Hilangnya Objektivitas Moral
Karena akal bukan sumber kebenaran moral, al-Ghazali sepakat dengan al-Juwayni:
“Kewajiban tidak berasal dari akal tetapi dari syariah.”
Berdasarkan ilmu metafisika, wahyu punya wewenang eksklusif dalam masalah moral karena segala sesuatu atau segala tindakan tidak memiliki sifat atau esensi baik dan buruk. Secara moral semua tindakan netral. Seperti yang diajarkan al-Juwayni, “Ulama tidak menyatakan suatu perbuatan mulia atau keji berdasar pertimbangan yang mengikat (
hukm al-takif), tapi berdasarkan sumber-sumber hukum (
shar’) dan tradisi bila diperlukan. Prinsipnya, sesuatu tidak disebut mulia karena dirinya sendiri, sifatnya ataupun atribut yang dimilikinya.
Islam jenis ini secara tegas menjawab pertanyaan terkenal Socrates dalam
‘Euthyphro’ (dialog antara Socrates dan Euthypro): “Apakah orang saleh atau suci dikasihi para dewa karena kesalehannya? Ataukah ia saleh karena dikasihi para dewa?” Ash’arit memilih yang kedua.
Tuhan tidak memerintahkan perilaku tertentu karena perilaku tsb baik; tetapi perilaku tsb baik karena Ia yang memerintahkannya. Sama halnya, Ia tidak melarang pembunuhan karena pembunuhan itu jahat; tetapi pembunuhan itu jahat karena ia yang melarangnya.
Tuhan itu kehendak murni,
baik dan jahat semata-mata ketentuan Allah -– sesuatu disebut halal atau haram hanya karena Ia yang mengatakannya, tak ada sebab apapun. Jahat adalah apa yang dilarang. Apa yang dilarang saat ini mungkin diperbolehkan besok. Tuhan adalah hukum positif.
Al Ash'ari mengungkapkan pandangannya dalam dialog:
Dialog:
Karena Pencipta tidak tunduk dan terikat perintah siapapun, tak ada yang jahat di diriNya.
Keberatan : Lantas berbohong itu jahat hanya karena Tuhan yang menyatakannya.
Jawab : Tentu. Jika ia menyatakannya baik, jadilah baik; dan jika Ia yang memerintahkan, tak seorangpun yang dapat membantahnya.
Al-Ash’ari menyingkirkan semua sifat objektif dalam ciri tindakan itu sendiri.
Kejahatan hanyalah soal patuh atau tidak patuh pada aturan. Sesuatu jahat hanya karena dinyatakan demikian oleh Tuhan. Kita tahu batasan dan ruang lingkupnya lewat wahyu. Al-Juwayni berkata: “Makna ‘baik’ adalah bila kitab suci memberikan pujian pada pelakunya, dan ‘jahat’ bila kitab suci menghujat pelakunya.”
Tak seorangpun punya otoritas mengatur batasan dan ruang gerak Tuhan. Al Ash’ari menulis: “Bukti bahwa Ia bebas melakukan apapun yakni bahwa Ia adalah Pemegang Kekuasaan Tertinggi, tak tunduk pada siapapun, tak ada yang lebih unggul dariNya, yang mengijinkan, memerintah, menegur, melarang, atau mendikte apa yang harus Ia lakukan serta menetapkan batasan bagiNya. Jadi, tak ada yang jahat di diriNya. Kejahatan ada di diri kita, karena kita melanggar batasan dan menetapkan aturan sendiri yang bukan hak kita. Pencipta tidak tunduk dan terikat perintah siapapun, tak ada yang jahat di diriNya.
Tuhan tidak tunduk pada keadilan atau ketidakadilan. Tak ada standar yang bisa mempertanyakanNya. Jika Tuhan adalah kehendak murni, satu tindakan dari kehendak murniNya tak dapat dipertentangkan secara moral dengan tindakanNya yang lain. Tak ada standar diluar Dia yang dapat melakukannya; juga tak ada standar di diriNya. Ia melampaui segala yang baik dan jahat --Tuhan adalah penganut (ajaran) Nietzsche.
[Siapa Friedrich Nietzsche....???
http://revoltagain.multiply.com/journal/item/6]
Pandangan Ash’arit thp Tuhan merupakan suatu pembelaan atau ekspresi Thrasymachus di
‘The Republic’ yakni, kebenaran diatur/didikte oleh pihak yang kuat. Ash’arisme adalah teologi
“might makes right,” (kekuatan berarti kebenaran). Karena Tuhanlah yang terkuat, maka sesuai kehendakNya, aturanNya adalah kebenaran. Tuhan bukan saja penganut Nietzsche, tapi juga sophist, sebagaimana Thrasymachus.
[Siapa Thrasymachus?
http://dokasg.wordpress.com/2008/08/16/ ... filosofis/]
George Hourani menyebutnya “subjectivisme teistik.” Ia berkata, “Sifatnya 1) subjektif karena berdasarkan nilai yang dianut hakim, mengabaikan sifat objektif dalam ciri tindakan itu sendiri, benar atau salah tergantung keputusan atau opini seseorang. 2)Teistik, karena yang menetapkan nilai itu Tuhan. Istilah lazimnya, ‘etika kehendak bebas.’” Filsuf Iran, Abdulkarim Soroush, menyebut Ash’arit sebagai kaum “
nominalis” dalam ajaran Islam.
Masyarakat apa yang dihasilkan Tuhan penganut Nietzsche ini? Akan kita bahas di bagian lain.
Mungkin kita bertanya-tanya adakah koneksinya dengan situasi di Jerusalem, hasil pengamatan pengarang Prancis, Chateaubriand, dalam bukunya
‘Itinéraire de Paris à Jérusalem’ (1811), yang memiliki kemiripan luarbiasa dengan bayangan masyarakat yang diatur sesuai diktum Thrasymachus: “Terbiasa mengikuti nasib tuannya, masyarakat disini tak punya hukum yang dapat menghubungkan mereka dengan gagasan tata tertib dan tata cara politik: membunuh, jika lebih kuat, tampaknya sah-sah saja; mereka tak peduli pada keadilan…….tidak mengenal kemerdekaan; tak punya hak milik;
kekuatan adalah Tuhan mereka.
