AMBRUKNYA Ekonomi dan Politik Islam

Forum ini berisi artikel2 terjemahan dari Faithfreedom.org & situs2 lain. Artikel2 yg dibiarkan disini belum dapat dicakupkan kedalam Resource Centre ybs. Hanya penerjemah sukarelawan yang mempunyai akses penuh.
Post Reply
israel hu akbar
Posts: 220
Joined: Thu Jan 24, 2008 11:30 pm

AMBRUKNYA Ekonomi dan Politik Islam

Post by israel hu akbar »

GAGALNYA Islam Politik
The Downfall of Political Islam
oleh Samir Yousif (Desember 2010)
http://www.newenglishreview.org/custpag ... c_id/77316


Pengantar

Islam, sebagai agama, tidak punya hal untuk ditawarkan kepada teori ekonomi atau politik. Ide sederhana ini memiliki konsekuensi serius. Politik Islam/Islam Politik, jika dijadikan bagian dari urusan negara, pada akhirnya akan gagal. Islam tidak memiliki agenda yang tepat dalam memberikan solusi terhadap tantangan politik atau ekonomi riil seperti keterbelakangan, pengangguran, inflasi, resesi, kemiskinan dll.

Para promotor Islam sigap mengejawantahkan "Ekonomi Islam," tapi mereka gagal membuktikan sesuatu yang nyaris mendekati pada sebuah teori ekonomi sederhana.

Saya percaya, bahwa alasan utama jatuhnya peradaban Islam adalah krisis sosial yang melekat: suatu masyarakat yang terdiri dari segelintir orang kaya, dikelilingi oleh rakyat miskin yang disandera dengan agama yang kuat. Revolusi sosial dan politik terjadi beberapa kali selama masa kejayaan peradaban
Islam, seperti yang terjadi semasa Khilafah Umayyah, Abbasiyah, di Muslim Spanyol dan Pemberontakan Zanj yang terkenal selama tahun 869 di Basra.
Tapi sejarawan mengabaikan revolusi2 tersebut. Sepanjang sejarah, ekonomi Islam GAGAL memecahkan masalah yang sangat mendasar: persamaan upah. Pekerja tidak terampil dan terampil diturunkan ke kelas yang terendah dalam masyarakat Muslim dan dibayar upah minimum. Sejarah telah menunjukkan bahwa di bawah Islam kemakmuran hanya dinikmati oleh sang Kalif, istananya, tentara, keluarga kerajaan dan proyek2 favorit Kalif. Sistem pajak terutama dikenakan pada sektor pertanian, hal yang dikenal sebagai pajak produksi (Kharaj).

"Ekonomi Islam" adalah istilah yang digunakan saat ini untuk menutupi ketidaksetaraan pendapatan yang signifikan dan mencari investasi yang pantas secara religius bagi Muslim2 tajir.

Cacatnya Pondasi Ekonomi Islam

Dalil ekonomi Islam tidak lebih dari pengubahan istilah dalam ekonomi pasar. Kata "suku bunga/interest" hilang, karena itu haram dan diganti oleh "keuntungan/profit." Jadi, saat anda menyimpan uang disebuah bank Islam, anda berhak untuk menerima keuntungan dari bank pada akhir tahun. Ini sama saja dengan apa yang terjadi pada uang anda bila disimpan disebuah bank normal. "Pelanggan/customer" disebut "kontributor" dan ia memiliki saham di bank sebesar yang ia depositokan.

Ekonomi Islam dimulai dengan diterbitkannya beberapa buku yang ditulis oleh Ayatollah Muhammad Baqir Al-Sadir pada awal 1960-an. The most important are Our Economy (1961) dan prinsip spekulasi (mudharabah) diperkenalkan dalam buku kedua: The Non-Rabawi Bank in Islam (1969). Rabawi/Riba di sini mengacu pada suku bunga bank. Prinsip spekulasi dalam Islam benar-benar berbeda dari makna normal dan mengacu pada hubungan antara investor dan bankirnya. Ini menyiratkan bahwa kedua belah pihak adalah mitra berbagi keuntungan dan kerugian sesuai dengan persentase yang disepakati. Hal ini dikenal sebagai mudharabah dan merupakan kunci peran bank Islam dan kegiatan Islam komersial umumnya.

