The Closing of the Muslim Mind (SELESAI! HOREEEEE!!!)

User avatar
infidel
Posts: 616
Joined: Wed Jul 02, 2008 11:00 am

The Closing of the Muslim Mind (SELESAI! HOREEEEE!!!)

Post by infidel »

Ada sebuah buku yg menarik "The Closing of the Muslim Mind: How Intellectual Suicide Created the Modern Islamist Crisis", apakah sudah ada rencana Tim FFI untuk menerjemahkannya?

Image

Buku Robert R. Reilly ini menjelaskan kelakuan yang mengerikan yang ditunjukkan dunia Islam. Terorisme, katanya, hanyalah satu manifestasi patologi spiritual Islamisme. Ini, menurut Reilly, akibat krisis yang terjadi dlm dunaai Muslim 1000 thn yang lalu, antara kaum penganut ajaran logika versusn kaum tradisionalis. Kaum tradisionalis, atau kaum irasionalis, menang. Hasilnya: sebuah teologi yang irasional yang memproduksi sebuah budaya Islamiyah yang amat sangat tidak berfungsi.

Buku ini memberi jawaban atas pertanyaan:
· mengapa dunia Arab selalu pada urutan terbawah dalam daftar prestasi manusia
· mengapa studi filosofi dan sains hampir mati dlm dunia Islam
· mengapa Spanyol menerjemahkan lebih banyak buku dalams atu tahun saja dibandingkan dengan seluruh dunia Muslim dalam 1000 tahun terakhir
· mengapa banyak orang Saudi menolak kenyataan bahwa Amerika berhasil mengirimkan manusia ke bulan


Robert R. Reilly adalah anggota senior di American Foreign Policy Council dan menulis bagi the Wall Street Journal, the Washington
Post, Reader’s Digest, National Review dll. Ia mengajar di the National Defense University dan Gedung Putih serta di Kantor Menteri Pertahanan. Reilly adalah anggota the Middle East Media Research Institute dan tinggal didekat Washington D.C., AS.

Saya kebetulan menemukan wawancara dengan penulisnya yg sudah diterjemahkan di forum lain: http://www.ekaristi.org/forum/viewtopic.php?t=9140

Beberapa penjelasan ttg pemikiran Islam yg cukup menarik dari wawancara tsb sbb:
"Kuncinya disini adalah Allah tidak melarang membunuh [murder] karena membunuh [murder] itu buruk; namun, membunuh itu buruk karena Dia melarangnya. Allah bisa mengubah pikiranNya besok dan menuntut suatu ritual pembunuhan, dan tidak seorangpun bisa mengkontradiksiNya, karena [perkara-perkara/tindakan-tindakan] pada hakekatnya tidaklah baik ataupun buruk, namun [perkara-perkara/tindakan-tindakan] [menjadi baik atau buruk] karena perintah Allah. Karenanya, untuk selamat, engkau harus mengetahui perintah-perintahNya, dan engkau tidak dapat mengetahui [perintah-perintahNya] melalui nalar."

Api tidak membakar kapas; Allahlah yang melakukanya. Gravitasi tidak membuat batu jatuh ke tanah; Allahlah yang melakukannya secara langsung. Tidak ada hukum kodrati. Pengingkaran terhadap sebab dan akibat ini sangat menggemparkan. [Pengingkaran ini] membantu menjelaskan sifat disfungsional yang banyak terjadi di dunia Islam saat ini.

Karena Allah bisa melakukan satu hal, atau Dia bisa melakukan hal yang lainnya — maka tidak bisa diprediksikan. Dengan satu ayunan kita telah menghilangkan ilmu pengetahuan.
Tidak heran jika Muslim tidak memiliki masalah dengan standar moral Muhammad dan nasakh ayat dalam Quran, bagi mereka Muhammad adalah teladan hanya karena Allah SWT sendiri yg mengatakan demikian, dan terserah Allah SWT jika ia memilih untuk tidak konsisten dengan perkataannya sendiri...
ali5196
Posts: 16757
Joined: Wed Sep 14, 2005 5:15 pm

Daftar Isi buku

Post by ali5196 »

THE CLOSING OF THE MUSLIM MIND/MENGAPA OTAK MUSLIM MANDEQ
How Intellectual Suicide Created the Modern Islamist Crisis/Bagaimana Bunuh Diri secara Intelektual Menciptakan Krisisi Islamis Modern

ROBERT R. REILLY
WILMINGTON, DELAWARE
Copyright © 2010 by Robert R. Reilly

Bagi para lelaki dan wanita berani didunia Muslim yang demi keselamatan mereka harus merahasiakan nama mereka, dan yang sedang berjuang bagi dibukanya kembali otak Muslim.

Daftar Isi
KATA PENDAHULUAN by Roger Scruton

INTRODUCTION - Intellectual Suicide

CHAPTER 1
The Opening: Islam Discovers Hellenic Thought/Islam Menemukan Pemikiran Yunani

CHAPTER 2
The Overthrow of the Mu‘tazilites:/Dijatuhkannya kaum Mu'tazilah
The Closing Commences/Dimulainya Kemandeqan

CHAPTER 3
The Metaphysics of the Will/Metafisika Kemauan Manusia

CHAPTER 4
The Triumph of Ash‘arism/Kemenangan Ash'arisme

CHAPTER 5
The Unfortunate Victory of al-Ghazali/Kemenangan al Ghazali yang Disayangkan
and the Dehellenization of Islam/dan Dehellenisasi (Pemberangusan pemikiran Yunani) Islam

CHAPTER 6
Decline and Consequences/Kemunduran dan Konsekwensi

CHAPTER 7
The Wreckage: Muslim Testimonials/Puing2 Kehancuran: Kesaksian Muslim

CHAPTER 8
The Sources of Islamism/Sumber2 Islamisme

CHAPTER 9
The Crisis/Krisis
Last edited by ali5196 on Sat Jul 30, 2011 4:44 am, edited 2 times in total.
ali5196
Posts: 16757
Joined: Wed Sep 14, 2005 5:15 pm

Kata Pendahuluan

Post by ali5196 »

KATA PENDAHULUAN
oleh Roger Scruton

Akar peradaban Barat terletak dalam agama Israel, budaya Yunani dan hukum Romawi dan hasilnya, sebuah sintesis yang berkembang dan mati dengan berbagai ribu cara selama dua millennia yang menyusul setelah kematian Kristus. Entah ekspansi kedalam wilayah2 baru atau pengunduran diri kedalam kota2, peradaban Barat secara kontinual bereksperimen dengan institusi2 baru, hukum2 baru, orde2 politik baru, kepercayaan sains baru dan praktek2 baru dalam seni (budaya). Tradisi eksperiman ini kemudian menghasilkan the Enlightenment (Jaman Pencerahan), demokrasi dan bentuk2 orde sosial dimana kebebasan berpendapat dan beragama dijamin negara.

Mengapa hal yang sama tidak terjadi dalam dunia Islam?

Dalam buku ini, Robert Reilly mencoba menjawabnya. Peradaban Islam mengalami krisis moral dan intelektual di abad 9-11, saat mereka meninggalkan filosofi dan mengangkat dogma. Ada sejumlah faktor yang mengakibatkan kemandeqan ini, tapi yang paling penting, menurut Reilly, adalah meningkatnya sekte Ash‘arit di abad 9 dan kekalahan sekte musuh, kaum Mu’tazilah. Kaum Ash‘arit diwakili oleh Imam al-Ghazali (d. 1111), filsuf dan teolog brilyan yang berjiwa luka dan menemukan obatnya dalam kesatuan mistik dengan Allahnya.

Akal manusia (Human reason) mengajarkan kami untuk mempertanyakan dan menemukan segala sesuatu shg menciptakan undang2 baru bagi perbaikan
pemerintahan. Tapi bagi al-Ghazali, akal/pemikiran adalah musuh Islam, yang menuntut submisi absolut tanpa pertanyaan kepada kemauan Allah. Dalam tulisannya yang sangat terkenal, The Incoherence of the Philosophers, al-Ghazali menjelaskan bahwa akal manusia, spt diabadikan dalam tulisan Plato, Aristotle dkk, tidak mengarah kemana2 kecuali kegelapan dan kontradiksi, dan satu2nya cahaya yang bersinar dalam akal manusia adalah wahyu Illahi.
Walau argumen al-Ghazali dibantah habis dan telak oleh Averroes (Ibn Rushdi) dalam bukunya, The Incoherence of the Incoherence, Islam tetap memeluk doktrin Ash‘arit yang menuntut submisi total. Averroes dibuang dari Andalusia ke pengasingan dan suaranya yang menjunjung tinggi logika ini tidak lagi terdengar dalam istana para pangeran Muslim Sunni.

Serangan terhdp filosofi juga terjadi berbarengan dengan serangan yang tidak kalah telak terhadap hukum dan yurisprudensi (fiqih). Juris2 Islam dini mencoba merekonsiliasi Qur’an dan tradisi dengan tuntutan hukum sehari2 dan mengembangkan sebuah sistim hukum yang bisa diaplikasi pada keadaan sosial dan komersial yang terus berkembang. Tafsir hukum ini tergantung pada upaya ijtihad para juris/hakim, yang mampu mengadaptasi fatwa2 aneh dalam Quran keapada realita komunitas2 Muslim. TAPIIII di abad 10-11, tertutuplah “pintu gerbang ijtihad”--- demikian deklarasi al-Ghazali. Nah, sejak itu Islam Sunni megnadopsi posisi resmi bahwa TIDAK AKAN ADA PENAFSIRAN BARU ATAS ATURAN YANG SUDAH ADA, dan apa yang dianggap pantas bagi Kairo atau Iraq di-abad 12 juga harus dianggap pantas bagi abad 21 ini. Oleh karena itu kita tidak perlu heran bahwa syariah islam tidak bisa direkonsiliasi dengan fakta kehidupan abad 21 ini. Malah hakim2 terkemuka al-Azhar, universitas Islam taraf dunia di Kairo, masih bisa mengeluarkan fatwa2 konyol seperti: wanita dan lelaki tidak semuhrim diijinkan berada dalam satu ruangan sesudah sang pria mengisap susu/buah dada si wanita, agar menjadikannya se-muhrim dengan wanita tsb. http://indonesia.faithfreedom.org/forum ... sa-t13874/

[ali5196: Aneh bahwa menyusui lelaki dewasa merupakan hal normal di jaman Mamad abad 7! Pantas si Mamad rada gelo! :finga:
Lihat juga fatwa thn 2007 bahwa bumi ini datar http://indonesia.faithfreedom.org/forum ... ar-t14072/
Kumpulan fatwa konyol: http://indonesia.faithfreedom.org/forum ... wa-t14480/]

[...] Komunitas2 Muslim, menurut Reilly, jarang mengadaptasi diri kepada bentuk2 politik modern atau sains modern atau tuntutan migrasi global. Oleh karena itu, kebencian para teroris Islam, tidak dapat disalahkan pada sukses Barat tapi pada kegagalan Muslim. Kegagalan ini bukan melulu akibat Islam, tapi akibat bunuh dirinya Muslim secara budaya dan intelektual, 8 abad yang lalu.

[...]
Last edited by ali5196 on Mon Aug 29, 2011 5:20 am, edited 8 times in total.
ali5196
Posts: 16757
Joined: Wed Sep 14, 2005 5:15 pm

Introduksi : Intellectual Suicide

Post by ali5196 »

Introduction: INTELLECTUAL SUICIDE

Dan Allah menentukan siapa yang dikehendaki-Nya (untuk diberi) rahmat-Nya (kenabian) ...
—Qur’an 2:105


Filosofi adalah sebuah kebohongan
—Abu Sa’id ibn-Dust (d. 1040)


Kemanapun saya pergi dalam dunia Islam, masalahnya selalu sama: cause and effect; cause and effect.
—Fouad Ajami, 2005


Buku ini berbicara tentang drama-drama intelektual terbesar dalam sejarah manusia (the greatest intellectual dramas in human history). Lapangannya adalah otak Muslim. Ini adalah cerita bgm Islam berseteru dengan akal manusia setelah wilayah jajahan2nya mengekspose-nya kepada pemikiran Yunani dan bagaimana pemikiran Yunani ini akhirnya kalah dalam sebuah duel yang sangat mematikan.

Tentu tidak semua Muslim otaknya mandeq. Tapi bagian besar dari Islam Sunni mainstream/mayoritas telah menutup pintu kepada realita, khususnya aliran teologi Ash‘arit, yang mendominasi TImur Tengah Arab dan sangat terasa di kawasan2 spt Pakistan, Afghanistan dan sekitarnya.

Ilmuwan Muslim kondang abad 20, Fazlur Rahman, mengatakan, “Bangsa yang menanggalkan filosofi akan meng-ekspos diri pada kelaparan akan ide2 segar—bangsa macam ini melakukan bunuh diri secara intelektual (intellectual suicide).” Dalam pidato September 2006 di Regensburg, Paus Benedict XVI juga mengatakan hal yang mirip. Ia berbicara tentang DE-Hellenisasi atau DE-Yunanisasi—yang berarti hilangnya logika/pemikiran, warisan bangsa Yunani—sebagai salah satu problema utama Barat. Yang tidak diketahui umum adalah bahwa DE-Hellenisasi ini juga mempengaruhi Islam—yang mendenigrasi dan menceraikan akal.

Dehellenisasi Islam ini tidak terlalu diketahui karena dampaknya memang sangat mendalam dan efektif sampai bahkan tidak ada yang menyadari adanya proses hellenisasi dini terhadap Islam—khususnya di abad-abad 9 & 10. Itu merupakan perioda menentukan bagi Islam dan dunia. Spt dikatakan almarhum Raja Hussein dari Yordania dalam wawancara terakhirnya: inilah saatnya, dunia Muslim mengambil jalan ke arah yang SALAH.

Dehellenisasi Islam ini berakar dari ajaran abad 9 bahwa Tuhan sudah mengambil bentuk definitif, walau sebelumnya Islam juga sudah menyandang pemikiran itu. Siapa dan apa Tuhan mengabikatkan ajang diskusi sengit antara dua pihak. Masing2 pihak merasa tahu pasti siapa dan apa Tuhan dengan cara tafsiran masing2 yang saling berbeda dari satu buku, Qur'an. Yang satu meninggikan kemauan dan kekuasaan Tuhan dan yang lain meninggikan keadilan dan rasionalitasNya.

Argumen menjadi semakin hebat dengan adanya perkenalan dengan filosofi Yunani, tentang bagaimana akal/logika bisa dihadapkan pada wahyu Tuhan.
Pertanyaan mereka adalah: sejauh mana urusan akal dengan pertemuan manusia dengan Tuhan? Apa hubungan akal dan wahyu? Apakah akal memiliki cukup kredibilitas untuk menilai wahyu Illahi ? Dan apakah akal bisa mengenal kebenaran?

Muhammad bukan seorang teolog, sehingga tugas untuk mengetahui siapa Tuhan baik secara eksplisit ataupun implisit dari Qur'an dibebankan pada pengikutnya. Mereka harus melakukannya karena harus menyelesaikan berbagai sengketa yang timbul dalam Islam saat Islam dihadapkan pada ide2 dan agama2 dari budaya2 jajahannya.

Setiap agama monotheis menghadapi tantangan2 yang sama dalam bidang teologi, filosofi, metafisik dan epistemologi, seperti yang juga harus dihadapi
Islam. Nah, buku ini mencoba menjelaskan mengapa Islam mandeq dalam mengatasi pemikiran2 yang sudah dilakukan pendahulu2nya.

Dua cara penting yang mengakibatkan mandeqnya otak. Pertama, menolak kemampuan akal untuk mengetahui apapun. Kedua, menganggap realita sbg sulit diketahui. Akal manusia tidak bisa TAHU, malah tidak ada yang perlu diketahui. Kedua pendekatan ini menganggap realita sebagai tidak relevan. Dalam Islam
Sunni, kedua elemen diterapkan pada aliran Ash‘arit. Akibatnya, terjadi diskoneksi fatal antara sang Pencipta dan otak manusia ciptaanNya yang akhirnya menciptakan mandeqnya otak Muslim, yang akhirnya menciptakan ideologi Islamis radikal.

[...]

Islamis radikal ini menganggap pemikiran mereka sebagai Islami. Tapi seberapa Islamikah aliran Islamis ini? Kalau tidak, mengapa Islam begitu rawan atas deformasi macam ini?

[...]

Banyak Muslim sudah mengakui problema ini. Dalam bukunya, “Reinventing the Muslim Mind,” seorang pemikir Islam reformis dari India, Rashid Shaz, megnatakan: “Untuk menciptakan permulaan baru kami harus sebelumnya menerima bahwa pemikiran lama/tradisional tidak akan membawa
kami kemana2. Paling minimum diperlukan sebuah pemikiran baru. Tanpa me-reakitivisasi otak2 kami, kami tidak mampu menyadari seberapa besarnya kegagalan dan kemunduran kita.”


Oleh karena itu, buku ini mencoba mengerti perjalanan yang diambil Islam Sunni yang akhirnya berakhir di jalan mati/mandeq. Mungkin ini satu2nya cara untuk kembali menelusuri jalan itu, mencari jalan yang terbuka.

* Buku ini tidak mencakup Islam Syiah karena berbeda dengan ISlam Sunni dan diperlukan buku lain. Hubungan Islam Syiah dgn filosofi sangat berbeda. Ini bisa dilihat dalam Bab 2.
Last edited by ali5196 on Mon Aug 01, 2011 11:52 pm, edited 7 times in total.
ali5196
Posts: 16757
Joined: Wed Sep 14, 2005 5:15 pm

Post by ali5196 »

Last edited by ali5196 on Tue Aug 02, 2011 12:15 am, edited 4 times in total.
ali5196
Posts: 16757
Joined: Wed Sep 14, 2005 5:15 pm

Post by ali5196 »

Last edited by ali5196 on Mon Aug 29, 2011 5:22 am, edited 5 times in total.
ali5196
Posts: 16757
Joined: Wed Sep 14, 2005 5:15 pm

Post by ali5196 »

OK deh, om ali akan beli bukunya. Tapi jangan harap ane terjemahin semuanya yah? ENAK AJA !!! [-X Ada yg bisa bantu gak?
ali5196
Posts: 16757
Joined: Wed Sep 14, 2005 5:15 pm

Bab 1 : Pembukaan - Islam menemukan pemikiran yunani

Post by ali5196 »

Chapter 1
THE OPENING: ISLAM DISCOVERS HELLENIC THOUGHT

Pembukaan [Pemikiran/Otak Muslim]: Islam Menemukan Pemikiran Yunani

Sebelum membahas ditutupnya otak Muslim, kita harus membahas dibukanya [otak Muslim] terlebih dahulu. Dan kita harus tahu bagian otak Muslim mana sih yang dibuka?

Pembukaan/Meleknya otak Muslim harus memperhitungkan latar belakang Arab pra-Islam yang politeis yang penuh unsur panteisme, animisme, fetisisime dan takhayul. Ka'bah di Mekah mengandung 360 patung dewa dewi dari kawasan disekitarnya. Berdagang dan merampok adalah cara lazim mencari duit dijaman itu. Mereka juga punya aturan seperti ini: tidak boleh berperang selama 'bulan2 haram' alias bulan2 suci. Hubungan antar suku ditentukan oleh hubungan
kekeluargaan atau hubungan darah atau memuja dewa/dewi yang sama. Karena adanya suku2 Yahudi dan Kristen, kawasan Arab ini juga menyerap unsur2 agama2 tsb, tapi pada umumnya Arab adalah bangsa pagan/penyembah berhala.

Tidak ada bukti bahwa fIlosofi pemikiran Yunani telah mempenetrasi jaziran Arabiyah jahilyah ini. Dan setelah munculnya monotheisme ala Islam, kesatuan Islam yang didasarkan atas tauhid, menghentikan cekcok dan perampokan antar suku, karena Islam mengajarkan persamaan derajad antar Muslim. Ingat! Persamaan derajad ANTAR MUSLIM saja. Sesama Muslim tidak boleh saling mendahului dan agama menjadi dasar tali persaudaraan yang sangat kuat. Perampokan tetap berlangsung tetapi tidak lagi antara sesama Muslim. Islam memberikan wahyu Illahi kepada Muslim untuk merampoki sisa dunia dalam skala yang akbar, yi terhadap dunia non-Muslim.

“20. Allah menjanjikan kepada kamu harta rampasan yang banyak yang dapat kamu ambil, maka disegerakan-Nya harta rampasan ini untukmu ... 21. Dan (telah menjanjikan pula kemenangan-kemenangan) yang lain (atas negeri-negeri) yang kamu belum dapat menguasainya yang sungguh Allah telah menentukan-Nya. ” (Qur’an 48:20–21).

Menurut wahyu ini, sudah pantaslah non-Muslim ditundukkan dan dikuasai oleh pengikut Tuhan yang satu ini. Bagaimana menjalankan perampokan ini dan membagi2 hasil perampokan ini adalah bagian penting dari Qur’an (Qur’an 8: Surat al Anfal dan 59:6 Al Hasl/Cara pembagian harta fa-i). Malah, biografi2 pertama Muhammad diberi judul Kitab al-Meghazi, atau Buku tentang PERAMPOKAN/the Book of Raids. :shock: :shock: :shock:

Sukses dini Islam mencaplok wilayah2 lain ternyata luar biasa dan nampak mengkonfirmasi claim Qur’an. Di thn 650M, Muslim menguasai seluruh jazirah Arab, Iraq, Syria, Lebanon, Palestina, dan Mesir. Caplok sana, caplok sini .. dan pada akhirnya, kurang dari 100 thn kemudian, Islam menyebar dari pinggir Cina dan India di Timur ke Afrika Utara dan Spanyol di Barat. Islam yang menganggap diri lebih superior dari agama2 yang datang sebelumnya (9:33) dan bahwa segala sesuatu diluarnya perlu dicurigai, kini dihadapkan pada budaya2 mapan dan beradab tinggi. Qur’an dianggap sbg mengandung segala sesuatu dan apapun diluar Qur’an sudah pasti berlebihan atau menentangnya. Sejarawan abad 14, Ibn Khaldun, menulis bahwa ketika Muslim menyerang Persia, Jendral Sa’d bin Abi Waqqas meminta ijin kepada Kalif Umar untuk membagi2kan barang jarahan/rampasan dalam bentuk buku berharga dan dokumen sains dalam kuantitas melimpah. Kalif Umar menulis: “Lempar semuanya kedalam air. Kalau mereka mengandung petunjuk benar, Allah sudah memberikan kami petunjuk yang lebih baik. Kalau mereka mengandung kesalahan, Allah sudah melindungi kami darinya.” :shock:

Dalam kawasan jajahan Sassanid dan Byzantin, Islam dihadapkan kepada peradaban yang paling tinggi dari peradaban manapun ketika itu. Ketika ibukota kerajaan Islam pindah dari Medinah yang kumuh ke Damaskus yagn metropolitan, penguasa Muslim dinasti Umayyad (660–750) merasa kepayahan dikelilingi oleh budaya asing dan mentereng macam ini. Bagaimana Islam harus bersikap sebagai penguasa? Seberapa banyak yang perlu mereka serap dan mana yang perlu ditolak? Apa sikap terhadap kepercayaan dan ajaran bangsa yang mereka jajah?


