Sesat Logika dalam Kesahihan Hadits
Pada kesempatan hari ini, saya akan membahas secara singkat bagaimana penentuan kesahihan suatu hadits didasarkan pada sesat logika (fallacy). Muslim dan para Ulama Muslim umumnya tidak menyadari bahwa penentuan kesahihan suatu hadits menggunakan kriteria-kriteria yang apabila digunakan dalam suatu debat merupakan sesat logika. Hal ini menyebabkan ketika terjadi perdebatan informasi antara so-called 'kafirun' dan 'muslim' terjadi kasus yg cukup alot. Referensi sesat logika tidak akan saya berikan di sini (takut dianggap berat sebelah) tetapi saya akan menggunakan termin-termin yang umum digunakan dalam menjelaskan sesat logika. Sedangkan untuk penentuan kesahihan suatu hadits, saya akan mengambil sebuah tulisan yang dimuat pada laman suatu institusi pemerintah yakni Pengadilan Agama Medan pada link: http://www.pta-medan.go.id/attachments/ ... HADITS.pdf
Persyaratan suatu hadits dikatakan sahih oleh dokumen tsb, saya tuliskan pada spoiler berikut:
Nah, itu tadi merupakan inti dari teks.Ulama hadits dalam menetapkan dapat diterimanya suatu hadits tidak hanya mensyaratkan hal-hal yang berkaitan dengan rawi hadits saja. Hal ini, disebabkan karena hadits sampai kepada kita melalui mata rantai yang teruntai dalam sanad-nya. Oleh karena itu, haruslah terpenuhinya syarat-syarat lain yang memastikan kebenaran perpindahan hadits disela-sela mata rantai tersebut. Syarat-syarat tersebut kemudian dipadukan dengan syarat-syarat diterimanya rawi, sehingga penyatuan tersebut dapat dijadikan ukuran untuk mengetahui mana hadits yang dapat diterima dan mana hadits yang harus ditolak.
Pada umumnya para pakar hadits mengklasifikasikan hadits kedalam tiga bentuk, yaitu: shahih, hasan dan dha'if.[25] Adapun hadits maudhu' tidak termasuk dalam pembagian tersebut, karena pada dasarnya itu bukan hadits. Penyebutannya sebagai hadits hanya dikatakan oleh orang yang suka membuatnya.[26]
Dalam menetapkan kriteria kesahihan hadits, terjadi perbedaaan pendapat di kalangan Muhaditsin. Meskipun demikian, kriteria kesahihan hadits yang banyak diikuti oleh para pakar hadits adalah yang dikemukakan oleh Ibn Shalah yang menyebutkan lima kriteria keotentikan hadits, yaitu:
1. Sanad-nya bersambung.
Kata ittishal berarti bersambung atau berhubungan. Sanad-nya bersambung artinya setiap rawi hadits yang bersangkutan benar-benar menerimanya dari rawi yang sebelumnya dan begitu selanjutnya sampai pada rawi yang pertama. Dengan demikian menurut al-Suyuti, hadits munqati, mu'dhal, mu'allaq, mudallasdan mursaltidak termasuk kategori hadits shahih karena
sanad-nya tidak bersambung.
Menurut Ibnu al-Shalah, hadits muttasil meliputi hadits marfu dan hadits mauquf. Sedangkan hadits musnad adalah hadits yang khusus disandarkan kepada rasulullaah Saw. Dengan demikian, ulama hadits umumnya berpendapat bahwa hadits musnad pasti marfu' dan bersambung sanad-nya, sedangkan hadits muttashiltidak mesti bersambung sanad-nya.[27]
Sementara al-Bukhari berpendapat bahwa suatu hadits bisa disebut sanad-nya bersambung apabila murid dan guru atau rawi pertamadengan rawi kedua benar-benar pernah bertemu mesti hanya sekali. Sementara menurut Muslim, sanadhadits dapat disebut bersambung apabila ada kemungkinan bertemu bagi kedua rawi diatas. Hal ini bisa terjadi apabila keduanya hidup dalam satu kurun waktu dan tempat tinggalnya tidak terlalu jauh menurut ukuran saat itu, meskipun keduanya belum pernah bertemu sama sekali.[28]
Berdasarkan hal diatas, syarat yang dikemukakan al-Bukhari lebih ketat daripada yang ditetapkan oleh Muslim. Hal ini menjadikan karya shahih al-Bukhari menempati peringkat pertama dalam hirearki kitab hadits yang paling shahih.[29] Untuk mengetahui bersambung tidaknya sanadsuatu hadits, ada dua hal dapat yang dijadikan obyek penelitian, yaitu: sejarah rawi dan lafadz-lafadz periwayatan.
