbedaan yang menyolok antara yang lama dengan yang baru, bangunan kantor bertingkat 10 di sepanjang jalan Abdul Al Azis dimana kelihatan keledai-keledai berbeban muatan berdesak-desakkan dengan mobil-mobil Amerika yang besar. Kami melihat sug, pasar kaki lima dimana kita dapat membeli apa saja dan biji kopi sampai permadani bahkan air suci yang dibawa dan Mekkah serta toko-toko yang menjual harang dagangan dari Barat. Ketika kami melihat kota lama dengan rumah-rumah dagang bertembok tinggi, kokoh, ada yang retak diperindah dengan balkon-balkon berkisi-kisi dari lobang mana para wanita 'harem' biasanya mengintip peri hidup di jaian-jalan tanpa terlihat oleh orang-arang yang lewat di bawah. Yang paling kontras adalah rumah-rumat baru yang dibangun di daerah pinggiran kota. Waktu tidak ada minyak terdapat kemiskinan serta berbagai masalah lainnya, kata Qasi. Namun kini dengan memiliki banyak minyak kami mempunyai makanan yang baik dan anak-anak dapat beiajar. Kami berhenti untuk melihat-lihat minyak yang sedang dipompakan keluar dari tanah pada suatu tempat. Saya tidak menyukai bau di tempat itu.
Waktu kami meninggalkan Sheikh untuk melanjutkan perjalanan ke Mekkah, yang dilaksanakan dengan cara yang mewah dan menyenangkan karena beliau bersikeras supaya kami memhawa mobil serta sopirya, ayah mengucapkan terimakasih kepadanya dalam sebuah pidato perpisahan singkat: 'Anda telah menunjukkan kepada kami kemurahan hati yang hangat sekali, demikian pula persahabatan yang membuat pelaksanaan perjalanan kami menjadi mudah'. Sheikh dapat saja memperlakukan hal yang sama pada setiap pengunjung, namun saya tahu beliau khusus melakukannya bagi kami karena beliau adalah kawan lama keluarga serta kawan dagang ayahku yang memberi keuntungan dalam transaksi domba dan kambing dimana daerah kami terkenal untuk ini.

Kami berangkat pagi-pagi sekali sesudah sembahyang subuh menuju Mekkah karena kami ingin memiiiki waktu yang cukup untuk melihat segala sesuatu sepanjang perjalanan. Jalan besar terdiri dari empat jalur, baru dan bagus, dapat menampung arus aliran jemaah tak berujung yang terus maju sepanjang 83 km perjalanan ke Mekkah. Banyak orang berjalan kaki dengan mengendalikan nafsu mereka bergerak maju siap menahan apa saja pada keadaan yang dapat menjadi semacam lapangan pembakaran waktu matahari makin meninggi. Hal ini dilakukannya bukan karena mereka miskin tapi karena ingin mengingat dan merasakan perjalanan nabi Ibrahim ketika mencarikan perlindungan bagi Siti Hagar dan Ismail. Walaupun saya tidak mengakuinya, namun saya hampir merasa gembira sebagai seorang lumpuh sehingga saya tidak perlu berjalan dibawah teriknya matahari di dalam suatu pertarungan yang panas. Saya mengetahui bahwa semangat haji bukanlah seperti ini sebab seharusnya secara keseluruhan perlu pengorbanan dan penyerahan, karena itu saya tidak mengutarakan sesuatu. Qasi menunjukkan pada keran – keran air yang terdapat disepanjang jalan, demikian pula lampu-lampu listrik bergantungan diatas tiang agar menyinari jalan bagi para jemaah; `Raja melakukan hal ini. Beliau sendiri yang datang bersama para menteri dan pangerannya lalu melakukan banyak perbaikan terhadap fasilitas-fasilitas di tempat-tempat suci'. 28 km sebelum tiba di kota terpampang tanda yang memberi peringatan kepada kami; 'Daerah terlarang. hanya diijinkan bagi umat Islam'.

Terdapat beberapa tentara yang dipersenjatai di tempat - tempat masuk dan memeriksa pas semua orang. Si sopir berbicara kepada tentara tersebut dan kami diperkenankan untuk memakai mobil lebih tanjut. Kami maju dengan pelan sekali. mendaki bukit-bukit melalui sebuah jalan yang dipotong dan batu karang, melewati sejumlah besar jemaah berjubah putih yang mengikuti langkah nabi Ibrahim ketika melihat Sara mengusir sahaya perempuan dengan puteranya. Telinga kami dipenuhi dengan bunyi-bunyi doa yang diucapkan dari ayat-ayat suci Al Qur'an dengan menyatakan; `Tidak ada Tuhan lain kecuali Allah, Muhammad adalah Rasul Allah'. Kemudian kami mengelilingi sebuah bukit dan kota suci tersebut berwama putih bersinar dalam cahaya matahari pagi yang menghangat, tiba-tiba muncul merupakan sebuah pemandangan di bawah kami. Sopir menghentikan mobil dan secara otomatis seruan jemaah keluar dari bibir mulut kami, `Labbaika Allahuma Labhaikal'. Disini hambaMu berdoa untuk melayani Engkau. Tidak ada kawan sekerjaMu, disini hambaMu berada untuk melayani Engkau; untuk kemuliaanMu, kekayaan dan keagungan dunia tidak ada sekerja bagimu'.
Suatu perasaan damai yang aneh datang dan berdiam didalam hatiku. Semua ketakutan tentang masa depan terangkat. Saya merasa menyatu dengan semua jemaah ini mencari suatu kuasa yang tidak dapat saya lihat sama kekal dan misterius dengan ke tujuh bukit yang mengelilingi kota itu.
User avatar
rainy
Posts: 634
Joined: Thu Feb 08, 2007 1:28 pm
Location: makassar

Post by rainy »

Selamat membaca .......

BAB 3 : AIR KEHIDUPAN

Kamp haji atau tempat istirahat bagi para jemaah, letaknya cukup jauh dari mesjid Haram. Abdullah, si penunjuk jalan yang telah dicarikan untuk kami dipintu masuk berjabatan tangan, dan bnpelukan dengan ayah. 'Allhan wa sahlan (selamat datang) kata Abdullah. 'Demikian juga bagi anda', jawab ayah. Cara penerimaan yang sederhana seperti ini dimana seorang Arab rnenerima kita sama derajat sebagai saudara merupakan ciri - ciri haji. 'Saya telah menerima surat dari Sheikh yang mulia. Kamar-kamar bagi anda semua telah kami pesan.
Pembicaraan dilanjutkan mengenai domba yang akan dikorbankan. Ayah memesan 2 ekor bagi kami masing – masing termasuk para pelayanku sehingga semuanya berjumlah 8 ekor. Getaran kegembiraan terasa mengalir dalam diriku. Perjamuan Kurban (ldul Adha) yang merupakan penghormatan bagi si orang tua yaitu Nabi Ibrahim yang rela mengorbankan anaknya Ismail merupakan puncak acara dari upacara naik haji. Ayah meneliti lagi agar doa-doa kami mempunyai kemujaraban khusus karena darah anak domba yang begitu banyak dikorbankan.
Kamar-kamar kami semuanya berderet di satu tingkat. Ada dua kamar yang mempunyai kamar mandi, disampingnya, sangat sederhana dilengkapi secara biasa, ada tempat tidur kecil (charpais). Saya rnerindukan kasur katun yang yang ditaruh diatas ‘palung’ seperti di rumah. Kisi-kisi dari benang dengan kasur berisi bahan rambut diatasnya bukanlah merupakan tempat istirahat yang memadai terutama bagi seorang yang lumpuh dibagian kiri tubuhnya karena sulit membalikkan badan. Namun, semuanya itu adalah tahapan yang harus dijalani waktu menunaikan ibadah haji. Berhari¬ - hari sesudahnya, beratus-ratus ribu orang akan berbondong-¬bondong masuk ke Mekkah, berjejai-jejal masuk ke hotel-hotel dan wisma-wisma. Hanya sedikit keleluasaan yang ada namun tidak terlihat adanya parneran kekayaan. Kebaikan akan hilang bila seseorang bersungut-sungut, angkuh dan sombong atau kehilangan kesabaran waktu menjelajah dalarn terik matahari serta kondisi yang menekan, demikianlah penjelasan ayah.
Sebuah kipas angin listrik dilangit-langit kamar kami menghalau udara sekitar yang panas, tebal namun tanpa hasil untuk memberikan kesejukan. Jendela-jendela dipasang tirai hijau guna mencegah sinar matatrari masuk dan hal ini memberi sedikit perasaan seolah-olah kamar berada didalam sebuah bejana akuarium. Disamping itu terdapat tutup-tutup logam tipis dari mana saya dapat mernandang garis-garis kubah masjid besar dari jauh mengarah ke atas seperti layaknya jari¬jari tangan.
Sambil berbaring di atas kasur kecil (charpai). saya mendengar bunyi serentetan-serentetan sandal kulit tak bertumit yang tak berkesudahan yang dipakai oleh para jemaah. Bunyi-bunyinya ketika tiba ditelinga kami terdengar seperti gumaman berbagai bahasa asing. Di sela-sela alunan ayat-ayat Al Quran dan Allahu Akbar (Allah Maha Besar). Kegembiraan merayap dalam sanubariku. Hadirnya saya ditempat itu, baik rasanya, cukup untuk melanjutkan hidup ini. Pelayan-pelayanku juga merasakan hal yang sama : 'Betapa beruntungnya kami menjadi pelayan nona dan dapat ikut berjemaah Haji', kata Salima ketika bersama Sema membantu memandikan saya dengan air dingin untuk kedua kalinya hari itu. Bagi mereka hal ini merupakan keuntungan besar karena begitu banyak orang saleh diseluruh dunia juga mendambakan untuk dapat datang dan hadir disini pada waktu seperti ini, namun tidak sempat ataupun tidak mampu, baik karena waktu atau biaya. Waktu untuk melaksanakan haji dapat berlangsung selama sebulan jika semua tempat suci dikunjungi.
Ayah sempat bertemu beberapa kawannya dari Lahore, Rawalpindi, Peshawar dan Karachi, namun kali ini mereka sama sekali tidak membicarakan tentang harga katun atau gandum. Oh, tidak, disini hal-hal duniawi ditinggalkan demikian pula semua perbedaan mengenai kelahiran, negara asal, derajat, jabatan atau status. Di dalam ruangan besar kamp Haji, pelayan-pelayan duduk makan bersama tuannya, semua perbedaan telah ditutupi oleh ihram (pakaian jemaah haji). Para pria mengenakan sehelai kain katun sederhana dilingkarkan sekeliling bagian bawah tubuh dan helai lainnya sekeliling bahu. Para wanita mengenakan pakain-pakaian putih panjang dengan penutup kepala dan kaos kaki putih tetapi tidak memakai kerudung. Menurut jejak Nabi, dimata Tuhan semua manusia sama. Ayah memberi penjelasan serius dan mendalam : 'Begitu kau mengenakan ihram maka engkau telah meninggalkan hidupmu yang lama dan masuk kedalam hidup yang baru. Dengan kata lain hal ini merupakan kain pembungkus mayatmu. Dengan mengenakan kain ini, jika engkau mati maka engkau langsung naik sorga, tanpa henti'.
Di jalan waktu beliau menuju masjid untuk sembahyang, ayah bertemu dengan seorang kawan lama sejak masa sekolah: `Attaulah ada disini. Beliau seorang muslim sejati yang memberi sedekah kepada orang miskin di Pakistan. Dan ia seorang yang alim. Kali ini merupakan kunjungannya yang ke tiga'.
Memberikan sebagian dari penghasilan kita untuk meringankan kemiskinan, dinamakan zakat atau memberi sedekah, merupakan rukun Islam yang ke 3. Rukun ke 4 ialah kepatuhan menjalankan ibadah puasa sejak fajar sampai matahari terbenam selama bulan ke sembilan tahun Hijriah yaitu bulan suci Ramadhan.
Sesudah menunaikannya barulah pajak kemiskinan atau zakat dipersembahkan. Ayahpun sangat alim, pikirku. karena ayah memberi sedekah dan kali inipun merupakan kunjungan yang ke 3 dan siapa lagi yang mengajarkan saya berdoa kalau bukan ayah? Saya memandangi dahinya jelas terlihat adanya bekas-bekas tekanan disebut mihrab, seperti tanda petunjuk untuk arah ke Mekkah yang dipasang di setiap masjid. Tanda ini terbentuk karena dahi itu berulang-ulang kali ditikar waktu sembahyang. Dengan melihat tanda ini seseorang dapat mengetahui bahwa orang tersebut taat berdoa. Ibadah sembahyang merupakan rukun Islam yang ke 2.
Selama sisa hari pertama itu saya tidak keluar tapi tinggal di rumah berdoa, membaca Al Qur'an suci kalau tidak menyiapkan diriku untuk kunjungan ke Kaabah besok. yang akan sangat melelahkan, diterik matahari, berdesak-desakkan dengan begitu banyak orang. Salima dan Sema membawa makanan ke kamar dan tinggal bersamaku. Begitu banyak orang namun begitu damai rasanya, kata Salima pada malam harinya. Jalan penuh sesak dengan para jemaah namun suasana terasa, tenang. "Tiidak terasa adanya ketergesa-gesaan atau kebingungan. Dengan hadir di tempat ini rasanya seperti di sorga, semua keinginan rasanya terpenuhi.
Ketika Muazzin mengumandangkan azan dari menara masjid waktu matahari terbenam, setiap orang di Mekkah berhenti di tempatnya dan berpaling ke arah Kaabah, lambang yang begitu kuat mempersatukan jutaan umat Islam dikeempat penjuru dunia. Mereka berdiri tegak, tangan terbuka pada setiap sisi wajahnya dan berdoa : 'Allah Maha Besar!' Tangan diturunkan lalu yang kanan ditaruh diatas yang kiri, bagi wanita diatas pinggang bagi yang pria dibawahnya. 'Dipermuliakanlah Dikau, oh Allah. Dan terpujilah Engkau ; Terpujilah namaMu dan diagungkanlah kuasaMu ; Dan tidak ada lain yang layak disembah selain Engkau! ; Diikuti beberapa dloa lain. Al Fatiha, beberapa ayat suci Al Qur'an kemudian Allahu Akbar. Disini para jemaah membungkuk bertopang pada pahanya, tangan dilutut; `Betapa mulianya Tuhanku Maha Besar!' Mereka berdiri tegak, tangan disamping. 'Allah telah mendengar doa mereka yang telah memujiNya; Ya 'Tuhan, terpujilah Engkau!' Kemudian mengucapkan, "Allahu Akhar', mereka sujud menyembah: 'Terpujilah Engkau ya Tuhan yang Maha Tinggi' (3 kali). Lalu tegak, kemudian duduk berlutut: 'Oh Allah! Ampunilah dan kasihanilah saya'. Mereka berdiri tegak kembali. "Tara cara ini merupakan pematuhan terhadap pelaksanaan satu rakaat lengkap yang diikuti oleh beberapa pengulangan pergerakan dan doa.

