Aktivis ANBTI : Agama Tidak Mengajarkan Dibuat Kolom Agama

Gambar2 dan Berita2 kekejaman akibat dari pengaruh Islam baik terhadap sesama Muslim maupun Non-Muslim yang terjadi di Indonesia.
Post Reply
Laurent
Posts: 6083
Joined: Mon Aug 14, 2006 9:57 am

Aktivis ANBTI : Agama Tidak Mengajarkan Dibuat Kolom Agama

Post by Laurent »

Aktivis ANBTI: Agama Tidak Mengajarkan Dibuat Kolom Agama
Posted on November 11, 2014 by Difa in Bincang with 0 Comments
Post View: (332)
Sudarto
Isu kolom agama di kartu tanda penduduk (KTP) kembali mencuat. Menteri Dalam Negeri, Tjahjo Kumolo, menyebutkan bahwa kolom agama di KTP dapat dikosongkan untuk penganut keyakinan atau kepercayaan di luar enam agama yang diakui pemerintah. Namun, penganut enam agama yang resmi, menurut pemerintah, harus tetap mencantumkan agama mereka di kartu identitas.

Dalam UU Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan, pemerintah Indonesia hanya mengakui enam agama, yaitu Kristen, Katolik, Islam, Hindu, Budha, dan Khonghucu sebagai agama resmi.

Sementara itu, penghayat kepercayaan dalam administrasi kependudukan diatur dalam Pasal 61 ayat 2 UU Nomor 23 Tahun 2006. Dalam pasal itu disebutkan, keterangan mengenai kolom agama bagi penduduk yang agamanya belum diakui sebagai agama atau bagi penghayat kepercayaan tidak diisi, tetapi tetap dilayani dan dicatat dalam database kependudukan.

Pernyataan Mendagri tentang kolom agama di KTP ini banyak mendapatkan respon di media sosial, sepanjang pekan lalu. Bahkan ada rumor yang menyebutkan bahwa kolom agama di KTP akan dihapuskan.

Citizen Daily berkesempatan mewawancarai Sudarto, S.Ag., M.A., aktivis keberagaman yang bekerja sebagai Koordinator Research and Development Aliansi Nasional Bhinneka Tunggal Ika (ANBTI). ANBTI berusaha memperjuangkan hak-hak agama minoritas yang tidak tercatat dalam kolom agama di KTP.

Berikut hasil wawancaranya.

Apa sesungguhnya aktivitas ANBTI?

Sejak berdirinya tahun 2006, ANBTI berfokus pada isu-isu kebhinakaan masyarakat Indonesia dari Sabang sampai Merauke. Untuk mengakomodasi kebhinnekaan masyarakat, core business atau fokus area ANBTI secara garis besar dibagi dalam dua isu:

a. Penguatan kelompok masyarakat penghayat dan budaya lokalnya serta kekayaan hasil warisan leluhur bangsa.

b. Penguatan kekayaan alam bagi masyarat yang bermukim di pulau-pulau terdepan, yang berbatasan dengan 10 negara tetangga.

Adapun yang telah kami lakukan adalah:

a. Melakukan konsolidasi pertama jaringan nasional di Surabaya yang menghasilkan pembagian gugus kajian, yaitu konsolidasi regional (Konreg) Sunda kecil meliputi NTT, NTB, Maluku, dan Papua berlokasi di Surabaya; konsolidasi regional (Konreg) dalam kegiatan simposium Indonesia Timur dan Tengah (Simpintimteng) dengan anggota Jawa, Kalimantan, Sulawesi berlokasi di Manado; dan Konreg wilayah Barat dengan anggota regional 10 provinsi di Sumatera. Saya menjabat koordinator ANBTI wilayah Barat.

b. Menyusun agenda kerja sesuai karakter masing-masing regional, tetapi fokusnya adalah pemeliharaan warisan budaya bangsa dengan segala keunikannya sekaligus mempertahankan pulau-pulau terdepan yang berbatasan dengan negara tetangga.