Pertemuan Pertama

Islam berhadapan pada pemikiran Yunani dalam jajahan barunya di Bizantin dan Sassanid. Persisnya bgm pengaruh Yunani ini masuk kedalam Islam menjadi topik perdebatan tapi yang pasti kawasan besar kerajaan Bizantin adalah Kristen sudah mengandung unsur2 filosofi Yunani. Juga ada pusat2 studi Yunani di Alexandria/Mesir (yang pindah ke Antioch, Syria, sekitar 718M) dan Gondeshakpur, sebelah baratdaya Basra, Iraq. Gondeshakpur dikuasai Sassanid, yang mempekerjakan guru2 Kristen (Nestorian). “The intellectual sciences” disana mencakup logika dan filosofi dan sains alam, medis, engineering dan matematika. Sejumlah besar tulisan Yunani dibidang filosofi dan sains sudah diterjemahkan kedalam bahasa Syriac oleh akademisi Kristen. Karena subyek2 ini tidak dikenal oleh budaya Arab, mereka menyebutnya sebagai “sains mubazir/intruding sciences.” Interes Muslim dalam sains Yunani hanya mencakup hal2 praktis spt medisin, matematika, alam, alkemi dan astrologi.

... diterusin oleh lara dibawah . Tanx lara :supz:
Last edited by ali5196 on Mon Aug 01, 2011 12:12 am, edited 6 times in total.
User avatar
AIR
Posts: 774
Joined: Sat Jan 23, 2010 9:57 pm
Location: Indonesia Faith Freedom
Contact:

Re: The Closing of the Muslim Mind

Post by AIR »

Nandai thread dulu. Keren bukunya...!



AIR
lara
Posts: 46
Joined: Fri Jun 03, 2011 11:07 am

Post by lara »

Pertemuan Pertama

Islam berhadapan pada pemikiran Yuinani dalam jajahan barunya di Bizantin dan Sassanid. Persisnya bgm pengaruh Yunani ini masuk kedalam Islam menjadi topik perdebatan tapi yang pasti kawasan besar kerajaan Bizantin adalah Kristen yang mengandung unsur2 filosofi Yunani. Juga ada pusat2 studi Yunani di Alexandria/Mesir (yang pindah ke Antioch, Syria, sekitar 718M) dan Gondeshakpur, sebelah baratdaya Basra, Iraq. Gondeshakpur dikuasai Sassanid, yang mempekerjakan guru2 Kristen (Nestorian). “The intellectual sciences” disana mencakup logika dan filosofi dan sains alam, medis, engineering dan matematika. Sejumlah besar tulisan Yunani dibidang filosofi dan sains sudah diterjemahkan kedalam bahasa Syriac oleh akademisi Kristen. Karena subyek2 ini tidak dikenal oleh budaya Arab, mereka menyebutnya sebagai “sains mubazir/intruding sciences.” Interes Muslim dalam sains Yunani hanya mencakup hal2 praktis spt medisin, matematika, alam, alkemi dan astrologi.
Bang ali5196 saya lanjutkan sedikit ya. Maaf kalau ada yang salah


Banyak kaum terdidik dalam bidang ilmu-ilmu di atas juga mempelajari filsafat dan teologi, sehingga minat muslim meluas ke ranah filsafat dan teologi pula. Muslim merasa perlu membela diri terhadap Kristen dan siapapun yang menggunakan metode filosofis dalam apologetika (yi dlm membela agama mereka). Para mualaf yang berada di ranah ini sudah piawai dalam ajaran Yunani dan siap untuk menyebarluaskannya atas nama kepercayaan baru mereka. Dengan demikian, di akhir abad ke-8 dan awal abad ke-9, wacana baru mulai mempengaruhi pemikiran Islam yang sejauh itu cuma mencakup doktrin dan yurisprudensi. Istilah-istilah baru dalam bahasa Arab diciptakan untuk menjelaskan konsep-konsep Yunani. Filsafat dalam bentuk pengkajian bebas dan pemikiran spekulatif membuka pikiran muslim dengan cara yang belum pernah terjadi sebelumnya. Pada titik inilah terjadi drama intelektual terbesar dalam Islam. :prayer:

Setelah Islam berhadapan dengan konsep2 Yunani, isu paling menantang yang dihadapi adalah masalah status keberadaan akal (the status of reason). Apa kemampuan akal memahami kenyataan? Dapatkah Tuhan dikenal secara rasional? Bagaimana posisi akal dihadapkan dengan klaim wahyu yang dikandung Qur’an? Apakah akal mendahului iman? Apakah wahyu masuk akal? Dapatkah akal memahami prinsip moral diluar Qur’an? Bagaimana jika ada yang tidak masul akal di Qur’an? Apakah sah untuk mengajukan pertanyaan2 ini? Apakah Islam kompatibel dengan hal lain di luar Islam? Apakah mampu mengasimilasi filsafat? Jika ya, atas dasar apa?

Terjadi perdebatan sengit terkait jawaban atas pertanyaan-pertanyaan ini, terutama di bawah pemerintahan khalifah Abbasid di abad ke-9 dan ke-10. Yang dipertaruhkan adalah kehendak bebas manusia, kemampuannya untuk mengetahui melalui akal, serta antara realitas dan keTuhanan. Hasilnya, pihak yang menang secara bertahap menghancurkan filsafat Yunani hingga ke akarnya dan memberangus kebebasan berpikir dalam dunia muslim (terjadilah de-hellenisasi). Bukannya tidak ada perlawanan dari para pemikir muslim. Dengan berbagai cara pertentangan tersebut masih berlangsung hingga kini.

Pertentangan Pertama: Qadar (Kehendak bebas) vs Jabr (Takdir/Paksaan)

Pihak yang paling mudah dikenali dalam debat ini adalah kaum Mu’tazila, yang terdiri dari para teolog rasionalis Muslim yang mengedepankan akal. Keberadaan mereka di akhir abad ke-8 dan awal abad ke-9 harus dilihat dalam konteks perselisihan sebelumnya dalam Islam mengenai predestinasi (takdir Ilahi) dan kehendak bebas. Masalah ini adalah sumber perdebatan teologis paling awal dalam Islam. [...]

Mu’tazilla sebelumnya disebut kaum Qadarite atau Qadariya, dari kata Arab qadar, yang berarti takdir ilahi atau predestinasi atau kewenangan. Mereka menentang teori predestinasi, dengan menawarkan teori bahwa manusia memiliki kehendak bebas manusia serta tanggung jawab yang timbul akibat perbuatannya. Manusia punya wewenang (qadar) atas tindakannya. Jika manusia tidak mampu mengendalikan perilakunya, kewajiban moral untuk melakukan yang baik dan menghindari yang jahat sebagaimana yang diperintahkan Qur’an menjadi tak berarti. Begitu bunyi teori mereka.

Berlawanan dengan pandangan ini, kaum Jabariyya (kaum determinist; dari kata jabr, yang berarti kewajiban tanpa syarat/keharusan buta) menganut doktrin bahwa demi kemahakuasaan ilahinya, Tuhan perlu kontrol absolut atas tindakan manusia. Salah satu nama Tuhan dalam Qur’an adalah al-Jabbar, Maha Pemaksa (59:23), yang kekuasaannya tak boleh ditentang. Tuhan sendirilah yang menentukan setiap perilaku manusia. Menentang berarti mengikat tangan Tuhan dan membatasi kebebasan absolutnya. Salah satu eksponen pandangan ini, Jahm bin Safwan (d. 745), berpendapat tindakan manusia dihubungkan pada manusia itu sendiri dengan cara yang sama seperti proses “tumbuhnya buah pada pohon, alunan arus pada sungai, gerakan pada batu, terbit atau terbenamnya matahari—mekar dan tumbuh pada bumi.” Seperti yang disimpulkan Fazlur Rahman, “Di mata ortodoks, kebebasan manusia adalah perbudakan bagi Tuhan.”

Repotnya, Qur’an mendukung kedua posisi.

[Lihat: Dualisme dalam Islam http://indonesia.faithfreedom.org/forum ... an-t13476/?
DUALISME adalah fondasi dan kunci utk mengerti Islam. Islam selalu mengandung dua arti ...]

Masing-masing pihak yang berselisih dapat mengutip ayat sesuai pandangan mereka. Menurut sejarawan Islam kondang dari Inggris, Alfred Guillaume; bagaimanapun juga, argumen kaum Jabariyya lebih kuat , terutama bila mempertimbangkan Hadis. Guillaume menyatakan bahwa “pihak orthodox mendapati Qur’an memihak mereka tentang predestinasi Allah yang mutlak. Pandangan ini ditegaskan oleh bab-bab mengenai predestinasi dalam buku-buku tradisi kanonik yang tak satupun berisikan perkataan Muhammad yang memberikan kemerdekaan bertindak bagi manusia. Segala sesuatu sudah ditentukan sebelumnya dan takdir manusia telah ditetapkan sebelum ia lahir.”7

Berikut beberapa contoh hadisnya:

Hudhayfa bin Asid melaporkan bahwa Nabi berkata, "Dua malaikat mengunjungi setiap janin dalam rahim berusia empat puluh atau empat puluh lima malam dan mengatakan, 'Ya Tuhan! Apakah (janin ini akan mengikuti jalan) sesat atau benar? "Lalu mereka menulis [jawabannya]. Kemudian mereka bertanya, 'Ya Tuhan! Apakah laki-laki atau perempuan? "Kemudian mereka menulis [jawabannya]. Mereka juga menulis perbuatan, kekayaan serta kehidupan dan kematiannya. Kemudian mereka menutup perkamen sehingga tak ada yang ditambah atau dikurangi sesudahnya.” (8 Hadis Muslim, Kitab al Qadar 1848)

Abu Huraira melaporkan Muhammad mengatakan: "Sesungguhnya Allah telah menetapkan bagian perzinahan dimana manusia melakukan untuk kesenangan semata dan yang terpaksa melakukannya."9

Sebuah Hadis yang ditemukan baik di hadis Muslim maupun Bukhari (dua sumber hadist paling terpercaya) menyatakan bahwa Musa, saat bertemu Adam, bertanya kepadanya: "Engkaukah Adam, bapak umat manusia, yang Ia ciptakan dengan tangan-Nya sendiri. . . Mengapa engkau membuat kami dan engkau sendiri diusir dari surga? " Jawab Adam," Engkaukah Musa yang dipilih Tuhan jadi utusannya, orang yang ditinggikan Tuhan dengan cara berbicara langsung kepadanya dan menulis Taurat baginya dengan tangan-Nya sendiri? Sepengetahuanmu, berapa lamakah sebelum saya diciptakan ada ketetapan: "Adam mendurhakai perintahNya dan sesat (Quran 20:121)? “ Musa kemudian menjawab: "[Ketetapan] ini sudah ada jauh sebelum [penciptaanmu]"10 Demikianlah balas Adam pada Musa.

Ayat Qur’an yang mendukung orientasi ini mengatakan: "Jadi siapapun yang Allah kehendaki untuk diberi petunjuk --Dia melapangkan dadanya untuk [menerima] Islam, dan siapa saja yang Dia kehendaki kesesatannya -- Dia membuat dadanya sesak dan sempit seolah-olah dia sedang mendaki ke langit "(6:125). Dan " Maka (yang sebenarnya) bukan kamu yang membunuh mereka, akan tetapi Allahlah yang membunuh mereka, dan bukan kamu yang melempar ketika kamu melempar, tetapi Allah-lah yang melempar." (8:17).

Counter balik terhadap ini adalah kutipan lain dari Qur’an yang menguatkan posisi kaum Mu'tazila/Qadariya dan memperjelas bahwa manusia dapat memilih secara bebas dan akan mempertanggung-jawabkannya pada hari penghakiman. Misalnya, Qadariya mengutip: "Barangsiapa mengerjakan perbuatan jahat, maka dia tidak akan dibalas melainkan sebanding dengan kejahatan itu. Dan barangsiapa mengerjakan amal yang saleh baik laki-laki maupun perempuan sedang ia dalam keadaan beriman, maka mereka akan masuk surga, mereka diberi rezki di dalamnya tanpa hisab.” (40:40). Atau, “Dan katakanlah: Kebenaran itu datangnya dari Tuhanmu; maka barangsiapa yang ingin (beriman) hendaklah ia beriman, dan barangsiapa yang ingin (kafir) biarlah ia kafir". 18:29). Atau, “Dan tidaklah seorang membuat dosa melainkan kemudharatannya kembali kepada dirinya sendiri.” (6:164). Juga: “Dan Allah menciptakan langit dan bumi dengan tujuan yang benar dan agar dibalasi tiap-tiap diri terhadap apa yang dikerjakannya, dan mereka tidak akan dirugikan” (45:22). Ada banyak ayat-ayat seperti itu yang merujuk pada wewenang manusia dan pertanggungjawaban atas perbuatannya.

Paradoks yang tercipta oleh dua posisi berbeda ini terkandung dalam kutipan Al-Qur'an yang sama: “Dan kalau Allah menghendaki, niscaya Dia menjadikan kamu satu umat (saja), tetapi Allah menyesatkan siapa yang dikehendaki-Nya dan memberi petunjuk kepada siapa yang dikehendaki-Nya. Dan sesungguhnya kamu akan ditanya tentang apa yang telah kamu kerjakan.” (16:93).

Ambiguitas Al-Qur'an memberi ruang bagi perselisihan ini, ruang bagi manuver politis dan keuntungannya. Sudut pandang Qadariya maupun Jabariyya memiliki implikasi politik yang mendalam. Para kalif dinasti Umayyah yang berkuasa di Damaskus mengimani doktrin Jabariyya karena hal tersebut membebaskan mereka dari tanggung jawab atas perbuatan buruk mereka. Bagaimana mereka bisa disalahkan atas perbuatan kejam yang sudah ditakdirkan sebelumnya? Contoh, diluar masalah kesalehan, rakyat harus menerima, setidaknya mengabaikan tindakan buruk mereka (termasuk serangan atas Ka’bah). Dalam rangka mengamankan kekuasaannya, kalif Umayyah, ‘Abd al-Malik mengundang salah satu lawannya, ‘Amr ibn Sa’id, ke istana dengan alasan palsu, memenggal kepalanya dan kemudian melempar kepalanya ke kerumunan pendukungnya sambil mengumumkan bahwa “Amirul Mukminin telah membunuh pemimpinmu berdasarkan takdir yang sudah ditetapkan Allah.”11 Orang-orang yang tadinya pendukung Ibn Sa’idpun lantas memberikan penghormatan mereka pada sang kalif.

Tak semua berdiam diri terhadap penafsiran ini. Hassan al-Basri (d.728) ditanya pendapatnya mengenai “para raja [kalif dinasti Umayyah] yang menumpahkan darah umat Islam, mengambil hartanya, dan mengumbar keinginan serta berkata, ‘Tindakan kami sesungguhnya bagian dari ketetapan Allah.’” Al-Basri, guru Wasil ibn ‘Ata (d.748) pelopor paham Mu’tazila, menjawab: “Musuh Tuhan berdusta.”12 Allah, katanya mengutip Qur’an “tak terkait ketidakadilan abdiNya.” Allah bukan sumber kejahatan; tapi manusia itu sendiri – dalam perbuatan jahat mereka. Pendapat teologis ini dianggap sebagai serangan politis. Dua teolog Qadariya, Ma’bad al-Juhani (d.699) dan Ghailan al-Dimashqi (d. before 743), dihukum mati dinasti Umayyah karena membela kehendak bebas yang dianggap subversif dan diangap sbg serangan langsung pada dinasti Umayyah yang merasionalisasikan kekejaman mereka secara teologis.

Tahun 750, dinasti Abbasiyah menggulingkan dinasti Umayyah beserta doktrin predestinasi mereka. Abbasiyah punya alasan merangkul kaum Mu’tazila, yang menggeser posisi kaum Qadariyya. Mu’tazilla sepakat dengan Qadariyya bahwa tanpa kebebasan, keadilan Tuhan takkan dapat dipahami. Agar dapat mempertanggungjawabkan perbuatannya, manusia harus bebas. Implikasi politis kesepakatan ini disukai Abbasiyah dalam upayanya mengendalikan kekuatan para ulama yang memiliki pengaruh besar karena memonopoli tafsir Qur’an. Saat memangku tahta, al-Ma’mun memakai gelar imam, dan memilih seorang Syi'ah sebagai penggantinya. Tindakan ini jelas menyiratkan klaim bahwa ia juga memiliki otoritas untuk menafsirkan kitab suci Islam, bahkan boleh jadi mengoreksinya. Di sisi lain, ajaran Mu’tazilla mengatakan bahwa kebebasan manusia juga berarti kebebasan untuk menafsirkan teks-teks suci turut memperkuat klaim ini.

Kebebasan untuk menafsirkan wahyu berdasarkan ajaran Mu'tazilah, mengejutkan kaum tradisionalis, yakni bahwa pembuatan Qur’an masih dalam proses. Kepercayaan standar kaum ortodoks adalah Qur’an tidak dibuat dan keberadaannya abadi bersama Allah. Jika Qur’an dibuat, tentunya Qur'anpun harus tunduk pada kriteria rasional. Dengan tunduk pada kriteria rasional, Qur'an bukan lagi domain ekslusif para ulama. Qur’an yang abadi takkan memberi tempat untuk kebebasan interpretasi seperti ini. Khalifah al-Ma’mun tahu bahwa ajaran Qur’an yang dibuat dan kehendak bebas manusia akan memperkuat kekuasaannya dan memperlemah posisi ulama tradisional. Sebab itu ia mendukung kaum Mu’tazilla. Ia juga sepenuhnya menganut pandangan mereka karena terpesona oleh filsafat (Yunani).


Pertentangan Kedua: 'Aql (Akal) versus Naql (Iman)

....besok lagi....
User avatar
kalangkilang
Posts: 2696
Joined: Sun Sep 26, 2010 12:52 am
Location: lagi menulis dibuku
Contact:

Re: The Closing of the Muslim Mind

Post by kalangkilang »

nandain topik..
thanks to bang ali9156,,dan mba lara, atas terjemahan bukunya.

@mba lara..
sering-sering dong mengunjungi ffi, saya salah satu fans anda lho... :green:
saya selalu menunggu post-post dari anda. :green:

salam
KK
lara
Posts: 46
Joined: Fri Jun 03, 2011 11:07 am

Post by lara »

Pertentangan Kedua: 'Aql (Akal) versus Naql (Iman)

Kaum Mu’tazilla, peletak dasar ajaran teologi Islam pertama menekankan peran utama akal, kemampuan akal memahami moralitas, memahami kebaikan dan keadilan Tuhan, keesaan Tuhan, dan perlunya kehendak bebas manusia. Menggunakan konsep dan logika filsafat Yunani dalam menjawab pertanyaan-pertanyaan teologis, mereka mewakili awal kebangkitan pemikiran Islam (hellenization). Mereka adalah teolog rasionalis. Disiplin ilmunya disebut kalam, praktisinya disebut mutakallimun (walau kadang istilah ini digunakan untuk menunjukkan lawan kaum Mu’tazilla). Mereka menggunakan dalil pemahaman Socrates dan Aristoteles paling dasar, yi bahwa akal dapat mengetahui –- beda dengan memiliki opini – bahwa realitas objektif itu ada, ada maksud tersirat dalam penciptaan, dan bahwa maksud tersirat tersebut berhubungan dengan yang disebut “kebaikan”, dan jiwa manusia terpanggil pada “kebaikan” yang bersifat universal ini.

Dalam perdebatan teologis Islam, akurasi pemikiran pihak yang kalah sulit dipastikan karena buku-buku mereka biasanya dibakar. Data yang ada hanyalah dari sisi pemenang yang mengutip pendapat lawan sekedar menunjukkan counter balik mereka. Tapi, awal 1950-an, ilmuwan Mesir menemukan sejumlah besar teks karya teolog besar Mu’tazilla, Abd al-Jabbar (c.935-1025), di sebuah mesjid Yaman. Sumber terpercaya untuk lebih mengetahui inti ajaran Mu’tazilla: “Abd al-Jabbar’s Book of the Five Fundamentals.”

Anggota Mu’tazilla terikat pada 5 prinsip utama yang dikemukakan pertama kali oleh Abu al-Hudhayl (w.849), perumus ajaran Mu’tazilla di Basra, Iraq :
(1) tauhid, keesaan Tuhan,
(2) keadilan ilahi,
(3) janji dan ancaman,
(4) posisi tengah, dan
(5) perintah kebaikan dan larangan kejahatan
.

Tiga prinsip pertama paling relevan untuk menunjukkan peran akal dalam memahami keTuhanan. Tiga prinsip tersebut dipahami dengan sangat berbeda oleh kaum tradisionalis yang disebut ahlul sunnah. Masyarakat pemegang tradisi ini merupakan oposisi garis keras yang berasal dari ajaran teologi kaum Ash’arit, yang juga menggunakan teologi Yunani untuk menghancurkan Mu’tazilla.

Konsep tauhid, menurut Mu’tazilla berhadapan dengan berbagai atribut beserta statusnya yang dikenakan pada Allah oleh kaum tradisionalis. Menurut Mu’tazilla hal tersebut melanggar prinsip ke-esaan Tuhan. Begitu pula kekukuhan kaum tradisionalis akan keabadian Qur’an, yang membuat Qur’an setara dengan Allah.

Konsep keadilan ilahi, langsung dengan telak mempertanyakan keberadaan Tuhan dan hubungannya dengan manusia. Sifat dan tatanan penciptan berdasarkan akal. Mu’tazilla berpendapat kebebasan manusia, seperti kemampuan akal memahami perintah moral, merupakan bentuk keadilan Tuhan. “Janji dan ancaman” merupakan dampak keadilan ilahi. Tuhan perlu memenuhi janjinya untuk membalas kebaikan dan menghukum kejahatan. Kewajiban yang dianggap kaum tradisionalis sebagai pelanggaran kebebasan dan kemahakuasaan Tuhan


Keutamaan Akal

Berbeda dengan lawannya, Mu’tazilla mengajarkan bahwa manusia dianugerahi akal agar mengenali penciptanya serta perintah moral dalam penciptaan; itulah guna akal. Pusat hubungan manusia dengan Tuhan. Dalam ‘Fundamental’ Abd al-Jabbar menjabarkan fungsi utama akal: “Bila ditanya: Apa tugas utamamu? Jawabnya: Penalaran spekulatif mengarah ke pengetahuan akan Tuhan, karena Ia tak diketahui secara intuisi maupun indrawi. Jadi, Ia harus dikenal secara refleksi dan spekulasi.”