Sebagai seorang yang cacat, upacara suci ini saya lakukan dengan bantuan para pelayanku, duduk dan mihrab diatas tikar sembahyangku menunjuk kearah Kaabah.
Apakah saya akan terjaga dari mimpi indah ini dalam kamarku dirumah atau apakah saya benar-benar mengucapkan doa itu disini di pusat dunia? Perasaan menanti-nanti menggelitik hatiku, menimbulkan suatu sukacita yang hesar. Untuk dapat hadir disini saja oh Tuhan, sudahlah cukup walaupun bila saya tidak dapat betjalan. Untuk dapat memandang dengan mata kepala saya sendiri rumah Allah yang dibangun oleh nabi Ibrahim sudah merupakan suatu pemberian yang dapat dinikmati seseorang sepanjang sisa hidupnya.
`Benar, kau telah hidup selama 14 tahun sebagai seorang yang lumpuh', kataku kepada diriku sendiri, namun disini dimana iman terasa menjadi kuat sekali karena begitu banyak doa terpusatkan, Allah akan mendengarkan doa keluargamu dan Nabi Muhammad akan meminta kepadaNya untuk menyembuhkan engkau'.
Ketika saya membayangkan Tuhan, tidak terlintas dalam pikiranku sesuatu gambaran tentang Dia karena bagaimana mungkin seseorang dapat menggambarkan makhluk vang kekal abadi itu? Dia, yang walaupun dipanggil dengan 99 sebutan dalam Al Qur'an suci, masih tidak dikenal. Tidak terdapat sifat kemanusiaan rang dapat digunakan untuk membandingkanNya, begitulah ajaran yang kami terima. Tapi bibirku mengucapkan kata-kata Al Fatuha yang berharga: ‘ Hanya Engkaulah yang kami sembah dan hanyalah padaMu sendiri kami memohon pertolonganMu, tunjukkanlah kami jalan yang lurus, jalan bagi orang yang Engkau perkenan....'.
Bagi seorang muslim, hidup merupakan sebuah jalan dan tiap – tiap pribadi berada di suatu tempat pada jalan itu yang terletak antara waktu kelahiran dan kematian, penciptaan dan penghakiman. Sayapun telah menempuh jalan ini yang walaupun tidak dapat saya lihat akhirnya, namun dapat menjalaninya sampai akhir hidupku.
Besok paginya kami semua bangun sebelum fajar dan sesudah bersembahyang serta sarapan kami mulai berjalan menuju Kaabah. Ayah telah mengatur agar saya dibawa diatas sebuah kursi roda, para pembantuku berjalan disampingku dan ayah di depan. Banyak orang sakit dan tua dibawa dengan cara demikian. Saya duduk bertopang agar tegak, menyenangi pemandangan yang terlihat dan salah satu kesibukanku pal¬ing besar sedang berlangsung dimana beribu-ribu pria dan wanita dari segala umur dan pelbagai kebangsaan bersama¬-sama beriringan menuju rumah Allah. Belum pernah seumur hidupku saya melihat begitu hanyak manusia disatu tempat, begitu tekun menuju satu tujuan, tidak di Lahore atau Rawalpindi waktu ayah membawaku dengan mobil ataupun selama di London. Arus manusia mengalir kedepan dengan satu tujuan, satu akhir, berdoa sambil berjalan seraya mengucapkan ayat-ayat suci Al Qur'an berulang-ulang yang mengalun dan berirama. Dinding-dinding bagian luar yang kekar,. Dijajari dengan gerhang-gerbang mengelilingi Masjidil Haram yang telah berusia tua. Sebelum masuk kami diharuskan untuk dipenksa oleh para petugas pria dan wanita yang ditempatkan di pintu-pintu gerbang. Ayah telah mengingatkanku mengenai hal ini: 'Ada desas-desus bahwa orang-orang kafir telah berusaha lebih dari sekali untuk menerobos ke tempat-tempat suci kita guna melakukan beberapa kejahatan dan merusaknya'. 'Apa yang terjadi dengan mereka ayah:'' Saya menyelidiki dengan penuh ketakutan. `Oh, saya harap mereka ditembak', katanya. Saya gemetar mendengar hukuman itu, namun setuju bahwa mereka pantas menerima ganjaran demikian bagi penghinaan Uu.

Kami memasuki gelanggang besar itu yang didominasi oleh menara-menaranya yang tegak. Ditengah-tengah berdiri masjid, yang mulai dibangun pada abad ke 8 dan kini telah sangat diperluas agar dapat menampung beribu-ribu jemaah. Rombongan kami berjaian melewati permadani-permadani dan sambil menjinjing sepatu yang kemudian diganti dengan sejumlah karcis. Lalu kami berjalan melewati sebuah gerbang menuju ruangan terbuka luas di tengah-tengahnya berdiri bangunan besar berbentuk kubus yang dikenal sebagai Kaabah. Rumah Allah, dipasangkan tirai brokaat hitam dihiasi dengan sebutan-sebutan untuk Tuhan yang disulam dengan emas. Seluruh ruang terbuka itu putih warnanya karena hadirnya beribu-ribu jemaah, semua dengan muka menghadap ke Kaabah.
Orang-orang berjalan atau berlari mengelilingi Kaabah menurut arah yang berlawanan dengan jarum jam. Lorong-¬lorong batu pualam kelihatannya bersinar clan tempat itu. Kami berjalan sepanjang salah satu lorong dan tiba di sebuah kawasan yang berbentuk lingkaran di tempat mana saya dipindahkan kesebuah palki (tandu) kayu yang diusung oleh 4 pria berbadan tegap sebelum kami diarahkan masuk ke dalam kerumunan kelompok orang banyak yang berputar – putar. Kami berjalan mengitari Kaabah berjalan 3 kali, berlari 4 kali, saya berguncang – guncang di atas palki, keadaanku laksana setumouk busa diatas deburan air pasang surut. Setiap kami melewati batu hitam yang terletak disudut timur laut itu yang ditempatkan oleh Nabi Muhammad dengan tangannya sendiri, kami mengangkat tangan dan berseru : ‘Allahu Akbar – Allah Maha Besar!’. Perjalanan ini penuh dengan lonjakan – lonjakan bagiku dan saya memandang ke arah ayah dengan cemas, namun kelihatannya beliau tidak menyadari teriknya matahari, desakan orang banyak atau keadaa yang tidak enak. Dapat hadir disini merupaka segala sesuatu yang diinginkannya.
Pada perjalanan keliling kami yang terakhir, kami datang ke batu hitam tersebut. Saya teringat akan apa yang diceritakan kepadaku bahwa batu itu dijatuhkan kepada Nabi Adam oleh Tuhan. Batu itu merupakan simbol yang kuat sekali dalam iman kami, telah disentuh Tuhan, Nabi Adam dan Nabi Muhammad. Para pengusung mendorong kami ke depan dan menurunkan palki-ku. Saya dibantu menyuruk ke depan untuk dapat mencium batu hitam tersebut. Batu itu diselimuti dengan perak dan disemprotkan minyak wangi. Saya menutup mata untuk merasakan sentuhan nabi. Batu itu tidak terasa seperti batu sama sekali, di bibirku terasa hangat dan rasanya ada perasaan damai mengelilingiku. Saya berkata :’Sembuhkanlah kiranya saya, demikian pula yang lainnya’. Namun tidak sesuatu yang terjadi. Salima dan Sema mengangkat saya tegak dan kami melanjutkan lagi. Saya tetap merunduk menghindari mata ayah yang risau. Berikutnya kami menuju tempat Nabi Ibrahim berdoa dan saya memanjatkan satu permohonan doa yang sangat kami dambakan: 'Sembuhkanlah kiranya saya'. pintaku.

Upacara berikutnya ialah berlari antara Safa dan Marwa. 2 bukit kecil mengitari masjid besar kira-kira 1 km jarak - antaranya. Diceriterakan bahwa Hagar dan Ismail dikuburkan dibawah gundukan bukit-bukit ini.
Suatu permainan akbar', pikirku tapi saya menyimpannya dalam hati, tidak ada yang tertawa disini karena setiap orang melaksanakannya dengan sungguh-sungguh. Saya kembali kesebuah kursi roda untuk melanjutkan perjalanan sepanjang lorong batu pualam antara Safa dan Marwa sebanyak 7 kali, menelusuri perjalanan Hagar waktu mencari air bagi anaknya Ismail sesudah keduanya diusir. Menurut ceritera turun¬temurun, `Tuhan membuka sebuah mata air. Abb-a zam-zam (air kehidupan) di dekat tempat ini. Orang-orang membeli air tersebut dan meminumnya dari mangkok logam. Ayah ingin agar kami semua minum dan membeli 1 kirbat air untuk diserahkan ke kamp haji. Sebagiannya akan dibawa ke Paki¬stan, sisanya untuk memandikan saya.
Upacara-upacara ini menghabiskan waktu hampir sehari-¬harian tanpa makan atau istirahat dan kini kami kembaii ke kamp haji menunggu perjalanan berikutnya. Perjalanan tersebut ialah menuju Arafah, sebuah tempat yang terletak kira¬kira 10 km dari Mekkah dimana umat lslam mengatakan bahwa Tuhan menguji Nabi Ibrahim dengan memintanya mempersembahkan anaknya yang sulung, Ismail sebagai korban. Setelah Tuhan melihat ketaatan Nabi Ibrahim, la menghentikan pengorbanan itu dan menggantikannya dengan seekor domba jantan yang terjerat di dalam belukar. Kami mengunjungi Mina daiam perjalanan kembali dari sana untuk melemparkan batu ke arah 3 tiang yang melambangkan setan-¬setan yang menggoda Nabi Ibrahim agar menolak mempersembahkan anaknya. Setiap orang menertawakan tiang-tiang buruk tersebut sambil melemparkan batu atau sepatunya. Melemparkan sepatu berarti suatu penghinaan yang besar.

Sesudah itu, kami pergi ketempat mempersembahkan kurban, tepat diluar kota dan berdiri berbaris sampai kami menemui si tukang jagal yang telah mengetahui tentang domba-domba yang akan kami kurbankan. Ia memegang pisau disatu tangan dan tangannya yang lain memegang domba, lalu saya memegang pangkal pisau itu seraya si tukang jagal melaksanakan pemotongannya. Darah domba jantan itu mengalir ke palungan penadahnya dan binatang itu meronta¬-ronta serta bergoyang-goyang seakan-akan mau melarikan diri. Saya tidak merasakan suatu perasaan terhadap domba itu, kematiannya diperuntukkan bagi pemenuhan perintah untuk mempersembahkan korban. Lalu tukang jagal lainnya datang dan mengambil domba tersebut kemudian mengulitinya. Kami tidak dapat menunggu lama untuk melihat seluruh upacara persembahan domba kami sampai semuanya disembelih karena begitu panjangnya antrian, namun semuanya terlaksana dengan teratur. Domba-domba kami dihitung satu persatu dan akan dipersembahkan kemudian. Kami melihat ketika orang lain datang menggantikan tempat kami untuk mengorbankan domba, kambing atau untanya. Bisa sampai 6 orang bersama-sama bergabung mengorbankan seekor unta kata ayah. Saya senang sekali bahwa saya tidak tingga! terlalu lama guna menyempatkan diri melihat unta dikorbankan

