Kepercayaan Tradisional Masyarakat Bugis To Lotang

Benturan dan bentrokan antara Islam dengan agama-agama dan peradaban lain di seluruh penjuru dunia.
Post Reply
Laurent
Posts: 6083
Joined: Mon Aug 14, 2006 9:57 am

Kepercayaan Tradisional Masyarakat Bugis To Lotang

Post by Laurent »

Kepercayaan Tradisional Masyarakat Bugis To Lotang
Kepercayaan Tradisional Masyarakat Bugis To Lotang
Oleh: Shaifuddin Bahrum
Abstrak

The unity and diversity (Bhineka Tunggal lka) has been negotiated in communities. The slogan has been responsible for the marginalisation of the diverse local expressions such as To Lotang in the area of south Celebes such as Amparita, Otting, and Bacukiki. The devotees of To Lotang have experienced various oppressions due to the nature of their belief. The paper shows that it is time for the minorities to regain their traditions. It is evidence that from the case of To Lotang, the marginalisation of minority is influenced by the lack of apprehension to the value of the locals in building the nation.
A. Pengantar

Masyarakat Bugis masa lalu masih mengisahkan sejumlah warisan budaya bagi masyarakat Bugis masa kini. Salah satu warisan itu adalah masih ditemukannya sistem kepercayaan mereka yang tetap lestari dan dijalankan oleh para pendukungnya, yaitu masyarakat To Lotang yang hidup di Amparita, Kecamatan Tellu Limpoe, Kabupaten Sidenreng Rappang, Sulawesi Selatan, Indonesia.

Pendukung ajaran kepercayaan To Lotang tidak kurang 15 ribu jiwa, baik yang ada di Amparita, Otting (Sidrap), dan Bacukiki (Pare-pare), maupun yang ada di Pinrang dan Wajo serta yang tersebar di luar daerah-daerah tersebut. Jumlah tersebut tentu saja sudah jauh lebih besar dibandingkan dengan ketika mereka baru bermukim di daerah itu setelah terusir dari Wani di Kerajaan Wajo pada abad ke-17.

Berbagai konflik telah dialaminya dari abad ke abad dan dari tahun ke tahun. Kelompok masyarakat To Lotang telah terusir dan hidup tertekan di bawah kekuasaan politis dan masyarakat mayoritas. Tentu saja kondisi seperti itu tidak hanya dialami oleh orang To Lotang, tetapi mungkin juga oleh kelompok minoritas tradisional yang ada di Nusantara (Dove 1985).

Oleh karena itu, sudah waktunya masyarakat minoritas mempertahankan tradisinya untuk mendapat perlindungan, dan dihargai sebagai suatu masyarakat ang terdiri atas manusia yang memiliki harkat dan martabat dalam melakukan aktivitas budayanya. Kebudayaan yang terlahir dan kelompok sekecil apapun tentu saja lahir sebagai jawaban atas tuntutan kehidupan masyarakatnya (Malinowski dalam Koentjaraningrat 1980: 171).
B. To Lotang: Terusir, Terpinggirkan dan Tertekan

To Lotang (To = orang, Lotang = selatan) adalah nama sebuah komunitas masyarakat Bugis yang bermukim di Kecamatan Amparita, Kabupaten Sidenreng Rappang. Nama itu merupakan simbol sebuah sistem kepercayaan tradisional yang mereka anut dan sekaligus menjadi nama masyarakat penganut ajaran kepercayaan tradisional tersebut.

Kepercayaan yang didirikan oleh La Panaungi (Muzhar dan Atho 1977: 29), karena mendapat wahyu dari Sawerigading untuk melanjutkan ajarannya dan melakukan pemujaan kepada Dewata SawwaE ini juga disebut PatotoE seperti yang tercantum dalam naskah La Galigo yang menjadi kitab sucinya. Kitab suci tersebut disimpan dan dihafalkan oleh pemimpin mereka yang bergelar ‘uwak‘. Hafalan tentang ajaran dalam kitab suci tersebut diwariskan turun-temurun secara lisan.

