The Closing of the Muslim Mind (SELESAI! HOREEEEE!!!)

ali5196
Posts: 16757
Joined: Wed Sep 14, 2005 5:15 pm

Bab 4 : Kemenangan Ash'arisme

Post by ali5196 »

Bab 4
KEMENANGAN ASH'ARISME

diterjemahkan oleh lara :prayer:

Meski radikal, paham Ash’arisme menyebar ke seluruh dunia Sunni dan diterima hampir semua ulama, kecuali oleh mazhab Hanbali yang sangat literalis/harafiah. Dibanding dgn kaum rasionalis Mu’tazilla yang dianggap sesat dan kaum Hanbali yang literalis, ajaran Ash’arit dikenal sebagai “jalan tengah.” Persepsi ini timbul karena Hanbali lebih ekstrim akan penolakannya thp akal dan bahkan sangat menolak digunakannya akal oleh Ash’ari untuk menjelaskan dogma agama.

Saat Hanbali berada di atas angin di bawah wazir al-Kundri di Baghdad, setiap khotbah Jum’at selalu menyertakan kutukan/azab thp Ash’arit. Tapi, sekitar tahun 1063, Nizam al-Mulk, wazir Sultan Seljuk, Alp-Arslan, menghentikan hal tsb. Menurut ahli Islam Inggris, W. Montgomery Watt, al-Mulk juga “mulai menerapkan kebijakan yang mendukung dan memperkuat kaum Asy'ariyah thp ajaran-ajaran hukum dan teologis lain.” Tahun 1067, al-Mulk membuka sebuah universitas di Bagdad, ‘Al-Nizamiyya,’ untuk mempromosikan ajaran Ash’arit, disusul sedikitnya 8 universitas serupa tersebar antara Mosul hingga Herat. “Jadi,” simpul Watt, “Teologi Ash’arit menjadi doktrin Islam yang didukung pemerintah.” Tahun 1077, al-Ghazali mulai belajar di universitas Nizamiyya, Nishapur, hingga 1085. Di kemudian hari, ia menjabat sebagai rektor universitas Nizamiyya, Bagdad.

Dengan bantuan negara, pengaruh ajaran Ash’arit tersebar menjadi ajaran yang paling berpengaruh di kalangan Arab Sunni. Kesuksesan ini membawa pemahaman betapa sesatnya ajaran Mu’tazilla. Dalam Dalam bukunya ‘El Khutat El Maqrizia (Rencana Maqrizian)’, sejarawan Muslim terkenal, al-Maqrizi (w. 1442) memberikan penjelasan bagaimana Ash'arism sampai bisa menang, yang menarik adanya peran penting tokoh terkenal Saladin, yang merebut kembali Yerusalem dari Tentara Salibi:
Mazhab (ajaran) Abu’l-Hasan al-‘Ash’ari menyebar di Irak sekitar 380 AH dan dari sana menyebar ke Syam [Levant] (Lara: sebelah utara semenanjung Arab berbatasan Laut Mediterania). Ketika raja Salahudin Ysuf bin Ayyub mengambil alih Mesir, hakim utamanya sadrudin ‘Abdul Mallik bin ’Isa bin Darbas al-Marani dan ia sendiri menganut ajaran ini. Di Damaskus disebarkan di bawah kekuasaan Nuruddeen Mahmood bin Zinki. Salahudin hafal teks yang ditulis Qutbudin Abu‘l-Ma‘ali Mas‘ud bin Muhammad bin Mas’ud an’Naysaburi, dan teks (Ash’ari) ini selanjutnya juga dipelajari dan dihafal keturunan Salahudin. Hal-hal ini membuat ajaran Ash’ari menonjol dan dianut masyarakat di masa pemerintahan mereka. Ini terus berlangsung hingga ke penguasa-penguasa selanjutnya dari Bani Ayyub dan selama pemerintahan raja-raja Turki (Mamluk). Abu ‘Abdullah Muhammad bin Tumart, salah seorang penguasa Maroko (al-Marghrib), menyukai popularitas ajaran ini saat berkunjung ke Irak. Ia menganut ajaran Ash’ari melalui Abu Hamid al-Ghazali dan sepulangnya ke al-Maghrib ia memicu konflik dan mulai mengajarkan serta melembagakan ajaran Ash’ari di kalangan masyarakatnya.

Al-Ghazali dan Serangan pada Filsafat

Image
http://en.wikipedia.org/wiki/Ghazali

Seiring menguatnya pengaruh Ash’ari yang menekan ajaran Mu’tazilla, al-Ghazali meneruskan kritik Ash’ari thp filsafat itu sendiri. Al-Ghazali adalah tokoh besar yang dianggap sbg tokoh kedua terpenting setelah Muhammad. Ia dijuluki “Hujjat al-Haq/Bukti Islam” dan dipandang sebagai seorang Mujaddid (penyadar atau pembaharu) yang dijanjikan Muhammad akan datang setiap seratus tahun untuk memperbaharui ajaran Islam. Al-Ghazali dipuja hingga kini. Sebagian besar karena pengaruhnyalah paham Ash’arism dikukuhkan sbg paham Sunni Ortodoks dan filsafat diakhiri secara telak. Al-Ghazali juga yang mengintegrasikan Sufisme--sisi mistis Islam yang selama ini dicurigai telah mengabaikan ke-Islaman dan cenderung ke panteisme--ke dalam dunia ortodoks Sunni.

Serangan pada filsafat, yang dipimpin oleh al-Ghazali, secara alami tumbuh dari keberatan kaum Ash’ari thp teologi dan etika rasional dalam filsafat, karena penolakan mereka thp peran akal. Diluar masalah umum tersebut, al-Ghazali memaparkan secara spesifik keberatannya thp filsafat untuk memastikan bahwa filsafat tak akan dipakai lagi dalam dunia Islam.

Secara filosofis al-Ghazali bermaksud menunjukkan bahwa pemikiran para filsuf (terutama pemikiran Avicenna [981-1037], filsuf sekaligus dokter terkemuka di jamannya) tidak dapat dibuktikan secara akal. Lebih jauh lagi, ia ingin memperlihatkan bahwa filsafat dan akal tidak mampu memberikan kepastian intelektual. Ia bersikeras, filsafat tidak memiliki kebenaran dalam dirinya sendiri untuk ditawarkan. Dalam ‘The Incoherence of the Philosophers' (Tahafut al-Falasifa) ia berkata,
“Apa…yang kami tegaskan adalah para filsuf tak mampu mengetahui hal-hal ini lewat pemaparan yang masuk akal. Kalaulah hal-hal ini benar, para nabi sudah mengetahuinya melalui inspirasi atau wahyu; tapi argumentasi rasional tak dapat membuktikan mereka.”


Sebab itu, ia nyatakan, “Saya menolak sistem filsafat.” Setelah menggeser filsafat, al-Ghazali beralih ke Sufisme, yang diyakinimya memberi kepastian yang ia cari dalam pengalaman mistis.

Image
http://en.wikipedia.org/wiki/Sufism

Dalam otobiografinya, ‘Deliverance from Error,’ al-Ghazali pertama mengecam paham Materialis, yang menyangkali Sang Pencipta, kemudian Naturalist, yang walau mengakui Pencipta, tapi menyangkal keabadian jiwa. Keduanya dibantah oleh penganut Theis; Socrates dan Plato. Aristoteles menyempurnakan Socrates dan Plato, “tapi ia tak dapat menghilangkan dari doktrinnya noda ketidaktaatan dan bida’ah yang menodai ajaran pendahulunya. Oleh sebab itu kita harus mempertimbangkan mereka semua sebagai kafir, termasuk para filsuf Islam seperti Ibn Sina [Avicenna] dan Al Farabi yang mengadopsi paham mereka.” Menurut al-Ghazali, filsafat Aristoteles dapat dibagi dalam tiga bagian, “pertama berisikan perkara-perkara yang digolongkan tak beriman, kedua tercemar bid’ah, ketiga kita berkewajiban mutlak menolaknya.”

Validitas matematika, logika dan fisika dianggap al-Ghazali tidak membahayakan agama, tetapi metafisika dituduh paling berbahaya karena merupakan “wadah yang menyuburkan ide-ide salah para filsuf.” Kesalahan-kesalahan ini direduksi dalam, “dua puluh dalil: tiga diantaranya tidak beriman, tujuh belas, sesat.” Tiga dalil yang paling buruk: (1) “Tubuh tidak dibangkitkan; roh yang akan diberi pahala atau dihukum; hukuman berupa hukuman spiritual bukan fisik”; (2) “Tuhan mengambil tanggung jawab universal, bukan spesifik. Ini jelas tak beriman” dan (3) “Mereka berpendapat alam semesta abadi takkan pernah berakhir.” Ketiga dalil ini, katanya, langsung berkontradiksi dengan ajaran Islam ttg kebangkitan tubuh; penderitaan fisik di neraka dan kenikmatan surga; Tuhan Mahatahu; dan penciptaan ex nihilo. Untuk setiap argumen, al-Ghazali menunjukkan ketidakpastian setiap pendapat berdasarkan akal.

Bila para filsuf berpendapat hanya jiwa yang abadi, al-Ghazali menegaskan bahwa Tuhan dapat menciptakan tubuh saat kebangkitan, seperti semula—serupa atau sebangun. Tuhan dapat dengan mudah mencipta ulang apa yang sudah ditiadakanNya. Keberatan yang salah atas kemungkinan ini berasal dari mereka yang tak menerima Tuhan sebagai penyebab langsung segala sesuatu. Dalam metafisika Ash’arit, kebangkitan tubuh tidak jadi masalah.

Para filsuf berpendapat bahwa Tuhan hanya mengetahui hal2 yang bersifat universal bukan khusus, karena pengetahuan akan hal-hal khusus berimplikasi pada perubahan dalam Tuhan, hal yg tak mungkin. Dia tak mengetahui yang khusus, yang tergantung kondisi waktu dan tempat, karena ini adalah objek pengalaman indrawi yang Tuhan sebagai roh tak dapat ambil bagian. Sanggahan al-Ghazali, Tuhan Mahatahu, Ia pasti tahu yang khusus juga. Al-Ghazali membela doktrin Qur’an bahwa “partikel terkecil di surga dan di bumi tak luput dari pengetahuan Tuhan. Perubahan dalam objek pengetahuan tak berarti perubahan di Yang Maha Mengetahui, yang mengetahui segalanya secara bersamaan dalam keabadian.

Bagi Islam ortodoks, batu sandungan utama dalam Aristoteles adalah keabadian materi, yang diterima hampir semua filsuf Islam, kecuali al-Kindy. Al Farabi dan Avicenna menganut pandangan surga itu abadi dan perlu dibuat Tuhan. Bukan hanya perlu, dunia yang abadi mengkompromikan penciptaan ex nihilo, tapi tak terelakkan mengarah ke panteisme.

Dalam hampir seperempat bagian isi bukunya, ‘The Incoherence of the Philosophers,’ al-Ghazali membahas masalah ini. Ia secara khusus berkeberatan dengan gagasan dunia yang selalu ada sebagai pancaran Tuhan, seperti sinar dari matahari. Pendapat para filsuf yang didorong pertimbangan jika penciptaan dunia oleh Tuhan ada di suatu momen tertentu akan berdampak adanya perubahan pula pada Tuhan, hal yang mustahil. Sesuatu yang sempurna tak dapat berubah. Sebab itu, dunia harus selalu eksis, pancaran abadi dari Tuhan.

Bagi al-Ghazali, pernyataan para filsuf tsb bertentangan dengan kebebasan Tuhan untuk menciptakan atau tidak menciptakan; dengan kata lain, keabadian dunia adalah penyangkalan kehendak bebas Tuhan. Pendapat para filsuf dianggapnya tidak konsisten, karena mereka tak dapat menyangkal kemungkinan penciptaan ex-nihilo. Argumen Aristoteles akan keberadaan Tuhan sebagai Penyebab Awal rangkaian sebab akibat (causa prima) tidaklah mungkin. Argumen ini berantakan, kata al-Ghazali, karena jika dunia abadi, tubuh abadi, mereka tak perlu penyebab sehingga rangkaian tak terbatas jadi tidak mungkin; tapi dalam kenyataan, keabadian dunia memerlukan rangkaian tak terbatas sebab akibat, ayah dan anak, datang dan pergi.

Lalu, di bagian mana pada rangkaian tsb Penyebab Awal disisipkan? Tanya al-Ghazali. Jelas tak mungkin. Karenanya, para filsuf yang menganut paham ini tak dapat menunjukkan keberadaan Tuhan sebagai Penyebab Awal. Lagipula, tak dapat dikatakan Pencipta semesta memancar abadi dari Sang Pencipta. Bagaimana bisa ada hubungan sebab akibat antar dua keberadaan yang abadi?

Dengan silogisme ini, al-Ghazali menyingkirkan masalah keabadian dunia: “Rangkaian tak terbatas yang sebenarnya tak dapat diselesaikan dengan penambahan berturut-turut. Rangkaian sementara kejadian di masa lalu telah selesai dengan penambahan berturut-turut. Rangkaian sementara kejadian di masa lalu bukanlah tak terbatas.

Untuk sementara ringkasan singkat ini tidak memadai menjelaskan argumen tsb, hanya menunjukkan poin umum penekanan al-Ghazali ttg tidak layaknya akal untuk sampai pada kepastian. Ia berharap dapat memperlihatkan bahwa pendapat para filsuf bukanlah berdasarkan akal, tapi suatu bentuk lain dari iman, yang bertentangan dengan iman Islam berdasar wahyu, karena para filsuf “menentang prinsip-prinsip agama.” Tidak seperti iman Islam, iman para filsuf tak berdasar.

Judul-judul bab dlm ‘The Incoherence of the Philosophers,’ menggambarkan tujuannya menolak kemampuan para filsuf untuk membuktikan apapun. Contoh:

Bab:

IV. Menunjukkan ketidakmampuan mereka membuktikan keberadaan pencipta dunia;
V. Ketidakmampuan mereka membuktikan lewat argument rasional bahwa Tuhan itu satu, dan tak mungkin menganggap perlu dua keberadaan yang sama-sama tak berpenyebab.
…….
IX. Ketidakmampuan mereka membuktikan lewat argument rasional, ada penyebab atau pencipta dunia;
……. . . .
XII. Menunjukkan ketidakmampuan mereka membuktikan bahwa Tuhan juga mengenali diriNya sendiri;
…….
XIV. Menunjukkan ketidakmampuan mereka membuktikan bahwa surga itu hidup, dan patuh pada Tuhan lewat gerak berputarnya; ……
XVIII. Ketidakmampuan mereka untuk memberikan gambaran rasional teori mereka bahwa jiwa manusia adalah substansi spiritual yang eksis dalam dirinya. (Lara: judul bab yg sangat bersemangat, mungkin tidak perlu baca isi lagi)

Terlepas apakah al-Ghazali benar-benar mengalahkan para filsuf mengenai hal-hal ini (Averroes pasti membantahnya). Yang jelas, melalui ‘The Incoherence of the Incoherence,’ al-Ghazali sudah habis-habisan mencurahkan energinya.


Kemenangan Skeptisisme: Ketidakpastian Pengetahuan

Setelah memukul mundur para filsuf, tersisa pertanyaan: Lantas dari apa manusia bisa yakin dan bagaimana ia tahu? Pertanyaan menarik al-Ghazali yang ditujukan pada dirinya sendiri ini, tercantum dlm otobiografinya ‘Deliverance from Error.’ Dengan berani ia menceritakan “pengalaman saya saat membebaskan kebenaran yang hilang di sejumlah sekte dan pemikiran yang menyimpang, dan bagaimana saya telah berani mendaki dari level rendah kepercayaan tradisional ke puncak teratas kepastian.” (Lara: pernah terlibat sekte sesat). Al-Ghazali dengan sombong mengklaim bahwa, sebagai persiapan untuk posisi penting, ia menguasai sejumlah pengetahuan yang relevan: “Tak ada filsuf yang pahamnya belum saya kuasai, atau seluk beluk teologia yang doktrinnya belum saya pahami. Sufisme tidak memiliki rahasia yang belum saya tembus.” Ia adalah master dalam segala hal.

Al-Ghazali menceritakan bahwa ia meninggalkan “belenggu tradisi dan membebaskan diri dari kepercayaan turun-temurun” di usia muda. Ia kemudian menetapkan “pokok-pokok untuk memastikan apa yang merupakan dasar kepastian.” Ia mendefinisikan kepastian dengan cara yang luarbiasa: “kepastian adalah pengetahuan yang jelas dan lengkap akan sesuatu, pengetahuan seperti itu tidak menyisakan ruang bagi keraguan atau kemungkinan kesalahan dan dugaan, sehingga tak ada ruang bagi kesalahan mendapat pintu masuk ke pikiran.” Kepastian ini harus sangat padat hingga mukjizatpun tak dapat menggoyahkannya. “Semua bentuk pengetahuan yang tak memenuhi kondisi ini [ada celah keraguan, etc.] tak layak dipercayai, karena masih dalam jangkauan keraguan, dan apa yang rentan thp keraguan bukanlah kepastian.” Standar ini kelihatnnya membawa bom waktu bagi dirinya sendiri; sudah kodratnya makhluk hidup tak mungkin mencapai pengetahuan spt itu.

