Prasyarat dan Syarat Persatuan
Setiap cita-cita atau tujuan memiliki prasyarat yang tanpanya tidak mungkin tercapai. Tambahan lagi, demi meraih tujuan tertentu, syarat-syarat yang diperlukan harus dipenuhi sehingga tujuan tersebut tidak hanya tinggal sekadar harapan; melalui syarat-syarat itulah manusia merealisasikan tujuan-tujuannya dan mendarat di tujuan yang diinginkannya. Doktrin persatuan Imam Khomeini merupakan sebuah cita-cita dan karenanya memiliki sejumlah prasyarat yang harus dipenuhi.
Persoalan paling penting sekaitan dengannya adalah bahwa keadilan karena “keadilan merupakan sebuah kemestian dari tauhid”. Karena itu, untuk membentuk persatuan Islam, keadilan Islam harus disebarluaskan mengingat ia merupakan dasar pijakan utama persatuan; dalam kehidupan dunia yang dipenuhi kezaliman dan ketidak-adilan, persatuan tidak akan pernah dapat diwujudkan. Imam menegaskan, “Para nabi sejak Adam as hingga penutup para nabi saw dating… untuk mengibarkan bendera persatuan dan keadilan di tengah masyarakat.”[20]
Kemerdekaan dan kebebasan merupakan prasyarat tambahan bagi terbangunnya persatuan. Bahkan dapat dikatakan bahwa kemerdekaan negeri-negeri Islam terbilang paling penting dari semua itu “karena hanya dengannya kita dapat berdiri berhadapan dengan seluruh dunia dan mengatakan bahwa kita tidak akan mengekor pihak-pihak yang dimurkai Allah Swt (maghdhuubi ‘alaihim) atau pihak-pihak yang tersesat (dhaallin) dan bahwa kita tidak akan mengekor Barat maupun Timur melainkan jalan yang lurus, jalan yang kita semua tempuh bersama—saling bergandeng tangan.”[21]
Dorongan agar umat islam itu eksis dan tidak mengekor pada pihak-pihak yang dimurkai Allah swt atau pada pihak-pihak yang tersesat adalah dengan mengibarkan bendera 'keadilan islam' sbg dasar pijakan persatuan islam di masyarakat islam. Agar persatuan islam itu mudah terwujud, gerakan kemerdekaan dan kebebasan perlu dilakukan.
Jelas bahwa umat manusia secara alamiah diciptakan sebagai anggota dari kelompok etnik yang berbeda-beda serta memiliki kepercayaan dan preferensi yang beragam.
Ngapain dia ngomong kayak ini? Apakah ada hubungannya dgn mendukung 'gerakan keadilan, kemerdekaan dan kebebasan' utk kepentingan muslim dalam pembentukan negara islam?
Begitu pula, kaum Muslim memiliki keimanan dan pandangan yang beragam. Perbedaan pandangan tersebut telah mengakibatkan terjadinya cekcok dan perselisihan besar-besaran di tengah kaum Muslim. Bagaimana pun, dalam pandangan Imam Khomeini, perbedaan pandangan seyogianya tidak sampai menghalangi persatuan—karena persatuan dapat berjalan seiring dengan perbedaan pandangan: “Mengapa perbedaan pandangan mesti menyebabkan perselisihan eksternal?”[22] Akibatnya, seluruh umat manusia dan seluruh kaum Muslim harus mengabaikan keyakinan dan pilihan-pilihan personal, kelompok, dan etnisnya, lalu menyiapkan jalan untuk melangkah bersama pemerintah islam di atas basis tauhid dan melalui penekanan terhadap prinsip-prinsip umum Islam dan kemanusiaan.
Preet!
Maunya muslim moderat:
1. 'Konflik sesama muslim' disebabkan oleh pihak2 yg dimurkai allah swt dan oleh pihak-pihak yang dianggap sesat
2. 'Negara islam2 perlu dibela/diperhatikan' bila sumber daya alam, yg diklaim milik ras/suku islam, telah dirampok oleh pihak2 yg dimurkai allah swt dan oleh pihak-pihak yang dianggap sesat
3. Perlunya pembentukan negara islam bila umat islam ditindas dan diperlakukan semena2 oleh pihak anti kebebasan/kemanusiaan.