2. Rawinya 'adil
Secara bahasa kata 'adl berasal dari 'adala ya'dilu, 'adalat, yang berarti condong, lurus lawan dari dzalim dan pertengahan. Kata 'adl ini kemudian digunakan oleh muhadditsin sebagai sifat yang mesti ada pada diri seorang rawiagar riwayatnya bisa diterima.
Menurut Muhammad 'Ajjaj al-Khatib, 'adalat merupakan sifat yang melekat di dalam jiwa yang mampu mengarahkan pemiliknya untuk senantiasa bertaqwa, menjaga muru'ah, menjauhi perbuatan dosa, tidak melakukan dosa-dosa kecil, dan menjauhi perbuatan yang menjatuhkan muru'ah seperti kencing dijalan, makan dijalan dan lain sebagainya.[30]
Sementara al-Nawawi sebagaimana yang dikutip oleh al-Suyuti mendefinisikan 'adalat lebih kongkrit yaitu: muslim, berakal sehat, tidak terdapat sebab-sebab kefasikan, dan terhindar dari hal-hal yang menjatuhkan muru'ah.[31] sedangkan menurut Abdullah bin Mubarak, ada lima kriteria yang digunakan untuk menetapkan 'adalat-nya seorang rawi, yaitu: selalu melaksanakan shalat berjama'ah, tidak meminum khamr, tidak sembrono dalam menjalankan agama, tidak berdusta dan berakal sehat. Muslim menambahkan bahwa seorang rawi bisa disebut adil adalah apabila ia seorang hafidz, maka ia tidak boleh lupa ketika ia menyampaikannya. Kalau ia mempunyai catatan, maka ia hanya boleh meriwayatkan dari kitab asalnya.[32]
Dalam menentukan 'adil tidaknya rawi, paling tidak ada dua hal yang harus diperhatikan. Pertama; pernyataan dari orang-orang adil dan kedua; mashurnya keadilan rawi tersebut.[33]
3. Rawinya bersipat dhabit.
Dhabitartinya cermat dan kuat hapalannya. Sedangkan yangdimaksud dengan rawi dhabit adalah rawi yang kuat hafalannya, tidak pelupa, tidak banyak ragu, tidak banyak salah, sehingga ia dapat menerima dan menyampaikannya sesuai dengan apa yang ia terima.
Dari sudat kuatnya hafalan rawi, ke-dhabit-an ini terbagi menjadi dua macam, yaitu:pertama, dhabit shadri atau dhabth al-fu'ad, dan kedua dhabth al-kitab. Dhabt al-Shadr artinya kemampuan untuk memelihara Hadits dalam hafalan sehingga apa yang ia sampaikan sama dengan apa yang ia terima dari guruya. Sedangkan dhabth al-kitabadalah terpeliharanya pe-riwayat-an itu melalui tulisan-tulisan yang dimilikinya.[34]
4. Tidak terdapat kejanggalan atau syadz.
Mengenai hadits yang syadz, al-Syafi'i dan ulama Hijaz berpendapat bahwa suatu hadits dipandang syadz jika ia diriwayatkan oleh seorang yang tsiqatnamun bertentangan dengan hadits yang diriwayatkan oleh orang tsiqatyang banyak, sementara itu tidak ada rawi lain yang
meriwayatkannya.
Sementara al-Khalili, hadits syadz adalah hadits yang sanadnya hanya satu macam, baik rawinya memiliki sipat tsiqatataupun tidak. Apabila rawinya tidak tsiqat, maka haditsnya ditolak sebagai hujjah. Sedangkan bila rawinya tsiqat, maka hadits tersebut dibiarkan (mauquf), tidak ditolak dan tidak diterima sebagai hujjah. Sedangkan menurut al-Hakim, hadits syadzialah hadits yang diriwayatkan oleh seorang yang tsiqat, tetapi tidak ada rawi-rawi tsiqat selainnya yang meriwayatkan hadits tersebut.