Saya tahu bagaimana akhirnya daging-daging itu. Ayah telah menceriterakan kepadaku: 'Sebagian disedekahkan kepada fakir miskin, mereka makan makanan enak selama musim haji. Sebagiannya menjadi makanan kami di asrama haji. Kebanyakan akan dibakar. Daging-daging ini tidak tahan untuk disimpan pada keadaen panas seperti ini'.
Jemaah haji tinggal di Mina selama 3 hari dan pada hari yang ke 2 dapat mulai lagi mengenakan pakaian biasa sehingga jalan-jalan yang berabu dan panas menjadi mekar dengan warnaa-warni berbagai pakaian nasional yang dipakai. Para pria mencukur rambutnya sampai pendek dan para wanita memotong rambutnya sekurang-kurangnya 3 cm. Tiap orang saling mengucapkan `Selamat Naik Haji'. Hari-hari ini ialah hari perayaan bersama sahabat dan handai taulan baik teman lama maupun yang baru, juga merupakan waktu untuk menyelesaikan perbedaan-perbedaan dan berdamai satu sama lainnya. 'Dunia akan menjadi tempat yang membahagiakan bila kita mempertahankan semangat haji sepanjang hidup kita', kata ayah. Namun, kami tidak tinggal di Mina karena keadaan saya yang cacat dan kembali ke asrama haji. Begitu sampai saya duduk diatas tempat duduk yang ada sandarannva dipegang Oleh Sema untuk di mandikan, mengucapkan doa-doa sambil disirami air Zam-Zam oleh Salima disekujur tubuhku dari sebuah ember plastik.
Sesungguhnya pada waktu itu saya mengharap agar dapat disembuhkan dan kelumpuhan ini hilang. Tapi tidak ada sesuatu apapun terjadi. Tubuhku masih sama beratnya dengan trmah, perasaanku lebih berat lagi sewaktu pembantu mengangkat dan mengeringkan tubuhku lalu memakaikan pakaianku.
Tidak lama kemudian ayah yang telah menunggu dikamar sebelah dan mengharapkan saya berjalan sendiri masuk lewat pintu itu, datang menyongsongku. 'Hari ini bukanlah kehendak Allah'. Tapi kita tidak akan putus asa. `Allah Maha Besar', katanya. kemudian tanpa sepatah katapun beliau melangkah keluar.
Sesudah melangsungkan upacara-upacara ini para haji pulang ke tempatnya untuk mendapatkan penghormatan di negerinya masing-masing. Beberapa orang telah membubuhkan predikat haji didepan namanya atau menempatkannya pada papan nama tokonya untuk menunjukkan bahwa mereka adalah orang-orang jujur. `Saya mau mempercayai sebagian dari mereka', kata ayah dengan secercah senyuman tersungging dibibirnya.
Kebanyakan orang seperti kami, pergi ke Madinah, kota kedua yang paling penting bagi umat Islam, jauhnya 450 km, ditempat mana Nabi Muhammad tinggal selama 10 tahun
sesudah ia dikeluarkan dari Mekkah dan dari sana pada tahun 622 menyebarkan agama Islam sebagai awal mula masa Islam. Ia tinggal di sana pada bagian akhir hidupnya dan kami bermaksud melihat Musoleum (kuburannya). Banyak ceritera yang begitu berkesan bagiku sebagai kanak-kanak terpusatkan sekitar kota ini.
Masjid di Madni sangat mengagumkan. Kami berjalan diatas permadani tebal, indah dan memberikan penghormatan pada nisan Nabi Muhammad. Nisan ini ditutup dan diberi permadani serta dikeliiingi kaca. Orang-orang berjalan mengitarinya dan mencium nisan itu melalui gelas dengan ciuman jarak jauh. Mereka juga memasukkan uang dan karangan bunga. Para petugas memungutnya dan menghiasi nisan itu.
Disekeliling halaman itu orang-orang duduk dan menyanyikan lagu-lagu rohani. Karena ayah berstatus Pir maka beliau minta ijin agar saya diperbolehkan untuk berada didekat nisan Nabi Muhammad. Para petugas membukakan pintu bagiku dan saya duduk di dekat pintu dalam sebuah kursi roda selama 2 atau 3 menit sambil berdoa. Hal ini merupakan pengalaman yang menakjubkan.
Kami mengunjungi nisan-nisan lainnya di situ, lalu kami akhiri dengan berkunjung ke taman kurma Siti Fatima. Nabi Muhammad membangunnya bagi puterinya. Kamar membeli sekeranjang kurma yang beratnya 15 kg untuk dibagi-bagikan kepada sanak keluarga dirumah. Di Medinah kami mohon diri dari Qasi. Ayah memberikan kepadanya sekedar baksish

sebagai suatu pemberian dalam sebuah amplop. Ia begitu menyenangkan dan bersifat menolong sehingga kami merasa cukup sedih begitu melihat mobilnya berbelok menuju ke arah tempatnya Sheikh dengan membawa salam baik kami. Dari Madinah kami terbang ke Baitul Makdis (Yerusalem) ditempat mana kami bertemu dengan jemaah yang penuh sesak dari 3 kepercayaan Islam, Yahudi, dan Kristen. Musim haji tiap tahun berbeda waktunya selama 10 hari sesuai perhitungan bulan dan pada tahun ini bertepatan dengan masa raya Paskah orang Yahudi dan umat Kristen.
Mesjid di Yerusalem dinamakan mesjid A1 Aqsa, mesjid yang terjauh kearah mana Nabi Muhammad berkiblat sebelum Mekkah dijadikannya pusat agama Islam.
Kubah batu karang yang didirikan tepat disebelahnya mempunyai sangkut paut dengan Nabi Ibrahim. Daud membelinya dan Solaiman membangun Kaabahnya disini yang dihancurkan Titus dan disini Nabi Isa berjalan dan mengajar. Sekarang orang Yahudi meratap pada sisa dinding itu karena mereka telah kehilangan kemuliaannya. Kami hanya tinggal semalam disebuah penginapan didekat kubah batu karang dan saya tidak pergi kesana karena perasaanku cukup kecewa sebab tidak mengalami kesembuhan.
Besoknya kami berangkat menuju Karbala di Irak untuk melihat tempat dimana cucu Nabi Muhammad, Husein serta ketuarga dan para pelayannya sejumiah 72 orang dikuburkan. Hal ini merupakan akibat dari peperangan yang mengerikan sewaktu Husein dan 72 pengiringnya yang gagah berani bertempur melawan Kaliifah Yasid dari Siria dan disini mereka mati sahid. Sejak waktu itu, kami, musiim shiah selalu mengenangkan ulang tahun kematiannya dengan pawai perkabungan dijalan-jalan dimana para pria dan anak-anak lelaki beralan sambil memukul-mukui dirinya. Dalam bulan Muharam orang-orang mengenakan pakaian hitam dan tidak ada seorangpun dikota seperti Jhang akan berpikir untuk menyelenggarakan perkawinan bagi keluarganya.
Kami berdoa memohon kesembuhan di Karbala tapi tidak ada yang dikabulkan. Kami telah menjalani ibadah haji selama sebulan dan sudah waktunya pulang ke rumah. Ketika sedang menunggu pesawat ke Karachi, ayah memandangku; 'Tuhan menguji engkau demikian pula aku, jangan putus harap. Mungkin pada sewaktu-waktu dalam hidupmu engkau akan disembuhkan'.
Ayahku tercinta, yang baik, begitu sabar dan setia. Beliau berusaha membangkitkan semangatku dan ia merasakan akibat yang diinginkannya.
Imanku yang melemah bangkit kembali. Saya berkata: `Baiklah, saya tidak akan putus harap. Saya akan tetap setia pada Nabi dan Allah'. Lalu saya tertawa untuk menunjukkan bahwa sebenamya saya tidak kecewa, kembali dengan keadaan yang sama halnya dengan pada waktu datang. Beliau menunduk dan menciumku, `Saya mengharap hal seperti ini darimu', katanya. Para pembantuku membisikkan :'Bibi, tunggulah kehendak Allah'.
Jadi kami terbang menuju Lahore melalui Karachi dengan adanya perasaan bahwa terdapat beberapa berkat imbalan khusus yang melekat dalam diriku selama ibadah haji ini, namun menyadari bahwa kami harus menunggu waktu Allah untuk dikabulkan. Kami dijemput oleh keluarga kami di lapangan terbang beserta para pembantu kami. Mereka membawa karangan-karangan bunga berwama ungu dan kuning, berbau harum untuk dikalungkan di leher kami. Mereka semua menjamah kami dan mengucapkan Allahu Akbar, karena merupakan suatu berkat bila seorang menyentuh seorang haji. Mereka memandang kepadaku masih lumpuh, tapi tidak memberikan sesuatu komentar.
Ayah berkata kepada saudaraku laki-laki dan perempuan: 'Al¬lah bukannya Tuhan yang tidak adil. Kita harus bersabar menantikan waktunya Allah'. 'Benar. Adik kamipun harus memiliki kesabaran untuk menunggu'.
Kami bermalam di Lahore disebuah bungalow milik salah seorang keluarga dan perjalanan pulang dilaksanakan keesokan harinya dalam sehuah iring-iringan mobil untuk mendapat penyambutan dari anggota rumah tangga lainnya dengan suatu ucapan selamat datang yang penuh sukacita.
User avatar
Alibaba
Posts: 375
Joined: Mon May 21, 2007 11:22 pm
Location: di selatan
Contact:

Post by Alibaba »

Thanks untuk storynya Rainy..

Ditunggu bab selanjutnya yah..
User avatar
rainy
Posts: 634
Joined: Thu Feb 08, 2007 1:28 pm
Location: makassar

Post by rainy »

Alibaba wrote:Thanks untuk storynya Rainy..

Ditunggu bab selanjutnya yah..
trims juga, ini yang selanjutnya, selamat membaca ....

BAB 4. PESTA KAWIN
Perjalanan kembali dan ibadah haji rasanya hampir sama menggairahkan seperti waktu akan berangkat kesana. 'Biarlah saya menyentuhmu', kata Samina yang terus-menerus ingin mendengarkan tentang semua yang telah kami lihat dan lakukan. Keadaan semacam inilah yang dialami oleh para haji sesudah kembali dari Mekkah. Kerumunan orang di lahore akan bergegas-gegas ke stasiun meneriakkan 'Ya Muhammad' dan 'Ya Rasul Arbi' serta akan berusaha menyentuh si haji sebegitu turun dari kereta api. Dengan berbuat begitu artinya mereka memperoleh beberapa berkat secara cuma-cuma sedangkan bagi orang lain memerlukan biaya besar.

Kegembiraan itu berlangsung sebulan dan selama itu para anggota keluarga berdatangan baik dari jauh maupun dekat. Demikian pula kaum kerabat dari kota datang membawakan hadiah kecil. Hal seperti ini merupakan tradisi bagi mereka yang pulang haji dengan selamat. Anggota keluarga dan sahabat-sahabat karib menerima oleh-oleh air suci dari sumber air zam-zam. Satu botol dihadiahkan kepada Maulyi yang datang mengunjungi ayah dan berdiskusi tentang hadits selama berjam-jam setiap minggu. Setiap orang berkata kepadaku 'Allah memberkati engkau’ dengan pengertian yang baru sebab saya telah menunaikan ibadah haji. Apa yang kami kehendaki yaitu tentu saja kesembuhanku, namun hal ini belum dikabulkan. Kalaupun ada secara sembunyi-sembunyi mengkritik dibelakangku tentang hal ini, tidak ada yang sampai ketelingaku. Kaum keluarga hanyalah mengeluh dan menciumku seraya berucap ‘Allah akan menyembuhkanmu nantr Bibi-Ji. Kita harus pasrah dan tawakal pada kehendakNya .

Jadi, walaupun dalam hatiku terbentuk kesedihan karena kegagalan tujuan perjalanan kami namun dari aspek lain terasa adanya pertumbuhan. Saya telah melihat orang di kota kami yang menabung seumur hidupnya namun tetap tidak memiliki cukup uang untuk menunaikan ibadah haji. Kehebatan perasaan yang saya alami dan saya saksikan di Kaabah tetap melekat di dalam hatiku sebagaimana Sufi perjalanan perasaanku dimana dengan berjemaah menunaikan ibadah haji ke Mekkah merupakan simbol yang kelihatan. Tujuan para jemaah adalah agar mereka dapat menyerahkan diri sepenuhnya kepada kehendak Allah Yang Maha Kuasa. 'Is¬lam' berarti 'berserah diri. Pada usia 14 tahun tersebut saya belum dapat melakukannya dengan rapih, namun seingatku betapa kuat kepastian itu bertumbuh sehingga saya terdorong untuk berusaha menghindari segala sesuatu yang dapat menajiskan. Supaya saya makin dapat membaktikan diriku sebaik-baiknya untuk bersembahyang, Ketika azzan dikumandangkan saya bersujud dengan suatu hasrat hati yang jelas diatas tikar sembahyangku, berkiblat menghadap ke Kaabah. Sambil Sallima menopangku. Hal ini kulakukan bukan karena apa yang telah diajarkan tetapi karena saya membutuhkannya. Diwaktu-waktu lain di siang hari, dengan jari-jariku saya menelusuri biji-biji tasbih yang kami bawa dan Madinah mengulang-ulang perkataan 'Bismillah' (Dalam nama Allah) di setiap biji tasbih, karena tidak ada cara lain yang kuketahui untuk dapat mengungkapkan seruan hatiku yang mendambakan suatu jamahan bagi kesembuhanku. Walaupun saya tidak memahami pengetahuan tentang kehendak Allah dalam hal ini serta tidak ada kemajuan yang dialami, namun saya terus melaksanakan cara seperti ini bila perlu sepanjang sisa hidupku.

Setelah masa gembira selama sebulan itu berlalu. keadaan di bulan Juli terasa lebih tenang. Saya merasa bahwa ayah tertekan karena keadaanku. Tiba-tiba beliau berucap, 'mari kita mengadakan pesta kawin'. 'Oh ayah', saya dapat menari-nari kegirangan. Saya senang akan perjamuan kawin. Sepanjang ingatanku, perjamuan kawin pertama yang saya ketahui ialah perkawinan kakak perempuanku yang tertua dengan sepupu kami. Waktu itu usiaku baru 4 tahun dan Anis-Bibi 14 tahun. Teringat olehku baju merah yang dijahitkan untukku yang terbuat dari bahan dan warna yang sama untuknya. Pakaiannya disulam secara gemerlapan dengan hiasan 'emas dan dia mengenakan perhiasan-perhiasan indah dirambutnya serta sebuah mahkota dan cincin mutiara yang dikenakan dihidungnya. Ditangan kanan ia mengenakan 5 cincin diikat oleh sebuah pujangla ke gelang yang dipakaikan mengelilingi pinggangnya dan diatas semuanya ini ada dopatta terbuat dari sutera berkwalitet paling baik. Hampir sepanjang waktu saya duduk didekat lututnya dan ia memegang saya erat-erat dengan sikap melindungi, memelukku seperti saya memeluk bonekaku. Diwaktu pemuka agama masuk untuk melaksanakan upacara perkawinan baginya. kurasakan ia gemetar lalu saya menepuk pipinya dihawah kerudung yang ternyata basah dengan air mata.

Semua tamu pria menemani pengantin pria dikamar sebelah sedangkan semua wanita bersama kami. Sesuai adat-istiadat, pengantin pria belum pernah melihat wajah calon istrinya kecuali mereka masih anak-anak dan belum menyadarinya, namun hal ini tidaklah menjadi masalah. Ia akan mencintainya. Semua orang sayang pada Anis-Bibi yang begitu mirip dengan almarhumah ibu kami

Pesta kawin itu berlangsung meriah. Beberapa orang terpandang hadir. Banyak hadiah diberikan. Mas kawin yang kami bawakan besar nilainya dan tentu ayah telah mengeluarkan banyak biaya. 21 bagian dari semuanya menjadi hak milik Anis-Bibi yang membawa kerumahnya yang baru berikut uang, emas, hadiah-hadiah dan bagi keluarga pengantin pria merupakan suatu keberuntungan. Setiap orang berkata hahwa pesta itu merupakan yang terbaik yang pemah diseienggarakan dikota itu. Sewaktu Anis Bibi datang mengucapkan selamat tinggal kepadaku saya memeluknya erat-erat sambil menangis terisak-isak. Bagiku sepanjang yang kuketahui, ia adalah ibuku. 'Saya akan datang sesering mungkin untuk menjengukmu', katanya. Nyatanya besoknya ia kembali sebelum meninggalkan kami dan menetap bersama mertuanya. Pasangan muda ini masih tinggal bersama orang tua mereka secara bergantian sampai mereka dinilai telah cukup dewasa untuk berdiri sendiri.