c. Menggelar konsolidasi nasional yang melibatkan 500 kelompok masyarakat (agama, adat, kebudayaan, pemuda) dari 34 provinsi yang dilaksanakan pada 2011 di Jakarta. Konsolidasi menghasilkan banyak rekomendasi, antara lain usulan penguatan dasar negara Pancasila, perlindungan kebudayaan nasional serta agama-agama lokal yang masih dianut oleh masyarakat antara 12-15 juta yang tersebar di seluruh Indonesia, yakni Sunda: Wiwitan (Kenekes dan Madrais), Buhun, Kuring; Jateng: Kapribaden, Maneges, Sapto Dharmo, Sumarah, Sumarah Purbo, Subud; Bali: Bali Aga; Sulawesi: Tolotang, Aluk To Dolo, Kajang (Amatoa), Wana, Parandangan Ada, Tonasa Walian, Purwaduksina, Empung Lokon Esa; Kalimantan Barat: Helu, Hajatan; Kalteng: Kaharingan, Kaharingan Hindu, Babolin, Babukung, Basorah; NTB: Watu Telu (Lombok); NTT: Bara Marapu, Boti, Jinitiu, Ratu Bita Bantara, Era Wulan Watu Tanau, Guna Lera Wulan Dewa Tanah Ekan; Maluku: Naurus, Bolim, Basora; Papua: Pahkampetan; dan lain-lain ke MPR RI, ke Presiden, DPR RI, dan ke MK.

d. Melakukan pelatihan analisis media lokal di 20 provinsi.

e. Menyusun database dan kajian peta persoalan kelompok penghayat/agama lokal dan kajian kebijakan.

f. Saat ini saya juga bertugas menginventarisasi masalah maritim dan kelautan dalam upaya mendorong Indonesia sebagai poros maritim dunia. Inventarisasi dilatarbelakangi banyak masyarakat adat tinggal di daerah kepulauan yang berhadapan langsung dengan negara perbatasan. Tanggal 13 Desember mendatang kami merancang peringatan Hari Nusantara, sesuai Deklarasi Djuanda.

Apa yang diperjuangkan ANBTI?

Perjuangan ANBTI adalah mempertahankan warisan budaya bangsa dengan berpegang teguh pada dasar negara Pancasila dan empat pilarnya, yakni UUD 1945, Bhinneka Tunggal Ika, NKRI, dan Merah Putih. Perjuangan pokok adalah menjadikan Pancasila sebagai rumah bersama bangsa Indonesia. Yang penting adalah penghargaan atas keberagaman masyakat Indonesia dengan segala kearifan lokalnya.

Bagaimana tanggapan ANBTI mengenai penghapusan kolom agama di KTP?

Sebenarnya sejak digelarnya kegiatan konsilidasi regional maupun nasional, ANBTI berupaya mendorong dua hal pokok:

a. Pembubaran Kementerian Agama.

Usul ini pasti sangat berat dan resisten sehingga pada Oktober lalu, kami berdiskusi sampai tiga kali dengan Menteri Agama, Lukman Hakim Saefudin. Akhirnya kami menurunkan tuntutan, yakni merestrukturisasi Kemenag dengan tidak mengotak-kotakkan Kemenag berdasarkan dirjen Agama Islam, Protestan, Katolik, Hindu, dan Budha.

Dengan Tim Transisi Jokowi, ANBTI merekomendasikan restrukturisasi Kemenag, dengan mengganti dirjen sesuai manfaat dan fungsinya, yakni dirjen kerukunan umat beragama dan kepercayaan; dirjen pendidikan agama dan kepercayaan; dirjen kunjungan tempat suci; dirjen pencatatan pernikahan bagi semua warga negara; dan dirjen pelayanan sarana prasarana rumah ibadah.

b. Mengusulkan beberapa opsi tentang kolom agama di KTP.

Pada 5 November lalu kami bersama jaringan diterima langsung oleh Mendagri, Tjahjo Kumolo, dan memberi usulan:

Penghapusan sama sekali kolom agama di KTP, dengan argumentasi bahwa sangat sedikit negara di dunia yang mencantumkan kolom agama di KTP. Kolom agama di KTP tidak banyak mendatangkan manfaat, terutama di daerah rawan konflik atas nama agama, seperti Ambon, Poso, dan lain-lain. Pengalaman melakukan upaya rekonsiliasi dan mediasi di Ambon dan Poso, sering ada kegiatan sweepinguntuk memastikan agama dan akhirnya sangat membahayakan mereka yang tidak terlibat konflik.
Kami yakin usulan ini resisten sekali, terutama dari kalangan agama dominan atau mayoritas. Karena itu, alternatif yang kami usulkan, penulisan kolom agama dan kepercayaan sesuai agama dan kepercayaan, jadi tidak hanya enam agama. Artinya, termasuk agama lokal dalam kolom Agama/Kepercayaan di KTP harus diakomodasi, misalnya Agama/Kepercayaan: Sunda Wiwitan dll
Kami sangat tidak merekomendasikan pengosongan kolom agama atau disetrip (-) saja, sebab sangat merugikan dan sangat stigmatif bagi kelompok penghayat. Bagi penghayat kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa, kalau kolom agama dikosongkan atau hanya diisi setrip, mereka akan dituduh sebagai belum beragama, PKI, bahkan atheis. Mereka juga akan dipersulit ketika harus mengisi administrasi kependudukan (adminduk) di layanan publik, seperti departemen, perbankan, termasuk juga saat ingin menjadi TNI/Polri, juga dalam urusan jenjang karier sebagai PNS.
Proses negosiasi itulah yang telah dan terus kami dorong. Artinya, kami bukan mau menang sendiri. Kami siap mengupayakanwin-win solution dan sesuai dengan konstitusi serta sistem perundangannya.