Secara logis akal mendahului wahyu, karena akal diperlukan untuk menetapkan keberadaan Tuhan sebelum maju ke pertanyaan apakah Tuhan telah berbicara pada manusia. Al-Jabbar berkata, “Wahyu tentang apa yang harus dikatakan dan dilakukan tak berguna sampai ada pengetahuan tentang Tuhan. Sebab itu saya berkewajiban membuktikan keberadaanNya, mengenalNya sehingga saya dapat menyembahNya, berterimakasih dan mematuhi perintahNya serta menjauhi laranganNya.”

Bagaimana nalar manusia mengarah pada kesimpulan tentang keberadaan Tuhan? Melalui pengamatan alam semesta, kata ‘Abd al-Jabbar. Karena tak satupun di dunia terjadi dengan sendirinya, tapi ada penyebabnya, manusia sampai pada sifat saling ketergantungan semesta. Disinilah perlunya Sang Pencipta, penyebab awal segala sesuatu (causa prima), bila tidak, manusia akan terperangkap dalam kemunduran tanpa batas. Suatu ketidakmungkinan logis (argumen umum di kalangan filosof Yunani dan apologetic Kristen.) Alam semesta yang bergerak berdasarkan hukum tertentu menuntun manusia untuk mengenal Tuhan. Hukum Tuhan adalah hukum alam, diwujudkan Islam dalam hukum ilahi, syariah.

Konsep sifat alami benda berarti bahwa Tuhan sebagai penyebab utama bertindak secara tidak langsung lewat penyebab sekunder seperti hukum gravitasi. Batu jatuh, bukan karena Tuhan, tapi karena gravitasi. Setiap ciptaan diberikan otonomi sesuai fungsi penciptaannya. Penulis dan teolog Mu’tazilla ‘Uthman al-Jahiz (776-869) menyatakan bahwa setiap elemen materi ciptaan Tuhan memiliki sifat alami yang konsisten. Batu yang tak disangga akan selalu jatuh karena gravitasi. Ini hukum alam, bukan bentuk pemaksaan dari Pimpinan Tertinggi (Tuhan), tapi perwujudan mendasar, intisari keberadaan setiap benda yang memiliki integritas mereka sendiri. Ciptaan adalah bentuk rasionalitas hakiki Sang Pencipta Itulah sebabnya mengapa dan bagaimana manusia mampu memahami kehendak Tuhan, yakni melalui ciptaanNya. (Di luar masalah mukjizat Tuhan).

Mu’tazilah mengutip berbagai ayat Qur’an untuk mendukung teori mereka. Misal, Surah 16, An Nahl (Lebah) pada ayat-ayat tentang keajaiban alam seringkali diakhiri dengan, “Sesungguhnya pada semua itu terdapat tanda-tanda bagi orang yang berpikir,” atau “Sesungguhnya pada semua itu terdapat tanda-tanda bagi orang yang berakal,” Surah lain: “Maka apakah mereka tidak memperhatikan unta bagaimana dia diciptakan? Dan langit, bagaimana ia ditinggikan? Dan gunung-gunung bagaimana ia ditegakkan? Dan bumi bagaimana ia dihamparkan?” (88:17-20)? Juga: “Dan Dialah yang menghidupkan dan mematikan, dan Dialah yang (mengatur) pertukaran malam dan siang. Maka apakah kamu tidak memahaminya?” (23:80). Terakhir, yang mungkin paling terkenal, surah 2, Al Baqarah (Sapi betina), ayat 164: “Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, silih bergantinya malam dan siang, bahtera yang berlayar di laut membawa apa yang berguna bagi manusia, dan apa yang Allah turunkan dari langit berupa air, lalu dengan air itu Dia hidupkan bumi sesudah mati (kering)-nya dan Dia sebarkan di bumi itu segala jenis hewan, dan pengisaran angin dan awan yang dikendalikan antara langit dan bumi; sungguh (terdapat) tanda-tanda (keesaan dan kebesaran Allah) bagi kaum yang menggunakan akal.”


Akal dan Refleksi

Akal jugalah yang membuka kemungkinan adanya wahyu. Dengan akal dapat dipahami pentingnya wahyu agar dengan keadilanNya Tuhan dapat membimbing manusia dengan benar. Mu’tazilla merujuk pada Qur’an: “Dan hak bagi Allah (menerangkan) jalan yang lurus, dan di antara jalan-jalan ada yang bengkok. Dan jikalau Dia menghendaki, tentulah Dia memimpin kamu semuanya (kepada jalan yang benar).”(16:9)

Setelah tahu Tuhan itu ada, timbul pertanyaan benarkah Tuhan telah berbicara pada manusia? Apa benar wahyu itu ada? Bagaimana kita yakin kebenarannya? Disini, Abd al-Jabbar melangkah lebih jauh dengan menyatakan akal yang membuktikan kebenaran wahyu. Menurutnya, “pengetahuan akan Tuhan didapat dengan cara berspekulasi dengan argument rasional: pertama kita yakin Tuhan itu dapat dipercaya, dengan demikian kita juga percaya pada kebenaran kitabNya, Sunnah dan konsensus bersama.” Jadi karena Tuhan dapat dijelaskan akal, akal berasal dari Dia, sehingga wahyuNya di Qur’an dapat diterima manusia sesuai pengetahuan yang diperoleh manusia melalui ciptaanNya.

Wahyu hanyalah pernyataan Tuhan, tidak membuat sesuatu jadi baik atau buruk. Tuhan melarang pembunuhan karena itu jahat, bukan pembunuhan itu jahat karena dilarang Tuhan. Kalaupun akal tak mampu menjelaskan wahyu, tak ada yang dapat dilakukan akal selain menyetujuinya. ‘Abd al-Jabbar menyatakan:

Wahyu hanya menyatakan ciri-ciri perbuatan baik dan jahat yang dapat dipahami akal; jadi bila kita tahu sembahyang itu berguna, kita terpanggil untuk melaksanakannya karena ada pahala, dengan demikian kita juga pasti tahu ciri-ciri keharusannya berdasarkan akal. Itulah sebabnya dikatakan wahyu, seperti halnya akal, tidak berurusan dengan kebaikan atau kejahatan, tapi hanya mengindikasikan ciri-ciri perbuatannya serta membedakan antara perintah yang Maha Tinggi dengan keberadaan sesuatu berkat kebijaksanaanNya.

Logis apabila kemudian Mu’tazilla berpendapat Qur’an boleh diinterpretasikan secara rasional, karena Qur’an sendiri mengandung ayat-ayat yang “ambigu” dan yang “samar-samar” (3:7): “Dia-lah yang menurunkan Al Kitab (Al Qur'an) kepada kamu. Di antara (isi) nya ada ayat-ayat yang muhkamaat, itulah pokok-pokok isi Al qur'an dan yang lain (ayat-ayat) mutasyaabihaat. Adapun orang-orang yang dalam hatinya condong kepada kesesatan, maka mereka mengikuti sebahagian ayat-ayat yang mutasyaabihaat daripadanya untuk menimbulkan fitnah untuk mencari-cari ta'wilnya, padahal tidak ada yang mengetahui ta'wilnya melainkan Allah. Dan orang-orang yang mendalam ilmunya berkata: "Kami beriman kepada ayat-ayat yang mutasyaabihaat, semuanya itu dari sisi Tuhan kami." Dan tidak dapat mengambil pelajaran (daripadanya) melainkan orang-orang yang berakal.” Jadi bagaimana bisa dimengerti tanpa interpretasi? Menurut Abd al-Jabbar, kebenaran wahyu tak boleh bertentangan dengan kebenaran akal. Seperti yang kemudian dikatakan filosof Averroes (1126-1198), “Kebenaran akal budi (filsafat) dan kebenaran wahyu Allah dalam Qur’an tidak akan saling bertentangan, tapi saling mendukung.” Sebab itu, kata al Jabbar, “Adalah kewajiban manusia untuk melakukan sesuatu seturut akal…..memutuskan yang sesuai akal sebagai kebenaran dan yang bertentangan dibuat selaras dengan akal dengan cara menginterpretasikannya secara metafora.” Dengan cara ini, Mu’tazila menjelaskan ayat-ayat Qur’an yang bersifat anthropomorphis (representasi Tuhan dalam bentuk tubuh manusia) seperti “tangan” (38:75), “mata” (54:14), dan “wajah” (55:27). Kaum tradisionalis yang menganggap Tuhan itu roh, terjebak dalam kebingungan dengan cara mereka membaca ayat-ayat secara literal. Mereka balik menyerang interpretasi Mu’tazilla akan text dalam ayat 75:23 bahwa manusia di surga benar-benar “melihat” Tuhan.

Bagi kaum tradisionalis, ketidakkonsistenan Qur’an harus diterima tanpa bertanya. Malik Ibn Anas (715-795), pendiri salah satu ajaran Fiqh Islam, menjelaskan anthropomorphis pada ayat, “Dia duduk di atas 'Arsy.” (7:54 ; 20:5)sbb: “ Kejadiannya diketahui, caranya tidak. Percaya itu keharusan, mengajukan pertanyaan mengenai hal tersebut bid’ah.” Ini adalah formula klasik kaum Hanballite-Ash’arit: bila kayfa wala tashbih (tanpa mempertanyakan ataupun membandingkan.)

Sebaliknya, kaum Mu’tazilla menganggap keselarasan antara akal manusia, tatanan semesta dan wahyu ilahi harus ada, karena Tuhan bukan hanya kekuasaan, Ia juga akal. Akal manusia adalah “anugrah” Tuhan, kata Abd al-Jabbar. Pandangan ini sesuai dalil Thomas Aquinas bahwa manusia dapat memahami segala sesuatu dengan akalbudinya karena manusia adalah pikiran pertama Tuhan. Kecerdasan Tuhan penyebab kecerdasan ciptaanNya. Dianut pula oleh Averroes, “Jika kita memiliki pemahaman tentang berbagai kemungkinan, pasti ada suatu kondisi yang memungkinkan pemahaman tersebut. Inilah yang disebut para filsuf ‘alam’. Demikian pula pengetahuan akan Tuhan melalui eksistensi walau (pengetahuan Tuhan) penyebab semuanya. Disinilah perlunya eksistensi hadir bersamaan dengan pengetahuanNya. Mu’tazilla yakin bahwa Tuhan dipandu rasionalitas alam semesta ciptaanNya. Pandangan kosmologi mereka bersandar pada trinitas Tuhan sebagai akal, ciptaan sebagai manifestasi akal, dan akal manusia sebagai alat untuk memahami Tuhan melalui ciptaanNya, kemudian wahyuNya.

Menurut Richard Martin dalam buku “Defenders of Reason in Islam,” kaum Mu’tazilla “meyakini sifat realitas fisik yang rasional dan dapat dipahami berdasar theodicy: Tuhan takkan menipu ciptaanNya dengan menciptakan dunia yang irrasional.” Dengan kata lain, tindakan irrasional bertentangan dengan sifat Tuhan.


Image
(Sewaktu Benedict XVI --foto atas--mengutip pernyataan kaisar Bizantium, Manuel II Paleologus dari Persia abad ke-14, muslim protes keras –- tak menyadari kalau ini dulunya pendapat teologis yang dihormati dalam Islam.) #-o

Gara2 pernyataan Paus, Muslim huru hara di:
Image
Turki
Image
Pakistan
Image
Mesir
http://news.bbc.co.uk/2/hi/5349604.stm

Image
Somalia: suster Leonella, 70 thn, ditembak 3 kali karena Muslim Somalia gemes dgn Paus
http://indonesia.faithfreedom.org/forum ... xvi-t5530/
http://indonesia.faithfreedom.org/forum ... aya-t5634/

Jika Tuhan itu akal, pastilah ada standar rasionalitas. Mu’tazilla percaya Tuhan bertindak dengan tujuan yang jelas dan kasih. Tentu ada misteri ilahi di luar pemahaman manusia, tapi Tuhan takkan bertentangan dengan wahyunya sendiri memaksa manusia mengingkari keberadaannya. WahnyuNya bukan untuk menggantikan akal manusia. Bagi Mu’tazilla, iman membutuhkan pembenaran intelektual; seperti yang dikatakan Ignaz Goldziher, penulis ‘Introduction to Islamic Theology and Law’ : “takkan ada keyakinan tanpa penalaran.”

Father James Schall menunjukkan makna penting pandangan ini:
Makhluk rasional hanya bisa "berpartisipasi" dalam hukum abadi Tuhan jika hukum tersebut berdasar Logos (akal). Bila hanya didasarkan pada kehendak Tuhan, sebagaimana berbagai teologi dan filsafat coba pertahankan, takkan ada “partisipasi” sesungguhnya manusia dalam hukum abadi tersebut. Mengapa? Karena partisipasi hanya bisa didasarkan atas kemauan yang didasarkan atas pemikiran.
JADI dari tulisan al-Jabbar ini jelaslah bahwa kaum Mu'tazilah melihat manusia sebagai partisipan penuh dalam hukum abadi, yang jelas bertentangan dengan pemikiran kaum tradisional.

LANJUT: The Objectivity of Morality: Knowing The Good

...
ali5196
Posts: 16757
Joined: Wed Sep 14, 2005 5:15 pm

Post by ali5196 »

HOREEEEE!! Tankyu dulilah buat kasih ane calibre. Kini om bisa copas buku itu. Allah emang baik yah! =D> =D> =D>
lara .. aduh tank you berat yah nakkkkk ... bantuan nak ini sangat berarti buat om.
:prayer:
lara
Posts: 46
Joined: Fri Jun 03, 2011 11:07 am

Re: The Closing of the Muslim Mind

Post by lara »

Kewajiban Moral: Mengenali Kebaikan

Partisipasi manusia dalam hukum abadi berarti bahwa, di luar wahyu, manusia punya kemampuan moral untuk memutuskan apa yang baik dan jahat, adil atau tidak. Akal dapat membedakannya karena ada standar objektif karakter moral yang bersifat hakiki. Al-Shahrastani, dari kaum Ash‘arite menilai keharusan penalaran moral kaum Mu’tazilla ini sbb: “Pengikut keadilan (kaum Mu’tazilla) berkata: semua objek pengetahuan takluk di bawah kendali akal dan menerima wewenangnya berdasar pandangan rasional. Akibatnya, kewajiban bersyukur atas karunia ilahi mendahului perintah hukum ilahi; sifat keindahan maupun keburukan hanya dibatasi pada definisi indah dan buruk semata.” Karena baik dan buruk adalah sifat hakiki semua tindakan, manusia dapat mengetahui karakter moral berdasarkan akalnya semata. Bagi Mu’tazilla, etika rasional murni dimungkinkan, sebagaimana pandangan Yunani di buku Aristoteles ‘The Ethics’.

Kemampuan manusia mengenali hal tersebut mendorong kehidupan moral yang baik. Keberadaan akal sebagai kunci yang mendukung kehendak bebas tak berguna bila tak dapat membedakan baik dan buruk, adil dan tidak adil. Sesuai pendahulunya (kaum Qadarite), Mu’tazilla berpendapat, kehendak bebas manusia pada gilirannya diperlukan untuk meneguhkan keadilan Tuhan. Manusia bertangungjawab atas kebebasannya. Tuhan takkan dipersalahkan atas pahala atau hukumanNya pada manusia. Atas klaim Tuhan yang yang menciptakan perbuatan manusia, ‘Abd al-Jabbar menjawab, “Kalau demikian apa gunanya Tuhan memerintahan untuk melakukan kebaikan dan menjauhi kejahatan, memuji dan memberi pahala atas kebaikan serta mengutuk dan menghukum pelanggaran? Bagaimana mungkin Tuhan menciptakan perilaku buruk dalam diri manusia dan kemudian menghukumnya, serta berkata: ‘Mengapa kamu ingkar?’ Seperti orang yang memerintahkan budaknya melakukan sesuatu, kemudian menghukum perbuatannya? Jelas itu salah.”

Kebaikan dan Keadilan Tuhan

Kalimat terakhir menyiratkan keyakinan Mu'tazilah bahwa Tuhan adalah subjek dari hukumNya sendiri. Ia tak mungkin bertindak di luar itu. Ia takkan salah. Dengan kata lain, Tuhan memiliki tanggungjawab atas segala hal yang diwajibkanNya. Mu’tazilah satu-satunya ajaran yang menggunakan istilah wajib (kewajiban) yang mengacu pada Tuhan. Gagasan bahwa Tuhan punya kewajiban haram hukumnya bagi kaum tradisionalis dan kaum Asyariyah. Bagi mereka, Tuhan tidak terikat oleh apapun. Tak ada yang wajib bagiNya. Kewajiban merupakan pembatasan kemahakuasaanNya. Ditanggapi Mu'tazilah: Pembatasan kekuasaan itu tidak ada karena kekonsistenan Tuhan itu sendirilah yang mendefinisikan siapa Dia.

Bagi Mu’tazilah, Tuhan itu baik dan tidak bisa melakukan kejahatan. Seorang Mu’tazilat, Al-Nazzam (w. 848) menyatakan bahwa tidak mungkin bagi Tuhan untuk bertindak tidak adil. Neo-Mu'tazilah, Harun Nasution (1919-1998) menyatakan bahwa "karena kesempurnaanNya, Tuhan tidak dapat melakukan apa yang tidak baik." Seperti muslim lainnya, Mu'tazilah tidak memiliki gagasan “dosa asal,” mereka bersikeras bahwa kejahatan merupakan konsekuensi dari tindakan manusia, Tuhan tidak akan melakukan kejahatan, sekalipun Ia mahakuasa. Kata Abd al-Jabbar, “Segala kejahatan di bumi adalah akibat perbuatan manusia, karena Tuhan itu suci. Tuhan menjauhkan diri dari hal semacam itu, sesuai ayat: “Dan Allah tidak menghendaki berbuat kezaliman terhadap hamba-hamba-Nya.” (40:31) dan “Sesungguhnya Allah tidak berbuat zalim kepada manusia sedikitpun, akan tetapi manusia itulah yang berbuat zalim kepada diri mereka sendiri.” (10:44).

Bagaimana dengan sakit penyakit? ‘Abd al-Jabbar mengajukan gagasan pemeliharaan: “Sesungguhnya, jika Ia menyebabkan penyakit. Ia akan membalasnya dengan kesenangan berlipat di surga. Secara etika tidak mungkin Tuhan menyebabkan sakit pada anak-anak dan hewan, seperti halnya tidak etis bagi kita mempekerjakan orang hingga kelelahan tanpa memberikan upahnya.” Ditegaskan ‘Abd al-Jabbar, Tuhan tidak berada di luar gagasan keadilan, konsep yang dianugrahkanNya pada manusia. “Jadi jika Tuhan melakukan ketidakadilan Ia pasti tidak adil, dan jika Ia bertindak adil Ia pasti adil, yang mengatakan sebaliknya adalah kafir.”

Menurut al-Jabbar, dengan keadilanNya Tuhan berkewajiban memelihara dan memberitahukan firmanNya pada manusia. “Kita tidak percaya bahwa firmanNya suatu kebohongan dan perintah yang dapat dibatalkan, karena jika demikian kita takkan percaya janji dan ancamanNya. Tak mungkin Ia mengirim para nabi ke neraka dan musuh serta orang kafir ke surga. Tuhan seperti itu takkan menuntut kepatuhan umat padaNya, karena bagaimanapun kita tidak akan lolos dari murkaNya, dan mematuhiNya akan menyebabkan kekacauan.” Sebab itu Ia takkan mengingkari firmanNya, atau bertindak bertentangan dengan janji dan ancamanNya, ataupun berbohong.

Dirangkum Majid Fakhry dalam ‘A History of Islamic Philosophy’: "Tuhan takkan memerintahkan apa yang bertentangan dengan akal atau melakukan tindakan yang mengabaikan kesejahteraan ciptaanNya, karena hal ini tidak sesuai dengan keadilan dan kebijaksanaanNya. Berbeda dengan kaum tradisionalis, kaum rasionalis etis tak bisa menerima konsep keMahakuasaan Tuhan yang secara total melanggar semua ajaran keadilan dan kebenaran, menyiksa yang tak berdosa dan menuntut hal yang mustahil semata-mata karena Ia Tuhan.”

Seperti yang dikatakan ‘Abd al-Jabbar, “Tuhan terlepas dari segala kesalahan moral dan semua tindakanNya baik secara moral.” Dan “Dia tidak melampaui batas aturanNya …. Dia melakukan yang terbaik untuk semua makhlukNya.” Dengan sifat-Nya, Tuhan harus melakukan yang terbaik bagi manusia. Tuhan tak mungkin tak setia pada manusia. Pandangan ini dianggap haram kaum tradisionalis dan Ash’arite, yang memandang hal tersebut sebagai pemaksaan kewajiban pada keMahakuasaan Tuhan dan membatasi kebebasanNya.

Keesaan Tuhan

Mu’tazilla menjuluki diri mereka sebagai penegak “keesaan dan keadilan ilahi.” Ke-esaan mengacu pada tauhid, ke-esaan Tuhan, doktrin utama Islam. Monoteisme Mu’tazilla merupakan tantangan bagi pihak ortodoks yang berpendapat bahwa sifat keTuhanan yang disebut dalam 99 nama Allah, dimiliki Allah sebagai atribut: (tujuh yang utama: living, knowing, omnipotence, willing, seeing, hearing, and speaking.** . Lainnya: maha penyayang, maha pengasih ---ada di awal hampir 114 surah, kecuali satu-- maha pengampun, dan maha bijaksana). Perdebatan mereka menyangkut status ontologis berbagai atribut tersebut. Kaum tradisionalis berpendapat atribut tersebut terpisah dari esensi Tuhan, tapi bagimanapun juga jadi bagian dari keabadianNya.

Keberatan Mu’tazilla, jika Tuhan itu satu bagaimana mungkin Ia memiliki sejumlah atribut yang bersamaan hadir secara terpisah dengan-Nya? Dengan cara bagaimana mereka hadir bersamaan? Jika mereka bukan bagian dari hakikat Allah, apa mereka? Dugaan Mu’tazilah, mereka adalah personifikasi dewa lain yang hidup abadi berdampingan dengan Allah, dengan kata lain, suatu bentuk politeisme, pelanggaran terburuk dalam Islam. Washil bin 'Ata, salah satu Mu'tazilah pertama, menyatakan: "Orang yang mengiakan sifat yang kekal selain Allah, mengiakan adanya dua dewa." Hakikat Tuhan, tegas Mu’tazilla adalah dengan menanggalkan sejumlah besar atribut tersebut. Duncan MacDonald mengutip Abu Hudhayl “sifat keTuhanan tidak terpisah dari hakikatNya, melainkan sehakikat denganNya. Contoh, Tuhan mengetahui lewat hakikat keMahakuasaanNya, bukan melalui atribut yang terpisah denganNya. Demikian pula Tuhan pada hakikatNya berkuasa, dan seterusnya. Karena pendapat mereka ini kaum Mu’tazilla disebut lawannya al-mu’atillah, orang-orang yang mengingkari sifat-sifat Allah.