Timbul pertanyaan, darimana al-Ghazali mendapatkan kriteria kepastian semacam itu? Bagaimana mungkin sesuatu bisa sepasti itu? Serasa terdengar gaung pernyataan kepastian serupa. Datangnya dari sebuah sumber nyata dari tempat dimana ia bekerja dan ke tempat ia kembali dengan kemenangan. Jawabannya di awal surah kedua Qur’an: “Kitab (Al Quraan) ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi mereka yang bertaqwa.”(Qur’an 2:2). Tampaknya, sesuatu yang tidak diragukan lagi adalah Al Qur'an. Tapi bagaimana seseorang bisa sampai pada kesadaran ini? Apa sarana untuk mencapai kepastian ini? Kelihatannya seseorang harus “menyadari akan Allah.” Kita akan segera melihat bagaimana al-Ghazali mengejar kesadaran ini dan menggapai jenis kepastian yang ia perlukan untuk memenuhi keinginannya sesuai Surah 102:5; “ jika kamu mengetahui dengan pengetahuan yang yakin….”

Pandangan al-Ghazali ini begitu kaku sampai ia tidak lagi menelaah bidang-bidang pengetahuan lain untuk menguji apakah
teorinya ini memang tahan banting. Ia merasa tidak perlu karena teorinya, baginya, sudah tidak lagi bisa diganggu gugat. Skeptisisme dogmatis al-Ghazali begitu korosif, tak ada yang tahan thp daya penghancurnya. Tapi skeptisisme dogmatis itu sendiri adalah sejenis dogma, tidak lebih meyakinkan dibanding dogma-dogma lain. Dan nyatanya justru dogmanya kurang meyakinkan, karena premisnya tak bertahan bila diterapkan pada dirinya sendiri. [...]

Al-Ghazali mulai mencatat berbagai hal yang dia merasa dia ketahui dgn baik. “Saya kemudian memeriksa pengetahuan yang saya miliki dan menemukan tak satupun diantaranya mengandung tingkat kepastian yang saya deskripsikan. Dengan sedih saya refleksikan sbb: “Kita tak dapat berharap menemukan kepastian kecuali dalam hal-hal yang mengandung bukti dalam dirinya sendiri—yakni, persepsi indra dan prinsip-prinsip yang perlu.” Tetapi, ia menemukan bahwa kepercayaannya pada persepsi indra salah tempat. Contoh, “mata melihat bintang dan percaya ukurannya sebesar sekeping emas, tapi kalkulasi matematika membuktikan sebaliknya, lebih besar dari bumi. Kesan ini dan semua kesan lain yang dinyatakan indra benar, ternyata terbukti salah dan palsu dengan cara yang tak terbantahkan akal.” Sebab itu, “kepercayaan saya pada persepsi indra goyah.”

Dia melanjutkan, “Lalu aku bercermin pada diriku: ‘Karena aku tak dapat mempercayai bukti dari indraku, aku harus bersandar pada konsep intelektual berdasar prinsip-prinsip fundamental, seperti aksioma berikut: sepuluh lebih dari tiga. Penegasan dan penyangkalan tak bisa hadir bersamaan; sesuatu tak bisa diciptakan sekaligus eksis secara abadi; hidup dan musnah bersamaan, mutlak perlu sekaligus mustahil.’”

Berikutnya, adalah kepercayaannya thp prinsip-prinsip mutlak, termasuk prinsip kontradiksi. Tapi keraguan sistemiknya melahirkan keberatan sbb: “Siapa yang dapat menjamin bahwa bukti akal lebih dapat dipercayai dibanding bukti indra? Anda percaya pada kesaksian kami sampai hal tsb dikontradiksi oleh akal anda, jika tidak, anda akan terus mempercayainya (kesaksian kami) hingga hari ini. Yah, mungkin di atas akal ada hakim yang jika hadir, akan memvonis kesalahan argumentasi akal. Dan jika pihak ketiga seperti itu tidak hadir, bukan berarti ia tidak ada. ](*,)

Al-Ghazali bertanya-tanya, apakah ini tidak seperti ketika “saat tidur lelap anda mengira mimpi anda nyata? Setelah terjaga, anda sadar—itu cuma khayalan. Lantas, siapa yang bisa menjamin kebenaran gagasan yang diperoleh dari indra dan akal saat anda terjaga? Dalam keberadaan saat ini mungkin nyata; tapi mungkin juga anda masuk kedalam keberadaan lain dengan kondisi serupa saat tertidur. Dalam lingkungan baru tsb anda menyadari kesimpulan akal hanyalah khayalan. :rolleyes:

Sudah tentu spekulasi semacam ini hanya mengarah pada omong kosong dan bikin macet pikiran. Setelah menyingkirkan keandalan indra dan membuang prinsip kontradikasi, semua wacana macet total. Tak mengherankan, hal ini berakibat kekacauan mental atau krisis psikologis pada al-Ghazali. “Keadaan tak menyenangkan ini berlangsung selama dua bulan, selama itu aku—tidak secara eksplisit atau secara profesi tapi secara moral dan esensi—menjadi skeptis total.” Lalu “Tuhan akhirnya berkenan menyembuhkanku dari penyakit mental ini; memulihkan kewarasan dan keseimbangan pikiranku [...]. Aku berhutang budi atas keselamatanku, bukan pada serangkaian bukti dan argumen, tapi pada cahaya Tuhan yang menembus hatiku—cahaya yang menerangi ambang berbagai pengetahuan.” Al-Ghazali menyatakan, ia tidak sembuh oleh akal tapi oleh kasih karunia.

Setelah kembali waras, ia mulai memeriksa berbagai pernyataan berturut-turut dari para pencari kebenaran. Pertama, teolog ortodoks. Mereka “menjaga kemurnian keyakinan ortodoks dari semua inovasi sesat,” tapi mereka memiliki keterbatasan. “Upaya utama mereka adalah mengekspos kontradiksi dalam lawannya dan membantah argumen lawan dengan premis-premis yang sudah mereka terima. Metode argumentasi ini bernilai kecil bagi orang yang hanya menerima kebenaran yang sudah terbukti. Teologi skolastik tak bisa memuaskanku atau menyembuhkan penyakit yang kuderita.”

Selanjutnya, para filsuf. Kita telah menyaksikan keberatan al-Ghazali thp para filsuf dalam ‘The Incoherence.’ “Mereka semua, tak peduli jenisnya, ditandai dengan cap ketidaksetiaan dan tak beragama.” Ia menyimpulkan, demi kelangsungan umat manusia, “pembacaan karya-karya filsafat yang penuh khayalan dan kesia-siaan seharusnya dilarang, seperti halnya pinggiran sungai yang licin seharusnya dilarang bagi orang yang tak bisa berenang.” Namun demikian, al-Ghazali telah menggabungkan logika silogisme Aristoteles ke dalam teologinya, yang punya efek kekal thp kalam. ](*,)


Solusi Mistisisme Sufi

Terakhir, al-Ghazali mengambil aliran Sufi dan menjelaskan tujuan mereka: “Untuk membebaskan jiwa dari penindasan tirani hawa nafsu, menyelamatkannya dari kecenderungan yang salah dan naluri jahat. Untuk memurnikan hati, harus ada ruang bagi Tuhan dan seruan doa bagi namanya yang suci.” Tidak perlu banyak rasio untuk latihan spiritual. “Menjadi jelas bagi saya, tahap akhir tak dapat dicapai oleh instruksi semata, tapi dengan transportasi, ekstasi dan transformasi keberadaan moral.” Sebab itu, kata al-Ghazali, “Aku melihat sufisme lebih bersandar pada pengalaman daripada aturan-aturan, dan apa yang jadi kekuranganku masuk ke ranah ekstasi dan inisiasi, bukan ranah instruksi.

Mengetahui dan mengikuti jalan ini membuktikan dua hal yang berbeda, dan perbedaan antara keduanya lagi-lagi menimbulkan krisis spiritual berikutnya dalam kehidupan al-Ghazali. Meskipun ia “melihat bahwa satu-satunya syarat kesuksesan adalah mengorbankan kehormatan dan kekayaan serta memutuskan ikatan dan keterikatan duniawi,” ia tak bisa melakukannya. Ia bertekad meninggalkan jabatan mengajar bergengsi di Baghdad, tapi gagal. Akhirnya, “Tuhan menghalangiku merantai lidah dan berhenti mengajar. Sia-sia kuinginkan, bagi kepentingan murid-muridku, untuk terus mengajar, tapi lidahku jadi kelu. Keheningan yang kukutuk telah melemparku ke dalam keputusasaan yang amat sangat; perutku lemah; aku kehilangan semua selera; bahkan tak dapat menelan sepotong roti atau minum setetes air.”

Akhirnya ia pulih dari keadaan stress berat ini yang tidak mampu diobati dokter, hanya dengan “berlindung pada Allah sebagai pria di ujung dirinya sendiri tanpa sumber daya.” Ia kemudian mengundurkan diri dari Universitas Nizamiyya Baghdad, tahun 1095, meninggalkan perbekalan bagi keluarganya, menghibahkan yang lain dan hidup berkelana sebagai pertapa ke Syria, Palestina, dan akhirnya Mekkah. Ia melaporkan: “Sepuluh tahun berlalu dengan cara ini. Selama periode meditasi, disingkapkan padaku hal-hal yang mustahil diceritakan. Yang dapat kukatakan untuk mendidik pembaca yakni: Aku belajar dari sumber yang pasti bahwa para Sufi adalah pelopor yang benar dijalan Allah; tak ada yang lebih indah dari kehidupan mereka, atau patut lebih dipuji dari aturan yang mereka jalani, atau lebih murni dari moralitas mereka.” Tahun 1105, al-Ghazali kembali ke kota kelahirannya, Tus (Iran timur), dimana ia mendirikan asrama sufi. Tahun 1106, ia kembali mengajar, kali ini di universitas Nizamiyyah Nishapur, atas permintaan perdana mentri pangeran Seljuk, Khurasan. Tahun 1109, ia pensiun dan kembali ke Tus, dan meninggal tahun 1111.

Arogansi dalam karya-karya al-Ghazali, seperti klaim berlebihan dalam ‘Deliverance from Error’ (al-Munqidh min al-Dalal) sesungguhnya bagian dari strategi membela wahyu dan kekolotan (orthodoxy) Sunni. Dengan memperlihatkan bahwa tak satupun argumen rasional dalam isu-isu yang penting dapat dibuktikan, al-Ghazali terdorong memilih jalan wahyu sebagai satu-satunya otoritas yang tersisa, lalu memperkuatnya dengan mistisisme. Pengalamannya dgn aliran Sufi menyatakan bahwa melalui pengalaman paranormal/supra-rasional kepastian Qur’an dapat dikonfirmasi. :finga:

Menjelang akhir hidupnya, al-Ghazali menyelesaikan ‘Deliverance from Error’ dengan menuliskan doa spiritual indah yang membantu menjelaskan mengapa al-Ghazali mendapat penghormatan mendalam di dunia Islam hingga saat ini. Tertulis, “Aku berdoa pada Tuhan Yang Mahakuasa, agar menempatkan kita diantara orang-orang pilihanNya, orang-orang yang ditunjukkanNya jalan keselamatan, yang diberiNya semangat agar tidak melupakanNya, disucikan dari semua kenajisan, sehingga tak ada yang tertinggal dalam diri mereka kecuali Dia; ya, Dia tinggal selamanya dalam diri mereka, sehingga tiada lain yang mereka sembah hanya Dia.” Bahkan para pengkritiknya, seperti Ibn Taymiyya, tak meragukan ketulusannya.

Perjalanan al-Ghazali dalam tasawuf/sufisme (dari kata ‘Suf’ bahan wol kasar untuk pembuatan baju kaum Sufi) bukan tanpa bahaya. Ulama sufi ortodoks memandang tasawuf dengan curiga karena dikembangkan melangkahi tatacara yg diimani dalam pembersihan spiritual ke tatacara yg tidak lazim, diluar pemahaman biasa. Aturan-aturan kaku Islam Sunni dan penekanannya pada ibadah ritual wajib malah membuat orang tertarik pada ajaran Sufi. [...]

Tasawuf lahir sebagai reaksi atas penggambaran Tuhan yang steril secara spiritual. Menawarkan sosok Tuhan yang lebih personal/akrab dan penuh kasih. Dalam tasawuf, umat mencari dan mengaku menemukan Tuhan yang penyayang dan penuh kasih, yang mengenal mereka dan denganNya mereka memiliki pengalaman pribadi—bahkan ada yang berani bilang, mereka mencapai 'kesatuan' (dengan Tuhan). (NAH LOH! KOK JADI MIRIP KRISTEN??? :-k ali5196)

Al-Ghazali menuliskan pemahaman Tuhan yang penuh kasih dan Tuhan yang steril menurut ulama Sunni:
“Kasih akan Tuhan adalah jangkauan terjauh dari segala perhentian, puncak semua pencapaian tertinggi, dan tak ada perhentian lain selain kasih, kecuali buah kasih dan konsekuensinya….tak ada perhentian yang tak didahului kasih, seperti penyesalan, panjang sabar dan penyangkalan diri…. Beberapa ulama menolak kemungkinan Tuhan yang kasih, dan bilang kalau hal tsb tak berarti apa-apa selain ketaatan pada Tuhan, dan mengagungkanNya, sementara Tuhan yang kasih sebenarnya tidak ada, hanya metafora atau di situasi yang sangat tak lazim. Dan karena mereka menolak Tuhan yang kasih, mereka juga menolak segala bentuk kedekatan denganNya, kerinduan padaNya, atau sukacita karena percaya padaNya dan segala konsekuensi lain dari kasih. Oleh karena itu kami harus menyebutkan dalam buku ini, bukti Hukum (suci alias Quran--ali5196) terhadap kasih, serta mengajukan realita dan bentuknya.”
Perlu diperhatikan, al-Ghazali hanya berbicara ttg kasih manusia pada Tuhan, bukan kasih Tuhan pada manusia. \:D/
Kasih adalah atribut problematis bagi Allah, karena menempatkan Dia dalam situasi saling tergantung. Bagaimana mungkin Keberadaan Yang Mahatinggi mengasihi makhluk jauh di bawahNya? BagaimanaTuhan bisa mengasihi? Tradisi sufi—diluar batas yang diijinkan Sunni orthodoks—mengungkapkan dengan indah kerinduan Tuhan pada manusia: “Akulah harta tersembunyi, tak diketahui. Aku ingin diketahui. Dan kuciptakan berbagai makhluk serta membuat diriKu dikenali mereka; olehKu mereka mengenaliKu.” NAAAAAhhhh ... sisi tasawuf ini TIDAK diijinkan al-Ghazali.

“Kalau ada kasih,” kata al-Ghazali, “dalam diri kekasih pasti ada rasa ketidaklengkapan, sebuah pengakuan bahwa seseorang yang dicintainya itu diperlukan sebagai realisasi kelengkapan diri.” Bagi Tuhan ini mustahil, karena Ia lengkap dalam diriNya. “Kasih Tuhan berarti Ia melepaskan tirai yang menyelubungi hati manusia; bahwa Tuhan menghendaki dan telah menghendaki, dari keabadian bahwa manusia harus mengenal Dia, dan bahwa Tuhan yang menyebabkan manusia mengenalNya. Tuhan tak menjangkau manusia. Ia hanya menyebabkan manusia berbalik menghampiriNya; tak ada perubahan pada Tuhan; tak ada perkembangan di diriNya; tak ada yang kekurangan yang perlu dilengkapi di diriNya. Ia hanya menyebabkan manusia datang padaNya.''

Meskipun banyak kutipan dalam Qur’an ttg kasih Tuhan bagi hamba yang taat, ini harus dipahami sebagai pilihan Tuhan, ungkapan kehendakNya. Ia mungkin lebih memilih manusia yang taat padaNya, tapi bukan mengasihinya. Gagasan kasih, agape umat Kristiani, kasih Ilahi yang melimpah tak bersyarat pada umat manusia, sama sekali asing bagi versi Islam al-Ghazali—tapi tidak bagi sufisme/tasawuf.

Ada dua masalah lain yang tampaknya menempatkan mistisisme sufi diluar batas sunni ortodoks.

Pertama, paham monisme, dimana penganut Sufi melebur dan menjadi satu dengan Tuhan. Ini adalah penghujatan. Manusia bukan Ilahi dan tak dapat menjadi Ilahi dan menyatu dengan Tuhan. Kedua, pengetahuan otoritatif yang di klaim sufi berasal dari pengalaman unik mereka, dan mereka menempatkannya di atas syariah. Klaim-klaim ini mencapai puncak keekstrimannya dalam diri tokoh seperti Abu Yazid al-Bistami (w.875)http://en.wikipedia.org/wiki/Bayazid_Bastami, ialah yang pertama kali mewujudkan bahaya melalui pernyataannya: “Lalu Ia mengeluarkanku dari kepribadianku masuk ke dalam diriNya ....Dan aku berkata dengan lidah kemuliaanNya, ‘ada apa denganku Tuhan?’ Ia berkata: ‘Aku milikMu melalui Engkau; tidak ada Tuhan selain Engkau.’” Waktu al-Bistami mengklaim peniadaan diri dalam pertemuan penuh suka cita dengan Tuhan, ia juga menyiratkan identifikasi diri dengan sang Ilahi dalam seruannya: “Kemuliaan bagiku, betapa mengagumkam diriku,” dan “Dalam jubah ini tiada yang lain selain Allah.” Mansur al-Hallaj (c.858-922) dalam salah satu trance-nya malah mengigau: “Akulah kebenaran,” sebuah klaim mengejutkan, saat disadari bahwa “kebenaran/al haqq’ adalah salah satu dari 99 nama Allah. Tidak seperti Sufi lain yang bertaqqiya/berpura-pura gila untuk menghindari kecaman Sunni, al-Hallaj bersikeras ia sadar sepenuhnya. Ia juga bicara terbuka di depan umum: sebentuk esoterisme (ajaran misterius yang dipahami hanya segelintir orang) bagi publik. Pengadilan luarbiasa di Baghdad menganggap pernyataannya sebagai sebuah klaim menjadi Tuhan, dan akhirnya ia mengalami eksekusi paling mengerikan karena dinyatakan sbg penghujat.