Mengapa Anda dan kawan-kawan ingin menghapuskan kolom agama di KTP?

Kami tidak serta merta menginginkan penghapusan kolom agama di KTP, walaupun kami sependapat bahwa kolom agama tidak banyak memberi manfaat. Sekali lagi, kami masih dalam konteks negosiasi.

Pilihannya sebaiknya kolom agama dihapuskan dengan alasan yang telah saya sebutkan di atas. Namun, jika mesti ada kolom agama, seharusnya semua agama dan kepercayaan dituliskan sebagaimana amanat konstitusi pasal 29 ayat (2). Bisa dilihat, perjuangan kami konstitusional sekali.

Benarkah kolom agama di KTP dapat mengakibatkan diskriminasi? Seperti apa diskriminasinya dan seberapa besar?

Kami sudah melakukan penelitian dan analisis kebijakan terkait dengan kolom agama tidak saja di KTP, tetapi juga sistem administrasi lainnya seperti kartu keluarga, akte nikah, akte kelahiran. Semua itu sangat diskriminatif dampaknya, terutama pada kelompok agama lokal atau penghayat.

Bentuk-bentuk diskriminasi bahkan penindasan yang terjadi justru sistemik, masif, dan terstruktur. Artinya, ada kebijakan yang diskriminatif, ada aparat yang menjalankan terutama di tingkat lokal dan polanya terus-menerus, setidaknya sejak tahun 1952, ketika wacana pembakuan definisi diberlakukan dan kemudian kolom agama di KTP dan adminduk lainnya mulai menjadi kemestian.

Adapun bentuk-bentuk diskriminasi yang terjadi terutama yang dialami oleh kelompok penghayat adalah:

Kelompok penghayat masih mengalami kesulitan mendapatkan hak-hak sipilnya dalam catatan adminduk.
Kesulitan untuk melangsungkan perkimpoian sebagai penghayat karena bisa dituduh mempermainkan atau menodai agama resmi. Di tingkat daerah akhirnya terpaksa berbohong atau dikimpoikan kembali melalui tata-cara agama.
Tidak memiliki akte perkimpoian sehingga tidak ada perlindungan hukum yang menjamin perkimpoian mereka.
Kehilangan hak istri dan anak atas segala tunjangan bila menjadi pegawai.
Dalam masyarakat umum dianggap melakukan pernikahan haram, bahkan dianggap pasangan ”kumpul kebo”.
Anak yang dilahirkan dikatagorikan sebagai anak di luar nikah (anak haram) dan tidak bisa memperoleh akte kelahiran.
Jika terjadi perceraian, tidak ada perlindungan atas hak-hak anak dan istri.
Terpaksa membuat surat pengakuan anak di luar nikah, baru kemudian mengurus akte kelahiran anak.
Pelanggaran terhadap hak anak dengan penggelapan identitas bapaknya.
Anak kesulitan memperoleh pendidikan formal karena akte kelahiran merupakan syarat untuk pendidikan.
Anak sekolah tidak mendapatkan hak pendidikan agama sesuai dengan keyakinannya.
Terpaksa mengikuti pendidikan agama dan melaksanakan ritual yang tidak sesuai dengan agama yang dipeluknya.
Anak-anak keluarga penghayat seringkali mendapat tekanan psikologis dan menjadi objek bullying sebagai tidak beragama, komunis, atheis, atau penyembah berhala.
Karier terhambat, yang berarti menghalangi pengembangan potensi diri yang dimilikinya, utamanya sebagai PNS, demikian juga ketika hendak masuk TNI/Polri.
Menghalangi peluang meningkatkan taraf hidup dan kese-jahteraan.
Pada beberapa daerah, kelompok penghayat yang meninggal dunia masih punya persoalan penguburan.
Adapun regulasi yang potensial untuk mendiskriminasi antara lain:

