Zwemer: Mengapa Murtadin Jarang Ada

anne
Posts: 502
Joined: Wed Sep 21, 2011 9:52 pm

Re: Zwemer: Mengapa Murtadin Jarang Ada

Post by anne »

Di Assiut, ia mendapat pekerjaan sebagai guru, namun hal ini tidak memuaskan hatinya. Ia mencoba melayakkan dirinya untuk dibaptis, dengan berani mengakui Kristus serta berteman dengan Muslim dan Kristen dengan cara yang cukup luar biasa. Dalam salah satu suratnya, ia menulis dalam bahasa Inggris (diterjemahkan) berikut ini:
(surat ini khas gayanya serta mengungkap apa yang ia coba lakukan)

ASSIUT COLLEGE, 5 November 1916.

“PAK DOKTER:

“Aku dengan kerendahan hati minta maaf atas keterlambatanku menjawab surat terakhirmu tanggal 1 bulan ini. Terjadi dua hal yang menyedihkan di waktu luangku. Yang pertama, muslim yang kutemui disini setelah ibadah gereja. Yang kedua, adalah usahaku mencari pekerjaan di Oases, berapapun mungkin suhunya.”

Tapi mengenai muslim tersebut, aku berani mengatakan dia salah satu pemuda paling pandai dan saleh yang pernah kutemui. Aku menemaninya ke sebuah kedai penduduk setempat, dan berada disana dari 9.40 a.m. sampai 2 p.m. Dalam periode ini kami mendiskusikan Kekristenan dan Islam dan aku mengakhirinya dengan baik. Sementara kami berbicara, ia berdiam diri sejenak dan kemudian berdiri dengan cepat dan minta izin untuk pergi ke suatu tempat tertentu dan segera kembali. Setelah hampir 5 menit ia kembali ditemani seorang sheikh, guru dari ----, dengan siapa aku berbincang selama hampir satu jam atau lebih, di saat yang sama aku aku mempengaruhinya, keadaan yang membuatnya meminta maaf dan pergi. Menyesal kukatakan padamu bahwa ia memintaku menjelaskan padanya, tapi aku hampir tak bisa meyakinkannya dengan sempurna, meskipun aku sebutkan---- dan lainnya; tolonglah jelaskan terlebih dulu padaku.

“Muslim kita memintaku untuk mengunjungi rumahnya, tetapi aku menjawab hendak menjumpai sahabat yang memperkenalkannya padaku di gereja. Kujumpai di gereja, seorang saudara junior bersama dua senior dan juga teman-teman mereka. Kami mulai berbincang mengenai perantaraan dan penyaliban, tapi aku sungguh bersyukur pada Tuhan atas kemenanganku, keadaan yang memaksa teman lawan dengan sangat memintaku balas mengunjunginya hari berikutnya, di rumahnya di tengah pemukiman penduduk asli. Kau tahu bahwa teman yang dipanggil A.A juga mengundang rekanku L.D. Esoknya, aku mengajak B dan mengingatkannya akan janji tersebut, sayangnya, ia menolak karena takut bahaya yang mungkin timbul dari para muslim tersebut, dan demikianlah aku pergi dengan ditemani Kekuatan Tuhan. Pukul 5 p.m. aku berada di depan rumah A.K., yang keluar dan membawaku ke sebuah ruangan besar dimana kujumpai dua sheiks, seorang insinyur, seorang lain yang membawa Alkitab, muslim kita beserta saudara laki-lakinya, dan tiga Effendi (pria terhormat masa Turki, setara Sir) lain. Kuperkirakan mereka para pegawai. Aku masuk dan memberi salam mereka dan berjabat tangan dengan setiap orang. Kami mulai dari jam 5 p.m. hingga jam 10.10 p.m. Kami mendiskusikan hampir tiap masalah yang mendasar secara acak sesuai karakter mereka yang tidak sama. Saat mereka kalah, mereka mulai mengejek dan menertawakanku dan agamaku yang palsu, kata mereka. Teman muslimku dari gereja segera memotong pembicaraan dan menegur mereka, karena telah melakukan kesalahan. Kami kemudian berpisah. Bila bertemu, aku akan mengatakan beberapa hal penting padamu mengenai pertemuan ini. Sekarang aku sering bertemu dengan teman muslimku dan ngobrol panjang lebar dengannya. Sejujurnya, aku sangat mengasihinya karena ia bijak dan tidak memihak. Sekarang mari kita kembali dan bicara tentang diriku. Kau tahu aku tidak punya hubungan dengan siapapun di Alexandria sebagaimana dengan orang-orang misionaris. Aku siap melakukan pekerjaan apapun, bahkan seorang penterjemah, namun aku ingat keinginanku untuk menjadi misionaris, dan juga tahun ajaran sekolah akan berakhir tanggal 18 bulan ini. Aku dapat tinggal beberapa hari di Kairo, dengan syarat aku takkan pernah meninggalkan kamar kecuali larut malam. Apakah kau setuju? Aku berdoa pada Tuhan siang dan malam agar kau bisa menganggapku sebagai salah seorang putramu yang baik, dan bukan sebagai orang asing yang datang meminta perlindungan dan pertolongan. Tidakkah kau tahu bahwa kau satu-satunya keluarga, teman dan kerabatku? Oh! Aku mohon engkau mengingat ini. Aku sangat mengharapkan sepucuk surat.

Salam hormatku
Paragraf terakhir dalam surat ini memerlukan kata penjelasan. Aku berharap ia bekerja permanen di Alexandria, namun ia lebih suka berada dalam jarak yang lebih jauh dari Kairo.

Ketika aku mengunjungi Assiut, musim semi 1916, William begitu gembira dan menyambutku seperti seorang anak terhadap ayahnya. Namun, kegembiraan pertemuan tampaknya begitu menyemangatinya, sehingga Minggu dinihari, jam dua, ia datang datang berlari dari gedung kuliah ke tempat dimana aku menginap dan berkata bahwa ia telah mendapat visi (atau mimpi) dimana Kristus menampakkan diri padanya, terbungkus kain putih, dan berkata: “Kau harus berkhotbah pada umat Islam,” dan itulah yang membuatnya merasa harus datang langsung dan mengatakan padaku mengenai hal itu. Saat ia selesai bicara dan berdoa, ia tertidur di ruanganku, dan keesokan harinya mengerjakan tugas-tugasnya seperti biasa; namun tidak ada keraguan bahwa mimpi tersebut telah memberikan kesan sangat mendalam di pikirannya. Karena aku menolak memberinya bantuan finasial apapun dan selalu menasehatinya untuk bekerja bagi kebutuhan hidupnya sendiri, ia lantas berteman dengan salah seorang Kristen di Assiut, dan saat kuliah berakhir, bekerja bersama-sama siswa lain, di kantin Y.M.C.A di Kharga Oasis. Ia menulis pada saat itu:
“Aku merasa malu akan diriku sendiri karena berhenti menulis padamu sekian lama, walau aku hanya berada di tempat tidur setelah meninggalkan Assiut. Dapatkah aku dimaafkan? Aku masih merasa kurang sehat karena udara yang amat panas.

“Aku meninggalkan Assiut tanggal 29 Mei ke Markaz el Sherika dan mengalami kesulitan terbesar/jatuh sakit semenjak itu, khususnya beberapa hari terakhir ini. Sudah sangat lama aku tidak mendengar kabar dari keluargaku, dan aku sangat ingin tahu semua hal tentang mereka.

Berharap dapat segera mendengar kabarmu,”

Salam hormat,

“WILLIAM”
Musim panas memang saat yang berat bagi seseorang yang hidup tanpa pekerjaan, duduk-duduk di kedai menikmati ‘waktu menyenangkan,’ sebagaimana para pemuda Mesir, namun William tidak pernah menyerah. Suatu ketika ia menulis padaku:
“Setiap orang di dunia ini merasakan penderitaan dan godaan, dari Tuhan atau setan; tapi pahlawan adalah dia yang paham kata ‘ketahanan.’ Artinya, ia harus bertahan dan berjuang untuk menang. Hidup hanyalah perjuangan.

Aku berani katakan bahwa keberhasilan seseorang tergantung pada temperamen dan iman, terlepas dari perkataan orang, karena tidak ada seorangpun di seluruh dunia sanggup menyenangkan semua orang dunia.

“Hanya Tuhan yang tahu bagaimana aku berperilaku, dan sepanjang aku berdoa, membaca Alkitab, dan menjalani kehidupan Kristen sehari-hari yang bersih, aku menyerah membebani diri dengan berbagai pendapat orang yang berbeda. Tak seorangpun bisa menunjukkan jalan yang benar pada Tuhan. Bila kau ingat aku pernah mengecewakan atau tidak mematuhimu, yakinlah bahwa yang kau dengar itu benar atau akulah yang salah. Waktu aku baru berkenalan denganmu, kau orang asing bagiku sebagaimana semua orang disini. Baiknya, kau terbiasa memperlakukan orang lain sebagai anak atau saudara.
Sekali lagi ia bicara mengenai masa depan, dan keinginannya untuk menemukan tempat dimana ia akan aman. Ia menulis:
“Berkaitan dengan kepulangan ke Kairo dan menetap disana, aku dapat memberitahumu dengan jujur bahwa hal ini diluar kekuasaanku selama aku tinggal bersamamu. Kau tahu dengan baik bahwa aku memperkenalkan diriku padamu untuk berlindung dan menguatkanku juga menasihatiku; karenanya aku ke Assiut, melarikan diri dari penganiayaan. Lantas bagaimana aku bisa kembali ke Kairo? Tak diragukan lagi, benar bahwa aku harus kembali ke Kairo bila aku tak bisa mendapat pekerjaan di tempat yang jauh. Dalam hal ini aku setidaknya akan menghadapi sejumlah besar bahaya hidup diantara keluarga Islam lagi, hal yang kubenci.

“Tentu saja aku akan menyerah dan menanggung penganiayaan pedih tak tertandingi dengan sebelumnya; karena aku tak berdaya menghadapi orang-orang fanatik dan keras seperti itu….Agamaku atau tepatnya ibadahku, seputar (1) Belajar Alkitab, (2) Berdoa, (3) Bergaul dengan orang lain sesuai Alkitab; walaupun sepele.” (Ia maksud bertentangan)
Akhirnya ia memutuskan untuk datang ke Kairo. Segera setelah tiba, ia pergi menemui ayahnya, dan sejauh yang kuketahui, mereka bisa menerima kenyataan bahwa ia telah menjadi Kristen. Ia katakan padaku ayahnya telah mengambil ‘Sumpah Perceraian,’ yang merupakan salah satu sumpah terkuat, dimana ia tidak akan menyakiti putranya atau berusaha menghalangi kehadirannya di ibadah Kristen.

Saat itulah ia mengajukan aplikasi untuk mengikuti kelas para penginjil di Seminari Teologi Misi Amerika. Ia bahkan sangat ingin mengikuti kelas teologi, begitu tertarik untuk mengabdikan hidupnya untuk pekerjaan berkhotbah. Berkali kali ia membawa muslim-muslim lain menemuiku, dan tidak pernah lebih bahagia dibanding saat ia mengajukan permintaan dan kami terlibat dalam doa bersama. Karena singkatnya masa tinggalnya di Assiut, pendeta gereja disana belum menganggap bijaksana untuk menerimanya dalam baptisan, walaupun hal ini keinginan terdalamnya.

Ada kendala dalam keikutsertaannya di kelas seminari biasa. Menurut aturan gerejawi, tidak mungkin menerima siswa muslim yang belum dibaptis, walaupun ia mengaku Kristen, belajar teologi. Sebab itulah, kusarankan agar ia menunggu tahun depan, dan sementara itu mencari pekerjaan. Ia mengajukan lamaran ke salah satu departemen pemerintah, dan saat penantian, ia menerima pekerjaan sebagai penterjemah bagi Angkatan Darat Inggris untuk Mesopotamia. 29 November, ia datang padaku dengan kabar baik ini, dan berkata:

“Sekarang kau pasti akan membaptisku sebelum aku memulai perjalanan panjangku.” Aku meyakinkannya bahwa aku akan melakukannya. Kami berdoa bersama, dan ia pergi dengan sangat bahagia. Berita selanjutnya yang kuterima, lewat seorang teman Kristen yang datang di Sabtu pagi, 2 Desember, mengabarkan bahwa William telah mengalami kecelakaan trem. Lalu lintas di Kairo sering begitu buruk pengaturannya sehingga kecelakaan sering terjadi, namun kami semua terkejut mendengar berita itu. Dikonfirmasikan surat kabar di hari berikutnya, yang memberitakan seorang siswa muda, berusia 21 tahun, turun dari Heliopolis ke Abbassia, Kamis malam jam 8. Ia turun dari mobil di sisi Ia turun dari mobil di sisi yang salah, ditabrak mobil lain dari arah berlawanan dan terhempas ke pinggir jalan dengan kepala terluka memar. Seorang polisi segera tiba di tempat kejadian, dan bukannya memanggil bantuan, ia malah membawa pemuda malang tersebut ke kantor polisi dimana ‘proses verbal’ lengkap dibuat. Dari kantor polisi pemuda tersebut dibawa ke bagian administrative Kairo untuk diperiksa petugas medis kepolisian. Ia harus menunggu disana beberapa waktu sebelum dokter muncul, dan diikuti pemeriksaan silang seperti di kantor polisi. Ia akhirnya dikirim pulang ke rumahnya sekitar jam 11 malam tanpa mendapat bantuan medis apapun.

Dua hari setelah ‘kecelakaan’ aku menerima pesan telfon dari seorang pemuda Koptik, seorang teman yang mengajukan pertanyaan apakah William meninggal karena kecelakaan atau karena permainan kotor. Tidak perlu memberikan rincian, namun saat kami menemui Kepala Polisi, ia mengakui ada indikasi bahwa ‘kecelakaan’ tersebut telah diatur oleh orang-orang yang lebih suka ia meninggal sebagai muslim daripada mengakui Kristus secara terbuka. Selama perang, kondisi Kairo sudah sedemikian rupa, sehingga penyelidikan lebih lanjut terhadap kasus semacam itu tidaklah bijaksana. Aku yakin bahwa William Famison meninggal sebagai martir, dan orang yang terlibat dalam kematiannya adalah ‘musuh dari kalangan keluarganya sendiri.’

Dua minggu sebelum kematiannya, ia datang padaku dengan sebuah puisi indah, tertulis dalam bahasa Arab, mengenai karakter Yesus, yang ia mohon padaku untuk dicetak di surat kabar Kristen berbahasa Arab kami. Kisah hidupnya yang singkat memberi semangat. Sejumlah temannya terpacu untuk membaca Kitab Suci melalui keberanian William bersaksi. Hanya dua hari setelah kecelakaan tersebut, salah satu teman muslim-nya datang dan memberiku sepucuk surat yang, seperti ia ungkapkan di suratnya, untuk menghibur hatiku yang mengalami kehilangan besar.

Para pemuda Mesir tidak pernah lebih siap untuk menerima penginjilan pribadi dibanding masa sekarang; mereka telah kehilangan pegangan pada kepercayaan lama orangtua mereka, dan secara moral dan intelektual mereka sedang terombang-ambing. Pendidikan modern sedang mempersiapkan jalan bagi agnotisme dan ketidakpercayaan, kecuali kita dapat mencegahnya dengan ajaran Kristus yang hidup.

Bukankah peristiwa ini merupakan ‘tamparan’ terhadap sikap apatis kita serta lemahnya kemampuan kita, sehingga seorang pemuda muslim harus membaptis dirinya sendiri dengan sebuah nama baru dan menjadi saksi Kristus, bahkan sebelum ia sendiri masuk dalam lingkarang pengaruh misionaris? “Bukankah kamu mengatakan: Empat bulan lagi tibalah musim menuai? Tetapi Aku berkata kepadamu: Lihatlah sekelilingmu dan pandanglah ladang-ladang yang sudah menguning dan matang untuk dituai.”
Last edited by anne on Mon Mar 12, 2012 12:36 pm, edited 1 time in total.
anne
Posts: 502
Joined: Wed Sep 21, 2011 9:52 pm

Re: Zwemer: Mengapa Murtadin Jarang Ada

Post by anne »

Sebagaimana di Mesir, juga di Turki terdapat para pencari Tuhan.

Kami berhutang kisah pengakuan dua mullah Turki berikut, pada Dr. Johannes Lepsius dari Postdam, Jerman:

“Leluhur kami berasal dari penakluk Rumelia. Ayah kami sendiri meninggalkan kehidupan dunia dan mengabdikan diri, siang malam bagi meditasi agama. Kepadanya diberikan tanda-tanda dan mukjizat luarbiasa dari kasih karunia. Ia tidak meninggalkan harta duniawi bagi kami, namun tak cukup rasa terimakasih kami padanya, karena ia telah mengarahkan kami ke pencarian kebenaran. Kami tidak menikah, dan tidak lagi terlibat dalam pekerjaan duniawi setelah mengabdikan diri kami bagi pencarian kebenaran.”

“Dalam nama Bapa, Putra dan Roh Kudus. Tuhan Raja. Raja dunia, Engkau yang mengatasi ruang dan waktu, sumber segala sesuatu dan dalam kebenaran Bapa kami, angkatlah dari pandangan kami dan dari mereka anak-anakMu yang lain, selubung ketidaktahuan yang dalam, sehingga hati kami dapat bersukacita dalam pengetahuan yang telah terungkap akan kebenaran bahwa Engkaulah Putra TunggalNya, Tuhan kita Yesus Kristus. Buatlah rasa suka di hati setiap manusia akan ajaran mulia Injil kudusMu, sehingga mereka semua memiliki bagian dalam berkat-berkatnya dan menjadi satu dalam roh dan iman; sehingga mereka boleh hidup dan berjalan dalam terang kemuliaanMu. Amen.”

“Aku, Kuth Oghlu Sheikh Achmed Keschaf, lahir tahun 1864. Selama bertahun-tahun , aku belajar dan kemudian menjadi tentara. Ketika pasukan Turki menyatakan perang terhadap Yunani, aku ditunjuk sebagai imam di batalyon kedua dari Resimen Cadangan ke-18. Setelah perang aku kembali ke rumah untuk melakukan penyelidikan menyeluruh bersama saudaraku tentang apa kebenaran sejati itu. Kami menjadi yakin bahwa itu adalah agama Kristus. Kami berdakwah dengan bebas di kalangan muslim di negara kami, yang membangkitkan pemusuhan keras mereka. Kami diharuskan meninggalkan kampung halaman kami dan pergi ke Saudi Arabia. Dalam perjalanan, saudaraku berkhotbah selama beberapa kali di mesjid-mesjid Eskidhe dan Gornuldhene.”

“Di mesjid Hissar, Smyrna, ia tekun mengajarkan Injil kudus. Kemampuannya berdakwah setiap hari selama 4 atau 5 jam tanpa catatan menimbulkan keheranan dan kekaguman terbesar. Dikatakan bahwa kemampuan itu tak mungkin buah ketekunan belajar, melainkan pemberian Tuhan. Dari semua mesjid lain, orang banyak mengalir mendatanginya. Mullah-mullah lain iri. Mereka melihat ajarannya akan menghancurkan pondasi Islam, karena ia memaparkan kelemahan dan kesalahan Quran dengan suatu cara yang membuktikan isinya benar-benar bertentangan. Tidak satupun dari para pendengarnya yang tidak menyadari bahwa Muhammad adalah nabi palsu, mukjizatnya palsu, bahwa kisah mengenai ia mengeluarkan air dari jari-jarinya atau kisah membelah bulan adalah murni dongeng. Ia mengemukakan bukti-bukti yang sangat kuat bahwa baik Quran maupun tradisi Islam (hadist) tidak dapat dipercaya. Kemudian ia menyampaikan pada muslim-muslim tersebut pandangan terhadap umat Kristiani. Mereka, katanya, bukanlah kafir. Merupakan kebodohan dan omong kosong menganggap mereka sebagai jiwa tersesat. Muslim harus bersikap baik pada mereka, karena tidak ada dasar bagi kebencian. Perjanjian Baru adalah buku yang indah, berguna dan suci.”

Sejumlah besar orang, akibat pengajaran ini, mendapati iman mereka pada Quran hancur. Kepada sejumlah mullah terdidik di antara para pendengarnya, ia mengajukan tantangan: ‘Jika kata-kataku salah, sanggahlah semua. Maka kalian akan melihat betapa banyak argumen tambahan yang dapat kuberikan, melawan pandangan kalian.’ Namun mereka takut menerima tantangan tersebut, dan banyak diantaranya yang diajar dalam pengetahuan modern, berkata, ‘Kata-kata si pengkhotbah muda Rumelian benar.’”

“Setelah beberapa waktu ia diancam oleh pengikut fanatik. Kemudian ia berhenti berdakwah. Namun kerumunan besar orang berkumpul dan menunggu berjam-jam, berharap ia muncul kembali. Seorang fanatik bangkit dan berteriak: ‘Mengapa kalian menunggu pengkhotbah ini? Apa kalian tidak mendengar semua yang dikatakannya menyerang Islam? Ini tertulis dalam buku-buku,

“Ketika Raja jaman, Imam Mahdi, datang maka semua umat Islam di dunia akan bersatu dan mengalahkan umat Kristen. Kemudian hanya akan ada satu agama di dunia. Tapi para pengkhotbah akan menyangkal semua ini. Ia telah mengambil dari kita, keberanian dan harapan kemenangan masa depan.’

“Banyak pengungsi dari Kreta, Russia, Bulgaria, Bosnia dan Herzegovina hadir dalam pertemuan tersebut. Mereka berkata: ‘Aduh! Kita telah meninggalkan kediaman kita karena orang-orang Kristen itu, musuh kepercayaan kita. Kita menunggu Imam Mahdi, dengan pedang di tangan, memimpin kita kembali dan membalas dendam pada musuh kita.’ Kemudian bangkit seorang Bosnia, Haji Mustafa, berteriak: ‘Dimana pendakwah itu? Aku akan menebasnya dan mengirim jiwanya ke neraka.’ ‘Kedua bersaudara dari Rumelia itu Kafir,’ kata seorang Mudarris (guru agama) dari Magnesia bernama Sabri Effendi, ‘dan barangsiapa membantah ini ia juga mengafirkan dirinya. Mereka menyangkal bahwa seorang pria bernama Yudas telah mengambil rupa Yesus dan disalib sebagai gantiNya; mereka menyangkal bahwa Jibril dalam rupa anak muda Arab menyingkapkan Quran pada Muhammad; mereka menyangkal bahwa tapak kaki Muhammad meninggalkan jejak pada sebuah batu di Yerusalem; mereka menyangkal bahwa bumi panjangnya 500 tahun perjalanan dan ada tujuh lapis, dan lembu jantan menyangga lapisan-lapisan ini. Mereka menyangkal bahwa di dalam surga ada para Houris dan Ghilman, kawin dan berpesta. Mereka menyangkal bahwa Yesus di hari terakhir akan datang dari langit, mati, dan dikuburkan di makam Muhammad. Mereka telah mengatakan ribuan hal menentang Quran dan murtad.’

“Namun, orang-orang berkumpul di sekitar saudaraku sedemikian rupa, sehingga pemerintah, yang khawatir akan gerakan massal ke Kekristenan, menempatkan kami di sebuah kapal dan mengirim kami ke Mekah, ke pembuangan. Tetapi kami tidak berhenti memberitakan Kristus dan memenangkan banyak jiwa bagi pengetahuan akan kebenaran. Ketika kemerdekaan diproklamirkan, kami kembali ke Salonika. Di Adrianopel, saudaraku berdakwah sepanjang 30 hari di bulan Ramadan, masa puasa Islam. Lima jam setiap hari di Mesjid Altan. Dalam dakwahnya, ia menerangkan dan membuktikan kebenaran Kristen berdasarkan nalar dan sains. Banyak yang percaya. Di kemudian hari kami mengadakan perjalanan ke Philippopel, Bulgaria, untuk mengakui secara terbuka iman Kristen kami.”

“Kami telah,” tulis saudara tersebut, “mempelajari ratusan buku untuk sampai pada kebenaran. Kami telah memeriksa setiap kata yang tercantum dalam Quran dan Hadist dengan tingkat kehatian tertinggi, dan telah mendeteksi kesalahan yang tak terhitung banyaknya. Kami lihat, adalah salah untuk terus menjadi Muslims. Kami berdua kemudian menerima Kristus. Kami berharap untuk membawa masyarakat kami ke tujuan yang sama dan untuk tujuan ini, kami mempersiapkan banyak pemberitaan. Kami telah menyaksikan dalam perjalanan kami di Rumelia, Anatolia, dan Arabia, bahwa muslim-muslim yang terpelajar selalu dibungkam. Kami mengakui kelemahan kami, namun bertekad untuk bekerja dengan apa yang kami punya untuk membangunkan anak-anak Islam keluar dari kesalahan.”

(Ttd)

SHEIK ACHMED KESCHAF,
SHEIK MOHAMMED NESSENDI."


Seorang misionaris Jerman bercerita tentang pengalamannya di hari-hari sebelum perang dunia,
Diantara orang muslim Sudan dan Palestina. Ia menyebutkan beberapa kasus ‘murid-murid tersembunyi’ yang tidak berani mengakui Kristus secara terbuka.

“Selama 30 hari perjalanan misionaris dengan unta, melalui dua provinsi Anglo-Mesir Sudan, musim gugur tahun 1913, penginjil Nubia kami dan aku tiba di K, dan disambut hangat oleh Ma’mur yang mengundang kami untuk bertemu dengan dia dan teman-temannya petang itu, di pertemuan yang disebut ‘klub’ di bawah pohon-pohon palem. Kami menerima undangan tersebut dan berbincang mengenai masalah agama selama hampir tiga jam. Teman kami, si Ma’mur, yang paling tertarik, karena ia belajar agama dan masalah-masalah ilmiah. Akhirnya, ia berkata pada kami bahwa ia yakin Yesus Kristus adalah Putra Tuhan secara kiasan, dan Dia telah menjadi Juruselamat manusia termasuk muslim. Kemudian, sementara semua mendengar dengan penuh perhatian, kami membuat sketsa keseluruhan hidup Yesus Kristus; dan ketika kami selesai, semua sangat terkesan dengan kehidupan Tuhan kita dan karya penebusanNya. Saat kami meninggalkan K, kami memberi Ma’mur sebuah Perjanjian Baru; dan dikemudian hari ia menulis pada kami bahwa ia telah mempelajarinya siang dan malam, serta yakin bahwa hanya Yesus Kristus Terang yang sejati.

Diantara suku Bishareen, ada seorang ibu dan putrinya yang mencari nafkah dengan menjaga ternak. Suatu hari mereka datang ke klinik kami di A; dan sementara mata anak perempuan tersebut diobati, ia mendengar ajaran Alkitab untuk pertama kali dalam hidupnya. Dia menyimak dengan penuh perhatian, hingga di hari pemeriksaan berikutnya, dia mengulang kisah Alkitab yang ia dengar tersebut dengan fasih, kata demi kata. Dikemudian hari ia kehilangan penglihatannya, namun mata batinnya telah terbuka. Dengan alat baca huruf Arab bagi tuna netra, ia belajar membaca Injil dan memberi kesaksian pada para pasien di rumah sakit. Ia benar-benar seorang gadis yang sudah murtad, namun ibunya tidak pernah setuju pembaptisannya karena takut sukunya akan membunuh gadis itu.

Seorang Sheikh Nubia yang punya posisi tinggi, secara teratur mendatangi Misi kami. Ia begitu berminat untuk tahu lebih banyak mengenai Injil, dan bahkan telah mengakui beberapa doktrin penting; namun ia adalah seorang berjiwa Nikodemus (Nicodemussoul) yang tidak berani mengakui Kristus secara terbuka, karena akan kehilangan kedudukannya.

Di sebuah desa kecil Palestina, yang sebagian besar penduduknya umat Islam, seorang pemuda Arab-Syria berkata pada kami bahwa ia telah menikahi seorang gadis Kristen dan bahwa ia sendiri cenderung untuk menerima Kristus; namun ia takkan pernah berani mengakuiNya secara terbuka, karena takut reaksi muslim fanatik di desanya.”

Lebih dari 26 tahun lalu, aku menerima sepucuk surat yang ditulis di Mekah, tapi bercap pos Aden dan ditujukan padaku di Bahrein, yang memintaku mengirim sebuah kamus Alkitab dan sebuah komentar Alkitab untuk seorang penulis yang tinggal di Mekah dan yang saudaranya melakukan bisnis di Aden. Kasus serupa dimana Firman Tuhan menemukan pembaca yang penuh kerinduan di tempat-tempat terpencil, dicantumkan dalam laporan lembaga-lembaga Alkitab. Tahun 1914, Mr. C.T. Hooper, dari British and Foreign Bible Society, dan aku melakukan perjalanan dari Laut Merah ke Jidda, untuk membuka sebuah depot Alkitab. Dalam perjalanan pulang kami mendarat di Yembo, pelabuhan Medinah. Pada awalnya, cukup terdapat kesulitan terkait pendaratan kami. Kami diberitahu bahwa Hejaz adalah tanah suci dan tidak ada orang Kristen yang diperkenankan mendarat. Tiba-tiba seorang pria dari kerumunan orang yang ingin tahu di sekitar dermaga datang menengahi kami dan berkata, “Mereka harus mendarat, karena mereka adalah tamuku.” Ia menunjukkan jalan bagi kami melalui kerumunan orang, jalan-jalan sempit, mengundang kami ke rumahnya, dan setelah lazimnya keramahtamahan Arab, ia mengaku sebagai seorang pengikut Kristus tersembunyi. “Jangan panggil aku Mohammed,” katanya, “namaku Ghergis” (George). Kami berkata, “Bagaimana kau bisa bernama Ghergis padahal dari keturunan muslim dan tinggal disini diantara umat Islam?” Ia memperlihatkan Alkitabnya pada kami, dan kemudian bercerita bagaimana setelah membaca Injil Matius, ia telah membaptis dirinya sendiri dalam ketaatan pada ajaran Kristus, padahal sebelumnya ia tidak pernah bertemu seorang misionaris atau pekerja Kristen-pun! Setelah itu pria ini membuktikan imannya melalui pekerjaannya, bukan hanya memperlihatkan kebaikan pada orang asing, namun juga kesediaannya menyebarkan Injil dan buku-buku Kristen yang dikirim padanya melalui pos. Selama perang kami benar-benar kehilangan jejaknya.

