Kebebasan Beragama dan Warisan Kebijakan Diskriminatif

Gambar2 dan Berita2 kekejaman akibat dari pengaruh Islam baik terhadap sesama Muslim maupun Non-Muslim yang terjadi di Indonesia.
Post Reply
Laurent
Posts: 6083
Joined: Mon Aug 14, 2006 9:57 am

Kebebasan Beragama dan Warisan Kebijakan Diskriminatif

Post by Laurent »

Kebebasan Beragama dan Warisan Kebijakan Diskriminatif


Mengapa kebebasan beragama sulit direalisasikan di Indonesia?



Salah satu jawabannya adalah karena kita mewarisi kebijakan yang belum selesai di negeri ini. Kita mewarisi sejarah panjang diskriminasi. Tarik menarik relasi antara agama dan negara di Indonesia tidak saja terjadi sekarang ini. Sejak masa kolonial Belanda, pemerintah kolonial sudah memberi ruang lebih kepada masyarakat muslim dengan mengakomodir beberapa aturan hukum berbasis Islam.



Perdebatan panjang konstituante tentang rumusan negara ini menyisakan catatan-catatan kompromi politik yang mengakomodasi beberapa kepentingan, terutama kepentingan kelompok Islamis. Terhapusnya 7 kata dalam Piagam Jakarta adalah kemenangan kaum nasionalis, namun setidaknya memunculkan dua implikasi:



Rumusan bentuk negara Pancasila, yang di satu sisi sekuler, di sisi lain agamis. Atau tidak dua-duanya. Kompromi ini menguntungkan, sekaligus bisa berbahaya.


Meninggalkan dendam di kalangan kaum islamis yang pada gilirannya menjadi ledakan politik formalisasi syariat, seperti yang terjadi pada perdebatan panjang saat amendemen UUD 1945, dan kemudian munculnya perda-perda syariat di berbagai daerah.


Pada masa otoriter Orde Baru (dan pada tingkat tertentu juga Soekarno), strategi pembungkaman kelompok “Islam Politik” dilakukan dengan memberi ruang implementasi syariat Islam khusus untuk umat Islam. Berlakunya hukum dua kamar dalam lembaga yudikatif untuk perceraian, perkawinan (KUA & KCS), warisan, lahirnya UU Perkawinan Nomor 1 tahun 1974, berada dalam kerangka tersebut. Bias mayoritas-minoritas termanifestasi nyata dalam konteks ini.



Pengaturan agama melalui politik pengakuan juga mewariskan beberapa masalah serius:



Bias agama besar. Meski tidak secara eksplisit menyebutkan “agama resmi” atau “agama yang diakui”, namun UU No. 1/ PNPS/1965 berakibat fatal dianutnya logika agama resmi tersebut, karena pada tataran implementasinya (Lihat misalnya Instruksi Menteri Agama Nomor 4/1978), seluruh kebijakan pengaturan agama di Departemen Agama (dan boleh dibilang semua departemen) diorientasikan pada “6 agama resmi”.


Meminggirkan kelompok penghayat kepercayaan yang dianggap sebagai kelompok non-agama. Label “tak beragama” ini berimplikasi serius pada pemusnahan hak sipil hingga hak hidup mereka. Pada masa Orde Lama, stigma PKI melekat pada mereka, yang artinya halal darahnya. Pada masa Orde Baru, label itu menjadikan mereka satu-satunya objek sah proselitisasi karena kebijakan Orde Baru membolehkan Islamisasi, Kristenisasi, dan seterusnya kepada “seseorang yang tidak memeluk agama”. Apalagi, sampai hari ini, organisasi penghayat masih dianggap sebagai organisasi budaya yang diletakkan di bawah Departemen Pariwisata dan Budaya.


Lebih parah, bias itu mengerucut menjadi “bias pandangan mainstream”, terutama dalam kasus Ahmadiyah dan kelompok-kelompok yang dianggap sesat dalam Islam.


Sedikit contoh warisan di atas menunjukkan bahwa masalah diskriminasi dan ketidaksetaraan yang kita hadapi hari ini bukan masalah sederhana, dan telah tertanam dalam memori kolektif bangsa dan menjadi cara berpikir para pengelola negara ini. Kasus RUU KUHP misalnya, mempertegas bahwa cara berpikir lama yang bias tersebut masih dominan dalam benak para pengelola negeri ini.[]

- See more at: http://inspirasi.co/forum/post/3531/keb ... AOUMX.dpuf
Mirror: Kebebasan Beragama dan Warisan Kebijakan Diskriminatif
Follow Twitter: @ZwaraKafir
Post Reply