Dalam masyarakat terdapat tujuh orang Uwak yang salah satu di antaranya diangkat sebagai ketua dan dinamakan "Uwak Battoa" (battoa = besar). Sementara Uwak lainnya memiliki garis tugas masing-masing, ada yang mengurusi persoalan persawahan, masalah sosial, penyelenggaraan upacara ritual, dan sebagainya.

Menurut pengakuan Uwak Launga Setti (Tokoh Masyarakat To Lotang yang bertindak selaku juru bicara atau Menteri Penerangan), [1] "Itu bukan nama kepercayaan kami. Nama tersebut pada mulanya adalah panggilan kepada Raja Sidenreng La Patirai yang berkuasa sekitar tahun 1609-1910, terhadap kelompok/komunitas kami."

Pada mulanya masyarakat To Lotang adalah masyarakat pengungsi dan daerah asalnya yang bernama Wani di Kerajaan (kabupaten) Wajo. Daerah sebelah barat dan tempatnya sekarang. Ketika masa pengislaman kerajaan-kerajaan di Sulawesi Selatan yang dibawa oleh para ulama dari Melayu dan dibantu oleh Kerajaan Gowa pada permulaan abad ke-17 (Mattulada 1990: 42), tahun 1610, Kerajaan Wajo yang pada waktu itu diperintah oleh Raja Matoa Wajo menyatakan memeluk Agama Islam bersama-sama rakyatnya. Bagi mereka yang tidak mau memeluk agama Islam harus meninggalkan tanah kekuasaan Kerajaan Wajo.

Penduduk kampung Wani (To Wani) yang masih setia terhadap kepercayaan leluhurnya harus meninggalkan kampungnya dan melakukan perjalanan ke daerah Timur meninggalkan Kerajaan Wajo. Mereka berangkat dalam dua kelompok besar. Kelompok pertama dipimpin oleh I Goliga yang berjalan sampai daerah Bacukiki (sekarang berada dalam wilayah Kota Pare-pare). Rombongan kedua dipimpin oleh I Pakbere dan akhirnya tiba di Amparita, sebuah wilayah dalam Kerajaan Sidenreng (sekarang Kabupaten Sidenreng Rappang). Mereka tiba di daerah Amparita.

Setelah meminta izin kepada penguasa wilayah tersebut, Raja (Addatuang) Sidenreng mengizinkan kelompok masyarakat yang datang dari kerajaan tetangganya ini untuk tinggal dan menetap di Amparita, meskipun Kerajaan Sidenreng telah memeluk agama Islam satu tahun lebih dulu daripada Kerajaan Wajo (1609). Sejak masa itulah, orang Wani menetap di Amparita dan membangun masyarakat dan budayanya.

Nama To Lotang adalah panggilan raja jika ingin berkomunikasi kepada orang-orang Wani yang ada di Amparita. Nama To Lotang yang berarti ‘orang selatan‘ diberikan kepada masyarakat tersebut karena komuintas ini berada di sebelah selatan Sungai Sidenreng atau Istana Kerajaan Sidenreng. Nama yang semula tidak dikenali oleh masyarakat ini akhirnya melekat sebagai nama suatu komunitas yang diberikan oleh orang lain.

Kebijakan Pemerintah Kerajaan Sidenreng yang mengizinkan masyarakat pengungsi To Wani untuk menetap di Amparita bukan tanpa syarat. Akan tetapi, pihak kerajaan bersikap cukup lunak. Pihak kerajaan dan pimpinan orang Wani melakukan persepakatan bersama yang disebut "Ade mappunna Onrong Sidenreng" (aturan dari penguasa daerah-daerah). Aturan itu berisi:

Orang-orang Wani diberi ternpat tinggal di dalam wilayah Kerajaan Sidenreng dengan syarat harus mematuhi segala aturan dan hukum yang berlaku di kerajaan tersebut.
Meskipun bukan penganut ajaran Islam, masyarakat Wani yang berada dalam wilayah kerajaan yang menganut ajaran Islam harus melaksanakan beberapa syariat agama Islam, seperti jika melakukan perkawinan harus dilakukan dengan cara Islam, dan jika mati dikubur secara Islam pula.