Perkawinan Safdar Shah diselenggarakan dirumah pengantin wanita dan merupakan kebalikan dari pelaksanaan pestanya Anis-Bibi. Para wanita keluarga kami tidak hadir. Kami menunggu sampai mereka membawa zanib, si pengantin wanita datang keesokan harinya kerumah kami bersama mas kawinnya yang indah-indah. Ia tinggal selama 2 hari, kemudian kembali ke rumah orang tuanya selama seminggu. Pasangan ini telah bertunangan sejak kanak-kanak, namun sesuai adat kebiasaan mereka belum pemah bertemu satu sama yang lain. namun ada beberapa hal lain yang telah mengalami perubahan. Pengantin wanita lebih tua, ketika itu herusia 18 tahun la tinggal bersama kami sementara Safdar Shah menyelesaikan sekolah dagangnya disebuah universitas di Amerika sebelum terjun ke bidang perdagangan di sebuah pabrik pengepakan di Lahore. Sesudah itu mereka pindah dan tinggal di Islamabad dan memiliki sebuah bungalow indah.

Saya senang ketika iparku tinggal bersama kami. la menemaniku di kamar atau duduk bersamaku di halaman di tempat khusus bagi para wanita. Disana tiap hari saya didorong diatas kursi rodaku selama cuaca mengijinkan diantara bunga-bunga mawar dan pohon ercis. jeruk dan mangga serta disegarkan oleh percikan-percikan air Yang disemprotkan dari mata air kecil. Selama kami disana tukang kebun menyingkir jauh sampai tidak kelihatan dari tempat kami. Tidak lama sesudah waktu itu Samina kawin Ia tinggal di pinggiran kota Rawalpindi bersama keluarga suaminya. Lalu menyusul Alim Shah. Ia baru saja lulus dan sekolah hukum dan tinggal di Samanabad bersama rstrinya dan menjadi seorang pejabat di badan gas.

Perkawinanku tentu saja tidak mungkin dilangsungkan. Kami telah membebaskan sepupuku dari tali pertunangan. kemudian ia kawin dengan seorang sepupu yang sangat cantik dari pihak keluarga lainnya. Jadi, ayah dan saya sendiri yang tinggal dan sejak waktu inilah dimulai masa hidupku yang paling berharga dimana saya dapat ditemani lebih dekat rasanya dibandingkan dengan sebelumnya. Semua anaknya yang lain telah terurus dengan baik dan pikiran ayah sudah tenang. .lika datang waktunya untuk membuat perhitungan dihadapan Allah, beliau tidak akan disalahkan karena gagal melaksanakan tugasnya. Diantara kami terjalin ikatan yang erat dan sangat dalam dijalin dari kasih sayang keluarga serta keyakinan agama kami. Inspirasi dan penuntun kami adalah ayah kami.

Masih ada dua anggota keluarga yang belum saya sebutkan. Mereka datang setelah masa perpecahan tahun 1950. Setahun sebelum saya dilahirkan. Banyak orang yang kehilangan tempat tinggal dikedua belah pihak yang bersengketa dan ayahku, sesuai dengan tanggung jawabnya, memasang iklan di semua surat kabar bila ada keluarga Sayed yang mengalami musibah seperti itu agar datang. Tidak lama kemudian, pasangan ini tiba dari Karachi dan menjadi bagian dari keluarga kami. 'Paman', menjadi seorang 'saudara laki-laki' kehormatan dan ayah membantunya sehingga dapat menjalankan sebuah usaha dagang borongan. 'Bibi' membantu menjalankan tugas rumah tangga sesudah ibuku meninggal dunia dan beliau ganti mengurus saya.

Saya menyukai keluarga ini, mereka baik dan sopan dan perhatianku terisi dari kekosongan di rumah dengan kehadiran 2 anak mereka putera berusia 12 dan puteri 8 tahun. Bibi adalah seorang wanita yang baik hatinya, sangat berterima kasih karena mendapat naungan di atas kepalanya, tapi masih mengenang akan penderitaan-penderitaan yang dialami keluarganya sewaktu negara Pakistan didirikan.
‘Mengerikan, mengerikan. Saya melihat dengan mata kepalaku sendiri waktu kakakku dibunuh.... oh, kau dak tahu bagaimana menderitanya kami...' Secara bertahap pengalaman sedihnya itu memudar ketika melihat masa depan yang cerah sedang menunggu anak-anaknya. Puterinya dididik sama halnya terhadap puteranya,'la akan menjadi seorang dokter', kata Bibi bangga. 'Abas akan menjadi tentara'. lni jabatan-jabatan terhormat, lebih-lebih bagi seorang gadis.

Kecenderungan modern dalam pendidikan menimbulkan masalah. Apa yang dapat mereka lakukan'? Hanya ada beberapa bidang kerja yang terbuka bagi para wanita, beberapa diantaranya terutama jika tinggal di kota-kota besar akan mendapatkan tantangan dari cara-cara berpikir tradisional yang mau melihat gadis-gadis kawin dan berumah tangga secepat mungkin. 'Apakah anda juga berpikir begitu" kata Bibi : saya tersentak dari lamunanku. 'Mungkin', kataku. 'Oh tentu', kata Bibi. `Puteriku akan menyelesaikan pendidikannya sehingga memenuhi syarat untuk menjadi dokter. Bayangkan betapa bermanfaatnya bila ia memiliki kemampuan ini sesudah berkeluarga lalu anak-anaknya sakit'. Saya tidak memperdulikannya berceloteh seperti itu lebih dari 1 jam, seraya merentangkan kakiku. Saya hanya perlu memberikan komentar seadanya disana-sini agar percakapan kami tetap jalan. Baginya, hal ini merupakan hiburan; sedangkan bagiku mungkin dapat memikirkan hal-hal lain lagi. Paman dan Bibi telah banyak mengatasi kesulitanku dengan para pelayan, karena pada setiap rumah tangga ada beberapa hal yang perlu mendapat perhatian dimana menjaga harta kekayaan adalah tanggung jawab kami. Salima telah bekerja dengan kami sejak saya berusia 7 tahun. Ia adalah gadis desa pemalu berusia 14 tahun sewaktu pertama kali ditugaskan untuk menjagaku.Setelah makin dewasa ia dibantu oleh Sema yang juga berasal dan keluarga yang sama. Ada juga pembantu-pembantu lain yang diatur oleh Munshi atau Klerk dari kantornya yang terletak didepan pintu masuk bungalow. Ia bertugas mengurus pembelian barang, mengatur menu agar cccok dengan keperluannya, memesan perbekalan dan mengeposkan surat. Tamu-tarnu diterima dan dijarnu sebagaimana mestinya, tagihan-tagihan dan pertanggungjawaban atas pelaksanaan kerjanya diajukan setiap minggu. Petugas yang lebih rendah kedudukannya tapi penting fungsinya ialah chowkedar, si penjaga pintu gerbang. Apabila para tamu membunyikan bel pintu gerhang rnaka chowkedar berkewajiban menanyakan apa keperluannya dan jika melihat bahwa orang itu baik-baik diteruskannyu kepada munshi yang selanjutnya akan membawa mereka kepada keluarga yang diperlukan. Ada 4 tukang kebun. Dika kepalanya, mengawasi pembelian tanaman serta penggalian tanah untuk menanamnya dan mengatur pot¬-pot tanaman di halaman yang disinari matahari pada waktu musim dingin dan serambi yang terlindung pada musim panas. Tukang kebun kedua melaksanakan perintah Dika dan yang ketiga bertanggung jawab atas sumur – sumur agar air tersedia dengan cukup guna menyemprotkan ke kebun. Anak lelaki Dika memotong rumput dan mengatur segala sesuatunya tersusun rapi. Kami memiliki seorang koki pria beserta pembantunya- Sayaa tidak pernah ke dapur, saya tidak pernah diperkenankan rnasuk ke sana. Rahmat Bibi ialah pembantu yang mengolah susu, ia rnernbuatkan mentega segar tiap pagi dari susu kerbau rnilik kami. Lahraki membawa makanan ke meja sedangkan Sati membantunya. Mereka juga melakukan pekerjaan rumah tangga lainnya. Jadi tugas dan tanggung jawab terbagi-bagi dan kepentingan kami satu dengan lainnya saling ada ketergantungan. Upah-upah rnereka tidak tinggi karena sebagian besar dari para pembantu itu tinggal di dalam dan dijamin makanan serta pakaiannya. Pada waktu itu saya menilai bahwa rnereka tidak bekerja sekeras orang lain yang bekerja diluar. Tidak ada keinginan dalam hatiku untuk berlaku kasar terhadap mereka dan saya merasa girang karena Bibi pada setiap saat bila pcrlu menegor mereka juga tidak berteriak-teriak. Sekali saya mendengar ada pertengkaran dengan tukang cuci yang menghilangkan beberapa potong jubah yang indah. Saya selalu heran, bagaimana pakaian-¬pakaian kotor ini dalam waktu seminggu sudah kembali menjadi putih bersih, dilicinkan dengan seterika arang dan dikembalikan kepada kami dalam keadaan bersih rapih, padahal keluar dari rumah pencucian yang berlumpur dan hanya dilengkapi dengan sebua.h pompa tangan disampingnya guna menjalankan air atau mengairi saluran air bagi keperluan pencucian. Seorang dobi tidak pernah menjadi kaya tapi umumnya ia hidup iayak. Upahnya tidak ditenma dalam bentuk uang tunai tapi daiam bentuk gandum. Apa yang tidak dipakainya ditukarkan dengan barang-barang yang diperiukan di desa. Bukanlah suatu kehidupan yang jelek.

'Saya malah berharap jika saya sampai kehilangan semuanya. saya dapat hidup sebaik kehidupan si dobi itu', kata ayahku seraya memangku tangannya menandakan perasaan puasnya atas rumah serta tanahnya.
Ayah mempunyai teori-teori yang jelas rnengenai cara kerja dalam suatu tatacara hidup dan budaya seperti ditempat kami. "Tentu saja kami memiliki banyak pembantu yang bertanggung jawab atas beberapa orang lagi, namun mereka tidak memeriukan biaya yang banyak bagi ongkos makan maupun pakaiannya. Mereka membutuhkan kami seperti halnya kamipun membutuhkan mereka. Saya menantang setiap negara maju untuk dapat menemukan suatu sistem yang lebih baik untuk memberi makan dan menyiapkan lapangan kerja bagi golongan mereka yang lebih miskin'.

Saya mempunyai seorang guru, Razia, yang datang mengajar saya atas kesulitan-kesulitan yang ditemui dalam memahami pengetahuan tentang agama Islam, bahasa Urdu, sejarah India dan Pakistan, matematika, Persia dan dasar-dasar ilmu pengetahuan. Sebagai ganti bahasa Inggris saya mempelajari bahasa Urdu lanjutan. Razia merupakan seorang wanita yang baik, penuh perhatian, tinggi dan cantik. Sewaktu memasuki kamarku rasanya ia membawa hembusan angin segar dan saya berterima kasih karena dengan bantuannya saya menjadi tertarik pada dunia sekelilingku, mendengar berita-¬benta radio dan program-program agama serta menonton TV yang dibeli ayah sekembalinya kami dari Mekkah untuk melunakkan perasaan kecewaku waktu pulang. Pada suatu hari Razia berkata: 'Kini anda sudah siap untuk menghadapi ujian. Dalam waktu tidak lama lagi saya tidak akan datang untuk memberikan pelajaran bagimu'. Saya begitu girang menghadapi apa yang akan diujikan sampai-sampai tidak menyadari sepenuhnya betapa saya akan merasa kehilangan atas pelajaran-pelajaran kami. Saya lulus ujian dan sesudah itu sehari-hari hidup tanpa kegiatan. Ada seorang lain lagi muridnya Razia sehingga ia tidak dapat sering datang mengunjungiku. Namun, ayah selalu datang tiap malam dan beliau akan duduk membaca surat kabar dan membentahukan kepadaku berita hari itu baik mengenai perdagangan maupun tentang kejadian-kejadian di kota. Kadang-kadang kami berjalan-jalan. Pemah terpikir olehku bahwa daerah kami merupakan pusat daerah Punjab dan dengan sendirinya merupakan pusat Pakistan. Disamping kualitas binatang piaraan dan kehidupan industrinya yang bertumbuh. tempat ini juga terkenal sebagai pusat peristiwa romanesnya. Ada sebuah batu nisan dari suatu pasangan muda yang dipisahkan semasa hidupnya namun dipersatukan dalam masa kematiannya. Saya mendengar perincian ini mula-mula dari Samina lalu ayah membawa kami berziarah dan melihat batu pualam putih yang merupakan peringatan terhadap pesan kedua kekasih yang menyedihkan itu. Ceritanya mengenai Heer yang berarti cantik dan Ranjha yang telah hertunangan dengannya. Akhirnya raja mendengar tentang hubungan ini dan membatalkan perkawinannya. Tapi doli (kendaraan pengantin) membawanya kepada Ranjha dan kendaraan itu justru menjadi kereta jenazah bagi keduanya. Pamannya membubuhkan racun dalam minumannya waktu ia meninggalkan rumah. Dalam tradisi Romeo dan Juliet asli. Ranjha membunuh dirinya.

Ceritera-ceritera semacam ini menalari perasaan romantis kami. Lama kemudian sesudah mendengar ceritera ini saya membanding-bandingkan perasaan ayah terhadap ibuku. Perasaan ini bukanlah perasaan yang dibuat-buat dan dikendalikan oleh nafsu birahi namun merupakan cinta sepenuh hati yang mendorong pengorbanan dirinya bagi kekasihnya selama hidupnya.

