Prostitusi di Serambi Makkah
Oleh: Tabrani Yunis | 29 December 2012 | 23:10 WIB
Aceh sebagai sebuah provinsi yang penduduknya mayoritas beragama Islam dan memiliki status daerah otonomi, telah menetapkan wilayahnya menjadi negeri yang menerapkan syariat Islam secara kaffah. Konsekwensinya ketika ini menjadi sebuah pilihan hidup, maka segala aktivitas yang berjalan di Aceh haruslah berlandaskan syariat Islam. Artinya
amar makruf, nahi mungkar akan berjalan secara ideal. Tata kehidupan masyarakat Aceh pun sesuai dengan
akhlakul karimah sebuah masyarakat yang saling harga menghargai sesama, bersopan santun, serta hidup dalam suasana yang madani dan islami karena
cahaya keislaman yang mewarnai kehidupan masyarakat. Masyarakat Aceh idealnya menjadi
masyarakat yang benar-benar menghayati dan menjalankan segala apa yang dianjurkan Allah SWT serta meninggalkan apa yang dilarang Allah. Islam sebagai agama yang damai, akan membawa tata kehidupan Aceh yang damai. Maka, idealnya, tidak ada yang namanya praktek korupsi , apalagi yang kalau prostitusi atau pelacuran yang jelas-jelas bertentangan dengan syraiat islam. Ini sangatlah ditentang.
Realitas yang ada, kendatipun Aceh sedang menggeliat dan bersemangat menerapkan syariat Islam, tidak terpelas dari duri-duri dan kerikil yang mengganjalnya.
Aceh yang katanya sangat agamis, hingga kini masih diselubungi oleh praktek korupsi yang dilakoni oleh para pejabat yang pada prinsipnya sama seperti modus yang dilakukan oleh seorang pelacur untuk mendapatkan harta secara haram. Ini adalah sebuah ironi di negeri yang sedang menerapkan syariat Islam ini. Lebih ironis lagi, Aceh bukan saja menjamur dengan para koruptor, tetapi juga dijangkiti dengan praktek prostitusi.
Bisa jadi kita tidak percaya kalau di Aceh ada yang namanya praktek prostitusi atau pelacuran itu. Bisa jadi pula ada yang berkata dan menantang, siapa bilang tidak ada prostitusi di Aceh? Keduanya memungkinkan, karena selama ini, ketika Aceh tidak memiliki lokalisasi prostitusi yang resmi, tetapi banyak tersebar tempat prostitusi terselubung. Karena praktek prostitusi (pelacuran) di Aceh terlaksana secara terselubung, maka sulit bagi kita untuk mendapatkan angka yang valid tentang kuantitas para pelacur di negeri ini, baik pelacur laki-laki, maupun pelacur yang perempuan. Walau di tabloid KONTRAS Nomor : 526 | Tahun XI 28 Januari - 3 Februari 2010 mengutip data dari YDR ada sekitar 500 PSK di Aceh. Bila ini benar, maka kesimpulan kita adalah ternayata pe;acuran itu memang ada dan cukup besar jumlahnya bukan? Ini baru jumlah perempuannya,. Pertanyaan kita berapa pula jumlah laki-laki yang selama ini menjadi penikmat seks bebas itu di Aceh? Pasti jumlahnya bisa lebih besar bukan?
Sudah banyak media yang secara sembunyi-sembunyi meneliti praktek prostitusi di Aceh. Buahnya adalah terungkap beberapa realitas di tempat-tempat tertentu. Maka muncul pernyataan banyak kalangan tentang itu. Fuad Mardatilah, dosen IAIN Ar-Raniri sekaligus peneliti masyarakat Aceh di situs rakyat aceh.com mengatakan,
prostitusi di Aceh memang lumayan marak. Tapi jumlahnya jauh berkurang dibanding saat Orde Baru berkuasa. “Saat Orde Baru, masyarakat di Aceh tidak terlalu peduli dengan kegiatan tersebut. Sekarang sudah mulai tumbuh kesadaran sehingga gerak bisnis ini semakin terbatas.''