Meskipun peraturan yang pertama dapat terlaksana dengan baik akan tetapi pada peraturan kedua terjadi berbagai masalah. Pihak To Lotang (Wani) sekalipun terpaksa harus menerima persyaratan tersebut, sangat sulit untuk melaksanakannya. Pihak penghulu agama Islam sendiri mengalami kendala. Penghulu tidak mau melaksanakan syariat tersebut jika yang akan diurus bukanlah orang yang beragama Islam. Dalam hal kematian misalnya, salah satu bentuk pengurusannya adalah menyembahyangkan jenazah sebelum dimakamkan, dan orang yang harus disembahyangi hanyalah orang Islam. Jika orang To Lotang yang meninggal, penghulu agama Islam tidak bersedia memberikan pengurusan terhadap jenazah sehingga ada mayat yang terlambat dikebumikan karena masalah pengurusan tersebut.

Peraturan tersebut seringkali menimbulkan masalah yang mengarah pada konflik fisik. Pada 1944, pernah terjadi mayat seorang penganut To Lotang membusuk karena tidak diurusi secara Islam. Pasalnya, imam kampung tidak bersedia mengurus mayat yang bukan beragama Islam, dan orang To Lotang takut melanggar aturan perjanjian yang sudah dibuat antara pihak kerajaan dari pemuka To Lotang.

Kondisi yang membingungkan seperti itu dialami oleh masyarakat To Lotang di Kerajaan Sidenreng dalam waktu yang cukup lama. Kemudian secara perlahan-lahan, butir kedua dari persyaratan tersebut sering dilanggar secara diam-diam, meskipun harus menghadapi risiko dihukum, atau dianiaya oleh pihak pemerintah. Padahal untuk menjalankan butir itu terdapat kendala di antara kedua belah pihak, terutama bagi penghulu agama Islam sendiri.

Pada masa pemerintahan Jepang (sekitar 1944), ketika Kerajaan Sidenreng dipimpin oleh La Cibu dan pejabat keagamaan (khadi) Syekh Jamal Padaelo, pemerintah Jepang mensponsori pertemuan antara pemuka agama Islam dan pemuka adat penganut kepercayaan To Lotang. Hasil pertemuan itu menyepakati bahwa masyarakat To Lotang dibebaskan dari persyaratan kedua. Untuk itu, orang To Lotang dapat mengurusi hal-hal yang bersifat ritual sesuai dengan kepercayaan sendiri, baik perkawinan, talak (perceraian), maupun dalam penguburan mayat yang tidak lagi harus dilaksanakan secara Islam.

Meskipun demikian, sampai 1966, pemerintah dan masyarakat mayoritas (yang beragama Islam) yang ada di sekelilingnya tetap ingin memberlakukan peraturan semula bahwa urusan perkawinan dan pengurusan mayat orang To Lotang harus diselenggarakan dengan cara Islam. Bahkan, ketika Uwak Tirang, putra Uwak Battoa (Ketua Uwak) meninggal dunia pemerintah beserta masyarakat di luar To Lotang memaksakan kehendak agar jenazah diurus secara Islam. Padahal, masyarakat To Lotang ingin mengurusinya dengan cara mereka sendiri. Dampaknya adalah terjadi ketegangan yang sangat serius. Pemerintah yang diwakili oleh kepala kecamatan dan bupati memprakarsai perundingan antara kedua belah pihak. Perundingan dilakukan pada 1 Juli 1966, bertepatan hari Jumat, mulai pukul 02.00 dinihari, dan baru selesai pada senja hari menjelang magrib. Keputusannya perundingan tersebut adalah mayat Uwak Tirang diurus dengan tata cara Islam. Masyarakat To Lotang merasa sangat kecewa atas kejadian itu.