-------------
tunggu kisah selanjutnya ..........
User avatar
Alibaba
Posts: 375
Joined: Mon May 21, 2007 11:22 pm
Location: di selatan
Contact:

Post by Alibaba »

Rainy, minta ijin untuk disebarkan terjemahannya.. boleh kan?
User avatar
rainy
Posts: 634
Joined: Thu Feb 08, 2007 1:28 pm
Location: makassar

Post by rainy »

Sangat boleh sekali ..... tapi tolong sebutkan sumbernya ada di FFI ini
User avatar
Alibaba
Posts: 375
Joined: Mon May 21, 2007 11:22 pm
Location: di selatan
Contact:

Post by Alibaba »

rainy wrote:Sangat boleh sekali ..... tapi tolong sebutkan sumbernya ada di FFI ini
Siiippp boss...
User avatar
rainy
Posts: 634
Joined: Thu Feb 08, 2007 1:28 pm
Location: makassar

Post by rainy »

BAB 5. Getirnya Kematian

Saya tidak senang mengingat-ingat akan apa yang terjadi, walaupun dalam kepahitan dan getirnya kenangan ini tersirat adanya penghiburan. Ayah kami yang begitu kuat fisiknya jatuh sakit. Kejadiannya dibulan Desember 1968, ketika hujan turun dengan lebatnya. cuaca dingin. Ayah terlalu lama bekerja di real estatenya di pedalaman dan ketika pulang keadaannya basah kuyup dan kedinginan. Malam itu beliau demam waktu akan masuk tidur. Keesokan paginya beliau masih juga berusaha sekuatnya ke kantor walaupun mukanya pucat dan berkeringat, untuk menjalankan perdagangannya, lalu kembali lagi kerumah. Malam harinya keadaanya memburuk dan waktu bernafas suaranya tidak enak didengar.

Dokter datang dan memberikan pengobatan. Begitu juga pemuka agama (mullah) mendoakannya. Demamnya hilang lalu Majid membawanya kembali bekerja. Tidak lama sesudah itu beliau pulang dalam keadaan pingsan dan susah bernafas. Keluarga dekat berkumpui mengelilinginya dan kami membulatkan niat dan kemauan kami membantu beliau berjuang melawan sakitnya yang kini sudah diketahui yaitu pnemonia. Seharusnya ayah masuk rumah sakit tapi beliau bersikeras untuk tinggal dirumah dan masih berusaha untuk terus bekerja dari kamar tidurnya. Selama 2 atau 3 hari beliau berjuang, kemudian datanglah perubahan yang kami takutkan akan terjadi. Beliau sedang mengalami kekalahan dalan perjuangannya dan kami tak berdaya menolongnya Beliau mulai memberi nasehat kepada kami, juga instruksi-instruksi tentang pembagian harta miliknya dan beliau menyerahkan akta kepada Safdar Shah yang mendapat kuasa dari ayah untuk maksud ini.

Walaupun keadaannya telah payah namun ayah tetap memikirkan diriku. Beliau memandangku sambil terengah¬-engah berkata: “Saya mewariskan bagimu harta yang banyak. Walaupun kau menggunakan 100 pelayan, engkau tidak akan menjadi beban bagi siapapun. Jagalah paman dan bibimu serta berikan kepada mereka apa yang dibutuhkannya”. Kami saling berpandangan dengan perasaan cemas. “Hal ini tidak akan terjadi”. Kami berseru sambil bertangis-tangisan. Beliau melepaskan diri dari rangkulan kami laksana air yang surut dari permukaan bumi dan tidak sanggup kembali lagi kecuali ada bantuan dari pengaruh matahari. Saya duduk dikursi roda disampingnya dan sambil memiringkan badan memandang beliau dengan bingung.

“Ayah jangan tinggalkan kami. Kami membutuhkanmu. Jika ayah pergi, saya ikut pergi”, tangisku tanpa menyadari apa yang kukatakan. Beliau membuka matanya dan dengan lemah menaruh tangannya diatas kepalaku :
“Keadaan ini adalah beban bagimu, tetapi sekali-kali jangan engkau bunuh diri. Janganlah lupa bahwa engkau merupakan milik keluarga Sayed, keluarga nabi Muhammad, engkau akan masuk surga, jadi jangan sekali-kali bunuh diri. karena bila engkau lakukan hal itu, engkau akan masuk neraka. Jangan hiraukan keluhan-keluhan seperti para istri tua tapi hiduplah dengan cara benar dan nanti kita semua akan berkumpul kembali bersama ibumu”. Sampai disini beliau mengangkat dirinya sedikit dan merangkul tanganku dengan gemetar. matanya memancarkan semacam cahaya yang aneh dan tetap seolah-olah mendapat suatu penglihatan. Sambil bersusah payah beliau bertutur:
“Satu hari kelak Tuhan akan menyembuhkan engkau. Gulshan. Berdoalah kepadaNya”.

Lalu beliau terkulai jatuh dengan punggungnya diatas bantal. nafasnya menjadi berat dan pelan. Matanya tertutup. Saya tetap duduk disana menangis dengan perasaan pahit.
“Bagaimana saya dapat mempunyai kekuatan iman jika ayah tidak bersamaku ?”. kataku sambil menjerit. Lalu Safdar Shah mulai menangis. “Jangan tinggalkan kami. Kami masih memerlukanmu. Engkau adalah ayah dan sekaligus ibu bagi kami”.

Saya memandang kearah kakakku. Ia seorang pedagang yang keras. Tidak kusadari bahwa ia mempunyai perasaan yang begitu lembut terhadap ayah yang telah membesarkannya serta menjaga kami melalui masa kanak-kanak dan remaja. Ayah membuka matanya. Beliau melakukan suatu usaha yang luar biasa untuk tetap bersama kami sesuai kemauannya.

“Jagalah adik perempuanmu”, katanya pada setiap anaknya dan satu demi satu bergantian mereka bersumpah untuk mematuhinya. Setelah itu kami berjaga-jaga disampingnya dan pada tanggal 28 Desember 1968 pukul 8 pagi, ketika beliau minum air, mengucapkan beberapa ayat suci Sura Ya Sin yang kami ikuti secara bersama lalu beliau menutup matanya untuk selama-lamanya.
Kawan-kawannya para Maulvi mengucapkan Sura Ya Sin:

“Dan ketika terompet berbunyi. mereka bangkit dari kuburnya dan bergegas berlari menuju ke Tuhannya. Mereka akan berseru: “Aduhai bagi kami!”, “Siapa yang telah membangkitkan kami dari tempat perhentian kami. Inilah yang dijanjikan Allah Yang Maha Pengasih: Para Rasul telah mengajarkan kebenaran”.” Dan dengan satu teriakan mereka berkumpul dihadapan kami. “Pada hari itu tidak ada jiwa yang akan menderita ketidakadilan sedikitpun. Engkau hanya akan menerima hadiah sesuai pahalamu. Pada hari itu penghuni surga tidak akan memikirkan hal yang lain kecuali kebahagiaannya. Bersama para istrmya, mereka akan berbaring dibawah pepohonan yang rindang diatas balai-balai lunak. Mereka memperoleh buah-buahan dan semua yang diinginkannya”.

Dengan berlinangan air mata kami mengucapkan bacaan tradisional ini dan percaya bahwa dengan demikian akan memudahkan perjalanan kematian ayah kami. Lalu Samina mencium wajahnya yang telah mati dan kami semua mengikutinya.
Selama beberapa jam kemudian almarhum menjadi milik anggota keluarga pria dan para tetangga yang telah terlatih dalam melaksanakan upacara kematian. Para pria dan para pelayan,membersihkan tubuhnya dan memakaikan selembar kain kafan putih khusus yang dulu dibawa almarhum sewaktu pulang dan naik haji. Pakaian itu terdiri atas sebuah kemeja panjang bersama 2 helai kain untuk dilingkarkan mengeliling pinggang dan melalui bahu. Mereka mengenakan sebuah sorban dikepalanya dan membungkusnya dengan kam putih, menempatkannya dalam sebuah peti yang penuh dengan tulisan-tulisan doa dan ayat-ayat suci Al Qur”an sekelilingnya. Peti ini dibiarkan terbuka selama 6 jam untuk memungkinkan para wanita dan keluarga datang memberikan penghormatan. Lalu peti tersebut ditempatkan diluar, dihalaman, sementara orang-orang yang berkabung berjalan mendekat dan lewat didekatnya dalam suatu aliran manusia yang tak kunjung habis
Tiap orang membungkuk dan mencium peti tersebut dan mengucapkan sebuah doa atau memberikan ciuman penghormatan dari jarak jauh.
Ayah adalah seorang yang terpandang dan dihormati, seorang guru agama, seorang pir yang memiliki murid-murid sendiri. demikian pula beliau adalah seorang tuan tanah serta pedagang terkemuka. Penguburan almarhum sore itu menjadi pusat perhatian masyarakat maupun keluarganya. Beribu-ribu orang berpartisipasi, termasuk keluarga, anggota masyarakat perdagangan, wakil keagamaan dan murid-muridnya. Penguburan ini merupakan penguburan seorang tokoh. Sebagai keluarga Sayed. kami mempunyai bagian khusus tersedia di pekuburan kota dan disitulah ayah dibaringkan dalam sebuah mouseleum ditempat mana istrinya dimakamkan. Hanya para pria yang pergi ke kuburan. Maulvi rnemimpin pembacaan doa dan setiap orang sujud sambil menaikkan doanya. Kemudian diturunkan ke liang lahat dan orang-orang yang berkabung menaburkan tanah diatasnya. Sebuah chador atau tangkai-tangkai bungan yang diikat bersama – sama ditaruh diatasnya.

Bagiku saya sudah beku dengan kedukaan, tidak bergerak-gerak. Salima dan Sema sibuk masuk keluar diawasi bibi untuk memandikan saya dan menukarkan pakaianku, membawakan bagiku susu panas seraya mengurut-urut kepalaku untuk mengurangi rasa sakit. Samar-samar saya rnenyadari bahwa ada penjaga ditempatkan diluar pintu. “Tidak, ia tidak mau menemui siapa-siapa. Pada keadaan sekarang ini sebaiknya ia dibiarkan seorang diri”. Bahkan anggota keluargapun tidak diijinkan masuk kekamarku.

Rupanya saya tertidur, karena begitu sadar jam saya menunjukkan pukul 3 pagi. Saya terbaring dengan tidak bergerak beberapa lama, mendengarkan bunyi-bunyi gemericik pelan, menandakan bahwa para pelayan telah bangun bersiap-siap untuk hari pagi. Kami sedang mengalarni kejadian yang paling buruk dalam hidup kami, namun kehidupan sehari-hari harus tetap beriangsung. “Merupakan hal yang salah, dimana saya seorang yang lumpuh, tidak berguna dibiarkan hidup sedangkan beliau meninggal”, pikirku. “Tuhan, saya tidak dapat hidup seperti ini yang mungkin masih sampai 30 tahun lagi. Tolonglah bawa saya kepada ayahku. Kenapa Tuhan begitu jauh dan berdiam diri saja?

Mungkin nenek moyangku telah melakukan dosa besar. Mungkin Tuhan ingin melihat lebih banyak kesabaran dalam diriku. Tetapi kesabaran telah kumiliki, namun saya masih saja sakit. Jadi, bagaimana? Menggantung diriku dengan sebelah tangan saja tidak mungkin melakukan hal ini. Racun? Dimana saya dapat memperolehnya? Jika saja saya mendapatkan sebuah pisau ataupun gunting, barang-barang ini disimpan terkunci. Sewaktu pikiran ini datang terdengar suatu suara lain menggantikannya: “Engkau tidak akan pernah bertemu dengan ayah atau ibumu di sorga jika engkau membunuh dirimu”. Sebagai seorang Sayed, secara otcrmatis saya mempunyai hak untuk masuk sorga walaupun saya gagal menunaikan kelima rukun Islam, tetapi membunuh diri dapat membatalkan hak ini.

Mungkin sesudah ini saya tidak pernah disembuhkan. Perasaanku rasanya seperti diremas-remas, air mata mengalir tanpa terbendung lagi. Pada waktu itulah, dalarn keadaanku yang tidak mempunyai harapan untuk mendapatkan pertolongan apapun saya mulai berbicara kepada Tuhan.

Benar-benar berbicara kepadaNya, tidak sebagaimana yang selama saya lakukan dengan menggunakan serangkaian doa untuk mendekati Dia melalui suatu jalan keliling yang jauh. Tergerak oleh suatu kehampaan yang luar biasa menyelimuti diriku didalam, saya menaikkan doaku seakan-akan bercakap¬-cakap dengan seseorang yang benar-benar mengetahui keadaan dan keperluanku.
Saya mau mati , Kataku. “Saya tidak lagi mau hidup dan itulah akhir dari segalanya”. Saya tidak dapat menjelaskannya, tapi saya tahu bahwa suaraku didengar. Rasa-rasanya seakan¬-akan suatu kerudung yang selama ini menutupi diriku dengan sumber – sumber kedamaian telah diangkat. Sambil melilitkan syal lebih erat karena kedinginan, saya terbicara lebih tegas lagi dalam ungkapan doaku. “Dosa besar apakah yang telah kulakukan sehingga Engkau membuatku hidup semacam ini?” isakku. “Tidak lama setelah lahir Engkau mengambil ibuku pergi dan kemuadan Engkau membuatku lumpuh dan kini Engkau mengambil ayahky pula. Katakanlah, mengapa Engkau menghukumku dengan begitu berat?”. Suasana begitu hening dan terdapat kesunyian yang mendalam sehingga aku dapat mendengarkan debaran jantungku.
“Aku tidak mengijinkan engkau mati, aku akan memeliharamu agar hidup”. Terdengar suara yang begitu pelan dan lembut laksana hembusan angin bertiup melewati rasanya. Saya tahu ada suata yang berbicara menggunakan bahasaku dan datangnya begitu bebas lepas, suatu cara yang bebas untuk mendekati Tuhan Yang Maha Tinggi, yang sampai saat itu rasanva Dia Tidak rnemberikan suatu pertanda bahwa Dia malah tahu bahwa saya ini hidup. Dengan ragu saya bertanya: “Untuk maksud apa saya dibiarkan hidup? Saya seorang yang lumpuh. Waktu ayahku masih hidup saya dapat berbagi rasa mengenai segala sesuatu dengannya. Sekarang, setiap menit dari hidupku rasanya seperti seabad. Engkau telah membawa ayahku pergi dan meninggalkan saya tanpa harapan, tidak ada gunanya lagi hidup ini”. Suara itu terdengar lagi, bersemangat namun pelan. “Siapa yang mencelikkan mata orang buta dan siapa yang menyembuhkan orang sakit serta siapakah yang mentahirkan orang kusta dan siapa yang membangkitkan orang mati? Akulah Yesus (Isa) anak Maryam. Bacalah tentang Aku dalam Al Qur’an Sura Maryam”.

