Dua Faktor Pendukung Kerukunan di Semarang

Gambar2 dan Berita2 kekejaman akibat dari pengaruh Islam baik terhadap sesama Muslim maupun Non-Muslim yang terjadi di Indonesia.
Post Reply
Laurent
Posts: 6083
Joined: Mon Aug 14, 2006 9:57 am

Dua Faktor Pendukung Kerukunan di Semarang

Post by Laurent »

Dua Faktor Pendukung Kerukunan di Semarang
Nov 06, 2014 Admin Berita, Budaya 0

[Semarang –elsaonline.com] Dari aspek sejarah, tidak pernah muncul pergolakan yang serius di Kota Semarang. Komunisme muncul di Semarang tahun 1920-an dan juga ada pergerakan buruh kereta api besar-besaran juga muncul. Tapi tidak ada gejolak yang serius di Semarang. Di Semarang, tidak ada kelompok ekonomi kelas menengah pribumi yang kuat. Ini yang membedakan kota ini dengan Solo.

“Di Semarang tidak ada kelompok ekonomi kelas menengah yang mirip juragan-juragan di Solo. Yang ada hanya kelompok bawah saja. Dan mereka tidak pernah mendapatkan restriksi apapun di Semarang. Kelas atasnya pun mengkonsumsi produk pedagang bawahan ini,” kata Tubagus P. Svarajati, pemerhati masalah budaya, beberapa waktu lalu.

Tentang kerukunan yang terbangun dengan baik di Semarang ini kemudian ditanyakan oleh Anas Saidi, peneliti dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI). Ia menanyakan hal tersebut apakah ini karena berkaitan dengan sejarah bahwa ada banyak orang Cina yang muslim sehingga tidak berkonflik.

Tubagus menjelaskan bahwa sesungguhnya tidak banyak orang dari kalangan bawah yang merawat ingatan ini. Mereka tahu ada beberapa wali yang merupakan keturunan Cina, tapi juga orang Cina tidak merasa bangga bahwa wali itu orang Cina. “Kalau iya (merasa, red), itu akan menjadi potensi kerjasama yang luar biasa,” tambah penulis buku Pecinan Semarang tersebut.

Orang Semarang itu, lanjut Tubagus adalah masyarakat yang egaliter. Orang pesisir dan juga pragmatis, karena kota ini adalah kota dagang. Sehingga yang terjadi adalah proses transaksional. “Kalau itu menguntungkan, ada imbal baliknya maka selesai,” ujar pemilik eks Rumah Seni Yaitu.

Tubagus kemudian menyebut salah satu kasus dimana ingatan sejarah yang tidak terlalu kuat dan proses transaksi yang berjalan mulus, yakni kasus Paragon. Situs Paragon, sebut Tubagus, memang situs budaya yang kami sebut Gedung Rakyat Indonesia Semarang (GRIS). Tetapi tahun 1980-an itu menjadi muspro dan yayasannya pindah ke Pedurungan. Situs ini kemudian terbengkalai lama.

“Lalu situs ini kemudian dibeli Poe Soen Kok dan pergolakannya tidak terlalu kuat, karena ingatan kami tentang situs ini rontok. Orang-orang sekeliling di Sekayu pada awalnya protes dengan pembangunan itu. Tetapi begitu jalan, ada tetesan ekonomi yang muncul, mereka tenang. Karena kota ini transaksional. Mungkin mereka juga tidak menyadari sejarah itu punya peran,” sebut Tubagus.

Prestasi kerukunan yang terjadi di Semarang itu, sebut Tubagus yang diamini Anas, setidaknya didukung oleh dua hal. Pertama, di pasar, orang kontraktual, pragmatis yang menganggap agama itu urusan privat. Kedua, di ruang kultural ada satu pertemuan yang relatif tidak memperbesar perbedaan. “Cuma, dari segi sejarah kelihatannya diragukan apakah sejarah itu sesuatu yang memberikan pengaruh. Misalnya apakah wali yang Cina itu cukup membanggakan dalam ingatan kolektif warga Cina,” ucap Anas.

Dalam sejarah, ketika Batavia bergejolak pada 1740, orang Cina justru bahu membahu dengan orang Jawa melawan kolonial di Semarang. itu satu bukti, bahwa pergaulan mereka itu baik sejak dulu. “Tapi ingatan ini tidak diingat baik oleh orang Semarang maupun orang Cina. Jadi ada ingatan yang diabadikan, tapi ada juga yang dilupakan,” papar Tubagus.

Ketika ditanya soal wali-wali yang Islam dan ingatan itu mestinya bisa dipelihara, Tubagus mengatakan bahwa represi orde baru sangat berperan dalam menekan ingatan tersebut. “Pada masa orde baru, agama orang Cina itu tidak boleh menonjol, orang Cina ditindas. Mereka tidak berani memunculkan identitas korelatif dengan wali-wali yang muslim itu,” Tubagus menjelaskan.

Relasi Cina-Jawa serta agama itu betul-betul privat. Meski dulu orang-orang Cina totok itu merasa lebih tinggi dari orang Jawa. Sehingga, kata Tubagus, tidak ada tuan rumah kebudayaan di Semarang. Semuanya menjadi lurah, bupati untuk Semarang. Di Semarang itu tidak ada yang menjadi pentolan seni rupa, dan lain-lain.

Tubagus menjelaskan bahwa meski dominasi ekonomi orang Cina itu kuat, tetapi mereka tidak pernah mengaku menjadi tuan rumah kebudayaan di Semarang. Kontestasi identitas yang kuat tidak ada di Semarang. [elsa-ol/TKh-@tedikholiludin]

http://elsaonline.com/?p=3870
Mirror: Dua Faktor Pendukung Kerukunan di Semarang
Follow Twitter: @ZwaraKafir
Post Reply