Image
http://en.wikipedia.org/wiki/Mansur_Al-Hallaj


----------------------Catatan tambahan dari http://www.muslimhope.com/Sufis.htm
Sufism is an outgrowth of Islam, but they have a higher regard for the teachings of Jesus than most Muslims. At one extreme, a book by the Sufi master Javad Nurkhbhsh of the Nihmatullahi order called Jesus in the Eyes of the Sufis, says that Sufis look to Jesus much more than to Mohammed for inspiration, guidance and as their example! Most Sufis would not say this though, and all Sufis do not recognize that Jesus is any more divine than anyone else can be.
TERJEMAHANNNYA: Sufisme adalah sempalan Islam yang, dibandingkan dgn sebagian besar Muslim, lebih menaruh hormat kepada ajaran Yesus. Contoh ekstrim, seorang tokoh Sufi, Javad Nurkhbhsh dari Ordo Nihmatullahi menyebut Yesus = Mata Sufi, dan mengatakan bahwa untuk mencari inspirasi, kaum Sufi lebih suka menggali Yesus, sebagai petunjuk dan contoh mereka, daripada Muhammad. Kebanyakan Sufi tidak akan mengatakan ini dan semua pengikut Sufi-pun lucunya tidak mengakui bahwa Yesus lebih ilahi dari siapapun.

OK, demikian selingan pesan sponsor! \:D/ --------------------

Masalah pengetahuan khusus atau esoterik Sufi diwujudkan dalam sebuah pernyataan al-Tustari (w.896): “Ke-Tuhanan memiliki rahasia yang, jika diwujudkan, akan menghancurkan kenabian; kenabian memiliki rahasia yang, jika diungkapkan, akan meniadakan pengetahuan; dan pengetahuan memiliki rahasia yang, jika diwujudkan Tuhan, akan menjadikan hukum tak berarti.” Menjadikan hukum tak berarti, persis itulah yang ditakuti ulama—penghapusan hukum Ilahi, hukum yang mendasari terbentuknya umat Islam, dimana ada sesuatu yang diklaim lebih superior. Apa lagi yang lebih berbahaya? Para ulama mengamati, beberapa Sufi tertentu melepaskan diri dari tata cara ibadat Islam dengan alasan mereka telah melampaui ritual semacam itu. Bahkan beberapa mengklaim bahwa kebenaran (al haqq) yang telah mereka capai, melampaui perbedaan keyakinan: “Aku bukanlah Kristen, Yahudi atau Islam.” Lebih buruk lagi, “Sampai orang percaya dan orang tak percaya jadi serupa, tak seorangpun akan jadi Islam sejati.”

Juga, penekanan sufi pada pencarian akan Tuhan secara pribadi melalui kontemplasi tidak sejalan dengan ide ummat (komunitas orang percaya) Islam sebagai tatanan politik/agama/sosial untuk kemaslahatan (kepentingan) ummat. Keselamatan pribadi tidak boleh diutamakan untuk mewujudkan proyek Islam yang universal.


Intuisi Menggantikan Akal

Walau demikian, al-Ghazali mengambil resiko terjun ke dalam mistisisme Sufi karena kelihatannya tidak ada wacana rasional yang tersisa baginya. Tak heran ia berbalik ke arah batin dan menganut mistik, walau orang dapat saja bilang ia tak sepenuhnya melarikan diri ke mistisisme dalam arti mengurung diri di dalamnya.

Karena akal bukanlah jalur terpercaya untuk sampai pada realitas atau Tuhan, bagaimana mengetahui kebenaran wahyu? Apa yang dimiliki al-Ghazali setelah menghancurkan para filsuf dan memblokir jalan akal ke realitas? Meskipun skeptisismenya kadangkala terlihat sebagai suatu bentuk skeptisisme David Hume (filsuf Scotland, 1711-1776), agnotisme moral al-Ghazali tidak mencakup Tuhan dan wahyu. Bagi al-Ghazali, menurut Fazlur Rahman, “hanya pengetahuan yang secara langsung berguna untuk kehidupan di akhirat, layak menyandang makna kebenaran. Pengetahuan ini sepenuhnya esoterik (hanya dipahami segelintir orang) dan mengeksplorasi kedalaman pertemuan Sufi dengan Tuhan.” Sebuah kesimpulan dari sebagian ayat Qur’an 102:5 : “jika kamu mengetahui dengan pengetahuan yang yakin…” yang ditafsirkan menjadi “kamu tak akan dipalingkan/dibingungkan dari persiapan untuk kehidupan di akhirat.”

Setelah mendapatkan kepastian pengetahuan tsb, pikiran al-Ghazali sekarang tetap. *

Bukan hal yang aneh, seseorang yang berpikir bahwa penciptaan Tuhan tidak dimediasi oleh penyebab sekunder—tiap momen hidup karena tindakan langsung Tuhan—akhirnya berkesimpulan bahwa pengetahuan yang pasti datang dari pengalaman, tanpa perantaraan kecerdasan. Tuhan menciptakan tanpa perantara, jadi semua pengalaman akan Dia pasti langsung. Intuisi menggantikan akal. Yang dapat dilakukan akal hanyalah membawa pada kenyataan ini. Yang dapat diketahui akal hanyalah keterbatasan akal itu sendiri. “Seseorang perlu mengetahui bahwa ia telah mencapai suatu titik di luar kecerdasan,” tulis al-Ghazali, “dan dari sana terbuka baginya penglihatan yang menyingkapkan segala yang tak terlihat dan hanya segelintir yang mencapai pemahaman ini.”

Dan apa yang disingkapkan?

“Mereka melihat dalam keadaan sadar, malaikat dan jiwa para nabi; mendengar suara dan nasihat bijaksana mereka. Melalui kontemplasi bentuk dan gambaran surgawi ini, derajat mereka naik ke ketinggian yang tak tergapai bahasa manusia, yang bahkan tak bisa ditunjukkan (tanpa kata) tanpa jatuh ke dalam kesalahan besar dan tak terelakkan. Tingkat kedekatan Ilahi yang mereka capai, ada yang dianggap sementara orang sebagai percampuran keberadaan (haloul), ada yang dianggap sebagai identifikasi (ittihad), ada pula yang dianggap sebagai penyatuan intim (wasl). Tapi semua ekspresi ini salah, sebagaimana yang telah kami jelaskan dalam tulisan berjudul ‘The Chief Aim.’ (Tujuan Utama), Barangsiapa yang telah mencapai tingkat tsb seharusnya membatasi diri mengulangi ayat—Apa yang saya alami, seharusnya tidak saya coba katakan; Katakanlah saya bahagia, tapi jangan tanyakan hal lainnya. Singkatnya, dia yang tidak sampai pada intuisi kebenaran ini dengan ekstasi hanya mengenal nama inspirasi…. Kondisi ini yang mungkin disebut para Sufi sebagai ‘ekstasi’ (hal), keadaan dimana seseorang terserap ke dalam dirinya dan berhentinya persepsi indra. Mereka memiliki visi jauh diluar jangkauan intelektual."

“Di luar jangkauan intelektual” dalam arti “tak tergapai bahasa manusia “ adalah kuncinya. Pengetahuan yang pasti adalah supra-rasional. Dalam ‘Deliverance from Error,’ al-Ghazali menjelaskan, inspirasi atau penyingkapan ini “milik kategori cabang pengetahuan yang tak bisa dicapai akal,” dan “persepsi atas segala hal yang tak bisa dicapai akal hanya salah satu ciri khas inspirasi.” Manusia harus mencapai taraf yang lebih tinggi dari realitas “agar ia dapat merasakan sesuatu yang tak terlihat, rahasia masa depan serta konsep-konsep lain yang tak dapat diakses akal; sebagaimana konsep akal tak akan bisa diakses dengan pemilahan dan apa yang dirasakan oleh pemilahan indra.

Lantas, apa titik pertemuan hubungan “di luar intelektual” antara manusia dengan Tuhan? Seperti yang kita lihat, al-Ghazali berulangkali menekankan bahwa itu bukan akal. Tak ada Logos disini, atau disana. Jika bukan akal yang merupakan wadah bagi pesan Tuhan, lalu apa? Bagaimana manusia bisa mengenal Tuhan yang jauh melampaui manusia? Jika manusia dapat mengenal Tuhan, pasti ada sesuatu yang menghubungkan dengan ke-IlahianNya. Dalam ajaran Judaisme dan Kristen, ini bukan masalah, karena dalam Kitab Kejadian dinyatakan bahwa manusia diciptakan “serupa dan segambar dengan Allah” (Kej.1:26) dan dalam Kitab Kebijaksanaan (‘The Book of the Wisdom of Solomon’) dinyatakan bahwa, “Tuhan membentuk manusia menjadi abadi; gambaran keberadaanNya sendiri Ia membuatnya” (Wisdom 1:13-15). Tapi hal ini dianggap penghujatan oleh Islam Sunni ortodoks. Doktrin tanzih, dengan tepat menyatakan bahwa tidak ada hubungan (Tuhan dan manusia). Ada sebuah hadist yang tampaknya menggemakan isi Kitab Kejadian: “God created man in His image.” Tapi Bapa Samir Khalil Samir menunjukkan “Kenyataannya, makna ‘his’ dalam Islam adalah ‘in the image of man’ (dalam gambaran manusia).” Jadi, bila dibaca secara lengkap, “Tuhan menciptakan manusia menurut gambaran manusia.” Bagaimana manusia dapat berhubungan dengan Tuhan jika tak ada kesamaan diantara mereka?


Kemenangan Kehendak

Jelas, sumber hubungan bukanlah akal, karena akal tidak ada dalam Tuhan dan suatu kemampuan tingkat rendah dalam manusia. Tidak mengejutkan bahwa Ash’arit, yang telah mereduksi Tuhan ke kehendak murni, menemukan kehendak sebagai satu-satunya titik hubungan antara Tuhan dan manusia. Bagi al-Ghazali, menurut ilmuan Arab, De Lacy O’Leary, “Elemen penting dari jiwa [manusia] bukanlah intelegensi yang berkaitan dengan rangka tubuh, tetapi kehendak: seperti halnya Tuhan, tidak dikenal sebagai pikiran atau intelegensi, tetapi sebagai kemauan/kehendak yang merupakan penyebab penciptaan.”

Duncan MacDonald memberikan dasar analisis yang sama: “konsep utama al-Ghazali adalah volo ergo sum [Saya berkehendak; itulah saya]. Bukan pikiran yang mengesankan dia, tapi kemauan. Dari pemikiran ia tak bisa mengembangkan apapun; dari kehendak dapat hadir seluruh semesta. Jika Tuhan, Sang Pencipta, adalah Kehendak, demikian pula jiwa manusia. Karena ada kesamaan, sebab itulah manusia dapat mengetahui dan mengakui Tuhan.”

Inilah bentuk hubungan yang dapat ditemukan di tingkat kesadaran yang lebih tinggi dalam pengalaman Sufi. Dalam ‘Gem of the Qur’an,’ al-Ghazali menyatakan bahwa tingkat yang lebih tinggi mengungkapkan “sesungguhnya, tak ada yang eksis, kecuali Tuhan dan tindakanNya, untuk tujuan apapun selain Dia dan tindakanNya.” Kehendak murni menghasilkan tindakan murni. Dalam ‘The Niche for Lights,’ al-Ghazali menulis bahwa mistik/kebatinan “dapat melihat bahwa tidak ada kehidupan di dunia selain Tuhan dan ‘Tiap-tiap sesuatu pasti binasa, kecuali Allah’ (Qur’an 28:88), bukan berarti akan binasa di suatu waktu tertentu, tapi lebih ke binasa secara kekal dan selamanya, dan tak dapat dipahami sebaliknya. Sesungguhnya segala sesuatu, selain Dia, dalam keberadaannya tak ada yang benar-benar eksis…..Sebab itu, tiada yang lain kecuali Tuhan Yang Mahakuasa.” Paul Valery (1871-1945) menyindir pernyataan ini, “Tuhan menciptakan segala sesuatu dari ketiadaan, tapi ketiadaan itu terus berlangsung.”

Terkait dengan dirinya sendiri, tak ada yang benar-benar eksis. Ini bukan hanya akibat doktrin penciptaan ex nihilo Islam tapi juga akibat paham monisme teologi Islam.

Al-Ghazali mungkin sedikit nyerempet pada panteisme, dimana Sufi telah jatuh dan terus terbenam, tapi memang mengherankan betapa halus/tipisnya batas antara mengatakan bahwa ‘tiada yang eksis kecuali Tuhan’ dengan mengatakan ‘segala yang eksis adalah Tuhan.’ G.B. MacDonald mengamati, “hal itu adalah bagian dari ironi sejarah teologi Islam yakni penekanan yang sangat pada kesatuan transendental hingga mengarah pada panteisme.” W.H.T. Gairdner menyebut Islam, “sebuah panteisme kekuatan murni.” Penekanan berlebihan pada ‘God is One’ (Tuhan itu satu) dengan mudah berubah menjadi ‘God as the only One’ (Tuhanlah satu-satunya), yang lantas selalu memasukkan segala sesuatu ke dalam ‘the only One,’ tidak ada yang di luar Dia. Yang tersisa adalah keduanya, baik monisme atau panteisme. \:D/

Bersambung sedikit lagi: 'The Lost of Reality'
Last edited by ali5196 on Mon Aug 29, 2011 2:09 pm, edited 2 times in total.
ali5196
Posts: 16757
Joined: Wed Sep 14, 2005 5:15 pm

Post by ali5196 »

Hilangnya Realitas
diterjemahkan oleh lara, diperiksa oleh ali5196 :prayer:

Gairdner menjelaskan logika di balik dilemma ini: “Pada kenyataannya, dalam sejarah pemikiran Islam, orang yang mengalami tanzih mutlak [transenden murni], secara positif membenarkan bahwa hanya Allah yang eksis, dan eksistensi lainnya hanyalah ilusi. Karena pemikiran
ini Tuhan diberi nama Al Haqq m yi satu-satunya yang Nyata. Maksudnya, yang lain tidak nyata atau tidak eksis. TAPPIIIIII lucunya, disadari atau tidak, pemikiran ini justru berbau panteisme, keyakinan yang mirip filsafat panteisme India dimana semua yang terlihat adalah maya [ilusi]. Jadi, dengan mudah tanzih murni terjebak ke sisi ekstrim yang berlawanan. Jadi, tauhid bukan hanya bermakna ‘God the One’ (Tuhan yang Satu), tapi juga the Only One’ (satu-satunya)—yang berarti menolak realitas atau bahkan eksistensi fenomena apapun.” Dalil metafisika yang berlaku yi, sesuatu itu nyata apabila ia menjadi penyebab keberadaannya sendiri. Karena hanya Tuhan yang menjadi penyebab keberadaanNya sendiri, hanya Dia yang eksis, dan ... ciptaanNya hanyalah ... ilusi. :rolling:

[...] Pengaruh panteisme ini akhirnya menyusup kedalam doktrin tanzih Islam, walau sebenarnya dilarang Qur’an. Sungguh ironis, al-Ghazali--dalam upayanya mengenyahkan filsafat (Aristoteles) dari Islam Sunni karena dianggap menganut panteisme---justru melahirkan panteisme!!

Pendekatan tasawuf al-Ghazali penting bagi topik ini karena ketiadaan realitas dalam tasawuf membuat akal jadi tidak penting, yang diutamakan hanyalah hal-hal di luar akal—Al Haqq. Selain itu, hal diluar akal itu tak dapat dikomunikasikan. Tak dapat diajarkan. Di luar bahasa (manusia-lara). Pengalaman spiritual al-Ghazali tidak terlukiskan dan sifatnya pribadi.

Hans Jonas, ahli Gnostisisme Jerman, mendiagnosa ajaran al-Ghazali ini sebagai Gnostik: “Gnostik erat kaitannya dengan pengalaman penerimaan
wahyu melalui iluminasi batin yang kemudian menggantikan argumen dan teori rasional.” Jadi walau al-Ghazali mencerca Gnostisisme, patut dicurigai apakah ia sendiri tidak terlibat didalamnya. Dalam ’The Niche for Lights,’ ia bicara ttg ‘keadaan’ mistik al-Hallaj dan ‘keadaan tak sadar’ lain, serta ekspresi yang mereka pancarkan dalam keadaan taksadar—“di balik kebenaran tsb,” kata al-Ghazali, “juga terletak rahasia yang terlarang untuk dimasuki.” Nah, jangan-jangan al-Ghazali telah melintasi wilayah terlarang ini?

Dalam ‘The Niche for Lights,’ al-Ghazali menyatakan bahwa akhir pencarian kebenaran adalah “sebentuk Eksistensi yang melampaui SEMUA pemahaman manusiawi….transenden dan terpisah dari setiap karakter yang telah ada.”