Kaum orthodox dan Ash’arites tak punya jawaban atas dilema kesatuan Allah dan atributNya. Namun mereka bersikeras atribut Allah bukan esensiNya, tapi tak sepenuhnya terpisah dari Dia. Menanggapi pertanyaan bagaimana hal tersebut bisa terjadi, mereka jawab hal tersebut harus diterima apa adanya, bila kayfa (tanpa bertanya mengapa). “Kedua,” menurut pengamatan M.M. Sharif, “mereka berargumen bila semua atribut Allah identik dengan esensiNya, hakikat keilahian pastilah kombinasi homogen dari sifat-sifat yang bertentangan. Misal, Tuhan yang pengasih (rahim) sekaligus pembalas (qahhar); kedua sifat tersebut membentuk hakikatNya yang satu, unik dan tak terbagi (ahad), sesuatu yang absurd.”

Hal ini merupakan pertikaian yang sangat mendasar dalam memahami keberadaanNya. Bagi Mu’tazilla, Tuhan itu Dia, tak ada yang lainnya. Terasa aneh mengatakan bahwa Dia terikat pada keberadaanNya. Ia tak dapat bertindak bertentangan atau menyangkali sifatnya sendiri. Misal, Tuhan tak memiliki akal. Dia adalah akal. Karena itu Ia tak dapat melakukan apapun yang tidak masuk akal. Ini bukan pembatasan tapi suatu kebebasan. Justru kemampuan untuk menyangkali apa dan siapa bukanlah kebebasan, melainkan suatu penolakan total (nihilism). Tetapi bagi Ash’arites Tuhan adalah kehendak murni yang tak terikat apapun, termasuk diriNya sendiri. KekuasaanNya absolut. Ia tak punya ‘sifat’ untuk disangkali. Dia memiliki akal, tapi Dia bukan akal. Dengan kata lain, Ash’arites melepaskan atribut dari hakikatNya, menjadikan atribut tersebut sebagai produk kehendak Tuhan. Misal, Tuhan itu pengasih, tapi bisa jadi tak pengasih bila Ia menghendaki. Juga tak ada halangan bagiNya untuk bertindak tidak masuk akal saat Ia menghendakinya.

Melepaskan hakikat keTuhanan dari kehendakNya serta menjadikan berbagai sifatNya sebagai produk dari kehendakNya akan menjamin kebebasan dan kekuasaan mutlakNya. Dengan demikian tidak ada keharusan bagiNya untuk “penyayang” (karena sifat lainnya adalah “pendendam”). Ia dapat memilih jadi “pembenci” tanpa berkontradiksi dengan diriNya sendiri. Kehendak murni tidak dapat bertentangan. Bagi Mu’tazilla hal ini menjijikan. Tuhan harus melakukan yang baik, bila terjadi sebaliknya, akan bertentangan dengan keberadaanNya sendiri yang baik.

Di surah 5, Qur’an mencela orang Yahudi yang mengatakan, “Tangan Allah terbelenggu.” Tertulis di Qur’an, “Orang-orang Yahudi berkata: 'Tangan Allah terbelenggu', sebenarnya tangan merekalah yang dibelenggu dan merekalah yang dila'nat disebabkan apa yang telah mereka katakan itu.” (5:64). Tak ada yang memaksa atau mengikat tangan Allah. Al Fakhr al-Razi, salah seorang Ash’arite di akhir abad keduabelas, menggunakan ayat yang sama untuk menyerang Mu’tazilla yang membelengu tangan Tuhan dengan mengatakan Allah harus berlaku menurut cara tertentu dan tidak dengan cara lain. Tak ada yang lebih merendahkan atau menghina Mu’tazilla selain menyamakan mereka dengan Yahudi, yang di surah yang sama dituduh telah merubah firman Tuhan dan melanggar perjanjian mereka dengan Allah.

Penciptaan Al-Qur’an dan kehendak bebas manusia

Perdebatan tentang kehendak bebas menyertakan debat tentang keberadaan Qur’an. Apakah Qur’an dibuat atau abadi bersama Allah? Doktrin ajaran tradisional beranggapan Qur’an tidak dibuat; selamanya Qur’an ada bersama Allah, tertulis dalam bahasa Arab di dalam sebuat tablet di surga, sama dengan yang ada sekarang. Qur’an berada di luar jangkauan sejarah. Al-Ash’ari, mendukung tradisionalis dengan mengatakan:

“Qur’an terpelihara dalam tablet di surga ………Secara ril ditulis di buku; secara ril dihafal dan secara ril juga didengar umat ….Kesemuanya ini identik dengan Qur’an yang abadi dalam tablet di surga. Ini bukan makna kiasan, dalam pengertian kesemuanya salinan, kutipan atau bentuk komunikasi dari Qur’an asli. Tidak. Semuanya identik dengan yang ada di surga; apa yang tercantum di surga, tercantum pula di Qur’an yang hadir dalam batas ruang dan waktu melalui perantaraan manusia.”

Walau abadi bersama Tuhan, Qur’an juga seperti atributNya yang lain, berbeda dari hakikat keTuhanan. Masalah besar mengenai ke-esaan seperti yang dikemukakan Mu’tazilla, ditepis kolektor Hadist al-Bukhari (d.933), yang berkata, “Qur’an adalah firman Tuhan yang tidak diciptakan, tindakan manusia diciptakan, pertanyaan mengenai hal ini adalah bid’ah.”

Tidak menghiraukan kaum tradisionalis, Mu’tazilla justru mempertanyakan hal tersebut sehingga perselisihan mereka menjadi semakin sengit. Mu’tazilla berpendapat Qur’an pastilah diciptakan, jika tidak, peristiwa sejarah penting di dalamnya pasti sudah ditentukan sebelumnya. Menurut Joseph Kenny dalam buku “Theological Themes Common to Islam and Christianity”, doktrin penciptaan Qur’an, Khalq al-Quran, berarti bahwa, “peristiwa-peristiwa historis yang tercantum dalam Qur’an tidak ditentukan sebelumnya dan ada ruang untuk kehendak bebas manusia.” Ilmuwan Islam Neal Robinson mengatakan, bagi Mu’tazilla adalah tidak masuk akal “perintah-perintahNya mendahului penciptaan makhluk pada siapa perintah tersebut diberikan.”

Mu’tazila benar saat mendeteksi masalah teologis mendalam yang disajikan doktrin Qur’an tidak diciptakan, logika yang mau tak mau mendekatkan Qur’an pada konsep Firman dalam Kekristenan. Seperti yang kemudian diajarkan Thomas Aquinas dalam ‘Reasons for the Faith against Muslim Objections', “Firman Allah..….kekal bersama Allah.” Dampak yang timbul akibat kekuatan argumen Aquinas, dengan tepat mengungkap keberatan Mu’tazilla pada status sebagaimana Kristus,
Qur’an tidak diciptakan; mengarah pada Pribadi lain dalam keTuhanan; kesimpulan yang bertentangan dengan Tauhid

Seperti Mu’tazilla, Aquinas berpendapat “Pengertian Tuhan tidak terlepas dari keberadaanNya.” Dengan kata lain pengertianNya bukan atribut terpisah dari hakikatNya. Sebab itu Firman yang tidak diciptakan adalah sama dan sehakekat denganNya. Dikatakan Aquinas;

Firman Ilahi setara dengan kuasa Tuhan, karena dengan esensi-Nya Ia memahami diriNya sendiri dan segala sesuatu. Jadi Firman yang terkandung dalam esensi-Nya, saat Dia memahami diriNya sendiri dan segala hal lain, sama besarnya dengan hakikat Tuhan itu sendiri. Sempurna, sederhana dan setara dengan Tuhan. Firman Tuhan ini disebut Anak, karena memiliki sifat sama dengan Bapa, dan ia abadi bersama Bapa, hanya Ia diperanakkan dan tak bercela.

Muktazilah, merasakan kekuatan tak terhindarkan dari logika ini (bahkan sebelum dirumuskan Aquinas). Menyamakan doktrin Qur’an tidak diciptakan dengan politeisme, pelanggaran berat terhadap doktrin Tauhid. “Jika Qur’an tidak diciptakan pastilah ada Tuhan lain, bentuk pelanggaran terhadap ke-esaan Tuhan.

** Menurut sebuah hadis terkenal (Sahih Muslim), Muhammad berkata, "Sesungguhnya, ada sembilan puluh sembilan nama Allah, seratus dikurangi satu. Barang siapa yang menyebutkannya akan masuk surga. " Nama-nama ini disebut dalam Qur'an dan Hadis, meskipun tidak ada daftar yang disepakati
Last edited by lara on Wed Aug 10, 2011 6:08 pm, edited 2 times in total.
lara
Posts: 46
Joined: Fri Jun 03, 2011 11:07 am

Re: The Closing of the Muslim Mind

Post by lara »

Kemenangan Sementara kaum Mu'tazilah

Tahun 827, Mu’tazila berada di atas angin dengan diterapkannya doktrin Qur’an diciptakan (Khalq al-Quran) sebagai doktrin negara oleh Khalif al-Ma’mun. Al-Ma’mun adalah pendukung terbesar pemikiran Yunani dalam sejarah Islam dan pendiri Bait al-Hikmah (Rumah Kebijaksanaan) yang terkenal. Perpustakaan besar yang juga menjadi pusat penterjemahan, dibuka tahun 830.

Menurut ahli sejarah Arab Ibn al-Nadim, Aristoteles pernah muncul dalam mimpi al-Ma’mun. Saat ditanya mengenai sifat kebaikan, Aristotle menjawab, sebelumnya diketahui dulu “apa yang baik secara rasional.” Jawaban tersebut dianut Mu’tazilah serta filsuf pertama Arab yang juga disponsori al-Ma’mun, yi. al-Kindi. Salah satu filsuf cemerlang di masa al-Mamun adalah penganut Nestorian, Hunayn ibn Ishaq (d.873), putra Ishaq (w.911) yang berasal dari Hirah, Iraq. Ia bertanggung jawab atas penerjemahan buku Aristoteles, 'Nicomachean Ethics' ke bahasa Arab.

Di mahkamah istana al-Mamun, pemeluk Kristen seperti Theodore Abu Qurrah, uskup Harran dan murid Santo Yohanes dari Damaskus, biasa hadir sebelum Kalif, mereka berdebat dengan para teolog muslim mengenai kebenaran ajaran mereka. Beberapa dialog debat masih ada manuskripnya. Diantaranya terdapat suatu perdebatan menarik antara sepupu Kalif yang beragama Islam dengan pemeluk Kristen yang mempelajari Arab, al-Kindi (bukan filsuf al-Kindi, namanya kebetulan sama.) Debat lewat surat menyurat ini terangkum dalam buku, ‘The Apology of Al-Kindi', atau “The Epistle of Abdallah ibn Ismaîl the Hâshimite to Abd al Masîh ibn Ishâc al Kindy, inviting him to embrace Islam; and the reply of Abd al Masîh, refuting the same, and inviting the Hâshimite to embrace the Christian Faith.” (Surat undangan Abdallah ibn Ismail Hashimite pada Abd al Masih ibn Ishak al Kindy untuk memeluk agama Islam; jawaban penolakan Abd al Masih, dan undangan pada Hashimite untuk memeluk agama Kristen.) Al-Ma’mun sangat tertarik dengan perdebatan ini dan meminta agar surat menyurat tersebut senantiasa dibacakan untuknya.

Dalam pembukaan yang ditujukan pada lawan debat Kristianinya, Ibnu Ismail mengungkap panjang lebar tentang semangat kehendak bebas di mahkamah istana al-Ma’mun serta penghargaan yang tinggi akan penalaran di masa itu. Juga referensi jelas ajaran Mu’tazilla ttg kehendak bebas dan tanggung jawab.
‘Kemukakanlah argumenmu, katakan apa saja yang kau kehendaki atau pikirkan. Dengan jaminan keamanan dan kebebasan itu, tunjuklah beberapa arbiter/penengah untuk memutuskan dengan adil dan hanya bersandar pada kebenaran semata, bebas dari kepentingan penguasa. Arbiter hendaknya berakal, sesuatu yang dikaruniakan Tuhan agar kita bertanggung jawab atas pahala dan hukuman kita sendiri. Dengan ini saya berurusan secara adil denganmu, memberi jaminan keamanan penuh dan siap menerima apapun keputusan akan yang mendukung atau menentang saya’
Sementara setiap Muslim masuk Kristen akan dieksekusi karena murtad, fakta bahwa diskusi semacam ini bisa diadakan secara terbuka di istana Khalif sangat luar biasa, hal ini tidak lagi terjadi dengan berakhirnya masa Khalif Mu’tazilla. Surat al-Kindy dilarang. Kemurahan hati al-Ma’mun yang memungkinkan adu argumentasi semacam itu haruslah dihargai dalam perspektif panjang penguasa-penguasa berikutnya yang melarang keras hal semacam itu. Bahkan di suatu ketika, hukum di Mesir memerintahkan setiap rumah yang didapati menyimpan buku ‘The Apology of Al Kindy’ harus diratakan dengan tanah, bersama empat puluh rumah di sekitarnya.

Masa pemerintahan al-Mamun (813-833) sering disebut sebagai masa keemasan Islam karena keterbukaan dan kekayaan intelektualnya yang luarbiasa. Penulis sains Frances Luttikhuizen menulis di ‘Christianity dan Science’ bahwa “al-Mamun, yang sangat dipengaruhi gerakan Mu’tazilla, adalah pelindung terbesar filsafat dan sains dalam sejarah Islam.” Menurut standar apapun, al-Ma'mun dan mahkamahnya di Baghdad adalah salah satu peristiwa paling bergengsi dalam sejarah.

Di bawah perlindungan al-Mamun jualah, muncul filsuf muslim Arab pertama Abu Ya'qub al-Kindi (801-873). Pandangan Al-Kindy merefleksikan orientasi rasional yang sama: “Tak ada yang lebih berharga bagi pencari kebenaran selain kebenaran itu sendiri.” Terkait sumber-sumber studi di luar Islam, ia menyatakan, “Kita seharusnya tidak merasa malu untuk menghargai kebenaran dan memperolehnya dari manapun asalnya, bahkan bila itu berasal dari ras dan bangsa yang berbeda dengan kita. Bagi pencari kebenaran tak ada yang lebih utama dari kebenaran, dan tidak boleh ada penghinaan pada kebenaran serta meremehkan orang yang bicara atau menyampaikan kebenaran. Tak seorangpun dikurangi harkat martabatnya oleh kebenaran justru kebenaran meninggikan harkat martabat semua orang.” Kalif menunjuk al-Kindy mengelola Rumah Kebijaksanaan dan menjadikannya guru bagi sang pangeran, saudaranya, yang di kemudian hari menggantikan al-Ma’mun di singgasananya, dan kembali menunjuk al-Kindy sebagi guru bagi putranya.

Dalam ‘On First Philosophy,’ al-Kindy menulis, “Filsafat adalah ilmu tentang realitas yang terjangkau pikiran manusia, karena tujuan filsuf dalam pengetahuan teoritis adalah untuk memperoleh kebenaran serta bertindak sesuai kebenaran itu dalam pengetahuan praktis.”

Terhadap penentangnya dari kaum tradisionalis, al-Kindi berkata, “Siapapun yang bertindak diluar agama berarti tidak beragama, dan seharusnya dikucilkan dari ranah agama karena menentang hasrat mengenal kebenaran serta menyebut hasrat ini sebagai kafir.” Di penghujung senja filsafat dunia Islam, Averroes, atau Ibn Rushd (1126-1198) menggemakan kembali pemikiran Al-Kindi dalam bukunya ‘The Decisive Treatise.’ Ia menulis, karena “maksud dan tujuan mereka [filsuf masa lalu] dalam buku-buku mereka merupakan maksud terdalam sebagaimana yang diperintahkan Hukum (Tuhan) pada kita …… maka siapapun yang melarang kajian atas pemikiran-pemikiran tersebut…..sudah pasti menghalangi orang dari pintu kebenaran Hukum (Tuhan) untuk mengenalNya.” Dalam buku ‘Exposition of Religious Arguments,’ ia menulis bahwa “agama menyerukan untuk belajar filsafat.”

Di kala terdapat pertentangan dengan iman Islamnya, Al-Kindi mengasimilasi pemikiran Aristoteles. W. Montgomery Watt, penulis ‘A Study of Al-Ghazali,’ menyatakan, “Yang menakjubkan dari Al-Kindy ialah ketiadaan nuansa konflik atau ketegangan antar filsafat dan ilmu-ilmu Islam (Fiqh).” Al-Kindi berpendapat, walaupun posisi nubuatan mengungguli filsafat dalam beberapa hal, isi keduanya sama. Sebagai seorang Mu’tazila, Al-Kindi mencapai keharmonisan antara akal dan wahyu dengan memberi makna allegoris terhadap ayat-ayat Qur’an yang bertentangan dengan akal. Pada saat yang sama, ia membela doktrin Islam mengenai penciptaan dunia dari ketiadaan (ex-nihilo) dan kebangkitan tubuh. Hal yang tidak didukung oleh kebanyakan filsuf muslim setelahnya. Hampir tanpa kecuali mereka adalah pendukung neo-Platonis dengan gagasan emanationism (segala sesuatu mengalir dari Sumber Utama: Tuhan), panteisme materialistik, keabadian semesta, dan keabadian jiwa – bukan tubuh. Dikala mengkaji pemikiran al-Ghazali, kita akan melihat lebih spesifik apa yang menjadi keberatannya dalam filsafat dan mengapa hal itu ditolak.

Doktrin penciptaan Qur’an yang dijadikan Al-Ma’mun sebagai doktrin negara bukannya tanpa perlawanan. Kalif memerintahkan para hakim agama bersumpah bahwa Qur’an diciptakan. Sejenis inkuisisi, mihnah (pengujian) dilembagakan untuk menegakkan ini (dari 833-848). Hukuman terberat, mati, dijatuhkan bagi yang menolak diambil sumpahnya. Hanya yang bersumpah bahwa Qur’an diciptakanlah yang dapat diangkat menjadi hakim resmi. Bagi yang meyakini Qur’an tidak diciptakan dihukum atau dipenjara karena meninggalkan doktrin tauhid. Mihnah kemudian diperluas mencakup doktrin kehendak bebas dan semacamnya.

Salah satu tahanan yang paling terkenal adalah Ahmad bin Hanbal (w. 855), pendiri ajaran fiqh Islam paling literal Ia dicambuk, tapi bertahan hidup. Selama inkuisisi, ia menjawab semua pertanyaan dengan mengutip dari Qur’an dan Hadist. Bila tak bisa menjawab dengan cara ini, ia berdiam diri. Ibn Hanbal menjadi pahlawan kaum tradisionalis. Slogan pendukungnya: “tak ada yang dari Allah yang diciptakan dan Qur’an berasal dari Allah.” (Kekerasan mengatasnamakan Mu’tazila kadangkala digunakan untuk mendiskreditkan mereka. Tapi timbul argumen bahwa penggunaan kekerasan untuk membela rasionalitas itu sendiri tidaklah rasional – nyatanya ini diperlukan dalam situasi tertentu. Jelaslah, musuh akal tak dapat dilawan dengan akal saja.)

Setelah al-Ma’mun, doktrin Mu’tazilla diterapkan oleh dua Kalif berikutnya, al-Mu’tasim (833-842) dan Harun al-Wathiq (842-847), walau tak seantusias masa al-Ma’mun.
Last edited by lara on Wed Aug 10, 2011 6:04 pm, edited 1 time in total.
lara
Posts: 46
Joined: Fri Jun 03, 2011 11:07 am

Bab 2 : Kejatuhan Mutazilla

Post by lara »


BAB 2 KEJATUHAN MU’TAZILLA: MULAINYA KEMEROSOTAN (PEMIKIRAN ISLAM)



Walau Mu’tazilla menikmati supremasi di bawah pemerintahan beberapa Kalif, hal tersebut tak berlangsung lama.

Pada tahun kedua pemerintahan Kalif Ja’afar al-Mutawakkil (847-861), situasi berbalik. Mihnah dibubarkan dan hakim-hakim Mu’tazilla yang bertanggung jawab atas inkuisisi dikutuk di mimbar-mimbar khotbah. Menganut paham Mu’tazilla dianggap kejahatan dengan hukuman mati. Pengikut Mu’tazilla diusir dari mahkamah, disingkirkan dari semua posisi pemerintahan, dan karya-karya mereka sebagian besar dihancurkan. Al-Mutawakkil membebaskan Ibn Hanbal yang sudah tua dari penjara serta melarang “mendiskusikan tetek bengek berkaitan dengan apa yang diciptakan dan tidak diciptakan dalam salinan atau kutipan lisan Qur’an.” Ia juga menutup Rumah Kebijaksanaan al-Ma’mun (walau dikemudian hari ia dipuji karena mengoperasikannya lagi serta mendukung kegiatan penerjemahan dan kajian ilmiah). Al-Mutawakkil mengambil alih perpustakaan al-Kindi, dan filsuf berusia 60 tahun itu dihukum 60 cambukan dihadapan public, kemudian diusir dari Baghdad.

Keadaan semakin memburuk. Sejarawan Abu Jafar Muhammad ibn Jarir al-Tabari (838–923) menceritakan, dari April 892 hingga Maret 893 tahun itu, “pedagang buku disumpah untuk tidak menjual buku-buku teologi (kalam), perdebatan dialektis (gadal) atau filsafat (falsafa). Dan “Tahun 885, semua penyalin professional di Baghdad disumpah untuk tidak menyalin buku-buku filsafat dalam kegiatan professional mereka.” Juga “berakibat pada kebijakan pendidikan, karena kaum tradisionalis akhirnya yang menyusun kurikulum pendidikan resmi di masyarakat Islam. Di dalamnya, selain (sudah tentu) tidak mencantumkan subjek teologi filsafat dan perdebatan dialektis, juga ilmu-ilmu lain yang sudah diterjemahkan (fisika, dsb.).” Kalam (teologi) dilarang di perguruan tinggi hukum dan semua institusi pendidikan berbasis amal, atau waqf.