Syadzdalam hadits tidak hanya terjadi dalam matan saja tetapi ditemukan juga pada sanad. Dalam menentukan syadz tidaknya suatu hadits, para ulama menggunakan cara mengumpulkan semua matan dan sanad hadits yang mempunyai masalah yang sama. Secara sepintas hadits syadz itu shahih karena rawinya orang-orang yang tsiqat, tetapi setelah dikaji lebih mendalam ternyata ada sesuatu yang menggugurkan keshahihan hadits tersebut sehingga dalam mengetahui adanya ke-syudzud-an pada suatu hadits sangat sulit. Oleh karena itu, tidak setiap ulama mampu melakukannya. Hanya orang-orang yang mumpuni dan biasa melakukan upaya penelitian hadits saja yang dianggap mampu melakukan hal tersebut.
5. Tidak terdapat cacat ('illat)
Menurut Ibn Shalah, 'illat adalah sebab yang tersembunyi yang merusak kualitas hadits. Keberadaannya menyebabkan hadits yang pada lahirnya tampak shahih menjadi tidak shahih. hadits yang mengandung unsure 'illat tersebut disebut dengan hadits mu'allaldan ma'lul. Dalam menentukan 'illattidaknya suatu hadits, para ulama menentukan beberapa langkah yaitu, pertama, mengumpulkan semua riwayat hadits, kemudian membuat perbandingan antara sanad dan matan-nya, sehingga bisa ditemukan perbedaan dan persamaan, yang selanjutnya akan diketahui dimana letak 'illatdalam hadits tersebut. Kedua, membandingkan susunan rawi dalam
setiap sanad untuk mengetahui posisi mereka masing-masing dalamkeumuman sanad. Ketiga, pernyataan seorang ahli yang dikenal keahliannya, bahwa haditstersebut mempunyai 'illat dan ia menyebutkan letak 'illat pada hadits tersebut.
Sebagaimana dalam syudzud, 'illatini juga, bukan hanya terdapat pada sanad hadits, tetapi ada juga terdapat pada matn hadits.
Ketiga kriteria pertama, yaitu: 'adhalat, dhabit dan ittishal, berkaitan erat dengan rawi. Sedangkan 'illatdan syadzdz berhubungan dengan matn, meski ada juga sebagian ulama
yang menyebutkan 'illatdan syadzada pada sanad.
Kesimpulan:
1. Hadits menempati posisi yang sentral dalam khazanah hukum Islam. Hadits secara hirarkis menempati posisi kedua setelah Alqur'an sebagai sumber hukum Islam. Sedangkan secara fungsional hadits berfungsi menjelaskan, menguatkan dan menetapkan hukum yang tidak terdapat dalam Alqur'an.
2. Hadits ditinjau dari segi wuruddan periwayatannya berbeda dengan Alqur'an. Alqur'an itu bersifat tawatur sehingga qat'iyyul wurud sedangkan periwayatan hadits kebanyakan besar bersifat ahad dan sedikit sekali yang diriwayatkan secara tawatursehingga hadits kebanyakan bersifat dzanniyatul wurud.
3. Dalam perjalanan sejarahnya, hadits pernah mengalami pemalsuan besar-besar dengan berbagai motif dan alasan yang beraneka ragam. Hal ini mendorong muhaditsinsecara gigih membersihkan dan memilah-milah hadits yang dijamin otentisitasnya.
4. Salah satu hasil daripada upaya para ulama hadits tersebut, adalah terbentuknya Ilmu Musthalahul Hadits yang salah satu bahasannya berkenaan dengan kriteria kesahihan hadits. Muhadditsin telah merumuskan 5 kriteria kesahihan hadits yang meliputi: pertama, rawinya memiliki sifat 'adalah (integritas moral). Kedua, rawi memiliki sifat dhabit (kafasitas intelektual). Ketiga, sanadnya muttashil(bersambung). Keempat, sanadnya tidak mengandung 'illat. Kelima, sanadnya tidak syadz. Wallahu a'lam bis shawab
Bersambung...
Mirror: Sesat Logika dalam Kesahihan Hadits
Follow Twitter: @ZwaraKafir