Konsep Tuhan tanpa moral yang luarbiasa ini adalah solusi masalah theodicy Ash’arit akibat mengabaikan kehendak bebas
manusia, TAPIIII ... di saat yang sama masih menyisakan eksistensi kejahatan. Bila Mu’tazilla berpendapat kejahatan berasal dari kehendak manusia yang salah, maka Ash’arit tak punya referensi mengenai masalah ini, karena menyangkali kehendak bebas manusia. Jika Tuhan penyebab tunggal, bukankah Dia juga penyebab kejahatan? Untuk melepaskan Tuhan dari masalah ini, Ash’arit menempatkan Tuhan di atas moral, atau bahkan
tanpa moral.
Al-Juwayni juga menyingkirkan penjelasan Mu’tazilla ttg penderitaan sebagai akibat dosa atau sebagai alasan untuk mendapat pahala berlipat di sorga. Bagi al-Juwayni usaha pembenaran Tuhan seperti itu tidak perlu dan lancang; George Hourani menafsirkan perkataan al-Juwayni mengenai “penderitaan yang diberikan Tuhan pada manusia dan hewan,” sbb: “cukuplah sebagai pemahaman bahwa mereka hanya ciptaan Tuhan, dan segala sesuatu yang diciptakan Tuhan itu baik karena diciptakan.” Jadi, dengan sedikit permainan sulap positivisme, masalah kejahatanpun hilang.
Walau bukan seorang Ash’arit, Ahmad ibn Hazm, pengikut sekte Zahiri (sekte yang menginterpretasi Qur’an sesuai makna literal tanpa penggunaan qiyas atau analogi), melantunkan pendapat serupa di Spanyol
abad ke-11, yang memperlihatkan luasnya perlawanan thp Mutazilla. Katanya:
“Siapapun yang berkata bahwa Tuhan tidak melakukan apa yang baik dan buruk--berdasarkan pemahaman manusia, orang tsb telah…… menggunakan argumen manusia pada Tuhan. Tuhanlah yang membuat sesuatu jadi baik atau buruk. Tak ada di dunia ini yang baik atau buruk karena esensinya sendiri; apa yang Tuhan bilang baik, pastilah baik, dan pelakunya berbudi luhur; dan apa yang Tuhan bilang jahat, pastilah jahat, dan pelakunya pendosa. Semua tergantung ketetapan Tuhan, karena suatu tindakan baik di satu waktu bisa jadi jahat di waktu lain.”
Dalam pidatonya di Regensburg, Paus Benedict XVI, mengacu pada aspek Islam ini saat mengutip Ibn Hazm, katanya
“Menyembah berhalapun harus dituruti, jika itu kehendak Tuhan.” Jadi, “keharusan moral hanya dipahami hanya dalam makna wahyu,” dan bukan akal. Ibn Hazm berkata, “Fungsi kecerdasan hanya untuk mengerti perintah Allah Ta’ala dan [memahami] kewajiban [atau keperluan] agar terhindar dari siksaan abadi.”
Di abad ke-14, al-Misri mengulang lagi ajaran Ash’arit ttg ketidakmampuan akal memahami etika dan monopoli wahyu dalam hal ini: “Premis dasar ajaran ini yi. Tanggung jawab moral terletak pada melakukan apa yang sudah digariskan sebagai baik dan menghindar dari apa yang sudah dilarang si Pemberi Hukum (Allah dan rasulnya). Ukuran baik buruk bukan berdasarkan pemahaman akal budi tapi berdasarkan Hukum Suci.”
Muhammad Yusuf as-Sanusi memperlihatkan betapa konsistennya pandangan ini diterapkan saat ia menyatakannya lagi di
awal
abad ke-15,: “Tak mungkin bagi Yang Maha Tinggi mewajibkan atau melarang sesuatu……disebabkan objektivitas apapun juga, karena semua tindakan sama sejak diciptakan. Kewajiban atau larangan atau ketetapan apapun semata-mata oleh kehendak murniNya. Tak ada tempat bagi pemahaman akal, cukup diketahui lewat hukum Islam (syariah).”
Pandangan tsb tetap relevan hingga kini. Ed Husain, Muslim Islam Inggris, mengatakan dalam bukunya,
‘The Islamist,’ “Sheikh Nabhani [pendiri Hizb ut-Tahrir, kelompok yang bertujuan mengembalikan kekhalifahan] selalu mengajarkan bahwa
moralitas tak dikenal dalam Islam; hanya apa yang diajarkan Tuhan. Jika Allah mengijinkan, itulah yang bermoral. Jika Ia melarang, itulah yang tidak bermoral.”
Konsekuensi orientasi etika ini, tertuang dalam deskripsi pakar Islam ternama, Ignaz Goldziher, ttg perilaku orang Arab setelah Muhammad:
“Orang tidak banyak bertanya baik atau pantas apa yang dikatakan atau dilakukan Nabi dan sahabat-sahabatnya, atau apakah tradisi yang sudah diwariskan secara turun temurun itu merupakan pemikiran dan perilaku yang pantas.”
Karena tidak ada tindakan yang bisa disebut 'baik' atau 'pantas', satu-satunya patokan adalah sekumpulan hukum positif lengkap
yang bersumber pada kitab suci dan catatan laporan perkataan serta tindakan Muhammad.
Jadi panduan moral tidak didapatkan dari pengkajian filsafat moral, TAPI dari mempelajari isnad (sanad), atau rangkaian penyampaian untuk mengotentifikasi (ke-sahihan) perkataan Muhammad dalam hadis, yang dapat diterapkan dalam situasi tertentu-–jika tidak didapat petunjuk yang jelas dari Qur’an. JADI, hadis tidak dinilai berdasarkan kebaikan hakiki atau nilai moral, tapi hanya berdasar silsilah dan kredibilitas para saksi. Berikut contoh sanad untuk validitas sebuah hadis yang digunakan wakil Osama bin Laden, Ayman al-Zawahiri: “
Kami mendengar dari Harun bin Ma’ruf, dikutip dari Abu Wahab, yang mengutip Amru bin al-Harith mengutip Abu Ali Tamamah bin Shafi yang mendengar dari Uqbah bin Amir berbunyi, ‘Aku mendengar Nabi berkata di mimbar: “Perangi mereka, persiapkan kekuatanmu.”