W.H.T. Gairdner, memberikan ulasan tajam ttg al-Ghazali: “Dalam diri Ghazali, bertemu bentuk paling ekstrim Agnotisme dan Gnostisisme; sebab, seperti yang ia katakan, ‘segala sesuatu yang keluar dari suatu bentuk ke-ekstriman beranjak pindah ke bentuk ke-ekstriman lain yang berlawanan.’ Baginya ‘Creed because Incredible’ (Percaya karena sesuatu yang tak dapat dipercayai) serupa dengan ‘menjadi seorang Gnosis karena Agnostic.’ [...] Ghazali percaya akan Tuhan karena pengalaman mistiknya, mi’raj pribadinya. Mungkin ini tidak rasional, tapi itulah pengalamannya.

[...]

Dengan mengasimilasi tasawuf ke dalam Sunni ortodoks, Ghazali dianggap telah me-revitalisasi Islam. Meskipun al-Ghazali telah nyrempet kedalam Gnostisisme, alasannya memasukkan tasawuf dalam Islam Sunni adalah: “Sufisme tidak memiliki muatan atau tujuan kognitif (pemikiran), hanya kebenaran iman.” [...] Meskipun demikian, para ulama tetap mencurigai Sufisme, apalagi karena penganut Sufi paling terkenal, Ibn al-Arabi (w.1240) menyebarkan ajaran yang sepenuhnya monistik dan panteistik.

Image
http://en.wikipedia.org/wiki/Ibn_Arabi


Melampaui Akal

Poin utama disini adalah, penggabungan Sufisme tidak meningkatkan status akal dalam Islam Sunni, karena pencapaian ke Tuhan adalah lewat jalan diluar akal/pengalaman mistis. “Camkan di hati kalian, bahwa pengetahuan Nabi (Muhammad didapatkan) tanpa buku, tanpa guru, tanpa instruktur,” kata Jalal al-Din Rumi, penyair besar Sufi Persia abad ke-13. [...] Nah, lengkaplah pembentukan Islam Sunni: ketergantungan absolut Ash’arit pada kehendak Tuhan kini dicampur dengan kecenderungan Sufi yang tidak mementingkan hal2 duniawi. Akibatnya, terbentuklah sifat ketidakpedulian/kepasifan thp urusan duniawi. :prayer:

Jadi akal yang tadinya dibunuh oleh kaum Asharit, kini semakin di-injak2 oleh Sufisme. Sudah dbunuh, di-injak2 pula! [...] Akibatnya, manusia dibiarkan tanpa sarana untuk mengemukakan pertanyaan yang lebih mendasar, sebagaimana yang Mu’tazila coba lakukan: Apakah wahyu itu sendiri masuk akal? Al-Ghazali menghancurkan standar ini dengan menetapkan suatu jawaban atas pertanyaan vital ini.

Dalam ‘Deliverance from Error’, al-Ghazali menyatakan: “Satu-satunya fungsi akal adalah untuk mengajarkan fakta itu [bahwa para nabi adalah dokter luka batin], bersaksi ttg kebenaran nubuat dan menyadari ketidakmampuannya untuk memahami nubuat; nubuat membimbing kita seperti orang buta dituntun temannya dan seorang pasien bingung dibawa ke dokter yang pengasih. Sejauh itulah peranan kecerdasan, diluar itu tidak diperkenankan.” Sudah jelas, al-Ghazali menolak pendapat Mu’tazilla bahwa tidak ada iman tanpa akal, atau iman memerlukan persetujuan rasional, karena bagi al-Ghazali akal itu ‘buta.’

Selanjutnya, al-Ghazali memuji ibadah haji—kewajiban ibadah ke Mekah—justru karena ibadah tsb diluar akal. :supz: Ia menyoroti irasionalitas ibadah haji untuk memperkuat kemandirian wahyu sebagai pembenarannya. Dalam ‘The Revival of the Religious Sciences’, ia menulis, [b]“Ibadah haji adalah hal paling TIDAK rasional dalam Islam. Kita melakukan gerakan-gerakan dan ritual yang benar-benar irasional. Karena itu, ibadah haji adalah kesempatan paling baik untuk menunjukkan keimanan kita. Akal sama sekali tidak dapat memahaminya, hanya iman yang membuat kita melakukan tindakan tersebut. Kepatuhan buta pada Allah adalah bukti terbaik Islam.”[/b]

Jadi, menurut Al Ghazali, semakin tidak rasional, semakin Islami!!! :rolling:

Menurut al-Ghazali [...], sisi rasionalitas (ibadah) terletak pada ketidakrasionalannya. Tuhan menunjukkan kesenjangan yang amat besar antara Dia dan kita, dengan cara memerintahkan pekerjaan yang tidak masuk akal dan sulit bagi kita. Aturan-aturan yang irrasional lebih manjur untuk membawa manusia ke dalam penyerahan (total) pada Tuhan, demikian al-Ghazali.

Yehuda ha-Levi, seorang pengikut Yahudi al-Ghazali, menulis sebuah serangan thp filsafat, berjudul ‘Kuzari.’ Ia menyimpulkan bahwa manusia harus mendekati wahyu Tuhan justru dengan meniadakan kecerdasan:
“Saya menganggap dia (al-Ghazali) telah mencapai tingkat kesempurnaan tertinggi, meyakini kebenaran agama tanpa mencermati atau mempertanyakannya.” Bagi al-Ghazali, gagasan Tuhan sebagai kehendak murni selalu membawa pemahaman akan hal-hal tidak dimengerti sebagai suatu kebaikan. Seperti yang dijelaskan Remi Brague dalam bukunya ‘The Law of God,’ “Beberapa penulis [Islam] bahkan merinci ‘perbudakan’ (kepada Tuhan) secara formal berarti meniadakan pencarian akal dibalik perintah-perintahNya (ta’lil).” Akal tidak diperlukan untuk kepatuhan mutlak, malah jadi penghambat.
Dr. Tawfik Hamid mengambil cerita abad 20 dalam bukunya berjudul ‘The Development of a Jihadist’s Mind.’ (Perkembangan Pikiran Jihadis). Ini ceritanya:
Hamid adalah seorang mahasiswa kedokteran di Kairo. Ia didekati Muchtar Muchtar, anggota Jamaah Islamiyah, kelompok teroris terkemuka di Mesir. Hamid bercerita: “Dalam perjalanan (ke mesjid), Muchtar menekankan arti penting konsep al-fikr kufr dalam Islam, yakni, tindakan berpikir mendalam (fikr) menjadikan seseorang kafir (kufr). Ia bilang padaku, ‘Otakmu seumpama seekor keledai yang membawamu hanya sampai pelataran istana raja (Allah). Untuk memasuki istana sesampainya di pelataran, kau harus meninggalkan keledaimu (pikiran rendahmu) di luar.’ Dengan perumpamaan ini, Muchtar mengartikan penganut Islam sejati tidak lagi menggunakan otaknya tapi secara otomatis patuh pada ajaran Islam.”
Dalam kisah Muchtar ini, akal—keledai—tak punya hubungan dengan Tuhan, sang raja yang berkuasa. INi merupakan reductio ad absurdum , mengurangi Tuhan sebagai kehendak semata yang tidak memiliki akal. Antipati Muslim terhadap akal nampak pada poster-poster yang ditempel polisi agama Taliban: “Buang akal--yang penuh kesesatan- ke anjing2.” Dalam Islam, anjing dianggap hewan najis dan karena itu pantas menerima akal yang sesat.

Image
http://prophetmuhammadillustrated.com/m ... ainab.html

Bab 5
THE UNFORTUNATE VICTORY OF AL-GHAZALI AND THE DEHELLENIZATION OF ISLAM
Last edited by ali5196 on Mon Aug 29, 2011 5:30 am, edited 3 times in total.
ali5196
Posts: 16757
Joined: Wed Sep 14, 2005 5:15 pm

Bab 5 : Kemenangan Al-Ghazali dan Dehelenisasi Islam

Post by ali5196 »

Bab 5 KEMENANGAN MENYAYANGKAN AL-GHAZALI DAN DEHELENISASI ISLAM
diterjemahkan oleh mamadkafirun, diperiksa ali5196 :prayer:

Pengaruh al-Ghazali di dunia Arab dan Muslim luar biasa. Dampak keseluruhan pemikirannya yang berakibat besar telah menuai banyak komentar. Signifikansi utamanya mungkin bahwa, dalam kata-kata profesor filsafat Pakistan, M. Abdul Hye, ia "membuat teologi Asy'ariyah sangat populer sehingga secara praktis menjadi teologi masyarakat Muslim secara umum dan terus tetap demikian sampai saat ini." Karena Ghazali, pamor Asy'ariyah secara efektif mengakhiri upaya asimilasi pemikiran Yunani ke dalam Islam Sunni. The Incoherence of the Philosophers, menurut pemikir kontemporer Seyyed Hossein Nasr, "membunuh pemikiran filsafat rasionalistik dan pada kenyataannya mengakhiri jenjang filsafat di bagian Arab dunia Islam." Seperti dikatakan Fazlur Rahman, "Setelah gagal memenuhi persyaratan ortodoks, [filsafat] tidak lagi bisa bertahan."

Melalui ajaran bahwa ketidakpastian tidak bisa diketahui oleh akal, al-Ghazali mengakibatkan bahaya yang tak terhitung pada kelangsungan Islam Sunni. Mimpi khalifah al-Ma'mun akan (ajaran) Aristoteles ("kebaikan adalah apa yang menurut pikiran sehat adalah baik") berubah menjadi mimpi buruk. Manusia tidak bisa tahu mana yang baik, mana yang buruk, dan seluruh hidup dan pikirannya harus tunduk pada ketaatan buta. Sementara Al-Ghazali tentunya telah memasukkan beberapa pemikiran filsafat ke dalam teologi, ia menggunakan pemikiran tersebut untuk mengacaukan filsafat sebagai sebuah penelitian ilmiah yang berdiri sendiri. Dalam The Encyclopaedia of Islam, GB MacDonald mengatakan: "Al-Ghazali mengajarkan bahwa akal seharusnya
hanya digunakan untuk menghancurkan kepercayaan atas akal." Duncan Macdonald menyimpulkan, "Ajarannya sama sekali tidak meninggalkan dasar intelektual bagi kehidupan [...] Kami diharuskan manut pada wahyu yang diberikan langsung oleh Tuhan
... melalui para nabi. " Kalau begitu apa bagi mereka, gunanya akal? Macdonald menjawab: ''Bagi mereka, akal hanya berguna
untuk menunjukkan bahwa akal tidak ada gunanya. Mereka mematahkan hubungan agama dengan akal. Mereka menggunakan akal untuk mematahkan filsafat tentang dunia dan kehidupan, dan, kemudian, setelah berhasil menggusur filsafat, mereka kembali pada ajaran nenek moyang mereka dan pada pengalaman religius mereka sendiri."

Hampir seratus tahun setelah The Incoherence of the Philosophers, Averroes (1126-1198) mencoba untuk memulai serangan balasan terhadap penghinaan al-Ghazali terhadap filsafat dengan buku terkenalnya The Incoherence of the Incoherence(1180), yang garis-demi-garis menyanggah buku al-Ghazali. Setelah semua kerusakan yang telah dilakukan oleh kaum Asy'ariyah dan al-Ghazali, Averroes berusaha untuk mengembalikan keseimbangan antara akal dan wahyu dari jenis yang telah dianut oleh al-Kindi. Al Kindi juga bersikeras, seperti Mu'tazilah, bahwa studi filsafat diperintahkan sebagai kewajiban dalam hukum ilahi. Dalam The Book of the Decisive Treatise , Averroes menyatakan bahwa sejak "Tujuan mereka [nenek moyang] dalam buku-buku mereka adalah juga tujuan yang ingin diterapkan Hukum (Islam) kita. . . siapa pun yang melarang refleksi atas mereka/buku2 ini ... pasti akan melarang orang menuju pintu yang disediakan Hukum untuk mengenal Tuhan." Averroes juga benar mendiagnosa subjektivisme etika yang melekat dalam Ash'arisme yang dikatakannya, mirip dengan yang ada pada ajaran sofisme Yunani (Dlm Asharisme, penguasa ilahi sewenang-wenang menetapkan aturan dan dalam Sofisme, manusia menetapkan aturan). "Semua ini adalah pandangan seperti yang dimiliki Protagoras!" serunya. :finga:

Tapi malangnya, ini semua sudah terlambat. Buku-buku Averroeslah yang dibakar, bukan Al-Ghazali. Pada 1195, di alun-alun kota Kordoba, 108 buku Averroes dibakar Averroes dan ajaran filsafat dilarang. Sebagai salah satu penafsir terbesar Aristoteles, Averroes memiliki dampak yang jauh lebih besar pada abad pertengahan Eropa dari pada dunianya sendiri. Pada kenyataannya, sebagian besar karya-karyanya selamat karena disimpan di Eropa. Seperti catatan Pastor Joseph Kenny, "Kebanyakan komentar-komentar pentingnya tentang Aristoteles dalam bahasa Arab hilang karena telah dibakar oleh musuh-musuhnya (Muslim Sunni), tetapi disimpan dalam terjemahan Latin atau Ibrani karena tertariknya Eropa dan Yahudi pada pemikirannya sejak abad 13. "


De-Helenisasi Islam

"Ilmu-ilmu penggangu" ini tidak lagi mengganggu Islam. Ilmu-ilmu itu dimusnahkan. Akibatnya, catatan Profesor Joel Kraemer dari Universitas Chicago, "asimilasi warisan Yunani di Timur Tengah bisa disebut sebagai 'kemandulan yang tragis'.'' Profesor Arab dan Timur Dekat, GE von Grunebaum menyatakan, "Pentingnya kontribusi meluas Yunani bagi budaya Islam tidak membawa perubahan mendasar dalam vitalitas atau konsep manusia dalam Islam. Jejak pemikiran Yunani hanya nampak dalam aliran Syiah (Isma'iliyya) yang paling terbuka terhadap pengaruh unsur Yunani demi kepentingan sistemnya sendiri secara teologis-filosofis." Tapi, ia menyimpulkan, "Struktur fundamental pemikiran Islam sama sekali tidak terpengaruh oleh pemikiran Yunani/Helenistik."

Berikut adalah dua penilaian kritis atas keberhasilan al-Ghazali oleh Muslim abad 20. "Sementara perdebatan sengit antara mereka yang percaya akan kebebasan (kaum Qadarit) dan predestinasi (Jabaria) umumnya dimenangkan oleh kaum Qadarit,'' kata Pervez Hoodbhoy, "Hegemoni bertahap dari doktrin fatalistik Asy'ariyah melemahkan masyarakat Islam dan menyebabkan lenyapnya semangat ilmiah. Dogma Asy'ariyah dng keras menolak hubungan antara sebab dan akibat-dan karena itu menolak pemikiran rasional. "

Fazlur Rahman berpendapat bahwa walau konflik dini antara Asy'arisme dan Mutazalit tidak mengakibatkan kerusakan
fatal, "Asy'arisme sama sekali merubah keyakinan umat Islam. Sejak saat itu, mereka tidak bisa bertindak dalam realitas; tindakan manusia hanya menjadi metafora belaka tanpa makna nyata. Al-Ashari malah mengatakan bahwa bahkan orang bangun saja tidak bisa berbicara dalam realita. ... Asy'arisme tidak tergoyahkan hingga abad 20 dan mengakar dibenteng-benteng Islam konservatif." Efek mematikan, kata Rahman, termasuk hilangnya inisiatif, aktivitas dan imajinasi Muslim - suatu hal tragis, seperti yang akan kita lihat nanti saat kita meneliti keadaan dunia Arab saat ini.

[...]


Kerusakan yang diakibatkan Ghazali bisa dilihat segera setelah kemenangannya. Kerusakan selanjutnya tampak jelas pada awal
abad ke 13. Ibn-as-Shalah (w. 1251), kepala Dar al-Hadits al-Asyrafiya di Damaskus, salah satu lembaga yang paling bergengsi untuk studi hadis dlm dunia Islam, ditanya apakah diperbolehkan untuk belajar atau mengajar filsafat dan logika. Dia menjawab dengan fatwa dimana ia menggambarkan filsafat sebagai "dasar kebodohan, penyebab semua kebingungan, semua kesalahan dan semua ajaran sesat. Orang macam itu buta atas keindahan hukum agama yang didukung oleh bukti-bukti brilian. . . . Mengenai logika, itu adalah cara mengakses filsafat. Nah, akses ke sesuatu yang buruk juga buruk. . . . Semua orang yang memberikan bukti bagi pengajaran filsafat harus dihadapkan pada alternatif berikut: eksekusi oleh pedang, atau masuk Islam, sehingga wilayah kita dapat dilindungi dan jejak orang-orang itu dan ilmu mereka dapat dimusnahkan."

Kerusakan dilanjutkan oleh Ibnu Taymiyyah (1263-1328), yang sangat mempengaruhi Ibn Abd Al-Wahhab, pendiri Wahhabisme, bentuk Islam Hanbali yang ketat yang dipraktekkan di Arab Saudi yang pemikirannya telah dibangkitkan kembali oleh para Islamis hari ini. Ibnu Taimiyah mengatakan tugas manusia adalah hanya untuk taat. Tunduk, pasrah, berserah. Akal tidak memainkan peranan. [...] Ibnu Taymiyyah telah melakukan pada teologi apa yang dilakukan al-Ghazali terhadap filsafat: Taymiyyah mengucilkan teologi. Dia mengutip pendahulu2 yang telah mengabdikan hidup mereka pada ilmu-ilmu ini, namun kemudian menolaknya, seperti Al-Shahrastani, yang "mengaku bahwa membicarakan teologi adalah sebuah kebodohan." Dia menyukai pandangan Abu Yusuf yang mengatakan bahwa ''barangsiapa yang mencari pengetahuan dengan bantuan teologi skolastik (kalam) akan berubah menjadi seorang ateis," dan Imam Syafi'i yang menyatakan bahwa "para teolog harus dipukul dengan sepatu dan cabang pohon palem dan diarak keliling kota sehingga orang dapat mengetahui konsekuensi dari studi teologi ini. "

Penyempitan ilmu pengetahuan tampak jelas dalam pernyataan ahli hukum Abu Ishaq al-Shatibi itu (w. 1388) bahwa ... hal yang layak untuk diketahui hanyalah apakah suatu tindakan tertentu adalah sesuai dengan syariat: wajib, sunnah, halal, mustahab atau haram. Sisanya adalah tidak relevan.