Aku tak akan pernah melupakan pengalamanku dengan seorang perwira Sirkasia di pasukan Turki, yang menyertai rombongan kami ke pedalaman Arab Saudi tahun 1897, saat kunjungan pertamaku ke Hassa. Selama pemberhentian pertama perjalanan kami, aku diminta menjumpainya, temannya mengatakan bahwa ia menderita disentri berat. Kutemukan ia sudah dekat pada kematian. Begitu aku duduk di sisinya, ia berkata, “Aku tidak ingin kau memberiku obat untuk penyakitku, karena sudah sangat terlambat; namun Aku berharap kau menunjukkan padaku jalan pulang ke Rumah.” Kemudian, ia menggapai ke bawah bantalnya dalam tenda, menyerahkan padaku sebuah Perjanjian berbahasa Arab, yang katanya telah ia temukan di rumah salah seorang Kristen pada saat salah satu pembantaian Armenia. Buku ini telah menjadi teman setianya, dan ia memohon padaku untuk membacakan baginya satu ayat dan berdoa. Ibu dan putrinya mendengarkan pengakuannya dan bersikap ramah penuh rasa terimakasih padaku. Pagi berikutnya, ada pemakaman Islam singkat. Imam rombongan menggumamkan doa-doa biasa, dan saat kami bergerak maju, hanya gundukan pasir rendah di padang pasir itulah yang tersisa untuk menjadi saksi bagi pengikut rahasia Tuhan kita.

Miss Dora J. Snelson dari Church Missionary Society, Meerut, India, menyampaikan kisah menyentuh berikut ini mengenai seorang murid rahasia lain. “Suatu hari, tahun lalu, seorang wanita terhormat Kristen India memintaku menemaninya mengunjungi seorang tetangga Islam, yang menjadi kunjungan tetapnya, dan yang sangat ingin menjadi seorang Kristen. Saat kami tiba di rumah tersebut, kami dibawa ke sebuah ruangan dimana seorang wanita cantik sedang duduk bersama saudara lelaki dan ipar perempuannya. Setelah perkenalan biasa, si saudara lelaki menerangkan alasan mereka hendak bertemu denganku. Singkat kata, beginilah kisahnya: ‘Dulu sekali, ketika kami tinggal di Lahore, kami memberi izin bagi seorang misionaris Kristen datang ke rumah untuk mengajar saudariku membaca. Ini suatu hal biasa; banyak gadis diajar dengan cara ini. Saudariku belajar sangat cepat. Setelah beberapa waktu, kami menyadari bahwa saudari kami menaruh perhatian terlalu banyak pada masalah keagamaan dari pelajarannya, dan kami kemudian melarang kunjungan misionaris tersebut. Namun benih telah ditaburkan dengan sangat baik. Ditinggal sendiri, iman saudariku pada agama baru ini tumbuh lebih kuat dan semakin kuat. Aku tidak tahu apa yang harus kulakukan. Ia bagaikan bagian dari diriku sendiri, karena aku telah membesarkannya. Ia adalah warisan ibuku pada aku dan abangku. Dan sekarang, disinilah ia, praktis seorang Kristen. Kemudian aku memulai penganiayaan. Aku membuatnya kelaparan, menguncinya berhari-hari. Lihatlah ia sekarang—kelemahannya dan kekurusannya adalah akibat perlakuanku padanya. Namun tiada yang menggoyahkan tekadnya untuk menjadi seorang Kristen. Akhirnya, karena kuatnya perlawanan, kami mengatur sebuah pernikahan untuknya, dan terselenggaralah. Namun, dengan segera suaminya memulangkannya pada kami sambil mengatakan ia tidak berniat mempertahankannya karena ia seorang Kristen. Merupakan tambahan aib bagi kami, menampung istri yang disingkirkan. Dalamnya kecintaan kami pada saudari kami membuat kami melakukan penganiayaan lagi, untuk mendorongnya kembali ke agama semula. Namun semuanya tak berguna. Dengan sabar ia menjalani semua penghinaan, cemoohan dan penderitaan. Bulan-bulan sebelumnya, kami telah menghancurkan semua buku-buku Kristennya, sehingga ia tidak memiliki apapun untuk mendukung ketegarannya. Sekarang aku menyerah. Kami tidak dapat meneruskan lagi, aku dan abangku memutuskan membiarkannya menempuh jalannya dan mengijinkannya ke dalam imanmu; namun dalam kondisi tertentu. Baptisannya harus serahasia mungkin, sehingga tidak ada aib lagi yang disematkan pada nama baik kami. Setelah ia dibaptis, kau tidak boleh membujuknya meninggalkan rumah; ia harus kembali dan hidup seperti biasa, melanjutkan pengasingannya sebagaimana yang telah ia jalani.

“Satu atau dua malam kemudian, dia datang, dan ia menguatkan semua yang telah abangnya katakan padaku, serta mengungkapkan dalamnya rasa kasih pada Juruselamatnya. Tidak ada keraguan, ia telah sangat diajari Roh Kudus. Lantas dimulailah persiapan pasti untuk baptisan. Dua atau tiga kali ia berbisik:

‘Ini adalah langkah pertama; aku akan datang dengan pasti suatu hari kelak.’ Abang-abangnya mengunjungiku, bersikeras bahwa semua persiapan baptisan harus serahasia mungkin, dan berjanji mereka sendiri akan menghadiri acara tersebut. Di hari baptisan, kedua abangnya membawanya dalam kereta tertutup ke sekolah. Kemudian, kedua bersaudara itu berjalan menuju gereja misi kecil kami, dan seorang teman Kristen, bersama si saudari perempuan dan aku sendiri pergi dengan kereta tertutup. Saudari perempuan itu terselubung rapat sepanjang waktu. Ia berkata padaku bahwa kedua abangnya membawanya malam itu mengunjungi seorang kerabat, dimana sang nyonya rumah juga seorang pengikut Kristus tersembunyi. Aku memberinya alamat misionaris kami di tempat itu. Aku tak pernah lagi menjumpainya sejak hari baptisannya. Ia belum kembali ke Meerut, dan untuk saat ini menghilang. Apakah Tuhan sendiri yang telah menyediakan baginya ‘hal-hal yang lebih baik’ dari tetap berhubungan dengan kami? Suatu hari kami akan memahaminya.” 6 Church Missionary Outlook, September 1, 1922.

Giovanni Papini berkata dalam bukunya yang mengagumkan, ‘The Story of Christ’: “Bukan secara kebetulan Yesus memilih para pengikut pertamaNya dari kalangan nelayan. Nelayan, yang menghabiskan sebagian besar hari-harinya dalam kesendirian dan diliputi air murni, adalah orang yang paham bagaimana menunggu. Ia adalah manusia sabar yang tidak diburu waktu; yang melempar jalanya dan menyerahkan selebihnya pada Yang Maha Kuasa.” Ini pelajaran utama yang harus dipelajari semua misionaris di kalangan umat Islam. Kesabaran atas kerja keras tanpa upah, kesabaran atas doa yang tak kunjung terjawab, kesabaran menunggu hasil senantiasa tak terlihat, kecuali bagi mata iman. Seorang wanita terhormat Swedia yang telah melakukan pekerjaan perintis yang berani diantara gadis-gadis muslim, kalangan terpinggirkan di Port Said, dan telah mengumpulkan lebih dari seratus diantaranya dalam sebuah sekolah Kristen, dimana beberapa mengaku percaya namun setelah itu kembali tak acuh, wanita tersebut tetap berharap:

“Kami tidak memiliki, aku yakin, alasan nyata untuk berpikir bahwa mereka sama sekali telah meninggalkan Kristus. Ada orang-orang di Israel yang tidak bersujud menyembah Baal -– namun Elia tidak mengenal mereka. Aku mohon maaf tidak bisa mengatakan padamu sesuatu yang lebih pasti. Secara pribadi, aku memiliki jaminan bahwa Tuhan Yesus akan menemukan banyak jiwa di hari Ia merangkai permata-permataNya.”

Mary Caroline Holmes, selama bertahun-tahun menjadi misionaris di Timur Dekat, menyampaikan kesaksian luar biasa seperti itu, mengenai para murid tersembunyi yang kita ringkas dari tulisannya di ‘Moslem World (April 1923): “Mungkin bagi banyak orang akan mengejutkan bahwa para murid tersembunyi ini begitu besar jumlahnya, sehingga mereka memiliki sebuah organisasi dengan pemimpin tertinggi bertempat tinggal di kota tertentu, dengan siapa aku pernah menuliskan surat perkenalan, namun sayangnya tidak bertemu dengannya di rumah saat aku diminta menyampaikan surat tersebut. Namun, para pengikut ini saling mengenali satu sama lain kemanapun mereka pergi dengan menggunakan kata sandi, dimana aku pernah tak sengaja tahu suatu hari, dan kugunakan berkali-kali, dan dengan demikian menemukan para pecinta Yesus lainnya dalam Islam. Seorang pedagang karpet menyatakan di salah satu pertemuan rahasia mereka dimana aku diundang hadir, ‘Dalam kebenaran engkau saudari kami,’ setelah ia merasa senang aku memahami lagu pujian begitu indah yang mereka nyanyikan, sekelompok kecil orang percaya di balik pintu terkunci, segalanya tentang pemecahan roti dan menuang anggur, lambang pengorbanan di Kalvari. ‘Engkau yang pertama memahami kami. Kami adalah bagian dari umat Kristen,’ lanjutnya dengan ekspresi yakin dan mulia. Aku duduk di pertemuan itu, hampir tak bisa mempercayai indraku, dan menyaksikan semangat pengabdian yang jarang terlihat, sejenis ibadah yang tertib, puji-pujian, lagu pujian Kristen yang hanya digunakan mereka sendiri, dan dinyanyikan dari ingatan yang berdenyut dengan rasa kasih bagi Juruselamat manusia. Dan para wanita juga ada, wanita muslim yang dipanggil ‘sister’ dan tanpa cadar!

Adakah lainnya yang seperti kalian? Tanyaku ragu. ‘Banyak,’ jawabnya. ‘Dan dimana?’ kutanya lagi. ‘Dimana-mana!’ jawabnya. Aku kenal salah seorang yang hadir, seorang pejabat Pemerintah, yang telah diusir dari salah satu kota suci mereka, karena sikap relijiusnya tidak menyenangkan semua pihak, dan ia seorang Turki. Ini terjadi beberapa tahun sebelumnya, dan ia telah menemukan Juruselamatnya, jauh di Turkestan tua, kemana ia telah pergi untuk menjauh dari daya tarik Yesus, yang justru akhirnya memenangkan jiwanya. Ia datang minggu demi minggu untuk berbincang masalah agama dengan kami, dan membuatku heran dengan pengetahuan yang begitu jelas akan Kekristenan dan Alkitab, karena sejauh ini aku belum pernah menghadapi para murid tersembunyi ini. Namun, suatu hari, saat ia menegaskan hanya ada satu Nur al talam (Cahaya Dunia), aku bertanya, ‘Apakah yang kau maksud sama denganku? Kau tahu, aku juga percaya hanya ada satu Cahaya Dunia, Tuhan Yesus Kristus.’ ‘Maksudku hanyalah apa yang kau perbuat,’ jawabnya sederhana. Sekali wakyu aku melihatnya memungut potongan roti dari tanah yang jatuh oleh tangan yang ceroboh, dengan hati-hati ia menghapus bekas tanah dari potongan tersebut, dan kemudian dengan hormat menciumnya sambil berkata, ‘Aku tidak pernah bisa menyaksikan roti di tanah untuk diinjak-injak. Tuhan kita berkata tentang roti, “Inilah tubuhKu yang pecah bagimu.” Inilah tubuh suci.’

“Dan penjual permen yang hidup diantara anak-anak kecil, para pembeli permennya. Aku tidak pernah dapat melupakan kata-katanya, berdentang, jelas dan dengan keyakinan kuat saat ia bertanya padaku, seakan untuk memuaskan keingintahuannya kalau aku seorang pengikut sejati Kristus, ‘Ya Sitt, pernahkah kau melihatNya?’ ‘Siapa yang kau maksud?’ tanyaku. ‘Yesus. Pernahkah kau melihatNya?’ Aku tahu aku telah mengecewakan iman sederhananya saat berkata, ‘Tidak, hanya melalui mata iman,’ ‘Tidak, tidak, bukan seperti itu. Dengan kedua mata ini, dengan mata ini Aku telah melihatNya,’ diucapkan dengan penuh keyakinan, penuh kepastian, sehingga aku merasa entah bagaimana, aku telah kehilangan sesuatu yang sangat indah dalam pengalaman iman Kristenku. Dan ia tidak sendiri dalam keyakinannya bahwa Yesus mengunjungi para pengikut tersembunyi ini dengan tubuh jasmani. Mereka semua akan mengatakan padamu bahwa mereka mendapat penglihatan Kristus. Dan siapakah aku, hingga berhak mengatakan itu tidak benar? Pengetahuan Kitab Suci seperti yang mereka miliki, untuk dikatakan, akan membuat malu seseorang yang lahir dan dibesarkan dalam ajaran Gereja.
Last edited by anne on Wed Mar 14, 2012 10:33 pm, edited 1 time in total.
anne
Posts: 502
Joined: Wed Sep 21, 2011 9:52 pm

Re: Zwemer: Mengapa Murtadin Jarang Ada

Post by anne »

Sebagian besar orang yang kukenal, menemukan Dia melalui studi Firman, dan bukan karena jangkauan langsung misionaris. Sebagai contoh, petugas pemakaman berjubah panjang, yang sambil berjalan di dek kapal yang kutumpangi dalam perjalanan, saat ia mendekati tempat aku duduk, tanpa menoleh atau melirik ke arahku, ia mengutip ayat-ayat Alkitab sambil terus berjalan. Namun aku paham dan tahu apa yang ia inginkan, dan saat aku melihatnya berdiri terpisah, menunggu, aku mendekat dan berteman dengannya melalui Kitab tersebut; dan dilanjutkan dengan pembahasan Kitab Suci, kitab, pasal dan ayat yang dikutip dan dipahami dengan baik oleh muslim yang tampak saleh ini, namun dalam kenyataan adalah seorang pencinta setia Tuhan kita. Ia bercerita padaku, ia tadinya seorang pemuda yang dikirim belajar ke Al-Azhar, universitas Islam besar di Kairo, dimana ia justru kehilangan semua imannya, bahkan terhadap keberadaan Tuhan itu sendiri. ‘Namun,’ tambahnya, ‘Aku merasa seorang pria yang paling tak bahagia, dan akhirnya kubersihkan kamarku dari segala barang kecuali sehelai tikar dimana aku duduk, dan sambil mengangkat tangan permohonan ke langit, aku menangis, “Oh Tuhan! Jika ada Tuhan, nyatakanlah diriMu padaku.” Kemudian aku mengambil Alkitab, bukan Quran, dan menemukan bukan hanya Tuhanku, namun juga Juruselamatku.

‘Banyak diantara para pengikut rahasia ini berasal dari kalangan lapisan atas, seperti dua pejabat yang sudah disebutkan, dan seorang Pasha (pejabat tinggi Turki), sosok yang kulihat saat mengadakan serangkaian kunjungan selama salah satu perayaan hari besar Islam. Ada dua bersaudara, seorang Pasha, anggota Parlemen Ottoman lama, dan satunya lagi Gubernur dari salah satu propinsi penting. Si Pasha, yang lebih tua, memimpin pembicaraan, dan tiba-tiba mulai berbicara dalam bahasa Inggris yang sempurna mengenai masalah agama. Tidak kurang dari 20 muslim yang hadir, semuanya kerabat, dan si Pasha berbicara dengan penuh kesungguhan dan keyakinan, sehingga aku membawa pembicaraan kembali ke dalam bahasa Arab agar semua dapat memahaminya, dan berkata, ‘Kau terlihat memahami Buku kami,’ karena ia mengutip dengan jelas dalam bahasa Inggris. ‘Aku memahaminya dengan baik,’ jawabnya. ‘Aku telah melakukan studi mendalam terhadapnya,’ seraya menyebutkan nama misionaris-misionaris tertentu yang telah ia minta bimbingannya. ‘Kau tidak pernah menemukan sesuatu yang buruk di dalamnya, bukan?’ tanyaku. ‘Justru sebaliknya, aku hanya menemukan satu tema, seperti benang merah, di sepanjang Buku, dimulai dari Kejadian dan berakhir di ayat ke-3, pasal 17 Injil Yohanes: “Inilah hidup yang kekal itu, yaitu bahwa mereka mengenal Engkau, satu-satunya Tuhan yang benar, dan mengenal Yesus Kristus yang telah Engkau utus.” Itulah keseluruhan pengajaran Alkitab, dan untuk memiliki hidup abadi adalah dengan mengenal Tuhan kita dan Juruselamat Yesus Kristus,’ menggunakan ungkapan Kristen, bukan Islam.”

Miss Holmes akhirnya bercerita tentang seorang pemuda yang belajar mencintai Yesus di sekolah, namun menahan diri dari pengakuan publik.

“Di tahun keduanya di college, ia terserang demam tipus, dan walaupun tampak membaik, ia kembali kambuh, dan jelas terlihat ia akan meninggalkan kami. Ia terlihat menyadari kondisinya, karena ia berdoa terus menerus pada Yesus di hadapan keluarganya, yang tidak menentangnya sama sekali. Ibunya, mungkin wanita muslim paling luarbiasa yang kukenal, pernah berkata suatu kali, namun tanpa kemarahan, ‘Oh, putraku, berdoalah pada Ah dan Muhammad.’ ‘Tidak, bu,’ pemuda yang hampir meninggal itu menjawab, ‘Aku ingin Yesus dan hanya Yesus.’ Ketika saat akhir tiba, ia tiba-tiba mengangkat kedua tangannya sekan menyambut seseorang yang dekat dan dikasihi, sambil menangis, ‘Ya, Yesus sayang, aku melihat Engkau. Aku datang,’ dan pergi untuk selamanya bersama Dia yang secara rahasia ia kasihi dan pada akhirnya diakui secara terbuka. Dan masih ada yang berkata tidak ada muslim yang benar-benar murtad.

Bukankah para murid tersembunyi di berbagai negara ini menjadi daya tarik kuat sebagai perantara?
Western influence also is responsible for the presence of Christian missionaries, and for the abrogation of the death penalty to which an apostate from Islam was formerly liable, both matters which may be explained by the principle of toleration, but which seem to indicate a pro-Christian attitude on the part of the Western powers."

O'LEARY, in Islam at the Cross Roads.
The words of the Prophet are final; There shall be no interference with their (Christian) faith, or their observances: nor any change in their rights and privileges. So runs the charter given by the Prophet to the Christians of the Najran, and its terms are such as to leave no shadow of a right for a Moslem ruler to interfere with the personal or religious liberty of his non-Moslem subjects. The Turkish Sultan cannot disregard this charter as successor to the Prophet and I cannot conceive what these much-talked-of Christian minorities can, in reason, demand from the Turks more than the rights and privileges that came within the purview of the charter."

KEMAL-UD-DIN, in The Islamic Review.
Last edited by anne on Wed Mar 14, 2012 10:38 pm, edited 1 time in total.
anne
Posts: 502
Joined: Wed Sep 21, 2011 9:52 pm

Re: Zwemer: Mengapa Murtadin Jarang Ada

Post by anne »

BAB II.
HUKUM RIDDA


Dalam bab ini kami memaparkan pasal-pasal dalam Quran yang berkaitan dengan hukum ridda, disertai komentar atas pasal-pasal tersebut dari komentar standar. Juga memperlihatkan dari Tradisi Islam dan buku-buku hukum standar, apa aturan Islam mengenai kemurtadan, dan hukuman yang diberikan.

Kata murtad dalam bahasa Arab adalah murtadd, dan orang yang murtad disebut orang yang artadd’an dinihi, yakni, ‘Orang yang berpaling dari agamanya.’ Dua kata digunakan bagi murtadin dalam hukum Islam: irtidad dan ridda. Selanjutnya, istilah terakhir yang berkaitan dengan murtad dari Islam menjadi tidak percaya (Islam) adalah kufr, yi mantan pemeluk Islam ke agama lain, misalnya Kristen 1 Mufradat-gharib-ul-Quran-lil Sheikh-ar-Raghib, p.191. Pasal-pasal dalam Quran yang berkaitan dengan kemurtadan adalah surah Perempuan, ayat 89; surah Hidangan, ayat 54; dan surah Lebah, ayat 106, yakni:

Maka mengapa kamu (terpecah) menjadi dua golongan dalam (menghadapi) orang-orang munafik, padahal Allah telah membalikkan mereka kepada kekafiran, disebabkan usaha mereka sendiri? Apakah kamu bermaksud memberi petunjuk kepada orang-orang yang telah disesatkan Allah? Barangsiapa yang disesatkan Allah, sekali-kali kamu tidak mendapatkan jalan (untuk memberi petunjuk) kepadanya. Mereka ingin supaya kamu menjadi kafir sebagaimana mereka telah menjadi kafir, lalu kamu menjadi sama (dengan mereka). Maka janganlah kamu jadikan di antara mereka penolong-penolong(mu), hingga mereka berhijrah pada jalan Allah. Maka jika mereka berpaling, tawan dan bunuhlah mereka di mana saja kamu menemuinya, dan janganlah kamu ambil seorangpun di antara mereka menjadi pelindung, dan jangan (pula) menjadi penolong, (Q 4:88 89)

Hai orang-orang yang beriman, barangsiapa di antara kamu yang murtad dari agamanya, maka kelak Allah akan mendatangkan suatu kaum yang Allah mencintai mereka dan merekapun mencintai-Nya, yang bersikap lemah lembut terhadap orang yang mukmin, yang bersikap keras terhadap orang-orang kafir, yang berjihad dijalan Allah, dan yang tidak takut kepada celaan orang yang suka mencela.. (Q 5:54)

Akan mencukupi, dengan mengutip apa yang dikatakan dalam komentar standar Baidhawi mengenai pasal pertama: ‘Barangsiapa berpaling dari agamanya (irtada), secara terbuka atau diam-diam, tangkaplah ia dan bunuh ia dimanapun kau menemukannya, seperti kafir lainnya.

Pisahkan dirimu darinya sepenuhnya. Jangan menerima perantara dalam hal ini.’


Semua komentator standar lain sepakat dengan Beidhawi dalam komentar mereka mengenai ayat ini.

Pasal ke-3 adalah surah Lebah, Q 16:106. Dalam ayat ini dibedakan dua macam kemurtadan: mereka yang dipaksa untuk murtad, yang mana hukumannya lunak; dan mereka yang murtad karena kehendak sendiri. Komentar-komentar atas surah ini juga tidak meninggalkan keraguan dalam interpretasi. Barangsiapa yang kafir kepada Allah sesudah dia beriman (dia mendapat kemurkaan Allah), kecuali orang yang dipaksa kafir padahal hatinya tetap tenang dalam beriman (dia tidak berdosa), akan tetapi orang yang melapangkan dadanya untuk kekafiran, maka kemurkaan Allah menimpanya dan baginya azab yang besar. (Q 16:106)

Mungkin ini suatu kesalah pahaman, menggunakan referensi surah Q 2:214 untuk membuktikan bahwa kemurtadan layak dihukum mati. Ayat ini tidak perlu diterjemahkan, karena Dr. W. St. Clair Tisdal telah menterjemahkannya: ‘Barangsiapa murtad dari agamanya, biarkan ia mati untuk itu, dan ia seorang kafir.’ Tepatnya, ‘Barangsiapa murtad dari agamanya dan mati, ia seorang kafir.’ Dan kita tidak bersandar pada satu teks Quran, melainkan memeriksa dengan hati-hati hingga ke pasal terakhir, bersama dengan interpretasinya, sehingga tidak ada keraguan bahwa menurut para komentator Quran juga jelas dinyatakan bahwa hukuman bagi murtadin adalah kematian.

Komentar terkenal dari Al Khazan (digunakan secara luas di Universitas Islam Al Azhar), yang mengutip dari Malik ibn Anas, Ahmad ibn Hanbal dan lainnya, memberi interpretasi pada ayat tersebut: ‘Semua amal ibadah murtadin menjadi batal dan sia-sia di dunia ini dan berikutnya. Ia harus dibunuh. Istrinya harus dipisahkan darinya dan ia tidak punya hak atas warisan’ (hal. 155, vol. I, edisi Kairo). Ath Tha’alibi (788 A.H.) dalam komentarnya mengenai surah Q 2:214, tidak menyisakan keraguan bahwa ayat tersebut, bagaimanapun susunan tata bahasanya, menuntut hukuman mati bagi murtadin (lihat vol. 1 hal.167, edisi Aljazair, 1323).

Akhirnya komentar utama dari Fakhr-ud-Din-ar-Razi (vol. 2 hal.220, baris 17 hingga 20, edisi Kairo, 1308) jelas berpihak pada penafsiran ayat ini sebagaimana yang diberikan dalam terjemahan Dr. Tisdall, dan ditolak oleh para kritikus Woking (Islam Ahmadiyah). Ia berkata bahwa murtadin harus dibunuh serta kehilangan hak atas istri dan warisan. Benar, dengan menyatakan bahwa teks Quran tidak selalu perlu penafsiran ini, dan bahwa Tabari dalam komentarnya tampaknya tidak berpihak pada ini. Namun, dalam komentar Zarkani tentang Al Muwatta (vol.3, hal.193) ada banyak contoh mengenai kaum Yahudi dan umat Kristen yang terpaksa masuk Islam, dan kemudian ketika mereka murtad, segera dibunuh. Statemennya jelas: ‘berpaling dari Islam ke agama apapun hukumannya mati.’ Al Nahayat fi Gharib al Hadith oleh Ibn Athir (edisi Kairo, vol.4 hal.38) memberi contoh bagaimana hukum ini ditegakkan, dan mendefinisikan bilamana murtadin dikatakan Kafir. Untuk diketahui, diantara banyak buku pelajaran, hanya ada satu buku sejarah Islam yang digunakan sekolah-sekolah lanjutan di Mesir: Ibn Taqtaqi, dalam buku sejarahnya Al Fakhri fil Adab as Sultaniya (1), edisi Kairo, 1317, mengatakan bahwa Abu Bakr membunuh semua murtadin Mekah setelah kematian Muhammad.

Hukum Islam pertama-tama didasarkan pada ajaran Quran, selanjutnya Tradisi Islam. Kedua sumber utama ini kemudian ditetapkan sebagai hukum ilahi oleh apa yang disebut kesepakatan umum, Ijma’a. Sebab itu, semua buku-buku hukum ilahi, mencakup pula bagian mengenai hukuman terhadap kemurtadan. Secara umum, bagian ini dikelompokkan dalam golongan tindak kejahatan lain yang menuntut hukuman fisik. Ada 7 tindak kejahatan: pembrontakan, kemurtadan, perzinahan (pada bagian perempuan bebas), mengkritik/mengejek, minum anggur, pencurian dan penipuan 2 Lihat juga. Al Ghazali's Wajiz, Vol. ii, pp.164-169 (Cairo 1317).

Hukum serta praktek terkait kemurtadan dari Islam, sebelumnya mungkin tidak terlalu ketat dan berat, dibandingkan setelah hukum tersebut dikodifikasi, saat negara Islam memperluas pengaruh dan otoritasnya keluar wilayah Arab. Banyak ‘Tradisi’ yang berhubungan dengan kemurtadan disusun untuk mengungkapkan kecenderungan dimana otoritas ilahi dan contoh sang Nabi diperlukan 3 Cf. Caetani's Annali dell' Islam (Introduction), vol. i: 340 and 352 ; vol. ii A. H. ii sec., 77, 120, 128; vol. iii: A. H. 14 sec., 252, etc. Namun, penyusunan Tradisi seperti itu menjadi lebih penting lagi terutama karena merupakan bagian dari Islam ortodoks jauh sebelum hukum tersebut dikodifikasi.

Tradisi, yang menjadi sumber hukum utama Islam (syariah), dalam bahasa arab disebut Hadist. Mark Twain, pernah mendefinisikannya sebagai potongan literatur ‘klasik’ yang dibicarakan setiap orang namun tidak seorangpun membacanya. Salah satu kekhawatiran menyematkan pernyataan ini pada Hadist, akan berakibat banyak orang menginterpretasi Islam dan menyadari sepenuhnya bahwa Quran bukanlah satu-satunya sumber teologi, hukum dan kewajiban praktis dalam kehidupan sehari-hari umat Islam. Sesungguhnya, sumber-sumber ini ada 4; dan diantara ke-4 sumber tersebut, tak diragukan lagi Hadist-lah yang paling penting. Baik secara kuantitas maupun kualitas kepentingan dan pengaruh, koleksi Hadist melampaui Quran. Ijma’a dan Qiyas (yakni kesepakatan para ulama sebagai lembaga yang mewakili umat Islam dan kesimpulan hukum mereka) juga didasarkan pada sunnat-an-nabi, yi praktek dan contoh perilaku Nabi yang tercatat dalam Tradisi. Misalnya, arah mihrab (ceruk di dinding mesjid) yang mengarah ke kiblat yang benar, Mekah, adalah hadist berdasarkan sunnat. Ini indikasi jelas bahwa apa yang dilakukan Muhammad merupakan otoritas dan tanda persetujuan ilahiah.

Koleksi Tradisi ini populer di kalangan masyarakat umum, seperti halnya buku Sheldon ‘What Would Jesus Do?’ yang populer sebagai suatu kisah. Hanya saja Tradisi bukanlah fiksi agama, namun wahyu ilahi yang sesungguhnya (alwahi-ghair-al-matlu). Ke-enam koleksi standar sudah dikenal namanya, namun siapa yang telah membacanya? Di abad ke-6 Hijriah, Imam Hussain al Bagwahi mempersiapkan koleksi yang cermat dan berotoritas dari ke-enam buku standar tersebut, dan diberi judul Mishkat-u-Masabih. Volume ini memiliki peminat yang amat besar, dan mungkin merupakan ringkasan Talmud Islam yang paling terkenal.

Buku ini telah diterjemahkan muslim ke dalam bahasa Persia dan bahasa lainnya, serta diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh Kapten Matthews, dan diterbitkan di Calcutta tahun 1809. Terjemahan baru namun sangat singkat oleh Pendeta William Goldsack, muncul tahun 1923 4 Christian Literature Society for India. Selections from Mohammedan Traditions. Diterjemahkan dari bahasa Arab. 1923: Madras. Sia-sia bila menilai karakter Islam sebenarnya hanya dari Quran, sama halnya dengan menyimpulkan iman dan perilaku umat Kristen di Mexico hanya dari surat-surat Paulus, atau Yudaisme ortodoks hanya dari Pentateuch. Tidak ada satu sekte Islam-pun yang melihat Quran sebagai satu-satunya pedoman bagi iman dan perilaku mereka. Ketidakjelasan Quran yang terkunci rapat hanya bisa dibuka melalui Tradisi. Hadist sekaligus merupakan kekuatan dan kelemahan Islam. Mengungkap siapa sebenarnya Muhammad dan mendakwanya. Para muslim yang cerdas hormat sekaligus takut terhadap koleksi Al-Bukhari dan Muslim. Ketidakpercayaan terhadap banyak Tradisi dan kelemahannya secara keseluruhan sebagai sokoguru Islam, hanya membuatnya lebih penting untuk dipelajari 5 Bandingkan dengan artikel Professor Wensinck dalam Moslem World Juli 1921. Ia berkata: “Tidak mengherankan bahwa buku-buku kanonik Tradisi –khususnya Bukhari dan Muslim—dalam pandangan masyarakat dianggap hampir setara dengan Quran. Pengambilan sumpah dilakukan di atas salinan Bukhari; saat menghadapi bencana atau bahaya, buku-buku tersebut dibaca untuk menolaknya; mereka merupakan pegangan dan senjata bagi umat Islam sampai saat ini.”