Pada 1974 diberlakukan UU Perkawinan No. 1/1974 beserta peraturan pelaksanaannya. Berdasarkan undang-undang tersebut, perkawinan dan perceraian orang To Lotang dicatat secara administratif pada Kantor Pencatatan Sipil. Keputusan itu menimbulkan keretakan dalam masyarakat Kerajaan Sidenreng yang mayoritas beragama Islam. Di samping itu, timbul kesan dalam masyarakat bahwa orang To Lotang dikucilkan dan dipinggirkan. Bahkan, tidak jarang terjadi perlakuan intimidasi disertai tindakan kekerasan dan anarkis terhadap kaum minoritas itu. Kondisi yang demikian itu terjadi dalam jangka waktu yang cukup lama.

Ketika gencar-gencarnya pemberantasan terhadap pelaku pemberontakan G30S/PKI, beberapa kali perkampungan orang To Lotang di Amparita diobrak-abrik oleh tentara yang datang dengan senjata beratnya, seperti panser dan tank, dengan alasan membersihkan antek-antek PKI di daerah tersebut. Dengan mudahnya tentara itu juga terprovokasi bahwa pemberontakan komunis di daerah Amparita akan melakukan penyerangan massal ke ibu kota kabupaten yang berjarak kurang lebih 8 kilometer. Bahkan pada 1966, Pemerintah Daerah Tingkat II Sidenreng Rappang mengeluarkan pengumunan No. Ag.2/1/7, tanggal 5 Februari 1966 berisi pernyataan tidak mengakui keberadaan agama To Lotang. Dengan demikian, agama itu tidak diperkenankan lagi untuk melakukan upacara ritual yang berkaitan dengan sistem kepercayaannya.

Alasan dikeluarkannya surat tersebut karena pemerintah daerah menganggap bahwa agama yang dianut oleh orang To Lotang tidak termasuk agama resmi yang diakui di Indonesia yang terdiri dari agama Islam, Kristen (Katolik dan Protestan), Hindu dan Budha. Ajaran To Lotang tidak termasuk di dalamnya. Masyarakat To Lotang merasa terpojokkan dengan terbitnya surat tersebut.

Untuk mencairkan persoalan tersebut, pemerintah kecamatan setempat memanggil para pemimpin kepercayaan To Lotang untuk mengadakan pertemuan. Dalam pertemuan itu dibuat surat pernyataan dan pengakuan bersama antara para pemimpin aliran kepercayaan To Lotang dan pemerintah setempat yang diwakili oleh pimpinan Kecamatan, Komandan Sektor Kepolisian, Puterpra, dan Kepala Urusan Agama Kecamatan (Mattulada 1990: 35). lsi surat pernyataan bersama tersebut adalah bahwa pihak aliran kepercayaan To Lotang berjanji dalam waktu dua bulan (terhitung 7 Maret sampai 7 Mei 1966) akan meminta kepada pemerintah pusat agar keyakinan mereka (To Lotang) diresmikan atau diakui sebagai agama resmi dalam negara Republik Indonesia. Kalau dalam waktu tersebut mereka belum disahkan atau diakui, mereka wajib memilih salah satu agama yang diakui oleh pemerintah, yaitu agama Islam, Kristen, Budha, atau Hindu Bali. [2]

Kesempatan dua bulan itu dimanfaatkan oleh pimpinan ajaran To Lotang untuk berangkat ke Jakarta (Departemen Agama RI) untuk memperjuangkan status kepercayaan mereka. Berdasarkan laporan utusan To Lotang, pihak Departemen Agama RI, dalam hal ini Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Beragama Hindu Bali dan Budha, berkesimpulan bahwa aliran kepercayaan To Lotang merupakan salah satu sekte Siwaisme dari agama Hindu, yang memakai nama To Lotang. Kesimpulan tersebut didasari oleh adanya kesamaan dengan sekte Siwaisme dari agama Hindu.

Meskipun kesamaan itu mungkin ada benarnya tetapi apakah itu juga berarti hahwa kedua kepercayaan itu harus disamakan dalam satu sistem kepercayaan. Benarkah antara agama kepercayan To Lotang ada hubungannya dengan agama Hindu Bali?