Saya tidak tahu berapa lama percakapan ini berlangsung. 5 menit? Setengah jam? Tiba-tiba azzan pagi terdengar dari masjid dan saya membuka mataku. Semuanya terlihat biasa saja dikamarku. Kenapa tidak ada orang yang datang membawakan air bagiku untuk membasuh diri. Kelihatannya saya diberi lowongan waktu damai dan sendirian, khusus bagi pertemuan yang aneh ini. Pada hari itu beberapa waktu kemudian, hampir saya dapat meyakinkan diriku bahwa saya telah bermimpi, yaitu ketika bersama-sama dengan kakak-¬kakak perempuanku dan anggota keluarga lainnva kami berziarah ke kuburan. Disana semuanya begitu tenang dan damai serta bunga-bunga segar yang telah diletakkan diatas gundukan tanah berwarna coklat. Namun dengan perasaan ngeri saya memandang kesana. Ayahku yang semasa hidupnya tidak akan mengijinkan sebutir abupun menyentuhnya kini telah dikuburkan dibawah benda kotor itu. Keadaan semacam ini begitu mengerikan untuk direnungkan.

Ketika kembali dari kunjungan yang menyedihkan ini, kami mulai masuk kemasa 40 hari perkabungan. Selama masa ini Safdar dan Alim Shah akan mengabaikan pekerjaannya dan pada waktu itu orang-orang berdatangan baik dari jauh maupun dari dekat, yang penting atau sederhana mengunjungi kami sambil memberikan penghormatan bagi kenangan ayah kami. Selama itu para tetangga akan menyediakan makanan bagi kami. Tidak diperbolehkan menyalakan api untuk memasak dalam rumah kami. Diharapkan bahwa kami dapat mengguna¬kan seluruh waktu itu untuk mengenangkan almarhum serta mempercakapkan tentang beliau dengan semua tamu yang datang. Para pemimpin duduk di lantai menunjukkan rasa hormatnya dan membicarakan hal-hal yang baik yang telah dilakukan almarhum dan dengan demikian menghormati kenangannya serta menghibur keluarga. Hal ini merupakan suatu kebiasaan yang baik, yang memungkinkan kesedihan tersalurkan sebaik-baiknya dan membawa bantuan dari masyarakat bagi keluarga yang kehilangan orang yang dikasihinya.

Waktu kami kembali dari kuburan dengan suatu keadaan tertekan yang mendalam. Terjadi sesuatu yang aneh. Salah seorang pembantu wanita tiba-tiba berteriak seraya nenunjuk-¬nunjuk kearah sebuah kursi. “Saya melihat beliau sedang duduk disana”, teriaknya. Tidak ada seorangpun yang kaget mendengarnya. Perasaan bahwa almarhum masih hadir, tidak dengan serta merta meninggaikan kami dan dalam hal semacam ini kami masih belum percaya benar bahwa beliau telah pergi. Rasanya beliau seakan-akan baru saja melangkah keluar memberikan beberapa perintah kepada tukang kebun dan sesudah itu akan masuk kembali. Saya memandang pembantu wanita tadi serta berpikir dengan heran, kenapa justru dia yang melihat ayahku. Bibi masuk kekamar tidurku dan duduk menemaniku sebentar, memijit kepalaku untuk mengurangi rasa sakit kepala yang disebabkan karena banyak menangis. “Pamanmu dan saya akan menjagamu sebagaimana layaknya ayah dan ibumu. Pandanglah kami seperti itu dan cobalah menerima kehilangan ini sebagai suatu takdir dari Tuhan. Dia telah membawa ayahmu kesurga”.

Ketika bibi telah pergi untuk melakukan suatu pekerjaan, saya teringat akan kejadian tadi pagi, saya meminta Al Qur’an bahasa Arab dan mulai membaca Sura Maryam. Namun sulit bagiku membacanya dalam bahasa Arab untuk mengerti sepenuhnya walaupun irama pengucapan ayat-ayatnya yang mengalun memudahkan untuk dihapal. Pada saat itu timbul suatu pemikiran yang berani dibenakku. Kenapa saya tidak membacanya dalam bahasaku sendiri? Saya menulis sebuah nota untuk Salima dan kuberikan kepadanya ketika ia datang untuk mengganti pakaianku. “olong berikan kepada si pembawa, terjemahan Ai Qur’an yang terbaik dalam bahasa Urdu”, demikian isi notaku/ “Bawa nota ini ke toko buku dan tanyakan tentang terjemahan Al Qur’an bahasa Urdu terbitan perusahaan Taj”. kataku. “Mintalah uang kepada bibi. Dengan hormat Salima mngangguk dan berjalan keluar. Dua jam kemudian ia muncul kembali dengan buku terbungkus surat kabar. “Bagus”, kataku. “Sekarang pergilah dan buatkan sampul untuk buku itu”. Malam itu, ketika seisi rumah te!ah sunyi sepi, saya membuka sampui sutra hijau serta mengeluarkan Al Qur’an bahasa Urdu terurai. Saya memegang kitab itu sebentar ditanganku begitu inginnya saya mendengar kembali suara itu yang memberi kepastian hahwa doaku didengar dan bahwa ada jalan kepada kesembuhan dan pengharapan. Secara naluri saya ketahui bahwa cara untuk dapat mendengarkannya lagi yaitu dengan mematuhi tatacara membacanya. Karena itu dengan penuh rasa ingin tahu, tanpa terbetik sedikitpun tentang pemikiran bahwa betapa pentingnya langkah yang kuambil ini, saya mengucapkan : “Malaikat berkata kepada Maryam : “Allah menyampaikan kepadamu sukacita dalam suatu firman dari padanya. Namanya ialah Almasih, Isa anak Maryam. Budinya tinggi baik di dunia maupun di akhirat. Dan Dia akan disenangi Allah. Dia akan mengajar arang waktu di tempat pembuaiannya serta selama masa mudanya akan memimpin kepada suatu kehidupan yang benar”.

Pada han ke 3 setelah ayah meninggal Safdar Shah datang sebagai kepala keluarga. Salah satu sorban ayah dikenakan di kepalanya dalam sebuah upacara oleh dua orang paman dan sejak itu ia bergelar pir dan Shah dalam keluarga kami. Ia diharapkan dapat menjawab pertanyaan keagamaan. Ia akan menjadi seorang pir yang baik. Beberapa arang yang menyandang gelar itu, tidak berpendidikan dan percaya akan tahyul. Selama 40 hari rumah perkabungan penuh dengan tetangga, pengunjung dan murid-murid serta para istri mereka. Mereka datang melayani kami dengan baik, membersihkan rumah dan menjamu para pengunjung iainnya dengan makanan. Mereka juga membawa pakaian dan dengan rasa hormat, kami dharuskan untuk mengenakannya. “Pakaian-¬pakaran ini adalah pakaian kematian, bukan kehidupan. Hal ini selalu mengingatkan saya akan kematiannya”, kata Anis Bibi samhil menank-narik baju shalvar kameezenya dengan perasaan tidak enak. Masa perkabungan diakhiri dengan 2 kegiatan. Kubur disemen dan sebuah batu nisan ditegakkan disana. Tiap orang diundang keperjamuan tradisional mengakhiri perkabungan itu yang dikenal dengan nama “chalisvanh”. Sebuah tenda besar didirikan dan sebuah toko setempat diserahi mengurus makanan. Mereka menempatkan tungku-tungku masak dan mengisi 150 periuk besar dengan beras. “Pilau” kacang ercis dicampur daging ayam dihidangkan bersama nasi manis dan setiap orang duduk diatas “duree” ditanah dan makan dari piring-piring baja memakai tangannya. Saya tidak menghadiri upacara ini karena saya benci menjadi pusat perhatian dan dikasihani karena keadaanku yang cacat, namun saya mendengarkan segala sesuatunya. Sekarang Safdar Shah harus kembali ke Lahore, tapi sebelumnya ia datang menjengukku dan duduk dikursi yang selalu dipakai ayah, wajahnya kelihatan cemas. Ia memegang dokumen yang berkaitan dengan hartaku yang diwariskan ayah. Saya tahu apa yang hendak dikatakannya dan saya siap dengan jawaban. Ia memulai. ”Adikku yang kekasih, saya mau mengajakmu untuk datang dan tinggai bersama kami tapi ternyata paman dan bibi ada disini menjagamu. Sebagaimana kau ketahui ayah mewariskan bagimu bagian terbesar dan hartanya. Tentu saja saya tidak berkeberatan mengenai hal ini dari segi apapun karena ayah begitu perhatian dengan keadaanmu dan beliau khusus memikirkan untuk kesenangan serta kebaikanmu. Tapi karena engkau ada!ah seorang wanita yang kaya engkau boleh memilih tinggal dimanapun yang engkau inginkan, termasuk Lahore”. "Terima kasih kakakku, tapi saya tidak akan meninggalkan rumah tempat saya dibesarkan ini, saya tidak mau ke Lahore” Kakakku memandangku dengan teliti. “Apakah cukup baik bagimu untuk tetap disini mengenai-ngenang?”. “Dapat juga saya mengenangkannya di Lahore, tapi di sini saya sudah terbiasa dengan segala sesuatu”, kataku. Saya tidak menambahkan alasan lainnya bahwa hanya di sini, di dalam suasana tenang dan sendiri saya dapat meneruskan usaha pencarianku dalam Al Qur’an tentang Isa, Nabi dan Penyembuh itu. “Baiklah, jika demikian yang engkau rasakan, jadilah”, kata Safdar Shah. Rasanya ia telihat lega. “Saya ira sudah tiba waktunya bagi kita untuk memenuhi wasiat ayah mengenai pengelolaan keuangan”. Diatur bahwa Safdar Shah yang menyimpan uang di bank di Lahore darimana saya dapat mengambilnya. Sebagai kepala keluarga saya akan menandatangani cek terhadap Muslim Commercial Bank tiap bulan untuk biaya hidup kami. Uang akan kuserahkan kepada paman untuk mengelola rumah tangga. Kakakku Safdar Shah akan mengunjungi kami 2 kali dalam sebulan guna memeriksa rekening.

“Saya tahu bahwa segala sesuatu akan beres, kata Safdar Shah. Ayah kita mewariskan banyak harta bagi keleluasaanmu selama beliau masih hidup. Jadi hal ini diurus sampai kakakky merasa puas dan kemudian meninggalkan kami. Mereka pergi satu demi satu meninggalkan saya menghadapi suatu keadaan yang suram tanpa adanya teman atau sahabat dekat bagiku untuk berbagi kesunyianku walaupun saya bukannya tidak ditemani.
Begitu kakakku pergi, bibi datang ke kamarku : “ Engkau sangat beruntung memiliki banyak harta sebagai hakmu”, katanya. “Waktu saya seumurmu, orang – orang berfikir bahwa tidak pantas bagi seorang wanita untuk mengetahui banyak hal mengenai perdagangan. tapi ayahmu telah memperlakukanmu sama halnya seperti terhadap anak lelakinya.

la keluar lagi dan begitu kesunyian menyelimutiku, saya membuka Al Qur’an bahasa Urdu dan membaca kembali bagian dari Sura Imran yang kini telah menjadi pusat perhatianku yang sungguh-sungguh : “ Dengan kehendak A1¬lah saya mencelikkan mata orang buta, menyembuhkan penyakit kusta dan membangkitkan orang mati”.
Ada begitu banyak hal yang tidak kumengerti. Banyak ahli yang pandai mencoba memberi tafsiran mereka tentang Nabi Isa (Yesus) sebagaimana yang difirmankan dalam Sura Imran ini : yaitu seorang makhluk yang dijadikan dari debu seperti nabi Adam, namun seorang yang dengan Kuasa Allah mengadakan semua mujizat ini. Saya tidak sangsi sedikitpun bahwa nabi ini penting, tapi siapakah nabi ini yang mengetahui tentang kebutuhanku dan dapat berhicara kepadaku dari sorga seolah-olah Dia hidup?

Saya telah kehilangan sahabatku yang sangat kucintai dan dihadapanku terbentang suatu kehidupan yang hampa. Namun. sebuah benih telah ditanam dan tumbuh di dalam hatiku. untuk mencari dan menimbulkan harapan baru. Saya merasa yakin bahwa suatu hari kelak saya akan menemukan rahaaia tentang nabi yang misterius ini yang terselubung didalam halaman-halaman Al Qur’an yang suci.
User avatar
Alibaba
Posts: 375
Joined: Mon May 21, 2007 11:22 pm
Location: di selatan
Contact:

Post by Alibaba »

Wah, udah mulai seru nih rain...

ditunggu kelanjutannya yah..

Thx very much, Rainy...
User avatar
rainy
Posts: 634
Joined: Thu Feb 08, 2007 1:28 pm
Location: makassar

Post by rainy »

BAB 6. MOBIL AYAH

Setelah kematian ayah, mobilnya : Mercedez Benz berwarna biru diparkir di garasi, dibungkus dengan kain hitam, menjadi peringatan bagi kami terhadap seseorang yang telah mengisi kehidupan kami dengan kebahagiaan yang kini telah pergi laksana matahari yang bersinar dari langit telah meninggalkan kami menjadi sejuk dan kedinginan. Mobil tersebut menandakan bahwa pemiliknya adalah seorang yang kaya. Keberangkatan ayah tiap pagi dengan mobil ini untuk bekerja telah merupakan bagian dari tatacara hidup kami. Mobilnya sendiri telah cukup bagus, namun hadirnya ayah di dalamnya menambahkan keagungan tersendiri waktu beliau duduk di sebelah supirnya, Majid yang mengenakan ikat kepalanya seakan-akan mengatakan betapa bangga perasaannya mengantar seorang majikan seperti itu.