Dalam prakteknya, pemerintahan ala Islam bermakna nihil bagi awam (terlepas dari penerapan Hukum Syariah). Distribusi kekayaan, struktur ekonomi dan kepemilikan alat-alat produksi tidak pernah berubah. Si miskin tetap miskin, sedangkan yang kaya makin kaya. Redistribusi pendapatan bukan bagian dari agenda Islam Politik.

Tetapi Ayatollah Muhammad Baqir Al-Sadir, bapak pendiri keuangan Islam, melakukan kesalahan teoritis yang serius. Ia menyangka bahwa Riba sama dengan
bunga. Nabi Muhammad-lah yang memperkenalkan istilah Riba dan membuatnya haram dalam Islam. Alasan dibalik ini, kembali ke konflik dengan komunitas
Yahudi selama tahap-tahap awal Islam. Muslim mencapai kemenangan, mengendalikan Madinah dan Mekah. Muhammad memperkenalkan apa yang kita sebut
saat ini sebagai sanksi ekonomi terhadap penduduk Yahudi dengan mencap Riba = haram. Mohammad tidak menggunakan kekuatan senjata terhadap Yahudi, tetapi ia membuat salah satu kegiatan utama ekonomi mereka, pinjaman uang dengan bunga, menjadi haram. Tapi yang diharamkan Mohammad sebenarnya adalah tindakan meminjam uang (agar Yahudi tidak dapat meraup bunga) dan bukan suku bunga yang dihitung dari modal yang dipinjamkan pada waktu itu. Bukan juga suku bunga atas investasi jangka panjang. Para ahli ekonomi Islam tidak mempertimbangkan peranan suku bunga dalam alokasi investasi jangka panjang.

Jadi kesalahpahaman antara Riba dan tingkat bunga ini adalah faktor dibalik pengenalan ekonomi Islam dan dimulai atas dasar yang salah. Hal ini dapat
dibandingkan dengan kaum Komunis selama era Soviet saat mereka membuat kesalahan yang sama dengan mengasumsikan bahwa tingkat suku bunga adalah bagian dari ekonomi kapitalis, dan tidak dapat menjadi bagian dari ekonomi sosialis. Dengan menghapuskan tingkat suku bunga, Soviet melakukan kesalahan besar dalam keputusan investasi jangka lama. Sebenarnya suku bunga adalah tangan tak terlihat yang mengarahkan dengan benar investasi jangka panjang, dan tidak ada hubungannya dengan Riba seperti dibayangkan oleh Mohammad awalnya.

Politik Islam/Islam Politik: Walayat Al Faqieh

Karena itulah setiap pemerintahan Islam akan kehilangan perangkat yang dibutuhkan untuk mengatur ekonomi yang mereka perlukan untuk menafkahi rakyat mereka.

Banyak komentator akan menganggap bahwa politik Islam memiliki akar mendalam dalam masyarakat Muslim. Apa yang terlintas di permukaan hanyalah puncak gunung es, kata mereka. Saya percaya sebaliknya. Politik Islam naik daun pada 1979 sebagai akibat Revolusi Islam di Iran oleh Grand Ayatollah Khomeini. Khomeini punya teori politiknya sendiri: Walayat Al Faqieh (Mandat Imam). Itu datang dengan janji bahwa "Islam adalah solusi" (yang merupakan slogan politik utama Ikhwanul Muslimin di Mesir hari ini, sama seperti tahun 1970-an di Iran. Juga slogan Partai Dawa di Irak saat ini dan Front Keselamatan Islam di Aljazair pada 1990-an). Secara teori, politik Islam dimulai dengan pernyataan Grand Ayatollah Khomeini mengenai teori Walayat-Al-Faqieh pada 1972. Teori ini tidak perlu menunggu lama untuk terwujud, yang dilakukan oleh pengarangnya sendiri di Iran pada akhir 1970-an.


Iran & Arab Saudi

"Islam adalah solusi," sebuah pernyataan yang anda temukan diseantero Iran pada 1970-an. Khomeini meruntuhkan rezim Shah. Shah memiliki pilihan: membasmi pemberontakan atau mundur. Jalan-jalan di Teheran panas, juga situasi di negara-negara Muslim lainnya. Revolusi Islam mencapai kemenangan. Semua orang merayakan dan sebuah era baru dalam sejarah umat manusia baru saja dimulai. Saat itu adalah kulminasi dari harapan di Iran dan di banyak
negara Muslim lainnya , pada waktu itu. Tapi tak seorang pun pernah menanyakan pertanyaan sederhana: Bagaimana bisa Islam menjadi solusi?