UU No.1 PNPS 1965 tentang Penodaan Agama
UU No. 1 tahun 1974 tentang Perkimpoian
Instruksi Menteri Agama RI No: 4 tahun 1978 tentang Kebijaksanaan mengenai Aliran Kepercayaan
Surat Edaran Menteri Dalam Negeri No. 477/74054 tanggal 18 November 1978 perihal petunjuk pengisian kolom “agama” pada lampiran SK Mendagri No: 221a/1975 tentang Pencatatan Perkimpoian dan Perceraian pada Kantor Catatan Sipil
Surat Menteri Agama kepada Gubernur/KDH Tingkat I Jatim No: B/5943/78 tanggal 3 Juli 1978 tentang Masalah Menyangkut Aliran Kepercayaan
UU-28/1997 tentang Kepolisian Negara RI
UU 16/2004 tentang Kejaksaan RI
UU Administrasi Kependudukan Nomor 23 Tahun 2006 yang kini menjadi UU Nomor 24 Tahun 2014
Surat Menteri Agama kepada para Gubernur/ KDH Tingkat I seluruh Indonesia No:B.VI/11215/1978 tanggal 18 Oktober 1978 perihal Masalah Penyebutan Agama, Perkimpoian, Sumpah, dan Penguburan Jenazah bagi Umat Beragama yang dihubungkan dengan Aliran Kepercayaan
Surat Menteri Agama kepada Menteri Dalam Negeri No: B.VI/5996/1980 tanggal 7 Juli 1980 perihal Perkimpoian, Kartu Penduduk, dan Kematian Penghayat Kepercayaan Tuhan Yang Maha Esa

Apakah pengosongan kolom agama untuk penghayat itu tidak cukup sampai kolom agama harus benar-benar dihapuskan?

Seperti saya jelaskan, untuk kelompok penghayat justru ada dua aspirasi. Pertama, tetap memasukkan kolom agama dengan syarat semua agama dan kepercayaan diakomodasi. Kedua, dihapuskan sama sekali, dan itu memang harapan bersama. Selain kolom agama di KTP, semua sistem aminduk harus dihapuskan atau dengan logika yang sama harus diakomodasi semuanya.

Saat ini tercatat ada 239 kelompok agama lokal/penghayat, dan itu yang berorganisasi. Masih banyak yang tidak berorganisasi dan berada di bawah Majelis Luhur Penghayat Indonesia, seperti Sunda Wiwitan, Paneges, dan beberapa komunitas Dayak di Kalimantan dll.

Apa efek dari pengapusan kolom agama di KTP?

Baik tidak ada kolom agama di KTP atau dihapus sama sekali hanya untuk mengotak-kotakkan warga negara dalam nalar segregasi, juga tidak ada manfaatnya. Nalar kelompok agama yang menginginkan identitas agama dituliskan di KTP itu selain untuk kepentingan politik demografi, juga untuk isu kuantitas mayoritas.

Alasan tidak ada kolom agama di KTP akan menyulitkan saat proses menguburkan kalau mati atau kecelakaan, itu alasan paling konyol. Kalau saja terjadi kecelakaan kemudian mati atau ada orang jantungan tiba-tiba mati, orang yang menemukan akan lapor polisi.

Polisi juga tidak akan langsung mengubur, melainkan akan mengotopsi dengan membawanya ke rumah sakit, dan akan meminta keluarganya menjemput. Dan tidak akan mungkin keluarganya lupa agama salah satu keluarga yang kecelakaan atau meninggal.

Jadi kolom agama di KTP dan sistem adminduk lainnya tidak bermanfaat apa-apa.

Apakah pengosongan kolom agama di KTP merupakan bentuk sekularisasi?

Jelas ya. KTP dan sistem adminduk adalah kerja sekularisme dalam pengertian bahwa agama dalam kitab suci tidak mengajarkan agar dibuat kolom agama, bahkan perintah membuat KTP saja tidak ada.

Bahwa ada tuduhan pengosongan kolom agama sebagai bentuk proyek sekularisasi, itu isu yang dibuat-buat dari kalangan yang malas berpikir. Kelompok ini menggunakan senjata “Spilis” (sekularisme, pluralism, dan liberalisme) sebagai senjata untuk melumpuhkan gerakan penuntutan hak kelompok tertindas seperti kaum penghayat.

Dalam kajian politik kekuasaan memang ada situs kekuasaan di balik wacana. Wacana sekularisasi masih dianggap ampuh untuk menstigma lawan politik, tetapi itu model berpikir yang tidak kreatif karena memakai isu yang sudah kedaluwarsa.

http://citizendaily.net/aktivis-anbti-a ... m-agama/4/
Mirror: Aktivis ANBTI : Agama Tidak Mengajarkan Dibuat Kolom Agama
Follow Twitter: @ZwaraKafir
Post Reply