Utusan To Lotang tidak banyak berkomentar atau beradu debat dengan pihak pemerintah, yang penting adalah semua kepercayaan mereka bisa mendapat pengakuan. Pemerintah akhirnya mengesahkan agama kepercayaan itu dengan mengeluarkan Surat Keputusan Direktur Jenderal Bimbingan Masyarakat Beragama Hindu Bali dan Budha, No. 2 Tahun 1966, tertanggal 6 Oktober 1966, yang kemudian disempurnakan dengan Surat Keputusan No. 6 Tahun 1966, tertanggal 16 Desember 1966. Surat Keputusan tersebut kemudian membagi dua kelompok orang To Lotang. Kelompok pertama, mereka yang tetap menamakan dirinya To Wani To Lotang atau menyesuaikan diri dengan nama baru yang diberikan oleh pemerintah, yaitu Hindu To Lotang. Kelompok kedua, mereka yang menyatakan diri sebagai orang Islam dan memisahkan diri dari kelompok pertama. Mereka ini menamakan dirinya "To Lotang Benteng" (sebelah selatan benteng).

Meskipun To Lotang Benteng telah menyatakan dirinya masuk dalam agama Islam, mereka tetap menjalankan ajaran-ajaran kepercayaan leluhurnya dan hampir sebagian besar dari mereka tidak melaksanakan syariat Islam kecuali hanya pada saat perkawinan atau mengurusi kematian. Pusat ibadahnya pun terpisah, bukan lagi di makam Uwak I Pakbere, tetapi di sebuah sumur yang bernama Pakkawarue (Murdiono 2001). Meskipun demikian, orang To Lotang Benteng masih melakukan ziarah ke makam I Pakbere. Sekalipun sudah ada surat keputusan pemerintah RI tersebut, masyarakat To Lotang belum merasakan suasana tenteram dan terbebas dari pengawasan pihak pemerintah setempat. Terutama dengan tuduhan dan kecurigaan adanya anggota atau pendukung PKI di daerah tersebut (Muzhar dan Atho 1977). Oleh karena itu, masyarakat To Lotang tidak bisa bebas untuk melakukan upacara-upacara ritual. Antara 1966 sampai 1970 beberapa kali terjadi upaya pemerintah untuk mendiskrediktan kelompok masyarakat To Lotang, baik dengan isu PKI maupun dengan isu pelaksanaan ritual. Tekanan yang dilakukan oleh pemerintah (kepala kecamatan dan bupati) bersama dengan polisi dan ABRI, juga mendapat dukungan kuat dan organisasi atau kelompok masyarakat Islam di daerah itu. Masyarakat seolah-olah ingin menghapuskan ajaran kepercayaan tersebut dan menjadikan daerah atau Kabupaten Sidrap 100 persen beragama Islam. [3]

Meskipun dalam sepuluh tahun terakhir pemahaman bermasyarakat dan beragama sudah semakin membaik, sehingga antara masyarakat To Lotang dan umat Islam di Amparita dapat hidup berdampingan, namun gangguan dan perlakuan kasar masih saja sering terjadi dari masyarakat di sekitarnya dan berupaya memberikan tekanan pada masyarakat To Lotang. Pada 2000, salah satu tempat ritual di Gunung Lowa dibakar dan dirusak oleh kelompok yang tidak diketahui. Demikian pula pada Januari 2001, salah satu makam yang dijadikan tempat ritual di Utting ditemukan oleh masyarakat telah rusak berat tanpa diketahui siapa pelakunya.
C. Perpustakaan yang Terbakar

Dari sekian peristiwa tragis yang dialami masyarakat To Lotang, yang paling sulit terlupakan adalah malapetaka yang terjadi pada pada 1964. Musibah telah membakar dan meratakan perkampungan mereka. Ketika itu, kurang lebih seribu buah rumah musnah di Amparita.