Maka Khomeini untuk pertama kalinya dalam sejarah, menjadi pelaksana tugas imam (seperti dinyatakan dalam Walayat-Al-Faqieh). Ini adalah status khusus dalam Islam yang tak seorangpun nikmati (sejak kematian Kalif ke-4 pada tahun 661). Status baru ini asing bagi teori politik Barat dan tiada bandingnya.

Tapi ada fakta yang harus dinyatakan dengan jelas. Kejatuhan Shah bukan hanya hasil dari pemberontakan pendukung Khomeini. Saat itu banyak kelompok, terutama dari sayap kiri Iran sangat aktif dalam aksi politik. Semua kekuatan memainkan peran mereka, termasuk pemogokan buruh minyak di Abadan, diakhir kejatuhan Shah. Tapi Islam Politiklah yang berhasil menuai buah dari pergolakan politik ini.

Rezim baru Islam, seperti rezim totaliter lain, memonopoli kekuasaan hanya untuk dirinya sendiri dan menendang semua kekuatan lain yang aktif menentang Shah selama beberapa dekade. Sebuah perjuangan politik baru dimulai pada akhir 1970-an dan sampai kini belum berakhir.

Rezim Islam mulai menerapkan kebijakan baru untuk merayu massa yang menunjukkan kesetiaan ke Grand Ayatollah Khomeini. Keputusan populis dan marjinal dikeluarkan oleh pemerintah yang baru, seperti listrik gratis untuk wilayah miskin Teheran. TAPI rencana sosial nyata untuk membantu kelas bawah
tidak pernah diusulkan oleh rezim. Para pemimpin agama duduk jauh dari konsep perjuangan kaum kebanyakan dan tuntutan buruh. Apa yang tersedia bagi para pembuat kebijakan adalah beberapa buku yang ditulis oleh Muhammad Baqir Al-Sadir. Selain itu istilah "Ekonomi Islam" tidak lain hanyalah hanya sebuah slogan politik kosong. Dalam prakteknya, pemerintah Islam hanya identik dengan penerapan Hukum Syariah lewat eksekusi tertuduh kejahatan di jalan2 terbuka dan oh ya, ini nih ... perajaman perempuan. Struktur ekonomi dan kepemilikan alat-alat produksi tidak pernah berubah. Orang miskin tetap miskin, sedangkan yang kaya menjadi jauh lebih kaya. Di Iran, seperti di Irak, pemimpin Muslim Syiah menerima fulus(finans) mereka dari Khumus (pajak Islam yang secara harafiah berarti 1/5). Perhatikan bahwa kekayaan yang diinvestasikan dalam bisnis tidak kena Khumus, tetapi hanya kekayaan yang menganggur.
INi mengakibatkan para pemimpin agama berkolusi dengan orang2 pemilik kekayaan menganggur, spt para pemilik tanah tajir, dan inipun otomatis mengakibatkan berbagai aliansi politik. Sementara si kismin yang tidak punya kekayaan menganggur tinggal gigit jari karena tidak terwakili dlm sistem keagamaan macam ini.

Akhirnya setelah lebih dari 30 tahun kekuasaan Islam di Iran, ekonomi Islam hanyalah berupa rejim gonta ganti terminologi belaka dari kapitalisme.
Sebenarnya, kapitalisme dibawah Islam sama dengan kapitalisme abad 19: Tiadanya pemerataan kesejahteraan dan tiadanya hak2 buruh.

Hari ini Iran menemukan bahwa penggunaan Islam sebagai ideologi resmi sesuai dengan ambisi adikuasanya. Melalui ideologi Islam, Iran berhasil memiliki pengaruh yang kuat di Irak, Suriah, Lebanon, dan banyak negara Muslim lainnya (juga Hamas di Gaza dan Tepi Barat). Sebagai contoh, parlemen Irak gagal
mengesahkan UU minyak baru karena Iran (yang diwakili oleh anggota2 parlemen Syiah) menentang setiap upaya untuk memungkinkan perusahaan-perusahaan
minyak Barat untuk memiliki konsesi di daerah tersebut. Di Lebanon lewat Hizbullah dan Hamas di Gaza, politik Iran bertaji.

