Karakter Bangsa Lebih Penting, Bukan Agama

Gambar2 dan Berita2 kekejaman akibat dari pengaruh Islam baik terhadap sesama Muslim maupun Non-Muslim yang terjadi di Indonesia.
Post Reply
Laurent
Posts: 6083
Joined: Mon Aug 14, 2006 9:57 am

Karakter Bangsa Lebih Penting, Bukan Agama

Post by Laurent »

Karakter Bangsa Lebih Penting, Bukan Agama
Penulis : Karel Kapitan Etoehaq Selasa, 21 Oktober 2014 - 12:09:50 WIB
1st Image
Foto: Ilustrasi
JAKARTA, TABLOIDPODIUM.COM - Para penghayat kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, lebih memilih untuk membangun karakter dan jati diri bangsa, ketimbang meributkan persoalan status keagamaan. Penghayatan merupakan perilaku budaya spiritual yang sudah dianut sebagai suatu sistem, menuju keharmonisan dalam hidup bermasyarakaat dan berbangsa.

Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendiknas), menyelenggarakan Sarasehan tingkat Nasional Penghayat Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, di Yogjakarta, 13-17 Oktober 2014.

Hadir dalam acara Sarasehan Nasional tersebut, para tokoh penghayat kepercayaan antara lain, Bondan Gunawan, Inayat Trahzen (dulu Taufik Rahzen), Suko Sudarso, Sulistyo Tirto Kusumo, Hertoto Basuki, Engkus Ruswana, Sri Hastanto, dan Naen Suryono. Selain para tokoh penghayat kepercayaan, hadir pula 250 penghayat kepercayaan dari 150 organisasi, yang berkumpul untuk menyatukan langkah.

Guru Besar Institut Seni Indonesia, Surakarta, Sri Hastanto mengatakan, membangun karakter yang baik adalah seperti yang termaktub dalam serat Wedhatama. Perilaku Kapati amarsudi sudaming hawa lan napsu, haruslah dipegang teguh. Hal ini berarti, setiap manusia secara sungguh-sungguh berusaha untuk mengurangi nafsu yang ada di dalam diri manusia. Nafsu yang dimaksud, antara lain, adalah nafsu berkuasa, serakah mencari harta, mau menang sendiri, dan tidak mau berbagi.

“Jika itu diterapkan dengan sungguh, maka setiap orang akan berusaha mati-matian untuk mengurangi nafsunya. Dengan demikian, ia akan menjadi orang yang tidak sewenang-wenang, penuh kasih dengan sesama umat Tuhan,” ujar Sri, di Yogjakarta, Rabu (15/10).

Mengeluarkan Unek-unek

Sarasehan Nasional tersebut, menjadi ajang bagi para penghayat kepercayaan untuk mengeluarkan beragai keluhan dan unek-unek. Mereka merasa, masih mendapat perlakuan diskriminatif dalam kehidupan bermasyarakat dan berbangsa. Pengosongan kolom agama atau penulisan penghayat kepercayaan dalam Kartu Tanda Penduduk (KTP), misalnya. Dalam praktek keseharian dalam masyarakat, hal seperti ini menyulitkan para penghayat kepercayaan, bukan hanya untuk berinteraksi dengan sesama, tetapi juga dalam urusan lain, seperti mencari pekerjaan, menikah, hingga dikuburkan.

Namun, para penghayat kepercayaan memahami, bahwa kepercayaan terhadap Tuhan itu bukan agama, dan tidak mengarah pada pembentukan agama baru. Tidak ada kitab suci yang mutlak di kalangan penghayat, yang ada hanyalah kumpulan petunjuk yang dicatat dan digunakan untuk menunjukkan identitasnya.

Budayawan Taufik Rahzen mengatakan, telah terjadi penindasan ideologis terkait kepercayaan yang ia dianutnya.“Bagi kami, perjuangan penghayat kepercayaan ini seperti perjuangan hidup mati. Pernah terjadi di Sumba, NTT, dalam KTP saya pernah ditulis kafir, tapi kemudian dikosongkan. Proses ini tidak mudah bagi saya. Saya berganti nama menjadi Mohamad Taufik, tapi saya merasa terlalu berat. Belum merasa nyaman, saya ganti lagi menjadi Taufik Rahzen, dan akhirnya tahun lalu saya ganti lagi menjadi Inayat Trahzen,” tutur lulusan Teknik Kimia Univ Gajah Mada, dan jebolan Faku Fakultas Ushuhudin Institut Agama Islam Negeri Suanankalijaga, Yogja ini.

Direktur Pembinaan Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan Tradisi Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan, Sri Hartini, mengatakan, sejak tahun 1978, kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa merupakan budaya spiritual dan sudah disepakati menjadi tugas Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan untuk pembinaannya.

“Kepercayaan telah kami bina selama berpuluh-puluh tahun. Siapa yang berwenang menetapkan agama?” tegas Sri Hartini.

Majelis Luhur

Dalam Sarasehan Nasional terebut, para peserta Sarasehan bersepakat untuk mendeklarasikan Majelis Luhur Kepercayan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa Indonesia. Majelis luhur tersebut akan berfungsi sebagai wadah nasional bagi organiasi-organisasi penghayat kepercayaan.

Ketua Dewan Pakar Majelis Luhur Kanjeng Pangeran Susityo Tirto Kusumo, mengatakan, selama ini berbagai organisasi penghayat kepercayan terhadap Tuhan Yang Maha Esa berjalan sendiri-sendiri dan tidak fokus pada pejuangannya.

“Kami ingin menaikkan posisi tawar. Kami harus menegaskan kembali, bahwa Indonesia bukanlah negara agama, tetapi negara yang berketuhanan Yang Maha Esa. Namun, dalam kehidupan sehari-hari, para penghayat kepercayaan masih terdiskriminasi. Secara formal, memang sudah terakomodasi, tetapi secara sosial belum. Mejelis dapat melakukan advokasi untuk pemenuhan hak sipil,” tegas sulistyo.

Sesepuh Paguyuban Soemarah, Yogjakarta, Suko Sudarso, perilaku budaya spiritual semestinya dijalani secara konsisten. Sistem perilaku budaya spiritual meliputi lima komponen. Pertama, getaran atau gemah spititual dalam diri penghayat, kedua, sistem kepamongan (guru laku) yang secara berkala mendampingi penghayat, ketiga, sistem evolusi spiritual dalam tuntutan luhur untuk menghayati proses kemanunggalan hidup. Keempat, sistem kebersaman, kelima, kelengkapan sarana pendukung, sehingga perlu dbentuk organisasi.

Gubernur Daerah Istimewa Yogjakarta, Sultan Hamengku Buwono X dalam sambutannya mengatakan, agama asli telah lama hidup di daerah sebelum masuknya agama-agama ke nusantara. Agama atau kepercayan itu seperti Sunda Wiwitan, Kejawen, Parmalin, Kaharingan, Tonaas, Tolottang, Wetu Telu, dan Naurus. Masyarakat kepercayaan memiliki posisi sama dengan penganut agama lain di Indonesia yang plural ini. Kaum adat memiliki otoritas ritual, sistem nilai, dan emosi keagamaan yang otonom.

“Kita harus makin sadar, bahwa Indonesia memiliki kemajemukan etnis, suku, agama, ras, budaya, dan adat istiadat. Semua itu, harusnya kita syukuri. Kebinekaan adalah sumber kekuatan dan aset bangsa,” pungkas Sultan.

http://www.tabloidpodium.com/berita-kar ... agama.html
Mirror: Karakter Bangsa Lebih Penting, Bukan Agama
Follow Twitter: @ZwaraKafir
Post Reply