Pentingnya pengaruh pemikiran Ash’arit tidaklah berlebihan. Akibat pengaruh ini, pemikiran filsafat moral menjadi mustahil. Islam yang seperti ini tidak memberi celah bagi manusia untuk menyatakan sifat kebaikan alami yang ada di dirinya.
Kebaikan
hanya dipahami sebagai bentuk kepatuhan pada perintah Tuhan—apapun itu—dan tidak terkait dengan logika internal dalam diri manusia atau ciptaanNya. Dikatakan Qur’an: “
Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu; Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.”(2:216) Bukan hanya kamu tidak tahu tapi tidak dapat tahu. Sebab itu, seseorang hanya dapat mengetahui baik buruk dari Qur’an atau dari syariah semata. Berarti, tak ada perbedaan antara hukum dan moralitas. Hukumlah
moralitas. Tiada moralitas selain hukum Islam. Akibatnya, tulis Fazlur Rahman, ajaran “akal murni tidak menghasilkan kewajiban atau ‘akal bukan pembuat hukum’ (
inna l-aql laysa bi-shari) menjadi aksioma hukum di kalangan hakim Islam.” Ajaran ini meresap dengan baik hingga
abad ke-19. ‘Abd al-Ali Muhammad al Ansari berkata, “Tak seorangpun yang mengaku beragama Islam, akan berani menganggap akal manusia sebagai penyandang hukum.”
Hal ini berdampak pada begitu dominannya yurisprudensi (hukum fiqh) dalam Islam Sunni. Dominasinya merupakan akibat langsung dari metafisika occasionalist (disebabkan runtuhnya epistemology), dan etika voluntaristik yang disodorkan Ash’arit. Dominasinya didapat lewat serangkaian proses penghilangan. Hanya Fiqh (hukum Islam) yang tersisa. Dampak jangka panjangnya sangat dirasakan dalam dunia Islam, spt dijelaskan ulama Islam kontemporer, Bassam Tibi, “Fiqh ortodoks berkuasa menetapkan kurikulum pendidikan Islam. Dengan demikian, perbedaan antara fiqh dan filsafat (falsafa) menghilang. Dalam Islam, ilmu/sains diidentifikasi sebagai fiqh. Perdebatan dilarang, dan pola pikir semacam ini membawa keruntuhan peradaban Islam.” Ia menambahkan, “Kontrol atas sistem pendidikan memungkinkan kaum Fiqh ortodoks mencegah kaum rasionalis Islam yang mencoba mendobrak konsep religius warisan mengenai tatanan alam.” Akibatnya,
berpikir kritis diganti dengan belajar hafalan. Menghafal jadi fitur paling menonjol dalam pendidikan Islam.
Dilarangnya etika sebagai suatu landasan berpikir rasional, secara logis berakibat pada moral yang kekanak-kanakan di kalangan Muslim, karena mereka tidak diizinkan untuk berpikir sendiri atau menilai baik buruk suatu hal. Jika ia tidak memiliki cukup pengetahuan ttg hukum Islam mengenai suatu hal, ia harus bertanya pada otoritas hukum Islam. Bahkan dijaman ini ada program2 seperti
‘dial-a-fatwa program’ (program telpon fatwa) di Kairo, dimana seorang mufti (ulama) lewat telpon menjawab kebingungan moral hari ini. TV, radio dan Koran juga menawarkan siaran-siaran fatwa serupa.
Reductio ad absurdum (cara mereduksi yang absurd) seperti ini, diilustrasikan Bapa Samir Khalil Samir, pastor Jesuit Mesir, dengan mengambil contoh di Kairo th. 2006:
“Bolehkah petugas laundry mencuci pakaian perempuan yang tidak berjilbab?”
Atau:
“Jika seorang perempuan keluar kamar mandi tanpa ada penutup badan dan ada anjing di apartemennya, apakah ia melakukan sesuatu yang terlarang?”
Jawab: “Tergantung anjingnya. Kalau anjingnya laki-laki, perempuan tsb melakukan sesuatu yang terlarang.”
Fatwa lain, dilaporkan oleh media:
“Sewaktu aku sholat seorang perempuan melintas. Sholatku sah tidak?”
Jawab: “Jika seekor keledai, seorang perempuan, atau seekor anjing hitam melintas, sholat harus diulang. Karena keledai adalah hewan najis; anjing hitam mungkin iblis setan yang menyamar; perempuan bagaimanapun juga najis.”
Jangankan menerima moral dalam batas jangkauan akal, Ash’arit takut sekali bahwa jika manusia dapat secara mandiri mencapai pemahaman antara baik dan buruk, maka manusia akan jadi mandiri pula. Hal ini tidak boleh,
karena secara langsung dan secara radikal menentang status ketergantungan total manusia pada kekuasaan Tuhan. Tuhan tidak menyerupai apapun, atau dapat dibandingkan dengan apapun. Jika manusia dapat memastikan moral dengan akalnya, ia akan seperti Tuhan, atau mengambil rupaNya. Ini disebut
syirik. Oleh karena inilah, kebebasan nurani tidak diakui oleh keempat ajaran resmi Islam Sunni.
Premis yang mendasari kebebasan nurani adalah bahwa manusia mampu menilai kebenaran moral karena dianugerahi sarana untuk itu, yakni akal mereka. Ini benar, walaupun akal manusia bisa dikorupsi oleh kepentingan pribadinya. St. Agustin
berkata,
“Tiada jiwa, sejahat apapaun, selama ia masih dapat berpikir, yang tidak akan diajak bicara oleh Tuhan. Karena siapakah yang menuliskan hukum alam dalam hati manusia kalau bukan Tuhan?”
Meruntuhkan integritas akal berarti menghancurkan pondasi kebebasan nurani. TAPI dalam ajaran Ash’arit, akal tidak memiliki integritas, maka tak ada dasar bagi kebebasan nurani. Oleh karena itu pula, kata ‘nurani’ tidak eksis dalam bahasa Arab. Bukan berarti Islam tidak memiliki nilai moral. Hanya saja nilai moral tsb bukanlah produk nurani manusia. Islam jenis ini melarang kemungkinan adanya dasar pemikiran logis untuk menolak Islam, karena ajarannya sama sekali tidak memberi landasan bagi akal. Islam disebut
din al-fitra, agama yang sesuai dengan fitrah manusia, karena langsung diwahyukan oleh penyebab pertama dan satu-satunya, Allah. Sebab itu segala bentuk penyimpangan harus dilihat sebagai bentuk kejahatan yang disengaja. Qur’an memperingatkan:
“Barangsiapa mencari agama selain agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) daripadanya, dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang rugi.” (3:85)
Inilah sebabnya mengapa setiap mazhab resmi Sunni menetapkan hukuman mati bagi yang murtad.