Kami anak-anaknya juga merasa bangga ketika kami dibawa kemana-mana dengan mobil oleh ayah. Putera-puteranya kesekolah atau masjid bersamanya dan saya pergi bersama ayah sewaktu beliau mencari-cari pengobatan untuk penyakitku. Kadang-kadang beliau meluangkan waktu mengajukan perjalanan melihat-lihat pemandangan ketika saya dibawanya dari kamar yang sunyi keluar ke jalanan menuju Lahore mengunjungi sanak keluarga kami.

Kini, mobilnva diam tidak bergerak-gerak. Tidak ada seorangpun yang mau mengendarainya termasuk kakakku Safdar Shah. Secara teratur Majid membuka tutupnya, membersihkanya juga perlengkapannya yang terbuat dari bahan chrome sampai semuanya menjadi mengkilap laksana kaca. Ia menggosok dashboard yang terbuat dari kayu jati dan melapiskan lilin pada alas tempat duduk dari kulit sehingga terpancar bau kemewahan. Juga ia membersihkan mesin serta menaruh gemuk pada setiap bagian yang bergerak, memasang dongkrak dibawahnya sedemikian rupa sehingga mobil itu tidak bertumpu lagi diatas roda-rodanya. Sambil bekerja Majid berbicara pelan seakan-akan ditujukan ke mobil itu. Para pelayan wanita melaporkannya padaku sambil cekikikan “Nona perlu mendengarkan si Majid. Ia kurang waras kepada mobil ia berkata : “Engkau tidak mati”. Saya menegur mereka: “Tenanglahjanganlah menertawakan hal-hal semacam itu”.

Perasaanku tidak enak. Jangan-jangan ayah dapat mendengar, lalu beliau dapat muncul dari bayang-bayang sekitar bungalow seperti keremangan senja menyusup masuk dan memberi perintah agar mobilnya disiapkan. Kemudian mengendarainya seolah-olah tidak ada apa-apa yang telah terjadi. Seakan-akan membenarkan kemungkinan ini, tiba-tiba seorang pelayan wanita datang berlari-lari kepadaku menceriterakan bahwa ia melihat tuan berjalan didalam rumah. “Apakah beliau berbicara kepadamu ?”, tanyaku. Ia menggeleng. “Tidak bibi-Ji. beliau tidak memandang kepada saya tapi langsung melewati pintu itu. Ketika saya melihat kedalamnya tidak ada orang, kamar itu kosong,"Saya tidak memarahinya karena telah berkhayal berlebih-lebihan, tetapi merasa heran kenapa justru bukan saya yang berkesempatan melihat wajah yang sangat kucintai itu. Namun mobil itu merupakan simbol dan status diriku yang tidak mempunyai arti lagi. Apakah mobil itu harus tetap ditempatkan di dalam Garasi selamanya, merupakan gema hari-hari yang telah berlalu apakah saya akan tinggal disini tanpa memiliki kemampuan, hidup dalam kenang-kenangan sepanjang sisa umur hidupku?

Kakak-kakakku telah menjalani kehidupannya masing-masing dan walaupun mereka setia memenuhi perintah ayah, saya tidak mau memiliki perasaan bahwa saya menjadi beban dan kekuatiran bagi mereka. Kesuramanku terlihat oleh kakak-kakak perempuanku. Pada suatu hari Samina menanyakan hal ini padaku. “Adikku, apa yang merisaukan pikiranmu dan membuatmu begitu sedih?” Ketika kuceriterakan kepadanya ia berkata : “Kau tidak pernah menjadi beban bagi kami. Kami sangat mencintaimu”. Jadi kalau datang suasana kelam seperti itu saya mencoba sedapat mungkin menghibur diriku. “Lihat Gulshan, engkau sangat beruntung mempunyai keluarga seperti ini. Dapat saja kau miskin seperti halnya salah seorang pembantu kita. Kau dapat saja mempunyai seorang ayah yang tidak mencintaimu begitu pula kakak-kakakmu yang tidak mempedulikanmu. Engkau cukup terpelajar, mempunyai atap tempat bernaung dan ayah telah mengatur sehingga semua kebutuhanmu terpenuhi. Sekarang manfaatkanlah situasimu sebaik-baiknya. Kenangkanlah hari-hari sewaktu di Mekkah ketika engkau begitu dekat dengan Allah dan NabiNya. Ingatlah kata-kata ayah bahwa Allah akan menyembuhkan engkau dan jika itu belum iagi cukup bagimu, ingatlah tentang suara Yang engkau dengar dalam kamar itu yang memberitahukan kepadamu tentang nabi lsa si penyembuh itu. Ketika kupertimbangkan semuanya ini, telah cukup rasanya kekuatan untuk mnenarik saya keluar dari keputusasaan. Setiap hari saya melatih diri mensyukuri berkat-berkat bagiku, melepaskan beban yang menindih satu demi satu sehingga rohku dapat bangkit. Namun dibawahnya mengalir ketakutan yang sudah berakar, yaitu mungkin saya tidak akan pernah dapat disembuhkan.

Saya melaksanakan sembahyangku, malah lebih tekun lagi dibandingkan sebelum mi. Hari-hari saya lalui dengan suatu pola hidup yang tetap, diatur dengan 5 waktu sembahyang. Saya bangun jam 3 setiap pagi dan mempersiapkan diri untuk Fajr qe namaz, sembahyang subuh, lalu membaca Al Qur’an bahasa Arab sampai tiba waktu sarapan yang saya lakukan di dalam kamar. Sesudah sarapan Salima dan Sema akan mengganti pakaianku lalu saya mengisi waktuku dengan membaca buku agama atau surat kabar, mendengar radio atau menulis surat untuk kakak-kakakku dan setelah itu makan siang. Menyusul waktu istirahat lalu sembahyang sore, Zohar qe namaz, sembahyang lohor. Waktu anak-anak bibi pulang dari sekolah, saya dibawa ke halaman dengan kursi rodaku untuk melihat mereka bermain-main. 2 jam menjelang senja, tibalah waktu Azar qe namaz, sembahyang azar, lalu kira-kira 2 jam sesudah senja Magrab qe namaz, sembahyang magrih, senja hari. Akhirnya tibalah sembahyang malam dimana banyak hal-hal baik didoakan yaitu Isha ye namas.

Para wanita tidak diharuskan ke masjid. Malahan kami melaksanakan ibadah sembahyang kami dengar tenang d! rumah. Lebih baik saya tidak makan daripada saya menghentikan permohonan doa walaupun ibadah semhahyang, ini saya lakukan tanpa sepenuhnya menyadari apa yang saya katakan. Pola hidup ini telah merupakan suatu keterkaitan dengan ayahku, suatu pertanda bahwa saya berpegang teguh pada iman kami. Beliau telah mengajarkan kepadaku bahwa jika saya setia saya akan bertemu dengannya disorga, dimana saya akan memiliki hidup baru. Semua wanita di sorga akan menjadi muda dan cantik, begitulah ajaran yang kami terima. Namun, nun jauh didalam relung-relung hatiku terdapat ketakutan yang lebih kelam dibawahnya dan sulit bagiku untuk berani menentangnya apalagi untuk dapat mengungkapkan kepada seseorang. Tentunya Allah murka kepadaku dan karena ituiah la mengambil ayahku. Timbul ketakutan dalam diriku kepada Allah yang kami sembah ini. Ia tersembunyi dariku di belakang sebuah tirai kegelapan dan tidak dikenal. Tidak ada tanda dari padaNya yang dapat saya lihat dipermukaan kehidupan ini. Dalam banyak hal, rumahku rasanya sudah merupakan sebuah surga diwaktu itu. Letaknya diatas tanah yang hijau, subur dialiri oleh 5 sungai : Jhelum, Ravi, Indus, Chenab dengan bendungannya yang baru dan Satlaj serta kota kami merupakan suatu sumber air pendukung bagi kota Lahore. Bagiku tanah ini merupakan tempat bernaung dari dunia luas, penuh dengan mata-mata yarg menatap juga pertanyaan- ¬pertanyaan yang memalukan tentang ketidakmampuanku. Tempat inipun merupakan tempat istirahat darii suatu dunia yang penuh dengan kecelakaan, pembunuhan, ke dalam dunia mana saya tidak pernah akan dapat kawin atau mencari nafkah.
Sambil mendengarkan siaran berita bahasa Urdu dari program BBC London, dari surat kabar maupun TV, saya mendengar tentang dunia diluar sana yang penuh dengan kesukaran dan dalam keadaan seperti ini betapa saya merindukan agar ayah ada bersama-sama sehingga saya dapat membicarakan dengannya tentang apa yang saya lihat atau dengar. Begitu banyak hal yang tidak dapat saya pahami sepenuhnya dan saya telah kehilangan seseorang kepada siapa dapat memperoleh penjelasan dan pengarahan agar saya dapai membentuk pendapat-pendapatku.

Tentu saja masih banyak percakapan yang berlangsung dirumah. Dengan paman, saya membicarakan tentang pengelolaan rumah tangga dan perdagangan. Dengan bibi, saya berbicara tentang anak-anaknya. Para pembantu, cuaca, bunga-bunga dihalaman, perkawinan dan penguburan di lingkungan keluarga serta teman-teman. Saya berbicara dengan kakak-kakak perempuanku tentang anak-anaknya serta desas-desus pribadi dari hidup berkeluarga dan sesekali dunia secara umum.

Begitu banyak kesulitan terjadi dibagan dunia yang lain. Disini, di Pakistan kita merasa damai. Negeri ini adalah tanah suci, demikianlah pendapat mereka mengenai situasi dunia. Di samping semuanya, secara teratur kulakukan ialah pembicaraan dengan para pembantu, Munshi, ketika ia datang kepintu kamarku yang setengah terbuka sekali setiap bulan sambil menyampaikan laporan tentang pembiayaan yang dilaksanakan dan disimpannya dengan sangat hati-hati. Paman yang mendesakku untuk menjalani prosedur ini. Uang adalah benda yang licin dan ada banyak lobang yang dapat menyebabkannya lolos dalam rumah tangga kami. Beliau tidak mau dituduh sebagai orang yang tidak mau bertanggung jawab.

Secara khusus saya berbicara dengan pembantu wanitaku yang telah begitu lama bersama-sama denganku dan sangat mencintaiku sebagaimana juga perasaanku terhadap mereka. Walaupun demikian mereka tidak menyadari tentang perubahan yang sangat rahasia yang terjadi dalam diriku selama tiga tahun ini sesudah ayah meninggal ketika saya mulai menguji tentang pendapat-pendapat yang sampai saat ini selalu diterima saja tanpa bertanya-tanya. Dimalam hari sesudah anak-anak tidur serta paman dan bibi telah beristirahat dikamarnya, ketika rumah telah menjadi sunyi dan lengang sesudah bunyi azzan berakhir, pada saat-saat seperti itulah, saya cadangkan untuk membaca terjemahan Al Qur’an dalam bahasa Urdu. Bagian-bagian yang saya cari ialah semua yang ada sangkut-pautnya dengan Nabi Isa (Yesus) namun yang kutemui malah membingungkan. Jika Dia seorang penyembuh yang begitu berkuasa, mengapa hanya begitu sedikit yang diceritakan tentang Dia dalam Al Qur’an?

Pada suatu hari saya bertanya, “Bibi, apakah bibi mengetahui sesuatu tentang nabi Isa itu? Bibi memegang ujung syalnya dan menaruhnya melewati pundaknya. Dengan tegas ia berkata seakan-akan mendeklamasikan kata-kata dari suatu pelajaran yang dipelajarinya dengan baik : “Ia adalah satu-satunya nabi dalam Al Qur’an suci yang mencelikkan mata orang buta serta membangkitkan orang mati dan Ia akan datang lagi. Tapi saya tidak tahu di dalam Sura mana hal ini ditulis”. Waktu saya menunjukkan Qur’an bahasa Urdu saya kepadanya, beliau menampik : “Kau seorang terpelajar. Kau dapat membacanya. Tapi kami akan tetap berpegang pada pendapat kami sebagaimana dianjurkan Nabi Muhammad kepada kami”, katanya. Dari sini saya melihat bahwa sebenarnya beliau tidak mau membicarakan tentang hal ini tapi tentunya beliau telah menyebarkan ceritera ini kepada anggota keluarga yang lain sebab Safdar Shah menanyakan kepadaku tentang hal ini dengan satu cara yang bijaksana. Dua kali sebulan dia datang dan tingga! sehari dua untuk mengadakan pemeriksaan terhadap hal-hal pengelolaan rumah serta menjengukku untuk mengetahui bagaimana keadaanku. Kakak perempuanku Anis, tiap bulan berkunjung dan Samina sesering mungkin datang dari Rawalpindi dan akan tinggal beberapa hari lamanya. Tidak ada seorang adik yang mendapai perhatian sedemikian besar tetapi tetap merasa kesepian. Safdar Shah mengambil A1 Qur’an berbahasa Urdu dan berkata “Saya merasa gembira karena kau tetap setia dengan agamamu. Gulshan. Apakah kau tidak lagi membacanya dalam bahasa Arab sebagaimana diajarkan ayah kepadamu?”. “Tidak, kakakku saya membaca kedua-duanya secara rutin. Bahasa Arab saya baca dipagi hari dan Urdu dimalam hari. Saya ingin dapat lebih mengerti artinya". la senang mendengar penjelasanku ini. “Bagus, cukup baik bagimu untuk membaca kedua-duanya, tapi jangan sampai kau lupa sehingga tidak lagi membaca yang ditulis dalam bahasa Arab”. Lalu ia meninggalkanku dengan kesan bahwa saya semakin dalam meyakini iman Islam.
“Dengan kehendak Allah saya mencelikkan mata orang buta, menyembuhkan orang sakit kusta dan rnembangkitkan orang mati”. Telah bertahun-tahun lamanya saya membaca Al Qur’an suci dengan setia dan tekun serta bersembahyang dengan teratur, namun lama-kelamaan saya merasa kehilangan akan semua harapan bahwa keadaan saya akan berubah.