Peristiwa itu tidak hanya menelan korban jiwa dan korban harta benda, tetapi sekaligus telah menjadi tragedi budaya. Salah satu karya budaya yang turut hancur dalam peristiwa tersebut adalah puluhan atau mungkin ratusan naskah klasik tersimpan di kampung tersebut tidak dapat diselamatkan. Misalnya, naskah dalam Eula Uluna Batara Guru yang berisi awal mula dunia Bugis dan Batara Guru diturunkan dari langit oleh PatotoE, naskah Ritebbanna Welenrengnge yang berkisah ditebangnya pohon raksasa yang bernama Welenreng, naskah Takgilinna Sanopati, yang bercerita tentang perubahan di atas dunia dari keadaan semula yang kosong, dan naskah Appengenna Towani To Lotang atau asal-usul penganut Towani To Lotang.

Untunglah tradisi kelisanan sudah sangat mengakar dalam masyarakat Bugis. Meskipun orang Bugis berabad-abad sudah mengenal aksara lontarak, tetapi dalam mensosialisasikan apa yang telah dituliskan dilakukan dengan jalan pelisanan. Meskipun naskah-naskah yang sangat berharga itu telah hancur, kandungan isinya tetap hidup dalam ingatan mereka. Dengan demikian, kebiasaan itu telah menyuburkan di kalangan To Lotang.

Ajaran-ajaran tentang kepercayaan yang mereka anut dituturkan oleh para uwak pada waktu-waktu tertentu, terutama dalam upacara-upacara ritual. Misalnya mampenre inanre (mengantar makanan dan meminta berkah dari Uwak), tudang sipulung (duduk berkumpul), dan sipulung (upacara besar untuk berkumpul semua penganut kepercayaan To Lotang). Pada saat itulah, para Uwak menasihati umatnya dengan ajaran-ajaran kemuliaan hidup dan harapan-harapan hari kemudian.
D. Dibutuhkan Perlindungan Politis

Kasus tersebut mencerminkan gambaran tentang ketidaksiapan masyarakat kita untuk hidup dalam keberagaman. Persoalannya menyangkut pertentangan antara orang To Lotang dan orang Bugis lain di sekitarnya dalam masalah kepercayaan. Padahal, unsur-unsur budaya dan struktur sosial lainnya di antara kedua masyarakat itu hampir sama, baik bahasa, mata pencarian, teknologi, maupun sistem pengetahuan, sistem kekerabatan dan kesenian. Dengan demikian, jika orang yang baru masuk ke daerah tersebut, akan sulit untuk membedakan antara orang To Lotang dan masyarakat Islam dalam kehidupan sehari-hari.

Konflik yang sering terjadi dipicu oleh pemahaman tentang tujuan pembangunan yang kurang tepat. Tujuan pembangunan kebudayaan nasional tidak hanya menciptakan kesejahteraan jasmani dan rohani yang merata tetapi juga menghembuskan semangat kemanusiaan. Masing-masing warga negara tidak hanya berkecukupan dalam kebutuhan hidupnya, melainkan juga merasa bebas dan aman. Dengan demikian, mereka dapat menikmati manfaat dan makna berbagai kegiatan dalam hidupnya (Poespowardojo 1993: 128). Di sisi lain, pembangunan yang selalu diartikan sebagai suatu perubahan ke arah yang lebih baik sering dipersepsi dari satu sudut pandang (pemerintah) yang bersifat politik, tanpa mempertimbangkan keadaan masyarakat setempat secara sosial budaya (Dove 1985: xvii-xxii).

Kasus To Lotang, masalah di Amparita dalam wilayah Kerajaan/Kabupaten Sidenreng Rappang dipandang sebagai persoalan orang Wani yang terusir dari Kerajaan Wajo. Hal itu terjadi karena mereka tidak mau mengikuti kehendak raja yang mengharuskan seluruh rakyatnya memeluk agama Islam. Addatuang Sidenreng pun menerima orang To Wani sebagai pengungsi yang meminta suaka dan wilayah kediaman di Sidenreng.