Hilangnya Keadilan
Hukum adalah satu-satunya yang tersisa dalam reruntuhan (puing peradaban Islam)—hukum sebagai bentuk pemaksaan kehendak Tuhan. Terlebih lagi dalam makna klasik,
hukum tak ada kaitannya dengan keadilan. Ini hukum yang berongga, yuridis murni, tak berdasar hukum alam. Jika keadilan memberi hak pada segala sesuatu sesuai keberadaannya (sifat alaminya), maka manusia harus memahami sesuatu itu agar dapat bertindak adil. Tapi karena segala sesuatu dalam pandangan Ash’arit tidak memiliki sifat alami, manusia tak bisa memahaminya dengan cara ini; segala sesuatu hanyalah kumpulan atom sesaat.
Lantas, apa keadilan itu, bagaimana membahasnya? Kelihatannya hanya dengan mengatakan : Tuhan menyuruh sesuatu hal dan melarang yang lain—ranah eksklusif wahyu.
Al-Shafi’i, pendiri mazhab Shafi’i, menegaskan, “Keadilan adalah kepatuhan seseorang pada Tuhan.” Apapun yang dikatakan hukum itulah keadilan, tak ada cara lain menafsirkan keadilan diluar definisi ini.
Dalam
‘Al-Mustasfa fi ‘Ilm al-Usul’ (terbaik [terpilih] dalam subjek teologi [Islam]), al-Ghazali menyatakan secara eksplisit: “
Wajib [keharusan] tak punya arti (
makna) selain apa yang telah Allah Ta’ala wajibkan (
awjaba) dan perintahkan dengan ancaman hukuman atas kelalaiannya; jadi jika tak ada wahyu, apalah arti kata wajib?”
[Dgn kata lain: tanpa wahyu, tidak ada kewajiban ---ali5196]
Jawaban atas pertanyaan retoris ini, sudah tentu, tidak ada. Tak perlu membenarkan perilaku manusia bila Tuhan tidak mewahyukan itu perlu; juga tak ada cara menjawab pertanyaan apakah kebenaran yang harus dilakukan selain yang diwahyukan.
Kemudian al-Ghazali mengajukan pertanyaan retoris lagi, “Jika Ia tidak memberi tahu, bagaimana kita bisa tahu ada pahalanya?” Sudah tentu, dalam premis Ash’arit, tidak akan dan tidak dapat diketahui jika Ia tidak memberi tahu (lewat wahyu). Tak seperti Mu’tazilla, al-Ghazali tak bisa menjawab bahwa pahala diperoleh dari sifat Tuhan yang esensiNya meliputi atribut keadilan-- pemahaman yang juga telah dikaruniakanNya pada manusia. Berlawanan dengan Mu’tazilla, bagi Ash’arit wahyu tak hanya menyatakan baik buruk; tapi juga mengandung kebaikan dan kejahatan. Sebab itu, wahyu adalah sumber informasi tunggal ttg apa yang harus diberi pahala.
Mengapa Tuhan menghukum tindakan tertentu dan memberi pahala tindakan lain? Karena Tuhan dapat membuat aturan tanpa alasan, tentunya tak ada jawaban atas pertanyaan ini. Lantas, apa isi keadilan ini? Jika seseorang berperilaku sesuai pengertian keadilan ini, adakah konsekuensi yang dapat diandalkan atas suatu tindakan? Karena haram hanya soal ketentuan Tuhan semata, Tuhan dapat sewenang-wenang memutuskan memberi pahala perilaku tsb, dan menghukum perilaku yang halal? Kelihatannya bertentangan dengan ayat
Qur’an (3:25): “Bagaimanakah nanti apabila mereka Kami kumpulkan di hari (kiamat) yang tidak ada keraguan tentang adanya. Dan disempurnakan kepada tiap-tiap diri balasan apa yang diusahakannya sedang mereka tidak dianiaya (dirugikan).”
Tapi Qur’an juga berkata,
“Maka Allah mengampuni siapa yang dikehendaki-Nya dan menyiksa siapa yang dikehendaki-Nya; dan Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.”(2:284) Dan [color=408000]“Dia mengampuni bagi siapa yang dikehendaki-Nya dan menyiksa siapa yang dikehendaki-Nya. Dan kepunyaan Allah-lah kerajaan langit dan bumi serta apa yang ada di antara keduanya. Dan kepada Allah-lah kembali (segala sesuatu).”(5:18).[/color] Juga,
“Tidakkah kamu tahu, sesungguhnya Allah-lah yang mempunyai kerajaan langit dan bumi, disiksa-Nya siapa yang dikehendaki-Nya dan diampuni-Nya bagi siapa yang dikehendaki-Nya. Dan Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.” (5:40).
Al-Ghazali menjelaskan:
“Keadilan Allah tak bisa dibandingkan dengan keadilan manusia. Manusia mungkin bertindak tak adil dengan mengambil hak orang lain, tapi ketidakadilan tidak ada dalam diri Allah. KuasaNya-lah menurunkan banjir besar pada umat manusia dan jika Ia melakukannya, keadilanNya tak bisa disalahkan. Tak ada yang mengikatNya melakukan sesuatu, ketidakadilan tak ada padaNya, dan Ia tidak menerima kewajiban dari siapapun.”