Pada abad 17, penulis Turki, Chelebi Katib (wafat 1657) mengeluhkan mengakarnya kerusaka: "Banyak orang-orang **** bersikeras spt batu, membeku dalam peniruan buta selama berabad-abad. Tanpa musyawarah, mereka menolak dan membantah ilmu2 baru. Mereka petantang-petenteng dengan status terpelajar mereka, padahal mereka begitu terbelakang, meremehkan apa yang mereka sebut 'ilmu filosofis' dan berpengetahuan NOL tentang alam semesta. Apakah mereka tidak 'merenungkan kerajaan surga dan bumi? (Al Qur'an, VII, 184) Ternyata, ayat ini sama sekali tidak meninggalkan kesan pada mereka, mereka berpikir 'merenungkan kerajaan surga dan bumi' berarti menatapinya seperti sapi." :rolling:

Baru-baru ini, George Tarabishi, intelektual liberal terkemuka Suriah yang tinggal di Perancis, berbicara langsung kepada tudingan dari Fazlur Rahman mengenai bunuh diri intelektual Muslim yang dimulai dari buku ini. Dalam sebuah wawancara pada bulan Januari 2008 dengan harian Arab London, Al-Sharq Al-Awsat, ia berkata: "Filsafat adalah produk dari pikiran. [Tapi] apa yang berlaku hari ini dalam budaya Arab adalah mentalitas [Arab] [bukan berpikir kritis]. Jadi, sekarang tidak mungkin bagi filsafat Arab untuk eksis. ... coba, beri saya satu saja nama seorang filsuf Arab. Ini menyedihkan, karena kita tahu bahwa apa yang menciptakan modernitas Barat adalah pertama-tama dan yang paling utama adalah filsafat. Oleh karena itu, tidak herankah kalau
kegagalan modernisme Arab bisa disalahkan pada tidak adanya filsuf Arab? "

Apa, kalau begitu, prestasi filsafat Islam Ibnu Rusyd (Averroes), Ibn al-Haytham, Ibnu Sina (Avicenna), al-Razi, al-Kindi, al-Khawarizmi dan al-Farabi? Ibrahim Al-Buleihi, pemikir reformis dan anggota Dewan Syura Saudi, mengatakan, "Prestasi mereka bukan prestasi kita dan orang-orang luar biasa itu bukan produk budaya Arab, tapi budaya Yunani. Mereka berada di luar arus utama budaya kita dan kita memperlakukan mereka seolah-olah mereka unsur-unsur asing. Oleh karena itu kita tidak pantas membanggakan mereka (sebagai filsof Muslim) karena kita menolak mereka dan melawan ide-ide mereka. Sebaliknya, Eropa belajar dari mereka sebuah ilmu pengetahuan yang memang sebenarnya milik Eropa sendiri karena mereka
(ajaran Averroes cs) merupakan kepanjangan dari budaya Yunani, yang notabene merupakan sumber dari seluruh peradaban Barat.

Bahkan, penolakan atas filsafat berlanjut hingga hari ini. Ulama Bassam Tibi berpendapat bahwa "karena disiplin2 rasional belum dilembagakan dalam Islam klasik, penerimaan budaya Yunani tidak memiliki dampak yang begitu berarti terhadap peradaban Islam." Pada kenyataannya, "kam fundamentalis Islam tidak hanya mengkritik modernitas budaya kontemporer, tetapi bahkan rasionalisme Islam Averroes dan Ibnu Sina, sarjana2 yang melambangkan peradaban Islam yg tinggi."

Kontemporer reformis Mesir, Tarek Heggy, merangkum konflik ini dan akibatnya: "Dunia Islam telah menjadi ajang pertempuran
ide antara Abu Hamid Al-Ghazali---seorang tradisionalis ketat yang tidak percaya bahwa pikiran manusia mampu menangkap kebenaran yang ditahbiskan oleh Tuhan----dan Ibnu Rusyd (Averroes), yang memperjuangkan keutamaan akal. Para pendukung kedua kubu mengobarkan pertempuran sengit .... Tapi meskipun dia [Averroes] membela penuh semangat [rasionalitas], hasil dari pertempuran itu jelas mendukung Al-Ghazali, dan sebagian besar ahli hukum Islam mengadopsi ide-idenya, menafsirkan ajaran hukum Islam dengan membandingkan kepada kekuasaan adat dan sama sekali memandang rendah penalaran deduktif. Hukum Islam didominasi oleh Mutakallimun, atau teolog dialektis, yang menegaskan keunggulan tradisi (naql), seperti yang dianjurkan oleh Al-Ghazali, yang melampaui akal ('aql), seperti yang dianjurkan oleh Ibnu Rusyd."

Pengaruh al-Ghazali begitu penting sampai seorang pemikir modern piawai dari Pakistan, Fazlur Rahman (foto bawah), bisa mengatakan bahwa "tanpa karyanya ... rasionalisme filosofis bisa saja melenyapkan etos Islam." Kita hanya bisa membayangkan betapa berbedanya dunia yang dihasilkannya.

Image
http://en.wikipedia.org/wiki/Fazlur_Rahman_Malik
http://hangingodes.wordpress.com/2006/1 ... ns-ordeal/

Tambahan tentang Fazlur Rahman: http://indonesia.faithfreedom.org/forum ... nya-t9894/
Profesor Fazlur Rahman adalah salah seorang cendekiawan muslim terkenal dari Pakistan yang berkeras bahwa Muhammad tidak bertemu muka dg Jibril dan bahwa isi2 quran adalah hasil dari pengalaman mistik internalnya, dihasilkan dari hatinya (atau pikirannya?) dg ilham tuhan (4.163) “dalam keadaan menerima penglihatan atau quasi-dream (setengah mimpi).” Muhamad sendiri, lanjut Rahman, telah menjelaskan keadaan waktu dia menerima wahyu2nya dg berkata, “kemudian aku bangun,” menjelaskan bahwa Muhamad menerima wahyu pertama dan yg selanjutnya dalam mimpinya. Rahman menyatakan, “Ide mengenai datangnya malaikat dan wahyu ini menjadi begitu tertanam dalam pikiran Muslim umumnya hingga gambaran selain itu menjadi haram bagi mereka.” Katanya, “sebuah agama tidak hanya dapat menggantungkan diri pada dogma spiritualitas saja dan (bahwa) keterangan yg masuk akal masih diperlukan ... ” (Islam, hal 13).


BAB 6
ali5196
Posts: 16757
Joined: Wed Sep 14, 2005 5:15 pm

Bab 6 : Kemerosotan dan konsekuensinya

Post by ali5196 »

BAB 6 KEMEROSOTAN DAN KONSEKUENSINYA
DECLINE AND CONSEQUENCES
Diterjemahkan oleh kalangkilang, diperiksa oleh ali5196 :axe:

Jika bukan karena al-Ghazali, saat ini kita akan melihat muslim dengan pemikiran rasionalisme ala Averroes. Tetapi itu gagal total dan sebagai konsekuensinya, Muslim sunni menerima pola pikir tertutup. Pemikir reformis, Tarek Heggy berkata, “Al-Ghazali, yang yakin bahwa akal manusia tidak mampu menangkap kebenaran ilahi, mengakibatkan pola pikir Arab yang picik, penuh kekerasan dan sulit untuk menerima pemikiran baru.”

Dengan jaminan supremasi hukum fiqih, berkembanglah sebuah pola pikir yang disusun dalam sebuah hukum shariah untuk segala aspek kehidupan. Gerbang ijtihad telah ditutup (oleh Ghazali). Taqlid (imitasi) yang berkuasa dan pengajaran filsafat mati sejak universitas al-Azhar menghapus pengajaran filsafat dari silabus mereka pada penghujung abad ke 19.

Spt Fazlur Rahman, sejarawan Mesir Ahmad Amin (1886-1954) juga berspekulasi, “Jika tradisi Mutazilah bertahan hingga jaman ini, kemungkinan peradaban muslim akan sangat berbeda dari apa yang kita saksikan sekarang.” Fatalisme melemahkan komunitas muslim dan menghisap energi kreatif, sementara tawakkul (hanya percaya kepada tuhan) membawa kepada kondisi statis.


LOGIKA DESPOTISME

Hassan Hanafi, profesor filsafat di Universitas Kairo, mengatakan bahwa efek dari kritik al-Ghazali terhadap sains memberikan penguasa sebuah ideologi kekuasaan (tiranis/despotisme). [...]

Sering dipertanyakan mengapa demokratisasi tidak timbul secara wajar dalam dunia muslim. Jawabannya: selama paham Ash’arit (atau Hanbalisme) masih tersebar luas, pembangunan demokratisasi tidak akan berhasil karena fatwa2 Ulama lebih tinggi statusnya daripada pemikiran rasional. [...] Sampai detik ini, paham Asharit masih diajarkan di universitas Al-Azhar, Kairo dan perguruan2 tinggi islam lainnya dan berfungsi sebagai beban berat yang menahan segala upaya modernisasi. Lebih buruk lagi, paham Hanbalisme, ajaran pertama yang dipertahankan Ash’arisme, diadopsi dalam bentuk WAHABIsme, yang jauh lebih ekstrim dalam menolak rasionalitas ketimbang Ash’arisme. Menurut Wilfred Cantwell Smith, pergerakan islam dewasa ini tumbuh TIDAK untuk menyelesaikan masalah, namun untuk semakin memabukkan mereka yang gagal dalam menyelesaikan masalah-masalah mereka.”

Keunggulan akal budi, teologi dan pemahaman filsafat merupakan prasyarat utama bagi tumbuhnya demokrasi. Seiring dengan itu, juga diperlukan dukungan metafisika bagi hukum alami yang menjadi pondasi bagi sains modern dan pemerintahan yang konstitusional. TAPIIII dalam Islam Sunni, justru keunggulan kekuasaan yang paling penting. Kalau orang tidak boleh atau tidak bisa mengembangkan teori sebab-akibat (atau kausalitas ---yang dilarang oleh pemikiran Ghazali/Asharit/Hanbalisme/Wahabisme----ali5196), maka hukum alam tidak bisa dikembangkan. Jika seseorang tidak bisa mengembangkan hukum alam, maka orang tersebut tidak dapat menciptakan tatanan politik konstitusional dimana manusia, melalui akalnya, menciptakan hukum untuk mengatur dirinya sendiri dan bertindak secara bebas.

Jika seseorang hidup dalam dunia yang tidak masuk akal, yang irasional tanpa kausalitas, dia hanya punya dua pilihan : percaya pada takdir atau jadi putus asa. Akal dan kebebasan dianggap tidak relevan. Jika manusia tidak lagi dianggap sbg makhluk politik yang diberkahi dengan akal, untuk apa ia perlu menata kehidupan politik yang berdasarkan pemikiran dan musyawarah? Dalam keadaan seperti ini, manusia tidak akan mampu menyusun sebuah konstitusi ------[]

Jika manusia tidak dapat membedakan mana yang salah dan mana yang benar melalui akalnya, pondasi moral bagi hukum telah runtuh. Pada alasan apa hukum akan didasarkan? Jika akal bukan legislator, kenapa perlu ada lembaga perwakilan, misalnya? Hukum manusia hanya bisa dan dilihat sebagai ekspresi sewenang-wenang atau pemaksaan kehendak manusia, yang tidak memiliki pondasi sama sekali, khususnya ketika tumpul menghadapi kehendak ilahi. Jika kapasitas untuk mengetahui sesuatu yang baik tidak eksis, maka tidak ada pembenaran untuk demokrasi. Demokrasi tidak dapat berkembang dalam epistemologi ini. Jika tuhan bukanlah logos (firman), maka hukum manusia tidaklah masuk akal. satu-satunya bentuk demokrasi sah yang tertinggal adalah : satu Allah, Satu suara. Dan seperti yang disampaikan oleh fundamentalis aljazair, “Manusia tidak memilih untuk Tuhan, manusia hanya mampu mematuhi Tuhan. ” Sejak pandangan Ash’arite (dan kaum Hanbali), Ilah dalam Islam bukanlah LOGOS. Sehingga tidaklah mengejutkan melihat kekurangan demokrasi dalam level politik. Hal ini tercerminkan pada 2010 saat diadakan Fredom House Survey di Timur Tengah dan Afrika Utara, dimana tidak ada satupun negara Arab yang terdaftar dalam kategori “Memilik Kebebasan”. Hanya Maroko, Libanon, dan Kuwait diidentifikasi sebagai negara yang “Memiliki kebebasan parsial “, dan negara arab selebihnya mendapat kategori, “tidak memiliki kebebasan.” Satu2nya negara di TImur Tengah yang mendapat predikat “Negara dengan kebebasan penuh” adalah ISRAEL! :supz:

Jawaban dari permasalahan demokrasi dalam dunia islam Arab belum ditemukan. Seperti dinyatakan oleh Ahli Timur Tengah, Elie Kedourie, “Tidak ada tradisi politik dalam Dunia Arab yang familiar dan paham tentang ide-ide penyelenggaraan pemerintahan konstitusional dan mewakili rakyat. Inilah sebabnya, dalam susunan kosakata arab dewasa ini, tidak ada kata arab untuk “Warga negara,” “demokrasi,'' “hati nurani (conscience)”,
atau “sekular.”
Seperti yang dijelaskan oleh Bassim Tibi, “dalam ideologi fundamentalis islam – atau dalam hal ini, dalam benak orang islam – demokrasi bukanlah Isu penting.” Bagaimana mungkin hal itu terjadi? Hal ini yang menyebabkan para reformis seperti Muhammad Abduh menjadi frustasi dan mengatakan, “Dunia timur membutuhkan seorang penguasa lalim yang akan mendorong mereka saling mengkritik demi mencapai nilai-nilai mutualisme.” Dan Kemal Attaturk, yang dikenal mengupayakan demokratisasi di Turki, berkata, “For the people, despite the people”/Untuk rakyat terlepas dari rakyat.”

Lebih jauh lagi alasan berikutnya adalah ketiadaan jiwa pendelegasian. Tiada hirarki tanggungjawab dan tindakan seperti menyerahkan setiap tindakan kpd unit masyarakat yang paling kecil (individu) yang mampu melakukan hal tersebut. Tuhan yang melakukan semua itu – Allah SWT bertanggung jawab atas semua hal. Oleh karena itu, kecenderungan orang adalah untuk patuh dan melakukan kewajiban seperti yang diperintahkan. Kekuasaan ekivalen dengan otoritas, entah otoritas manusia ataupun Tuhan. Oleh karena itu, orang yang berkuasa, ipso facto, mempunyai otoritas (sepanjang tidak berkelakuan spt orang murtad). Hal ini saya maksud dengan pernyataan Hassan Hanafi; “Ideologi kekuasaan.” Karena akal tidak memiliki ruang untuk berpijak, maka akal menjadi hamba dari kekuasaan, yang pada gilirannya akan melayani penguasa. Jika Tuhan adalah kekuatan, maka kekuataan menjadi Tuhan. Dalam pandangan ini, kekuasaan menjadi terlegitimasi dengan sendirinya.

Untuk mengira bahwa satu-satunya hambatan mencapai demokrasi dalam budaya tersebut adalah pemerintahan otokrasi merupakan sebuah delusi. Jika Tuhan adalah kehendak (bebas) yang murni, bagaimana seharusnya wakil Tuhan di bumi mengatur dan berperilaku? Bukan kebetulan pandangan yang mengatakan tuhan yang tiranis akan menghasilkan pemerintahan yang bersifat tiranis pula. Penyair Suriah, Ali Ahmad Said, yang dikenal dengan nama Adonis, dgn sarkastik mencirikan hubungan ini dengan : “Jika kita adalah budak, kita harus puas dengan apa yang ada dan tidak perlu lagi sibuk berurusan dengan apapun.” Sebagaimana Allah menyelesaikan segala permasalahan kita, demikian juga diktator menyelesaikan seluruh masalah kita.” [...]

Penyair Tunisia, Basit bin Hasan, menjelaskan sbb: “Mereka melihat diri mereka sebagai orang yang hanya mampu hidup dalam kondisi tunduk pada sang penebus [yi seorang pemimpin yang mereka percayai akan membawa mereka kepada penebusan].” Dalam menghadapi hal ini, bisakah Muslim arab menghasilkan budaya politik yang mampu merangkul hak asasi manusia, kebebasan hati nurani, aturan hukum, dll.? Itu tidak bisa dilakukan tanpa mengatasi masalah yagn mendasari budaya arab.