Demikian pula halnya dengan sistem kepercayaan yang dianut; kepercayaan To Lotang selalu dianggap membahayakan dan dijadikan sebagai alat ukur dalam pelaksanaan program pembinaan keagamaan. Keberhasilan program diukur dari jumlah penduduk yang beragama Islam mencapai seratus persen. Untuk itu, berbagai cara ditempuh oleh pemerintah dan masyarakat untuk menghapuskan ajaran kepercayaan To Lotang. Pihak penguasa beranggapan bahwa kehadiran ajaran kepercayaan To Lotang merupakan suatu aib dalam pelaksanaan program tersebut. Sampai sekarang pun, pelajaran pendidikan agama di sekolah-sekolah dasar di daerah itu agama Islam, padahal mayoritas siswanya merupakan penganut ajaran To Lotang.

Kualitas kehidupan beragama tidak dipandang sejauh mana seorang yang beragama secara taat menjalankan syariat agamanya sesuai dengan tuntunannya masing-masing. Akan tetapi, realitas itu diukur dari seberapa banyak penganut agama yang mayoritas di daerah tersebut. Meskipun seorang tidak shalat dan tidak puasa, yang penting beragama Islam. Hal tersebut dianggap lebih baik daripada penganut agama To Lotang yang setia dan taat menjalankan aturan ritual sesuai dengan tuntunan Uwak. Ukuran lainnya adalah pembangunan rumah-rumah ibadah (masjid) dengan menggunakan anggaran yang cukup besar tanpa mempertimbangkan apakah ada umat Islam yang mengisinya atau tidak.

Lebih parah lagi, ada anggapan terhadap agama tradisional seperti To Lotang sebagai ancaman stabilitas masyarakat. Ajaran itu dicurigai dan perlu diawasi dalam setiap langkahnya. Sistem kepercayaan dikhawatirkan akan mempengaruhi akidah umat Islam di sekitarnya, sehingga pemerintah mentoleransi perusakan tempat-tempat ritual penganut kepercayaan.

Dampak buruk yang sampai kini masih dialami oleh masyarakat To Lotang adalah traumatis pada masa lalunya. Mereka selalu dibayang-bayangi oleh peristiwa-peristiwa yang pernah mereka alami. Setiap pendatang selalu dicurigai dengan sikap kehati-hatian, mereka cenderung untuk tidak memberikan informasi secara baik atau terbuka kepada orang-orang yang ada di sekitarnya, misalnya, dalam upacara-upacara mereka.

Jika permasalahan tersebut dikembalikan kepada pemikiran sosial dan budaya masyarakat setempat, ketegangan tidak perlu terjadi. Orang To Lotang dipahami sebagai bagian yang terintegrasi dalam kesatuan masyarakat Bugis di Amparita. Masing-masing anggota masyarakat memiliki fungsi dan perannya yang saling menunjang antara satu dan lainnya. Sistem kepercayaan yang dianut oleh orang To Lotang, dicoba dipahami sebagaimana orang To Lotang memahami dirinya, [5] bukan dengan cara pandang sebagai orang Islam. Biarkanlah masyarakat To Lotang membina umatnya sesuai dengan tuntunan ajaran mereka sendiri. Dengan demikian, dalam melaksanakan ajaran-ajaran kepercayaannya, mereka dapat menciptakan suasana damai dalam komunitas mereka sendiri. Dengan terciptanya kedamaian, dinamika untuk turut serta dalam pembangunan akan lebih tinggi dibandingkan jika mereka berada dalam tekanan dan dicurigai terus-menerus.

