Diskriminasi Agama Yang Tak Kunjung Henti

Gambar2 dan Berita2 kekejaman akibat dari pengaruh Islam baik terhadap sesama Muslim maupun Non-Muslim yang terjadi di Indonesia.
Post Reply
Laurent
Posts: 6083
Joined: Mon Aug 14, 2006 9:57 am

Diskriminasi Agama Yang Tak Kunjung Henti

Post by Laurent »

Warisan Politik SBY
Diskriminasi Agama yang Tak Kunjung Henti
Yohannie Linggasari & Arie Riswandy, CNN Indonesia Senin, 20/10/2014 07:25 WIB
Diskriminasi Agama yang Tak Kunjung Henti

Puluhan orang menggelar aksi di depan Mahkamah Agung, Jakarta, Rabu 21 Februari 2011. Satu dari beberapa warisan pemerintah SBY adalah penyelesaian masalah intoleransi beragam. (Detik Foto/Khairuddin Safri)
Jakarta, CNN Indonesia -- Di tengah bising suara kendaraan bermotor melintas, Widyaningsih Paulus tengah khusyuk memanjatkan doa. Tangan kanannya menggenggam alkitab. Tangan kirinya memegang payung untuk melindungi diri dari terik matahari yang menyengat.

Widyaningsih adalah satu dari puluhan jemaat Gereja Kristen Indonesia (GKI) Yasmin yang rutin menggelar kebaktian di depan Istana Negara setiap dua pekan sekali. Mencoba mengetuk hati Presiden Susilo Bambang Yudhoyono untuk menyelesaikan persoalan mereka.

Selama lebih lima tahun terakhir jemaat GKI Yasmin terombang-ambing dalam ketidakpastian hukum atas penyegelan dan penutupan gedung gereja mereka oleh Pemerintah Kota Bogor.

"Hak kami dipasung. Negeri ini negeri hukum, tapi kami merasakan hukum itu tidak ada," kata Widyaningsih.

Juru bicara GKI Yasmin, Bona Sigalingging menjelaskan penyegelan gedung GKI Yasmin bukan karena gereja itu tak punya Izin Mendirikan Bangunan (IMB). GKI Yasmin menurut Bona telah mengantongi IMB sejak tahun 2006, yang diberikan oleh Walikota Bogor saat itu, Diani Budiarto.

Namun pada 2008, Diani kemudian membekukan dan mencabut IMB bangunan GKI Yasmin karena berbagai alasan yang kerap berubah dari waktu ke waktu.

Bona mengungkapkan pada awalnya Pemkot Bogor menyegel gereja karena menilai bahwa keberadaan GKI Yasmin yang berlokasi di Perumahan Taman Yasmin menimbulkan keresahan masyarakat.

Pemkot Bogor kemudian juga menyatakan bahwa pengurus GKI Yasmin melakukan pemalsuan tanda tangan dalam surat persetujuan warga untuk mendapatkan IMB.

Pemkot Bogor berdalih bahwa IMB yang dikeluarkan walikota Bogor kala itu bukan untuk pembangunan rumah ibadah, melainkan untuk pembangunan Rumah Sakit Hermina yang berlokasi di samping gereja.

“Itu konyol. Pengurusan IMB gereja kami lakukan sejak Agustus 2005, sementara RS Hermina sudah diresmikan sejak Oktober 2002,” kata Bona.

Persoalan pembekuan IMB kemudian dibawa ke ranah hukum dan menemukan titik terang. Pada 9 Desember 2010, Mahkamah Agung telah mengukuhkan izin pendirian bangunan GKI Yasmin sah dan legal.
Di daerah Jawa, banyak laporan kelompok Kristen sulit mendapatkan IMB untuk rumah ibadah. Kasus serupa juga dirasakan umat muslim di bagian timur Indonesia
Siti Noor Laila


Pemkot Bogor kemudian duduk bersama dan berdiskusi dengan GKI Yasmin di Balai Kota Bogor pada 7 Maret 2011. Dalam pertemuan yang dihadiri oleh The WAHID Institute, LBH Jakarta, Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia Indonesia, dan Human Rights Working Group, Pemkot Bogor menyatakan telah menerima salinan putusan Mahkamah Agung tertanggal 9 Desember 2010 namun menyatakan tidak bersedia melaksanakannya.