Tanpa sebuah teologi berbeda, dapatkah muslim arab memililiki demokrasi? Filsuf kebangsaan iran, Dr. Abdulkarim Soroush, secara ekspslit menjawab pertanyaan ini, “Kamu butuh fondasi filosofis, bahkan fondasi teologis untuk memiliki sistem demokrasi sejati. Allah anda tidak bisa lagi menjadi Allah yang lalim, tuhan yang lalim yang tidak kompatibel dengan aturan demokratis, dengan ide-ide kebebasan hak anda. Jadi anda bahkan harus mengubah pemahaman anda tentang Allah.” Di lain tempat, Dr Soroush menulis, “Beberapa pemahaman masyarakat kita atau para imam tentang Mahdaviyat (kepercayaan Syi'ah pada kembalinya Imam ke 12) atau bahkan konsep kita tentang tuhan tidak kompatibel dengan sebuah negara yang akuntable dan tidak memungkinkan masyarakat untuk tumbuh dan berkembang.”

Satu lagi problema! Apakah Quran mengandung prinsip fundamental demokrasi bahwa semua manusia diciptakan sederajad? Walaupun bisa ditafsirkan dari Quran bahwa manusia diciptakan dalam rupa Allah atau memiliki sepercik Roh Allah dalam dirinya – oleh karena itu setiap individu adalah bermartabat – penafsiran ini DITOLAK sama sekali oleh ulama. Surah 15:28-29 mengutip pernyataan Allah kepada para malaikat : 28. "Sesungguhnya Aku akan menciptakan seorang manusia dari tanah liat kering (yang berasal) dari lumpur hitam yang diberi bentuk. Maka apabila Aku telah menyempurnakan kejadiannya, dan telah meniupkan kedalamnya ruh (ciptaan)-Ku, maka tunduklah kamu kepadanya dengan bersujud.” TAPIIII catatan kaki bagi “Roh (soul)” dalam terjemahan sahih Riyadh, Saudi Arabia, menjelaskan, “Roh adalah elemen kehidupan yang diciptakan oleh Allah untuk badaniyah, bukanlah roh allah sendiri atau bagian dari allah sendiri (seperti selama ini yang secara keliru dipercayai).” Bahkan Quran sendiri menegur, “Roh adalah urusan Tuhanmu, bukan urusanmu”

Tentu saja, semua muslim diciptakan sama, seperti terbukti dari awal mula Islam, ketika beberapa budak dimerdekakan ketika masuk islam. Disaat ibadah haji, para peziarah haji mengelilingi kabah, semua berpakaian yang sama yaitu kain putih (ihram), orang kaya, miskin, muda, tua dan berbagai ras tanpa dibedakan, bergelombang dan memutari kabah. Bahkan mayat juga dibawa ziarah, sehingga menghapus perbedaan antara hidup dan mati. TAPIIII kenapa muslim tidak bisa memperluas pengalaman kesetaraan ini untuk merangkul semua umat manusia?

Jawabannya: baik wahyu maupun hukum Allah menolak kesetaraan ini. Islam tidka memiliki pondasi bagi hak asasi manusia yang sama antara laki-laki dan
perempuan, Muslim dan non-Muslim, orang merdeka dan budak. Hal ini FATAL bagi pembangunan demokrasi dan persamaan hak di depan hukum. Karena dalam agama islam, manusia tidak dibuat dalam gambar dan rupa allah, ia tidak akan bisa menjadi penguasa. Kecuali manusia diciptakan dalam gambar dan rupa allah, kedaulatan allah dan kedaulatan rakyat saling eksklusif. Menunjukkan bahwa manusia memiliki kedaulatan tergolong tindakan syirik, tindakan menyekutukan Allah. Dalam teologi ini, kedaulatan rakyat, yaitu martabat individu yang tidak bisa diganggu gugat, merupakan hal yang tak terbayangkan. Sebagaimana dinyatakan pada tahun 1997 oleh Profesor Saeed, ketika mengepalai Jamaat Dawa-wal-Ishad di Pakistan, “gagasan kedaulatan rakyat tidaklah bersifat islami, hanya Allah yang memiliki kedaulatan”, JADI kemudian, dimanakah posisi non muslim? Mereka tergolong sbg dhimmi, mereka diatur secara berbeda sesuai dengan hukum syariah. Dan bagaimana kalau seorang muslim memilih mengubah agamanya? Dia dinyatakan murtad dan harus mengorbankan isterinya (yang harus diceraikannya), kalau perlu hidupnya juga. Bahkan perintah dari Hadits untuk mengasihi sesama dalam islam tradisional berarti mengasihi sesama muslim DOANG, bukan tetangga dari agama lain. Memang, salah satu perintah dalam Al-quran adalah untuk tidak berteman dengan mereka (QS - 17:87). Juga, kewajiban muslim untuk memberikan amal, zakat hanya kepada muslim lainnya, dan tidak kepada non muslim.

Dalam cahaya penerangan ini, adalah tidak mengejutkan bahwa pada 2003 laporan United Nations Arab Human Development menemukan, “Mayoritas negara Arab telah menandatangani konvensi hak asasi manusia – yang merujuk pada penghargaan hak asasi manusia yang paling mendasar – tapi isi dari konvensi ini ternyata belum masuk dalam aturan perundang-undangan negara-negara tersebut. Konvensi tinggal konvensi semata, tidak ada tindak lanjut dalam penerapannya di pengadilan.”

Enam tahun kemudian tahun 2009, laporan badan dunia PBB mengkonfirmasi bahwa “Konstitusi negara-negara arab muslim tidak memberikan respek dan tidak mematuhi hal-hal penting dalam konvensi hak asasi manusia PBB yang sudah mereka tandatangani. Ini berdampak pada tingkat keamanan warga di negara-negara tersebut. Banyak konstitusi negara-negara arab mengadopsi ideologi atau rumusan doktrin yang tidak menghargai hak asasi dan kebebasan manusia yang mengancam hak asasi individu atas nama ideologi resmi atau atas nama agama .”

YANG paling jelas menunjukkan bahwa konsep kesetaraan manusia bersifat TIDAK ISLAMI adalah “Deklarasi Kairo atas HAM dalam Islam” yang ditandatangani oleh 45 menteri luar negeri Organisasi Konferensi Islam (OKI) pada 5 Agustus 1990. Deklarasi Kairo diterbitkan sebagai lampiran pada Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia PBB untuk menunjukkan perbedaan eksplisit dengan deklarasi PBB. Dua artikel terakhir dari Deklarasi Kairo adalah, “bahwa semua hak dan kebebasan yang diatur dalam deklarasi ini tunduk kepada syariah Islam” [Pasal 24] dan bahwa “syariat Islam adalah satu-satunya sumber acuan untuk penjelasan atau klafirikasi [dari] salah satu artikel dari deklarasi ini ” [pasal 25]. Di tempat lain menyatakan bahwa, “tidak ada orang yang berhak menangguhkan….atau melanggar atau mengabaikannya [Aturan Islam], karena aturan2 mengikat ini mengandung perintah ilahi yang terkandung dalam Buku-buku wahyu Tuhan dan telah dikirim kepada nabi terakhirnya [Muhammad SAW]…. Setiap orang (baca: muslim) secara individu --- dan umat (Islam) secara kolektif-- bertanggungjawab untuk melindunginya.” :prayer:

Sumber martabat manusia sesuai dengan deklarasi Kairo adalah dengan cara menjadikan seorang khalifah di muka bumi [Qur’an 2:30]. Namun, ini adalah sebuah wewenang dan tidak merujuk kepada sesuatu yang inheren dalam sifat manusia, dan tidak jelas bahwa hak tersebut diberikan kepada orang selain si kalif. Pemahaman ini ditemukan dari ayat quran lainnya, ketika Allah berkata, “Hai Daud, sesungguhnya Kami menjadikan kamu khalifah (penguasa) di muka bumi” (Qur’an 38:26). Terentang jarak besar antara konsep khalifah dalam islam dan gagasan Judeo-Kristen tentang manusia “yang diciptakan dalam gambar dan rupa Tuhan” yang menjelaskan jurang perbedaan diantara Deklarasi HAM PBB dan Deklarasi HAM Islam Kairo tentang HAM.

Dibawah syariah, seperti apa tampaknya penghormatan hak asasi manusia? Pada bulan juni 2000, Syeh Agung Al-Azhar, otoritas tertinggi dalam yurisdepensi
Islam Sunni, Muhamad Sayed Tantawi, menawarkan Negara Saudi Arabia sebagai model. Dia berkata, “Saudi Arabia memimpin dunia dalam perlindungan hak asasi manusia karena melindungi mereka sesuai dengan syariah Allah…Semua orang tahu bahwa Saudi Arabia adalah negara terkemuka dalam penerapan hak asasi manusia dalam Islam secara adil dan objektif, tanpa prasangka buruk dan agresi.
:stun:

Ini adalah pernyataan yang mengagetbkan, karena spt dikatakan Dr. Muhammad al-Houni, seorang intelektual Libya yang hidup di Itali, “Hukum Islam tidak mengenal kesetaraan atau hak-hak individual, sebab bagi mereka [HAM, dan kebebasan individu] adalah produk dari jaman ini.”

Lalu kemudian bagaimana syariah dianggap sebagai pelindung mereka (individu)? Syariah tidak mengenal konsep kewarganegaraan (citizenship), sebab tidak ada kosa kata arab untuk itu. Dalam hal ini, ketimpangan antara Muslim dan non-Muslim tampaknya tidak akan terjembatani. Hal ini terbukti dari diskriminasi yang ketat terhadap non-muslim di Arab Saudi - negara berdasarkan syariah. Dan seperti dinyatakan oleh Abu
Hamza, yang ingin memaksakan hukum syariah di inggris, “Hanya individu-individu berpikiran paling **** dan hewanlah yang akan bersikeras bahwa individu-individu pembunuh nabi (Yahudi) dan Penyembah Yesus (Kristen) pantas mendapatkan hak yang sama seperti kita.”
Seperti dijelaskan sebelumnya, islam dianggap sebagai “din al-fitra (agama bagi semua orang)”, agama yang “alami” bagi manusia. Islam adalah agama mulai dari Adam dan akan menjadi agama bagi setiap orang di dunia, dimana mereka tidak akan dimurtadkan oleh penganut kristen, hindu, budha, atau yahudi. Oleh karena itu, mengembalikan (memualafkan) setiap orang ke dalam islam adalah satu-satunya jalan yang benar menuju “kesetaraan.”

Dr. Ahmad Al-baghdadi dalam artikelnya berjudul “Defending the Religion through Ignorance/Membela Islam melalui kebodohan” mencatat niat “Departemen Pendidikan Kuwait untuk menghilangkan pasal 18 Deklarasi Internasional HAM dari kurikulum HAM siswa SMA, karena pasal ini menetapkan bahwa setiap individu memiliki kebebasan untuk berpikir, yang meliputi kebebasan untuk mengubah agama dan keyakinan seseorang.” ... alasan mengapa Pasal 18 dari Deklarasi HAM tidak akan lagi diajarkan di negara tersebut adalah karena hal itu bertentangan dengan Hukum Syariah Islam. Dia menyatakan bahwa di Kuwait, masyarakatnya adalah muslim konservatif, dimana mereka harus menanamkan agama dan keyakinan islam sesuai dengan syariah Islam.

[...]

Dalam Krisis Peradaban Islam, Ali Allawi, Mantan Menteri Keuangan dan Pertahanan di Irak (pasca Saddam), memberikan penjelasan yang panjang lebar, tanpa pernah menyebutkan paham Ash’arism, bagaimana pemikiran islam benar-benar telah diserap oleh sekolah-sekolah ini. [...]

Dalam doktrin islam klasik, sifat individu sebagai mahluk otonom yang diberkahi dengan kebebasan tidak bisa eksis muncul di luar ketergantungannya pada
Allah. Kata Arab untuk individu adalah “al fard” dan kata ini tidak berarti seseorang yg memiliki kemerdekaan dan pemikiran rasional. Sebaliknya, istilah ini membawa konotasi singularitas, sikap menyendiri atau kesendiriannya. Kekuatan kemauan dan pilihan individual ini didapatkannya dari Allah, pada
titik tindakan atau keputusan tertentu – yang disebut iktisab – dan bukan dari kebebasannya atau hak alami. Al-Fard biasanya diterapkan sebagai salah satu atribut Ilahi, dalam arti sebuah keunikan tak akan ada bandingannya. Hal ini biasanya dikelompokkan dengan salah satu atribut Allah (seperti rumusan Al-wahid, Al-Ahad, Al-Fard, Al-Samad : Tunggal dalam esensi, Tunggal dalam kondisi dan kenyataan, serta kekal selamanya), untuk membentuk transendensi absolut dari esensi ilahi. Manusia tidak mampu mendapatkan satupun atribut esensi ini. Oleh karena itu, untuk mengklaim hak dan kemungkinan tindakan otonom tanpa merujuk pada sumber ini yaitu Allah SWT merupakan bentuk penghinaan….Seluruh bangunan hak² individu yang berasal dari keadaan alami individu atau melalui teori etika atau politik sekuler merupakan hal asing bagi struktur penalaran Islam.

[...]

UNREALITY IN THE LOSS OF CAUSALITY
(Tidak realistis dalam hubungan kausalitas)

[...]

Kurang dari satu dekade yang lalu, seorang imam Pakistan menginstruksikan kepada para fisikawan di Pakistan untuk tidak menghubungkan prinsip sebab akibat dalam pekerjaan mereka. Dr. Pervez Hoodbhoy, fisikawan dan profesor pada Universitas Quaid—Azam di Islamad, berkata, “Untuk mengatakan bahwa
perpaduan antara atom hidrogen dan oksigen akan membentuk molekul air, ini dianggap tidak Islami.” Yang harus kamu katakan adalah bahwa jika atom hidrogen dan atom oksigen disatukan INSYA ALLAH terciptalah molekul air. :rolling:

Bahkan di Arab Saudi sendiri, banyak orang yang masih tidak percaya bahwa bangsa kafir Amerika sudah menginjak bulan. Mereka bukannya tidak mengetahui berita tersebut, akan tetapi bila menerima dan mempercayai fakta bahwa manusia sudah menginjak bulan, dengan terpaksa mereka harus menerima rantai kausalitas yang menempatkan manusia di bulan, bagian yang ditolak oleh pengajaran teologi disana.

Penolakan akan fakta dan realitas ini, terkadang diungkapakan secara eksplisit. Filsuf Suriah, Sadik Jalal al-Azham menyatakan bahwa, “ibn Baz (Imam besar di Saudi Arabia sejak 1993 hingga kematiannya pada 1999) dalam bukunya yang diterbitkan tahun 1985, menolak ide bahwa bumi mengelilingi matahari. Saya punya bukunya dan anda bisa memverifikasi apa yang saya katakan, bahwa bumi tidaklah mengelilingi matahari, mataharilah yang mengelilingi bumi. Imam tersebut membawa kita kembali ke astonomi jaman kuno, jaman pra-Copernicus. Tentu saja, dalam buku tersebut, sang imam mengumumkan bahwa barang siapa yang menyatakan bumi mengelilingi matahari, maka orang tersebut telah murtad dari agama islam.” Pada satu sisi, dia bebas mengungkapkan apa yang dia pikirkan. Namun celakanya, tidak ada satu pun dari ulama atau lembaga syariah dalam dunia muslim, dari Timur ke Barat, dari Al-Azhar ke Al-Zaytouna, dari Al-Qaradwahi ke Al-Turabi dan [Sheik Ahmad] Kaftaro, yang berani mengatakan kepada Ibn Baz tentang omong kosong tersebut yang mencoreng nama Islam.

Efek dari penolakan akan kausalitas sekunder bahkan menembus aspek yang paling praktis dari kehidupan sehari-hari. Contohnya, mantan Islamis inggris, Ed
Husain, mengatakan, “Hizbut Tahrir percaya bahwa semua peristiwa di alam merupakan tindakan dan kehendak Allah,” sehingga kebijakan asuransi adalah haram … anggota Hizbut Tahrir tidak bisa mengasuransikan mobil mereka. Demikian juga, penggunaan sabuk pengaman mobil dianggap lancang. Jika waktu seseorang untuk ko'it telah tiba, maka penggunaan sabuk pengaman dianggap berlebihan. Jika tidak, hal itu tidaklah perlu. Kita harus menyadari bahwa ungkapan, “Insya Allah” tidak hanya sebuah perwujudan sopan santun, tapi sebuah doktrin teologis.

Mereka yang terlibat dalam pelatihan pasukan Militer di Timur Tengah telah mengalami sikap ketidakpedulian akan pemeliharaan senjata dan prosedur tembak menembak. Jika Allah ingin peluru untuk mencapai target, maka peluru tersebut akan mencapai target, jika tidak, maka peluru tersebut akan meleset dari target. Ini tidak ada hubungannya dengan kemampuan manusia atau keterampilan yang diperoleh dengan jalan displin atau praktek. Konflik thn 2006 antara Israel dan Hizbullah di Lebanon dinyatakan sebagai “kemenangan ilahi” oleh Hizbullah hanya karena pemimpinnya, Hasan Nasrallah, menyebut misil2nya sbg “peluru yagn dikendalikan Allah.” Walaupun Hizbullah merupakan kelompok pejuang Syi'ah, tapi mereka punya cara pandang yang sama tentang Allah
(dan tindakan allah) sebagai penyebab utama. “Kami percaya bahwa malaikat Allah dan Imam Mahdi berada disana melindungi anak-anak kami”, ungkap salah
seorang pejuang Hizbullah, Mahmoud Chalhoub. “Bahkan Tentara Israel berbicara tentang seorang pria serba putih (Mahdi) yang naik kuda putih, yang memotong tangan salah satu prajurit tersebut ketika akan meluncurkan rudal. Israel berpura-berpura bahwa Hizbullah memiliki satelit dan ini adalah bagaimana para pejuang kami mampu membidik sasaran militer Israel. Kami tidak memiliki satelit, kita hanya memiliki peluru kendali yang diarahkan oleh Allah.” Sekali lagi, apa yang bagi dunia barat dianggap seperti propaganda murahan dlm perang ternyata memiliki basis teologis yang sangat dalam.