Koleksi paling terkenal diantara ke-enam kitab standar Tradisi adalah yang berasal dari Bukhari. Ia mengabdikan 16 tahun hidupnya untuk menyeleksi 7000 Tradisi ortodoks dari 600.000 yang ada. Di setiap koleksi standar, kita temukan bagian khusus yang ditujukan bagi masalah kemurtadan dan perlakuan yang diterima para murtadin dari Muhammad dan para sahabatnya. Komentar-komentar terhadap Tradisi tersebut tidak menyisakan keraguan bagi interpretasi. Tradisi terkait kemurtadan serta penilaian dan perlakuan Muhammad terhadap mereka, dicantumkan baik Bukhari maupun Muslim. Dua komentar standar atas Bukhari memberi informasi tambahan, serta menambahkan juga komentar atas ayat-ayat Quran yang berkaitan dengan kemurtadan, yakni: Fath-ul-Bari, oleh Al Askalani, vol. 12 hal.89-91 dan hal. 214-225 (edisi Kairo); dan 'Amdat-u-Qari, oleh Al 'Aini, vol. 11 hal.143-144 and hal. 230-236. Bagian pertama kedua komentar hadist ini berjudul, ‘Mengenai Kafir dan Murtadin yang membuat perang terhadap Islam.’ Bagian kedua di kedua komentar ini berjudul, ‘Mengenai Pertobatan Murtadin dan Pemberontak, dan kapan pembunuhan mereka wajib dilakukan.’ Dimulai dari koleksi 40 Tradisi terkenal oleh An-Nawawi, kita temukan berikut ini: “Rasullullah berkata, darah sesama muslim tidak boleh ditumpahkan kecuali dalam tiga kasus, yaitu perzinahan, pembunuhan, dan siapapun yang meninggalkan agama Islam.” Komentar terhadap Tradisi ini adalah sbb: ‘Pezinah harus dirajam; pembunuh, saat dihukum atas kejahatannya harus dibunuh dengan pedang; tapi ia yang keluar dari Islam, menjadi tidak taat pada Allah dan Rasulnya, biarlah ia dipancung atau disalib atau dimusnahkan dari bumi.’

Tradisi lain mengatakan sbb, “Diriwayatkan dari ‘Ikrimah bahwa ia berkata, ‘Orang-orang munafik kami bawa kepada ‘Ali dan ia membakar mereka.’ Kabar tersebut sampai pada Ibn ‘Abbas, dan ia berkata, ‘Kalau itu aku, aku tak akan membakar mereka, karena ada larangan dari Rasullullah; Jangan hukum mereka dengan hukuman Allah; tapi sudah pasti aku membunuh mereka sesuai perintah Rasul: Barangsiapa mengubah agamanya, bunuh ia.’” –Al Bukhari. “Diriwayatkan dari ‘Ali bahwa ia berkata, ‘Aku mendengar Rasullullah berkata: Akan datang segolongan orang di akhir jaman, berusia muda dan **** dalam visi, yang akan berbicara dengan kata-kata paling baik; tapi imannya tidak melebihi tenggorokannya. Mereka akan melewatkan agama seperti anak panah melewati sasarannya. Sebab itu, kapanpun kalian bertemu mereka, bunuh mereka; karena sesungguhnya bagi siapapun yang membunuh mereka ada pahala di hari kebangkitan.’” –Muslim dan Bukhari.

‘Diriwayatkan dari Anas bahwa ia berkata, ‘Sekelompok orang dari suku Uki datang pada Nabi dan memeluk Islam. Tapi mereka jatuh sakit di Medinah, maka Nabi memerintahkan mereka pergi ke unta-unta yang diberikan sebagai sedekah dan minum air kencing dan susunya. Kemudian mereka melakukannya dan pulih kesehatannya. Setelah itu mereka murtad dan membunuh si penjaga unta serta membawa pergi unta-unta. Lantas (sang Nabi) mengejar mereka, dan mereka dibawa kembali. Kemudian ia memotong tangan dan kaki serta mencungkil mata mereka. Ia tidak menghentikan pendarahan sampai mereka meninggal.’ Dan dalam Tradisi lain dikatan ‘menusukkan kuku ke dalam mata mereka.’ –Dan dalam Tradisi lain dikatakan, ‘Ia memanaskan kuku mereka dan menusukkannya ke dalam mata mereka. Dan ia memanggang mereka di atas batu datar. Dan mereka minta minum, tapi tidak diberi hingga mereka meninggal.’”
–Muslim dan Al Bukhari --6 See facsimile text of the last tradition, opposite page 40.
anne
Posts: 502
Joined: Wed Sep 21, 2011 9:52 pm

Re: Zwemer: Mengapa Murtadin Jarang Ada

Post by anne »

Kami tak akan mengutip Tradisi seperti itu bila tidak perlu.

Untuk menolak pernyataan mereka yang terus menerus meyakinkan bahwa tidak ada hukuman bagi kemurtadan dalam Islam. Dalam salah satu kasus, mereka bahkan mendasarkan keyakinan mereka pada Tradisi di atas.

Sebagai contoh, tahun 1922, muslim dari sekte Ahmadiyah di Inggris yang berkantor pusat di Woking, membagikan di Parlemen dan dimana-mana, selebaran berkaitan dengan kemurtadan dalam Islam. Mengandung himbauan khusus yang memperlihatkan Islam selalu menjadi agama toleransi serta melindungi minoritas Kristen dan Yahudi. Argumen yang tampak bagus, namun tidak meyakinkan. Kami kutip dua paragraph: “Pada jaman nabi semua catatan terpercaya mengenai kehidupannya tidak menyebutkan mengenai hal itu. Tak diragukan ada banyak murtadin, tapi tak seorangpun dihukum, karena itu adalah dan selalu menjadi semboyan Islam, bahwa tidak ada paksaan dalam beragama.”

“Tetapi, kami membaca tentang eksekusi mati sekelompok Uki dalam tradisi kami, yang setelah mengaku Islam, berpura-pura iklim Medinah merusak kesehatan, dan diberitahu untuk pergi ke tempat kawanan unta milik Negara digembalakan, membunuh para penjaga dan membawa kawanan unta bersama mereka. Mereka didakwa atas kejahatan pembunuhan dan perampokan; dan tidak ada kasus lain yang bahkan dapat diplintir untuk menunjukkan bahwa hukuman mati tersebut pernah diterapkan terhadap murtad dari Islam.”


Kami serahkan pada pembaca untuk menilai apakah ‘episode ini’ yang dicantumkan di setiap karya standar Tradisi di bawah judul ‘Apostles’ dicatat untuk menggambarkan hukuman terhadap pembunuhan dan perampokan atau hukuman terhadap kemurtadan. Apapun maksud sebenarnya, yang jelas umat Islam sendiri menganggap penerapan hukuman mati terhadap murtadin sebagai Tradisi yang otoritatif.

Sekarang kita beralih ke berbagai buku hukum yang digunakan di sekolah-sekolah hukum Islam.

Salah satu buku Mazhab Hanafi paling terkenal berjudul ‘Hedaya’ oleh Burhan ed Din Ali. Diterjemahkan oleh Charles Hamilton dari Order of Council di Bengali, dan edisi Inggrisnya dicetak di London tahun 1791. Terjemahan peraturan ini terdapat dalam bahasa Turki dan bahasa lainnya. Digunakan sebagai buku pelajaran di sekolah-sekolah hukum dan memiliki otoritas. Kami kutip dari volume 2, bab 9, hal. 225, ‘Hukum tentang Kemurtadan’

“Ketika seorang yang beragama Islam murtad, penjelasan mengenai itu diserahkan padanya, sedemikian rupa hingga apabila kemurtadannya timbul dari keraguan atau keberatan agama, hal tersebut dapat disingkirkan. Alasan menyerahkan penjelasan iman tersebut padanya adalah ada kemungkinan beberapa keraguan atau kesalahan yang timbul dalam pikirannya, dapat dihilangkan dengan penjelasan semacam itu; dan karena ada dua cara menghadapi dosa kemurtadan, yaitu, kebinasaan atau Islam, dan karena Islam lebih baik daripada kebinasaan, kejahatan tersebut lebih baik disingkirkan dengan cara memberikan penjelasan iman; namun penjelasan iman ini tidak wajib (berdasarkan apa yang telah ia ketahui di pikirannya), karena panggilan iman sudah ada di diri murtadin.”

Seorang murtadin dipenjara selama tiga hari; dalam masa itu, jika ia berbalik imannya, itu baik; tapi jika tidak, ia harus dibunuh. Tercantum di Jam ‘a Sagheer bahwa ‘penjelasan iman diserahkan pada murtadin, dan jika ia menolak iman tersebut ia harus dibunuh’ ; dan dalam kaitannya dengan pernyataan di atas bahwa ‘ia dipenjara selama tiga hari,’ hanya berlaku jika ia memerlukan penundaan, maka waktu tiga hari diberikan padanya, yang demikian adalah masa yang diakui secara umum dan diizinkan untuk tujuan pertimbangan. Dicatat dari Hanifa dan Abou Yusef bahwa pemberian penundaan tiga hari patut dipuji, apakah si murtadin memerlukannya atau tidak; dan dicatat dari Shaf’i bahwa merupakan kewajibab Imam untuk menunda selama tiga hari, dan tidak sah secara hukum baginya untuk menghukum mati murtadin sebelum berakhirnya masa itu; karena sangat mungkin si muslim tidak murtad, tapi memiliki keraguan atau kesalahan yang timbul di pikirannya; sebab itu diperlukan wakyu untuk mempertimbangkan, dan ditetapkan lamanya tiga hari. Argumen para dokter kita mengenai masalah ini berwajah ganda. Pertama, Allah berkata di Quran, ‘Bunuhlah kafir,’ tanpa mencadangkan penundaan waktu 3 hari; dan Nabi juga berkata ‘Bunuhlah orang yang mengganti agamanya,’ tanpa menyebutkan apapun mengenai penundaan. Kedua, seorang murtadin adalah musuh kafir yang telah menerima panggilan iman, sebab itu ia dapat dibunuh dengan segera tanpa penundaan. Seorang murtadin dalam hal ini disebut seorang musuh kafir, karena tidak diragukan memang demikian; dan ia tidak dilindungi karena ia tidak membutuhkan perlindungan; ia juga bukan seorang Zimmee (kafir Dhimmi), karena pajak perlindungan belum diterima darinya; karenanya jelas bahwa ia seorang musuh kafir. Perlu diperhatikan bahwa , dalam aturan-aturan ini, tidak ada perbedaan antara seorang murtadin yang dari warga bebas dan yang dari budak, hukum yang diterapkan sama untuk keduanya.

Bila seorang murtadin meninggal atau dibunuh dalam kemurtadannya, harta bendanya yang didapat selama pernyataan imannya, menjadi milik pewarisnya yang beragama Islam, dan apapun yang diperolehnya selama masa kemurtadan menjadi milik masyarakat Islam, yakni kekayaan publik. Ini menurut Hanifa.

Semua tindakan/kegiatan terkait harta bendanya (seperti pembelian, penjualan, pembebasan, hipotek, dan hadiah) yang dilakukan selama masa kemurtadannya, jadi terhenti/ditangguhkan efeknya. Jika, sesudahnya, ia kembali Islam, semua tindakan tersebut kembali valid; namun jika ia meninggal, atau dibunuh, atau pergi ke negara asing, semua tindakan tersebut menjadi batal. “Jika seseorang membunuh seorang murtadin, sebelum penjelasan iman diserahkan padanya, itu perbuatan keji (adalah perbuatan terpuji bila membiarkan ia meneruskan tanpa gangguan). Namun, tidak ada tindakan apapun terhadap si pembunuh; karena kekafiran seorang musuh membuat pembunuhan atasnya dapat diterima; dan penjelasan iman, setelah panggilan iman, tidak perlu.”

Jika seorang muslimah murtad, dia tidak dihukum mati, melainkan dipenjara sampai ia kembali ke imannya. Shafei berpendapat ia harus dihukum mati; karena tradisi menyatakan demikian; -dan juga karena sebagaimana pria dihukum mati karena murtad semata-mata disebabkan alasan melakukan kejahatan yang teramat berat sehingga hukumannya harus sama berat (yi kematian), maka kemurtadan seorang perempuan demikian juga (seperti pria), kejahatan yang teramat berat, sehingga hukumannya juga harus sama dengan pria 7 Hamilton's Hadaya, or Guide; a Commentary on the Mussulman Laws,vol. ii p.227. The same laws are given in all books on fiqh (jurisprudence). E.g. the celebrated manual, Badayet-ul-Mujtahid, by Ibn Rushdi Al Qartabi, vol. ii, p.383 (Cairo edition).
anne
Posts: 502
Joined: Wed Sep 21, 2011 9:52 pm

Re: Zwemer: Mengapa Murtadin Jarang Ada

Post by anne »

Bila suami dan istri keduanya murtad, dan menyingkir ke luar negeri, dan si wanita hamil disana, melahirkan anak, dikemudian hari anak ini juga selanjutnya punya anak, dan kemudian pasukan Islam menaklukkan wilayah tersebut, maka anak tersebut dan anaknya menjadi bagian harta rampasan milik negara: anak tersebut, karena ibu murtadnya menjadi budak, maka anaknya juga sama sebab keturunan ibunya; dan juga anak dari anak tersebut, karena ia kafir asli serta musuh; dan sebagai seorang kafir asli, ia menjadi pampasan atau harta negara; anak wanita tersebut, selanjutnya, dapat dipaksa masuk Islam, tapi tidak anak dari anak tersebut. Hassan mencatat dari Haneefa bahwa paksaan dapat juga diterapkan pada anak dari anak tersebut, agar ia masuk Islam, sebagai keturunan/tanggungan kakeknya.” 8 Hamilton's Hadaya; a Commentary on the Mussulman Laws, vol. ii, p.244.

Dalam sebuah artikel oleh Johann Kresmarik mengenai hukum pidana di Turki (Zeitschrift der Deutschen Morgenlandischen Gesellschaft, vol. 58, hal. 69-113) ada satu bagian mengenai "Irtidad." Ia mengutip dari sejumlah buku hukum Turki yang memperlihatkan bahwa interpretasi mereka atas hukum ridda tidak kurang keras daripada yang ditunjukkan di atas.

Sebuah ringkasan amat bagus mengenai hukum ridda Islam dibuat oleh Juynboll dalam Encyclopedia of Religion and Ethics, vol. 1, hal.625. Dia mengacu pada otoritas lain, terutama: Matthews Mishcat, vol. 2, hal.177f; C. Snouck Hurgronje, Indische Gids, 1884, vol. 1, p.794; dan El Dimishqi-Targamet ul Ummah fi Ikhtilaf al A'imat, hal.138 (edisi Bulaq, 1300).

Dari empat mazhab ortodoks Islam, mazhab Maliki kelihatannya yang paling keras sehubungan dengan kemutadan. Menurut Kapten F.H. Ruxton: 9 The Moslem World, vol. iii, p.38.

“Dalam hukum Maliki dan Shafti’i, hukuman yang diberikan terlepas dari jenis kelamin, sementara dalam hukum Hanafi, murtadin perempuan harus dikurung sampai ia mengaku salah.”

Sekali lagi, Hedaya berbicara mengenai kemungkinan atau apabila seorang murtadin menjual harta bendanya, melanjutkan pernikahannya, dan keabsahan pengaturan warisannya, sementara dalam Mukhtassar, pengaturan seperti itu tidak diperbolehkan; menimbang bahwa si murtadin harus dihukum mati pada hari ketiga dengan dibuktikan dua saksi, dan hartanya dihibahkan ke Bait-ul-mal, dan pengaturan warisnya menjadi batal demi hukum.

“Dengan demikian, dalam penerapan hukum Islam yang kaku, murtadin tidak mungkin bisa eksis. Walaupun di semua keadaan tidak ada Kekuatan/Pemerintahan Eropa yang mau campur tangan terhadap Hukum Ridda Islam, kita tahu bahwa tidak ada murtadin yang dapat langsung dikenai tuduhan murtad di setiap Pengadilan Penduduk Asli. Nyawanya terlindungi oleh Kekuasaan Tertinggi/Eropa; namun, si murtadin sendiri di mata sesamanya umat Islam dan berdasarkan hukum negara itu, tetaplah seorang penjahat.”

Dia memberikan keterangan lebih lanjut yang memperlihatkan bahwa, walalupun nyawa murtadin dilindungi Kekuasaan Eropa, ia menderita diskriminasi hukum tertentu, yang diringkas sbb:

1. Saudara-saudara si murtadin dilarang memberinya cabang pohon untuk dibawa pada Minggu Palem; membeli hewan yang ia potong; menjual padanya kayu karena mungkin dapat dibuatnya menjadi salib, atau tembaga yang bisa dibuat menjadi bel; menyisihkan sebuah rumah baginya karena bisa digunakan sebagai gereja. (Lihat Bab 1, mengenai Pemakaian Daging Hewan; Bab 8, mengenai Penjualan)”

2. Seorang muslim dilarang meminjamkan/menyewakan pada murtadin jasa budaknya, atau meminjamkan/menyewakan padanya hewan untuk dikendarai. Seorang muslim dilarang memberi tanpa pembayaran, jasa pribadi pada seorang Kristen (Lihat Bab 26, Pinjaman Gratis/Tanpa Bunga; Bab 32, Penyewaan.)

Namun demikian, perlu diingat bahwa Hubus (sumbangan) yang dibuat orang Kristen untuk Gereja atau Rumah Sakit adalah sah (Lihat Bab 35, Hubus)

3. Seorang Kristen tidak dapat menjadi saksi melawan seorang muslim, walaupun muslim boleh bersaksi melawan Kristen, dalam kondisi yang sama seperti menentukan semua bukti (Lihat Bab 39, Bukti)

4. Tidak ada muslim, budak sekalipun dapat dihukum mati karena membunuh seorang Kristen (Lihat Bab 40, Pembunuhan)

5. Tidak ada muslimah yang boleh menikah dengan Kristen (Lihat Bab 5, Pernikahan)

6. Perbedaan agama adalah penghalang pewarisan (Lihat Bab 4, Suksesi)

“Tentu saja masih ada lebih banyak lagi pendiskriminasian hukum lain, namun tak dirasa perlu dicantumkan sesuai kepentingan praktis kondisi dewasa ini,” ungkap Kapten D.H. Ruxton.

Di Turki Hukum Ridda merupakan hukum pengadilan selama berabad-abad, hingga 3 November 1839, Sultan Abdul Medjid mengeluarkan perintah pembatalan bernama Hatti Sherif, yang menjanjikan untuk melindungi kehidupan, kehormatan dan harta benda semua warga Ottoman terlepas dari agamanya. Ini suatu langkah besar. Namun, Agustus 1843, seorang pemuda Armenia berusia sekitar 20 tahun dipenggal di Konstantinopel karena murtad. Ia pernah menerima Islam, kemudian meninggalkan negri tersebut; di kemudian hari ia kembali dan memeluk Kristen. “Meskipun mendapat ancaman dan tawaran janji-janji, ia tetap berpegang pada keyakinan leluhurnya dengan akibat hukuman pancung. Sir Stratford de Redcliffe mengerahkan segala upaya untuk menyelamatkan jiwa pemuda tersebut, namun tak berhasil. Hukuman mati ini menggerakkan para duta besar dari Inggris, Prancis, Russia, dan Prussia untuk bersama-sama mengajukan permintaan resmi pada Sultan untuk menghapuskan hukuman mati karena pindah agama tersebut. Sejauh ini sudah ada kebebasan penuh untuk mengubah agama dari dan ke semua keyakinan non-Islam, dan bagi setiap orang yang untuk meninggalkan agama leluhurnya dan masuk Islam, namun hak tersebut diabaikan bagi seorang pemuda Islam yang meninggalkan agamanya.’

Di bawah tekanan para duta besar yang dipimpin duta besar Inggris, tanggal 21 Maret 1844, Sultan memberikan janji tertulis sebagai berikut: ‘Pemerintahan Ottoman terlibat untuk mengambil tindakan efektif untuk mencegah, mulai sekarang dan selanjutnya, penganiayaan dan hukuman mati Kristen murtadin.’ Dua hari kemudian, Abdul Medjid, dalam sebuah konfrensi bersama Sir Stratford, memberikan jaminan ‘Mulai sekarang dan seterusnya, tidak ada umat Kristiani yang dihina di wilayah kekuasaanku, atau dihukum mati karena agama mereka,’” 10 Daybreak in Turkey, oleh James L. Barton (Boston: The Pilgrim Press).p.250.

Sejarah di kemudian hari memperlihatkan sia-sia saja semua janji tersebut, dan bagaimana semangat hukum ridda berkali-kali lebih utama diinterpretasikan Islam, walau sudah ada semua perjanjian dan aturan. Pembantaian Armenia baru-baru ini bukanlah pembunuhan terhadap murtadin, namun sudah pasti menekankan fakta bahwa kebebasan beragama tidak ada di bawah pemerintahan Turki.

Perjanjian Berlin (1878, Pasal 2) menyatakan bahwa kebebasan absolut beragama ada di semua wilayah yang disebutkan di pasal-pasal sebelumnya, termasuk ‘keseluruhan kekaisaran Turki.’ Pasal ke-62 dimulai dengan, “Pemerintahan Ottoman telah menyatakan kesediaannya mempertahankan prinsip-prinsip kebebasan beragama, serta memberikan ruang seluas-luasnya, pihak-pihak yang terlibat betanggungjawab atas deklarasi yang merupakan kehendak bersama ini.”

“Seorang pejabat tinggi pernah berkata padaku,” tulis Dr. Barton, “bahwa Turki memberi warganya kebebasan beragama seluas-luasnya. Katanya, ‘Ada kebebasan penuh bagi orang Armenia untuk memeluk Katolik, orang Yunani untuk menjadi Armenia, orang Katolik dan Armenia untuk menjadi Yunani, bagi mereka semua untuk memeluk Protestan, atau untuk semuanya memeluk Islam. Ada kebebasan beragama sepenuhnya dan selengkapnya bagi semua warga kekaisaran ini.’

“Menjawab pertanyaan, ‘Bagaimana kebebasan bagi umat Islam untuk memeluk Kristen?’ ia menjawab, ‘Itu adalah ketidakmungkinan dalam kasus ini. Ketika seseorang telah menerima Islam dan menjadi pengikut Nabi, ia tidak boleh murtad. Tidak ada kekuasaan dunia yang mampu mengubahnya. Apapun yang ia katakan atau klaim tidak mengubah fakta bahwa ia masih dan harus selalu menjadi seorang muslim. Sebab itu, adalah absurd mengatakan bahwa muslim memiliki hak istimewa mengubah agamanya, karena hal tersebut diluar kekuasaannya.’ Selama 40 tahun terakhir, tindakan para pejabat dan penguasa Turki telah telah menerapkan teori kebebasan beragama ini di kekaisaran Ottoman.’ Setiap muslim yang memperlihatkan ketertarikan pada hal-hal yang berbau Kristen berarti melepaskan hidupnya dari genggaman. Tidak ada perlindungan dapat diberikan padanya terhadap tuduhan-tuduhan palsu yang menyebar. Keselamatan satu-satunya hanya dengan melarikan diri.” 11 Daybreak in Turkey, oleh James L. Barton, pp.256-7.

Hukuman mati kadangkala diputuskan untuk pelanggaran yang lebih rendah. Di paruh akhir tahun 1879, salah seorang ulama Turki bernama Ahmad, dijatuhi hukuman mati karena telah membantu Dr. Koelle, seorang pastor Inggris yang tinggal di Konstantinopel, menterjemahkan Buku Doa Sehari-hari dan pamflet ‘Christ the Word of God.” Atas desakan Duta Besar Inggris, jiwanya selamat, namun ia diasingkan ke Pulau Chio. Canon Sell (Faith of Islam, hal.278) menulis:

“Pada tanggal 16 Januari, 1844, Earl of Aberdeen menulis pada Sir Stratford Canning, demikian: ‘Kekuasaan Kristen tidak dapat lagi menerima bila Pemerintahan Ottoman menghina dan menginjak-injak keyakinan mereka, dengan memperlakukan setiap orang yang memeluk Kristen sebagai seorang kriminal.’ Hal ini berakibat dipublikasikannya Memorandum Pemerintah Ottoman tahun 1856, yang berisikan pernyataan: ‘Karena semua bentuk agama adalah dan harus bebas dianut di wilayah Ottoman, tidak ada warga Yang Mulia Sultan yang dirintangi dalam menjalankan agama yang ia anut atau diganggu dengan cara apapun karenanya. Tidak seorangpun yang akan dipaksa mengubah agamanya.’ Akan terlihat bahwa ini tidak berlaku pada kasus murtad dari Islam, namun Duta Besar Inggris menyarankan agar Pemerintah Inggris harus puas dengan pernyataan ini. Dalam sebuah berita tertulis tanggal 12 Februari 1856, ia berkata, ‘Benar, hukum Quran berkaitan dengan murtadin ini tidak dihapus, dan Menteri Sultan menegaskan bahwa hal tersebut adalah jangkauan otoritas yang bahkan melebihi kekuasaan hukum Yang Mulia Sultan.’ Duta Besar tersebut selanjutnya mengatakan walaupun ini masalahnya, Pemerintah Inggris tidak dapat memprotes penerapan hukum Quran.”

Ada sejumlah referensi penerapan hukum ridda di semua produk hukum Islam. Sebagai contoh, kami menemukan aturan-aturan berikut dalam sebuah pedoman hukum pernikahan, dikutip dari Mukhtasar oleh Sidi Khalil, diterjemahkan oleh A.D. Russell, seorang hakim di koloni Islam Trinidad, Amerika Selatan. Buku tersebut ditujukan sebagai pedoman dewasa ini, dan tidak berhubungan dengan kondisi di abad-abad sebelumnya.”

Bagian 107. (Dimana pemisahan adalah keharusan) sebagai akibat kemurtadan salah satu (dari pasangan), pembatalan pernikahan tanpa penolakan/wajib. Bagian 108. Berlawanan dengan prinsip yang ditunjukkan di bagian terakhir, sebuah penolakan tidak dapat dibatalkan lagi bila perceraian menjadi keharusan karena kemurtadan salah satu pasangan. Ini terjadi bahkan bila suami yang murtad memeluk agama istrinya lagi.” 12 A Manual of the Law of Marriage from the Mukhtasar of Sidi Khali (Translated by A. D. Russell: London), pp.39-40

Kita juga membaca dalam ‘Mohammedan Jurisprudence’ (Fikih Islam) oleh Abd-ur Rahim bahwa: “Kemurtadan atau mengubah agama dari Islam ke kekafiran, menempatkan murtadin diluar perlindungan hukum. Bagaimanapun, hukum bermurah hati dengan memberikan murtadin locus poenitentiae khusus (dalam hal ini kesempatan bertobat). 13 Mohammedan Jurisprudence, oleh Abd-ur-Rahim (Thacker & Co.: Calcutta, 1911, p. 253. Misalnya, pertama-tama ia akan diminta menyesuaikan diri dengan iman/agamanya, dan jika ia memiliki keraguan, harus dilakukan upaya menyingkirkan keraguan tersebut dengan berdiskusi. Ia akan diberi kesempatan selama tiga hari untuk kembali menganut agamanya, sebelum hukuman dijatuhkan. Namun, karena orang tersebut kehilangan perlindungan hukum akibat tindakan kemurtadannya, bila seorang muslim membunuhnya sebelum ia diberi kesempatan kembali ke agamanya, tidak ada hukuman dijatuhkan bagi pembunuhnya, walaupun hal tersebut akan dianggap sebagai tindakan yang tidak terpuji. Menurut dua murid, selama hukuman belum dijatuhkan pada si murtadin, ia akan diizinkan mempertahankan kepemilikan harta bendanya, tetapi menurut Abu Hanifa, kepemilikan tersebut jatuh pada pewarisnya pada saat kemurtadan.
anne
Posts: 502
Joined: Wed Sep 21, 2011 9:52 pm

Re: Zwemer: Mengapa Murtadin Jarang Ada

Post by anne »

Mungkin, pengaturan hukum ridda paling ringkas dan lugas, diberikan dalam buku terkenal Minhaj-at-Tahbin oleh Nawawi. Para pengikut mazhab Shafi’i ini berjumlah sekitar 60 juta orang, separuhnya di Hindia Belanda, dan sisanya tersebar di Mesir dan Syria, Hadramaut, India Selatan dan Malaya. Manual darimana peraturan ini diambil berasal dari karya standar di semua negara-negara ini, terutama Mesir. 14 Minhaj-at-Talibin: a Manual of Mohammedan Law according to the School of Shaft'i, oleh Nawawi, dari edisi Prancis A.W.C. van den Berg, oleh E. C. Howard, District Judge, Singapore. London: Thacker, 1914.

“Kemurtadan dalam hal penyangkalan Islam mencakup, baik secara mental, secara lisan, ataupun tindakan/perilaku yang tidak sesuai dengan agama Islam. Penyangkalan secara lisan, tidak masalah apakah berupa perkataan lelucon, semangat berkontradiksi, ataupun dengan maksud baik. Tapi, sebelum kata-kata semacam itu dapat dianggap sebagai tanda kemurtadan, harus berisikan pernyataan jelas bahwa:

(1) Orang tersebut tidak meyakini eksistensi Pencipta atau rasulnya; atau

(2) Muhammad, atau salah satu utusan adalah penipu ulung; atau

(3) Orang tersebut menganggap halal apa yang diharamkan oleh ijma’, misalnya tindak pidana percabulan; atau

(4) Orang tersebut menganggap haram apa yang halal menurut ilma’.

(5) Orang tersebut tidak merasa wajib mengikuti aturan ijma’, menganggap sama positif maupun negatif; atau

(6) Orang tersebut bermaksud mengubah agama orang lain; atau orang tersebut memiliki keraguan akan kebenaran Islam; dsbnya.

“Terkait tindakan/perilaku, ini tidak dianggap tidak sesuai agama, kecuali mereka memperlihatkan indikasi jelas berupa ejekan atau penolakan agama, misalnya, melemparkan Quran ke atas tumpukan kotoran atau bersujud pada berhala, atau menyembah matahari. Tidak dianggap kemurtadan suatu kekurangan atau kegilaan, atau tindakan yang dilakukan di bawah paksaan kekerasan. Bahkan bila orang yang bersalah tersebut, setelah ia mengucapkan perkataan atau melakukan tindakan, menjadi gila, ia tidak dapat dihukum mati sampai ia pulih dari kegilaannya. Namun, menurut mazhab kami, peraturan ini tidak termasuk kasus kemabukan. Kemurtadan, dan pernyataan telah berbalik dari kesalahan yang diucapkan seorang pemabuk, memiliki akibat hukum biasa.”