Ketidakadilan tak ada pada Tuhan, karena menurut al-Ghazali, keadilan berarti melakukan suatu kewajiban—suatu hal yang berakibat kesalahan serius bila tidak dilaksanakan. Tuhan tak punya kewajiban dan tak dapat disalahkan. Baik buruk, adil tak-adil, terkait masalah tercapai tidaknya tujuan. Karena Tuhan tak punya tujuan, istilah ini tak berarti bagiNya. Ia dapat melakukan apapun tanpa dipersalahkan. Dinyatakan dalam Qur’an
”Dia tidak ditanya tentang apa yang diperbuat-Nya dan merekalah yang akan ditanyai.”(21:23)
Dalam
‘Middle Path in Theology,’ al-Ghazali berkata,
“Kami tegaskan bahwa Allah Ta’ala bebas untuk tidak memaksakan kewajiban pada hambaNya, sebagaimana Ia juga bebas memaksakan kewajiban yang mustahil dilakukan, menyebabkan rasa sakit pada hambaNya tanpa penggantian dan tanpa [didahului] perlawanan [dari mereka]; tak perlu bagiNya memperhatikan apa yang paling menguntungkan bagi mereka, atau memberi pahala atas kepatuhan atau hukuman atas ketidakpatuhan.”
Ini merupakan antithesis ajaran Mu’tazilla bahwa Tuhan harus memberi pahala atas kebaikan dan hukuman atas kejahatan, dan Ia takkan memaksakan kewajiban pada manusia diluar batas kemampuan mereka.
Al-Ghazali mengutip Allah: “Mereka
(yang ditakdirkan--ali5196) untuk kebahagiaan, Aku tak perduli; dan mereka
(yang ditakdirkan) untuk Neraka, Aku tak peduli.” Ekspresi ketidakpedulian ilahi ini didukung hadis:
“Abu Darda meriwayatkan bahwa Nabi saw berkata: Allah menciptakan Adam. Lalu Ia memukul bahu kanannya dan mengeluarkan ras putih seolah mereka benih, dan Ia memukul bahu kirinya dan mengeluarkan ras hitam seolah mereka arang. Lau Ia berkata pada yang kanan: 'Pergilah ke surga dan Aku tak perduli.' Ia berkata pada yang kiri: 'Pergilah neraka dan Aku tak peduli.'”
Sebuah cerita popular, kemungkinan fiksi, dikisahkan sejarawan abad ke-19, Sir William Muir, yang menggambarkan hal serupa:
Sewaktu Kalif Omar/Umar berangkat ke Yerusalem untuk menerima penyerahan diri, ia menyampaikan pidato, yang diantaranya mengutip Qur’an: “Barangsiapa yang Allah beri petunjuk, maka tidak ada yang dapat menyesatkannya, dan barangsiapa yang Allah sesatkan, maka tidak ada yang dapat memberinya petunjuk.” Tiba-tiba, “God forbid!” teriak seorang pendeta Kristen di tengah kerumunan, menyela sang Kalif, jubahnya berguncang tanda kegusaran; “Tuhan tidak menyesatkan siapapun, melainkan menghendaki jalan yang benar bagi semua.” Omar meminta agar Kristen itu menjelaskan maksudnya. Si pendeta berkata ke arah orang-orang, “Tuhan tidak menyesatkan siapapun.” Omar lalu melanjutkan pidatonya, dan untuk kedua kali, si pendeta menyela dengan kata-kata menjengkelkan. Omar marah dan berkata: “Demi Tuhan! Jika ia melakukannya sekali lagi, aku akan memenggal kepalanya saat ini juga.” Lantas, si pendeta terdiam, dan Omar meneruskan, “Barangsiapa yang Allah beri petunjuk, maka tidak ada yang dapat menyesatkannya, dan barangsiapa yang Allah sesatkan, maka tidak ada yang dapat memberinya petunjuk.”
Tentu saja kata-kata si pendeta terdengar mirip dengan seorang Mu’tazilla.
Pandangan ttg kesewenang-wenangan Allah secara konsisten dianut Ash’arit dan pengikutnya. Dalam ‘Kitab al-Fisal (
Detailed
Critical Examination)’ Ibn Hazm (994-1064) menegaskan, “Ia menghakimi sesuai kehendakNya dan apapun keputusanNya adalah adil.” Ibn Hazm memperjelas “apapun” dapat berarti segala sesuatu: “Jika Allah Ta’ala memberitahu kita bahwa Ia akan menghukum kita atas tindakan orang lain ….atau atas kepatuhan diri kita, itu semua benar dan adil, dan kita tak seharusnya berkeberatan menerimanya.” Teolog Ash’arit, Al Fakhr al-Razi (1149-1209), menyatakan: “Menurut agama kita, mungkin saja Tuhan mengirim penghujat ke surga dan orang benar serta penyembahNya ke neraka abadi, karena hak kepemilikan ada padaNya dan tak seorangpun dapat menghentikanNya.” Tentunya ini persis berlawanan dengan ajaran Abd al-Jabbar (Mu’tazilla) mengenai “Janji dan Ancaman,” dan keduanya sama-sama mengandalkan ayat Qur’an yang bermakna ganda ttg keadilan.
Bagi pihak luar, dimensi yang berubah-ubah dari bentuk Islam ini nampak gamblang di abad pertengahan. Filsuf besar Maimonides (1135-1204) bercerita pengalamannya di Mesir sebagai gambaran cara pikir penganut Islam:
Setiap pagi, kalif berkeliling Kairo melewati rute yang sama, tapi keesokan harinya ia bisa saja mengambil rute yang berbeda. Mengapa? Karena ia kalif dan bebas melakukan keinginannya. Setiap pagi matahari terbit di Timur dan terbenam di Barat. Tahun demi tahun; juga hari ini. Tapi besok, mungkin terbit di Selatan dan terbenam di Utara.
Tergantung kehendak Allah dan tak ada yang berkata tak mungkin. (Kenyataannya, beberapa literatur apokalips Islam memprediksikan matahari akan terbit di Barat.) Maimonides menyimpulkan bahwa, segala yang eksis secara konstan serta dalam bentuk, dimensi dan properti yang permanen [di alam] hanyalah mengikuti kebiasaan…….Berdasarkan pondasi inilah keseluruhan struktur (ajaran Islam) dibangun.”
Maimonides bukan satu-satunya yang menyadari masalah ini. Dalam
‘Lecture on the History of Philosophy,’ Hegel mengamati, di dalam Islam versi ini, “
aktivitas Tuhan digambarkan sebagai peniadaan rasio yang sempurna.” dan, “Yang kita lihat disini adalah pemutusan total kesalingtergantungan antar segala hal yang terkait rasionalitas…………[aktivitas Tuhan] sama sekali
abstrak, dan itulah sebabnya perbedaan (antar berbagai hal) yang diterima sebagai suatu fakta, menjadi suatu ketidakpastian ………… Dunia Arab mengembangkan sains dan filsafat atas dasar ketidakpastian ini.