Setelah 30 tahun aturan Walayat-Al-Faqieh di Iran, jumlah orang miskin telah meningkat empat kali lipat dan korupsi mencapai puncaknya. Pemerintah dapat mengontrol penduduk lewat penopangan harga sembako dengan pemasukan petrodollar. Jadi pendapatan minyaklah yang menjaga rezim dari keruntuhan dan bukan ekonomi Islam. Hari ini, rakyat Iran menemukan bahwa "Islam bukanlah solusi." Saat rejim bangkrut, Revolusi Hijau tahun 2009 tidak dapat
dikendalikan lagi. Hari ini "Islam bukan solusi" menjadi slogan politik baru diterima secara luas di jalan-jalan Teheran.

Beralih ke Arab Saudi, kita menemukan situasi yang tidak jauh berbeda dari Iran. Suatu rezim otoriter berdasarkan ideologi agama kolot dengan distribusi
pendapatan paling buruk yang pernah dikenal dalam sejarah. Para pemimpin agama yang berpengaruh adalah pejabat negara. Kemiskinan tersebar luas dan gerakan reformasi politik dilarang ketat. Sebuah sistem perpajakan yang tepat tidak pernah bisa dimasukkan ke dalam sistem seperti ini karena itu hanya akan mengakibatkan redistribusi pendapatan jauh dari kocek penguasa. Itu tidak mungkin tanpa perubahan politik. Sebenarnya kita menemukan bahwa pondasi keagamaan di Iran dan Arab Saudi memainkan peran sentral dalam mencegah perubahan sosial dan politik, karena setiap reformasi politik secara
tersirat akan berarti keruntuhan total sistem politik yang berlaku.

Irak & Aljazair

Politik Islam di Irak telah layu sebelum berkembang. Ketika Amerika memasuki Baghdad pada 2003, mereka menemukan bahwa Saddam Hussein telah memberangus segala bentuk perlawanan politik. Amerika tidak bisa menemukan partai politik untuk diajak kerjasama, hanya beberapa warga Irak di pengasingan. Dewan Pemerintahan (2003) yang diperkenalkan oleh Amerika hanya terdiri dari wakil-wakil agama dan etnis tanpa gerakan politik.

Apa agenda politik dan program politik ekonomi Islam?

Islam Politik disemua negara Muslim, entah itu Afghanistan atau Maroko, tidak memiliki agenda politik atau ekonomi, tetapi hanya satu tujuan jelas: PENERAPAN SYARIAH (itu tuh, yang lebih doyan mengurusi selangkangan dan pemberangusan mereka yg tidak se-ideologi---penerjemah). Politik Islam percaya bahwa dengan Syariah dalam konstitusinya, semua masalah politik-sosial-ekonomi akan dipecahkan karena Syariah adalah
hukum Allah (dan Allah adalah manajer dan CEO yang baik). Celakanya, syariah berada diluar pemahaman dan pemikiran manusia dan bekerja dengan cara
yang berada diluar nalar kita. Jadi begitulah kejatuhan dasar politik Islam dapat ditelusuri kembali ke masalah dasar: tidak tersedianya program-program politik atau ekonomi yang diajukan oleh politik Islam - hanya Syariah (politik selangkangan dan ganyang Yahudi).

Mari kita mengambil contoh nyata. Ketika Amerika membentuk Dewan Pemerintahan di Irak pada 13 Juli 2003, salah satu keputusan pertama dari partai-partai agama di dewan tsb. adalah pengembalian Syariah sesuai dengan sekte keagamaan masing2. Jadi Shiah & Sunni akan memiliki pengadilan sendiri2. Hal yang sama berlaku untuk agama lain seperti Kristen, Saab'ah dan Yazidiyah. Mereka benar-benar menghapuskan hukum sipil dan menggantinya dengan Syariah.

Keputusan ini diprotes dan memunculkan demonstrasi penentangan. Pemimpin agama tidak mengerti mengapa mereka dilawan. Mereka pikirtelah melakukan apa yang khalayak inginkan. Namun, sejelek2nya Saddam, ia memberi warga Irak kenikmatan hidup dibawah hukum sipil modern selama beberapa dekade, dimana semua warga sama di depan hukum. Kejadian ini merupakan kemunduran besar pertama politik Islam di Irak.