Penindasan tersebut tidak serta merta mengakhiri ajaran Mu’tazilla. Juga tidak dapat mencegah tumbuhnya pengikut mereka, filsuf-filsuf yang dipengaruhi ajaran Yunani, seperti Alfarabi, Avicenna, dan Averroes. Beberapa Mu’tazilla melarikan diri ke wilayah Syiah yang lebih ramah di bawah penguasa Buwayhid di timur Persia. Dikatakan Wadi Kayani, “Periode Buwayhid memberi ruang bagi ajaran Mu’tazilla untuk lebih berkembang, menyebar dan memperbaiki diri sebagaimana ditunjukkan dalam karya Qadi ‘Abd al-Jabbar, menyusul kemudian peristiwa ketika Imam ke-12 Syiah terlibat okultisme sehingga kaum Syiah tidak lagi memiliki pemimpin rohani; suatu hal yang membuat terjalinnya ikatan intelektual antar Syiah dan mutakallimun Mu’tazilla. Ketiadaan imam untuk membimbing kaum Syiah diisi oleh Mu’tazilla. Bahkan, tulis sejarawan Albert Hourani, “ajaran Syiah yang paling banyak diterima, mengandung unsur-unsur ajaran Mu’tazilla.”

Bagaimanapun, proses panjang kemerosotan (dehellenization) dan kekakuan cara berpikir telah dimulai. Ilmuwan berdarah Inggris-Libanon, George Hourani, mengatakan, “titik balik proses proses penindasan faham Mu’tazilla terjadi di abad kesebelas dengan adanya janji iman (creedal proclamation) oleh Kalif Qadir awal 1017, diikuti demonstrasi pengikut Hanbali di Bagdad tahun 1060-an , serta dukungan penuh sultan Seljuq dan wazir Nizam al-Mulk pada kaum Ash’arite.” “Berakhir sudah’” tulis fisikawan Pakistan Pervez Hoodbhoy, “upaya paling serius untuk memadukan akal dan wahyu dalam Islam. Di abad ke-12, ajaran pemikiran antirasionalis konservatif hampir sepenuhnya menghancurkan pengaruh Mu’tazilla. Begitu kerasnya reaksi ini, sampai-sampai al-Ash’ari dianggap relatif moderat dibanding Ibn Hanbal, dan diikuti kaum Wahhabi yang sama sekali tak mengizinkan berbagai bentuk pemikiran spekulatif.” Ilmuwan pengkaji Islam, Richard Martin, menambahkan komentar kematian ini, “Mu’tazilism, dengan berakhirnya era Abbasid di abad ke-13, bukan lagi kekuatan intelektual di Dar al-Islam [wilayah Islam]. Hanya bertahan di tempat-tempat terpencil di wilayah Kaspia serta madrasah dan perpustakaan Zaydi di Yaman utara.”

Di abad ke-14, kecenderungan antirasionalis ini mencapai tahap yang mengundang komentar Arnold Toynbee yang menggambarkan keberadaan Ibn Khaldun, pemikir terbesar Islam saat itu sbb: “kesendirian bintang Ibn Khaldun begitu menyolok kecemerlangannya.” Ironisnya, Ibn Khaldun justru seorang Ash’arite. Bahkan di karyanya 'Muqaddimah' (Pengantar), kerusakan begitu nyata dengan ditiadakannya subjek fisika: “Kita harus menahan diri mempelajari hal ini [di kelas umum] karena pengendalian diri merupakan kewajiban umat muslim untuk tidak melakukan yang bukan urusannya. Masalah-masalah fisika tidak penting dalam kehidupan keagamaan atau mata pencaharian kita. Sebab itu biarkan saja.”

Simbol paling tepat untuk menggambarkan ketegangan antara akal dan wahyu dalam Islam adalah perpustakaan Cordoba yang terkenal. Salah satu lambang kemuliaan peradaban Moor. Di abad ke-10, perpustakaan tersebut memiliki koleksi sekitar 400.000 volume – lebih banyak dibanding perpustakaan Perancis dan bahkan mungkin dibanding seluruh Eropa barat masa itu – dengan sekitar 500 (pustakawan dan pegawainya). Tapi, muslim bukan hanya membangun, mereka juga menghancurkannya, walaupun menurut sejarawan Arab Ibn Said (1214-1286) ini dilakukan kaum Barbar,bukan Arab, tahun 1013.

http://indonesia.faithfreedom.org/forum ... 3/#p592890
Adadeh:
Penolakan Islam dan seluruh dunia Islam terhadap sains dan akal sehat nampak dalam sejumlah kejadian penting, misalnya pembakaran yang dilakukan oleh El Mansur (Kalifah Cordoba, akhir abad ke 10, awal abad ke 11) dengan tangannya sendiri terhadap “karya² materialis dan filosofi perpustakaan yang berhubungan dengan Hakam II,” (Bertrand, loc cit. hal. 58)
Menurut kisah apokrif yang berhubungan dengan Hegel dan ‘Philosophy of History’nya, dinyatakan bahwa Kalif Omar memerintahkan penghancuran apa yang tersisa dari perpustakaan Alexandria tahun 638. Kisah ini tidak valid (karena gedung perpustakaan--secara fisik -- tersebut sudah tidak ada saat itu), tapi --terkait buku-buku koleksi-- Omar berkata, “Buku-buku ini jika mereka mengandung hal-hal yang ada di Qur'an atau hal-hal lain maka tidak ada gunanya.” Mungkin seperti ungkapan, menurut Ibn Khaldun, Omar menulis pada jendralnya di Persia memerintahkan untuk memusnahkan buku-buku yang ada. Saat ini, Taliban meniru dengan memerintahkan penghancuran semua buku di Afghanistan kecuali Qur’an

Lara: Ada 3 gedung yang difungsikan sebagai perpustakaan saat itu: Perp. Alexandria (Royal Library) serta Perp. Kuil Serapeum dan Perp. Kuil Cesarion (Public Library). Setelah Perp. Alexandria runtuh, koleksinya dipindah ke Serapeum. Koleksi berharga inilah yang dibakar pasukan Arab:
http://indonesia.faithfreedom.org/forum ... im-t27173/
Ali5196:
Dlm bukunya, 'History of the Wise Men', sejarawan Muslim, Al Qifti, menyebut ttg pembakaran buku2 ini yg berlangsung sampai ENAM BULAN, dan buku2 yg diselamatkan hanya buku2 Aristotel, Euclid -sang pakar matematika dan Ptolemy-sang geografer.

Cerita pembakaran perpustakaan Serapeum di tangan Muslim juga didukung oleh kesaksian sejarawan Muslim dan Arab spt bapak sejarawan Mesir, Al Makrizi, dlm 'Sermons and Lessons in the Mention of Plans and Monuments', 'The Index'-nya Ibn Al Nadim, dan buku Georgy Zeidan, 'History of Islamic Urbanization'.

Dlm bukunya, 'Prolegomena', sejarawan Muslim Ibn Khaldun mendukung cerita pembakaran Bibliotheca Alexandrina oleh Muslim mengingat sikap Arab jaman itu terhadap buku2 pada umumnya, spt membuang buku2 Persia dlm air dna api oleh pemimpin Arab, Saad Ibn Abi Waqqas, lagi2 menyusul perintah Kalif Umar yg mengatakan kpd Ibn Abi Waqqas dlm sebuah surat : “Jika [buku2 ini] mencakup pengarahan, [ketahuilah bahwa] Allah memberikan kami pengarahan yg lebih baik. Dan kalau mereka mengandung pembelokan, maka semoga Allah melindungi kami.”
Oposisi kaum tradisional

Pihak yang paling menderita oleh Mu’tazilla adalah ulama-ulama tradisional dan para pengikut Ahmad ibn Hanbal yang dipenjara dan dicambuk karena menolak doktrin penciptaan Qur’an. Ajaran Hanbali adalah ajaran fiqh paling literal. Masih berlangsung hingga kini, terutama di Saudi Arabia.

Ada empat ajaran resmi Sunni, atau madhabs, yang memegang peranan. Dinamai sesuai nama pendirinya: Al-Shafi‘i (767–820), Abu Hanifa (c. 699–767), Ahmad ibn Hanbal (780–855), and Malik ibn Anas (c. 715–796). Muslim Sunni dapat memilih diantaranya, dijamin ortodoks. Interpretasi (ijtihad) Qur’an dan Sunnah, sejauh itu diperlukan, telah selesai dibukukan oleh keempat iman tersebut awal abad ke-9. Di abad ke-12, dianggap sudah tidak diperlukan kajian atau interpretasi lebih lanjut, tinggal penerapannya saja; pintu ijtihad (otoritas individual ulama untuk menginterpretasi kitab suci berdasar pandangan pribadi, atau ra’y) ditutup. Setelah penetapan hukum tsb, taqlid (lawan ijtihad), atau peniruan hukum yang diakui menjadi norma. Inilah sebabnya, menurut ilmuwan Montgomery Watt, “disiplin ilmu utama dalam pendidikan Islam bukanlah teologi melainkan fiqh.” Pola yang benar sudah ditetapkan. Di dalamnya, semua tindakan manusia digolongkan sbb: kewajiban, “wajib” (fard); “dianjurkan” (mandub); sah, “diijinkan” (mubah); tercela, “tidak dianjurkan” (makruh); dan “dilarang” (haram). Semua tindakan sudah ada petunjuknya. Umat hanya perlu mengikuti apa yang sudah dituliskan ulama. Tak perlu mencari diluar buku suci. Kondisi yang sudah tentu sangat tidak kondusif bagi filsafat, etika atau teologi alam. Nyatanya, subjek filsafat ditiadakan dari kurikulum universitas Al-Azhar, di Kairo dan barulah di akhir abad ke-19, diadakan lagi atas desakan tokoh pembaharu Mesir Muhammad ‘Abduh.

Pintu ijtihad tertutup begitu rapat hingga berbagai usaha untuk membukanya di awal abad 19 ditegur keras. Ketika Muhammad Ali as-Sanusi, dikenal sebagai Sabusi Agung (1787-1859) berusaha membuka kembali gerbang ijtihad, ia ditegur keras lewat sebuah fatwa mufti Kairo, “Tak seorangpun menyangkal kenyataan bahwa martabat ijtihad sudah lama hilang dan saat ini tak ada yang mencapai tingkat pembelajaran ini. Barangsiapa menganggap dirinya mujtahid [ulama yang memenuhi syarat melakukan ijtihad] pasti berada di bawah pengaruh halusinasinya atau setan.”

Walau keempat ajaran resmi tersebut sangat kritis terhadap kalam (teologi spekulatif), tapi Hanbalilah yang benar-benar menolak pemikiran filosofis terhadap Qur’an dan bahkan memprotes Ash’arite kala menggunakan logika Aristoteles untuk menyerang Mu’tazilla, musuh bersama mereka. Menurut mazhab Hanbali, seseorang seharusnya tidak terkontaminasi dengan menggunakan senjata musuh. Dalam Istihsan al-Khaud (usaha mempertahankan ilmu Kalam), al-Ash’arite menggambarkan keberatan ajaran ortodoks terhadap penggunaan akal dalam hal iman, sbb:

Sebagian orang [kaum Zahirite dan ortodoks] …. cenderung mengikut dan beriman buta (taqlid). Mereka mengutuk orang yang mencoba merasionalisasikan prinsip-prinsip agama sebagai “pembaharu.”…. Mereka bilang kalau diskusi semacam itu benar, pastilah Nabi dan para sahabat juga melakukannya; selanjutnya mereka menunjukkan bahwa Nabi, sebelum kematiannya, telah membahas dan menerangkan semua hal yang diperlukan dari sudut pandang agama, tak menyisakan satupun untuk dibahas pengikutnya; dan karena ia tidak membahas masalah-masalah tersebut, pembahasan akan hal itu dianggap sebagai pembaharuan.

Pembaharuan (bid’ah atau bida’ah) adalah pelanggaran berat di Islam. Dalam sebuah Hadist, Muhammad telah memperingatkan, “Setiap pembaharuan adalah Bida’ah dan setiap Bida’ah adalah kesesatan (Dalalah) dan setiap kesesatan masuk neraka.”

Dalam pemikiran Hanbali agama lebih baik tanpa teologi. Karena Tuhan telah berbicara pada manusia (wahyu), manusia tidak perlu lagi berpikir kritis. Wahyu menggantikan akal. Dalam Qur’an dan Sunnah, Tuhan sudah menyatakan apa yang perlu diketahui manusia; tak perlu lagi pertimbangan lain. Ibn Hanbali menyatakan:

Agama adalah: buku Tuhan, athar [ucapan dan tindakan orang saleh], sunah [standar praktek], dan cerita lisan dari tradisi lisan terpercaya [akhbar] saling menegaskan satu sama lain …..diakhiri dengan kedatangan Utusan Tuhan dan para sahabat dan pengikut dan pengikut dari pengikut, dan setelah itu imam-imam yang diakui sebagai contoh, yang berpegang pada sunna dan athar, yang tak mengakui bid’ah dan tak dituduh dusta atau bertentangan [satu sama lain]. Mereka bukan penegak qiyas [penalaran analogis] dan ra’y [pendapat pribadi], karena qiyas tak berguna dalam agama, dan ra’y bahkan lebih buruk. Penegak ra’y dan qiyas adalah sesat.

Karena Qur’an tak mengijinkan kalam, hal tsb tak diperlukan. Ibn Hanbal menyatakan, “Siapapun yang melibatkan diri dalam retorika teologis tidak termasuk dalam Ahlul Sunnah, walau menguasai Sunnah, sampai ia meninggalkan debat dan takluk pada teks.” Penggunaan argument rasional menghina iman. Iman bukan untuk dinalar. Cukup menerima bila kayfa (tanpa bertanya bagaimana). Sebagaimana dikatakan Ibn Hanbal, “Setiap diskusi mengenai suatu hal yang tidak (pernah) didiskusikan Nabi adalah kesalahan.” Ibn Hanbal pernah diceritakan tidak makan semangka karena Muhammad tidak pernah melakukannya.

Peniruan/mencontoh (taqlid) adalah jalannya dan tak bisa dikritik. Ibn Hanbal menyatakan: “Orang yang beranggapan bahwa taqlid [mengikut otoritas tanpa kritik] tidak sah dan beragama tidak untuk mengikuti siapapun … hanya ingin membatalkan athar serta melemahkan pengetahuan dan Sunna. Mereka terisolir ke dalam ra’y, Kalam, bid’ah dan perbedaan [dari yang lain].” Pengajaran Ibn Hanbal digaungkan di jalan-jalan. Ia menjadi popular hingga saat pemakamannya, sekitar 150.000 orang memenuhi jalan-jalan di Baghdad.

Kaum tradisionalis yang dikenal dengan ahl al-Hadith, orang yang berpegang pada tradisi, pemegang otoritas Hadist (Hadists adalah tradisi melaporkan berbagai perkataan dan tindakan Muhammad yang disampaikan secara lisan sebelum akhirnya ditulis dalam sejumlah koleksi, enam diantaranya dianggap sahih). Ungkapan Hanbali yang masih terus diikuti adalah: “Singkirkan perdebatan dan takluk pada text.” Mengungkapkan tuntutan untuk menyangkal intelektualitas, jadilah bila kayfa.

Baca juga:
http://indonesia.faithfreedom.org/forum ... 6/#p249516
Last edited by lara on Wed Aug 10, 2011 5:00 pm, edited 1 time in total.
lara
Posts: 46
Joined: Fri Jun 03, 2011 11:07 am

Re: The Closing of the Muslim Mind

Post by lara »

Om Ali5196, bagaimana dengan bab-3 dan bab-4. Boleh tidak saya lanjutkan ke bab-3? O:)
ali5196
Posts: 16757
Joined: Wed Sep 14, 2005 5:15 pm

Post by ali5196 »

Ok, terims yah lara, om akan bikinin post baru deh khusus buat Ch3 dan 4.
ali5196
Posts: 16757
Joined: Wed Sep 14, 2005 5:15 pm

Bab 3 : Metafisika Kehendak

Post by ali5196 »

BAB 3 diterjemahkan oleh lara. Terims banget yah nak! :prayer:

BAB 3 METAFISIKA KEHENDAK

Al-Ash‘ari (dari aliran Islam ortodox) menggunakan metafisika untuk mendukung teori voluntaristik (kehendak sbg prinsip dasar) mereka. Metafisika ini memiliki implikasi luas terhadap kausalitas, epistemology dan kebebasan manusia.

Filsafat atomistik Yunani kuno dipakai Ash’ari untuk menegaskan bahwa realitas terdiri atas atom-atom. Bila orang Yunani dan Roma (Lucretius) menggunakan atomisme sebagai pondasi filsafat materialistik, Al-Ash’ari justru memanfaatkannya secara berlawanan. Melalui atomisme, Lucretius ingin menunjukkan tak ada intervensi Ilahi di dunia dan segala sesuatu tidak bergerak dalam ‘skema kemajuan ilahi,’ tapi secara acak. Ash’ari ingin menunjukkan sebaliknya: bahwa segala sesuatu secara langsung tergantung pada intervensi Tuhan. Lucretius percaya materi itu abadi, semetnara Ash’ari----sebagaimana Islam ortodoks lainnya--- meyakini materi tercipta dari ketiadaan (ex nihilo). Konfigurasi atom-atom yang diciptakan Tuhan pada momen-momen tertentu yang menjadikan segala sesuatu seperti adanya. Analis Inggris, Malise Ruthven, menjelaskan, di dalam Islam, “Kemahakuasaan Tuhan dirasionalisasikan kaum Ash’arit dalam suatu teori atomistic penciptaan. Dunia ini terdiri dari titik-titik diskret (berdiri sendiri) dalam ruang dan waktu, dan penghubung titik-titik tersebut adalah kehendak Tuhan, yang menciptakan titik-titik baru setiap saat.” Contoh, ada sekumpulan atom pada tumbuhan. Apakah tumbuhan tersebut tetap berupa tumbuhan saat kau membaca baris huruf ini karena memang begitulah sifat tumbuhan, atau karena Tuhan yang menghendakinya tetap berupa tumbuhan saat ini dan seterusnya? Ash’arit berpendapat tumbuhan hanya berupa tumbuhan pada suatu momen tertentu. Apakah selanjutnya akan tetap berupa tumbuhan atau tidak tergantung kehendak Allah (lara: bisa jadi berupa kelinci sekejap, lalu lampu, lalu tumbuhan lagi). :finga:

Jika ada yang berpendapat bahwa tumbuhan tersebut tetap berupa tumbuhan karena itulah sifat alaminya, ini disebut syirik—penghujatan (sejenis politeisme atau “mengasosiasikan sesuatu dengan Allah”).

Untuk memahami betapa radikalnya metafisika Ash’arit, contoh-contoh berikut akan memperjelas ketidakstabilan skema metafisika Ash’arite:

Dalam buku ‘Islam and Science’, Pervez Hoodbhoy, fisikawan di Universitas Islamabad, menulis ttg teori Ash’arit;
“Bahkan anak panah yang sedang meluncur cepat bisa mencapai sasaran bisa juga tidak karena di setiap momen lintasannya Tuhan memusnahkan (semua atom) dunia dan kemudian menciptakan lagi yang baru di momen berikutnya. Taruhlah anak panah tersebut berada di titik tertentu di momen sebelumnya, dan dimana anak panah tersebut berada di momen berikutnya tidak bisa diprediksi, karena Tuhan sendiri yang tahu bagaimana dunia dicipta ulang.”
Gerakan sebenarnya hanya ilusi. Segala sesuatu tak berubah dengan sendirinya. Tubuh kelihatannya saja bergerak. Yang terjadi sebenarnya adalah atom-atom tubuh di satu posisi dimusnahkan, diganti sepenuhnya dengan atom-atom baru sejenis di lokasi berikutnya, seterusnya hingga gerakan terlihat sebagai rangkaian berkelanjutan dari penghancuran dan penciptaan. Sesungguhnya tidak ada masa lalu maupun masa depan. Segala sesuatu hanya ada saat ini saja. :rolleyes:

Rangkaian pemusnahan penciptaan seketika ini juga berlaku untuk objek tak bergerak beserta pelengkapnya, seperti warna. Dideskripsikan filsuf Kanada, Floy E. Doull dalam ‘Peace with Islam,’ :
“Sebagai contoh, kita tidak benar-benar mewarnai gaun dengan warna merah ketika kita yakin telah memberi warna merah pada gaun tsb; melainkan saat itu juga Tuhanlah yang memberi warna merah sebagai pelengkap gaun, berupa rangkaian penciptaan seketika warna merah.”


Duncan Macdonald meringkas sbb:
Atom waktu, jika istilah ini diperbolehkan, keberadaannya hanya sejenak, dan ada kehampaan -–waktu—absolute diantaranya. Sebagaimana ruang merupakan serangkaian atom, demikian juga waktu hanyalah momen tak tersentuh melintas dari satu kehampaan ke kehampaan lain seperti sentakan jarum jam. Waktu, dalam pandangan ini, berada dalam bulir-bulir yang dapat eksis dalam hubungannya dengan perubahan. Berbeda dengan teori monads-nya Leibniz, yi. atom yang memiliki karakter dalam dirinya sendiri, monads (atom) Islam tidak memiliki kemungkinan perkembangan dalam lintasan tertentu. Semua perubahan dan tindakan di dunia terjadi oleh pemusnahan penciptaan monads (atom) Islam, bukan karena perkembangan dalam dirinya sendiri.
(Macdonald, Development of Muslim Theology, Jurisprudence and Constitutional Theory, 136.)

Lebih jauh dijelaskan Majid Fakhry:
Dunia, yang didefinisikan sebagai segala sesuatu selain Tuhan, terdiri atas atom-atom dan berbagai kejadian seketika. Berbagai kejadian seketika (sing: ‘arad) yang Ash’arit kemukakan, tak dapat bertahan dalam dua waktu seketika, tapi secara terus menerus dimusnahkan dan diciptakan atas kehendak Tuhan. Al-Baqilani (w.1013) yang kelihatannya memihak Ash’ari dalam masalah ini, menjabarkan kejadian seketika tersebut sebagai entitas (kesatuan yang lahir) dalam “jangka waktu yang mustahil…….dan kemudian berhenti eksis secepat kemunculannya.“ Dengan cara yang sama, atom-atom (sing. al-juz’) dalam kejadian seketika tsb diciptakan secara terus menerus oleh Tuhan dan bertahan semata karena kejadian seketika dari durasi (baqa’) yang Tuhan ciptakan dalam atom-atom tsb. Baik kejadian seketika dalam durasi atom maupun kejadian seketika lainnya tidak ada yang bertahan, terus menerus mengalami pergantian dan perubahan.

Fakhry, A History of Islamic Philosophy, 71.