Seperti telah dikemukakan, selama ini masyarakat minoritas yang mempertahankan tradisinya banyak mendapat perlakuan tidak adil secara politis dan sosial. Dengan semakin baiknya kondisi bernegara dan bermasyarakat dewasa ini, maka kebijakan-kebijakan yang bersifat politis dibutuhkan untuk melindungi mereka dari berbagai tindakan diskriminasi, termasuk melindungi segala bentuk upacara dan tempat ritual serta berbagai unsur pendukungnya.
E. Penutup

Sudah cukup lama bangsa Indonesia terbuai dengan semboyan "bhineka tunggal ika." Akan tetapi, semboyan itu hanya menjadi kata-kata usang yang tidak dimaknai dengan baik dalam proses bernegara dan berbangsa. Setelah dari lima puluh tahun, keberagaman itu masih saja dipandang sebagai tembok-tembok tinggi yang mengkotak-kotakkan bangsa Indonesia dan mengancam perpecahan. Bahkan pada masa Orde Baru keberagaman telah menjadi ketakutan yang berlebihan, selalu ada upaya untuk meleburkan keberagaman tersebut menjadi satu warna. Keberagaman tidak dipandang sebagai suatu potensi pembangunan bangsa yang besar.

Setiap suku bangsa semestinya diberi kesempatan untuk mengembangkan seluruh aspek kebudayaannya untuk mendukung pembangunan kebudayaan nasional, bukan menciptakan kebudayaan baru atau menobatkan satu bentuk kebudayaan yang mayoritas sebagai kebudayaan nasional. Setiap kelompok masyarakat dan kelompok etnik merupakan bagian dari kebudayaan nasional.

Untuk menghindari lebih banyak kesalahan dalam penentuan kebijakan kebudayaan nasional, dialog intensif senantiasa perlu dilakukan antarbudaya di nusantara ini. Dengan demikian, dampak yang ditimbulkan adalah terjadi saling kenal dan saling rnenghargai antara budaya masing-masing pendukung.

Perlindungan terhadap kebudayaan satu kelompok masyarakat kecil mutlak diperlukan untuk memberikan jaminan rasa aman, sehingga tidak ada lagi rasa tertekan, disudutkan, atau dikecilkan. Dengan demikian, diharapkan timbul rasa percaya diri dan bangga terhadap kebudayaan masing-masing.
Daftar Pustaka

Dove, Michael. R., 1985. Peranan Kebudayaan Tradisional Indonesia dalam Modernisasi. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.

Koentjaraningrat., 1980. Sejarah Teori Antropologi I. Jakarta: Universitas Indonesia.

Mudzar. H.M. Atho., 1977. Mesjid dan Bakul Keramat, Konflik dan integrasi dalam Masyarakat Bugis Amparita. Ujung Pandang: Laporan Penelitian, Pusat Latihan Ilmu-Ilmu Sosial.

Musdiono., 2001. "Ajaran Moralitas alam Teks Pappaseng Pada Masyarakat To Lotang (Suatu Studi Folklor dan Analisis Tematik)." Makassar: Skripsi Sarjana, Fakultas Sastra, Universitas Hasanuddin.

Poespawordojo. Soerjanto., 1993. Strategi Kebudayaan, Suatu Pendekatan Filosofis. Jakarta: Gramedia.

____________

Shaifuddin Bahrum adalah Budayawan dan Ketua Yayasan Baruga Nusantara Sulawesi Selatan.

Tulisan ini diambil dari Jurnal ATL (Identitas, Pluralismu, dan Keambiguan), No. 8 Vol. 7, Desember 2002 (53-62), diterbitkan oleh Asosiasi Tradisi Lisan (ATL).

http://www.rappang.com/2008/12/kepercay ... t.html?m=1

Kepercayaan Tradisional Masyarakat Bugis To Lotang
FFI Alternative
Faithfreedompedia
philipus
Posts: 215
Joined: Thu Aug 08, 2013 3:44 pm
Location: adadeh

Re: Kepercayaan Tradisional Masyarakat Bugis To Lotang

Post by philipus »

bang ane nanya nih.
mohon maaf ane OOT nih.
ada berapakah kepercayaan tradisional di indonesia.!
Laurent
Posts: 6083
Joined: Mon Aug 14, 2006 9:57 am

Re: Kepercayaan Tradisional Masyarakat Bugis To Lotang

Post by Laurent »

philipus wrote:bang ane nanya nih.
mohon maaf ane OOT nih.
ada berapakah kepercayaan tradisional di indonesia.!
Banyak sekali, ada sekitar 300-an
Post Reply