Pada pemilu pertama di Irak, pemimpin agama mulai naik daun dengan mudah. Bahkan mereka sendiri terkejut dengan banyaknya suara yagn mereka dapatkan. Akhirnya, Politik Islam berkuasa di Irak pada 2005, tapi ... apa pencapaiannya?

Jawaban atas pertanyaan ini adalah hasil pemilu kedua tahun 2010. Orang memilih partai non-agama dan tokoh sekuler. Politik Islam gagal untuk memperkuat posisinya, sebaliknya malah terpukul mundur. Dewan Tertinggi Islam (Partai Al Hakim) yang merupakan blok agama utama, hanya mendapat 8 kursi dari 325.

Islam tidak dapat memberikan solusi untuk tantangan sosial dan ekonomi saat ini. Dalam tatanan demokratis, Islam Politik akan jatuh karena dengan mudah bisa di-ekspos kegagalannya. Karena itu, satu2nya untuk membunuh Islam Politik adalah dengan cara membiarkan mereka berkuasa. Ini adalah kesalahan
utama Aljazair pada awal 1990-an. Front Keselamatan Islam/Islamic Salvation Front yang pro-syariah memenangkan pemilu, lalu dikudeta oleh militer. Justru dengan itu, militer secara tidak langsung memperkuat Islam Politik yang merasa dikesampingkan.

Padahal jika Islamis dibiarkan berkuasa, mereka akan gagal dalam mengatasi tantangan utama di Aljazair, yaitu ekonomi. Kiamatlah mereka! Mereka harus
diberi kesempatan untuk menyadari bahwa mereka tidak memiliki resep ajaib dan agama (seperti juga Komunisme) tidak memberikan panduan untuk mengatasi krisis ekonomi riil.

Turki

TAPIIII ... situasi Turki adalah sebaliknya. Negara sekuler ini justru membuka pintu bagi Islamis untuk berkuasa. Masyarakat Islam yang ditata oleh aturan
hukum sekuler, yang berbeda dari keyakinan dasarnya, tidak akan bisa pasif untuk selamanya. Tetapi politik Islam di Turki secara signifikan berbeda dari Iran, Irak atau Arab Saudi. Politik Islam di Turki sejauh ini tidak menunjukkan kontradiksi dengan sekularisme dan modernitas. Sebaliknya, politik Turki memperbaiki situasi dengan menyediakan jembatan yang tepat antara modernitas dan budaya negara. Hal ini dimungkinkan melalui pemisahan tegas agama dan negara. Negara berhasil membangun lembaga-lembaga sosial dan sipil yang diperlukan yang merupakan dasar dari sebuah negara modern. Turki modern mirip dengan negara Eropa Barat dimana peran pemerintah dibedakan dari peran agama. Karena situasi sejarah yang unik di Turki inilah, negara Muslim
lainnya tidak bisa meng-copy-nya. Di negara-negara Muslim lain, Islam hanya merupakan penghalang pembangunan sosial dan kemajuan.

Islam Politik gagal untuk menyediakan model politik yang dapat bersaing dengan model politik kontemporer, seperti model Cina, Barat, atau bahkan dengan demokrasi berkembang seperti India dan negara-negara Asia lainnya. Ini tidak mengherankan, agama apapun selalu akan tetap bersifat “jadul.”

--------------------------------
Referensi Utama:
1. Khomeini, Grand Ayatollah R.M, Walayat-Al-Faqieh, najaf, 1972.
2. Sadir, Grand Ayatollah, M.B., Our Economic, Beirut, 1961.
3. Sadir, Grand ayatollah, M.B. Non-Rabawi Bank in Islam, Beirut, 1969.

Samir Yousif adalah lulusan dari London School of Economics (1976) dan telah bekerja di berbagai sektor di Irak, Arab Saudi, Libya, Bahrain, dan di Eropa. Ia bekerja sebagai profesor di bidang ekonomi (1986-1994) di Universitas al-Qadisiyah (Irak), dan di Universitas Al-Fatih (1994-1996) di Tripoli, Libya. Mr.Yousif adalah Warga Negara Norwegia, saat ini tinggal di kota Stavanger, Norwegia.
Post Reply