Ini motto abad 21 yang mirip dgn ayat Quran : “Ketika kamu menembak, bukan kamu yang menembak, tapi Allah..”
(”Maka (yang sebenarnya) bukan kamu yang membunuh mereka, akan tetapi Allahlah yang membunuh mereka, dan bukan kamu yang melempar ketika kamu melempar, tetapi Allah-lah yang melempar. {QS.8:17})

Pengaruh besar Arab Saudi hari ini di dunia muslim seringkali dianggap oleh barat hampir sepenuhnya karena kekayaan minyak--Petro Islam. Namun, kita lupa bahwa muslim, termasuk di negara-negara seperti Mesir, yang secara tradisional menentang Arab Saudi, melihat kekayaan ini sebagai hadiah langsung dari
Allah. Apakah tidak karena kebetulan harta tersebut berada di bawah pasir dari negara tertentu? Tidak, mereka harus berada disana sebagai hadiah bagi Saudi karena mengikuti jalan yang benar. Kenapa lagi minyak berada di sana dan tidak ditempat lain? JELAZZZ karena Allah. Kehadiran minyak bumi ini merupakan tanda setuju Allah akan aliran Wahabi. Hal ini yang menyebabkan paham Wahabi menyebar dengan cepat ke seluruh penjuru dunia. Sehingga, Arab Saudi tidak hanya menikmati kejayaan melalui minyak tetapi juga karena TEMPATNYA minyak itu.

Seorang teman Kurdi mengatakan bahwa ia melanjutkan ibadah haji dengan seorang teman yang saleh, seorang pemercaya kuat doktrin Asy’ariyah yaitu Allah sebagai satu-satunya penyebab. Di Kabah, dibawah terik matahari panas Arab Saudi, temannya itu menyentuh Hajar Aswad. Lihatlah, dia berkata, ini adalah keajaiban dari Allah, bagaimana mungkin batu ini menjadi begitu dingin di bawah cuaca yang sangat panas tersebut? Teman Kurdi saya itu kemudian memandang sekelilingnya sampai dia menemukan tangga turun ke unit pendingin. :rolling: Dia kemudian membawa temannya untuk melihat hal itu, dan menjelaskan kepadanya, “Inilah penyebab mengapa Hajar Aswad tetap dalam keadaan sejuk.” Temannya bereaksi dgn marah! Pengetahuan rasional adalah ancaman bagi kepastian agamanya. Unit Pendingin, sebuah produk dari pemikiran rasional, merupakan serangan langsung terhadap teologinya. :supz:

Dalam wilayah yang dikuasai Taliban di Pakistan, “vaksinasi Polio telah dinyatakan haram oleh ulama, kampanye pemvaksinasian pemerintah kemudian
terhenti.” Seperti asuransi mobil, vaksinasi polio merupakan bentuk dari praduga akan kejadian tertentu di masa depan. Hanya dengan pengusiran Taliban dari lembah Swat di akhir musim panas tahun 2009, pemerintah Pakistan dapat melanjutkan vaksinasi polio.

Logika Semu : Hadirnya wacana Konspirasi
Terbebas dari cara berpikir sebab akibat, dunia Islam beralih ke dunia pra-filsuf, dimana dunia magis menjadi jawaban atas fenomena atau kejadian misterius, kekuatan-kekuatan supernatural. Seiring sejalan dengan teori² konspirasi dan berkembangnya takhyul dalam dunia Islam, hal ini tercerminkan dalam materi pers Islam sehari-hari. Teori konspirasi adalah mata uang intektual dalam dunia irasional. Muslim berubah dari peran pelaku menjadi peran korban – dari tindakan yahudi ataupun teori konspirasi dari dunia barat. Jika tidak, kejadian dihubungkan langsung dengan Allah sebagai penyebab tunggal atas suatu kejadian, lagi-lagi menihilkan bahwa tindakan manusia dapat memiliki efek apapun atas terjadinya peristiwa.

[...]

Bencana alam tentu saja, hanya dijelaskan dalam tindakan langsung Allah. Di stasiun Televisi, Sheikh Salih Fazwan Al-Fazwan, pejabat tinggi dari rezim Saudi, berpendapat bahwa Tsunami yang terjadi pada natal 2004, diakibatkan ketika para pezinah dan orang-orang korup dari seluruh dunia datang untuk melakukan percabulan dan perzinahan seksual. Saat itulah tragedi ini terjadi, menyerang mereka dan menghancurkan semuanya.” Di website Muslim, tulisan arab untuk “Allah” secara grafis ditempel pada foto satelit gelombang tsunami sehingga menunjukkan bahwa 'tsunami tersebut adalah intervensi Allah.' Gelombang itu sendiri dieja dengan “allah.” Photoshop hu Akbar!!

Ketika Badai Katrina menerjang pantai selatan Amerika Serikat, sebuah artikel khas dalam pers Arab mengumumkan bahwa “Katrina adalah angin siksaan yang dikirimkan oleh Allah kepada Amerika Serikat” dan bahwa “Badai Katrina merupakan satu dari tentara Allah.” Lebih jauh lagi, “alasan satu-satunya untuk bencana tersebut adalah Allah telah murka kepada mereka (US).” Sebagian besar orang Amerika melihat hal ini sebagai propaganda murahan tanpa menyadari bahwa propaganda tersebut berasal dari perspektif teologis yang memerlukan pemahaman bahwa segala sesuatu terjadi akibat Aksi dari Penyebab Utama (Allah). Ini adalah pandangan yang diperlukan orang-orang² yang harus menafsirkan dengan cara ini, karena teologi Islam tidak memungkinkan untuk adanya penyebab sekunder.

Pervez Hoodbhoy melaporkan, “Ketika gempa bumi tahun 2005 melanda Pakistan dan menewaskan lebih dari 90.000 orang, tidak ada ilmuwan besar di negeri ini yang secara terbuka menantang keyakinan yang disebarkan secara bebas oleh pers, bahwa gempa bumi tersebut adalah hukuman Allah atas muslim akibat perbuatan dosa mereka.” Mullah mengejek gagasan bahwa ilmu pengetahuan dan sains bisa memberikan penjelasan, mereka menghasut pengikut mereka ke televisi dan mempromosikan bahwa gempa tersebut adalah akibat murka Allah. Seperti yang ditunjukkan dalam beberapa diskusi oleh mahasiswa sains, mayoritas menerima pendapat bahwa gempa bumi tersebut terjadi akibat murka Allah.”

Logika semu dalam persepsi dan media massa
Kehilangan rasionalitas dan perceraian dengan realitas juga bergaung dalam pers (media massa), yang penuh dengan teori² konspirasi dan perhitungan fantastis dari peristiwa alam. Laporan badan duni PBB tahun 2003 tentang Human Development menjelaskan bahwa media Arab, “Berita laporan sendiri cenderung naratif dan dekriptif, bukan investigasi atau analitik. Hal ini umumnya terjadi pada berita suratkabar, buletin radio dan berita televisi. Berita seringkali disajikan sebagai suksesi peristiwa yang terisolasi, tanpa kedalaman investigasi atau usaha untuk menempatkan kejadian pada konteks umum, sosial, ekonomi ataupun budaya.” Jika metafisika bersifat atomistik, maka reportase anda kemungkinan besar juga akan menjadi “sebuah penggantian peristiwa yang terisolasi”, tanpa adanya kesinambungan dengan hubungan kausalitas yang mendasarinya. Hal ini persis dengan pengamatan Geoge Hourani, yang dikutip sebelumnya, yang menyatakan bahwa orang Arab gagal untuk melihat tindakan “dalam mata rantai sebab dan akibat (Kausalitas)”

Tidak ada yang tampak konyol ketika pers dunia Arab dan dunia muslim menghitung kecepatan cahaya sesuai dengan Quran. Di Arab Saudi, sebuah buku yang diterbitkan oleh percetakan negara, Brotokolat Ayat Qumm Hawla al-Haramayn al-muqadda-sayn (Protokol ayat dari Qum terkait dengan Dua Kota Suci), oleh Dr Abd Allah al-jafar, yang menuliskan bahwa Aliran Syi'ah adalah hasil dari rancangan orang-orang yahudi untuk menumbangkan Islam. :supz:

Kaum Syi'ah berperan dalam semua invasi dunia Islam dan mereka juga yang menciptakan kelompok Freemason (sebuah kelompok eksklusif lelaki Zionis) yg judulnya diambil dari Protocols of the Elder of Zion, sebuah dokumen propaganda palsu yg diciptakan polisi rahasia anti Semit utk menumbangkan tzar Rusia abad 19 yang sampai saat ini masih beredar di dunia Islam, sebagai bukti dokumen 'asli' pengkhianatan yahudi. Contoh terbaru dari perspektif ini, kali ini dari sudut syiah, yang ditawarkan oleh Mahmoud Musleh, seorang anggota Hamas terkemuka yang menjadi anggota legislatif Palestina, mengatakan bahwa demonstrasi besar-besaran di Iran yang memprotes kembali terpilihnya Mahmoud Ahmadinejad, seharusnya terjadi pada bulan juni 2009, “Israel berdiri dibelakang apa yang terjadi di Iran.” Jangan juga lewatkan Indonesia, dimana dua buku oleh Herry Nuri diterbitkan pada tahun 2007, berjudul Tanda-tanda freemason dan zionis di indonesia serta Kebangkitan Freemason dan zionis di Indonesia.

Tiada hal yang absurd untuk dapat dipercayai. Penjelasan untuk peristiwa 9/11 adalah contoh utama. Di sekitar peringatan tahun ke 8 atas perisitwa ini, Mshari Al-Zaidi menawarkan secara satir beberapa teori konspirasi populer dlm surat kabar Al-Sharq Al-Awsat (9 September 2009):
Mereka yang melaksanakan serangan 11 september 2001 – apakah mereka ekstremis nasional Serbia? Oh tidak, itu adalah tindakan mossad Israel – oh bukan, maafkan saya ... mereka adalah group Adventh hari Ketujuh (Mormon) di Amerika Serikat! Tidak .. tidak ... orang yang melakukan serangan itu adalah Badan Intelejen Amerika (CIA USA)! Saran-saran dan ilusi imajiner terus dituangkan guna menghindari realitas –- yaitu bahwa pelaku serangan 11 September 2001 adalah pemuda muslim yang percaya pada interpretasi Islam garis keras yang dipimpin oleh Osama Bin Laden-- dan didorong oleh jutaan muslim lainnya. Gagasan tentang keterlibatan pejuang nasionalis Serbia adalah sebagai balas dendam atas keterlibatan Amerika Serikat dalam konflik Balkan yang melibatkan Serbia, Bosnia dan Kroasia. Gagasan ini dikemukakan oleh Hasanayn Haykal, simbol jurnalis politik Arab yang mengikuti pandangan Pan-Arab. Ia mengatakan hal ini hanya beberapa hari setelah peristiwa 911 itu (di koran Al-Safir Libanon, 1 Oktober 2001). Gagasan bahwa serangan ini dilakukan oleh Mossad Israel (sumber dari segala kejahatan dan kejadian misterius yang tidak dapat diteliti dan diselidiki) disarankan oleh penulis Fahmi Huwaydi, yang percaya bahwa Al-Qaeda tidak bisa melaksanakan operasi semacam itu, tetapi bahwa Mossad bisa (Kuwait surat kabar Al-Watan, 25 September 2001). Adapun gagasan bahwa 911 dilakukan oleh kelompok AS yang disebut Pengikut Advent Hari Ketujuh, ini diucapkan oleh Mustafa Mahmud, tuan rumah dari program "Ilmu dan Keyakinan" (Al-Ahram, Mesir, 22 September 2001).
Pada akhir 2006, meskipun sudah diakui berulangkali oleh al-Qaeda, semakin banyak Muslim percaya bahwa orang Arab tidak melaksanakan serangan 911. Menurut Washington Post, "Sebuah laporan tahun lalu oleh Proyek Pew Global Attitudes, menemukan bahwa jumlah Muslim di seluruh dunia yang tidak percaya bahwa orang Arab melakukan serangan 11 September melonjak ke nilai 5% di Turki dan Mesir , 65% di Indonesia, 53% di Yordania, 41% di Pakistan dan bahkan 56% Muslim Inggris." Sebuah studi Januari 2006, L'Economiste mengungkapkan bahwa 44% responden di Maroko berusia 16-29 percaya bahwa al-Qaida bukan organisasi teroris, 38% "tidak tahu," dan hanya 18% mengatakan itu adalah teroris group. Dengan kata lain, tidak ada korelasi antara bukti yang tersedia dan pendapat.


____
contoh dari memri, lihat dibawah berikut ini...
Last edited by ali5196 on Thu Sep 15, 2011 2:30 am, edited 16 times in total.
ali5196
Posts: 16757
Joined: Wed Sep 14, 2005 5:15 pm

Post by ali5196 »

Bagian contoh² cara berpikir delusif yang diambil dari MEMRI TV
___________________________________________________________________
Bagi mereka yang tidak akrab dengan tingkat ke-semu-an dalam pers muslim sehari-hari, di sini ada sampel yang diambil dari hasil kerja pemantauan Media Timur Tengah Media Research Institute (MEMRI). Meskipun terlihat dari kesan yang tercipta, namun kutipan di bawah ini tidaklah serupa dengan tabloid gosip Amerika yang tersedia di rak-rak toko kelontong. Banyak kutipan yang diberikan bukan untuk menciptakan kesan bahwa ini adalah gambaran seluruh pers dunia Muslim, tapi untuk menunjukkan bahwa hal tersebut merupakan bagian penting dari fenomena tersebut. (Ini bukan untuk mengatakan bahwa tidak ada wartawan Arab dan Muslim yang kredibel.) Teks² kutipan dan video dapat diperoleh di website MEMRI: http://www.memri.org. Semua contoh artikel diambil dari MEMRI:


Ulama Mesir Ahmad Abd Al-Salam: ”Yahudi : Menginfeksi Makanan dengan Kanker dan mengirim ke negara-negara Muslim, 24 Feb, 2009. Meskipun klaim yang tampaknya aneh, judul ini bukan hanya suatu bentuk jurnalisme sensasional yang dirancang untuk menarik pembaca. Kutipan tersebut berasal dari alamat video yang diberikan oleh Al-salam : “Orang yahudi berkonspirasi siang dan malam untuk menghancurkan Muslim dan agama Islam”. Orang² yahudi bersengkol untuk menghancurkan perekonomian kaum muslimin. Orang² Yahudi bersekongkol untuk menginfeksi makanan kaum muslim dengan kanker. Ini adalah tindakan dari orang yahudi yang menginfeksi makanan dengan kanker dan mengirimkannya ke wilayah muslim.” Al Salam lebih jauh menuduh Yahudi melakukan pelecehan seksual terhadap wanita muslim dan bersekongkol untuk membawa kejatuhan Islam.

Pekerja film Iran Nader Nader Menyangkal Holocaust dan berkata: Al-Qaeda dan Mossad bersama-sama dalam operasi 9 / 11 - 3 April 2008
Bahkan ada satu teori yang mengatakan bahwa George W. Bush sendiri mendalangi serangan 11 September.

TV Iran: Flu-A (Flu babi)merupakan hasil Konspirasi Zionis / Amerika," 12 Mei 2009
Berikut adalah kutipan lain dari laporan TV Iran tentang flu babi, yang disiarkan di IRINN, saluran berita Iran, pada tanggal 6 Mei 2009:
"Dalam sambutannya, Barak Obama menyebutkan obat yang disebut Tamiflu - tapi apa sebenarnya Tamiflu? Siapa produsen obat ini? Tidak lain dan tidak bukan adalah Donald Rumsfeld, mantan sekretaris pertahanan Amerika. Dia adalah salah satu pemegang saham, dan anggota aktif dan berpengaruh di dewan direksi Gilead Science, yang merupakan penyedia utama obat untuk penyakit ini. . . . Perlu dicatat bahwa Gilead Science adalah sebuah perusahaan Yahudi. Namanya, dalam bahasa Ibrani, yang berarti 'tempat suci,' dan semua pemegang sahamnya adalah Zionis. "
Ulama Mesir Safwat Higazi : Seruan untuk memboikot kedai kopi Starbucks di Dunia Arab dan Islam: Ratu Yahudi Ester merupakan Logo mereka," 25 Januari 2009.
Higazi, dalam sebuah acara yang ditayangkan di televisi Mesir, menyatakan terus terang: "Gadis dalam logo Starbucks adalah Ratu Ester. Apakah Anda tahu siapa Ratu Esther dan apa arti mahkota di kepalanya? Ini adalah mahkota kerajaan Persia. Ratu ini adalah ratu dari orang Yahudi. Dia disebutkan dalam Taurat, dalam Kitab Ester. Gadis yang Anda lihat adalah Ester, ratu dari orang Yahudi di Persia "Terlepas dari kenyataan bahwa Higazi salah menyebutkan identitas dari "gadis Starbucks" – yang merupakan tokoh mitologi Perancis abad pertengahan. Ia menyerukan penghapusan semua kedai kopi Starbucks di seluruh dunia Muslim, karena "tidak dapat dibayangkan bahwa di Mekkah dan Al-Madinah, akan ada gambar Ratu Ester, sang ratu dari orang Yahudi."