Para saksi tidak perlu memperhitungkan rincian fakta-fakta yang mengandung kemurtadan; mereka cukup menegaskan bahwa orang yang bersalah tersebut seorang murtadin. Otoritas lain memiliki opini berbeda; namun, mayoritas malah melangkah lebih jauh lagi dengan tidak memperhitungkan penolakan terdakwa semata, bahkan dimana pernyataan para saksi hanya bersifat umum. Namun, di sisi lain, bila si tertuduh menyatakan ia bertindak di bawah paksaan, dan kondisi yang mendukung pernyataan ini masuk akal, misalnya, ia telah dijadikan tawanan oleh kafir, ia punya alibi menguntungkan, asalkan ia bersumpah; namun alibi ini tidak berlaku bila tidak disertai kondisi yang mendukung. Hanya jika ada dua saksi secara hukum yang menyatakan ‘si tertuduh bukan murtadin’ namun ‘kata-kata yang ia ucapkan menyiratkan kemurtadan,’ dan si tertuduh kemudian menyatakan mengucapkannya karena paksaan, maka hukum berada di pihaknya, dan ia tidak perlu memberikan penjelasan rinci.

Bila, setelah kematian seseorang yang agama/keyakinannya tidak pernah dicurigai, salah seorang putranya yang juga muslim menyatakan bahwa ayahnya telah berpaling dari Islam dan meninggal dalam keadaan tidak bertobat, menambah penyebab kemurtadan, maka si putra ini dikeluarkan sebagai ahli waris, dan bagiannya dialihkan ke Negara sebagai pajak; namun pernyataannya tidak berpengaruh terhadap hak waris saudaranya. Peraturan yang sama juga berlaku bila penyebab kejahatan tidak disebutkan dan si putra membatasi diri dengan mengatakan bahwa ayahnya meninggal dalam keadaan murtad.

“Upaya harus dilakukan untuk membujuk murtadin kembali dari kesalahannya, walau menurut salah satu otoritas ini hanyalah proses yang harus dipuji. Peringatan harus segera dilakukan, atau menurut salah satu ahli hukum, dalam tiga hari pertama; dan jika tidak berhasil, si pria atau wanita yang bersalah harus dihukum mati. Bila sebaliknya, pihak yang bersalah tersebut kembali/berpaling dari kesalahannya, maka ini harus diterima sebagai sebentuk ketulusan, dan orang tersebut dibebaskan, kecuali, menurut beberapa otoritas, ia telah menganut agama sesat seperti Zend (Zoroaster), yang para penganutnya, walau mengaku Islam, tidak kurang kafir dalam hatinya, atau beberapa doktrin yang mengakui interpretasi mistik atau alegoris dari Quran.

“Anak seorang murtadin tetap muslim, tanpa memperhatikan saat pembuahan atau apakah salah satu orangtuanya masih muslim atau tidak. Namun, salah satu otoritas menganggap anak yang ayah dan ibunya telah menolak Islam, sebagai murtadin juga, sementara otoritas lain menganggap anak seperti itu sejak semula sudah kafir. (Anak tersebut harus dianggap murtadin. Inilah yang dikemukakan para ahli hukum Irak pada kami, sebagai teori yang diterima secara universal).

“Mengenai kepemilikan harta benda seorang murtadin yang meninggal dalam keadaan tidak bertobat, masih diperdebatkan, yakni, hukum menganggapnya hilang pada saat penolakan iman; namun dalam kasus pertobatan, dianggap tidak pernah hilang. Tetapi, ada beberapa teori lain mengenai ini, walaupun semua otoritas sepakat bahwa utang piutang yang terjadi sebelum kemurtadan, termasuk pengeluaran pribadi murtadin selama masa peringatan/pemberian nasihat, dibebankan pada negara. Ini juga berlaku pada segala kerusakan sebagai akibat prasangka yang berkaitan dengan uang yang berakibat pada orang lain, pembiayaan para istri yang pernikahannya masih belum diputuskan, serta pembiayaan keturunannya. Bilamana diakui bahwa kepemilikan masih belum diputuskan, prinsip yang serupa harus diterapkan bagi pengaturan akibat kemurtadan, sejauh mereka dapat ditangguhkan, seperti pelimpahan hak/kuasa dan warisan, yang semuanya tetap utuh bilamana nasihat/peringatan berhasil, walau tidak sebaliknya. Di sisi lain, pengaturan yang memang pada dasarnya tidak memungkinkan penundaan semacam itu, seperti penjualan, perjanjian, kuasa hukum berdasar kontrak, semua menjadi batal dan dianggap tak berlaku sejak permulaan (void ab initio), walaupun Shafi’i, dalam periode pertama, menghendaki semuanya ditangguhkan. Semua otoritas, bagaimanapun, sepakat bahwa harta benda murtadin dalam hal apapun tidak dibiarkan dalam pengaturannya sendiri, melainkan harus diserahkan pada beberapa orang dengan karakter tak bercela. Tetapi, seorang budak perempuan tidak boleh dipercayakan pada seorang pria, ia harus dipercayakan pada beberapa wanita yang dapat dipercaya. Harta benda murtadin harus disewakan, dan diputuskan pengadilan bahwa budaknya yang menjalani pelimpahan hukum berdasar kontrak harus melakukan pembayaran berkalanya.”

Sedemikian jauh buku-buku teks hukum Islam. Namun, bila diperhatikan, peraturan-peraturan hukum di atas, yang berhubungan dengan kemurtadan, semuanya berawal/didasarkan pada Quran itu sendiri, yang bagi umat Islam adalah kata-kata Allah yang abadi, tidak dapat diubah. Hal ini disimpulkan secara ringkas dalam buku ‘Al Madhal’ yang terkenal, oleh Mohammed Al Abdari Ibn Hadj, vol.2 hal. 181 (edisi Kairo). Dimana kita baca:

“Adapun bagi murtadin, diperbolehkan membunuh mereka dari depan ataupun mendatangi mereka dari belakang, sebagaimana dalam kasus politheis/musyrik. Kedua, bila darah mereka tertumpah, tidak berakibat balas dendam. Ketiga, harta benda mereka merupakan pampasan bagi orang beriman. Keempat, ikatan pernikahan mereka menjadi batal demi hukum.”

Sejauh ini, kita telah memaparkan opini para ahli hukum ortodoks yang semuanya berasal dari ajaran Sunni. Paham ini dianut oleh sebagian besar umat Islam di selutuh dunia. Namun, di Persia, sebagian India dan Mesopotamia, ajaran Shi’ah merupakan mayoritas, dan jumlah seluruhnya sekitar 15 juta orang. Dalam buku hukum mereka, hukum ridda tidak kurang keras/parahnya. Kita baca:

“Setiap individu berjenis kelamin laki-laki, yang lahir beragama Islam, murtad, tidak lagi mendapat perlindungan Islam, namun dengan sendirinya (ipso facto) dikutuk mati. Istrinya harus dipishkan darinya; dan harta bendanya disita..

“Perempuan yang bersalah karena murtad tidak dihukum mati, bahkan bila ia dilahirkan dalam agama Islam, namun ia dihukum menjalani penjara abadi, dan dipukul dengan rotan/kayu pada saat jam-jam sholat..

“Anak yang lahir dari ayah sesat/bid’ah karena murtad, dan ibu muslim, diperlakukan sama dengan anak yang lahir sebelum kemurtadan ayahnya. Anak keturunan ayah dan ibu yang bid’ah, dan dilahirkan setelah kemurtadan, diperlakukan dengan cara sama seperti orangtuanya; dan jika ia diubunuh, pembunuhnya tidak dapat dihukum dengan hukum balas dendam.” 15 Droit Musulman; Recueil de Lois concernant Les Musulmans Schyites, by A. Querry, vol. ii, pp.528-533. Paris 5872.

Mengenai cacat pernikahan, kita menemukan aturan berikut ini, yang ditetapkan sebagai prinsip-prinsip hukum Islam dewasa ini, berlaku untuk semua umat Islam di British India. Kita kutip dari ‘Principles of Mohammedan Law,’ oleh Faiz Badruddin Tyabji, M.A., diterbitkan di Bombay, 1913:

“Sesuai UU XXI, tahun 1850, dimana salah satu pihak murtad dari Islam, pernikahan menjadi batal demi hukum”

“Bilamana pernikahan batal oleh kemurtadan suami, jika sudah disempurnakan (tidur bersama), istri berhak atas seluruh mahar (dowry)nya; jika belum disempurnakan, ia berhak atas setengah dari mahar tersebut.

Istri tidak berhak atas mahar bilamana pernikahan batal karena ia murtad.

“Jika keduanya murtad bersama dan kembali ke Islam, pernikahan dipulihkan kembali.

“UU tahun 1850 tersebut, dicantumkan dalam Buku Hukum yang sama, dan diberi judul UU Penghapusan Kecacatan Kasta (hal.30). Di dalamnya, klausul berikut dimasukkan untuk menetapkan perlakuan khusus bagi murtadin di India:

“Begitu banyak undang-undang atau peraturan saat ini yang berlaku dalam wilayah yang tunduk pada pemerintahan East India Company (EIC) yang mengakibatkan hilangnya hak atau harta benda setiap orang, atau mungkin mengganggu atau mempengaruhi hak waris seseorang yang disebabkan penolakannya atau karena telah dikeluarkan dari kelompok suatu agama, atau dikeluarkan dari kasta, seharusnya berhenti diberlakukan sebagai undang-undang di Pengadilan EIC, dan di Pengadilan yang didirikan berdasarkan Piagam Kerajaan (Royal Charter) dalam wilayah tersebut.”

Bagaimanapun, peraturan yang diterapkan di Pengadilan Hukum India ini belum berlaku di Turki, Mesir, Syria, Palestina, Persia, Arabia, juga di negara-negara di bawah hukum Islam lama. Diharapkan bahwa, dibawah peraturan seperti itu akan dibuat sebagai pernyataan resmi penghapusan hukum ridda yang digambarkan berkaitan dengan hak personal, hak kepemilikan dan pernikahan. Sampai hukum ridda yang dikatakan Kepresidenan Madras bertentangan dengan ‘keadilan, persamaan, dan kesadaran nurani’ ini, dihapuskan, kita tidak bisa berharap umat Islamdalam jumlah besar berani menghadapi konsekuensi kemurtadan, walaupun mereka meyakini kebenaran Kristen.

Sehubungan dengan situasi saat ini dan kebutuhan mendesak pembuatan uu perbaikan khusus, kita bisa mengutip kata-kata Pendeta Canon W.H.T. Gairdner. Apa yang ia katakan mengenai Mesir, berlaku pula bagi Persia, Syria, dan seluruh Timur Dekat.

Disampaikan bahwa, untuk menjamin Mesir berada di level sama untuk hak dasar individu, yang merupakan kebutuhan minimum bagi negara beradab, modifikasi lebih lanjut terhadap hukum yang ada serta penerapannya masih diperlukan. Sebagai contoh:

(a) Peralihan dari Kristen ke agama Islam terdaftar secara resmi, dan status baru mualaf ditetapkan. Tetapi tidak ada cara memperoleh pendaftaran dan pengakuan yang setidaknya sama dewasa bagi murtadin ke Kristen, yang statusnya menjadi sangat tidak menyenangkan, dihadapan Pemerintah, hukum dan masyarakat.

(b) Murtadin, yang dibaptis, khususnya bila ia mengubah namanya, yang merupakan kewajiban moral, dihapus hak warisnya, dan bukan hanya ketika ada klausul khusus perwalian harta keluarga yang mengamankan harta tersebut pada Islam ortodoks secara eksklusif, namun juga ketika tidak ada klausul semacam itu, yi, ketika harta benda keluarga dibagi dengan cara normal. Bahkan diragukan apakah seorang murtadin bisa mendapatkan pengesahan hakim atas warisan khusus untuknya, kecuali dengan menyatakan dirinya muslim saat melakukan dan mengupayakan pengesahan tersebut.

(c) Seorang perempuan tidak punya kuasa mengubah agama/keyakinannya di Mesir. Jika belum menikah dia diklaim oleh ayah atau walinya; dan jika menikah, oleh suaminya, dan opsir Inggris akan melaksanakan perintah pengadilan Islam sebagai akibatnya. Perempuan tersebut selanjutnya menghilang, dan berbagai bentuk tekanan diberikan agar ia sungguh-sungguh atau secara nyata mengakui kesalahan, serta mengharuskannya menjalani kehidupan Islam dengan sungguh-sungguh atau secara nyata..”

Hukum ridda tak diragukan lagi adalah salah satu faktor utama intoleransi muslim terhadap orang-orang yang menghasilkan murtadin, yakni para misionaris. Dari saat murtadin paling awal ke Kristen, Obeidallah Ibn Jahsh (yang juga misionaris pertama --> Bab 4) hingga ke Abad Pertengahan, catatan sejarah intoleransi dan penganiayaan berlanjut secara konstan. Semua murtadin dari misionaris Raymond Lull dihukum mati, dan ia sendiri mengalami kemartiran. Halaman demi halaman sejarah misi basah dengan airmata dan darah.
anne
Posts: 502
Joined: Wed Sep 21, 2011 9:52 pm

Re: Zwemer: Mengapa Murtadin Jarang Ada

Post by anne »

Dalam beberapa surat misionaris Fransiscans di abad ke-14, yang ditemukan di sistim penyimpanan data (MSS) perpustakaan Cambridge, kami membaca peristiwa menggetarkan ini: 16 The East and West, "Fourteenth-Century Missionary Letters" A. C. Moule p.357, Oct., 1921.

“Kau akan mengetahui bahwa telah tewas baru-baru ini di kota Trebizond, Saudara Anthony dari Milan, Monald dari Ancona, dan Ferdinand (mungkin salah ucap untuk Francis) dari Petriolo, mereka yang secara khusus (karena semua saudara ini bersaksi) di Lent (?), dan di hadapan Qadi (panggilan serupa uskup atau wali gereja) dan semua orang, memberi penglihatan pada seorang buta, dan seringkali mengkritik Muhammad dan hukumnya, dibawa ke lapangan atau Maydan, dimana setelah hukuman diumumkan dan mereka tidak berkesempatan menyampaikan kata-kata, semua orang berseru, ‘Biarlah semua yang menganggap hina hukum kita dan memandang nabi kita semurah lumpur dihukum mati.’ Dan sambil mereka dengan sangat kejam menusuk dengan pedang dan tombak, mereka berkata, ‘Cara pembebasan seperti ini adalah kepuasan batin bagi kami.’ Mereka dipaksa berlutut, dan dengan tubuh penuh luka akhirnya dipenggal dan dicabik-cabik, dan potongan-potongan tubuh mereka digantungkan di dinding-dinding dan menara-menara kota. Namun beberapa diantaranya, dibeli atau dicuri para pedagang dan dibawa kembali pada kami. Seorang Saracen juga, yang menaruh belas kasihan pada mereka, mencoba menghalangi para pembantai melakukan kekejaman begitu banyak, namun ia langsung dibunuh. Dan seorang pendeta Armenia yang bersikap lembut pada para martir, dicambuk berkeliling kota dengan sebuah kepala hewan digantung di lehernya.

Peristiwa tersebut terjadi di abad ke-14. Berikutnya pada tanggal 12 February, 1916, di lokasi yang sama dan dengan prinsip intoleransi yang juga sama, kekejaman serupa dilakukan (Laporan Viscount Bryce mengenai Kekejian Armenia, hal 158): “Dr. Shimmun berada di desa Spurghan ketika Turki menyerang tempat itu. Ia berada diantara orang-orang yang mengungsi ke gunung dekat danau tersebut. Ia ditangkap dan diberitahu bahwa, karena ia seorang dokter yang baik dan telah menolong orang-orang yang terluka mereka tidak akan membunuhnya, namun ia harus memeluk Islam. Ia menolak, sebagaimana semua pemeluk Kristen. Mereka menyiram minyak ke tubuhnya, dan sebelum menyulut api, mereka memberi kesempatan lagi untuk meninggalkan agamanya. Sekali lagi ia menolak, dan mereka menyulut api ke bajunya. Ketika ia hendak lari kesakitan karena kobaran api, orang-orang Turki tersebut menembaknya beberapa kali. Setelah ia jatuh tak sadar, mereka memenggal kepalanya. Mr. Mien, seorang misionaris Amerika, yang berkeliling dari desa ke desa untuk menguburkan para korban pembantaian ini di Urumia, menemukan tubuh Dr. Shimmun tinggal setengah dimangsa anjing-anjing liar.

Bagaimana dengan hukum ridda saat ini? Surat berikut ini baru tiba dari seorang koresponden di Konstantinopel:

“Peristiwa yang cukup menyedihkan terjadi disini. Sewaktu Dr. Zwemmer sedang berada di Smyrna (1920) ia berhasil membawa seorang muslim berdiri mengakui Kristus. Tentu saja orang Turki langsung mengetahuinya, dan di hari-hari berikutnya, sebuah artikel muncul di suratkabar yang ditandatangani pemuda yang sama, dimana ia menyatakan bahwa ia tidak melakukan pengakuan apapun, malah ia seorang penganut Islam yang lebih kuat dari sebelumnya. Salah seorang staf YMCA pergi mencarinya untuk mengetahui apa yang terjadi, dan …. Ia tidak dapat ditemukan! Sebuah investigasi menyeluruh dilakukan, dan diketahui bahwa pemuda tersebut telah dibunuh, dan artikel surat kabar tersebut dibuat setelah kematiannya. Kau dapat melihat, sungguh beresiko bagi seorang penganut Islam untuk meninggalkan agamanya, terutama secara publik.”

Spirit Islam tidak berubah semenjak jaman Omar. Selanjutnya, sebagaimana sekarang, murtadin yang memeluk Kristen dicabut perlindungan hukumnya, dan menghadapi resiko pembunuhan. Jika hukum ridda menimbulkan rasa jerih dan takut, maka ini menjadi tantangan bagi pria dan wanita pemberani untuk bersikap berani dan rela berkorban. Kita akan menyaksikan bagaimana kelangsungannya.
Mengapa engkau melepaskan turban putihmu? Mengapa engkau berhenti menjadi ‘imam?’ Shemseddin menjawab, ‘Karena aku seorang Kristen.’
“Selama lebih dari satu setengah jam ia diinterogasi, dan sementara kasus berlanjut kerumunan bertambah. Jawabannya jelas, gamblang, lembut, tegas. ‘Kalian dapat membunuhku,’ katanya, ‘kalian dapat membunuhku dengan cara apapun yang kalian kehendaki; kalian bisa menjadikanku budak, namun hatiku bebas. Aku melihat dalam Islam banyak tanaman/ajaran yang tidak disemai/berasal dari Tuhan, dan oleh kasih karunia Tuhan aku ingin melakukan semampuku untuk mencabut/menyingkirkannya. Aku melihat sebuah bangunan besar, sangat tinggi, sangat megah, dibangun dengan kekuatan, namun tiada hati atau roh di dalamnya. Suatu hari bangunan itu akan runtuh dan menghancurkan mereka yang berdiam di dalamnya.’”

S. RALPH Harlow, dalam Student Witnesses for Christ.
anne
Posts: 502
Joined: Wed Sep 21, 2011 9:52 pm

Re: Zwemer: Mengapa Murtadin Jarang Ada

Post by anne »

BAB I.
MENGAPA MURTADIN JARANG ADA?


Saat membahas tugas penginjilan di dunia Islam, pada saat yang sama kita harus mempertimbangkan besarnya pengorbanan yang diberikan dan hasil yang terlihat kecil. Melihat ke belakang, ke para perintis seperti Raymond Lull dan Francis dari Asisi, atau di abad lalu, di masa Henry Martin, yang memperlihatkan semua airmata dan darah yang tercurah menyimpan kesabaran atas doa yang belum terjawab. Sebagaimana Simon Petrus, para pekerja yang bekerja sendirian di Tangier atau di Atlanta, di Adana atau di Aden, di Khartoum atau di Kairwan, mungkin mereka akan berkata, “Guru, kami telah bekerja keras sepanjang malam dan tidak mendapat apapun, namun demikian, dengan firmanMu jua kami akan menebarkan jala. Sebuah pengakuan kesetiaan: ‘Kami telah bekerja keras.’ Sebuah pengakuan kegagalan: ‘tidak mendapat apapun.’ Sebuah pengakuan ketegaran iman: ‘Namun kami akan menebarkan jala.’

Tiga frase singkat dari bibir Rasul-Nelayan, mengekspresikan Kondisi nyata di dunia Islam. Di perahu Petrus, tak diragukan lagi, memang ada sedikit sun-fish (ikan mola-mola) dan beberapa belut yang terjerat jaring, namun dalam kosa kata para nelayan sehari-hari, Petrus mengatakan kebenaran saat ia berkata, “Guru, kami telah bekerja keras sepanjang malam dan tidak mendapat apapun.”

Benar, ada sejumlah murtadin dari Islam; di Jawa dan Sumatra tak kurang dari 45.000 jiwa, telah dimenangkan melalui kesetiaan berkhotbah dan melalui kesaksian bagi Kristus; namun para misionaris Belanda dan Jerman tidak menganggap pekerjaan mereka sangat sukses di kalangan umat Islam, karena dari suku-suku kanibal dan animis, jiwa yang mereka menangkan bagi Kristus kurang dari seabad kurang dari 900.000 jiwa. Di India juga ada ribuan murtadin; di setiap ladang misi-- terimakasih Tuhan--ada bukti bahwa Injil adalah kekuatan Tuhan bagi keselamatan, juga bagi umat Islam, namun saat kita memaparkan fakta jarangnya murtadin, ini adalah fakta yang sangat luarbiasa jumlahnya di setiap ladang misi.

Mr. Findlay Andrew menulis dari bagian Barat Cina: “Islam telah dianggap sebagai tantangan bagi misi Kristen; sekali muslim, akan tetap muslim di Cina Barat. Sepanjang tahun-tahun terakhir, hanya beberapa muslim yang terjangkau Kabar Baik, dan setelah pengakuan iman dan diterima sebegai anggota gereja, jumlahnya bertambah sedikit. Dari sejumlah yang telah menjalani pengakuan iman, hanya tinggal satu orang saja yang tetap mengikuti persekutuan gereja pada saat aku menulis ini.”

Di Persia, ada gerakan awal kepada Kristus di kalangan umat Islam, namun, setelah 50 tahun lebih usaha misionaris, hanya ada kurang dari 300 murtadin Islam.

Di Saudi Arabia, dimana pria dan wanita telah bekerja keras selama 34 tahun, jumlah murtadin Islam yang mengaku secara terbuka mereka percaya kepada Tuhan Yesus Kristus, dan mengaku mereka adalah pengikutNya, jumlahnya kurang dari jumlah tahun-tahun misi yang dijalani, airmata, kesabaran serta doa yang dituangkan bagi wilayah padang pasir ini.

Kembali ke Turki, Dr. McCallum bersaksi, “Semua pekerjaan kami secara praktis hancur; tidak satupun gereja murtadin ada di seluruh Turki setelah seratus tahun misi.”

Di Afrika Utara, termasuk Mesir, Tripoli, Tunisia, Algeria dan Maroko, jumlah total umat Islam yang mengaku dan menyatakan diri Kristen masih kurang dari 500 orang. 1 "Walau ada 438 missionaris di Mesir, dan walaupun beberapa diantaranya bekerja secara khusus bagi umat Islam, dan walaupun ada sekitar 19.000 Kristen Evangelis di Mesir dengan organisasi gereja yang baik dan pelayanan terdidik, dan walaupun ada berbagai sekolah misi dimana 2500 siswa muslim menerima ajaran Alkitab, hasil nyata karya misionaris bagi umat Islam tidak begitu besar. Dewasa ini, mungkin kita tidak bisa menunjukkan lebih dari 150 murtadin yang hidup di Mesir. Bila jumlah murtadin dibandingkan jumlah pekerja misionaris, ada 1 murtadin untuk setiap 3 pekerja. Jika dibuat perbandingan dengan Penginjilan Gereja, ada 1 mutadin bagi setiap kongregasi di Mesir. Setiap metode misionaris sedang dan sudah dicoba, namun hingga saat ini, baik misi maupun Penginjilan Gereja tidak ada yang berhasil menghadapi masalah besar dan pelik ini"- Missionary Survey 1924.

Banyak penyebab dikemukakan bagi kurangnya murtadin ini. Beberapa menyalahkan gereja karena kurangnya iman; lainnya menyalahkan para misionaris karena kurangnya rasa kasih. Lainnya lagi berkata karena kita mencoba memenangkan jiwa dengan cara kontroversi bukannya kebaikan, dan kesulitan kita adalah salah satu metode. Lagipula, kita diberitahu bahwa waktunya belum tiba, jam belum berdentang, tuaian belum matang.

Dalam beberapa kasus, pengharapan yang tertunda telah membawa kekecewaan. “Aku berani beropini,” tulis salah seorang diantaranya, “bahwa Islam mungkin terkutuk. Karena kemurtadan merupakan kasih karunia Tuhan dalam Kristus, Ia telah menarik mereka dari lingkup aktivitasnya. Mungkin secara terpadu Islam telah berdosa terhadap Roh Kudus. Aku telah bekerja disini selama dua tahun, tinggal di tempat umat Islam berada, berpikir dan berbicara seperti seorang Muslim, mengenal kehidupan batin mereka sebagaimana beberapa orang lain mungkin lakukan. Aku bertanya-tanya, Mengapa? Untuk menjawab secara jujur, aku berharap dengan datang kemari dalam kesederhanaan dan kemiskinan, hidup diantara mereka, sedekat mungkin sebagaimana yang kupercaya dilakukan Paulus, tanpa organisasi atau dana, aku meminta dan berharap Tuhan yang bekerja, namun, bicara secara komparatif, kita tidak mendapatkan apapun.”

Sekarang, semua penyebab kurangnya hasil langsung di kalangan umat Islam yang di kemukakan di atas, memiliki sisi kebenaran, namun tak ada yang cukup memadai. Merupakan keyakinan kami bahwa diantara berbagai penyebab sedikitnya murtadin ke Kristen di negara Islam, mungkin tidak ada yang sepenting—namun begitu sedikit dipahami secara akurat—hukum ridda, hukum Islam terkait kemurtadan. Setiap pemeluk baru yang beralih ke Kristen adalah murtadin Islam, dan walaupun ada banyak murtadin selama berabad-abad, beberapa yang bahkan terjadi di masa hidup Muhammad, hukum ridda telah ditetapkan dalam Islam, dan selama tiga belas tahun—andaipun tidak melalui tangan penguasa-- telah menebar kengerian dalam berbagai kondisi di setiap negara. Para murtadin meninggal karena imannya, dan kemurtadan dianggap keluarga lebih buruk dari kematian.

Bagaimana perasaan keluarga di Mesir, sebagai contoh, dapat dinilai dari secarik kertas pemberitahuan berpinggiran hitam dalam sebuah amplop suram u/ pemakaman, yang ditulis seorang ayah pada para sahabatnya mengenai kemurtadan putranya. Bertanggal 30 Oktober 1909, dan dalam segala hal mirip pemberitahuan sopan dan formal layaknya pemakaman.
KELUHAN SEDIHKU
Mengingat umat Kristen yang berasal dari Gereja Protestan telah secara resmi mencatat tindakan memalukan yang tidak dapat dihapus dan tidak akan pernah terhapuskan, dengan menghilangkanku dari pandangan putraku, buah hatiku, bahkan dari sekilas pandangan fotonya, dan ia berusia 22 tahun dan berada di penghujung 70 hari yang mengakhiri pernikahannya yang tidak bahagia, oleh sebab itu biarlah setiap orang yang memiliki agama apapun, dan setiap orang, apapun mungkin keyakinan agamanya, menjauhkan diri dari membantu serigala-serigala buas ini—terutama yang berbagi kesenangan dengan mereka di Minggu menjelang, besok, di Gereja Al-Miniya (panggilan untuk Gereja Evangelis), karena mereka secara sadar membangkitkan lagi jaman penganiayaan di masa Nero.’

(Ttd)
M. ABDULLAH
Selama masa perang, ada kecurigaan serius seorang muslim terkemuka di Kairo sengaja mengatur suatu kecelakaan trem terhadap putranya sendiri, daripada membiarkannya menjalani baptisan publik (Bab 5). Ada kasus-kasus di Mesir dimana kerabat sendiri mengirim anggota keluarga mereka yang memiliki kecenderungan ke ajaran Kristen ke RS Jiwa dengan alasan kegilaan, mereka bekerjasama secara diam-diam dengan pemerintah lokal. Hukuman bagi pengakuan publik di negara-negara seperti Saudi Arabia dan Afghanistan tentu sudah dikenal baik.

Islam dari masa awal dan sesuai ajaran Quran, senantiasa membuat teramat mudah untuk masuk ke dalam persaudaraan umat Islam, dan teramat sulit bagi mereka yang pernah sekali masuk dalam kungkungannya untuk menemukan jalan keluar. Tidaklah berlebihan mengatakan bahwa pintu-pintu kuil teramat luas yang dibangun sang Nabi Arab hanya membuka ke dalam, tidak keluar. Seperti suatu perangkap, segala sesuatu dengan mudah jatuh, menyerah pada sedikit tekanan dari sisi luar, namun pintu-pintu penyerahan ini di dalamnya berjeruji sangat aman dan berkait duri untuk mencabik-cabik siapapun yang mencoba keluar. Dr. D.S. Margoliouth meminta perhatian mengenai hal ini dalam kuliah pertamanya mengenai ‘Awal Pertumbuhan agama Islam’ 2 The Early Development of Mohammedanism, London, 1914, p.1.

“Ini merupakan fakta penting mengenai sistem Islam, karena Perpindahan tersebut tidak menuntut kualifikasi untuk masuk dalam persaudaraannya. Bagi mereka yang berada di luar Islam, secara teori tidak ada fasilitas apapun untuk mempelajari sifatnya; seseorang harus melibatkan dirinya sebagai anggota terlebih dahulu, baru kemudian ia bisa mempelajari apa kewajibannya. Quran mugkin tidak dijual untuk kafir; para prajurit disarankan untuk tidak membawanya di wilayah pertempuran karena takut kafir akan mendapatannya; dan banyak salinan Quran yang mencantumkan peringatan “Jangan disentuh” bagi kafir. Para ahli tata bahasa ulama Islam menolak mengajarkan tata bahasa pada Yahudi dan Kristen, karena ada aturan mengenai kaum ini yang digambarkan melalui kutipan dari Quran. Kafir, dalam salah satu aturan dilarang masuk mesjid; dan walaupun izin diberikan untuk hal tersebut, ia dianggap tamu tak diundang. Puncak ibadah Islam, naik haji, tidak boleh disaksikan Kafir; hukuman untuk ikut campur adalah mati.