Dalam buku
‘The Decline of the West,’ Oswald Spengler menulis, “Islam gambaran tepat kemustahilan manusia sebagai makhluk bebas yang memiliki karakteristik dan fungsi yang sama dengan Tuhannya …… Di seluruh alam semesta hanya ada satu penyebab langsung semua kejadian: suatu bentuk ke-ilahian yang tak memerlukan alasan atas segala tindakannya.”
Aspek ke-Tuhanan ini juga diungkap penganut Islam radikal, Sayyid Qutb dalam
‘The Shadow of the Qur’an: “Setiap kali Qur’an menyatakan suatu janji atau hukum yang tetap, ini akan selalu diikuti sebuah pernyataan tersirat bahwa kehendak Ilahi bebas dari semua batasan dan larangan, bahkan oleh janji atau hukumNya sendiri. KehendakNya adalah absolut dan melampaui segala janji dan hukum.''
Hilangnya Kehendak Bebas
Metafisika Ash’arit yang membuat
keadilan Tuhan tidak terpahami—karena
keadilan didefinisikan sbg:
apapun yang dilakukan Tuhan—juga berdampak buruk pada kebebasan manusia. Bagi Mu’tazilla, kebebasan manusia merupakan masalah keadilan Tuhan, sedang bagi Ash’arit ini justru merupakan pelanggaran atas kemahakuasaan Tuhan. Bagi mereka, Tuhan tidak akan mahakuasa lagi jika ada makhluk lain punya kuasa. Kekuasaan tak dapat dibagi. Jika manusia penyebab dari tindakannya sendiri, lantas bagaimana Tuhan itu bisa mahakuasa? Penyebab Pertama haruslah jadi penyebab satu-satunya. Lantas, apa implikasinya bagi manusia jika ia hanya terdiri dari atom-atom ruang-waktu yang diciptakan dan dihancurkan seketika atas perintah Tuhan? Apakah manusia tetap memiliki kapasitas bertindak sendiri? Dalam bukunya,
Al-ibanah ‘an Usul al-Diyanah (The Clear Statement on the Fundamental Elements of the Faith), al-Ash’ari menyatakan kekuasaan tirani Tuhan mengalahkan inisiatif manusia:
Kami yakin bahwa Tuhan menciptakan sesuatu hanya dengan memerintahkan: Jadilah, sebagaimana tercantum [dalam
Qur’an 16:4o]: “Sesungguhnya perkataan Kami terhadap sesuatu apabila Kami menghendakinya, Kami hanya mengatakan kepadanya: "KUN (jadilah)", maka jadilah ia” ; dan tak ada baik atau buruk di dunia, kecuali yang sudah ditentukan Allah. Kami percaya segala sesuatu adalah melalui kehendak Allah dan tak seorangpun dapat melakukan sesuatu sebelum Ia melakukannya, atau bertindak tanpa bantuan Allah, atau melepaskan diri dari kekuasaan Allah. Tidak ada Pencipta lain selain Allah, dan segala perbuatan ciptaan diciptakan dan ditentukan sebelumnya oleh Allah, seperti kataNya [di Qur’an 37:96]: “ Padahal Allah-lah yang menciptakan kamu dan apa yang kamu perbuat itu.” …….
Kami percaya Allah menolong orang beriman untuk mematuhiNya, memilih mereka, melebihkan mereka, bermurah hati pada mereka, memperbaharui dan menuntun mereka; sebaliknya, Ia menyesatkan orang tak beriman, tak menuntun atau memberi petunjuk dengan tanda, karena mereka telah dinyatakan kafir sesat. Akan tetapi, jika Ia hendak memilih dan memperbaharui mereka, mereka akan dibenarkan, dan jika Ia hendak memberi petunjuk, mereka akan diberi petunjuk ……….Tapi kehendakNya juga bila mereka harus tersesat [sing: kafir], sebagaimana yang Ia telah tetapkan sebelumnya. Karena Ia telah meninggalkan dan mengunci hati mereka. Kami percaya baik buruk adalah keputusan dan takdir Allah [qada’ wa qadar]: baik buruk, manis pahit, dan kami tahu bahwa apa yang ditetapkan luput dari kami tidak akan menimpa kami, dan apa yang ditetapkan menimpa kami tidak akan luput dari kami, dan ciptaan tak dapat menghasilkan keuntungan atau kerugian bagi diri mereka sendiri, tanpa Allah.
Manusia tak dapat memulai ataupun menyelesaikan suatu tindakan, ia hanya punya niat dan ia akan diadili berdasar niatnya itu.
Duncan MacDonald meringkas pandangan Ash’ari tsb:
“Tiada yang lain kecuali Allah yang melakukan semua tindakan—semuanya. Dari dan oleh Allah semua tindakan. Misal, saya mengangkat buku ini, mustahil dikatakan tindakan tersebut saya yang melakukannya …….gerakan tanganku memegang buku, mengangkatnya, gerakan buku itu sendiri ke atas, semua melibatkan serangkaian—secara cepat tentunya—penciptaan ajaib langsung dari Allah.” Dan: “Manusia tak dapat menciptakan sesuatu; Tuhanlah satu-satunya; kekuatan manusia tak berakibat apapun terhadap tindakannya. Tuhan menciptakan kekuatan (qudrah) dan pilihan (ikhtiyar) pada ciptaannya. Kemudian Ia ciptakan tindakan berkaitan dengan kekuatan itu dan pilihan juga tercipta.” Contoh, seseorang mengambil pena dan menulis. Sebenarnya, Tuhan yang menciptakan keinginan menulis dalam diri orang itu, kekuatan untuk menulis, serta gerakan tangan dengan pena ke kertas. Lalu Allah juga yang menciptakan gambar-gambar yang muncul di kertas yang tersentuh pena.