Bagi pengikut Ash’ari, Abu Bakr al-Baqilani (wafat 1013), diskontinuitas atomistik benda ciptaan itu sendiri membuktikan transendensi dan kekuasaan mutlak Tuhan sebagai agen tunggal. Jika ciptaan tsb berupa sekelompok atom yang melayang bebas dalam ruang dan waktu, maka secara ipso facto hanya Tuhan yang dapat menjadikan mereka seperti itu dengan cara dan waktu tertentu. Al-Baqilani melangkah lebih jauh dengan mengatakan bahwa konsep atomisme ini “sama pentingnya” dengnan text Qur’an. Begitu berpengaruhnya pemikiran al-Baqilani sehingga Ibn Taymiyya, pemikir abad ke-13 yang dikagumi masy. Islam, menghormati al_Baqilani sebagai “mutakallimun Ash’ari terbaik, tak tertandingi baik oleh pendahulu maupun penerusnya.”



Hilangnya Kasualitas


Bencana yang timbul akibat pandangan ini adalah penolakan terhadap hubungan sebab akibat dalam tatanan alam. Dalam ‘The Incoherence of the Philosophers,’ al-Ghazali, dengan keras menolak Plato dan Aristoteles, baginya Tuhan tidak terikat keteraturan apapun, dengan demikian tidak ada urutan sebab akibat secara ‘alami’, seperti kertas terbakar api, atau contoh yang lebih berwarna, “penggunaan obat pencahar dan pengurasan isi perut.” Peristiwa tsb bukannya dianggap sebagai ikatan hubungan sebab akibat yang jelas, melainkan semata-mata sebagai jajaran peristiwa terpisah seolah-olah api membakar kertas, padahal Tuhan yang melakukannya (doktrin ini dikenal sebagai occasionalism.) Dengan kata lain, tiada kesinambungan sebab akibat yang mengikat momen peristiwa dalam suatu cara yang dapat dipahami.

Penyangkalan al-Ghazali thp kasualitas harus dibahas panjang lebar untuk memahami sifatnya yang radikal dan komprehensif. Dalam ‘Incoherence of the Philosophers,’ ia menyatakan:
Hubungan antara apa yang biasannya diyakini sebagai penyebab dengan apa yang biasanya diyakini sebagai akibat, menurut kami tidak penting. Sebagai contoh, tidak ada hubungan sebab akibat antara pemuasan rasa haus dengan minum, pemuasan rasa lapar dengan makan, pembakaran dan kontak dengan api. Cahaya dengan terbitnya matahari, kematian dengan pemancungan, penyembuhan dengan minum obat, pembersihan isi perut dan penggunaan obat pencahar, dan seterusnya termasuk segala bentuk keterkaitan yang diteliti di bidang kedokteran, astronomi, seni dan ketrampilan. Hubungan mereka semata-mata berdasar ketetapan Allah sebelumnya, yang menciptakan mereka berdampingan, bukan karena kebutuhan dari dirinya sendiri yang tak terpisahkan. :rolleyes:

Sebaliknya, ada kuasa ilahi yang dapat menciptakan rasa kenyang tanpa lapar, membuat kematian tanpa pemancungan, terus hidup setelah pemancungan dan seterusnya untuk semua bentuk hubungan……..Lawan kita mengatakan bahwa penyebab kebakaran hanyalah api; sesuatu yang alamiah, bukan agen bebas, dan sudah sifat alami (api) tak dapat berdiam saja saat terjadi kontak dengan receptive substratum. Kita menyangkalnya dengan mengatakan: penyebab kebakaran adalah Allah, lewat penciptaan hitam pada kapas dan penguraian bagian-bagian kapas, Allah yang membuat kapas terbakar termasuk debunya melalui perantaraan malaikat ataupun tanpa perantara. Api adalah benda mati yang tak bisa melakukan apa-apa, dan apa buktinya api penyebabnya? Sesungguhnya, para filsuf tidak memiliki bukti selain observasi peristiwa pembakaran, saat kontak dengan api, tapi observasi tersebut hanya membuktikan kejadian simultan, bukan sebab akibat, dan dalam realitas tak ada penyebab lain……….hanya Allah.
Menarik untuk mengkontraskan padangan ini dengan pandangan Thomas Aquinas dalam ‘Summa Contra Gentiles,’ dimana dikatakannya,
“siapapun yang menjawab pertanyaan, 'kayu panas karena Allah yang menghendaki,' menjawab dengan tepat jika ia bermaksud menelusur balik pertanyaan tsb hingga ke prima causa; tapi tidak tepat, jika ia bermaksud meniadakan semua penyebab lain.”
Aquinas mengatakan bahwa kepercayaan bahwa segala sesuatu terjadi akibat kehendak murni Tuhan tanpa perlunya sebuah pemikiran rasional, adalah sebuah kesalahan. Ini kesalahan para eksponen Hukum Moor (Moor=Muslim), seperti yang dikatakan Rabbi Moses ben-Maimon (Maimonides, filsuf dan tabib terkemuka. w.1204): menurut mereka (Muslim), tak ada bedanya apakah api panas atau dingin, kecuali Tuhan [langsung] berkehendak demikian.

TAPIIIII tanpa kasualitas dalam tatanan alam, segala sesuatu dapat muncul dari segala sesuatu, tak perlu adanya keterkaitan. Bagaimana, dalam keadaan seperti itu, manusia dapat hidup dalam kehidupan praktis sehari-hari tanpa tahu apa akan berakibat apa? Seperti yang dikatakan al-Ghazali, “Karena Tuhan mampu melakukan segalanya, tidak penting bagi kuda diciptakan dari sperma atau pohon dari benih pohon – sebenarnya tidak perlu bagi keduanya diciptakan dari apapun.” :rolling:

Lantas bagaimana peternak atau ahli perkebunan melakukan pekerjaannya? Jika api tidak membakar kapas bagaimana koki menyalakan api untuk memasak? Al-Ghazali menjawab bahwa,
“Tuhan telah menciptakan pemahaman dalam diri kita bahwa Ia takkan membuat segala sesuatu yang pasti. Ada kemungkinan yang dapat atau tidak dapat terjadi. Tetapi kebiasaan terus menerus dari kejadian yang berulang kali, kejadian satu menyusul yang lain, hingga tertanam kokoh dalam pikiran kita, keyakinan terjadinya kejadian tersebut berdasar kebiasaan sebelumnya.”


Itu saja – keyakinan akan suatu kebiasaan, tidak lebih. ](*,) Makna utamanya adalah, “tak ada kesatuan di dunia, moral atau fisik atau metafisika; semua tergantung pada kehendak individual Allah.”

TAPIIIII Averroes mengungkap konsekuensi dari posisi ini dengan menyatakan:
“Sekali dinyatakan bahwa tidak ada perantara antara awal dan hasil akhir, imana keberadaan hasil akhir tersebut bergantung, takkan ada tatanan atau keteraturan [di dunia ini]. Bila tak ada tatanan atau keteraturan, berarti tak ada indikasi bahwa berbagai entitas (kejadian seketika) yang ada dikarenakan penyebab yang memiliki kehendak dan pengetahuan. Tatanan, keteraturan, dan terjadinya sebab akibat merupakan petunjuk bahwa [entitas yang ada] dihasilkan oleh pengetahuan dan kebijaksanaan.”
Ini tepatnya titik perselisihan tersebut: bagi Averroes dan Aquinas sumber penciptaan adalah pengetahuan dan kebijaksanaan; bagi al-Ghazali, kehendak dan kekuasaan. Pengetahuan dan kebijaksanaan memiliki sifat keteraturan; kehendak dan kekuasaan tidak.

Al-Ghazali tampaknya terdorong menganut pandangan ini karena ia, seperti al-Ash’ari, berpikir bahwa penerimaan sebab akibat dalam tatanan alam akan berarti Tuhan bertindak karena kebutuhan bukannya kehendak bebas. Ini berarti dunia diciptakan karena kebutuhan, bukan secara bebas dari ketiadaan. Jika “x” menyebabkan “y” dalam tatanan alam sehingga “y harus mengikuti x,” maka urutan tetap sebab akibat yang dibutuhkan dapat ditelusur rangkaian keberadaannya kepada Tuhan sendiri. Tuhan jadi tak mampu mengadakan mukjizat, pembelaan yang tampaknya paling dirisaukan al-Ghazali. Juga, ide kejadian otonom dan semi otonom dalam sebab akibat alami akan melemahkan kemahakuasaan Tuhan dan berimplikasi politeisme, karena ada penyebab lain selain Tuhan. Jika bukan Dia satu-satunya penyebab, maka Ia bukan Tuhan, yang tak punya penyebab lain sebelum Dia.

Pengaruh ajaran Ash’ari dan al-Ghazali, khususnya penyangkalan hubungan sebab akibat sekunder, tertanam dalam benak pengikut Sunni ortodoks. Ini diulangi lagi oleh ahli hukum mazhab Hanafi Mesir, Ahmad ibn Naqib al-Misri (d.1368) dalam buku ‘Reliance of the Traveller: A Classic Manual of Sacred Islamic Law.’ Al-Misri menulis, “ilmu kaum materialis bersandar pada keyakinan bahwa segala sesuatu, di dalam dirinya sendiri atau oleh sifat alaminya punya pengaruh sebab akibat, terlepas dari kehendak Allah. Mempercayai kemusyrikan ini membuat seseorang berada diluar batas ke-Islaman.”

Image
http://indonesia.faithfreedom.org/forum ... ler-t2037/

Muhammad Yusuf Sanusi yang membawa ajaran ini ke abad-15 menggunakan beberapa contoh al-Ghazali. Ia menulis:
“Kau akan menyadari mustahil segala sesuatu di dunia menimbulkan efek apapun, karena hal tersebut berarti memindahkan efek tersebut dari kekuasaan dan kehendak dari Pelindung kita yang agung dan perkasa…… Sebab itu, makanan tak punya efek mengenyangkan, juga air tidak punya efek melembabkan tanah……juga api tidak punya efek membakar…… Pahami bahwa semuanya berawal dari Allah, tanpa keikutsertaan sesuatu sebagai perantara atau punya efek, tidak juga oleh sifat alaminya, ataupun sifat khusus yang diberikan Tuhan di dalamnya, sebagaimana anggapan orang-orang ****……….Siapapun yang percaya sesuatu menghasilkan efek karena sifat alaminya, adalah kafir.” Apa yang tampak sebagai penyebab, “Tuhan telah menciptakannya sebagai tanda dan petunjuk akan segala sesuatu yang Ia ingin ciptakan tanpa ada koneksi logis diantaranya, dan merekalah petunjuknya. Jadi Tuhan dapat memutuskan urutan yang sudah ada kapan saja Ia menginginkan dan bagi siapapun yang dikehendakinya.”
Ajaran ini dan akibat mendasar yang ditimbulkan, merupakan penyebab mengapa, bahkan di abad ke-21, Fouad Ajami laporkan, “ Kemanapun aku pergi di dunia Islam, masalahnya selalu sama: sebab akibat; sebab akibat.” Berikut contoh masalah yang timbul di akhir abad ke-20. Dalam buku ‘Islam dan Science’ fisikawan Pakistan, Pervez Hoodbhoy, menulis ttg upaya yang dilakukan Institute of Policy Studies, cabang dari kelompok Islam Jamaat-e-Islami, untuk memastikan buku pelajaran sains Pakistan cukup islami. Dalam buku petunjuk Institut tsb dicantumkan, ”dalam menulis buku pelajaran sains untuk murid kelas 3, jangan tanyakan, ‘Apa yang akan terjadi hewan tidak mendapat makanan?’ ganti dengan pertanyaan berikut: ‘Apa yang akan terjadi jika Allah tidak memberi hewan makanan?’” :supz:

Juga, dikatakan Hoodbhoy, “Akibat TIDAK BOLEH dikaitkan dengan penyebab fisik. Hal tsb mengarah pada ateisme. Contoh, dalam rekomendasi Institut, ditulis, ‘ada racun tersembunyi dalam sub-judul Energi Menyebabkan Perubahan, karena memberi kesan energi-lah penyebab sebenarnya bukan Allah.’” Hoodbhoy menyimpulkan, “Asumsi dasar pengetahuan – bahwa setiap efek fisik punya kaitan dengan sebab fisik -- disangkal secara khusus. Alih-alih kekuatan fisik, intervensi ilahi yang berkelanjutan yang menyebabkan perubahan materi.” :prayer:

Peniadaan sebab akibat membuat prediksi secara epistemologis jadi mustahil dan tak diinginkan secara teologis. Ini berakibat perilaku tak lazim yang mempengaruhi kehidupan sehari-hari. Lantas, tunjuk Hoodbhoy, “Banyak, kalau bukan sebagian besar, ulama ortodoks berpendapat bahwa ramalan cuaca/prediksi hujan, di luar apa yang secara sah boleh diketahui manusia, menyalahi wewenang supernatural. Akibatnya, antara tahun 1983 dan 1984, ramalan cuaca diam-diam dihentikan oleh media Pakistan, walau kemudian hari disiarkan lagi.” Jika Tuhan yang tak bisa dikalkulasi menciptakan cuaca, maka cuaca tak dapat dikalkulasi.


Hilangnya Epistemology

Cuaca bukan satu-satunya korban epistemologi Ash’arit. Dalam sanggahannya thp al-Ghazali, dalam buku ‘The Incoherence of the Incoherence’, Averroes berkata bahwa aktivitas akal, “tak lebih dari pemahaman akan keberadaan entitas lewat pengetahuan akan penyebabnya.” Sebab itu, “siapapun yang menolak sebab akibat sebenarya menolak akal.” Penolakan hubungan sebab akibat membuat, “pengetahuan sejati jadi mustahil [dan] hanya menyisakan opini (doxa).” Atau, di buku yang sama, “Menyangkali keberadaan sebab akibat yang teratur, yang dianalisa dengan akal sehat, adalah cara berpikir yang tak masuk akal/menyesatkan………Menolak penyebab menyiratkan penolakan pengetahuan, dan penolakan pengetahuan menyiratkan tak ada satupun di dunia ini yang benar-benar dapat diketahui.” Sekali lagi ia menunjukkan bahwa jika hubungan sebab akibat ditolak, “takkan ada pengetahuan yang benar tentang segala sesuatu.” Karena “pengetahuan sejati adalah pengetahuan akan segala sesuatu sesuai kodratnya.” Dengan cara ini, metafisika Ash’arite menjadikan epistemologi mustahil dan menutup pemikiran pengikutnya dari pengetahuan akan realitas.

Tentu saja, bagi Ash’arit, seseorang tak dapat mengetahui etika. Seperti yang dinyatakan ilmuwan berdarah Inggris-Libanon, George Hourani, keberatan utama al-Ash’ari thp etika rasionalis yi “akal manusia yang independen membatasi kekuasaan Tuhan; karena jika manusia dapat menentukan apa yang baik atau salah, ia dapat menilai apa yang Tuhan telah tentukan baik bagi manusia, ini merupakan suatu kelancangan dan hujatan.” Ash’arit juga berkeberatan karena Mu’tazilla “merebut fungsi wahyu dan membuatnya tak berguna.” Dalam metafisika mereka, Ash’arit memastikan pengetahuan etika seperti itu tidak dapat diperoleh terpisah dari wahyu.

Moralitas, atau apa yang adil, tak dapat dipahami secara rasional karena dua alasan. Pertama, alasan praktis: akal terlalu dikorup kepentingan pribadi manusia. Fazlur Rahman mencirikan pandangan Ash’arit, “Secara alami satu-satunya hukum adalah kepentingan pribadi manusia. Dan, karena manusia menganggap hal-hal yang mendukung kepentingan pribadi mereka sebagai baik, dan yang menghalangi sebagai buruk, maka Tuhan harus menyatakan apa yang baik dan yang jahat, melalui wahyu.” Perendahan status akal karena korup, diulang dalam buku ‘al-Ghazali, Moderation in Belief,’ dimana ia menulis bahwa akal begitu terkontaminasi kepentingan pribadi manusia sehingga tidak dapat mengetahui prinsip-prinsip moral; dan hanya dapat diketahui lewat wahyu. Khas pandangan Ash’arit, dimana manusia mengatakan “baik” thp apapun yang mendukung kepentingan pribadinya dan “jahat” thp apapun yang menghalanginya. Dengan demikian, hukum manusia hanyalah ungkapan keinginannya yang korup.

Mu’tazilla yang berkeberatan thp pendapat al-Ghazali bahwa tiap orang hanya membuat ukuran “baik” sesuai keinginannya, berkata:
Wacanamu mengenai: apa yang (secara rasional) “baik” dan “buruk” direduksi menjadi apa yang mendukung dan menghalangi keinginan. Tapi kita melihat bahwa mahluk rasional menganggap baik sesuatu yang ia rasa tidak (perlu) ada keuntungannya dan (kadangkala) menganggap buruk sesuatu yang mungin akan menguntungkannya……….Jika seseorang melihat manusia lain atau ada hewan hampir binasa, ia menganggap baik untuk menyelamatkannya………..walau tak percaya syariah dan tak mengharap keuntungan di dunia ini, bahkan mungkin kejadian ini terjadi di suatu tempat dimana tak seorangpun melihat atau memujinya. Kami anggap tidak ada motif pribadi…………Jelas bahwa “baik” dan “buruk” memiliki arti lain dari yang kau deskripsikan.
Al-Ghazali menanggapi keberatan ini dengan suatu pendekatan yang begitu merendahkan hampir mendekati proto-Marxist, mendefinisikan akal semacam tumor kepentingan pribadi, jika bukan dari kekuatan material itu sendiri. Dikatakan Fazlur Rahman, al-Ghazali mengklaim “si penyelamat terdorong menyelamatkan mahluk hidup dari bahaya, karena jika ia tidak melakukannya, hal ini akan akan menyakiti perasaan belas kasihan alaminya sendiri: ia dengan demikian memuaskan dirinya sendiri dengan menyelamatkan orang tsb dari bahaya.”

Alasan kedua, mengapa manusia tidak dapat secara mandiri membedakan baik dari buruk, yang benar-benar membuat alasan pertama mendekat ke ketidaktulusan, adalah epistemologis: manusia tak dapat mengetahui sesuatu yang tidak eksis untuk diketahui (tak peduli ia tertarik atau tidak). Karena pada hakekatnya tidak ada benar atau salah, tak ada yang perlu diketahui dalam hal ini. Akibatnya, teolog Ash’arit, Abu’l el-Ma’ali al-Juwayni (1028-1085), guru al-Ghazali, menyimpulkan, “tak ada kewajiban akal menjadi hamba atau menjadi Tuhan.” Statemen penting ini berarti tak ada yang manusia ketahui atau dapat pelajari dengan akalnya yang mungkin memberi bobot moral thp apa yang harus atau tidak harus ia lakukan. Juga berarti bahwa kewajiban “moral” yang ditetapkan Tuhan atas manusia tak berasal dari akal, juga tidak ada apapun yang harus Tuhan lakukan berdasar akal. Tuhan dapat memerintah apa yang jahat jadi baik, atau baik jadi jahat. Akal tak ada hubungannya dengan keadilan atau moral. Hanya kehendak mutlak ilahi yang melakukannya. :prayer:

bersambung
The Loss of Objective Morality
ali5196
Posts: 16757
Joined: Wed Sep 14, 2005 5:15 pm

Post by ali5196 »

Hilangnya Objektivitas Moral

Karena akal bukan sumber kebenaran moral, al-Ghazali sepakat dengan al-Juwayni: “Kewajiban tidak berasal dari akal tetapi dari syariah.” \:D/

Berdasarkan ilmu metafisika, wahyu punya wewenang eksklusif dalam masalah moral karena segala sesuatu atau segala tindakan tidak memiliki sifat atau esensi baik dan buruk. Secara moral semua tindakan netral. Seperti yang diajarkan al-Juwayni, “Ulama tidak menyatakan suatu perbuatan mulia atau keji berdasar pertimbangan yang mengikat (hukm al-takif), tapi berdasarkan sumber-sumber hukum (shar’) dan tradisi bila diperlukan. Prinsipnya, sesuatu tidak disebut mulia karena dirinya sendiri, sifatnya ataupun atribut yang dimilikinya.

Islam jenis ini secara tegas menjawab pertanyaan terkenal Socrates dalam ‘Euthyphro’ (dialog antara Socrates dan Euthypro): “Apakah orang saleh atau suci dikasihi para dewa karena kesalehannya? Ataukah ia saleh karena dikasihi para dewa?” Ash’arit memilih yang kedua. Tuhan tidak memerintahkan perilaku tertentu karena perilaku tsb baik; tetapi perilaku tsb baik karena Ia yang memerintahkannya. Sama halnya, Ia tidak melarang pembunuhan karena pembunuhan itu jahat; tetapi pembunuhan itu jahat karena ia yang melarangnya.

Tuhan itu kehendak murni, baik dan jahat semata-mata ketentuan Allah -– sesuatu disebut halal atau haram hanya karena Ia yang mengatakannya, tak ada sebab apapun. Jahat adalah apa yang dilarang. Apa yang dilarang saat ini mungkin diperbolehkan besok. Tuhan adalah hukum positif.

Al Ash'ari mengungkapkan pandangannya dalam dialog:
Dialog:
Karena Pencipta tidak tunduk dan terikat perintah siapapun, tak ada yang jahat di diriNya.
Keberatan : Lantas berbohong itu jahat hanya karena Tuhan yang menyatakannya.
Jawab : Tentu. Jika ia menyatakannya baik, jadilah baik; dan jika Ia yang memerintahkan, tak seorangpun yang dapat membantahnya.
Al-Ash’ari menyingkirkan semua sifat objektif dalam ciri tindakan itu sendiri. Kejahatan hanyalah soal patuh atau tidak patuh pada aturan. Sesuatu jahat hanya karena dinyatakan demikian oleh Tuhan. Kita tahu batasan dan ruang lingkupnya lewat wahyu. Al-Juwayni berkata: “Makna ‘baik’ adalah bila kitab suci memberikan pujian pada pelakunya, dan ‘jahat’ bila kitab suci menghujat pelakunya.”

Tak seorangpun punya otoritas mengatur batasan dan ruang gerak Tuhan. Al Ash’ari menulis: “Bukti bahwa Ia bebas melakukan apapun yakni bahwa Ia adalah Pemegang Kekuasaan Tertinggi, tak tunduk pada siapapun, tak ada yang lebih unggul dariNya, yang mengijinkan, memerintah, menegur, melarang, atau mendikte apa yang harus Ia lakukan serta menetapkan batasan bagiNya. Jadi, tak ada yang jahat di diriNya. Kejahatan ada di diri kita, karena kita melanggar batasan dan menetapkan aturan sendiri yang bukan hak kita. Pencipta tidak tunduk dan terikat perintah siapapun, tak ada yang jahat di diriNya.