“Periode pengajaran dan masa percobaan pada anggota baru, sebagaimana yang terdapat pada sistem lain, tidak dikenal dalam Islam, dan sesungguhnya tidak ada kesempatan untuk itu. Tujuan utama mereka adalah untuk menguji kesungguhan/ketaatan anggota baru terlebih dahulu, sedangkan kelayakan moralnya berada di posisi kedua. Terhadap ketidakketaatan dalam sistem tersebut cukup dipersenjatai dengan prinsip: siapapun yang meninggalkan Islam mengorbankan hidupnya; sebab itu hanya ada sedikit bahaya bagi muslim yang masuk suatu komunitas dengan tujuan tidak jujur dan meninggalkan komunitas saat tujuannya terpenuhi. Seorang muslim yang hidupnya terancam tentu saja bisa berpura-pura murtad, dan tidak sulit baginya untuk mengaku salah dan bertobat; namun, manakala Islam menerima pengakuan semacam itu dengan aman, bagi murtadin sesungguhnya jangan berharap dapat selamat. Dan hal ini mengikuti prinsip kemartiran dalam Islam yang sama sekali berbeda dengan kemartiran dalam Kristen. Martir Kristen adalah orang yang meninggal karena mengakui/mempertahankan imannya, namun tidak melawan; sementara martir Islam adalah orang yang meninggal membela imannya dalam peperangan; terlebih sering dalam usaha memaksakan imannya terhadap orang lain daripada membela diri untuk menjalankan ibadahnya. Karena buku sucinya dengan jelas memperbolehkan ia menyangkal imannya manakala pengakuan tersebut mengakibatkan kematian atau siksaan.”
anne
Posts: 502
Joined: Wed Sep 21, 2011 9:52 pm

Re: Zwemer: Mengapa Murtadin Jarang Ada

Post by anne »

Dalam bukunya ‘History of the American Mission in Egypt’ (1854-1896), Dr. Andrew Watson menyatakan bahwa selama periode ini, sebanyak 75 umat Islam dibaptis, sebagian besar dari kalangan miskin; namun mereka semua adalah korban penganiayaan, karena gagasan kebebasan individu—kebebasan berpendapat—tidak memiliki tempat dalam hukum Islam, baik hukum agama maupun sipil. “Hingga saat ini, kerabat akan meracuni atau mengusahakan cara kematian lain secara rahasia bagi mereka yang kecenderungan Kristennya tidak dapat dihilangkan dengan argument atau bujukan.” Ia menyebutkan diantaranya, seorang lulusan sekolah tinggi Pemerintah yang tertarik mempelajari Alkitab dan bersaksi bagi Kristus. “Berbagai usaha dilakukan untuk menarik ia kembali, namun para kerabat terpelajar dari agama lamanya tidak dapat melawan penalarannya yang jernih dan argumennya yang kuat. Cara kekerasan kemudian diterapkan, dan ia ditangkap gerombolan dan diseret ke pengadilan Kadi. Ia tidak hanya dianiaya, namun juga bertentangan dengan hukum, dipenjara. Barang-barangnya disita, istrinya menceraikannya, dan ia sendiri kemudian dikirim ke RSJ Pemerintah dengan alasan sakit jiwa. Penahanannya dengan segera menarik perhatian perwakilan YM Ratu di Mesir, namun Sharif Pasha, sang Perdana Mentri, membujuk Konsul-Jendral bahwa keberadaan anak muda tersebut sebagai murtadin Islam kemungkinan akan menyebabkan keberangan dan gangguan dari gerakan massa agama. Ia menyetujui menyingkirkan sementara si anak muda dari negara tersebut, atau jelasnya diusir dari tanah kelahirannya; semua ini hanya dikarenakan ia telah menbaca Alkitabnya, menyakini kebenarannya, dan berani menyatakannya.

Dua orang lain dari Mesir atas, yang diketahui menghadiri pertemuan ibadah Kristen, ditangkap, dipukul dan dipenjara. Karena tetap teguh dalam iman Kristen, mereka dikirim ke Kairo dan tetap dipenjara, hingga akhirnya melalui perwakilan ke Pemerintah, Sir Evelyn Baring (sekarang Lord Cromer), mereka dibawa ke Misi Amerika di Kairo.”

Dari kasus-kasus lain, kita membaca bagaimana mereka dipukuli, dipenjara, diasingkan atau dengan berbagai cara terhalang iman Kristennya karena takut penganiayaan dan pengasingan keluarga. Korespondensi yang diterima tahun ini (1923) berasal dari pengalaman pastor asli Mesir, memperlihatkan bahwa semangat penganiayaan dan intoleransi ini hampir selazim yang terjadi di masa lalu. Setiap kebangkitan nasionalisme tampaknya berakhir pada kesombongan Islam dan terwujudnya intoleransi terhadap minoritas.

Surat berikut ini, yang ditulis oleh seorang Murtadin Islam di Kairo, memperlihatkan dengan lebih jelas dari argument manapun, mengenai kondisi yang terjadi di Mesir tahun 1878. Ditulis tanggal 21 Januari tahun yang sama. Sang penulis akhirnya berhasil melarikan diri dari Mesir, mendapat pendidikan medis di Skotlandia dan karir luarbiasa sebagai seorang misionaris medis di Cina.
“KEPADA YANG MULIA MAHARANI DULUP SINGH.
“Dikarenakan Yang Mulia adalah seorang murtadin dari Sekolah Misi Amerika di Kairo, serta memiliki banyak minat terhadap semua yang mengasihi Tuhan Yesus Kristus di kota ini dan di negeri ini, saya hendak mengambil kesempatan untuk menceritakan pada anda mengenai penganiayaan yang saya alami semenjak menjadi seorang umat Kristen lima bulan lalu. Saya orang Mesir, siswa di Sekolah Amerika selama lima tahun, dan menjadi guru di dua tahun terakhir saya. Ayah saya seorang umat Islam yang keras, namun tatkala saya mengajar dan membaca Alkitab, saya temukan bahwa agama Islam bukanlah agama yang benar. Selama berbulan-bulan saya mencari agama yang benar dari Tuhan, dan sangat mendalam membaca Alkitab serta buku-buku lain; dan dikala saya menemukan bahwa agama Kristen adalah iman sejati, saya menolak agama ayah saya.

“Khawatir bila ayah dan keluarga akan membunuh saya, saya berniat untuk menyingkir dari hadapan mereka; namun ketika saya berkonsultasi dengan Dr. Lansing dan Dr. Watson, dua misionaris di Kairo, mereka meyakinkan saya bahwa Kairo akan lebih aman untuk saya daripada tempat lain. Demikianlah, diatur saya harus pergi ke rumah Dr. Lansing untuk perlindungan. Saya mengirim surat-surat kepada ayah dan saudara-saudara saya mengenai alasan meninggalkan rumah dan memeluk agama Kristen. Saya sangat berharap menunjukkan kasihku pada Kristus serta mengaku namaNya, dan selanjutnya saya segera dibaptis di Kapel Misi dengan nama saya Ahmed –

“Saudara dan teman-teman saya, para sheiks dan kaum ulama sering datang menemui dan banyak berdebat dengan saya, namun dengan pertolongan Tuhan saya senantiasa menang, hal yang membuat mereka sangat marah. Karena takut pada mereka, saya tidak pernah keluar kecuali untuk mengajar di sekolah, yang hanya beberapa langkah dari rumah Dr. Lansing, dan berada di tempat terbuka. Mereka memiliki mata-mata yang mengawasi saya berhari-hari, dan setelah lima minggu, dalam perjalanan pulang suatu sore, saya dikelilingi 10 orang, tiga diantaranya saudara saya. Mereka menangkap saya, menutup mata serta mulut, dan mendorong saya ke sebuah kereta tertutup dengan sangat kasar.

“Ada café di dekat kejadian, dan saat beberapa pria melihat ini, mereka berdiri di depan kereta menghalangi kuda-kuda untuk menolong saya; namun paman saya, yang berdiri di dekatnya berteriak ‘Biarkan mereka; ini adalah urusan Pemerintah.’ Mereka membawa saya ke rumah ayah saya seraya meyakinkan jika saya tidak mengatakan padanya bahwa saya umat Islam bila ia bertanya, maka ia akan membunuh saya. Bagaimanapun, saya katakan saya seorang Kristen, dan ia membawa filsuf paling terpelajar di Kairo serta seorang ulama paling terkemuka, dan dihadapan yang lain mereka dan saya berbincang dengan sangat panas selama 8 jam, hingga saya sakit dan muntah.

“Setelah tiga hari perdebatan berlangsung, dan melihat saya tidak menyerah, mereka kemudian mengancam hukuman mati sesuai hukum agama mereka, dengan cara yang membuat saya yakin itu akan terlaksana. Sekarang pencobaan besar telah terjadi, dan saya mulai merasa agak lemah. Mereka menulis surat yang mengatakan bahwa saya kembali ke rumah dan juga ke agama Islam atas kesadaran pribadi, serta memaksa saya menandatanganinya. Berikutnya mereka membawa saya ke kantor polisi, memaksa saya menulis pernyataan serupa dengan tangan saya sendiri. Setelah itu mereka membawa saya ke Konsulat Inggris, dimana sekali lagi saya dipaksa mengatakan hal serupa, sementara saudara saya secara diam-diam membawa senjata untuk membunuh saya atau siapapun yang akan membela saya jika saya tidak melakukan yang diperintahkan. Walaupun setelah semua ini mereka mengetahui dalam hatiku, saya tetaplah seorang Kristen, diumumkan bahwa saya telah kembali ke Islam, dan mereka mengadakan pesta besar untuk menipu dan menghapus aib keluarga. Perdebatan masih berlangsung, dan setelah satu bulan, saat saya menghendaki kebebasan dan pergi mengajar di sekolah, mereka menolak. Saya memperlihatkan lebih kuat lagi bahwa saya tetaplah seorang Kristen, dan mempertahankan hak-hak saya. Namun, Tuhan menolong ketika saya berada dalam keadaan bahaya, lolos dari tangan mereka, saat saya sekali lagi mencari perlindungan ke rumah Dr. Lansing, kepada siapa saya berhutang budi atas kebaikannya memberi saya tempat dan perlakuan sebagai putra yang ia kasihi.

“Sekarang saya hendak memberitahuan Yang Mulia, bahwa sekali lagi saya seorang tahanan, tak bisa keluar, bahkan melangkah ke teras, karena mereka begitu menggebu mengawasi saya siang malam, berhasrat memuaskan dahaga dengan darah saya, darah seorang Kristen tak berdaya. Saudara-saudara saya, sesuai hukum agama mereka, sering meyakinkan saya bahwa jika mereka membunuh saya, mereka akan menjadi martir karenanya. Saya berterimakasih pada Tuhan yang melepaskan saya dari genggaman Pemerintah, yang saya sadari sepenuhnya sedang mengawasi saya dan mengizinkan keluarga saya melakukan apapun yang mereka inginkan dan sukai agar saya dapat disingkirkan. Oh, akankah Tuhan membawa kebebasan dan keadilan segera. Betapa menakutkan ketidakadilan dan penindasan seperti ini. Betapa tidak ada kebebasan di negeri malang ini. Tak dapat saya katakan betapa banyak penganiayaan karena mengikut agama sejati Tuhan yang telah saya alami, dan betapa banyak kesulitan yang kujalani. Karena saya tidak memiliki kebebasab dan harapan kebebasan atau keselamatan, mungkinkah saya memohon belas kasih Yang Mulia; dan demi Kristus serta Keadilan, untuk menolong serta melepaskan saya dari tangan orang-orang yang jahat dan barbar ini.

“Saya berharap Yang Mulia memaafkan saya karena telah banyak menganggu; namun anda akan menyaksikan bahwa saya berada dalam kesulitan besar dan memerlukan bantuan. Saya tahu anda sangat mengasihi Kristus, juga mereka yang menderita demi Dia. Karena anda adalah sahabat Yang Mulia Sri Ratu Inggris, bersediakah anda mengabulkan permohonan saya untuk memintanya menggunakan kekuasaannya yang tinggi untuk menolong saya, karena saya yakin tak ada lagi yang bisa. Saya berharap dia juga mengetahui bahwa saya bukan hanya memohon bagi diri saya sendiri, melainkanjuga banyak lainnya yang ingin masuk Kristen, namun takut akan pengaaniayaan dan kematian. Saya sangat rindu mempelajari Kitab Suci di sekolah teologi, sehingga saya boleh, dengan pertolongan Tuhan, berkhotbah bagi masyarakat yang tidak mengerti di negeri ini. Saya berharap Pemerintah tidak mendengar tentang surat hamba ini, agar jangan sampai saya robek menjadi potongan. Saya mohon Yang Mulia mendoakan agar saya kuat dan tabah, dan semua ini saya pinta dalam nama Tuhan Yesus yang demi namaNya saya banyak menderita.

“Hamba yang taat dan rendah, dsb.”

A.F.

“P.S. –Sejak menulis surat di atas pagi ini, saya mendapat kunjungan rahasia seorang sahabat sejati keluarga saya, orang yang saya percayai, yang memohon agar saya tidak meninggalkan rumah ini sambil meyakinkan bahwa hidup saya tidak akan selamat. Ayah saya telah menberi perintah pada saudar-saudara saya. Anda lihat saya dalam keadaan berbahaya. Semoga Tuhan menolong saya, menjadi perisai terhadap kekuasaan banyak musuhku.” A.F.


“Dikirim 21 Januari, 1878.”
anne
Posts: 502
Joined: Wed Sep 21, 2011 9:52 pm

Re: Zwemer: Mengapa Murtadin Jarang Ada

Post by anne »

Surat ini bukan hanya khas menggambarkan kondisi masa lalu namun juga sekarang; dari berbagai ladang misi Islam, kesaksian secara positif dan akumulatif menunjukkan penghalang utama kemurtadan dan sulitnya mengaku iman secara terbuka dengan aman bagi para murid tersembunyi adalah adanya kecenderungan menggunakan kekuasaan untuk mengintimidasi para murtadin. Seorang misionaris yang memiliki pengalaman panjang di Mesir, menulis: “Harus kukatakan bahwa sudah pasti hukum ridda Islam merupakan penyebab utama yang nyata bagi keraguan para murtadin untuk melangkah keluar dari lingkungan Islam mereka dan menjadi umat Kristen. Aku tidak mengatakannya sebagai penyebab kurangnya kemurtadan, melainkan penyebab kurangnya pengakuan terbuka secara resmi. Kukira kita memiliki alasan untuk menjadi cukup yakin bahwa jika hukum tersebut dengan suatu cara bisa dibatalkan maka akan sangat, sangat banyak yang memutuskan untuk murtad.”

“Kupikir hanya ada sedikit ruang keraguan,” tulis Pdt. W.T. Fairman, “bahwa hukum ridda adalah salah satu faktor, untuk menjelaskan kurangnya murtadin. Kematian, dipaksa berpisah dari istri dan keluarga, kehilangan harta benda serta kehilangan hak hukum, secara alami menyebabkan banyak orang yang meyakini kebenaran Kristen, merasa ragu mengakui imannya kepada Kristus.

C.F. Gates, Pimpinan Robert College, Konstantinopel, menyatakan, “Rasa takut akan kematian sudah pasti salah satu penyebab mengapa murtadin jarang ada. Setiap umat Islam paham hidupnya berada dalam bahaya jika ia menjadi Kristen. Aku mengenal banyak Muslim baik, yang secara diam-diam menegaskan diri sebagai umat Kristen, namun tidak membuat pernyataan terbuka karena bahaya yang menyertainya.”

Seorang misionaris lain menulis sebagai berikut: “Menurut pendapat orang Turki, hukum ridda merupakan penyebab utama kurangnya murtadin. Aku menyimpulkan ini berdasarkan kesaksian beberapa sahabat Turki-ku. Dan Muslim yang masuk Kristen disini selalu merasa mereka telah mempertaruhkan jiwanya dengan melakukannya. Secara teoritis, hukuman mati sudah dibatalkan, namun dalam kenyataan, hukuman ini masih dipraktekkan. Perbedaannya hanyalah, sewaktu belum diabrogasi, hukum ini dijalankan secara terbuka di depan publik, sekarang, setelah diabrogasi sudah lazim diketahui bahwa si murtadin bisa tiba-tiba menghilang.

Pdt. William Miller pernah mengajukan pertanyaan ini pada seorang murtadin, “Apakah hukum ridda merupakan penyebab jarangnya murtadin?” Ia menjawab, “Itulah penyebabnya!” Mr. Miller berkata, “Orang Persia mengetahui bahwa beberapa tahun lalu, sejumlah penganut Bab dan Bahai dibunuh di Yezd dan berbagai tempat lain karena telah meninggalkan Islam: dan ada ketakutan universal nasib yang sama menanti siapapun yang berani murtad. Bahaisme memerintahkan taqiyet (menyembunyikan/menyangkal iman) sebagai suatu keharusan, namun agama Kristen menuntut pengakuan publik; dan oleh karenanya di Persia jauh lebih mudah menjadi seorang penganut Bahai daripada menjadi seorang Kristen. Hukum tidak mencegah orang-orang tulus untuk menjadi Kristen, namun mencegah banyak para pencari kebenaran untuk terus melakukan kajian mendalam keKristenan.”

Kesaksian serupa datang dari negara dimana Inggris dan Prancis memerintah, dan dimana kita bisa mengharapkan perubahan sikap terhadap murtadin. “Selama pengalamanku di India,” tulis Pdt. HU Weitbrecht-Stanton, DD, “pelaksanaan langsung hukum ini dibatasi di Perbatasan Barat Laut dan Afghanistan. Akan tetapi, bahkan di distrik-distrik di bawah administrasi Inggris, spirit hukum mati Islam masih dijalankan. Kisah hidup Pennell melengkapi contoh tersebut. Abdu’l Karim dihukum mati di wilayah Inggris, dan ia bukan satu-satunya. Tidak diragukan lagi, tidak adanya murtadin di Afghanistan dan sangat jarang di Propinsi Perbatasan Barat Laut dibandingkan Punjab Tengah, disebabkan resiko kehilangan nyawa dan anggota tubuh di dua wilayah pertama, tetapi di Punjab Tengah murtadin dilindungi.”

“Jika kemurtadan, menurut Quran, hukumannya mati, maka muslim Aljazair saat ini tidak lagi memiliki hak untuk menerapkan hukum semacam itu,” kata Mr. Alfred R. Shorey. “Namun, berbagai upaya dilakukan untuk meracuni dan menganiaya para murtadin. Sebuah kasus yang kusaksikan secara langsung, yakni mengenai seorang pemuda Arab dari Tunisia yang kuyakin datang pada Kristus melalui Mrs. Flad dari Tunisia. Keluarga dari sahabat muda ini mencoba untuk meracuninya. Ia pergi ke Inggris dan mendapatkan pekerjaan disana selama beberapa bulan; kemudian melalui jasa baik Mrs. Parker, istri Dr. Parker yang ternama, dari City Temple, London, ia dikirim ke Kanada, dan akhirnya menjadi warga negara Kanada. Setelah 12 tahun menghilang, ia kembali ke Afrika Utara, dan pergi mengunjungi orangtuanya; namun kemudian ia khawatir ayahnya berniat meracuni atau membunuhnya. Kasus lain adalah seorang gadis Kabyle yang dibaptis Kristen dan sekarang menikah dengan pria Kabyle Kristen. Ia dua kali diracuni, baik karena kecemburuan atau kefanatikan Islam --kemungkinan besar keduanya-- karena ia mengakui imannya pada Kristus secara terbuka. Pada peristiwa peracunan yang kedua, kondisinya sangat parah, diambang kematian; namun, kami percaya sebagai jawaban atas doa, ia berhasil pulih. Dalam pandanganku, penyebab utama murtadin jarang ada, adalah ketakutan akan penganiayaan dan kurangnya keberanian moral.”

Mr. James L. Lockhead menulis sebagai berikut: “Aljazair, dibawah hukum Prancis, memiliki kebebasan beragama, aku tidak beranggapan kita bisa mengatakan bahwa hukum Islam terkait kemurtadan merupakan penyebab kurangnya murtadin. Namun, memang selalu ada gagasan yang mengakar di setiap orang yang dibesarkan dalam Islam bahwa meninggalkan Islam ke agama lain adalah dosa yang mengerikan dan tak terampunkan. Aku tidak mengetahui ada murtadin disini yang dihukum mati karena iman Kristennya. Ini karena umat Islam takut pada hukum Prancis; namun banyak muslim fanatik yang senang murtadin dihukum mati. Aku sedang berjalan-jalan di Tunis dengan Sidi El Beddai, pengawas toko perlengkapan Alkitab kami disana, dan dua siswa muslim dari mesjid melintas. Saat melintas, mereka meludah ke tanah ketika melihat Sidi El Beddai sambil berkata, ‘Anjing, anak anjing.’ Ini menunjukkan perasaan mereka. Seorang murtadin lain dari Tunis pergi ke Kanada. Setelah beberapa tahun, ia kembali untuk mengunjungi orangtuanya. Ia menolak bermalam di rumah mereka, dan karena khawatir dikhianati, ia sangat berhati-hati memilih makanan dan minuman. Aku tidak menganggap akan sangat aman bagi salah seorang murtadin kita untuk bepergian sendiri, atau keluar di malam hari di kota Arab. Ia bisa saja menghilang tiba-tiba dan akan sangat sulit melacak para pelakunya. Terlihat olehku bahwa kasus muslimah yang murtad, terutama dari kalangan menengah atas, bahkan lebih berbahaya. Bila seorang wanita memutuskan untuk masuk Kristen di hadapan umat fanatik, ia dapat dengan mudah disingkirkan.”

Kita diberitahu bahwa di Tunisia, hukum ridda bukalah penyebab langsung jumlah murtadin yang sedikit. “Aku tidak tahu apakah hukum tersebut telah dihapus atau dibatalkan secara resmi,” tulis Mr. Evan E. Short, “namun di bawah protektorat Prancis, tak terbayangkan hal tersebut terlaksana. Tetapi, kadangkala ada ketakutan tertentu mengenai apa yang mungkin dilakukan otoritas Islam, dan hal ini menghambat orang yang mencari kebenaran. Penghalang kuat datang dari rasa takut terhadap pemboikotan dan penganiayaan dari keluarga, lingkungan sosial dan bisnis; yang bahkan mungkin membawa kematian.”

Bahkan bila koresponden kita tidak menyatakan hukum ridda sebagai penyebab rasa takut untuk mengakui Kristus, mereka menunjukkan bahwa sikap permusuhan yang seringkali terang-terangan terhadap para murtadin adalah salah satu penyebabnya. Miss I. Lilias Trotter berkata, “Sehubungan permintaanmu mengenai efek hukum ridda di Aljazair, kami tidak berpikir bahwa ini sangat berkaitan dengan jarangnya murtadin dan rasa takut untuk murtad, karena permohonan banding selalu bisa diajukan dalam hukum Prancis. Kami mengetahui beberapa kasus ancaman pencabutan hak waris, dan para murtadin yang harus melepaskan bagian yang mungkin merupakan hak mereka; namun urusan tersebut terlepas dari keKristenan, begitu mudah terlibat dalam kekacauan, dan sulit meneruskan masalah harta benda ini, kecuali pihak-pihak yang terlibat berada di tempat, sehingga kami tidak pernah menanggapi hal ini dengan serius; dan pelanggaran puasa Ramadhan, sebagai suatu hukum, mengakibatkan tidak lebih dari ejekan di jalanan. Di Tunisia berbeda, dan kami mengetahui dua dari tiga kasus ketidakadilan yang disengaja keluarga murtadin, yang mana kelihatannya tidak ada usaha banding. Yang terbaru, tahun ini, adalah kasus murtadin di Misi Afrika Utara, yang pergi ke kota asalnya untuk mengklaim bagian dari warisan ayahnya, namun dengan kasar ditolak dua belas orang kerabatnya karena pengakuannya akan Kristus, dan dipenjara selama tiga hari kemudian diusir dengan tangan hampa. Dalam perjalanan kembali ke Misi di kota Tunisia lain, sekali lagi ia dipenjara selama tiga hari karena melanggar puasa Ramadhan. Disini, di Aljazair, kesulitan kami bukannya berupa perlawanan terbuka melainkan obat-obatan atau mungkin hipnotisme, yang digunakan untuk melemahkan ‘kemauan’ murtadin; dan bila daya hidup diri mereka lemah dan goyah, mereka seringkali berada dalam keadaan jiwa yang rapuh. Kami yakin bila kebenaran seluruhnya terungkap, ¾ kasus berbaliknya para murtadin dapat ditelusuri ke sumber ini.” Di Jawa dan di China, dimana Buddhisme dan Konfusianisme telah memodifikasi sebagian besar eksklusivitas dan intoleransi Islam, kami masih menemukan jejak spirit serupa terhadap murtadin yang berpaling dari Islam.

“Jika aku tidak tahu, aku akan dihukum mati karenanya,” kata seorang muslim di Jawa kepada salah seorang kerabatnya yang beralih ke Kristen, “kau tidak akan meninggalkan rumah ini hidup-hidup, kau anjing Kristen celaka.” 3 Progress and Arrest of Islam in Sumatra, oleh Simon, p.285.

Contoh lain yang diberikan Simon, yi, kemalangan yang bermakna “Salah satu warga Kristen murtadin terbaik kami menjalani masa-masa gelap selama bertahun-tahun. Kemalangan datang silih berganti, dan ia selalu mengalami pelecehan dari para kerabat muslimnya. Akhirnya istrinya juga meninggal setelah melahirkan seorang anak. Ia tidak dapat menemukan seorang istri Kristen. Keluarga muslimnya menyodorkan seorang perempuan Islam. Ia jatuh dalam godaan ini. Ia, tentu saja, menerima perempuan tersebut sebagai istri dengan syarat ia sendiri memeluk agama Islam. Lantas, ia menulis pada misionarisnya surat berikut: “Kesedihan yang Tuhan berikan padaku teramat berat, dan godaan teramat besar. Aku tidak kuat. Aku masuk Islam agar dapat menikah lagi. Aku telah menerima bagianku dari Tuhan, seperti Anak yang Hilang. Aku akan menjalaninya dengan hidup tanpa arah tujuan. Benih Tuhan telah tertabur di dalam diriku diantara semak belukar dan terhimpit olehnya. Aku sekarang seekor domba tersesat, yang hilang di padang gurun. Semoga umat Krsiten lain tidak mengikuti jejakku. Aku belum menjadi Islam karena aku benar-benar mempertimbangkan Islam sebagai sebuah agama yang baik. Aku tahu Tuhan Yesus hidup dan duduk di sebelah kanan Bapa di surga. Lima diantara orang-orangku telah meninggal sebagai umat Kristen. Dulu aku pernah tak ingin berpisah dari mereka. Doaku sekarang adalah agar guru (misionaris) dan istrinya akan menolongku membimbing istriku pada keKristenan, sehingga aku, seperti halnya Anak yang Hilang, dapat kembali dari negeri yang jauh kepada Bapa.” 4 Progress and Arrest of Islam in Sumatra, by Simon, p. 323.

Dalam buku terbarunya, ‘The Crescent in North-west China,’ Mr.G. Fidlay Andrew menyimpulkan kesulitan yang membingungkan ini dalam kata-kata yang mungkin dapat digunakan di negeri lain seperti halnya China, “Islam seringkali dianggap sebagai tantangan bagi Misi Kristen. ‘Sekali seorang Hwei-hwei (muslim) akan tetap Hwei-hwei’ ungkapan yang dapat dikatakan sebagai tantangan bagi Gereja Kristus dewasa ini. Sepanjang tahun-tahun terakhir, beberapa Hwei-hwei telah dijangkau oleh Kabar Baik, dan setelah pengakuan iman, mereka diterima sebagai anggota atau penyidik Gereja. Namun, jumlahnya sangat sedikit, dan saat penulisan ini yang tetap ‘memelihara imannya’ hanya tersisa satu di persekutuan Gereja. Di salah satu pangkalan misi di ujung barat propinsi tersebut, empat Hwei-hwei dibaptis beberapa tahun lalu, dalam pengakuan mereka akan Yesus Kritus sebagai Juruselamat pribadi. Penganiayaan yang mereka harus alami amat berat, dan dalam beberapa kasus mengancam keselamatan jiwa mereka. Inilah mungkin yang menyebabkan mereka menjauh setelah sempat berjalan baik selama satu musim.” 5 The Crescent in North-west China, by Andrew, p. 110.

Murtadin Islam pertama yang pernah kutemui adalah Kamil Abdel Messieh. Ia menemukan Kristus di Syria, dibaptis di Beirut, dan merupakan seorang penginjil perintis yang setia dan berani, dan ia meninggal karena diracun di Busrah, serta dikuburkan di pemakaman Islam. Kisah hidupnya diceritakan oleh Henry H. Jessup, D.D.. dalam ‘The Setting of the Crescent and the Rising of the Cross’ (Philadelphia, 1898). Selagi aku menuliskan baris-baris ini 32 tahun kemudian di Kairo, seorang siswa muslim baru saja meninggalkan kuliahku. Ayahnya telah mengusir dan mengancam untuk membunuhnya jika ia meneruskan membaca buku-buku Kristen. Ia bertanya padaku, “Selanjutnya, apa yang harus kulakukan dengan kata-kata Guru kita, “Barangsiapa menyangkali Aku di hadapan manusia?’” Dan kemudian si pemuda terusir ini terlihat penuh kesedihan mengharapkan jawaban sementara kami berdoa bersama. Ia mengenal baik hukum Islam mengenai kemurtadan.
“Perdana Mentri Turki di tahun 1843, dalam sebuah surat resmi kepada Lord Ashley, menyatakan: Hukum-hukum Quran tidak memaksa seorangpun untuk masuk Islam, namun hukum-hukum ini tidak dapat ditawar baik itu terhadap seorang Muslim yang memeluk agama lain, maupun seorang Muslim yang menolak imannya. Tidak ada pertimbangan yang dapat menggantikan hukuman mati dimana hukum mengutuknya tanpa ampun.”

W. ST. Clair Tisdall, dalam Missionary Review
anne
Posts: 502
Joined: Wed Sep 21, 2011 9:52 pm

Re: Zwemer: Mengapa Murtadin Jarang Ada

Post by anne »

BAB VI.
TERBITNYA ERA BARU


Perjuangan untuk kebebasan beragama, kemerdekaan hati nurani dan beribadah telah berlangsung lama di seluruh dunia. Kristen sendiri telah menderita selama masa perjuangan ini: Inkuisisi, Perang Salib dan penganiayaan di Abad Pertengahan, serta kondisi mereka yang menjadi minoritas Kristen di negaranya, dimana berkat-berkat besar belum diperoleh disebabkan berbagai jenis dan kondisi manusia. Francis Bacon, dalam salah satu esainya berkata bahwa ada “empat wilayah yang sulit mendamaikan kedaulatan dengan kebebasan; yakni, agama, hukum, lembaga dan kekayaan.” Kristen, tidak kurang dari Islam, kadangkala gagal memecahkan kesulitan tersebut. Kebebasan beragama telah ditebus dengan harga yang sangat mahal di negara-negara Protestan di Eropa dan Amerika, sehingga prinsip toleransi beragama adalah salah satu cita-cita kami yang paling berharga. Berbagai ras di bawah pemerintahan Inggris di Afrika mengingat pernyataan yang dibuat Ratu Victoria, ketika konstitusi diberikan di Natal tahun 1842. “Di mata hukum tidak boleh ada pembedaan orang, atau diskualifikasi warna kulit, asal, bahasa atau keyakinan; namun perlindungan hukum secara tertulis maupun substansi harus diperluas, berlaku sama untuk semua orang.” Sebelumnya, di tahun 1833, UU Pemerintah India menyatakan, “Tidak seorangpun, yang karena kelahiran, keyakinan atau ras-nya didiskualifikasikan dari suatu jabatan,” dan Direksi East India Company, saat menyampaikan hal ini ke Agen mereka di India, memberikan instruksi-instruksi terperinci, agar “maksud dan spirit UU ini sepenuhnya ditransfusikan ke seluruh sistem administrasi.” Dan mereka menyatakan bahwa mereka mengerti makna pembuatan UU tersebut, yakni agar tidak ada kasta yang memerintah di India; sehingga apapun ujian atau kualifikasi yang diterapkan, perbedaan ras atau agama seharusnya tidak jadi masalah; sehingga tidak ada warga kerajaan, apakah itu India atau Inggris atau berdarah campuran, dikecualikan dari jabatan apapun dalam perjanjian kontrak resmi maupun tak resmi.