Menyimak ulasan di atas dan mengikuti pemberitaan yang dirilis oleh beberapa media local, baik surat kabar maupun tabloid, di Aceh memang tersimpan potensi prostitusi yang dilakukan oleh orang Aceh sendiri dan orang-orang yang didatangkan dari luar Aceh seperti Sumatera Utara, Riau, Palembang dan bahkan diimpor dari pulau jawa dan sebagainya. Pelakunya, bukan saja perempuan yang disebut sebagai PSK, WTS, *****, perempuan pelacur, tetapi juga laki-laki sebagai penikmat seks yang kita kenal dengan lelaki hidung belang. Jadi dengan demikian, dilihat dari aspek pelakunya, bukan saja perempuan, tetapi juga laki-laki., yang bukan saja dari kalangan remaja, tetapi juga orang tua yang sudah punya isteri dan anak. Jadi, sekali lagi bahwa pelakuknya adalah perempuan dan laki-laki. Namun dalam realitas sehari-hari, ketika kita mencoba mencari siapa biang dari prostitusi tersebut, maka perempuanlah yang selalu menjadi penyebabnya. Padahal, bila kita mau jujur, perempuan pelacur tidak akan bisa melacurkan diri, kalau tidak ada laki-laki yang mencarinya. Para perempuan pelacur membuka bisnis lacurnya, karena di situ ada si pembeli yang selalu membutuhkan seks. Selayaknya, ketika ingin memberantas prostitusi, tidak cukup hanya dengan menangkap dan membina si perempuannya saja, tetapi juga harus ada upaya untuk menangkap si lelaki yang selalu membeli kenikmatan seks itu. Ibaratnya menangkap si pemabuk, peminum minuman keras atau para pencandu narkotika.
Dalam konteks ke Acehan, pelacuran di Aceh bukan saja terjadi setelah Aceh dideklarasikan sebagai negeri yang melaksanakan Syariat islam, tetapi jauh sebelum itu, perempuan pelacur dan lelaki pelacur memang sudah ada sejak dulu. Kita masih ingat dengan istilah pinggir kali ( wilayah pinggir sungai krueng Aceh) atau rel kereta api Banda Aceh pada tahun 70 an dan sebagainya. Kalau sekarang mungkin banyak berselubung di salon-salon yang nota bene memberikan pelayanan kecantikan itu atau pada tempat-tempat kost yang disebut ayam kampus dan sebagainya. Kita juga tidak bisa percaya bahwa hotel-hotel di daerah ini bersih dari tindakan prostitusi, apalagi WH sendiri tidak beranai dan mungkin tidak diperbolehkan merzia hotel-hotel berbintang di daerah ini.
Adanya praktek pelacuran di Aceh saat ini adalah duri dan kerikil yang sangat mengganggu pelaksanaan Syariat islam di Aceh. Bahkan sangat memalukan. Karena praktek ini mencoreng wajah Aceh, maka harus ada upaya semua unsur, masyarakat, pemerintah dan ulama serta semua lembaga termasuk TNI dan POLRI bergandengan tangan secara jujur dan sungguh-sungguh mencegah dan mengatasi merebaknya praktek prostitusi, baik yang terselubung apalagi yang terbuka. Diperlukan cara dan strategi pemberantasan secara holistic. Pendekatan yang bisa membangun kesadaran baru bagi semua orang. Tidak hanya cukup dengan hanya mencegah dan menangkap perempuan saja dan dibina seadanya seperti diberikan ketrampilan menjahit, tetapi dibina mereka untuk membangun kehidupan yang lebih baik dan bermartabat. Karena ini adalah sebuah pekerjaan yang berat, maka penglibatan semua stakeholder adalah perlu. Kita tidak bisa hanya berharap kepada Dina Syariat islam dan WH saja,, tetapi semua pihak yang terlibat harus ditindak secara berkeadilan, non kekerasan. Karena ini adalah persoalan mentalitas. Bukan semata-mata soal terjepit oleh factor ekonomi saja. Banyak factor yang menyebabkannya.Oleh sebab itu semua factor internal dan eksternal harus diidentifikasi dan dianalisis untuk mendapat solusi yang terintegrasi. Kalau kita mau, pasti bisa.
http://m.kompasiana.com/post/sosbud/201 ... i-makkah-/