GKI Yasmin menolak sikap Pemkot Bogor tersebut dan menilai Pemkot Bogor melawan putusan Mahkamah Agung.

Upaya pencabutan pembekuan IMB gedung GKI Yasmin diperkuat dengan surat rekomendasi Ombudsman RI yang meminta Walikota Bogor untuk mencabut SK tentang pembekuan IMB dalam waktu 60 hari, atau hingga 18 September 2011.

Namun Walikota Bogor dan Polres Bogor tetap melarang jemaat GKI Yasmin beribadah di dalam gereja sampai hari ini.

Bona mengungkapkan diskusi dan duduk bersama dengan Pemkot Bogor telah dilakukan berkali-kali, namun tak juga menemui kata sepakat.

“Pemkot Bogor menawari kami relokasi gereja ke daerah lain namun kami tidak mau karena IMB di Taman Yasmin sah dan legal,” kata Bona.

Terkait penyelesaian sengketa gedung GKI Yasmin, Walikota Bogor saat ini, Bima Arya, menyatakan akan segera duduk bersama dengan Menteri Agama untuk menyamakan informasi.

“Ada perbedaan penafsiran keputusan MA, karena beberapa pihak menilai kasus ini terlalu politis,” ujar Bima kepada CNN Indonesia.

Diskriminasi Agama

Kasus GKI Yasmin hanyalah satu dari sekian banyak kasus diskriminasi agama yang membekap Indonesia di era pemerintahan Presiden Susilo Yudhoyono.

Dihubungi CNN Indonesia terkait kasus ini, Ketua Komnas HAM, Siti Noor Laila menyatakan persoalan diskriminasi terhadap pemeluk agama minoritas memang berkisar pada persoalan mendirikan rumah ibadah baru atupun kebebasan menjalankan ibadah.

“Di daerah Jawa, banyak laporan kelompok Kristen sulit mendapatkan IMB untuk rumah ibadah. Kasus serupa juga dirasakan umat muslim di bagian timur Indonesia,” kata Siti ketika dihubungi CNN Indonesia di Jakarta, Jumat (19/9).

Menurut Siti, sebagai penerima penghargaan internsional di bidang HAM, Presiden SBY seharusnya turun langsung menangani kasus ini, dan tidak hanya menyerahkan kepada pemerintah daerah.

Kasus serupa juga menimpa berbagai pemeluk agama minoritas lain, seperti jemaat HKBP Filadelfia di Bekasi, Jemaah Ahmadiah Indonesia (JAI) dan penganut keyakinan Sunda Wiwitan.

Puluhan orang menggelar aksi di depan Mahkamah Agung, Jakarta, Rabu 21 Februari 2011. Hingga SBY turun, kasus ini belum mendapatkan penyelesaian. (Detik Foto/Khairuddin Safri) Kepala Badan Penanganan Kasus Lembaga Bantuan Hukum (LBH), Muhammad Isnur menyatakan hingga kini jemaah Ahmadiyah yang tersebar di lima provinsi dan 23 kabupaten di penjuru Indonesia tidak dapat menjalankan ibadah dengan tenang.

Pasalnya, Surat Keputusan Bersama (SKB) 3 Menteri yang ditandatangani oleh Menteri Agama, Menteri Dalam Negeri dan Jaksa Agung pada 2008 lalu melarang kegiatan ibadah penganut aliran Ahmadiyah yang dinilai tidak sesuai dengan ajaran Islam.