Pernyataan Sri Ratu setelah Pemberontakan India, yang paling mengagumkan, meletakkan dasar sikap pemerintahan Barat yang benar terhadap mereka yang berada diluar iman Kristen, yakni: “Secara tegas menyandarkan diri kita pada kebenaran Kristen, serta mengakui dengan rasa syukur ketentraman dalam beragama, kita sama-sama menolak hak dan hasrat memaksakan keyakinan kita kepada siapapun.” Pernyataan tersebut berlanjut: “Kami menyatakan, adalah kehendak dan sukacita bagi kami bahwa tidak ada yang dalam berbagai hal diutamakan, tidak ada yang dilecehkan atau merasa tidak tentram, karena alasan keyakinan agama atau ibadah, melainkan semua bersama-sama menikmati perlindungan hukum yang setara dan tidak memihak; dan kami sungguh-sungguh menginstruksikan dan memerintahkan semua pihak yang berwenang di bawah kami agar menjauhkan diri dari tindakan campur tangan dalam keyakinan beragama atau beribadah setiap warga, yang sangat melukai kerukunan kita. Dan adalah keinginan kami berikutnya, bahwa sebisa mungkin, warga kita, apapun ras atau keyakinannya, dengan bebas dan adil, diakui untuk melaksanakan dalam jabatannya, tugas-tugas dimana mereka memiliki kualifikasi berdasarkan pendidikan, ketrampilan dan integritas sebagaimana mestinya.”

Berdasarkan prinsip-prinsip ini, bagian-bagian dari hukum Islam yang melanggar hak para murtadin, di India dianggap batal/diabrogasi. UU Penghapusan Sistem Kasta (Caste Disabilities Removal Act) tahun 1850, dijelaskan sbb: “UU untuk memperluas prinsip Bagian 9, Peraturan VII 1832 dari UU Benggali, meliputi semua warga Wilayah Pemerintahan East India Company.

“Sebagaimana ditetapkan Bagian 9, Peraturan VII 1832 dari UU Benggali, yakni, kapanpun dalam gugatan perdata, bila pihak-pihak berperkara berasal dari keyakinan yang berbeda, bilamana satu pihak berkeyakinan Hindu dan pihak lain berkeyakinan Islam: atau bilamana satu atau lebih pihak yang terlibat bukan berkeyakinan Hindu atau Islam: hukum dari kedua agama tersebut tidak diperkenankan terlaksana bila menghilangkan dari pihak-pihak yang bertikai hak-hak—yang di bawah UU Bengali tetap dimiliki—mereka; dan mengingat hal itu, maka akan bermanfaat untuk memperluas prinsip-prinsip penetapan tersebut di seluruh wilayah yang tunduk pada pemerintahan East India Company; ditetapkan bahwa:

“Begitu banyak hukum atau penerapannya yang saat ini diberlakukan di seluruh wilayah yang tunduk pada pemerintahan East India Company, yang mengakibatkan perampasan hak atau harta seseorang atau dalam berbagai cara menghalangi atau mempengaruhi hak warisan disebabkan penolakan iman mereka, atau disingkirkan dari komunitas, atau dibuang dari kasta, harus dihentikan penetapannya sebagai hukum di Pengadilan East India Company, dan di Pengadilan-pengadilan yang didirikan Piagam Kerajaan dalam wilayah yang disebutkan.”

“Telah ditetapkan, dengan mengacu pada Peraturan Bombay IV th 1827, bahwa istilah ‘kasta’ tidak terbatas pada Hindu. Ini mencakup semua komunitas penduduk asli yang diatur untuk maksud-maksud internal khusus berdasarkan uu dan aturan mereka sendiri. UU XII th 1887, Bagian 37, mencantumkan masalah-masalah terkait kasta yang diantaranya harus diputuskan sesuai hukum Islam.” 1 Principles of Mohammedan Law, by F. B. Tyabji (Bombay, 1913), pp.30, 3'. UU ini seharusnya tidak menyisakan pertanyaan terkait hak-hak hukum para murtadin di India. Namun, surat berikut, yang muncul di tangan Pemimpin Allahabad, 31 Mei 1924, menarik dalam kaitannya dengan hal ini, karena memperlihatkan bahwa di negara berpenduduk asli Bhopal, hukum ridda masih sangat berperan.

“Suatu berita menggegerkan, sayangnya bermula dari Delhi, tercipta sehubungan dengan hukum ridda yang diduga telah ditetapkan baru-baru ini di Bhopal, kemungkinan untuk membentengi negara terhadap gerakan Shuddhi. Seminggu yang lalu aku berada di Bhopal, dan mengadakan penyidikan cermat terhadap tuduhan-tuduhan yang muncul di pemberitaan pers. Ada kepastian akan apa yang disebut sebagai hukum ridda di Bhopal, namun para penganut ajaran lama setempat yang mungkin telah mengangkat kembali peraturan lama yang telah terlupakan, saat menyampaikan hasil penelitian mereka, sudah tentu tidak melengkapi informasi tersebut dengan fakta yang sudah tak meragukan lagi bahwa hukum tersebut sama tuanya dengan negara itu sendiri, sehingga tidak ada satu kasuspun dimana hukum tsb diterapkan dikemukakan. Disesalkan, bahwa perselisihan golongan harus diangkat jadi topik besar bahkan di native state (tidak lagi bagian dari India, namun masih dalam pengawasan British), seperti Bhopal. Sangat disayangkan, dari semua native state, Bhopal-lah yang justru disorot. Catatan Bhopal terkait toleransi beragama tidak bercela. Ada keistimewaan yang diberikan, bukan hanya pada mesjid, tetapi juga pada kuil-kuil dan gereja. Perlakuan pilih kasih tidak dikenal di negara Bhopal. Hubungan yang terjalin antar umat Hindu dan Islam di negara ini patut dijadikan contoh teladan bagi kita.”

Telah diperlihatkan bahwa sikap semua pemerintahan Barat terhadap Islam adalah salah satu masalah paling sulit dan sensitif dalam politik kolonial. Saat masalah ini dibicarakan di Edinburgh Missionary Conference (1910), resolusi berikutnya, yang ditandai rasa enggan besar, disahkan “Ini bukanlah upaya tunggal, dalam upaya memberi Islam penghormatan sikap di wilayah yang dihuni para pengikutnya, kadangkala para pegawai Inggris harus berusaha keras bersikap sopan. Namun komisi tersebut berpendapat bahwa di Mesir, Sudan dan Nigeria Utara, pembatasan secara bebas diberikan pada karya misi Kristen, karena penghormatan yang diberikan pada Islam sudah berlebihan, dan bantahan hormat harus diajukan pada Pemerintahan Inggris mengenai masalah ini.” 2 Lihat juga J. du Plessis, "Government and Islam in Africa,"dalam Moslem World, vol. xi, p. ff.

Kebijakan umum pemerintah Barat di Afrika telah dimodifikasi akhir-akhir ini, dan tampak bahwa dimana yang dulunya ajaran Islam dibantu dengan dalih toleransi dan netralitas yang munafik, akan ada perubahan. Pembelaan berlebihan terhadap Islam terbukti bukan kebijakan terbaik, walau untuk tujuan sekuler pemerintah. Mungkin kita tidak berharap bahkan di bawah pemerintahan baru, tidak kurang namun justru lebih, di setiap kepemilikan kolonial di Afrika, suatu kebijakan yang lebih mencerahkan dan ramah akan hadir, yang menjamin bukan hanya izin masuk bebas bagi missionaries, namun juga kebebasan nurani dan beribadah bagi mereka yang ingin menerima Kristen. 3 Lihat juga artikel mengenai "The British Empire and Islam" dalam The East and the West, April, 1924.
Last edited by anne on Wed Mar 28, 2012 10:44 pm, edited 1 time in total.
donbrondol
Posts: 105
Joined: Sat Jan 28, 2012 8:17 pm

Re: Zwemer: Mengapa Murtadin Jarang Ada

Post by donbrondol »

Thanks atas terjemahannya, sangat memberi pencerahan...
anne
Posts: 502
Joined: Wed Sep 21, 2011 9:52 pm

Re: Zwemer: Mengapa Murtadin Jarang Ada

Post by anne »

Seperti yang ditulis Dr. St. Clair Tisdall, “Gereja-gereja Kristen Kerajaan Inggris dan Amerika Serikat memiliki hak untuk menuntut jika Pemerintahan lokal Inggris tidak membantu menyebarkan Kabar Baik, setidaknya mereka tidak lagi menentangnya, atau merintangi upaya mulia dan penyangkalan diri para misionaris kita, yang mengabdikan hidup mereka untuk mentaati perintah terakhir Tuhan kita, dan melakukan pekerjaan, yang dimanapun juga telah cukup diuji, diakui, bahkan oleh non-Kristen, yang membuahkan hasil terbaik dalam hal mental, moral dan spiritual.” 4 St. Clair Tisdall, "Islam and National Responsibility," dalam Moslem World, Vol. v., p.29.

Pemerintah Belanda di wilayah kolonialnya yang luas, pernah bersikap netral yang menyakitkan (tidak mau mengatur hal ini) sekedar untuk menghormati Islam, namun hal tersebut telah berubah seiring pengalaman panjang, hingga sekarang menawarkan suatu bentuk ideal yang sangat baik . Di awal tahun 1854, ditetapkan hukum yang memberi kebebasan penuh beragama. Dalam terjemahan, pasal 119, 120, 123 dan 124, berbunyi sbb:
Pasal 119.—Setiap orang harus memiliki kebebasan penuh untuk menganut keyakinan agamanya, mendapat perlindungan semua anggota masyarakat terhadap pelanggaran peraturan hukum pidana umum.

Pasal 120.—Semua layanan keagamaan publik dalam gedung atau tempat-tempat tertutup harus diberi izin, sejauh tidak menimbulkan gangguan ketertiban umum. Untuk layanan keagamaan publik di luar gedung atau di tempat terbuka, diperlukan izin dari Pemerintah.

Pasal 123.—Guru, pengkhotbah dan misionaris Kristen harus dilengkapi izin khusus yang diberikan Gubernur-Jendral atau atas namanya, untuk melaksanakan tugas mereka di setiap wilayah tertentu Hindia Belanda. Bila izin tersebut ternyata mengandung bahaya, atau kondisinya tidak layak, dapat ditarik kembali oleh Gubernur Jendral.

Pasal 124.—Pengkhotbah dari penduduk asli yang bukan dari agama Kristen, harus diawasi oleh pangeran, penguasa dan kepala daerah sejauh terkait agama yang dianut mereka masing-masing. Ini untuk meyakinkan agar tidak ada yang dilakukan para pengkhotbah yang tidak konsisiten dengan peraturan ini dan dengan peraturan yang dikeluarkan Gubernur Jendral atau yang dikeluarkan atas namanya.
5 Treaties, Acts and Regulations Relating to Missionary Freedom, p. 80. International Missionary Council (London, 1923).
Di bawah peraturan tersebut, 16 Badan Misionaris melanjutkan pekerjaan yang sukses di kalangan Muslim, dan sebagaimana yang kita saksikan, para murtadin dilindungi.

Salah satu alasan besarnya jumlah murtadin di Hindia Belanda, tidak diragukan lagi adalah karena kebijakan Pemerintah Belanda yang lebih liberal tahun-tahun terakhir ini. Tidak kurang dari 39 juta jiwa di wilayah koloni Belanda yang menganut ajaran Islam (sekitar seperenam populasi total Muslim di dunia Islam), dan tidak ada pemerintah lain, bahkan tidak juga Inggris, yang memiliki pengalaman lebih banyak dalam permasalahan Muslim, sehingga dari waktu ke waktu selalu memperbaharui kebijakan mereka untuk menyesuaikan situasi urgen yang dihadapi, selain pemerintahan Belanda. Dr. C. Snouck Hurgronje, dalam bukunya Nederland en de Islam, membahas pertanyaan mengenai penyebab dan metode penyebaran Islam yang cepat di Malaysia, dan menyimpulkan bahwa, walau motif agama adalah yang tertinggi dan juga ada alasan ekonomi dan sosial sebagi faktor penyerta, seseorang tidak dapat menjelaskan penyebaran agama Islam bersandarkan pada dakwah Islam semata, seperti pendapat T.W. Arnold, tidak juga karena adanya gerakan kewajiban ekonomi, sebagaimana pendapat Dr. Becker dan cendekiawan Itali Caetani; faktor utama penyebaran Islam adalah pedang. “Penyebab utama penyebaran agama Islam, sesuai isi dan semangat hukum agama tersebut, terletak pada metode propaganda dengan paksaan. Hukum Islam menganggap semua non-Muslim sebagai musuh monarki besar Allah, mereka yang bertentangan dengan aturan Allah yang hanya diperuntukkan bagi umat Islam, harus dihancurkan.”

Berbicara mengenai konsep Muslim mengenai Dar-ul-Islam dan Dar-ul-Harb, Dr. Hurgronje mengunguli Sir William Hunter dan negarawan Inggris lain yang gagal memahami arti penting pernyataan tersebut. Ajaran Jihad, atau perang suci, tidak pernah berhenti, sebagaimana ditegaskan Professor Arnold mengenai kesalahpahaman beberapa teks Quran, namun justru ini adalah ajaran semua ahli hukum/ulama Islam di sepanjang abad-abad lalu. “Sekelompok kecil Muslims modern yang memaksakan pendapat bahwa Islam hanya disebarkan melalui dakwah dan dengan cara meyakinkan orang, tidak lebih mewakili ajaran murni agama mereka dimana mereka dilahirkan, dibanding kaum modernis terhadap Gereja Katolik Roma.” 3 Idem. Dr. Hurgronje mengakui bahwa kaum muda Turki, dan para pengikut Islam baru, berhasrat membuang ajaran Jihad ke museum barang antik, namun ia menjelaskan bahwa kebebasan, kesetaraan dan persaudaraan terhadap non-Muslim, mustahil dalam Islam.

Mengenai hubungan Pemerintah Kolonial Belanda dengan Islam, Dr. Hurgronje berpendapat sikap netralitas terkait dogma dan bagian yurisprudensi agama yang murni adalah satu-satunya kebijakan yang aman. Pemerintahan Belanda tidak mungkin mencegah naik haji ke Mekah walau dengan mengeluarkan peraturan, meskipun kegiatan tersebut mengandung kejahatan politis dan ekonomis, dan meskipun sejumlah 5 juta florin yang dihabiskan para peziarah setiap tahun dapat digunakan untuk tujuan yang lebih baik. Terkait hukum pernikahan dan warisan Islam, masalahnya lebih rumit. Aturan-aturan dalam hukum ini tidak layak, karena banyak diantaranya berasal dari abad pertengahan dan bertentangan secara langsung dengan peradaban dan budaya modern. Pemerintah, oleh sebab itu harus meniadakan hukum ini, atau memberi kesempatan hukum ini menjalani proses evolusi untuk mencapai standar yang lebih baik. Walaupun mendukung kebijakan netralitas dalam hal iman Islam dan yurisprudensinya, Dr. Hurgronje sangat tegas dalam menyatakan bahwa tidak boleh ada bentuk pan-Islamisme yang diizinkan di koloni-koloni Belanda. Walaupun mengizinkan kebebasan beribadah bagi semua Muslim, pemerintah harus menentang semua gagasan Kekalifahan universal dengan kekuasaan politik, atau intrik ke arah ke-Turki-an di Malaysia. Sebisa mungkin semua ajaran terkait Jihad dan Kekalifahan harus dilarang di sekolah-sekolah Islam.

Orang akan membayangkan bahwa dengan advokasi kebijakan netralitas ketat yang layak dan baik seperti itu, Pemerintah Belanda tidak akan pernah disalahkan atas favoritism; namun demikian, Mr. J. Verhoeven menunjukkan beberapa artikel dan peraturan Pemerintah Belanda yang secara langsung menentang penyebaran Kristen dan berpihak pada Islam Khususnya artikel 71, dimana masalah sosial dan keagamaan pribumi yang diserahkan ke tangan imam Islam desa, telah menghambat tugas misi. Ia menulis, di Jawa Tengah dan Jawa Barat khususnya, individu atau keluarga yang memperlihatkan ketertarikan pada ajaran Kristen, lagi-lagi kehilangan hak komunal mereka atas properti desa karena Artikel 71. Dalam kasus seorang ibu janda yang kehilangan hak hukum atas properti semata-mata karena 3 anaknya masuk Kristen, alasan resmi desa menyatakan bahwa “Tidak ada umat Kristen yang boleh memiliki bagian hak atas tanah desa yang dimiliki desa Islam.” 6 Lihat. Orgaan der Nederlandsche Zendings Vereeniging. Feb. 1911. Article yang ditulis J. Verhoeven : Ia menulis: " Het Vreedzaam voortwerken van de verheven beginselen van CHRISTUS wordt in de binnenlanden van Java her meest bemoeilijkt door Art 71 van ons Regeeringsreglement. waarbij bepaald wordt dat "alle huislioudelijke belangen "- en deze omvatten alle maatschappelijke en godsdienstige belangen van den Inlander - moeten geregeld worden door het dorpsbestuur, waarin de Mohammedaansche dorpspriester als zoodanig zitting heeft en Vooral door zijne dagelijksche inkoxnsten 66k "de eerste viool bespeelt." Het wel en wee van den vreesachtigen Inlander berust in de hand van dit bestuur, dat onmogelijk kan gecontroleerd worden door gebrek aan voldoend aantal betrouwbare Europeesche controleerende ambtenaren. Diep ingrijpend is daarom het Verschil in de levensomstandigheden van den bewoner van Particuliere met die van Gouvernementslanden."

Namun demikian, ada kebebasan penuh bagi para murtadin di Hindia Belanda, dan hukum ridda menjadi aturan usang. Andaikan ini terjadi di semua negara Islam!

Ada berbagai perjanjian, tindakan dan aturan yang setidaknya menjamin kebebasan misionaris di wilayah Mandat Inggris di Afrika, mis. Togoland, Tanganyika, Kamerun, Afrika Selatan dan Barat Daya, yang di dalamnya terdapat sejumlah besar populasi Muslim. Hal serupa terjadi pula di wilayah Perancis di wilayah Afrika sekitar khatulistiwa, juga di koloni Belgia dan Portugis. Di hampir setiap kasus, kemerdekaan misionaris dijamin, dan karenanya kehidupan dan kebebasan murtadin terlindungi. 7 Treatise, etc. pp. 24-27, 42, 64, etc.3

Sementara berbagai perjanjian dan konsensi hak-hak minoritas merupakan indikasi adanya harapan bagi semangat baru toleransi dan keinginan untuk mensahkan kebebasan beragama, masih ada dua wilayah besar di Afrika dimana Pemerintah Inggris sendiri belum memberikan hak-hak ini, baik kepada misionaris maupun murtadin. Seorang misionaris menulis dari Sudan tahun 1923: “Diluar Khartoum dan Omdurman, praktis tidak ada pekerjaan misi di kalangan Muslim. Seluruh propinsi Dongola, dengan populasi 151.849 tidak memiliki sekolah misi. Selama perjalananku baru-baru ini, ada seorang pedagang Muslim yang berkata padaku ia siap memberikan sebagian tanahnya kepada misionaris bila mereka akan membuka sekolah. Aku juga percaya, inilah waktunya. Berada diantara orang-orang ini, aku sangat paham perasaan mereka terhadap misionaris. Mereka siap mempercayakan anak-anak mereka, dan tidak memiliki keberatan apapun terhadap pengajaran agama Kristen. Yang menghalangi pintu masuk kita ke wilayah ini adalah Perjanjian Pemerintah Inggris-Mesir.” 8 Egypt General Mission News, December, 1923 Apa isi uu ini?

“Tidak ada pangkalan misi yang diizinkan berdiri di sepanjang 10 derajat lintang utara di setiap wilayah atau distrik Sudan yang sudah diketahui sebagai wilayah Muslim.” (Peraturan Bab 19, bag. 1). Kondisi ini masih berlaku hingga sekarang, namun Sir Harry Johnstone, yang menulis kebijakan misionaris Pemerintah th. 1919, berkata: “Dengan rasa hormat kepada para misionaris Kristen—dari semua aliran Kristen—mungkin kita tidak perlu menyalahkan diri dengan keselamatan di Nigeria dan Sudan. Di semua wilayah tropis Afrika kita yang luas, Kekristenan dalam bentuk yang wajar telah membuat kemajuan yang luarbiasa. Di saat yang sama, Islam juga tidak direndahkan atau dicemooh, dan unsur-unsur yang baik di dalamnya mungkin terlihat bentuk terbaiknya di wilayah Inggris di Afrika dan India. Bagaimanapun, kita harus menyingkirkan dengan tegas batasan-batasan yang tak dapat dipertahankan terhadap misionaris Kristen, yang saya percaya masih ada di wilayah Nigeria protektorat Inggris, dan Sudan protektorat Inggris-Mesir. Dikatakan kurang lebih 20 tahun lalu, bahwa masuk dan tersebarnya misionaris Kristen negara bagian Fula, Nigeria dan daerah-daerah di Sudan yang mayoritas didiami Arab mungkin memicu permusuhan Islam dan menyebabkan pembrontakan pribumi. Kekhawtiran semacam itu tidak berdasar. Di Afrika, rata-rata, sekarang hanya ada sedikit atau sama sekali tidak ada permusuhan terhadap pengikut Kristen, khususnya bila mereka orang berkulit putih dari Eropa atau Amerika. Misionaris-misionaris semacam itu biasanya diperlengkapi dengan obat-obatan dan instruktur terlatih dalam pendidikan umum. Muslim umumnya menerima mereka berdasarkan hal tersebut. Mereka boleh jadi memiliki pengaruh besar terhadap pandangan relijiusnya (sejauh itu menyangkut dogma); namun secara etika mereka mengKristenkan dia, dan mereka merupakan kekuatan potensial dalam pendidikan. Penentang sesungguhnya terhadap gerakan dan kehadiran bebas mereka di negara-negara semacam itu muncul hampir seluruhnya dari para gubernur militer yang bergaul erat dengan Kantor Urusan Luarnegri dan Kolonial. Para administrator awal Afrika Tengah bagian Utara ini tidak menyukai misionaris Kristen karena para misionaris ini, yang pada umumnya adalah orang yang cerdas dengan pendidikan baik dan modern, paham hukum dan pencinta kebebasan, mengkritik perlakuan kasar dan tak manusiawi terhadap penduduk pribumi. Semua hal yang tak masuk akal semacam ini harus disingkirkan.” 9 Berdasarkan kesaksian Misionaris baru-baru ini, Pemerintah sekarang masih terus memberlakukan pembatasan-pembatasan terhadap pekerjaan misionaris di kalangan Muslim di Nigeria Utara, dan menghalangi kemajuan misi.

Kala kita mempelajari peta Sudan protektorat Inggris-Mesir skala besar, dan memperhatikan garis imajiner yang disebut garis lintang parallel 10 derajat yang merupakan pengaturan pembatasan Kabar Baik dan “membatasi Yang Kudus dari Israel” dengan cara menutup pintu bahkan terhadap misi-misi medis ke suku-suku Muslim yang berjumlah ratusan ribu, hal yang tidak masuk akal semacam ini kelihatannya memang tidak dapat dibenarkan.

Mesir dewasa ini memiliki sedikit kebebasan beragama. Ini datang melalui perjuangan.

Paragraf berikut, beserta dua pucuk surat menyampaikan kisah mengenai firman (dekrit/surat keputusan penguasa di wilayah Islam) pertama untuk toleransi beragama di Mesir, yang dijamin Pemerintah Amerika Serikat melalui Presiden Abraham Lincoln tahun 1861. 10 Egypt's Princes, oleh G Lansing. Philadelphia, 1864, p.322 and pp.342-343.

“Faris, agen beberapa misionaris di Mesir Atas, menceritakan padaku,” kata Dr. Lansing, “mengenai kasus seorang wanita Koptik yang beberapa tahun sebelumnya telah dibujuk seorang Muslim, dan kini berharap kembali ke keyakinannya sebelumnya; dan ia (Faris) berkata bahwa orang-orang Koptik sangat cemas bahwa ia harus membelanya terhadap Pemerintah. Ia bertanya apa yang harus ia lakukan, dan kukatakan padanya, sebisa mungkin dengan cara bersahabat ia dapat melakukan sesuatu dengan Pemerintah agar wanita tersebut dapat dengan aman kembali ke keyakinan lamanya; namun ia harus sangat berhati-hati untuk tidak membahayakan dirinya sendiri atau melibatkan kami dengan otoritas. Akan tetapi, ia melampaui apa yang diinstruksikan, dan empat bulan setelahnya mengakibatkan masalah yang hampir merenggut jiwanya, namun sekaligus menjadikan kami terkenal secara politis di Mesir. Surat berikut ini menceritakan kejadiannya’
ABRAHAM LINCOLN, Presiden Amerika Serikat, kepada Yang Mulia MOHAMMED SAID PACHA, Wakil Pemerintahan Mesir dan Wilayah Bawahannya, dsbnya. ‘TEMAN YANG BAIK DAN HEBAT,’

Saya telah menerima dari Mr. Thayer, Konsul-Jendral Amerika Serikat di Alexandria, laporan lengkap serangkaian proses hukum yang bebas, mencerahkan dan enerjik, yang ia nyatakan, telah anda terapkan, dalam menghukum secara cepat dan layak pihak-pihak, warga yang Mulia di Mesir Atas, yang tersangkut dalam tindakan penganiayaan kejam terhadap Faris, agen misionaris-misionaris tertentu di Mesir Atas.

‘Saya berdoa yang Mulia meyakini bahwa proses ini, yang terlaksana secara cepat sekaligus adil, akan dihargai sebagai suatu bukti baru dan tak diragukan lagi, sepadan dengan persahabatan yang Mulia dengan Amerika Serikat, serta sepadan dengan ketegasan, integritas dan kebijaksanaan yang dimiliki Pemerintahan yang Mulia. ‘Berharap semoga anda senantiasa sukses dan sejahtera, dari saya, teman baik anda,

Washington, 9 Oktober 1861.
‘ABRAHAM LINCOLN.’
Atas nama Presiden: WILLIAM SEWARD,’ Sekretaris Negara.
‘Kepada YANG TERHORMAT ABRAHAM LINCOLN,

Presiden Amerika Serikat.

‘TUAN DAN TEMAN YANG TERHORMAT,’ Mr. Thayer, Konsul Jendral Amerika Serikat di Alexandria, telah menyampaikan pada saya surat yang anda berkenan tuliskan untuk saya, mengungkap perasaan dan rasa puas atas hukuman yang telah saya jatuhkan pada beberapa individu yang bersalah atas perlakuan jahat dan kejam terhadap agen misionaris-misionaris tertentu di Mesir Atas. Mr. Thayer, kepada siapa dengan rasa suka saya katakan, menyenangkan saya dengan hubungan paling bersahabat, telah mengungkapkan pada saya perasaan Pemerintahan anda.’

Dalam kasus ini, tuan dan teman yang terhormat, saya hanya menerapkan aturan yang saya selalu berusaha melaksanakannya, untuk melindungi secara sederajat, tanpa mempermasalahkan keyakinan, semua orang yang, baik karena kehendak hati atau kewajiban tugas, tinggal di negara yang berada di bawah pemerintahan saya.

‘Saya menghargai sepenuhnya rasa bersahabat yang mengungkap perasaan anda terhadap saya dan Pemerintahan saya, dan saya berdoa bagi anda, tuan dan sahabat terhormat, untuk menerima bersama dengan rasa terimakasih saya, harapan tulus saya bagi kesuksesan, kelangsungan, dan integritas Amerika Serikat, yang, saya berharap, di bawah Kepresidenan tangguh anda, akan segera dapat mengatasi pencobaan yang diberikan Tuhan.’ Sahabat anda yang paling setia,

‘MOHAMMED SAID.’ Alexandria, 21 November, 1861.’”
Last edited by anne on Sat Apr 07, 2012 11:43 pm, edited 1 time in total.
anne
Posts: 502
Joined: Wed Sep 21, 2011 9:52 pm

Re: Zwemer: Mengapa Murtadin Jarang Ada

Post by anne »

Seseorang harus membaca makna tersirat dari korespondensi yang menarik ini, serta menyadari kondisi semua masyarakat Koptik di Mesir saat itu, untuk memahami dampak putusan seperti ini terhadap kebebasan beragama. Ini adalah langkah awal.