Kini bagaimanapun saya mulai percaya mengenai apa yang tertulis mengenai Nabi Isa benar-benar dapat melakukan mujizat. Ia hidup dan la dapat menyembuhkan. “Oh Isa anak Maryam, dalam Al Qur’an suci difirmankan bahwa Engkau telah membangkitkan orang mati dan menyembuhkan orang kusta serta melakukan mujizat-mujizat. Karena itu sembuhkan juga saya, sambil memanjatkan doa ini harapanku menjadi makin kuat. Aneh rasanya selama bertahun-tahun saya melakukan sembahyang, belum pernah saya merasa yakin bahwa saya dapat disembuhkan. Tasbih yang saya bawa dari menunaikan ibadah haji saya ambil dan mengucapkan Bismillah sesudah setiap doa saya menambahkan “Oh Isa, anak Maryam sembuhkanlah saya”. Berangsur-angsur cara berdoaku berubah sampai saya berulang kali berdoa antara waktu-waktu sembahyang dan pada setiap biji tasbih. “Oh Isa anak Maryam sembuhkanlah saya”. Semakin banyak saya berdoa, semakin dekat rasanya saya ditarik kearah pribadi bayangan yang urutannya nomor 2 dalam Al Qur’an dan memiliki kuasa dimana nabi Muhammad sendiri tidak memilikinya. Dimanakah ada tersurat bahwa nabi lain menyembuhkan orang sakitdan membangkitkan orang mati? Jika saja saya dapat membicarakannya dengan seseorang, keluhku, namun tidak seorangpun yang ada. Saya terus berdoa menurut cara ini kepada Nabi Isa sampai akan ada terang yang diberikan padaku.

Sebagaimana biasanya, jam 3 pagi saya sudah terbangun dan duduk ditempat tidur membaca ayat-ayat yang telah kuhapal. Bahkan sambil mengucapkan ayat-ayat itu, hatiku telah menaikkan serangkaian doa “Oh Isa anak Maryam sembuhkanlah saya”. Lalu tiba-tiba saya berhenti dan dengan lantang saya berkata agak keras sebagai cetusan perasaan yang selama ini telah terdorong masuk menembus kedalam pikiranku : “Saya telah melakukan hal ini begita lama tapi aku masih saja lumpuh”. Saya dapat mendengar gerakan-gerakan perlahan dari seseorang yang sedang bangun untuk mempersiapkan air sembahyang subuh. Tidak lama lagi bibi akan masuk menjengukku. Walaupun saya telah mencetuskan pernyataan itu, namun pikirku terpusat pada suatu keadaan yang mendesak pada permasalahanku. Kenapa saya belum juga disembuhkan walaupun saya telah berdoa selama 3 tahun?

“Lihat Engkau hidup di surga dan dalam Al Qur’an di firmankan bahwa Engkau yang telah menyembuhkan orang-orang. Engkau dapat menyembuhkan saya tapi saya masih lumpuh seperti sedia kala”. Kenapa tidak ada jawaban kecuali keheningan yang membatu di dalam kamar yang mengolok¬-olok doaku. Saya menyebut lagi namanya dan dengan putus asa mengadukan masalahku. Masih tidak ada jawaban. Kemudian sambil gemetar menahan sakit saya mengeluh “Jika Engkau sanggup sembuhkanlah saya. Jika tidak katakanlah! Saya tidak akan melanjutkan perjalanan melalui jalan ini lagi!”. Apa yang terjadi berikutnya merupakan sesuatu yang sulit bagiku untuk melukiskan dengan kata-kata. Saya menyadari bahwa seluruh ruangan itu penuh dengan cahaya. Mula-mula saya mengira bahwa mungkin cahaya itu datang dari lampu baca disamping tempat tidurku. Lalu kulihat bahwa cahaya lampu itu malah kabur. Apakah itu sinar fajar? Masih terlalu pagi untuk itu. Cahaya tersebut makin bertambah sinarnya makin terang sehingga melebihi terangnya siang hari. Saya menutup diriku dengan syal. Saya sangat ketakutan. Lalu terpikir olehku jangan-jangan si tukang kebun menyalakan lampu diluar untuk menyoroti pepohonan. Kadang- kadang hal itu dilakukannya dengan maksud mencegah pencuri ketika buah mangga sedang masak atau untuk mengawasi penyiraman dikala sejuknya malam. Saya mengeluarkan wajahku dari syal untuk melihat-lihat. Tapi pintu dan jendela-jendela tertutup rapat, dengan tirai dan alat penutupnya terpasang baik.

Kemudian saya menyadari kehadiran sosok-sosok tubuh yang rnengenakan jubah panjang, berdiri ditengah-tengah cahaya itu beberapa meter jauhnya dari tempat tidurku. Ada 12 sosok tubuh disatu baris namun sosok tubuh ditengah yang ketiga belas lebih besar dan lebih bercahaya dibandingkan dengan yang lainnya. “Ya Allah”, teriakku dan keringat mengalir didahiku. Saya menundukkan kepala dan berdoa : “Ya Allah, siapa gerangan orang-orang ini dan dengan cara bagaimana mereka dapat memasuki kamarku sedangkan semua jendela dan pintu tertutup rapat?".

Tiba-tiba satu suara berkata, “Bangkitlah ! Inilah jalan yang telah engkau cari-cari. Akulah Isa (Yesus) anak Maryam, kepada siapa engkau telah berdoa dan kini Aku berdiri didepanmu. Berdirilah engkau dan datanglah kepadaKu!” Saya mulai menangis “Oh Yesus saya seorang yang lumpuh. Saya tidak dapat berdiri !”
la berkata “Berdirilah dan datanglah kepadaKu ! Akulah Yesus!” Ketika saya masih sangsi, la mengatakannya untuk kedua kalinya. Lalu karena saya masih ragu-ragu la mengatakan untuk ketiga kalinya “Berdirilah!” Dan saya, Gulshan Fatima yang telah lumpuh ditempat tidurku selama 19 tahun, merasakan kekuatan baru mengalir masuk kedalam tungkai-tungkai dan lengan-lenganku yang selama ini tidak berfungsi sama sekali. Saya menaruh kakiku ke lantai dan berdiri. Kemudian saya mengambil beberapa langkah dan jatuh pada kaki dari penglihatan tersebut. Saya sedang mandi didalam cahaya yang sangat murni dan sinarnya sama terangnya dengan gabungan cahaya matahari dan bulan. Cahaya itu mengalir masuk kedalam hatiku dan kedalam pikiranku, lalu banyak hal menjadi jelas bagiku pada saat itu juga.

Yesus menumpangkan tanganNya keatas kepalaku dan saya melihat sebuah lubang ditanganNya dari mana sebuah sinar masuk dan memancar ke pakaianku sehingga bajuku yang berwarna hijau itu sampai menjadi putih. Ia bersabda : “Akulah Yesus, Akulah Immanuel, Akulah jalan, kebenaran dan hidup. Aku hidup dan Aku akan datang segera”. Lihatlah, mulai sekarang apa yang kau lihat harus kau saksikan kepada umatKu. UmatKu adalah umatmu dan engkau harus tetap setia menyaksikannya kepada umatKu. Ia berkata : “Sekarang engkau harus menjaga agar jubah dan tubuhmu ini tidak bernoda. Kemanapun engkau pergi Aku akan menyertaimu dan sejak hari ini hendaklah kau berdoa demikian : “Bapa kami yang ada didalam sorga, dipermuliakanlah namaMu, datanglah kerajaanMu, jadilah kehendakMu dibumi seperti disorga. Berikanlah kami pada hari ini makanan kami yang secukupnya dan ampunilah kesalahan-kesalahan kami sebagaimana kami juga mengampuni orang yang bersalah kepada kami. Dan janganlah membawa kami kedalam pencobaan tetapi lepaskanlah kami daripada yang jahat, karena Engkaulah yang empunya kerajaan dan kuasa dan kemuliaan sampai selama-lamanya, amin”. la menyuruh saya mengulang-ulang doa itu sampai benar-benar masuk tenggelam kedalam hati sanubariku. Doa yang indah dan begitu berbeda dengan doa-doa yang telah saya pelajari untuk dipanjatkan sejak masa kanak-kanakku sampai sekarang ini.

Allah dipanggil “Bapa” - itulah satu sebutan yang begitu erat menggenggam dalam-dalam dihatiku yang dapat mengisi kekosongannya. Saya ingin untuk dapat tetap tinggal disana di kaki Yesus, mengucapkan doa dan yang menyebut nama baru bagi Allah, “Bapa kami”. Tetapi Yesus lebih lanjut mengatakan Kepadaku :”Bacalah lebih lanjut dalam Al Qur’an, Aku hidup dan akan segera datang”. Hal ini telah diajarkan kepadaku dan mendengar ini timbul kepercayaan dalam diriku terhadap apa yang saya dengar. Banyak lagi yang dikatakan Yesus, saya begitu penuh dengan sukacita yang tak dapat dilukiskan. Saya melihat tangan dan kakiku sudah ada daging disitu. Tanganku belum sempurna, namun begitu terasa ada kekuatan dan tidak lagi lunglai dan lemah. “Kenapa Engkau tidak menyembuhkan saya sampai sempurna?”, tanyaku. JawabanNya datang dengan penuh kasih : “Aku mau kau menjadi saksiKu”. Sosok-sosok tubuh itu lalu naik dari pandanganku makin lama makin lenyap. Saya berkeinginan agar Yesus tinggal lebih lama lagi lalu saya menangis tersedu-sedu. Kemudian cahaya itu lenyap dan saya tinggal sendirian, berdiri ditengah-tengah kamarku mengenakan jubah putih dan mataku terasa berat karena cahaya yang mempesonakan itu. Sekarang malah cahaya lampu yang ada disisi tempat tidurku rasanya menyakitkan mataku dan alis mataku terasa sangat berat menekan diatasnya. Saya mencari-cari di dalam laci sebuah rak yang diletakkan rapat kedinding. Diatasnya saya rnenemukan sepasang kaca mata hitam yang biasa kupakai di halaman. Saya mengenakannya dan dapat membuka mataku serta melihat lebih enak. Dengan berhati-hati saya menutup laci lalu berpaling dan memandang sekeliling kamarku. Sama saja keadaannya seperti ketika saya baru bangun tidur. Jam masih berdetak diatas meja di samping tempat tidurku menunjukkan waktu hampir jam 4 pagi. Pintu terkunci rapat begitu juga jendela-jendela dengan tirai-tirainya masih tertutup seluruhnya terhadap udara dingin. Bagaimanapun saya belum lagi membayangkan tentang kejadian itu karena buktinya kumiliki di dalam tubuhku. Saya melakukan beberapa langkah lalu beberapa la,gi. Saya berjalan dari dinding ke dinding, keatas dan kebawah lagi.Tidak salah lagi, anggota-anggota tubuhku telah sehat sempurna.
Oh, betapa sukacitanya perasaanku. “Bapa” seruku. “Bapa kami yang disurga”, ini merupakan ungkapan doa yang haru dan indah sekali. Tiba-tiba sebuah ketukan terdengar di pintu. Rupanya bibi. “Gulshan”, katanya dengan tergesa-gesa. “Siapa yang ada di kamarmu berjalan-jaian?” Saya sendiri, bibi”, terdengar suatu teriakan nafas yang pendek lalu bibiku berseru lagi, “Oh, itu tidak mungkin. Tidak bisa terjadi. Bagaimana kau dapat berjalan? Engkau berdusta kepadaku”. “Baiklah, masuklah kemari dan lihatlah sendiri”. Pintu terbuka perlahan-lahan dan dengan penuh ketakutan bibi melangkah masuk ke dalam kamar. Beliau berdiri dengan tubuh menekan ke dinding dalam ketakutan dan tidak percaya, matanva terbelalak dan menatap kewajahku vang justru brseri-seri- “Kau akan jatuh”, katanya, “Saya tidak akan jatuh”, saya tertawa merasakan adanya kuasa dan kekuatan dari kehidupan baru yang menjalan melalui pembuluh – pembuluh darah saya. Bibi itu melangkah perlahan – lahan, tangannya dibentangkan kedepan seperti seorang buta meraba-raba mencari jalannya. la mengangkat lengan bajuku dan melihat tanganku, montok dan sehat seperti keadaannya sekarang. Kemudian beliau meminta saya duduk ditempat tidur memandangan ke arah kakiku yang telah sempurna seperti kakiku yang sebelah lagi.

“Aneh rasanya melihat engkau berdiri. Saya harus membiasakan diri untuk ini”, katanya. Beliau meminta kepadaku untuk menceriterakan bagaimana kejadiannya. Jadi, kuceriterakan kepada bibi dan permulaan tentang ramalan ayah lalu suara di kamarku pada malam kematian ayah. Kemudian saya ceritakan tentang masa 3 tahun membaca tentang Nabi Isa ( Yesus ) di dalam Al Qur’an, diakhiri dengan kemunculanNya padaku dan kesembuhanku. Waktu tiba pada ceritera tentang Yesus yang berkata agar saya menjadi saksinya, bibi menyela dengan berkata : “Tidak ada umat Kristen di Pakistan sini untuk kau pergi menyaksikannya dan kau tidak perlu pergi ke Amreika atau Inggris. Pada waktu orang-orang ini datang meminta makan ataupun uang kepadamu itulah yang menjadi kesaksianmu. Sampai saat itu saya belum lagi mempunyai kontak mengenai tugas yang diamanatkan Yesus kepadaku untuk pergi ke Inggriskah ataupun Amerika. Namun, dengan kata-kataNya yang masih nyata dan tetap: “Apa yang telah engkau lihat dengan matamu sendiri, haruslah engkau saksikan kepada umatKu. UmatKu adalah umatmu”, maka sebuah ungkapan doa terbentuk dalam pikiranku : “Yesus, dimanakah umatMu?”
Post Reply