Jawa Tengah : Samin & Kejawen Diakui Resmi !!!!

Gambar2 dan Berita2 kekejaman akibat dari pengaruh Islam baik terhadap sesama Muslim maupun Non-Muslim yang terjadi di Indonesia.
Post Reply
Laurent
Posts: 6083
Joined: Mon Aug 14, 2006 9:57 am

Jawa Tengah : Samin & Kejawen Diakui Resmi !!!!

Post by Laurent »

Hak Sipil Penghayat Kepercayaan
Nov 02, 2014 Admin Artikel 0

Oleh: Tedi Kholiludin

Diskusi terbatas bersama kelompok penghayat kepercayaan yang dilaksanakan oleh eLSA
Diskusi terbatas bersama kelompok penghayat kepercayaan yang dilaksanakan oleh eLSA

Kabar melegakan datang dari Ombudsman Republik Indonesia Kantor Perwakilan Provinsi Jawa Tengah. Jum’at (10/10/2014) melalui ketuanya, Ahmad Zaid, ORI menegaskan bahwa pemerintah mengakui agama suku Samin (Sedulur Sikep) sebagai aliran kepercayaan secara legal yang dianut oleh masyarakat setempat. Atas dasar pengakuan ini maka hak-hak mereka sebagai warga negara harus dilayani oleh pemerintah. Termasuk diantara hak-hak tersebut adalah pencatatan pernikahan di Kantor Catatan Sipil (KCS).
Sebagai akibat dari pencatatan pernikahan ini akan terlihat pada identitas anak hasil pernikahan. Jika dalam sebuah keluarga yang tidak tercatat pernikahannya di KCS, orang tua si anak di akta kelahiran merujuk pada ibu (binti), pernikahan yang dicatatakan membuat identitas orang tua anak merujuk pada ayah (bin). Pencatatan pernikahan ini juga berpengaruh terhadap status perkawinan keluarga penghayat di Kartu Tanda Penduduk (KTP). Seorang laki-laki yang meski sudah menikah, tetapi pernikahannya tidak dicatatkan, maka akan tetap ditulis “ belum kawin” dalam KTP. Singkat kata, pencatatan pernikahan adalah peristiwa hukum yang sangat krusial, terutama bagi kelompok penghayat kepercayaan. Baik terhadap pasangan yang menikah atau anak yang nantinya lahir dari pasangan tersebut.

Sejak disahkannya Undang-undang Administrasi dan Kependudukan (Adminduk) pada tahun 2006 dan kemudian direvisi pada tahun 2013, pernikahan penghayat kepercayaan memang sudah bisa dicatatkan. Melalui Peraturan Pemerintah (PP) nomor No. 37 Tahun 2007, memberikan kesempatan bagi penghayat kepercayaan untuk dapat mencatatkan pernikahannya dicatatkan.

Pemerintah sendiri mengkategorikan pernikahan sebagai peristiwa penting (pasal 1 ayat 17) yang harus dicatatkan. Dalam UU Adminduk, pentingnya peristiwa pencatatan pernikahan ini akan sangat terkait dengan peristiwa penting lainnya, yakni kelahiran, pengakuan anak dan pengesahan anak.

Pengakuan anak merupakan peristiwa dimana sang orang tua anak tersebut telah melaksanakan perkawinan yang sah menurut hukum agama, tetapi belum sah
menurut hukum negara (Pasal 49 ayat 2). Sementara yang disebut pengesahan anak adalah sebuah peristiwa yang berlaku bagi anak yang orang tuanya telah melaksanakan perkawinan sah menurut hukum agama dan hukum negara (Pasal 50 ayat 2).

UU Adminduk membangun logika dualistik atas sahnya sebuah pernikahan. Logika yang juga dianut oleh UU No. 1 tahun 1974. Ada pernikahan yang sah menurut agama dan sah menurut negara. Anak yang lahir dari pasangan yang sah menurut agama dan tidak sah menurut negara, statunya adalah “anak yang diakui.” Sementara anak pasangan pernikahan yang sesuai menurut agama dan negara adalah “anak yang sah.” Tak heran kalau di akta kelahiran anak-anak di Sedulur Sikep Kudus misalnya, tertulis redaksi “telah lahir _____________ (nama anak) anak ke satu, perempuan luar kawin dari _____ (nama ibu).” Ada juga yang tertulis “telah lahir ________ (nama anak), dari _______ (nama ibu).” Penulisan ini berlaku bagi penghayat kepercayaan yang pernikahannya tidak dicatatkan.

Pertanyannya apakah, UU Adminduk dan PP yang menjadi petunjuk pelaksanaannya itu benar-benar akomodatif terhadap penghayat kepercayaan termasuk dalam pencatatan pernikahan?

Level persoalan yang menimpa penghayat itu tidak tunggal. Dan ini tentu saja didasarkan atas fakta bahwa cara pandang penghayat terhadap hubungan agama/kepercayaan dan negara itu sangat variatif. Ada penghayat yang mau mendaftarkan organisasinya kepada pemerintah, tetapi juga banyak yang tidak mau karena alasan yang bersifat teologis. Juga ada penghayat yang masuk dalam kategori penghayat perorangan yang tidak terikat pada organisasi penghayat tertentu.

Penghayat yang organisasinya terdaftar di pemerintah itulah yang bisa menjadi “pemuka penghayat.” Mereka yang mengesahkan pernikahan komunitasnya untuk kemudian didaftarkan di catatan sipil. Tentu hal ini tidak bisa dilakukan oleh penghayat yang organisasinya tidak mendaftar di pemerintah.

Kenyataan inilah yang perlu dipahami oleh pemerintah. Bahwa penghayat itu sesungguhnya heterogen dari sisi perspektifnya terhadap negara.

Meski begitu, pemerintah tentu harus berada pada posisi yang tegas. Terhadap keyakinan warganya, negara tidak perlu “mengakui” atau “tidak mengakui,” posisi yang masih ditemukan dalam UU Adminduk. berdasarkan UUD 1945, tugas negara itu menjamin kemerdekaan penduduk untuk beribadah menurut agama dan kepercayaannya, bukan mengakui. Ini artinya pemerintah harus memberikan pelayanan hak sipil yang sama terhadap seluruh penghayat kepercayaan, tanpa melihat apakah organisasi mereka terdaftar atau tidak.

Karena, sebagaimana bukan tugas pemerintah untuk menilai sah atau tidaknya sebuah keyakinan, juga bukanlah kewajiban pemerintah menganggap apakah sebuah organisasi penghayat itu sah atau tidak untuk eksis dan dilayani hak konstitusionalnya di republik ini. Hanya mengesahkan pernikahan penghayat yang organisasinya terdaftar di pemerintah, hemat saya adalah sebentuk intervensi pemerintah terhadap keyakinan, melalui “politik pengakuan.”

http://elsaonline.com/?p=3863
Mirror: Jawa Tengah : Samin & Kejawen Diakui Resmi !!!!
Follow Twitter: @ZwaraKafir
Post Reply