Lantas, dengan cara apa manusia dapat bertindak? Ash’ari menjawab dengan gagasan aneh bahwa manusia “menerima” semua tindakan tsb dari Tuhan, Penyebab sebenarnya. Teori penerimaan tsb mirip pendapat Jabrite Jahm bin Safwan (w.745), yang berkata bahwa tindakan manusia dihubungkan dengan dirinya sendiri sebagaimana “tumbuhnya buah pada pohon.” Pengikut Ash’arite, Al Shahrastani (w.1153) mencoba menjelaskan bahwa “Tuhan menciptakan, dalam diri manusia, kekuatan, kemampuan, pilihan, dan niat untuk melakukan suatu tindakan, dan manusia, yang dianugerahi kekuatan ini, bebas memilih salah satu alternatif, dan bermaksud atau berniat melakukan tindakan, yang mana tindakan ini diciptakan dan diselesaikan Tuhan.” Juga Tuhan ciptakan dalam pemikiran manusia tsb penerimaan atas tindakannya, artinya, bahkan penerimaan manusia itu sendiri atas tindakannya langsung diciptakan Tuhan. Jika manusia merasa bebas atas tindakannya, itu semata-mata karena Tuhan telah menempatkan perasaan tsb dalam dirinya.
Ash’ari tetap berpegang pada ketidaknyataan tindakan manusia—dalam arti manusia tidak bertindak benar-benar karena kehendak bebas dan tenaganya—yang tersirat dalam teori ini, karena Tuhan yang menciptakan tindakan dan kehendak untuk bertindak. “Jika Tuhan dapat menciptakan doa dalam seseorang agar ia menjadi pendoa, mengapa tak mungkin bagiNya menciptakan keinginan dalam diri seseorang? [Dengan demikian] orang tersebut menjadi berkeinginan. Atau [mengapa tidak mungkin menciptakan] pidato, agar seseorang menjadi orator?” Mu’tazilla mengatakan bahwa pidato semacam itu bukanlah pidato nyata, karena karakter penciptaannya, seperti orang yang bicara dalam tidur. Jawab Ash’ari: “Apakah itu perkataan penderita epilepsi, orang bicara dalam tidur, atau perkataan orang dalam keadaan sadar, semuanya tidak nyata.” Al-Ash’ari menyamakan kesadaran, pidato rasional dengan gumaman irasional bawah sadar. Pembicaraan orang yang sedang sadar atau sedang tidur penyebab dan aktornya sama, Tuhan.
Al-Ash’ari memperjelasnya dalam format dialog:
Tanya : Mengapa terjadinya suatu tindakan yang merupakan suatu penerimaan (dari Tuhan) tidak membuktikan bahwa tidak ada penyebab atau pencipta lain, selain Allah?
Jawab : Tepat, persis seperti itulah yang kami katakan.
Tanya : Lantas, mengapa hal itu tidak membuktikan tidak ada kekuasaan lain selain Allah?
Jawab : Tak ada penyebab lain yang menjadikan sesuatu sebagaimana adanya kecuali Allah, dan tak ada kekuasaan lain yang menjadikan sesuatu sebagaimana adanya, dalam arti yang menciptakan, selain Allah.
Jika manusia tak punya kapasitas sbg penyebab tindakannya sendiri, gagasan
kehendak bebas tentunya jadi tak masuk akal, begitu pula gagasan “penerimaan.” Dalam kritikannya, Averroes berkata bahwa Ash’arit meyakini “walaupun manusia punya kuasa untuk ‘menerima,’ apa yang ia terima dan juga tindakan menerima itu, keduanya diciptakan Tuhan…. Tapi hal ini jadi tak berarti, karena jika Tuhan Yang Mahakuasa menciptakan baik kuasa untuk menerima dan apa yang diterima manusia, maka si hamba yang menerimanya sudah tentu perlu ditentukan sebelumnya.
(Lara: predestinasi)
Sbg pengganti kehendak bebas, Ash’arit memperkuat kecenderungan predestinasi tradisionalis. Al-Ghazali berkata, “Di balik lautan [pemahaman keadilan Tuhan], terletak misteri predestinasi, dimana banyak yang mengembara dalam kebingungan dan yang sudah tercerahkan dilarang membuka rahasia. Intinya, baik dan buruk telah ditakdirkan sebelumnya. Apa yang ditakdirkan, tentu terwujud menyusul kehendak ilahi. Tak ada yang dapat menentang keputusan Tuhan, serta menggugat ketetapan dan perintahNya.”
Menarik diperhatikan bahwa al-Ghazali yang menentang ide kausalitas deterministik/konsep sebab akibat, bagaimanapun juga, seorang penganut predestinasi yang bersikeras bahwa segala sesuatu perlu terjadi (yi: sebab akan menimbulkan akibat--ali5196). Kelihatannya, bukan kausalitas, tapi
penyebabnya yang jadi masalah.
Bagaimana tindakan langsung Tuhan terhadap manusia bisa dijelaskan secara metafisik? Menurut pengamatan Ilmuan Islam, Len Godman: “Ash’arit mengakui bahwa kita bertindak sesuai kapasitas ….Tapi kapasitas, bagi Ash’arit, diciptakan Tuhan di momen terjadinya tindakan. Tidak eksis sebelumnya (semacam kebiasaan atau potensi tak terwujud semata), dan juga bukan polivalen (bisa lebih dari satu). Jika kapasitas untuk bertindak mendahului tindakan, Ash’ari berargumen, pasti tindakan sudah terjadi. Dengan kata lain, segala sesuatu terjadi seketika atau, jelas Goodman, “hanya yang terjadilah yang nyata.” Dan juga, potensi hanya eksis untuk suatu tindakan, bukan kekuatan yang eksis mendahului tindakan.
Ash’ari berkata, “Tak seorangpun melakukan sesuatu sebelum ia melakukannya.”
Fazlur Rahman mengillustrasikan maknanya:.” “Sebelum aku mengangkat lenganku, aku tak punya kekuatan mengangkat lenganku; Tuhan menciptakan kekuatan dalam diriku, disaat aku benar-benar mengangkat tanganku.” Tindakan yang terjadi adalah satu-satunya tindakan yang dapat terjadi. Ash’ari menjelaskan, “Ini suatu kondisi penciptaan kekuatan yang eksistensinya mencakup eksistensi objek kekuatan tsb.” Tindakan harus terjadi. Dengan kata lain, ini pembalikan dari formulasi Fazlur Rahman ttg keberatan kaum Jabrite bahwa kebebasan manusia adalah perbudakan bagi Tuhan. Bagi Ash’arit, kebebasan Tuhan berarti perbudakan bagi manusia.