Tuhan tidak tunduk pada keadilan atau ketidakadilan. Tak ada standar yang bisa mempertanyakanNya. Jika Tuhan adalah kehendak murni, satu tindakan dari kehendak murniNya tak dapat dipertentangkan secara moral dengan tindakanNya yang lain. Tak ada standar diluar Dia yang dapat melakukannya; juga tak ada standar di diriNya. Ia melampaui segala yang baik dan jahat --Tuhan adalah penganut (ajaran) Nietzsche.

[Siapa Friedrich Nietzsche....??? http://revoltagain.multiply.com/journal/item/6]

Pandangan Ash’arit thp Tuhan merupakan suatu pembelaan atau ekspresi Thrasymachus di ‘The Republic’ yakni, kebenaran diatur/didikte oleh pihak yang kuat. Ash’arisme adalah teologi “might makes right,” (kekuatan berarti kebenaran). Karena Tuhanlah yang terkuat, maka sesuai kehendakNya, aturanNya adalah kebenaran. Tuhan bukan saja penganut Nietzsche, tapi juga sophist, sebagaimana Thrasymachus.

[Siapa Thrasymachus? http://dokasg.wordpress.com/2008/08/16/ ... filosofis/]

George Hourani menyebutnya “subjectivisme teistik.” Ia berkata, “Sifatnya 1) subjektif karena berdasarkan nilai yang dianut hakim, mengabaikan sifat objektif dalam ciri tindakan itu sendiri, benar atau salah tergantung keputusan atau opini seseorang. 2)Teistik, karena yang menetapkan nilai itu Tuhan. Istilah lazimnya, ‘etika kehendak bebas.’” Filsuf Iran, Abdulkarim Soroush, menyebut Ash’arit sebagai kaum “nominalis” dalam ajaran Islam.

Masyarakat apa yang dihasilkan Tuhan penganut Nietzsche ini? Akan kita bahas di bagian lain.

Mungkin kita bertanya-tanya adakah koneksinya dengan situasi di Jerusalem, hasil pengamatan pengarang Prancis, Chateaubriand, dalam bukunya ‘Itinéraire de Paris à Jérusalem’ (1811), yang memiliki kemiripan luarbiasa dengan bayangan masyarakat yang diatur sesuai diktum Thrasymachus: “Terbiasa mengikuti nasib tuannya, masyarakat disini tak punya hukum yang dapat menghubungkan mereka dengan gagasan tata tertib dan tata cara politik: membunuh, jika lebih kuat, tampaknya sah-sah saja; mereka tak peduli pada keadilan…….tidak mengenal kemerdekaan; tak punya hak milik; kekuatan adalah Tuhan mereka.

Konsep Tuhan tanpa moral yang luarbiasa ini adalah solusi masalah theodicy Ash’arit akibat mengabaikan kehendak bebas
manusia, TAPIIII ... di saat yang sama masih menyisakan eksistensi kejahatan. Bila Mu’tazilla berpendapat kejahatan berasal dari kehendak manusia yang salah, maka Ash’arit tak punya referensi mengenai masalah ini, karena menyangkali kehendak bebas manusia. Jika Tuhan penyebab tunggal, bukankah Dia juga penyebab kejahatan? Untuk melepaskan Tuhan dari masalah ini, Ash’arit menempatkan Tuhan di atas moral, atau bahkan tanpa moral.

Al-Juwayni juga menyingkirkan penjelasan Mu’tazilla ttg penderitaan sebagai akibat dosa atau sebagai alasan untuk mendapat pahala berlipat di sorga. Bagi al-Juwayni usaha pembenaran Tuhan seperti itu tidak perlu dan lancang; George Hourani menafsirkan perkataan al-Juwayni mengenai “penderitaan yang diberikan Tuhan pada manusia dan hewan,” sbb: “cukuplah sebagai pemahaman bahwa mereka hanya ciptaan Tuhan, dan segala sesuatu yang diciptakan Tuhan itu baik karena diciptakan.” Jadi, dengan sedikit permainan sulap positivisme, masalah kejahatanpun hilang.

Walau bukan seorang Ash’arit, Ahmad ibn Hazm, pengikut sekte Zahiri (sekte yang menginterpretasi Qur’an sesuai makna literal tanpa penggunaan qiyas atau analogi), melantunkan pendapat serupa di Spanyol abad ke-11, yang memperlihatkan luasnya perlawanan thp Mutazilla. Katanya:
“Siapapun yang berkata bahwa Tuhan tidak melakukan apa yang baik dan buruk--berdasarkan pemahaman manusia, orang tsb telah…… menggunakan argumen manusia pada Tuhan. Tuhanlah yang membuat sesuatu jadi baik atau buruk. Tak ada di dunia ini yang baik atau buruk karena esensinya sendiri; apa yang Tuhan bilang baik, pastilah baik, dan pelakunya berbudi luhur; dan apa yang Tuhan bilang jahat, pastilah jahat, dan pelakunya pendosa. Semua tergantung ketetapan Tuhan, karena suatu tindakan baik di satu waktu bisa jadi jahat di waktu lain.”
Dalam pidatonya di Regensburg, Paus Benedict XVI, mengacu pada aspek Islam ini saat mengutip Ibn Hazm, katanya “Menyembah berhalapun harus dituruti, jika itu kehendak Tuhan.” Jadi, “keharusan moral hanya dipahami hanya dalam makna wahyu,” dan bukan akal. Ibn Hazm berkata, “Fungsi kecerdasan hanya untuk mengerti perintah Allah Ta’ala dan [memahami] kewajiban [atau keperluan] agar terhindar dari siksaan abadi.”

Di abad ke-14, al-Misri mengulang lagi ajaran Ash’arit ttg ketidakmampuan akal memahami etika dan monopoli wahyu dalam hal ini: “Premis dasar ajaran ini yi. Tanggung jawab moral terletak pada melakukan apa yang sudah digariskan sebagai baik dan menghindar dari apa yang sudah dilarang si Pemberi Hukum (Allah dan rasulnya). Ukuran baik buruk bukan berdasarkan pemahaman akal budi tapi berdasarkan Hukum Suci.”

Muhammad Yusuf as-Sanusi memperlihatkan betapa konsistennya pandangan ini diterapkan saat ia menyatakannya lagi di awal
abad ke-15
,: “Tak mungkin bagi Yang Maha Tinggi mewajibkan atau melarang sesuatu……disebabkan objektivitas apapun juga, karena semua tindakan sama sejak diciptakan. Kewajiban atau larangan atau ketetapan apapun semata-mata oleh kehendak murniNya. Tak ada tempat bagi pemahaman akal, cukup diketahui lewat hukum Islam (syariah).”

Pandangan tsb tetap relevan hingga kini. Ed Husain, Muslim Islam Inggris, mengatakan dalam bukunya, ‘The Islamist,’ “Sheikh Nabhani [pendiri Hizb ut-Tahrir, kelompok yang bertujuan mengembalikan kekhalifahan] selalu mengajarkan bahwa moralitas tak dikenal dalam Islam; hanya apa yang diajarkan Tuhan. Jika Allah mengijinkan, itulah yang bermoral. Jika Ia melarang, itulah yang tidak bermoral.”

Konsekuensi orientasi etika ini, tertuang dalam deskripsi pakar Islam ternama, Ignaz Goldziher, ttg perilaku orang Arab setelah Muhammad: “Orang tidak banyak bertanya baik atau pantas apa yang dikatakan atau dilakukan Nabi dan sahabat-sahabatnya, atau apakah tradisi yang sudah diwariskan secara turun temurun itu merupakan pemikiran dan perilaku yang pantas.”

Karena tidak ada tindakan yang bisa disebut 'baik' atau 'pantas', satu-satunya patokan adalah sekumpulan hukum positif lengkap
yang bersumber pada kitab suci dan catatan laporan perkataan serta tindakan Muhammad. Jadi panduan moral tidak didapatkan dari pengkajian filsafat moral, TAPI dari mempelajari isnad (sanad), atau rangkaian penyampaian untuk mengotentifikasi (ke-sahihan) perkataan Muhammad dalam hadis, yang dapat diterapkan dalam situasi tertentu-–jika tidak didapat petunjuk yang jelas dari Qur’an. JADI, hadis tidak dinilai berdasarkan kebaikan hakiki atau nilai moral, tapi hanya berdasar silsilah dan kredibilitas para saksi. Berikut contoh sanad untuk validitas sebuah hadis yang digunakan wakil Osama bin Laden, Ayman al-Zawahiri: “Kami mendengar dari Harun bin Ma’ruf, dikutip dari Abu Wahab, yang mengutip Amru bin al-Harith mengutip Abu Ali Tamamah bin Shafi yang mendengar dari Uqbah bin Amir \:D/ berbunyi, ‘Aku mendengar Nabi berkata di mimbar: “Perangi mereka, persiapkan kekuatanmu.”

Pentingnya pengaruh pemikiran Ash’arit tidaklah berlebihan. Akibat pengaruh ini, pemikiran filsafat moral menjadi mustahil. Islam yang seperti ini tidak memberi celah bagi manusia untuk menyatakan sifat kebaikan alami yang ada di dirinya. Kebaikan
hanya dipahami sebagai bentuk kepatuhan pada perintah Tuhan
—apapun itu—dan tidak terkait dengan logika internal dalam diri manusia atau ciptaanNya. Dikatakan Qur’an: “Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu; Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.”(2:216) Bukan hanya kamu tidak tahu tapi tidak dapat tahu. Sebab itu, seseorang hanya dapat mengetahui baik buruk dari Qur’an atau dari syariah semata. Berarti, tak ada perbedaan antara hukum dan moralitas. Hukumlah
moralitas. Tiada moralitas selain hukum Islam. Akibatnya, tulis Fazlur Rahman, ajaran “akal murni tidak menghasilkan kewajiban atau ‘akal bukan pembuat hukum’ (inna l-aql laysa bi-shari) menjadi aksioma hukum di kalangan hakim Islam.” Ajaran ini meresap dengan baik hingga abad ke-19. ‘Abd al-Ali Muhammad al Ansari berkata, “Tak seorangpun yang mengaku beragama Islam, akan berani menganggap akal manusia sebagai penyandang hukum.”

Hal ini berdampak pada begitu dominannya yurisprudensi (hukum fiqh) dalam Islam Sunni. Dominasinya merupakan akibat langsung dari metafisika occasionalist (disebabkan runtuhnya epistemology), dan etika voluntaristik yang disodorkan Ash’arit. Dominasinya didapat lewat serangkaian proses penghilangan. Hanya Fiqh (hukum Islam) yang tersisa. Dampak jangka panjangnya sangat dirasakan dalam dunia Islam, spt dijelaskan ulama Islam kontemporer, Bassam Tibi, “Fiqh ortodoks berkuasa menetapkan kurikulum pendidikan Islam. Dengan demikian, perbedaan antara fiqh dan filsafat (falsafa) menghilang. Dalam Islam, ilmu/sains diidentifikasi sebagai fiqh. Perdebatan dilarang, dan pola pikir semacam ini membawa keruntuhan peradaban Islam.” Ia menambahkan, “Kontrol atas sistem pendidikan memungkinkan kaum Fiqh ortodoks mencegah kaum rasionalis Islam yang mencoba mendobrak konsep religius warisan mengenai tatanan alam.” Akibatnya, berpikir kritis diganti dengan belajar hafalan. Menghafal jadi fitur paling menonjol dalam pendidikan Islam.

Dilarangnya etika sebagai suatu landasan berpikir rasional, secara logis berakibat pada moral yang kekanak-kanakan di kalangan Muslim, karena mereka tidak diizinkan untuk berpikir sendiri atau menilai baik buruk suatu hal. Jika ia tidak memiliki cukup pengetahuan ttg hukum Islam mengenai suatu hal, ia harus bertanya pada otoritas hukum Islam. Bahkan dijaman ini ada program2 seperti ‘dial-a-fatwa program’ (program telpon fatwa) di Kairo, dimana seorang mufti (ulama) lewat telpon menjawab kebingungan moral hari ini. TV, radio dan Koran juga menawarkan siaran-siaran fatwa serupa.

Reductio ad absurdum (cara mereduksi yang absurd) seperti ini, diilustrasikan Bapa Samir Khalil Samir, pastor Jesuit Mesir, dengan mengambil contoh di Kairo th. 2006:
“Bolehkah petugas laundry mencuci pakaian perempuan yang tidak berjilbab?”

Atau:

“Jika seorang perempuan keluar kamar mandi tanpa ada penutup badan dan ada anjing di apartemennya, apakah ia melakukan sesuatu yang terlarang?”
Jawab: “Tergantung anjingnya. Kalau anjingnya laki-laki, perempuan tsb melakukan sesuatu yang terlarang.”

Fatwa lain, dilaporkan oleh media:

“Sewaktu aku sholat seorang perempuan melintas. Sholatku sah tidak?”
Jawab: “Jika seekor keledai, seorang perempuan, atau seekor anjing hitam melintas, sholat harus diulang. Karena keledai adalah hewan najis; anjing hitam mungkin iblis setan yang menyamar; perempuan bagaimanapun juga najis.”
:rolling:

Jangankan menerima moral dalam batas jangkauan akal, Ash’arit takut sekali bahwa jika manusia dapat secara mandiri mencapai pemahaman antara baik dan buruk, maka manusia akan jadi mandiri pula. Hal ini tidak boleh, [-X karena secara langsung dan secara radikal menentang status ketergantungan total manusia pada kekuasaan Tuhan. Tuhan tidak menyerupai apapun, atau dapat dibandingkan dengan apapun. Jika manusia dapat memastikan moral dengan akalnya, ia akan seperti Tuhan, atau mengambil rupaNya. Ini disebut syirik. Oleh karena inilah, kebebasan nurani tidak diakui oleh keempat ajaran resmi Islam Sunni.

Premis yang mendasari kebebasan nurani adalah bahwa manusia mampu menilai kebenaran moral karena dianugerahi sarana untuk itu, yakni akal mereka. Ini benar, walaupun akal manusia bisa dikorupsi oleh kepentingan pribadinya. St. Agustin
berkata,
“Tiada jiwa, sejahat apapaun, selama ia masih dapat berpikir, yang tidak akan diajak bicara oleh Tuhan. Karena siapakah yang menuliskan hukum alam dalam hati manusia kalau bukan Tuhan?”
Meruntuhkan integritas akal berarti menghancurkan pondasi kebebasan nurani. TAPI dalam ajaran Ash’arit, akal tidak memiliki integritas, maka tak ada dasar bagi kebebasan nurani. Oleh karena itu pula, kata ‘nurani’ tidak eksis dalam bahasa Arab. Bukan berarti Islam tidak memiliki nilai moral. Hanya saja nilai moral tsb bukanlah produk nurani manusia. Islam jenis ini melarang kemungkinan adanya dasar pemikiran logis untuk menolak Islam, karena ajarannya sama sekali tidak memberi landasan bagi akal. Islam disebut din al-fitra, agama yang sesuai dengan fitrah manusia, karena langsung diwahyukan oleh penyebab pertama dan satu-satunya, Allah. Sebab itu segala bentuk penyimpangan harus dilihat sebagai bentuk kejahatan yang disengaja. Qur’an memperingatkan: “Barangsiapa mencari agama selain agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) daripadanya, dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang rugi.” (3:85)

Inilah sebabnya mengapa setiap mazhab resmi Sunni menetapkan hukuman mati bagi yang murtad.


Hilangnya Keadilan

Hukum adalah satu-satunya yang tersisa dalam reruntuhan (puing peradaban Islam)—hukum sebagai bentuk pemaksaan kehendak Tuhan. Terlebih lagi dalam makna klasik, hukum tak ada kaitannya dengan keadilan. Ini hukum yang berongga, yuridis murni, tak berdasar hukum alam. Jika keadilan memberi hak pada segala sesuatu sesuai keberadaannya (sifat alaminya), maka manusia harus memahami sesuatu itu agar dapat bertindak adil. Tapi karena segala sesuatu dalam pandangan Ash’arit tidak memiliki sifat alami, manusia tak bisa memahaminya dengan cara ini; segala sesuatu hanyalah kumpulan atom sesaat.

Lantas, apa keadilan itu, bagaimana membahasnya? Kelihatannya hanya dengan mengatakan : Tuhan menyuruh sesuatu hal dan melarang yang lain—ranah eksklusif wahyu. Al-Shafi’i, pendiri mazhab Shafi’i, menegaskan, “Keadilan adalah kepatuhan seseorang pada Tuhan.” Apapun yang dikatakan hukum itulah keadilan, tak ada cara lain menafsirkan keadilan diluar definisi ini.

Dalam ‘Al-Mustasfa fi ‘Ilm al-Usul’ (terbaik [terpilih] dalam subjek teologi [Islam]), al-Ghazali menyatakan secara eksplisit: “Wajib [keharusan] tak punya arti (makna) selain apa yang telah Allah Ta’ala wajibkan (awjaba) dan perintahkan dengan ancaman hukuman atas kelalaiannya; jadi jika tak ada wahyu, apalah arti kata wajib?” [Dgn kata lain: tanpa wahyu, tidak ada kewajiban ---ali5196]

Jawaban atas pertanyaan retoris ini, sudah tentu, tidak ada. Tak perlu membenarkan perilaku manusia bila Tuhan tidak mewahyukan itu perlu; juga tak ada cara menjawab pertanyaan apakah kebenaran yang harus dilakukan selain yang diwahyukan.

Kemudian al-Ghazali mengajukan pertanyaan retoris lagi, “Jika Ia tidak memberi tahu, bagaimana kita bisa tahu ada pahalanya?” Sudah tentu, dalam premis Ash’arit, tidak akan dan tidak dapat diketahui jika Ia tidak memberi tahu (lewat wahyu). Tak seperti Mu’tazilla, al-Ghazali tak bisa menjawab bahwa pahala diperoleh dari sifat Tuhan yang esensiNya meliputi atribut keadilan-- pemahaman yang juga telah dikaruniakanNya pada manusia. Berlawanan dengan Mu’tazilla, bagi Ash’arit wahyu tak hanya menyatakan baik buruk; tapi juga mengandung kebaikan dan kejahatan. Sebab itu, wahyu adalah sumber informasi tunggal ttg apa yang harus diberi pahala.

Mengapa Tuhan menghukum tindakan tertentu dan memberi pahala tindakan lain? Karena Tuhan dapat membuat aturan tanpa alasan, tentunya tak ada jawaban atas pertanyaan ini. Lantas, apa isi keadilan ini? Jika seseorang berperilaku sesuai pengertian keadilan ini, adakah konsekuensi yang dapat diandalkan atas suatu tindakan? Karena haram hanya soal ketentuan Tuhan semata, Tuhan dapat sewenang-wenang memutuskan memberi pahala perilaku tsb, dan menghukum perilaku yang halal? Kelihatannya bertentangan dengan ayat Qur’an (3:25): “Bagaimanakah nanti apabila mereka Kami kumpulkan di hari (kiamat) yang tidak ada keraguan tentang adanya. Dan disempurnakan kepada tiap-tiap diri balasan apa yang diusahakannya sedang mereka tidak dianiaya (dirugikan).”

Tapi Qur’an juga berkata, “Maka Allah mengampuni siapa yang dikehendaki-Nya dan menyiksa siapa yang dikehendaki-Nya; dan Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.”(2:284) Dan [color=408000]“Dia mengampuni bagi siapa yang dikehendaki-Nya dan menyiksa siapa yang dikehendaki-Nya. Dan kepunyaan Allah-lah kerajaan langit dan bumi serta apa yang ada di antara keduanya. Dan kepada Allah-lah kembali (segala sesuatu).”(5:18).[/color] Juga, “Tidakkah kamu tahu, sesungguhnya Allah-lah yang mempunyai kerajaan langit dan bumi, disiksa-Nya siapa yang dikehendaki-Nya dan diampuni-Nya bagi siapa yang dikehendaki-Nya. Dan Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.” (5:40).

Al-Ghazali menjelaskan:
“Keadilan Allah tak bisa dibandingkan dengan keadilan manusia. Manusia mungkin bertindak tak adil dengan mengambil hak orang lain, tapi ketidakadilan tidak ada dalam diri Allah. KuasaNya-lah menurunkan banjir besar pada umat manusia dan jika Ia melakukannya, keadilanNya tak bisa disalahkan. Tak ada yang mengikatNya melakukan sesuatu, ketidakadilan tak ada padaNya, dan Ia tidak menerima kewajiban dari siapapun.”
Ketidakadilan tak ada pada Tuhan, karena menurut al-Ghazali, keadilan berarti melakukan suatu kewajiban—suatu hal yang berakibat kesalahan serius bila tidak dilaksanakan. Tuhan tak punya kewajiban dan tak dapat disalahkan. Baik buruk, adil tak-adil, terkait masalah tercapai tidaknya tujuan. Karena Tuhan tak punya tujuan, istilah ini tak berarti bagiNya. Ia dapat melakukan apapun tanpa dipersalahkan. Dinyatakan dalam Qur’an ”Dia tidak ditanya tentang apa yang diperbuat-Nya dan merekalah yang akan ditanyai.”(21:23)

Dalam ‘Middle Path in Theology,’ al-Ghazali berkata,
“Kami tegaskan bahwa Allah Ta’ala bebas untuk tidak memaksakan kewajiban pada hambaNya, sebagaimana Ia juga bebas memaksakan kewajiban yang mustahil dilakukan, menyebabkan rasa sakit pada hambaNya tanpa penggantian dan tanpa [didahului] perlawanan [dari mereka]; tak perlu bagiNya memperhatikan apa yang paling menguntungkan bagi mereka, atau memberi pahala atas kepatuhan atau hukuman atas ketidakpatuhan.”


Ini merupakan antithesis ajaran Mu’tazilla bahwa Tuhan harus memberi pahala atas kebaikan dan hukuman atas kejahatan, dan Ia takkan memaksakan kewajiban pada manusia diluar batas kemampuan mereka.

Al-Ghazali mengutip Allah: “Mereka (yang ditakdirkan--ali5196) untuk kebahagiaan, Aku tak perduli; dan mereka (yang ditakdirkan) untuk Neraka, Aku tak peduli.” Ekspresi ketidakpedulian ilahi ini didukung hadis:
“Abu Darda meriwayatkan bahwa Nabi saw berkata: Allah menciptakan Adam. Lalu Ia memukul bahu kanannya dan mengeluarkan ras putih seolah mereka benih, dan Ia memukul bahu kirinya dan mengeluarkan ras hitam seolah mereka arang. Lau Ia berkata pada yang kanan: 'Pergilah ke surga dan Aku tak perduli.' Ia berkata pada yang kiri: 'Pergilah neraka dan Aku tak peduli.'”