Saat ini Mesir dalam masa transisi. Deklarasi kemerdekaan penuh, penarikan banyak anggota penasehat penting dari berbagai departemen pemerintah, pertarungan partai-partai ekstrimis dan moderat dalam pemilu baru-baru ini, ketidakpastian masa depan hubungan Inggris dan Mesir; semua ini menunjukkan bahwa belum waktunya menarik kesimpulan pasti terkait kebebasan bagi para murtadin atau kebebasan hati nurani. Ketika konstitusi baru mendeklarasikan (Pasal 149) “Islam akan menjadi agama Negara,” dan ketika bendera baru di bawah bayangan warna hijau tua Islam, saat itulah diizinkan untuk meragukan nilai sesungguhnya Pasal 3, 4, 12, 13, dan 14, namun untuk saat ini tetap berharap aturan tersebut sebagai pertanda kebebasan sebenarnya. Pasal tersebut berbunyi:
Pasal 3.—Semua warga Mesir setara di hadapan hukum. Mereka memiliki hak-hak politik dan sipil yang sama, dan memiliki tanggungjawab dan kewajiban publik yang sama tanpa membedakan ras, bahasa atau agama. Tiap pribadi dapat dipilih untuk memangku jabatan sipil, militer dan publik; orang asing hanya dapat dipilih dalam kasus tertentu yang diatur hukum.
Pasal 4.—Kebebasan individu harus dijamin.
Pasal 12.—Harus ada kebebasan mutlak hati nurani.
Pasal 13.—Negara harus, sesuai aturan dan kebiasaan di Mesir, melindungi kebebasan beribadah semua agama atau keyakinan, dengan syarat tidak melanggar aturan moral publik.
Pasal 14.—Kebebasan berpikir harus dijamin. Dalam batasan-batasan hukum, semua orang berhak mengekspresikan pandangan mereka secara bebas melalui kata-kata, tulisan, gambar dan lainnya.
11 Treaties, Acts and Regulations Relating to Missionary Freedom, p. 104. International Missionary Council, London, 1923.
Walaupun hukum ridda, sejauh itu diterapkan pada kehidupan murtadin di Mesir, tidak menyebabkan dieksekusi di depan umum atau dituntut di pengadilan, kehilangan hak lainnya masih berlaku. Seorang pengacara Islam di Kairo, sewaktu menjawab pertanyaan mengenai hal ini, mengungkapkan sebagai berikut: “Hukum saat ini (1923) di Mesir terkait kemurtadan, sepenuhnya bebas. Setiap orang boleh menganut keyakinan yang ia kehendaki. Tidak ada hukum lokal terkait masalah itu, dan hukum Islam lama mengenai kemurtadan, serta rincian lainnya, merupakan hukum usang. Artinya, sudah tak lagi dipakai. Banyak umat Islam yang masuk Kristen, dan mereka benar-benar menyampaikan kesaksian serta menikmati hak-hak penuh mereka. Sepanjang pengalamanku, tak seorangpun yang kuketahui menderita kerugian harta benda atau ditinggalkan istrinya karena peralihan agama. Buku-buku hukum terbaru tidak menyebutkan masalah tersebut.” Ini adalah pernyataan optimis, menggambarkan ungkapan ‘harapan adalah ayah bagi pemikiran’ (opini/keyakinan lahir dari harapan/keinginan). Seorang kolega pengacara ini, yang juga seorang pengacara praktek di Mesir, menulis sebagai berikut: “Sebagai sebuah prinsip umum, yang diikuti secara cermat oleh Pemerintah Mesir dalam menetapkan semua peraturan baru, hukum Islam (Hanifi Code/Kitab Hukum Hanafi) diterapkan terkait aturan suksesi dan status personal (pernikahan, perceraian, kemurtadan, dll.). Hukum pidana Islam sepenuhnya ditiadakan, dan demikian pula hukum perdata mengenai kewajiban dalam kontrak khusus dan umum, misalnya penjualan, sewa, dll. Mengenai kemurtadan secara khusus, tidak ada hukum terbaru. Hukum lama diterapkan dalam pengertian di atas, yakni, dalam hal warisan dan pernikahan; namun tidak ada vonis hukuman kriminal yang dapat dikenakan pada seorang murtadin, karena Mesir mengikuti KUH Pidana terakhir (sejak 1883), yang pada prinsipnya hampir secara tekstual meminjam dari UU Pidana Prancis. Kemurtadan tidak dihukum, dan prinsip umum dalam hukum pidana modern adalah ‘tidak ada hukuman kecuali tindak kejahatan yang tercantum dalam hukum, yakni hukum pidana.’ Seorang Muslim yang keluar dari Islam kehilangan hak warisnya, sebagaimana hukum Islam mengenai suksesi menyatakan secara eksplisit, ‘Perbedaan agama adalah penghalang bagi hak waris.’ Namun ia tidak kehilangan harta benda yang ia sendiri usahakan, serta istri Islam sang murtadin pada saat ia murtad. Hukum Islam mengenai pernikahan, wanita berhak minta cerai kecuali ia sendiri masuk Kristen. Hukum Islam mengizinkan seorang pria Islam menikahi istri Kristen, namun tidak mengizinkan istri Islam menikahi pria non-Islam.”

Bilamana sisa-sisa kecacatan hukum yang meniadakan hak tersebut dihapus dengan suatu uu khusus, Mesir akan memiliki kebebasan dan kesetaraan bagi para murtadin.

Sejarah toleransi beragama di Turki adalah suatu jejak yang sangat panjang dari janji-janji yang dilanggar. Pada awal 1453, ketika Muhammad II merebut Konstantinopel, ia mengeluarkan dekrit toleransi yang menetapkan hak istimewa, imunitas dan hak-hak khusus bagi rahib dan umat Kristen. Tahun 1856, Hatti Humayoun yang terkenal menyatakan bahwa, “Tidak seorangpun boleh merasa terganggu atau tidak tentram karena alasan agama yang ia anut. Ibadah semua agama dan keyakinan yang ada di Turki dilaksanakan dengan segala kebebasan, tak seorangpun dihalangi dalam menjalankan ibadah agamanya. Tiap komunitas bebas mendirikan sekolah-sekolah, hanya pemilihan guru serta metode pengajaran diawasi dan dikontrol Pemerintah.” Di Kongres Berlin tahun 1878, Komisaris Turki menyatakan bahwa, “di seluruh Kekaisaran (Ottoman) paling banyak terdapat berbagai agama yang berbeda-beda yang dianut oleh jutaan warga Sultan, dan tak seorangpun dianiaya karena keyakinannya atau dalam menjalankan ibadahnya. Pemerintahan kekaisaran bertekad mempertahankan prinsip ini dengan kekuasaan penuh, serta memperluas prinsip ini sesuai kebutuhan.

“Bertentangan dengan peraturan ini, dalam situasi normal di Turki, terkait pekerjaan misionaris dan kebebasan hati nurani, sangat berkontradiksi dengan peraturan yang dibuat. Seorang misionaris menulis di tahun 1904 bahwa, “Semua reformasi yang diperkenalkan tahun 1897 terbukti gagal mutlak, dan dalam pengertian paling surampun, makna kata status quo tak terpengaruh oleh mereka.” Perjalanan misionaris dibatasi, para penjual buku agama ditahan dan seringkali dipenjarakan, tidak ada bangunan ibadah Kristen boleh didirikan tanpa izin resmi, dan izin ini memerlukan waktu bertahun-tahun. Diberlakukan sensor ketat terhadap pers. Segala jenis halangan/kesukaran diberlakukan dalam proses pekerjaan pendidikan. Bahkan pekerjaan medis dibatasi dengan persyaratan dan pemeriksaan khusus terhadap mereka yang terlibat di dalamnya. Tidak ada kebebasan berbicara atau kebebasan Pers di Turki sepanjang masa pemerintahan Abdul Hamid. Para murtadin dibunuh atau melarikan diri ke negara lain. “Begitu banyak kisah penyensoran Press Turki yang diceritakan, sehingga bisa terkumpul dalam satu volume quarto. American Bible Society suatu ketika menerbitkan edisi revisi Alkitab bahasa Turki, saat seorang penyensor yang bersemangat menghendaki agar ayat-ayat seperti yang tercantum dalam Amsal 4:14-17; 6:16-19; 19:29; 20:21; 21:7; 22:28; 24:15-16; 26:26 dihilangkan, karena mengandung makna terlalu tajam untuk kondisi saat ini di Turki. Perlu banyak usaha untuk meyakinkannya bahwa hak menerbitkan Firman Tuhan secara utuh dijamin oleh pakta/perjanjian. Editor berita keagamaan mingguan ‘Avedaper’ menerbitkan serangkaian artikel mengenai eskatologi, namun dilarang menggunakan kata ‘Millenium’ karena tampaknya mengisyaratkan akan ada periode yang lebih diberkati dibandingkan masa pemerintahan Abdul Hamid II.” 12 Missionary Review of the World, Oct.1904 -"The Normal State of Affairs in Turkey."
anne
Posts: 502
Joined: Wed Sep 21, 2011 9:52 pm

Re: Zwemer: Mengapa Murtadin Jarang Ada

Post by anne »

Setelah revolusi ada banyak harapan akan terbitnya era baru “kebebasan, keadilan, kesetaraan dan persaudaraan.” Kata-kata ini terpampang di spanduk-spanduk dan dikenakan di ban lengan oleh kelompok-kelompok yang bergerombol di jalanan Konstantinopel. Tampaknya ada hubungan yang tiba-tiba tumbuh terjalin dengan sangat baik antara Muslim dan Kristen. The London Times, 21 Agustus 1908, menggambarkan perayaan-perayaan di Beirut sbb: “Lagi-lagi speaker Muslim memberi salam 'Es-salaam alaikum ya akhwaty' (Rahmat bagimu, Wahai saudara-saudara), salam yang tak pernah diucapkan selama bertahun-tahun bagi umat Kristen, kecuali dari kalangan Muslim paling liberal dan tercerahkan. Di satu tempat di jalanan ada sebuah inskripsi besar yang mengekspresikan semangat baru dalam sebuah ayat Quran yang dicantumkan bersisian dengan sebuah ayat Alkitab—‘Pembebasan berasal dari Allah dan kemenangan sudah dekat’; ‘Takut akan Tuhan adalah permulaan hikmat.’ Kemudian muncul ungkapan rasa yang mungkin tidak pernah ditulis sebelumnya di depan publik—‘Hidup persaudaraan Muslim-Kristen,’ dan di bawahnya ‘Hidup kebebasan.’ Hampir tak bisa dipercayai oleh penglihatan dan pendengaran kita. Kemudian, di banyak tempat dan berulangkali terjadi sepanjang hari, dikala khalayak melihat seorang pendeta Kristen dan seorang Muslim berturban dalam jarak berdekatan satu sama lain, mereka didorong untuk saling berpelukan dan berciuman pipi! …. Di hari Minggu itu, demonstrasi paling besar dan luarbiasa terjadi saat bazaar/pasar amal di gereja Armenia. Dihadiri oleh Komandan pasukan dan banyak perwira serta band militer. Uskup, para pendeta, imam dan lebih banyak lagi Muslim, menyampaikan pidato persaudaraan, dimana semua pihak menyesalkan peristiwa mengerikan oleh penguasa di Armenia, serta menyambut era baru, yang di dalamnya ada kebebasan, kesetaraan dan persaudaraan, dan untuk selamanya mengakhiri apa yang disebut sebagai persoalan Armenia.

Namun persoalan Armenia tidak terselesaikan. Setelah revolusi, terjadi tragedi Adana; dan setelah Adana, pembantaian besar-besaran dan deportasi lebih dari satu juta umat Kristen di Turki merupakan komentar suram dan mengerikan terhadap jaminan kebebasan dan kesetaraan. Orang terpaksa berkesimpulan sama dengan Freeman dalam buku sejarahnya mengenai Saracens. “Bagi mereka yang berharap melihat sebuah negara Islam menjadi negara yang toleran dan beradab tanpa melepas label negara Islam, sekali lagi saya akan menampilkan contoh tunggal Mogul yang termasyhur. Jika masyarakat Turki Eropa atau Turki Asia harus direformasi dari dalam tanpa paksaan dari musuh atau sahabat, prestasi Akbar (Jalal-ud-Din Muhammad Akbar) harus menjadi patokan. Biarlah seorang Muslim memiliki kesetaraan penuh sama dengan seorang Kristen, jangan sampai seorang Kristen dipaksa mengakui seorang tuan Muslim sebagai penguasanya. Selama Pemerintahan masih Islam, selama itu pulalah selalu ada intoleransi di negara tersebut; selama itu juga hanya akan dikendalikan dengan diberi pilihan antara ‘Quran (Islam), Upeti (Jizya) atau Pedang (Nyawa).’ 13 Freeman, History and Conquests of the Saracens, p.203.

Baik itu selama Perang Dunia maupun semenjak Gencatan Senjata, tidak ada sedikitpun kebebasan beragama atau kemerdekaan nurani di Turki. Deportasi, pembunuhan, pembantaian, perkosaan, penjarahan— kesemuanya tidak mencerminkan kesetaraan ataupun persaudaraan.

Kaum Nasionalis di bawah pemerintahan Mustafa Kemal Ataturk sekarang memiliki Majelis Konstitusi, dan negara berbentuk Republik Turki, namun agama negara masih Islam; dan dalam publikasi fatwa-fatwa agama, mereka telah mengindikasikan bahwa bagi mereka hukum Islam lebih superior dari konstitusi manapun. 14 Inilah yang terjadi sebelum penghapusan Kekalifahan dan pengusiran Kalif. Apakah pemerintahan Nasionalis saat ini akan memberikan kebebasan beribadah dan berbicara pada minoritas, masih dipertanyakan. Pada tanggal 20 April 1920, surat kabar ‘the Nationalist’ yang terbit di Brusa, menyisipkan kutipan dari Quran diantara pernyataan terkait tugas semua kaum Nasionalis, dan mendasarkan semua prinsip mereka dengan cara ini:”
1. Bukankah sudah menjadi tugas semua Muslim untuk mengangkat senjata membela Khalifa, ketika kekuasaannya diduduki musuh, ketika semua sarana pertahanan diambil alih dari Sultan sehingga ia tidak dapat membela kepentingan bangsa yang sebenarnya, dan ketika pengadilan militer dijalankan di ibukota di bawah hukum Inggris? Jawaban: Ya.”

2. Dapatkah mereka yang ambil bagian dalam pertempuran melawan musuh kemudian dicap sebagai musuh negara dan agama mereka? Jawaban: Tidak.”

3. Bukankah mereka yang meninggal dalam pertempuran semacam itu adalah ‘martir’ (Shuhida), dan mereka yang selamat adalah ‘pemenang’ (Ghazi)? Jawaban: Ya.”

4. Bukankah semua Muslim dalam keadaan demikian terikat oleh Hukum Suci untuk membantu mereka dalam perjuangan melawan musuh? Jawaban: Ya

5. Apakah fatwa-fatwa yang dikeluarkan Pemerintah yang berada di bawah pengaruh musuh punya kekuatan mengikat di dalam Hukum Suci? Jawaban: Tidak.”
Peraturan-peraturan terbaru mengenai orang asing di Turki serta larangan pengajaran Kristen pada murid Muslim di Sekolah-sekolah Misi tidak menunjukkan tingkat kebebasan yang lebih baik di bawah Pemerintahan Nasionalis Islam, melainkan justru kebangkitan kembali spirit lama. 13 Lihat juga artikel James L. Barton berjudul "The Present Status of Missionary and Educational Work in Turkey" dalam Homiletic Review. January, 1924.

Jika saja ada yang melirik hak-hak konstitusional serta janji-janji yang tertera di kertas perjanjian, mungkin ada harapan bagi minoritas Kristen. Tapi untuk apa orang Turki perduli pada ‘berkas-berkas lama’?

Yang terakhir dari semua dokumen resmi ini, dimana Turki meyakinkan dunia bahwa ia akan menghormati hak-hak minoritas dan memberi kebebasan beragama pada semua warga, adalah Pakta Perdamaian yang ditandatangani di Lausanne, 24 Juli 1923. Pasal-pasal berikut ini dimaksud untuk melindungi minoritas:
Pasal 37.—Turki menyanggupi agar ketentuan-ketentuan yang terdapat di Pasal 38 hingga 44, diakui sebagai hukum dasar, dan bahwa tidak ada hukum, peraturan atau tindakan resmi yang menentang atau menghalangi ketentuan-ketentuan tersebut, dan tidak ada hukum, peraturan atau tindakan resmi yang mempengaruhinya.

Pasal 38.—Pemerintah Turki memberi jaminan perlindungan penuh dan lengkap terhadap kehidupan dan kebebasan semua warga Turki tanpa membedakan kelahiran, kebangsaan, bahasa, ras ataupun agama. Semua warga Turki memiliki kebebasan untuk menjalankan ibadah bagi setiap kepercayaan, agama atau keyakinan, baik secara umum atau pribadi, ketaatan yang tidak bertentangan dengan ketertiban umum dan moral yang baik. Minoritas non-Islam akan menikmati kebebasan sepenuhnya untuk berpindah dan bermigrasi, tunduk pada peraturan yang diterapkan bagi semua warga negara Turki di seluruh atau sebagian wilayah, dan yang diterapkan Pemerintah Turki guna ketahanan bangsa atau untuk memelihara ketertiban masyarakat.

Pasal 39.—Warga Turki minoritas non-Muslim akan menikmati hak-hal sipil dan politik yang sama dengan Muslim. Semua warga Turki, tanpa membedakan agama, berkedudukan sama di hadapan hukum. Perbedaan agama, keyakinan ataupun pengakuan tidak mengurangi hak setiap warga Turki dalam hal pemenuhan hak-hak sipil dan politik, misalnya menjabat pekerjaan dan fungsi publik atau menerima gelar kehormatan, atau menjalankan praktek profesi dan usaha industry. Tidak ada pembatasan yang diterapkan bagi warga Turki untuk menggunakan bahasa apapun secara bebas dalam pembicaraan pribadi, perdagangan, agama, Pers, atau dalam jenis publikasi apapun dalam/atau pertemuan publik. Walaupun ada bahasa resmi, fasilitas memadai akan diberikan pada warga Turki yang tidak bisa berbicara bahasa Turki, untuk berbicara lisan dalam bahasa mereka di depan Pengadilan. 14 Treaties, etc., pp.97 and 98.2
Kami diberitahu sumber yang dapat dipercaya bahwa di Lausanne, Jendral Ismet Pasha, jurubicara sekaligus Menteri Luar Negeri Pemerintah Turki, menyatakan pada Dubes AS Richard Washburn Child, serta perwakilan American Board, bahwa mereka menginginkan para misionaris, pendidik dan tenaga kesehatan Amerika tetap tinggal di negara tersebut serta menjalankan pekerjaan mereka seperti biasa. Ia bertindak lebih jauh dengan mencantumkan dalam tulisan, “Di atas segalanya, saya berharap agar Amerika tidak khawatir akan masa depan lembaga-lembaga pendidikan dan kemanusiaan mereka di Turki. Kami menginginkan lembaga-lembaga ini tetap ada, dan tidak berniat mengadopsi hukum yang mempersulit kelangsungan pekerjaan kemanusiaan mengagumkan diantara masyarakat kami.” Ungkapan senada disampaikan Dr. Fouad Bey, perwakilan tidak resmi Turki, baru-baru ini di Amerika Serikat.

Penghapusan perjanjian di atas adalah pertanda maksud jahat. Di sisi lain, pemerintah baru di Turki sekarang telah melangkah lebih jauh dengan menghapus Kekalifahan sebagai institusi keagamaan. Dr. James L. Barton berkata: 15 The Problem of Turkey as the American Board Views it. pp.8, 9, 10. Boston, 1922.

“Tidak mungkin menekankan pentingnya pemisahan antara Gereja dan Negara, dimana pemegang kekuasaan agama Islam berada di tangan Kalif di Konstantinopel, sementara untuk masalah kenegaraan berpusat di Majelis Besar Nasional di Angora. Turki berulangkali menegaskan di Lausanne bahwa Gereja dan Negara sekarang terpisah, dan ada kebebasan mutlak dalam beragama di Turki. Mustahil mempercayai perubahan yang mendasar, bahkan revolusioner seperti itu dapat diterapkan sepenuhnya tanpa melalui proses yang lama. Namun, upaya itu sendiri memiliki arti penting yang bisa sangat bermanfaat atau sedikit bermanfaat.”

Pekerjaan di Turki telah tersapu bersih dan dipunahkan, namun kita sekarang bahkan dapat melihat bukti kehidupan baru dan kesempatan-kesempatan yang mungkin sebelumnya belum terealisasi. Kita tidak mencoba menjelaskan bukti pemeliharaan Tuhan di kondisi politik saat ini; karena itu jauh diluar jangkauan pemikiran manusia.”

Kita berpaling pada sejarah sebagai penyemangat kita, berpaling pada janji sebagai jaminan ketentraman kita, berpaling pada Tuhan sebagai perlengkapan rohani kita, serta berpaling pada perintah Tuhan Yesus Kristus sebagai petunjuk pekerjaan kita.”

‘Apa yang terlihat adalah sementara, tetapi yang tidak terlihat adalah kekal.’

Sejarah singkat pemerintahan konstitusional di Persia melengkapi illustrasi melimpah bagaimana sulitnya menyesuaikan hukum Islam lama dengan kondisi terkini; namun setiap langkah upaya merupakan suatu kemajuan bagi kebebasan. Di saat konstitusi baru ditulis dan siap diberlakukan, para pemimpin mengawali dokumen tersebut dengan sebuah pasal yang secara pasti menerima otoritas hukum agama Islam sebagaimana yang tercantum di Quran dan dari komentar/tafsir Imam Jaffar. Mungkin terlihat seperti gabungan Talmud Yahudi dengan Konstitusi Amerika, yang menjadikan Talmud terhormat dan luhur. Namun alasan penyertaan pasal tersebut mengawali Konstitusi sangat dimaklumi. Hal tersebut dimaksudkan meraih persetujuan para mullah dan partai konservatif; namun terbukti mustahil menerapkan hukum pidana tua tersebut serta hukum ridda yang sesungguhnya karena pendidikan telah membuka mata orang dan pemikiran Barat telah merasuk dalam masyarakat. Masa-masa lampau intoleransi, kata para misionaris, telah berlalu selamanya.”
anne
Posts: 502
Joined: Wed Sep 21, 2011 9:52 pm

Re: Zwemer: Mengapa Murtadin Jarang Ada

Post by anne »

Tahun 1822, anak-anak Persia di jalanan melempari Henry Martyn dengan batu sehingga ia mengkhawatirkan hidupnya. Ruangan yang penuh dengan mullah berjanggut putih, setelah mereka setuju untuk berdebat secara bersahabat dengannya mengenai masalah agama, kehilangan semua martabat ilahiah mereka saat tanpa etika berusaha mencabik-cabiknya. Hal serupa mungkin terjadi dimana saja di Persia dua puluh tahun lalu. Hukum Islam masih melarang hubungan erat dengan kafir, masih menuntut kematian bagi murtadin, masih melarang gambar-gambar serta berbagai bentuk seni. Namun, di tahun 1923, di kota Teheran, dua misionaris berbicara dengan bersungguh-sungguh selama dua jam dengan seorang mullah berjanggut putih, salah seorang ulama terkemuka di kota tersebut, dan mendapatkan ia secara tulus tertarik mengenal Kristus sebagai Juruselamat dunia. Pembicaraan berlangsung di kediaman seorang Persia golongan atas, yang dikenal sebagai seorang yang percaya pada Kristus dan telah dibaptis. Tergantung di dinding di belakang sang mullah tua yang sedang berbicara, sebuah gambar besar dimana Yesus sedang menyembuhkan seseorang yang memohon padaNya.”

Dr. Robert E. Speer menceritakan kisah Mirza Ibrahim, seorang Muslim dari Khoi, yang walaupun telah berusaha dihalangi dan dibujuk para mullah, ditinggal istri dan anak-anaknya, dan kehilangan harta benda sesuai aturan hukum murtad, dibaptis secara terbuka tahun 1890. Sewaktu sedang berkhotbah, ia ditangkap dan dibawa ke hadapan gubernur, dan ketika ia dipukuli dan dihina, ia hanya berkata dengan wajah tersenyum, “Demikian pula-lah Juruselamatku dipukuli.” “Setelah masa penahanan singkat, ia dipindahkan ke Tabriz. Sewaktu digiring pergi dari penjara, ia dengan sungguh meminta rekan-rekan sepenjara untuk bersaksi bahwa ia bebas dari tanggungan jiwa mereka bila mereka harus menolak jalan keselamatan, dan ‘Mereka semua bangkit dengan rantai berat di leher mereka dan menyuruhnya pergi dalam damai, sementara mereka berdoa agar Tuhan dan Juruselamat yang ia percayai akan melindunginya.’ Salah seorang petugas Muslim yang menyaksikannya berkata pada kerumunan umat Islam di halaman: ‘Ia seorang pria luar biasa. Ia seberani seekor singa. Seorang mullah baru saja berusaha meyakinkannya akan kesalahannya, namun ia menjawab semuanya, dan mullah tersebut pergi dengan wajah tertunduk. Ia berkata bahwa Muhammad bukanlah seorang nabi, dan hanya bila mereka dapat membuktikan itu dari Kitab Suci, tidak akan goyah imannya pada Kristus, walaupun mereka memenggal kepalanya.’ Permintaan terakhirnya saat berangkat ke ibukota provinsi adalah : ‘Berdoalah untukku agar aku dapat menjadi saksi Kristus bagi masyarakatku. Aku tidak takut walau aku tahu bahwa aku harus mati.’ Di Tabriz, ia dimasukkan ke dalam sebuah penjara gelap, dirantai seperti penjahat keji, dipukuli, dihajar hingga tak sadar dan dilucuti baju serta selimutnya. Suatu malam, ketika ia bersaksi tentang Kristus pada sesama tahanan, mereka menginjak dan menendangnya, serta bergantian mencekiknya. Tenggorokannya membengkak sehingga ia hampir tak bisa menelan atau berbicara, dan pada tanggal 14 Mei 1893, ia meninggal dunia karena luka-lukanya. Ketika Putra Mahkota diberitahu mengenai kematiannya, ia bertanya, ‘Bagaimana ia meninggal?’ Dan sipir penjara menjawab, ‘Ia meninggal seperti seorang Kristen.’” Sekarang era baru telah tiba.

Kota suci Mashhad (timurlaut Iran), yang dianggap sama sucinya dengan Mekah, dan masih menjadi “kemuliaan dunia Shi’ah,” disanalah sekarang sebuah pangkalan Misi berada, dengan sebuah rumah sakit besar dimana para murtadin melayani masyarakat serta mewujudkan kasih sayang Yesus Kristus. Pembaptisan publik dilaksanakan di kota tersebut dan banyak kota lain di Persia; dan di negeri ini kami mulai melihat tanda-tanda tuaian berikutnya. Perubahan yang terjadi di Tabriz bahkan lebih terlihat. Pernah suatu ketika seorang Muslim dipukuli karena menghadiri ibadah Minggu . Tahun 1892, pemerintah menutup gereja-gereja dan sekolah-sekolah dengan alasan ada tangki besar di bawah gereja untuk membaptis para murtadin. Waktu bangunan-bangunan tersebut tersebut kembali dibuka, pemerintah melarang wanita dan anak-anak Muslim memasuki sekolah atau gereja. Dewasa ini ada kebebasan sepenuhnya di kota tersebut. Surat kabar Muslim mengkritik ulama-ulama Islam, dan salah seorang editor terkemuka mengatakan pada Dr. Speer bahwa tidak ada harapan bagi Persia kecuali bila kekuatan Islam hancur. Konstitusi baru ini dinyatakan oleh seorang murtadin terkemuka sebagai “pukulan terbesar terhadap dinding goyah Islam. Dengan bebas kukatakan bahwa Islam dan semangat pemerintahan konstitusinal selamanya tidak akan kompatibel.” 16 Report on India and Persia. oleh Robert H. Speer dan Russell Carter. Board of Foreign Missions of the Presbyterian Church, U.S.A., 1922. Di Isfahan, 13 Muslim baru-baru ini dibaptis secara publik, dan tidak ada upaya penganiayaan. Persia mungkin terbukti negara Islam pertama dimana kebebasan nurani dan berbicara akan membentuk sebuah negara baru.

Mandat resmi Perancis untuk Syria dan Lebanon, tertanggal 24 Juli 1922, juga menjamin “kebebasan penuh nurani dan kebebasan menjalankan berbagai bentuk ibadah.” (Pasal 8.) 17 Bunyinya: Mandat akan menjamin setiap individu memiliki kebebasan penuh nurani dan kebebasan menjalankan berbagai bentuk ibadah yang selaras dengan ketertiban umum dan moral. Tidak akan ada perbedaan perlakuan antara warga Syria dan Lebanon disebabkan perbedaan ras, agama atau bahasa

Mandat akan mengatur pendidikan publik yang menyediakan waktu pembelajaran bahasa asli yang digunakan di wilayah Syria dan Libanon.

Tidak akan ada pelanggaran hak komunitas yang mempertahankan pengajaran dan pendidikan siswa di sekolah mereka dengan bahasa mereka sendiri , sepanjang tunduk/sesuai dengan aturan pendidikan publik yang ditetapkan pemerintah.

Pasal 10 berbunyi :. Pengawasan dilaksanakan oleh Mandatory terhadap misi keagamaan di Syria dan Libanon untuk menjaga ketertiban publik dan agar tidak mengganggu administrasi yang menjamin kebebasan kegiatan misi—keagamaan.

Para pekerja misi tunduk pada pembatasan sesuai kewarganegaraan mereka, dengan ketentuan bahwa hal tersebut tidak terlepas dari bidang keagamaan.

Les missions réligieuses pourront également s'occuper d'oeuvres d'instruction et d'assistance publique sons reserve du droit général de règlementation et de Contrôle du Mandataire ou des Gouvernements locaux on matiere d'education d'instruction et d'assistance publique."- Correspondance d'Orient - October, 1923. Paris.

Ketetapan-ketetapan biasa yang jelas/tak meragukan dibuat untuk penegakan hukum Islam terkait individu dan harta benda, namun tidak disebutkan kemungkinan perpindahan dari komunitas Islam ke Kristen, juga yang berhubungan dengan hak-hak orang yang pindah/murtad tersebut. Kesulitan-kesulitan di Palestina, Syria dan Mesopotamia pada dasarnya jauh lebih besar daripada yang dihadapi di Kepulauan Filipina; namun orang ingin melihat peraturan dibuat untuk negara-negara ini dengan bahasa yang lantang dan jelas seperti yang terdapat dalam Pasal 3 UU Kongress Amerika Serikat, 29 Agustus 1916. (UU ini juga berlaku atas lebih dari 400.000 umat Islam Kepulauan Filipina) “….bahwa tidak ada pemberlakuan hukum yang membatasi kebebasan berbicara, pers, atau hak rakyat untuk berkumpul secara damai dan mengajukan petisi ganti rugi atau keluhan pada Pemerintah. Tidak ada hukum yang dibuat terkait keberadaan suatu agama atau pelarangan ibadah agama tersebut, dan bahwa kebebasan menjalankan ibadah serta menjalani profesi keagamaan tanpa ada diskriminasi atau keberpihakan, harus selamanya diizinkan; dan tidak ada tes keagamaan yang diperlukan untuk pelaksanaan hak-hak sipil atau politik. Tidak ada uang atau harta benda publik yang diambil, dipakai, disumbangkan atau digunakan, secara langsung atau tidak langsung, untuk kegunaan, keuntungan atau mendukung sekte/aliran, gereja, denominasi, ajaran sektarian atau sistim keagamaan apapun; atau untuk kegunaan, keuntungan atau mendukung imam, pengkhotbah/pendakwah, pendeta atau guru agama apapun, atau pejabat sejenis. Perkawinan poligami berdasar kontrak atau pernikahan lebih dari satu selanjutnya dilarang. Tidak ada penafsiran hukum yang mengizinkan pernikahan poligami atau lebih dari satu.” 18 Treaties, Acts, etc., pp. 82. Ada perjalanan panjang di Mesir dan Syria, sebelum uu semacam itu dapat dicantumkan dalam buku UU atau diberlakukan sebagai hukum.
Ahmadibejad
Posts: 1325
Joined: Sun Sep 06, 2009 9:16 am

Re: Zwemer: Mengapa Murtadin Jarang Ada

Post by Ahmadibejad »

Wah...bacaan bagus neh...ijin menandai gan...baca dlu... :finga:

Prinsip Islam : Masuk Silahkan : Keluar Binasa..
anne
Posts: 502
Joined: Wed Sep 21, 2011 9:52 pm

Re: Zwemer: Mengapa Murtadin Jarang Ada

Post by anne »

Mandat untuk Palestina menyatakan, dalam Pasal 15: “Mandatory akan melihat kebebasan nurani dan kebebasan menjalankan segala bentuk ibadah, selama selaras dengan ketertiban umum dan moral, sepenuhnya dijamin untuk semua orang. Tidak ada diskriminasi apapun yang diberlakukan atas penduduk Palestina karena alasan ras, agama atau bahasa. Tidak seorangpun dikeluarkan dari Palestina karena keyakinan agamanya.” Namun dalam Pasal 52 kita baca: “Mahkamah Agama Islam memiliki yurisdiksi eksklusif dalam hal status pribadi Muslim sesuai ketetapan Hukum Acara Pengadilan Agama Islam, 25 Oktober 1333 H., sebagaimana yang diatur UU atau Peraturan. Mereka juga memiliki--- selaras dengan ketetapan UU atau Peraturan 20 Desember 1921, yang menetapkan pendirian Dewan Tertinggi untuk Masalah-masalah Agama Islam, atau Peraturan lain yang mengatur hal serupa—-yurisdiksi eksklusif dalam kasus-kasus terkait konstitusi atau administrasi internal Wakf (pemberian/hibah harta benda) untuk kepentingan umat Islam di Pengadilan Syariah. Juga harus ada naik banding dari Pengadilan Qadi, ke Pengadilan Banding Agama Islam, yang menetapkan keputusan final.”