Untuk merealisasikan cita-cita persatuannya itu, Imam Khomeini berusaha memanfaatkan kondisi yang ada dan bahkan bahkan menjadi salah seorang yang berdiri paling depan. Salah satu dari kondisi yang ada tersebut adalah isu Palestina dan pencaplokan al-Quds oleh rezim pendudukan, yakni Israel, yang bercita-cita untuk mendesain “Israel Raya yang membentang dari sunagi Nil hingga sungai Eufrat.”[23] Dengan keinginan dalam benak ini, rezim [penjajah] tersebut mengganggu negeri-negeri Muslim, membunuh kaum Muslim yang tinggal di sana atau mengusir paksa mereka keluar dari rumahnya. Dengan maksud untuk melawan rezim pendudukan yang berkarakter agresif dan haus darah ini serta mengenyahkan Israel dari muka bumi, Imam mendeklarasikan hari Jumat terakhir di bulan suci Ramadhan sebagai Hari Quds Sedunia agar seluruh Muslim bersatu meneriakkan perlawanan terhadap Israel: “Saya memandang bahwa Hari Quds merupakan hari [besar] Islam dan Nabi suci saw. Itulah hari di mana kita harus mengerahkan seluruh kekuatan kita, hari di mana seluruh Muslim harus membebaskan diri dari isolasi yang selama ini membelenggu dan berdiri tegak di hadapan pihak asing dengan seluruh kekuatannya.”[24]
Imam memandang pembebasan al-Quds sebagai kewajiban yang mengikat seluruh umat Islam: “Secara prinsipal, merupakan kewajiban bagi seluruh umat Islam untuk membebaskan al-Quds dan mencerabut kejahatan dari kanker yang korup ini dari negara-negara Islam.”[25] Semua ini tidak dapat terwujud tanpa persatuan seluruh umat Islam.
Ibadah haji tahunan warisan Nabi Ibrahim as merupakan praktik lainnya yang dimanfaatkan Imam untuk mencapai persatuan dalam tubuh umat Islam. Beliau menghidupkan kembali praktik ‘menolak untuk berpihak pada kaum musyrik’ (bara’at az musyrikin)[26] yang nyaris lenyap dalam sejarah dan dilupakan selamanya. Sehingga, dengan ikut berpartisipasi dalam sakramen ‘penolakan’, seluruh jamaah haji dari berbagai belahan bumi—baik kulit hitam atau putih, orang Asia, Afrika, Eropa, atau Amerika, Syiahatau Sunni—akan menjelmakan fraksi persatuan Islam, memiliki kesadaran terhadap urusan-urusan kaum Muslim berikut penderitaan dan kesedihannya, mencari jalan keluar dari segenap persoalan yang menghimpit, serta menyadari bahwa “kota Mekah yang suci dan tempat pemakaman para syuhada menjadi cermin yang memantulkan pelbagai peristiwa agung yang disebabkan oleh perjuangan para nabi Allah dan pengangkatan Nabi suci saw.”[27]
Karena itu, Imam memandang kemerdekaan, kebebasan, dan keadilan sebagai prasyarat dan dasar pijakan bagi persatuan Islam dan [kemestian] bagi seluruh kaum tertindas di muka bumi. Secara prinsipal, beliau tidak menganggap perbedaan pandangan sebagai faktor yang menghalangi jalan persatuan. Beliau memandang persatuan satu-satunya cara yang mungkin untuk mencapai tujuan-tujuan Islam dan pemerintahan absolutnya. Karena itu, untuk merealisasikan cita-cita persatuan Islam, beliau menyeru pelbagai kalangan di sekelilingnya dengan isu-isu seperti Palestina dan pembebasan al-Quds, juga praktik ibadah haji dan ‘menolak berpihak pada kaum musyrik’—yang disepakati seluruh mazhab dan golongan dalam Islam—dan mengajak seluruh Muslim di berbagai belahan dunia untuk membina sikap saling pengertian dan berusaha sekuat tenaga menciptakan persatuan.