Sebuah cerita popular, kemungkinan fiksi, dikisahkan sejarawan abad ke-19, Sir William Muir, yang menggambarkan hal serupa:
Sewaktu Kalif Omar/Umar berangkat ke Yerusalem untuk menerima penyerahan diri, ia menyampaikan pidato, yang diantaranya mengutip Qur’an: “Barangsiapa yang Allah beri petunjuk, maka tidak ada yang dapat menyesatkannya, dan barangsiapa yang Allah sesatkan, maka tidak ada yang dapat memberinya petunjuk.” Tiba-tiba, “God forbid!” teriak seorang pendeta Kristen di tengah kerumunan, menyela sang Kalif, jubahnya berguncang tanda kegusaran; “Tuhan tidak menyesatkan siapapun, melainkan menghendaki jalan yang benar bagi semua.” Omar meminta agar Kristen itu menjelaskan maksudnya. Si pendeta berkata ke arah orang-orang, “Tuhan tidak menyesatkan siapapun.” Omar lalu melanjutkan pidatonya, dan untuk kedua kali, si pendeta menyela dengan kata-kata menjengkelkan. Omar marah dan berkata: “Demi Tuhan! Jika ia melakukannya sekali lagi, aku akan memenggal kepalanya saat ini juga.” Lantas, si pendeta terdiam, dan Omar meneruskan, “Barangsiapa yang Allah beri petunjuk, maka tidak ada yang dapat menyesatkannya, dan barangsiapa yang Allah sesatkan, maka tidak ada yang dapat memberinya petunjuk.”
Tentu saja kata-kata si pendeta terdengar mirip dengan seorang Mu’tazilla.

Pandangan ttg kesewenang-wenangan Allah secara konsisten dianut Ash’arit dan pengikutnya. Dalam ‘Kitab al-Fisal (Detailed
Critical Examination
)’ Ibn Hazm (994-1064) menegaskan, “Ia menghakimi sesuai kehendakNya dan apapun keputusanNya adalah adil.” Ibn Hazm memperjelas “apapun” dapat berarti segala sesuatu: “Jika Allah Ta’ala memberitahu kita bahwa Ia akan menghukum kita atas tindakan orang lain ….atau atas kepatuhan diri kita, itu semua benar dan adil, dan kita tak seharusnya berkeberatan menerimanya.” Teolog Ash’arit, Al Fakhr al-Razi (1149-1209), menyatakan: “Menurut agama kita, mungkin saja Tuhan mengirim penghujat ke surga dan orang benar serta penyembahNya ke neraka abadi, karena hak kepemilikan ada padaNya dan tak seorangpun dapat menghentikanNya.” Tentunya ini persis berlawanan dengan ajaran Abd al-Jabbar (Mu’tazilla) mengenai “Janji dan Ancaman,” dan keduanya sama-sama mengandalkan ayat Qur’an yang bermakna ganda ttg keadilan.

Bagi pihak luar, dimensi yang berubah-ubah dari bentuk Islam ini nampak gamblang di abad pertengahan. Filsuf besar Maimonides (1135-1204) bercerita pengalamannya di Mesir sebagai gambaran cara pikir penganut Islam:
Setiap pagi, kalif berkeliling Kairo melewati rute yang sama, tapi keesokan harinya ia bisa saja mengambil rute yang berbeda. Mengapa? Karena ia kalif dan bebas melakukan keinginannya. Setiap pagi matahari terbit di Timur dan terbenam di Barat. Tahun demi tahun; juga hari ini. Tapi besok, mungkin terbit di Selatan dan terbenam di Utara. ](*,) Tergantung kehendak Allah dan tak ada yang berkata tak mungkin. (Kenyataannya, beberapa literatur apokalips Islam memprediksikan matahari akan terbit di Barat.) Maimonides menyimpulkan bahwa, segala yang eksis secara konstan serta dalam bentuk, dimensi dan properti yang permanen [di alam] hanyalah mengikuti kebiasaan…….Berdasarkan pondasi inilah keseluruhan struktur (ajaran Islam) dibangun.”
Maimonides bukan satu-satunya yang menyadari masalah ini. Dalam ‘Lecture on the History of Philosophy,’ Hegel mengamati, di dalam Islam versi ini, “aktivitas Tuhan digambarkan sebagai peniadaan rasio yang sempurna.” dan, “Yang kita lihat disini adalah pemutusan total kesalingtergantungan antar segala hal yang terkait rasionalitas…………[aktivitas Tuhan] sama sekali abstrak, dan itulah sebabnya perbedaan (antar berbagai hal) yang diterima sebagai suatu fakta, menjadi suatu ketidakpastian ………… Dunia Arab mengembangkan sains dan filsafat atas dasar ketidakpastian ini.

Dalam buku ‘The Decline of the West,’ Oswald Spengler menulis, “Islam gambaran tepat kemustahilan manusia sebagai makhluk bebas yang memiliki karakteristik dan fungsi yang sama dengan Tuhannya …… Di seluruh alam semesta hanya ada satu penyebab langsung semua kejadian: suatu bentuk ke-ilahian yang tak memerlukan alasan atas segala tindakannya.”

Aspek ke-Tuhanan ini juga diungkap penganut Islam radikal, Sayyid Qutb dalam ‘The Shadow of the Qur’an: “Setiap kali Qur’an menyatakan suatu janji atau hukum yang tetap, ini akan selalu diikuti sebuah pernyataan tersirat bahwa kehendak Ilahi bebas dari semua batasan dan larangan, bahkan oleh janji atau hukumNya sendiri. KehendakNya adalah absolut dan melampaui segala janji dan hukum.''


Hilangnya Kehendak Bebas

Metafisika Ash’arit yang membuat keadilan Tuhan tidak terpahami—karena keadilan didefinisikan sbg: apapun yang dilakukan Tuhan—juga berdampak buruk pada kebebasan manusia. Bagi Mu’tazilla, kebebasan manusia merupakan masalah keadilan Tuhan, sedang bagi Ash’arit ini justru merupakan pelanggaran atas kemahakuasaan Tuhan. Bagi mereka, Tuhan tidak akan mahakuasa lagi jika ada makhluk lain punya kuasa. Kekuasaan tak dapat dibagi. Jika manusia penyebab dari tindakannya sendiri, lantas bagaimana Tuhan itu bisa mahakuasa? Penyebab Pertama haruslah jadi penyebab satu-satunya. Lantas, apa implikasinya bagi manusia jika ia hanya terdiri dari atom-atom ruang-waktu yang diciptakan dan dihancurkan seketika atas perintah Tuhan? Apakah manusia tetap memiliki kapasitas bertindak sendiri? Dalam bukunya, Al-ibanah ‘an Usul al-Diyanah (The Clear Statement on the Fundamental Elements of the Faith), al-Ash’ari menyatakan kekuasaan tirani Tuhan mengalahkan inisiatif manusia:
Kami yakin bahwa Tuhan menciptakan sesuatu hanya dengan memerintahkan: Jadilah, sebagaimana tercantum [dalam
Qur’an 16:4o]: “Sesungguhnya perkataan Kami terhadap sesuatu apabila Kami menghendakinya, Kami hanya mengatakan kepadanya: "KUN (jadilah)", maka jadilah ia” ; dan tak ada baik atau buruk di dunia, kecuali yang sudah ditentukan Allah. Kami percaya segala sesuatu adalah melalui kehendak Allah dan tak seorangpun dapat melakukan sesuatu sebelum Ia melakukannya, atau bertindak tanpa bantuan Allah, atau melepaskan diri dari kekuasaan Allah. Tidak ada Pencipta lain selain Allah, dan segala perbuatan ciptaan diciptakan dan ditentukan sebelumnya oleh Allah, seperti kataNya [di Qur’an 37:96]: “ Padahal Allah-lah yang menciptakan kamu dan apa yang kamu perbuat itu.” …….

Kami percaya Allah menolong orang beriman untuk mematuhiNya, memilih mereka, melebihkan mereka, bermurah hati pada mereka, memperbaharui dan menuntun mereka; sebaliknya, Ia menyesatkan orang tak beriman, tak menuntun atau memberi petunjuk dengan tanda, karena mereka telah dinyatakan kafir sesat. Akan tetapi, jika Ia hendak memilih dan memperbaharui mereka, mereka akan dibenarkan, dan jika Ia hendak memberi petunjuk, mereka akan diberi petunjuk ……….Tapi kehendakNya juga bila mereka harus tersesat [sing: kafir], sebagaimana yang Ia telah tetapkan sebelumnya. Karena Ia telah meninggalkan dan mengunci hati mereka. Kami percaya baik buruk adalah keputusan dan takdir Allah [qada’ wa qadar]: baik buruk, manis pahit, dan kami tahu bahwa apa yang ditetapkan luput dari kami tidak akan menimpa kami, dan apa yang ditetapkan menimpa kami tidak akan luput dari kami, dan ciptaan tak dapat menghasilkan keuntungan atau kerugian bagi diri mereka sendiri, tanpa Allah.
Manusia tak dapat memulai ataupun menyelesaikan suatu tindakan, ia hanya punya niat dan ia akan diadili berdasar niatnya itu.

Duncan MacDonald meringkas pandangan Ash’ari tsb:
“Tiada yang lain kecuali Allah yang melakukan semua tindakan—semuanya. Dari dan oleh Allah semua tindakan. Misal, saya mengangkat buku ini, mustahil dikatakan tindakan tersebut saya yang melakukannya …….gerakan tanganku memegang buku, mengangkatnya, gerakan buku itu sendiri ke atas, semua melibatkan serangkaian—secara cepat tentunya—penciptaan ajaib langsung dari Allah.” Dan: “Manusia tak dapat menciptakan sesuatu; Tuhanlah satu-satunya; kekuatan manusia tak berakibat apapun terhadap tindakannya. Tuhan menciptakan kekuatan (qudrah) dan pilihan (ikhtiyar) pada ciptaannya. Kemudian Ia ciptakan tindakan berkaitan dengan kekuatan itu dan pilihan juga tercipta.” Contoh, seseorang mengambil pena dan menulis. Sebenarnya, Tuhan yang menciptakan keinginan menulis dalam diri orang itu, kekuatan untuk menulis, serta gerakan tangan dengan pena ke kertas. Lalu Allah juga yang menciptakan gambar-gambar yang muncul di kertas yang tersentuh pena.
Lantas, dengan cara apa manusia dapat bertindak? Ash’ari menjawab dengan gagasan aneh bahwa manusia “menerima” semua tindakan tsb dari Tuhan, Penyebab sebenarnya. Teori penerimaan tsb mirip pendapat Jabrite Jahm bin Safwan (w.745), yang berkata bahwa tindakan manusia dihubungkan dengan dirinya sendiri sebagaimana “tumbuhnya buah pada pohon.” Pengikut Ash’arite, Al Shahrastani (w.1153) mencoba menjelaskan bahwa “Tuhan menciptakan, dalam diri manusia, kekuatan, kemampuan, pilihan, dan niat untuk melakukan suatu tindakan, dan manusia, yang dianugerahi kekuatan ini, bebas memilih salah satu alternatif, dan bermaksud atau berniat melakukan tindakan, yang mana tindakan ini diciptakan dan diselesaikan Tuhan.” Juga Tuhan ciptakan dalam pemikiran manusia tsb penerimaan atas tindakannya, artinya, bahkan penerimaan manusia itu sendiri atas tindakannya langsung diciptakan Tuhan. Jika manusia merasa bebas atas tindakannya, itu semata-mata karena Tuhan telah menempatkan perasaan tsb dalam dirinya.

Ash’ari tetap berpegang pada ketidaknyataan tindakan manusia—dalam arti manusia tidak bertindak benar-benar karena kehendak bebas dan tenaganya—yang tersirat dalam teori ini, karena Tuhan yang menciptakan tindakan dan kehendak untuk bertindak. “Jika Tuhan dapat menciptakan doa dalam seseorang agar ia menjadi pendoa, mengapa tak mungkin bagiNya menciptakan keinginan dalam diri seseorang? [Dengan demikian] orang tersebut menjadi berkeinginan. Atau [mengapa tidak mungkin menciptakan] pidato, agar seseorang menjadi orator?” Mu’tazilla mengatakan bahwa pidato semacam itu bukanlah pidato nyata, karena karakter penciptaannya, seperti orang yang bicara dalam tidur. Jawab Ash’ari: “Apakah itu perkataan penderita epilepsi, orang bicara dalam tidur, atau perkataan orang dalam keadaan sadar, semuanya tidak nyata.” Al-Ash’ari menyamakan kesadaran, pidato rasional dengan gumaman irasional bawah sadar. Pembicaraan orang yang sedang sadar atau sedang tidur penyebab dan aktornya sama, Tuhan.

Al-Ash’ari memperjelasnya dalam format dialog:
Tanya : Mengapa terjadinya suatu tindakan yang merupakan suatu penerimaan (dari Tuhan) tidak membuktikan bahwa tidak ada penyebab atau pencipta lain, selain Allah?
Jawab : Tepat, persis seperti itulah yang kami katakan.
Tanya : Lantas, mengapa hal itu tidak membuktikan tidak ada kekuasaan lain selain Allah?
Jawab : Tak ada penyebab lain yang menjadikan sesuatu sebagaimana adanya kecuali Allah, dan tak ada kekuasaan lain yang menjadikan sesuatu sebagaimana adanya, dalam arti yang menciptakan, selain Allah.
Jika manusia tak punya kapasitas sbg penyebab tindakannya sendiri, gagasan kehendak bebas tentunya jadi tak masuk akal, begitu pula gagasan “penerimaan.” Dalam kritikannya, Averroes berkata bahwa Ash’arit meyakini “walaupun manusia punya kuasa untuk ‘menerima,’ apa yang ia terima dan juga tindakan menerima itu, keduanya diciptakan Tuhan…. Tapi hal ini jadi tak berarti, karena jika Tuhan Yang Mahakuasa menciptakan baik kuasa untuk menerima dan apa yang diterima manusia, maka si hamba yang menerimanya sudah tentu perlu ditentukan sebelumnya. (Lara: predestinasi)

Sbg pengganti kehendak bebas, Ash’arit memperkuat kecenderungan predestinasi tradisionalis. Al-Ghazali berkata, “Di balik lautan [pemahaman keadilan Tuhan], terletak misteri predestinasi, dimana banyak yang mengembara dalam kebingungan dan yang sudah tercerahkan dilarang membuka rahasia. Intinya, baik dan buruk telah ditakdirkan sebelumnya. Apa yang ditakdirkan, tentu terwujud menyusul kehendak ilahi. Tak ada yang dapat menentang keputusan Tuhan, serta menggugat ketetapan dan perintahNya.”

Menarik diperhatikan bahwa al-Ghazali yang menentang ide kausalitas deterministik/konsep sebab akibat, bagaimanapun juga, seorang penganut predestinasi yang bersikeras bahwa segala sesuatu perlu terjadi (yi: sebab akan menimbulkan akibat--ali5196). Kelihatannya, bukan kausalitas, tapi penyebabnya yang jadi masalah.

Bagaimana tindakan langsung Tuhan terhadap manusia bisa dijelaskan secara metafisik? Menurut pengamatan Ilmuan Islam, Len Godman: “Ash’arit mengakui bahwa kita bertindak sesuai kapasitas ….Tapi kapasitas, bagi Ash’arit, diciptakan Tuhan di momen terjadinya tindakan. Tidak eksis sebelumnya (semacam kebiasaan atau potensi tak terwujud semata), dan juga bukan polivalen (bisa lebih dari satu). Jika kapasitas untuk bertindak mendahului tindakan, Ash’ari berargumen, pasti tindakan sudah terjadi. Dengan kata lain, segala sesuatu terjadi seketika atau, jelas Goodman, “hanya yang terjadilah yang nyata.” Dan juga, potensi hanya eksis untuk suatu tindakan, bukan kekuatan yang eksis mendahului tindakan. ](*,)

Ash’ari berkata, “Tak seorangpun melakukan sesuatu sebelum ia melakukannya.”

Fazlur Rahman mengillustrasikan maknanya:.” “Sebelum aku mengangkat lenganku, aku tak punya kekuatan mengangkat lenganku; Tuhan menciptakan kekuatan dalam diriku, disaat aku benar-benar mengangkat tanganku.” Tindakan yang terjadi adalah satu-satunya tindakan yang dapat terjadi. Ash’ari menjelaskan, “Ini suatu kondisi penciptaan kekuatan yang eksistensinya mencakup eksistensi objek kekuatan tsb.” Tindakan harus terjadi. Dengan kata lain, ini pembalikan dari formulasi Fazlur Rahman ttg keberatan kaum Jabrite bahwa kebebasan manusia adalah perbudakan bagi Tuhan. Bagi Ash’arit, kebebasan Tuhan berarti perbudakan bagi manusia.

Sikap Ash’arit ini membuat para pemikir Islam menggunakan istilah “substansi dan kejadian” untuk menggambarkan realitas. Mereka enggan menggunakan istilah “potensi dan tindakan” atau “materi dan bentuk” yang dipakai oleh pengikut Aristoteles. Potensi dan tindakan dalam suatu benda punya sifat alami yang berlangsung terus. Sifat alami dalam istilah potensi berarti suatu benda punya kapasitas untuk menjadi----tapi belum. Sebab itu, biji pohon dikatakan punya potensi. Tak masalah, dimana posisi biji pohon tsb dalam perjalanannya menjadi pohon sifat alaminya mencegah ia tumbuh jadi manusia, atau benda lain selain pohon.

Inilah tepatnya yang diperdebatkan Ash’ari yang bersikukuh ttg simultanitas “potensi dan tindakan”. Suatu benda hanya ada pada momen penciptaannya saja, setelah itu mungkin dapat menjadi benda lain, tepatnya diganti sesuatu yang lain. Pohon kelihatannya sama sepanjang waktu karena serangkaian momen yang eksis sesuai urutan kebiasaan. Karena alasan yang tak dapat dipahami manusia, aturan Tuhan-lah yang tetap menjaga kelangsungan urutan kebiasaan itu, karena sesuatu tidak memiliki keteraturan dalam dirinya sendiri. Bahkan al-Ghazali sendiri heran akan kekonsistenan Tuhan dalam urutan kejadian api membakar kapas, tapi ia sendiri tidak mengijinkan pertanyaan yang bersifat menemukan jawaban mengapa api akhirnya bisa membakar kapas:
“Bentuk2 bervariasi ini terjadi oleh hal yang disembunyikan dari kita, dan manusia tidak punya kekuasaan untuk memahaminya.”
Dengan demikian tidak ada entelechy (potensi dasar), atau seperti yang dinyatakan Aristoteles “having one’s end within” (dengan entelechy-nya manusia memiliki tujuan). Karena Tuhan tidak bertindak dengan rancangan atau tujuan tertentu, ciptaanNya juga tidak memiliki tujuan.

[...] Pemikiran Ash'arit ini mengakibatkan ketidaklogisan (incoherence). Ash’ari berusaha sekuat tenaga untuk mempertahankan teori mereka ini sampai mereka mengorbankan teori2 metafisika alami. Mereka juga mengosongkan istilah potensi dari makna sebenarnya, karena bagi mereka atom tak dapat eksis dengan potensi menjadi sesuatu, selain dari apa yang ada dalam keberadaannya yang sangat singkat. Sebenarnya potensi itu tak ada, murni tindakan seketika dengan Allah pelakunya.

Banyak yang hilang dengan pengingkaran keberadaan potensi. Gagasan Aristoteles ttg potensi dan tindakan adalah solusi bagi masalah metafisik bagaimana sesuatu dapat berubah dan disaat yang sama tetap sama. Filsuf sebelum Socrates ada yang mengemukakan bahwa segala sesuatu berubah dan tak ada yang tetap sama (Heraclitus) atau segala sesuatu tetap sama dan perubahan hanyalah ilusi (Parmenides). Kedua gagasan berlawanan dengan pengalaman sehari-hari manusia dimana segala sesuatu berubah tapi entah bagaimana tetap mempertahankan identitas mereka. Ada sesuatu yang berlangsung dalam perubahan.

Nah, pendapat Ash’arit ini malah berbalik ke pendapat sebelum era Socrates, yi Heraclitus. Keduanya juga dihadapkan pada masalah besar terkait epistemologi, sebagaimana ditunjukkan Socrates pada murid Heraclitus, Cratylus: Jika perubahan adalah segalanya, bagaimana manusia bisa tahu? Socrates bertanya: “Dapatkah kita benar-benar berkata pengetahuan itu ada, Cratylus, bila segalanya terus menerus berubah dan tak ada yang tinggal? Karena pengetahuan tak dapat berlangsung kecuali ia tetap tinggal dan mempertahankan identitasnya. Jika pengetahuan berubah esensinya, ia akan kehilangan semua identitasnya dan dengan demikian tidak akan ada pengetahuan."

Dengan menumbangkan pondasi pengetahuan lewat cara ini, posisi Ash’arit juga menimbulkan masalah dengan dirinya sendiri: Jika sesuatu benar, bagaimana kita tahu itu benar? Bagaimana seseorang tahu bahwa segala sesuatu berubah kecuali ada sesuatu dalam diri pengamat yang tetap sama? Dengan kata lain, bagaimana mungkin memori, dasar identitas dan peradaban, eksis?

Karena pandangan seperti itu tak dapat dibuktikan secara empiris, apa motivasi dibalik penerapannya—terutama karena pendapat tsb bertentangan dengan pengalaman realitas yang lazim? Orang jadi bertanya-tanya, mengapa Ash’arit merasa perlu merangkul skeptisisme Yunani hingga sejauh ini?

Fazlur Rahman berpendapat, “Para Mutakallim/Ash'arit menolak doktrin Aristoteles mengenai materi dan bentuk dan dengan demikian menolak kausalitas alam. Tapi langkah ini mereka anggap perlu untuk mendukung teori agama mereka. [...]” Dengan kata lain, mereka mulai dengan kesimpulan yang diterima dari wahyu, lalu memakai itu untuk menjelaskan agama mereka secara metafisik. Ini membuat mereka mengabaikan kausalitas alamiah. Singkatnya, kaum Ash’arit dipaksa teologi mereka untuk menolak kenyataan.

MacDonald mengajukan suatu hipotesis: “Sesungguhnya, esensi filsafat mereka (Ash'arit), adalah suatu bentuk skeptisisme yang menghancurkan usaha filsafat untuk membawa manusia kembali pada Tuhan dan wahyuNya serta mendorong manusia memandang Tuhan lewat ciptaanNya: alam semesta.” Dengan kata lain, kebijakan Ash'arit untuk memberangus akal meninggalkan manusia tanpa alternatif. Pokoknya bagi mereka, 'Yang benar adalah Tuhan mereka dan segala sesuatu diluarnya adalah salah. Titik.'

lanjut ke BAB 4

[-o< \:D/
Last edited by ali5196 on Mon Aug 29, 2011 5:26 am, edited 7 times in total.
Post Reply