Sikap Ash’arit ini membuat para pemikir Islam menggunakan istilah
“substansi dan kejadian” untuk menggambarkan realitas. Mereka enggan menggunakan istilah
“potensi dan tindakan” atau
“materi dan bentuk” yang dipakai oleh pengikut Aristoteles. Potensi dan tindakan dalam suatu benda punya sifat alami yang berlangsung terus. Sifat alami dalam istilah potensi berarti suatu benda punya kapasitas untuk menjadi----tapi belum. Sebab itu, biji pohon dikatakan punya potensi. Tak masalah, dimana posisi biji pohon tsb dalam perjalanannya menjadi pohon sifat alaminya mencegah ia tumbuh jadi manusia, atau benda lain selain pohon.
Inilah tepatnya yang diperdebatkan Ash’ari yang bersikukuh ttg simultanitas
“potensi dan tindakan”. Suatu benda hanya ada pada momen penciptaannya saja, setelah itu mungkin dapat menjadi benda lain, tepatnya diganti sesuatu yang lain. Pohon kelihatannya sama sepanjang waktu karena serangkaian momen yang eksis sesuai urutan kebiasaan. Karena alasan yang tak dapat dipahami manusia, aturan Tuhan-lah yang tetap menjaga kelangsungan urutan kebiasaan itu, karena sesuatu tidak memiliki keteraturan dalam dirinya sendiri.
Bahkan al-Ghazali sendiri heran akan kekonsistenan Tuhan dalam urutan kejadian api membakar kapas, tapi ia sendiri tidak mengijinkan pertanyaan yang bersifat menemukan jawaban mengapa api akhirnya bisa membakar kapas:
“Bentuk2 bervariasi ini terjadi oleh hal yang disembunyikan dari kita, dan manusia tidak punya kekuasaan untuk memahaminya.” Dengan demikian tidak ada
entelechy (potensi dasar), atau seperti yang dinyatakan Aristoteles “
having one’s end within” (dengan entelechy-nya manusia memiliki tujuan). Karena Tuhan tidak bertindak dengan rancangan atau tujuan tertentu, ciptaanNya juga tidak memiliki tujuan.
[...] Pemikiran Ash'arit ini mengakibatkan ketidaklogisan (
incoherence). Ash’ari berusaha sekuat tenaga untuk mempertahankan teori mereka ini sampai mereka mengorbankan teori2 metafisika alami. Mereka juga mengosongkan istilah
potensi dari makna sebenarnya, karena bagi mereka atom tak dapat eksis dengan potensi menjadi sesuatu, selain dari apa yang ada dalam keberadaannya yang sangat singkat. Sebenarnya potensi itu tak ada, murni tindakan seketika dengan Allah pelakunya.
Banyak yang hilang dengan pengingkaran keberadaan
potensi. Gagasan Aristoteles ttg
potensi dan tindakan adalah solusi bagi masalah metafisik bagaimana sesuatu dapat berubah dan disaat yang sama tetap sama. Filsuf sebelum Socrates ada yang mengemukakan bahwa segala sesuatu berubah dan tak ada yang tetap sama (Heraclitus) atau segala sesuatu tetap sama dan perubahan hanyalah ilusi (Parmenides). Kedua gagasan berlawanan dengan pengalaman sehari-hari manusia dimana segala sesuatu berubah tapi entah bagaimana tetap mempertahankan identitas mereka. Ada sesuatu yang berlangsung dalam perubahan.
Nah, pendapat Ash’arit ini malah berbalik ke pendapat sebelum era Socrates, yi Heraclitus. Keduanya juga dihadapkan pada masalah besar terkait epistemologi, sebagaimana ditunjukkan Socrates pada murid Heraclitus, Cratylus: Jika perubahan adalah segalanya, bagaimana manusia bisa tahu? Socrates bertanya:
“Dapatkah kita benar-benar berkata pengetahuan itu ada, Cratylus, bila segalanya terus menerus berubah dan tak ada yang tinggal? Karena pengetahuan tak dapat berlangsung kecuali ia tetap tinggal dan mempertahankan identitasnya. Jika pengetahuan berubah esensinya, ia akan kehilangan semua identitasnya dan dengan demikian tidak akan ada pengetahuan."
Dengan menumbangkan pondasi pengetahuan lewat cara ini, posisi Ash’arit juga menimbulkan masalah dengan dirinya sendiri:
Jika sesuatu benar, bagaimana kita tahu itu benar? Bagaimana seseorang tahu bahwa segala sesuatu berubah kecuali ada sesuatu dalam diri pengamat yang tetap sama? Dengan kata lain, bagaimana mungkin memori, dasar identitas dan peradaban, eksis?
Karena pandangan seperti itu tak dapat dibuktikan secara empiris, apa motivasi dibalik penerapannya—terutama karena pendapat tsb bertentangan dengan pengalaman realitas yang lazim? Orang jadi bertanya-tanya, mengapa Ash’arit merasa perlu merangkul skeptisisme Yunani hingga sejauh ini?
Fazlur Rahman berpendapat, “Para Mutakallim/Ash'arit menolak doktrin Aristoteles mengenai
materi dan bentuk dan dengan demikian menolak kausalitas alam. Tapi langkah ini mereka anggap perlu untuk mendukung teori agama mereka. [...]” Dengan kata lain, mereka mulai dengan kesimpulan yang diterima dari wahyu, lalu memakai itu untuk menjelaskan agama mereka secara metafisik. Ini membuat mereka mengabaikan kausalitas alamiah. Singkatnya, kaum Ash’arit dipaksa teologi mereka untuk menolak kenyataan.
MacDonald mengajukan suatu hipotesis:
“Sesungguhnya, esensi filsafat mereka (Ash'arit), adalah suatu bentuk skeptisisme yang menghancurkan usaha filsafat untuk membawa manusia kembali pada Tuhan dan wahyuNya serta mendorong manusia memandang Tuhan lewat ciptaanNya: alam semesta.” Dengan kata lain, kebijakan Ash'arit untuk memberangus
akal meninggalkan manusia tanpa alternatif. Pokoknya bagi mereka, 'Yang benar adalah Tuhan mereka dan segala sesuatu diluarnya adalah salah. Titik.'
lanjut ke BAB 4