Sejumlah ketetapan lain dibuat untuk bisa banding ke Ketua Mahkamah Agung, namun, selama hukum Islam dipertahankan, orang menghendaki undang-undang yang pasti/jelas terkait masalah murtadin, agar ketetapan dalam Pasal 83 terbukti bukan aturan mati/usang. Dalam Pasal ini kita baca, “semua penduduk di Palestina harus mendapat kebebasan nurani sepenuhnya. 19 Lihat juga Treaties, Acts and Regulations Relating to Missionary Freedom. Inter national Missionary Council, London, 1923, pp.21-24.

Kesulitan-kesulitan yang dihadapi murtadin di Palestina belum sepenuhnya dihapus karena mandat Inggris. Bahkan, dalam beberapa hal, justru meningkat. Situasi sebenarnya digambarkan oleh Pdt. A.J. Mortimer dari Nablous: 20 Church Missionary Outlook. 1923.

Bagaimana prospek saat ini bagi para murtadin di Palestina? Apakah lebih mudah menjadi Kristen di bawah mandate Inggris dibandingkan bila di bawah pemerintahan Turki? Apakah hukum saat ini diatur oleh Ottoman atau Inggris, dan bila oleh Inggris, apakah ada kebebasan sepenuhnya? Hukum, yang saat ini berlaku, bukan seluruhnya hukum Ottoman bukan pula seluruhnya hukum Inggris, namun campuran keduanya. Basisnya masih Ottoman, namun dari waktu ke waktu, sesuai peristiwa, uu baru dikeluarkan Pemerintah, menggantikan atau memodifikasi peraturan lama.

“Ketika Komisaris Tinggi, Sir Herbert Samuel, tiba di Palestina untuk memangku jabatan, ia membaca secara terbuka di Yerusalem dan Haifa, di hadapan para perwakilan yang diundang dari distrik sekitar, sepucuk surat dari King George V bagi penduduk Palestina, yang diantara berbagai hal lainnya, memproklamirkan kebebasan nurani. Klausul ini dikonfirmasi oleh konstitusi baru yang baru-baru ini diumumkan secara resmi setelah penandatanganan Mandat. Di bawah hukum Ottoman lama siapapun yang hendak mengubah agamanya dipaksa—agar perubahan tersebut dilegalisir—menjalani pemeriksaan yang berlangsung tidak lebih dari dua jam, oleh pimpinan lokal agama lamanya, yang membujuknya untuk membatalkan keputusannya. Bila ia tidak terbujuk, barulah perubahan agamanya diakui secara sah dan valid.

Namun dalam praktek, sejauh menyangkut Palestina, pemeriksaan tampaknya diterapkan hanya dalam kasus Muslim yang hendak berpindah Keyakinan, bukan sebaliknya. Dalam sebuah kasus penting, pengumuman hasil ‘pemeriksaan’ tak pelak lagi merupakan pemalsuan fakta-fakta, yang diikuti dengan hilangnya sang calon murtadin! Di lain pihak, seorang misionaris berpengalaman menceritakan bahwa di Mesir, lebih dari satu peristiwa, ia secara efektif menuntut hak ‘pemeriksaan’ di bawah hukum ini terhadap para calon mualaf, dan di hampir semua kasus ia berhasil, umumnya hanya membutuhkan waktu beberapa menit percakapan dengan sang calon mualaf untuk mengurungkan niatnya. Cukup sering motif calon mualaf bukanlah karena keyakinan agama, namun karena hendak menikah. Sebuah ‘peraturan’ baru yang menghidupkan kembali hukum Ottoman ini, baru-baru ini dipublikasikan dengan disertai modifikasi, misalnya: Pengaturan ‘pemeriksaan’ dilakukan di bawah pengarahan gubernur setempat--umumnya orang Inggris-- dan tentu saja peraturan tersebut diterapkan sama untuk Muslim, Yahudi atau Kristen.

“Hukum ini, selama diberlakukan secara adil (pengawasan oleh gubernur Inggris menjamin hal tersebut) harus disambut baik oleh misionaris yang memandangnya sebagai dukungan kesetaraan bagi setiap penganut agama. Di kala sang calon murtadin berhasil melewati pemeriksaan, yang mengharuskannya memiliki keyakinan intelektual serta keberanian moral dan fisik dalam menghadapi pemeriksaan silang selama dua jam di tangan mufti lokal, selanjutnya ia-pun sudah pasti akan menghadapi cercaan umum—kalau bukan penganiayaan— orang-orang dari agama lamanya. Sikap masyarakat Arab saat ini yang menolak Konstitusi Baru Palestina di bawah Mandat Inggris cenderung memperumit masalah bila muncul kasus-kasus baru murtadin dalam waktu dekat.”

Dari Palestina kita beralih ke Mesopotamia. Harapan disini sangat menjanjikan dan para misionaris menanti hari dimana ada kebebasan beragama sepenuhnya setelah berabad-abad fanatisme dan penindasan terhadap minoritas Kristen di bawah pemerintahan Turki.

Dalam Perjanjian antara Yang Mulia Raja Inggris dengan Yang Mulia Raja Iraq, ditandatangani di Baghdad, 10 Oktober 1922, kita memiliki 2 Pasal (Pasal 3 dan 12) yang memberikan kebebasan beragama dan misionaris bagi setiap orang di negeri kuno Kalifah ini. Pasal 3 berbunyi:
“Yang Mulia Raja Iraq setuju untuk menyusun sebuah UU Dasar untuk dipresentasikan di Majelis Konstituante Iraq, dan untuk memberlakukan UU tersebut, yang isinya tidak bertentangan dengan ketetapan-ketetapan dalam Peraturan yang berlaku saat ini, serta mempertimbangkan hak, keinginan, dan kepentingan warga Iraq. Undang-undang Dasar ini harus menjamin sepenuhnya kebebasan hati nurani dan kebebasan menjalankan segala bentuk ibadah, selama tidka bertentangan dengan ketertiban umum dan moral. UU ini harus menjamin tdak ada diskriminasi apapun terhadap semua warga Iraq berdasarkan ras, agama atau bahasa, serta menjamin hak setiap komunitas untuk menjalankan sekolah-sekolah mereka sendiri untuk kalangan mereka dengan bahasa mereka, walau demikian penyesuaian dengan persyaratan pendidikan umum sebagaimana yang ditetapkan Pemerintah Iraq harus ditaati. UU ini harus menetapkan prosedur konstitusional, baik legislatif maupun eksekutif, dimana keputusan diambil berdasarkan tingkat kepentingannya, termasuk yang menyangkut masalah kebijakan fiskal, finansial dan militer.”
Dan Pasal 12, menyatakan:
“Tidak ada tindakan yang diberlakukan di Iraq yang menghambat atau mengganggu tugas-tugas misionaris atau mendiskriminasi misionaris karena alasan agama atau kebangsaannya, asalkan tugas-tugas misionaris tersebut tidak merugikan kepentingan umum serta pemerintahan yang baik.” 21 Treaties, etc., pp.95 and 96.
Namun, yang jauh lebih penting dari segala janji kebebasan di atas kertas, adalah bangkitnya kebebasan dalam hati semua orang di seluruh penjuru negri. Walau dengan keberadaan hukum Islam lama, Nasionalisme telah melakukan tugasnya, meskipun tak selalu bijak namun menyeluruh.

Para koresponden kami di berbagai ladang Misi hampir seragam dalam mengungkapkan harapan bahwa kita menghadapi terbitnya era baru kebebasan. Walau beberapa mengungkapkan harapan ini dengan rasa takut dan gentar, terutama mereka yang pernah memiliki harapan serupa namum mengalami kekecewaan setelah proklamasi kebebasan, persaudaraan dan kesetaraan di Turki. Di negri-negri Islam tua seperti pedalaman Arabia dan Afghanistan, ada beberapa tanda kebebasan baru bagi murtadin. Pintu masuk misionaris dilarang di Hejaz dan sepanjang perbatasan India Afghanistan. Di Tunisia, menurut seorang misionaris yang berdiam di Kairouan, “Sikap tidak toleran lama masih ada, walau beberapa golongan Islam mungkin lebih toleran. Sejauh otoritas Perancis memiliki pengaruh, sudah pasti ada toleransi, walau pemerintah Perancis lebih berusaha bersikap ramah terhadap Islam.”

Dari Aljazair, seorang misionaris menulis: “Sikap Muslin terhadap Kristen jauh lebih toleran saat ini. Ada kelemahan besar terkait sikap Muslim terhadap minum anggur dan makan daging babi; banyak orang yang mengaku Muslim minum anggur dengan sangat bebas. Bahkan, ada lebih banyak peminum di kalangan Muslin Aljazair daripada di kalangan orang Eropa.” Namun masih banyak penganiayaan terhadap Muslim yang berani memilih mengaku Kristus dibanding Muhammad. Di Persia mereka katakan pada kami ada “perubahan radikal sepajang 20 tahun ini.” Konstitusi menjamin lebih banyak kebebasan berpendapat dan bertindak, dan kantor polisi sekarang menangani banyak kasus yang sebelumnya dibawa ke pengadilan agama. Juga melindungi murtadin dari kekerasan dan fanatisme massa. Sebagaimana yang diungkapkan para misionaris, “Era yang lebih baikmenjelang, dan tuaian mulai dikumpulkan . Mungkin darah akan tertumpah lagi, namun Kristus akan menang.”

Koresponden lain, yang menulis mengenai koloni Perancis di Afrika, mengatakan: “Kupikir orang tidak bisa mengatakan ada sikap lebih toleran dari otoritas Islam terhadap para murtadin. Mereka mungkin lebih toleran terhadap penduduk asli yang dinaturalisasi menjadi warga Perancis, dan bahkan terhadap mereka yang berperilaku lebih jauh mengenakan pakaian Eropa! Hal tersebut dianggap dilakukan demi kepentingan diri dan dan bersifat sementara. Namun untuk meninggalkan Islam dan masuk Kristen, serta menyatakannya secara terbuka adalah hal berbeda di mata Muslim.” Tetapi di Mesir, sudah tentu ada sikap lebih toleran terhadap murtadin. Seseorang yang sudah 20 tahun berpengalaman dalam masalah ini mengatakan, “Penerapan penuh hukum ridda tidaklah mungkin karena pengawasan ketat para pejabat Inggris. Apa yang akan terjadi bila pengawasan seperti itu ditarik, masih perlu disimak. Konstitusi baru dengan jaminan kebebasan yang terlalu dibesar-besarkan, bagiku tampak tidak memecahkan masalah murtadin.” Sementara itu pendapat yang lebih mengandung harapan diungkapkan Dr. R.S. McClanahan: “Bahwa Muslim bahkan akan lebih mau bertanya, menghadiri pertemuan, menyelidik, membeli Kitab Suci, serta membacanya, juga membaca buku-buku yang mendiskusikan masalah tersebut, bahwa misionaris Kristen harus lebih banyak mengadakan dengar pendapat secara umum atau pribadi, dan banyak pemimpin gerakan kemerdekaan di negara ini akan menemukan bahwa kebebasan hati nurani adalah yang terpenting dari semua kebebasan; hal-hal ini sudah pasti akan menghasilkan sikap yang lebih toleran. Saya percaya ini adalah reaksi normal yang muncul karena semua pembicaraan mengenai kebebasan dan kemerdekaan yang memenuhi atmosfir suasana selama beberapa tahun ini.” Sudah banyak baptisan publik serta pernikahan murtadin; dalam salah satu kasus malah pendeta, pasangan pengantin dan para orangtua semuanya murtadin dari Islam.

Toleransi terhadap murtadin kelihatannya sering berbanding lurus dengan pendekatan pemerintahan asing dan pengaruh mereka, serta dampak peradaban Barat dalam mengurai fanatisme. Hal ini misalnya terbukti di kota-kota seperti Aden dan Konstantinopel. “Tak diragukan, ada lebih banyak sikap toleran sekarang dibanding sewaktu saya pertama datang ke Aden,” tulis Dr. J.C. Young. “Saat ibadah pagi orang-orang mendengar dengan penuh perhatian dan sering dengan rasa hormat mendalam. Di sekolah, pelajar Muslim dan Yahudi secara teratur bergabung bersama mengucapkan doa Bapa Kami setiap pagi, dan di klinik sebelum pelayanan kesehatan dimulai. Orang-orang lebih mudah membeli Alkitab dari sebelumnya. Suatu pagi, saya menjual 15 Alkitab, sementara beberapa tahun lalu tak satupun terjual; dan saya percaya bahwa bila tersingkap Firman Tuhan memberi terang, memberi pengertian, akan tiba saatnya semua penghalang akan terhanyut oleh banjir berkat yang akan datang ke tanah Arab.” Dan dari Konstantinopel, seorang misionaris menulis, “Ada sikap yang lebih toleran, sebagian mungkin karena hubungan yang lebih dekat dengan dunia Barat dan karena publisitas yang lebih besar. Satu atau dua Muslim telah masuk Kristen dan hidup sebagai orang Kristen disini. Tidak bisa dikatakan mereka terlepas dari bahaya, namun setidaknya mereka tidak dianiaya. Saya kira kita harus meminta agar dunia Islam menempatkan agama mereka di atas dasar yang sama dengan agama Kristen; subjek kritikan dan penyelidikan, dengan kebebasan bagi setiap orang untuk mengubah keyakinannya. Namun, pemikiran seperti itu sulit menjangkau kalangan masyarakat tak berpengetahuan yang menganggap mengubah keyakinan sebagai kejahatan.”

Dalam beberapa kasus, penganiayaan murtadin dan kemartirannya membuktikan kebenaran firman Tuhan, “Jikalau biji gandum tidak jatuh ke dalam tanah dan mati, ia tetap satu biji saja; tetapi jika ia mati, ia akan menghasilkan banyak buah.” Dr. Walter R. Miller menyampaikan kisah menarik di Nigeria (ada di Bab 3). “Sekitar 20 tahun sebelum kedatangan kami , seorang Mallam (sebutan untuk Maulana atau Mullah di Afrika) dari Kano, yang sedang melintasi Mesir dari Mekah, mendengar Injil; dan, walau hanya samar-samar memahami, kelihatannya terkesan dengan keagungan dan kepribadian Kristus. Ia kembali ke Kano serta menyampaikan yang ia ketahui. Ia disiksa dan dibunuh karena menolak untuk berhenti dari apa yang ia yakini. Hampir 30 tahun kemudian, sebagai rentetan akibat kisah ini, banyak dari para muridnya yang telah melarikan diri, datang di bawah panggilan Injili. Singkat cerita, sebuah desa Kristen tumbuh. Komunitas yang terdiri dari sekitar 130 jiwa, dan hidup di bawah hukum dan ajaran Kristen, serta banyak yang dibaptis. Berjangkitnya penyakit ‘Sleeping sickness’ selama empat tahun terakhir, hampir memusnahkan komunitas kecil ini. Ada perubahan sikap sebagian Muslim disini. Aku percaya, bahkan aku memiliki bukti, bahwa bila kekuasaan Inggris dihapus, setiap umat Kristiani akan dieksekusi sekaligus. Suatu keanehan bahwa pemerintahan Inggris mencegah seorang Kristen menerima warisan dari ayah Muslim-nya, meskipun keduanya hidup dalam hubungan yang sangat akrab sebelum ayahnya meninggal.”

Salah satu gambaran paling menjanjikan dalam keseluruhan situasi adalah para Muslim berpendidikan di semua negara mulai memiliki pandangan yang lebih liberal. Mereka sadar bahwa kebebasan politik dapat eksis hanya bila hak-hak minoritas dihargai, dan bahwa hukum Islam harus dimodifikasi untuk mengamankan proses kemerdekaan yang mereka dambakan. Seorang Turki berpikiran terbuka, dalam suatu percakapan dengan Dr. W. Nesbitt Chambers di Adana, mengekspresikan diri dalam kata-kata berikut, “Demonstrasi yang terjadi 600 tahun belakangan ini memperlihatkan bahwa orang Turki sendiri tidak bisa membuat kemajuan. Orang Magyars, Romania, Bulgaria, dan lainnya, yang lepas dari dominasi Turki, berhasil membuat kemajuan. Bandingkan Sofia dengan Adrinople—kota-kota yang berdekatan. Jika Ulama, Khoja (guru Islam/ustadz) dan para pemimpin lain adalah manusia yang berbudaya, terpelajar, sungguh-sungguh dan berpikiran terbuka, mereka akan memikirkan kebutuhan negara ini serta membuat perubahan-perubahan yang diperlukan untuk kesejahteraan dan kepentingan utama penduduk negara ini dalam segala segi kehidupan. 600 tahun sudah cukup. Sekarang waktunya memulai gerakan-gerakan untuk perdamaian dan untuk kebaikan semua orang.

Bukankah ini waktunya bagi warga Turki, yang memiliki kualitas terbaik yang diperlukan dalam membuat kemajuan jika mereka punya kesempatan dan dipandu dengan baik, untuk memikirkan secara mendalam kondisi ini serta mencari solusinya? Bukalah jendela dan biarkan cahaya masuk!
“Haruskah kita tidak mengakui bahwa Islam suatu agama kerdil, terlalu membatasi, terlalu formal? Haruskah kita tidak menempatkan tanggungjawab keterbelakangan kita, dan bukan hanya kita melainkan keterbelakangan negara-negara Islam, di muka Islam? Kita ditantang untuk menjawab. Haruskah kita tidak mencari jawaban dalam fakta bahwa Islam tidak diperlengkapi dengan teladan yang tinggi, inspirasi untuk digali, hasrat untuk maju di segala segi kehidupan, materi, sosial dan spiritual?”

Qur’an suci ditulis dalam bahasa yang relatif dipahami hanya sedikit orang dalam dunia Islam;pengulangan kata-kata serta praktek ibadah lain yang diperintahkan, tidak mengembangkan keunggulan moral, atau sebagaimana yang ditunjukkan sejarah, tidak memberi dorongan bagi kemajuan dan kesejahteraan manusia.Apakah pernyataan bahwa Qur’an menggantikan Injil dapat dipertahankan? Apakah perlu bagi Allah menarik wahyu atau mengganti wahyu lain yang Ia telah berikan? Kita mengakui Yesus Mesias dalam Injil sebagai seorang nabi Allah. Mari kita lihat cahaya apa yang Ia berikan untuk memecahkan masalah duniawi. Biarkan terang itu bercahaya dan memandu semua orang.”22 The Moslem World, vol. xi. pp. 232, 233, 234.

Dalam pers Persia, terkait perlunya sebuah kebebasan baru, seorang editor Muslim mengekspresikan diri demikian (“Azad,” yi. Kebebasan, dipublikasikan di Tabriz, 1 Januari 1922): “Oh, bangsa Persia sekte Shiah, engkau yang percaya atau tidak. Namun bagi mereka yang percaya, biarlah mereka mendengar dan menyimak apa yang kukatakan. Betapa tak berharganya mereka yang mengaku bahwa Islam adalah sistem agama yang mencakup kehidupan spiritual dan duniawi, namun melupakan bahwa pohon harus dikenali melalui buah-buahnya. Sementara, seperti yang kalian katakan, agama ini menawarkan kebahagian dunia ini dan dunia akhirat, namun kenyataan dalam segala hal umat Islam di seluruh dunia hina, miskin, kotor, tak beradab, b0doh, tak perduli dan secara umum tertinggal 200 tahun di belakang bangsa Amerika dan Eropa, umat Kristen dan bahkan pengikut Zoroaster…….Tolak untuk megikatkan diri kalian sebagai pengikut orang yang berkata bahwa perintahnya adalah perintah Tuhan dan nabi, dan selanjutnya mengabdi pada berbagai kaum kalian agar mereka tidak diperalat bangsa lain. Jika kalian melakukan ini, kuyakinkan pada kalian bahwa kerajaan kalian akan menjadi besar. Sebab itu bangkit dan ambil pedangmu serta galilah semua onak duri yang tumbuh di sekitar Muhammad—semoga rahmat Tuhan atas dia da keturunannya—agar kita mendapat berkat di dunia ini dan dunia nanti. Aku dengan senang hati menerima saran atau nasehat dari para pembaca.” 23 Robert E. Speer's Report on India and Persia, pp.381-382.

Bukan hanya di Turki dan Persia, namun di Mekah sendiri ada suara-suara yang memohon kebebasan agama. Tahun 1899 suatu Konferensi diselenggarakan, atau seharusnya telah diselenggarakan, di Mekah, mengenai masalah kemunduran dan disintegrasi Islam. Laporan lengkap mengenai diskusi ini menjadi kajian menarik mengenai pemikiran Islam, dan diterbitkan di Kairo dengan judul, Um-al-Qura, yi. Mekah “Ibu semua kota.” 86 penyebab kemunduran dan disintegrasi Islam dicatat. Salah satu delegasi berkata bahwa kemunduran Islam “bukanlah kesalahan penguasa kita, karena mereka hanya dipilih oleh rakyat. Apa adanya kita, demikian pula penguasa kita. Saya percaya bahwa penyebab bencana yang kita alami adalah karena hilangnya kebebasan. Kita tidak mengerti makna kebebasan, karena kita tidak memilikinya. Orang yang menikmati kebebasan mendefinisikannya sebagai: suatu keutamaan dimana manusia bebas dalam berbicara dan bertindak, dan tidak dengan cara atau perilaku yang menimbulkan kebencian. Kebebasan harus menyentuh beberapa aspek: ia harus membela hak asasi manusia, serta menjadikan para penguasa bertanggungjawab, karena mereka adalah perwakilan rakyat. Mereka harus tidak ragu menegakkan kebenaran dan tidak takut memberi nasehat yang diperlukan. Dan lagi harus ada kebebasan dalam pendidikan dan menyampaikan pendapat di depan publik; kebebasan pers dan dalam diskusi ilmiah. Dan harus ada kebebasan dalam menegakkan keadilan sehingga tak seorangpun merasa takut pada orang yang jahat, licik dan irihati. Di atas segalanya, harus ada kebebasan memeluk agama, nilai utama yang akan melindungi hak-hak manusia dan kehormatan keluarga; yang akan memajukan pendidikan dan membuatnya berkembang. Kebebasan adalah roh/jiwa agama. Tak diragukan lagi, kebebasan adalah yang paling disayang manusia selain hidupnya. Kehilangan kebebasan sama dengan membuang semua harapan dan menghapus kinerja; membiarkan jiwa merana, hukum mati dan aturan-aturan ditabrak.”

Tentunya, ketika suara-suara tersebut terdengar di Turki, Persia dan bahkan dari Mekah, kita boleh berbesar hati. Seruan untuk kemerdekaan nasional mencakup lebih dari sekedar keinginan untuk membentuk pemerintahan sendiri. Islam sendiri saat ini harus menghadapi kegelisahan di hati umat Islam. Karakter Qur’an, kehidupan Nabi dari Arab, serta aturan-aturan yang disandarkan pada keduanya, semuanya bertentangan dengan kebebasan agama. Para misionaris dan murtadin bersama-sama dapat menemukan kekuatan dalam pemikiran bahwa Islam sedang dibawa ke hadapan pengadilan sejarah. Pengadilan ini akan lebih tak berbelas kasih, lebih menyidik, lebih adil daripada pengadilan biasa. Pengadilan itu sendiri adalah final. Dengan keyakinan ini kita bisa beristirahat dan menanti. Sementara itu, akan bertumbuh di seluruh penjuru dunia jumlah murtadin yang terus meningkat, yang tidak takut menghadapi hukum ridda karena rasa kasih mereka pada Yesus Kristus.
-------0000-------
anne
Posts: 502
Joined: Wed Sep 21, 2011 9:52 pm

Re: Zwemer: Mengapa Murtadin Jarang Ada

Post by anne »

BAB VII.
BIBLIOGRAPHY

ABD-UR-RAHIM. Mohammedan Jurisprudence. Thacker & Co.,Calcutta, 1911.
AD DIMISHOY. Targamet ul Umma fi Ikhtilaf al A 'imat.
AL 'AINI. 'Amdat-ul-Qari. Vol. XII.
AL ASKALANI. Fath-ul-Bari. Vol. XII.
AL BUKHARI, and MUSLIM.- Traditions.
AL GHAZALI'S Wajiz. Vol.II. Cairo, 1317. A.H.
AL-RAGHIB. Mufradat-fi-gharib-ul-Quran.
AMEER ALI. The Spirit of Islam. Calcutta, 1902.
ARNOLD, T. W. The Preaching of Islam.
BARTON, JAMES L. Daybreak in Turkey. The Pilgrim Press, Boston, 1910.
BERBRUGGER, A. Gerornimo, le Martyr du Fort des Vingt-quatresheurs. Alger, 1859.
BEZOLD, CARL. Festschrift Ignaz Goldziher. Strassburg, 1911, pp.206, 207.
Caetani 'Annali dell 'Islam. Milano, 1913.
Cairo Conference Report. Methods of Mission Work Among Mohammedans. 1906.
DELEVAUX, ABBE L. Geronimo L'Emmure de Bab-el-Oued. Drame Historique. Alger, 1920.
DOUGHTY, C. M. Wanderings in Arabia. London, 1923.
FAIZ BADRUDDIN TYABJI. Principles of Mohammedan Law. D. B. Taraporevala & Sons, Bombay, 1913.
FINDLAY, ANDREW G. The Crescent in North-west China. London, 1922
FORTESCUE, ADRIAN. The Lesser Eastern Churches. London, 1913.
GIBBON, EDWARD. History of the Roman Empire.
GOLDSACK, WILLIAM. Selections from Mohammedan Traditions: translated from the Arabic. Madras, 1923.
HAMILTON, CHARLES. Al Hedaya, by Burhan ed Din 'Ali. 4 vols. London, 1791.
HARLOW, S. RALPH. Student Witnesses for Christ. New York.
HOWARD, E. C. Minhaj-at-Talibin; A Manual of Mohammedan Law according to the School of Shafi'i, by Nawawi, from the French Edition of A. W. C. van den Berg. Thacker, London, 1914.
IBN HISHAM. Vol.I. Cairo Edition.
IBN RUSHDI AL QARTABI. Badayet-al-Mujtahid. 2 vols. Cairo.Islamic Review (November, 1916). Apostasy and its Consequences under Islam and Christianity, p.485 ff.
JESSUP, HENRY H. Fifty-three Years in Syria. Revell. New York.
JESSUP, HENRY H. Kamil. The Setting of the Crescent and the Rising of the Cross. Philadelphia, 1898.
JUYNBOLL. Article on "Apostasy" in Encyclopedia of Religion and Ethics. Vol.1.
KORAN. Arabic text and Palmer's Translation.
MACDONALD, D. B. Article on "Djihad," Encyclopedia of Islam. Leiden.
MARGOLIOUTH, D. S. The Early Development of Mohammedanism. London, 1914.
MATHEWS. Mishcat. Vol.II.
MOHAMMED AL ABDARI IBN HADJ. Al Madkhat Vol.II.
MONTET, EDOUARD. Etudes Orientales et Religieuses. Geneva, 1917.
MOULE, A. C. Fourteenth-century Missionary Letters. "The East and West." October, 1921.
OBBINK. De Heilige Oorlog. Brill, Leiden.
OECONOMOS, LYSIMACHOS. The Martyrdom of Smyrna and Eastern Christendom. London, 1923.
OSBORNE, ROBERT D. Islam under the Khalifs of Baghdad. London, 1878.
PAUTZ, OTTO. Mohammed's Lehre der Offenbarung.
PENNELL, T. L. Among the Wild Tribes of the Afghan Frontier. London, 1909.
PFANDER, C. G. The Mizanu'l Haqq (Balance of Truth). London, 1910.
QUERRY, A. Droit Musulman. Recueil de Lois concernant les Musulmans Schyites. Vol.II., pp.528-533. Paris, 1872.
REEVES, W. PEMBER. Christiani ad Leones; The Great Powers and the Eastern Christians. London, 1922.
Reports of Egypt General Mission, 1903-1922.
RUSSELL, A. D. A Manual of the Law of Marriage from the Mukhtasar of Sidi Khali. London.
RUXTON, F. H. Convert's Status in Maliki Law. The Moslem World. Vol. III.
SCHULTHESS, FRIEDRICK. Die Machtmittel des Islams. Zurich, 1923.
JAMES HARRY. The Law Affecting Foreigners in Egypt as a Result of the Capitulations.
SELL, CANON EDWARD. Faith of Islam. London, 1907.
SHEDD, WILLIAM AMBROSE. Islam and the Oriental Churches. New York, 1908.
SIMON, GODFRIED. The Progress and Arrest of Islam in Sumatra. Marshall Brothers London
SMITH, DR. GEORGE. Henry Martyn. London, 1892.
SMITH, H.P. The Bible and Islam. London, 1897.
SPEER, DR. ROBERT E. Missions and Modern History. New York 1904. Vol. II. "The Armenian Massacres," pp.441-484. Report on India and Persia. Board of Foreign Missions, NewYork, 1922.
STOCK, EUGENE. History of the Church Missionary Society. London, 1916.
Treaties, Acts and Regulations Relating to Missionary Freedom. International Missionary Council, London, 1923.
WATSON, ANDREW. History of the American Mission in Egypt.United Presbyterian Board of Publication, Pittsburgh.
WILSON, S. G. Bahaism. The Moslem World. Vol. IV.
WILSON, S. G. Bahaism and its Claims. New York, 1915.
ZAMAKSHARI. Commentary on the Koran.
Post Reply