“Umat Ahmadiyah diusir dari Cikeusik dan Lombok dan hingga kini tak boleh kembali,” kata Isnur, Kamis (23/9).

Juru bicara JAI, Zafrullah Pontoh menyatakan sikap penolakan kepada penganut aliran Ahmadiyah masih berlangsung di sejumlah daerah, termasuk di Bekasi dan di Depok.

“Kami menerima penyerangan verbal dan fisik dan penutupan rumah ibadah di sejumlah daerah, sementara Pemda setempat diam saja dan cenderung memfasilitasi penyerangan itu,” kata Zafrullah, ketika dihubungi pada Senin (29/9).

Intoleransi agama juga menimpa pemeluk keyakinan Sunda Wiwitan, keyakinan yang dianut oleh masyarakat tradisional Sunda, yang sebagian besar berdomisili di Provinsi Banten dan Jawa Barat.

Masyarakat Sunda Wiwitan dan keturunannya menerima perlakuan diskriminatif dari negara semenjak lahir, karena tidak bisa memiliki surat kelahiran atau akte. Hal serupa juga mereka alami dalam pembuatan KTP dan buku nikah.

Pasalnya, keyakinan Sunda Wiwitan tidak termasuk ke dalam lima agama yang diakui negara. Penganut Sunda Wiwitan terpaksa harus memilih salah satu dari lima agama yang diakui, meskipun mereka tidak menyakininya.

“Negara seolah-olah menjadi wakil Tuhan untuk mengakui suatu agama.,” ujar Dewi Kanti, penganut kenyakinan Sunda Wiwitan, ketika dihubungi CNN Indonesia pada Kamis (2/10).

Dewi, yang telah menikah selama 12 tahun, hingga kini belum memiliki surat nikah karena berpegang teguh pada keyakinannya dan menolak mengaku penganut agama lain.

Menurut Dewi, anak-anak dengan keyakinan Sunda Wiwitan memiliki akte kelahiran, namun hanya nama ibu yang tercantum di situ, tanpa nama ayah.

Anak-anak dengan keyakinan Sunda Wiwitan dipaksa memilih salah satu agama yang diakui, bahkan memakai jibab pada saat bulan Ramadhan, agar mendapat nilai pada mata pelajaran agama.

“Posisi perempuan penganut Sunda Wiwitan sangat direndahkan oleh negara,” kata Dewi.

Meskipun tak memiliki KTP, Dewi mengaku keluarganya dianjurkan ikut berpartisipasi dalam setiap pemilihan umum oleh pemerintah setempat.

Harapan Masih Ada

Para pemeluk keyakinan minoritas masih menaruh harapan yang besar kepada pemerintahan untuk memperbaiki berbagai kasus diskriminasi.

Dewi mengapresiasi langkah Menteri Agama, Lukman Hakim, yang mengundang penganut Sunda Wiwitan untuk duduk bersama dan berdiskusi.

“Baru kali ini ada yang mau mendengar suara kami,” kata Dewi.

Serupa dengan Dewi, Zafrullah juga menyatakan apresiasinya ketika diundang untuk berdialog dengan Lukman. Zafrullah kini menanti janji sang Menteri Agama untuk memfasilitasi semua umat beragama agar dapat beribadah sesuai keyakinannya masing-masing.

Ketika ditemui CNN Indonesia di kantornya, Lukman menyatakan pertemuannya dengan beberapa perwakilan kelompok minoritas merupakan upaya pemetaan terhadap persoalan diskriminasi umat berama di Indonesia.

“Pemetaan kasus diperlukan sehingga siapapun yang kemudian menjabat sebagai menteri agama dapat dengan cepat mengidentifikasi persoalan dan menemukan solusi,” kata Lukman.
(ama/dlp)

http://www.cnnindonesia.com/nasional/20 ... frommobile
Mirror: Diskriminasi Agama Yang Tak Kunjung Henti
Follow Twitter: @ZwaraKafir
Post Reply