TV Hamas - Ilmuwan Dr Ahmad Al-Muzain: Formula Bayer (penj: salah satu produsen obat dari jerman) untuk pengobatan AIDS berasal dari ucapan Nabi Muhammad pada Hadis Tentang Sayap Lalat, - November 13, 2008

Kolumnis Arab : Krisis Ekonomi Konspirasi-A oleh Pemerintah AS, Yahudi Amerika," Oktober 22, 2008
Dr Mustafa al-Fiqqi di Mesir menulis: "Pemerintahan Bush dilatih dan didorong, oleh pihak konservatif Amerika dan kalangan Yahudi, untuk melaksanakan misi ini [dalam dua tahap] - pada awal jabatan periode pertama kepresidenan Bush, dan di akhir masa jabatan periode kedua. Yang bertujuan mencapai dua sasaran utama yaitu sasaran politis global pada tahun 2001, dan sasaran ekonomi global dalam 2008. Langkah pertama dalam sasaran pertama tentu saja adalah serangan 9 september 2011. Menurut al-Fiqqi, dan diyakini oleh banyak kalangan, serangan 9/11 dan krisis ekonomi global merupakan bagian dari rencana dari misi Amerika Serikat dan dunia barat dalam upaya mencapai dominasi global.

Serial Dokumenter TV Iran dengan Tema “Jejak Zionis di Film Barat: Saving Private Ryan," Juni 30, 2008.
Di antara klaim yang dibuat oleh kritikus film Iran Dr Majid Shah-Hosseini bahwa film-film Amerika (Saving Private Ryan pada khususnya) meninggikan prajurit Yahudi-Amerika. Klaim ini berbunyi: "ada kemiripan bunyi antara Ryan dengan Zion”

Teori konspirasi di Mesir, yang menyatakan bahwa yang dieksekusi di Irak bukanlah Sadam yang asli tetapi orang yang diserupakan dengan Saddam Husein, January 30, 2007.

Dalam wawancara di TV, Ahli keamanan Pakistan menuduh Zionist barat dan Zionist hindu terlibat dalam perencanaan serangan teror mumbai 11/26 - December 4, 2008.

Penasehat Budaya pada Kementrian Pendidikan dan anggota Organisasi Interfaith menyatakan dalam TV Iran : Tom dan Jerry – merupakan sebuah konspirasi Jahudi untuk meningkatkan gambaran dari tikus, karena sebutan jahudi adalah tikus kotor di eropa; 4 Desember, 2008.
Berikut ini adalah kutipan dari ceramah Dr Hasan Bolkhari, anggota dewan filem Republik Islam Iran dan Penasehat pada kementerian pendidikan Iran, pernyataan ini layak dikutip panjang lebar untuk menunjukkan seberapa dalam ketidakwarasan yang dipertontonkan oleh dunia muslim :
Tom and Jerry adalah sebuah kartun yang disukai oleh anak-anak, demikian juga oleh beberapa orang dewasa.
[..]
Beberapa orang mengatakan bahwa kartun ini diciptakan oleh Walt Disney (sic: Tom dan jerry adalah produksi dari Hanna Barbera) yang akan diingat selamanya. Perusahaan Yahudi Walt Disney mendapatkan ketenaran internasional melalui kartun ini. Dan kartun ini masih dipertunjukkan di seluruh dunia. Kartun ini mempertahankan statusnya karena kejenakan kucing dan kelucuan dari tikus. Beberapa orang mengatakan bahwa alasan utama untuk membuat kartun menarik ini adalah untuk menghapus istilah penghinaan yang lazim di Eropa.
[..]
Jika and mempelajari sejarah Eropa pada abad ke-19, anda akan melihat siapa yang menjadi kekuatan utama dalam bidang finansial. Dalam banyak kasus, itu adalah kaum Yahudi. Mungkin itu adalah salah satu alasan yang menyebabkan Hitler memulai tren antisemit-nya, dan kemudian propaganda tentang krematorium (kamar gas) secara ekstensi dimulai….Beberapa hal ini benar. Kami tidak menyangkal semua itu. Ketika kami menonton filem Schlinder’s List, dimana setiap orang Yahudi dipaksa untuk mengenakan bintang berwarna kuning pada pakaiannya. Orang-orang yahudi terdegradasi dan disebut dengan Tikus got. Kemudian Tom dan Jerry dibuat untuk mengubah persepsi Orang Eropa terhadap Tikus. Satu istilah yang digunakan adalah “tikus got.” Saya ingin memberitahu anda bahwa…perlu dicatat bahwa tikus terkenal sangat licik …dan kotor.
[..]
Tidak ada kelompok etnis atau bangsa yang beroperasi dengan cara klandestin sebagaimana orang yahudi.
[..]
Bacalah sejarah Yahudi di Eropa. Hal ini akhirnya menyebabkan kebencian dari Hitler, ternyata Hitler berada dibelakang layar koneksi dengan Para tetua sion. Tom dan jerry dibuat dalam rangka menampilkan citra sebaliknya. Jika anda kebetulan menonton serial kartun ini esok hari, ingatlah dalam pikiran anda tentang hal yang sudah saya beritahu, dan tontonlah dari perspektif ini. Tikus ini sangat cerdik dan pintar. Segala tingkahnya sungguh lucu. Dia menendang bokong kucing malang. Namun kekejaman ini tidaklah membuat anda membenci tikus. Dia tampak begitu pintar dan begitu baik….ini adalah persis sebagaimana dimaksudkan bertujuan untuk menghapus gambaran tikus dari anak-anak eropa, dan menunjukkan kepada mereka bahwa tikus bukanlah hewan yang memiliki sifat-sifat yang jorok. Sayangnya, kita memiliki bukti bahwa Holywood mendukung upaya itu. Sayangnya, kami telah banyak kasus seperti dalam menunjukkan Hollywood.

Ulama Saudi Muhammad Al-Munajid: Mickey Mouse Must Die!" 27 Agustus 2008

Dalam fatwa dan pernyataan terbaru dari pengajar dan Ulama terkemuka Arab Saudi, Sheikh Muhammad Al-Munajid, mengatakan dalam TV Al-Majd pada 27 Agustus, 2008, bahwa tikus adalah tentara setan dan menurut Hukum Islam, Mickey Mouse harus dibunuh dengan cara apapun dan dimanapun berada.

Ulama Mesir dan mantan dosen di US, Hazem Sallah Abu Ismail di TV Al-Risala : Ceramah Konflik Yahudi dengan Nabi Muhammad, menyatakan dalam Dokumen PBB menegaskan bahwa “82% dari semua upaya yang merusak kemanusiaan berasal dari Yahudi” - 10 Mei, 2006.
Ismail adalah seorang ulama Mesir. Dia memiliki acara televisi mingguan bernama Penggerebekan (The Raids) di mana ia membahas pertempuran Muhammad. Dalam satu segmen, ia berbicara tentang bagaimana menurut laporan PBB, orang Yahudi bertanggung jawab untuk 82 persen dari klip video yang beredar di dunia, dan dia menyimpulkan: "Delapan puluh dua persen dari semua upaya untuk merusak umat manusia berasal dari Yahudi. Anda harus tahu ini sehingga kita dapat mengetahui apa yang harus dilakukan. "

Penulis Saudi Dr. Muhammad Al-Arifi pada pertunjukkan yang diproduksi oleh Kementerian Agama dan Wakaf menyatakan : Wanita di negara Barat menikah dengan anjing dan keledai; 54% perempuan di Denmark tidak mengetahui siapakah ayah bayhi mereka; 6 April 2006

Urulog Saudi menawarkan ginjal kadal yang sudah dikeringkan untuk mengobati impotensi dan menyimpulkan : Kontrol Kelahiran meningkatkant terjadinya STD (Sexual transmitted disease) - 23 Mei, 2005.
Sebagai tambahan, banyak video dan artikel lain yang membuat klaim yang sama dan merujuk pada teori konspirasi yang sama. MEMRI (rujukan contoh artikel ini diambil) menawarkan informasi berlimpah dalam bentuk video maupun artikel yang dapat dikirimkan.

Saat jenis material pemberitaan bersifat delusi melimpah dalam jumlah yang luar biasa, ada stasiun TV seperti Al-Arabiya, yang dipimpin oleh Adbul Rahman al-Rashed, salah seorang jurnalis terbaik di dunia Arab, dan surat kabar seperti Asharq Al-Awsat, yang diterbitkan di London, merupakan model dari jurnalisme Arab di masa mendatang.

_____
sekian..


terim's
kalangkilang
Last edited by ali5196 on Thu Sep 15, 2011 2:34 am, edited 3 times in total.
ali5196
Posts: 16757
Joined: Wed Sep 14, 2005 5:15 pm

Bab 7 : Kehancuran - Kesaksian muslim

Post by ali5196 »

BAB 7 KEHANCURAN : KESAKSIAN MUSLIM
Diterjemahkan oleh kalangkilang, diperiksa ali1596

Hari ini menurut orang Arab sendiri, situasi dunia Muslim di Arab berada pada situasi DISfungsional. Ini bukanlah berita yang menyenangkan. Pada penghujung abad ke-19, Sayid Jamal Al-Din Al-Afghani (1839-1897) menyatakan, "Perlu dipertanyakan ... kenapa peradaban Arab, setelah menjadi obor penerang bagi peradaban dan cahaya bagi dunia, tiba-tiba padam; dan sampai saat ini kenapa dunia Arab masih tetap terkubur dalam kegelapan sangat pekat." Pertanyaan tersebut kembali diulangi oleh Shakib Arslan seorang pemikir Arab kontemporer dalam bukunya (1960-an) yang berjudul, "Kenapa Umat Islam Terbelakang Saat Bangsa2 lainnya melangkah Maju?"


Image
http://en.wikipedia.org/wiki/Jamal-al-Din_al-Afghani


Image
http://en.wikipedia.org/wiki/Adunis
Penyair Suriah, Ali Ahmad Sa'id (lahir 1930), yang lebih dikenal dengan nama samaran "Adunis/Adonis" dan kandidat hadiah Nobel Sastra (2005), menyatakan, "Jika saya melihat orang-orang Arab, dengan seluruh sumber daya dan kapasitas mereka, dan saya bandingkan dengan pencapaian mereka selama abad terakhir ini dengan yang mampu diraih oleh bangsa lain pada periode yang sama, saya harus menyatakan bahwa kita orang Arab berada dalam fase kepunahan, dalam arti kita tidak memiliki kehadiran yang kreatif di dunia ini." Ali Ahmad Sa'id menyodorkan fakta bahwa kepunahan suatu bangsa datang bilamana bangsa tersebut kehilangan daya kreatif mereka dalam mengubah dan beradaptasi dengan dunia. Dia merujuk pada peradaban Sumeria, peradaban Yunani Kuno dan Peradaban Mesir Kuno yang semuanya sudah punah. Tanda yang paling jelas tentang kepunahan peradaban (bangsa) Arab menurut Ali Ahmad Sa'id adalah, bahwa "kita berada dalam tatanan peradaban dunia baru dengan ide-ide yang usang dan tidak berguna sama sekali".

Image
http://fr.wikipedia.org/wiki/Abdelwahab_Meddeb

Pemikir Tunisia, Abdelwahab Meddeb, dalam bukunya yang berjudul Contre-Prêches (Counter-Preaching) mengajak pembacanya untuk membayangkan pertemuan dari berbagai peradaban seperti Eropa, Amerika, Jepang, Tiongkok, India, Afrika, Arab dan Muslim, "Setiap perwakilan peradaban tersebut disodorkan pertanyaan, "Apa kontribusi mereka bagi kemanusiaan untuk saat ini dan di masa mendatang." ]Jawaban apakah yang akan diberikan oleh Muslim Arab?? Tidak ada, kecuali mungkin paham Sufisme ... Kalau mereka (dunia Arab Muslim) tidak mengambil arah baru, dunia Arab dan Muslim akan mengalami kepunahan dan menjadi bagian dari sejarah akibat batasan kerangka iman Islam mereka."


Image
http://en.wikipedia.org/wiki/Sadiq_Jalal_al-Azm
Dalam sebuah wawancara pada Januari 2008 dengan Harian Qatar Al-Raya, filsuf terkemuka Suriah, Sadik Jalal al-'Azm, mengatakan bahwa pemikir Islam bahkan tidak lagi berusaha untuk "berurusan dengan tema dan pertanyaan-pertanyaan sains modern." Mereka lebih tertarik untuk membicarakan
penurunan moral; pemikiran keagamaan Islam mengalami degradasi dari sebelumnya. "Hari ini" dia mengatakan, "kita mendengar tentang fatwa menyusui lelaki dewasa". http://indonesia.faithfreedom.org/forum ... sa-t13874/

Pernyataan ini merujuk pada fatwa menghebohkan pada mei 2007 yang mengatakan bawah satu-satunya cara seorang pria lajang dan seorang wanita bisa bekerja dalam ruangan yang sama adalah dengan cara menjalin hubungan kekeluargaan (menjadi muhrim). Hal ini dapat terlaksana bilamana si wanita MENYUSUI pria lajang tersebut. Jalal al-'Azm menambahkan, fatwa ini tidak dikeluarkan oleh ulama ecek-ecek, tetapi oleh seorang Kepala Departemen Urusan Hadits pada universitas Al-Azhar, institusi pendidikan terhormat dalam dunia Muslim. Namun setelah kemarahan dari publik, fatwa ini kemudian ditarik.

Contoh berikutnya datang dari buku "Religion and Life - Modern Everyday Fatwas" oleh Mufti Mesir, Dr. Ali Gum'a, dia menuliskan tentang sahabat dan pengikut Muhammad yang merasa mendapat rahmat ketika meminum air kencing, air liur dan keringat Nabi. :finga: Karena rakyat gempar, buku tersebut kemudian ditarik. Ali Gum'a juga menuliskan fatwa yang melarang wanita memakai celana panjang dan pemain sepakbola memperlihatkan kaki mereka.
http://indonesia.faithfreedom.org/forum ... at-t14494/
http://indonesia.faithfreedom.org/forum ... gi-t41692/
http://indonesia.faithfreedom.org/forum ... wa-t14480/

Image
http://en.wikipedia.org/wiki/Ali_Gomaa

Sadik Jalal al-'Azm juga menunjukkan bahwa dunia Arab sekarang berada pada fase pengulangan "Hadits tentang sayap lalat" : Rasulullah berkata, "jika seorang lalat masuk ke dalam minumanmu, maka salah satu sayapnya mengandung penyakit dan sayap lainnya adalah obat bagi penyakit itu" [Sahih Al-Bukhari: Volume 4, Book 54, Number 537]. Ucapan ini di-isyaratkan menjadi obat bagi penyembuhan AIDS.

:rofl:

Jeritan putus asa berikutnya datang dari pemikir Muslim India, Rasyid Shaz, "Kami umat Islam, hidup dalam paradoks. Jika kami merupakan bangsa terpilih yang dipercaya untuk memimpin dunia hingga akhir jaman mengapa kami tidak mampu mencegah keterbelakangan ini? Terlepas dari fakta bahwa umat Muslim hari ini hampir berjumlah dua miliar jiwa dan mendiami wilayah yang kaya minyak serta lokasi strategi untuk dunia industri, kami hanya menjadi konsumen dari teknologi. Teknologi baru telah merevolusi cara hidup kita secara berbeda dan proses tersebut masih berlangsung, tapi kami sebagai bangsa hampir tidak memiliki kontribusi dalam proses perubahan ini dan hampir kehilangan kendali atas perubahan di sekitar kata".

Jeritan kesedihan ini makin menjadi-jadi, karena kondisi peradaban Islam bukannya semakin membaik selama lima puluh tahun terakhir ini, namun pendulum perubahan makin menjauh dari gerak reformasi. Salah satu barometer tersebut adalah karya Khalid Muhammad Khalid, seorang pemikir Mesir, yang menulis sebuah buku yang mencerahkan. Sejak tahun 1950, buku tersebut telah dicetak ulang sebanyak 10 kali kurang dari lima belas tahun, yang berisi reformasi secara efektif dalam bidang politik dan agama. "Kita harus ingat bahwa agama harus menjadi seperti yang Tuhan inginkan; nubuatan dan bukanlah kerajaan (kekuasaan); panduan bukannya pemerintahan; pengajaran dan bukannya aturan politis". Hal terbaik yang bisa kita lakukan untuk menjaga agar agama tetap murni adalah memisahkan agama dari politik; dan menempatkannya diatas politik. Pemisahan agama dari negara (politik), akan menjaga kemurnian agama dari praktik buruk politik. Namun pada tahun 1989, Khalid Muhammad Khalid, mencabut semua ide tersebut, dan beralih pada ide din wa dawla, penyatuan antara agama dan politik dalam bentuk khilafah internasional yang merupakan tujuan para Islamis garis keras.


PUING-PUING DALAM PEMBANGUNAN MANUSIA : KESAKSIAN MUSLIM

Keterbelakangan pembangunan di dunia Arab menjadi perhatian serius dari badan dunia PBB sejak tahun 2002. Hal penting disini, laporan Arab Human Development PBB tersebut dicatat oleh kaum terpelajar dunia Arab - sebuah pilihan bijak dari PBB, sehingga sulit menolak bahwa laporan tersebut merupakan sudut pandang atau produk dari pemikir barat atau orientalis.

http://indonesia.faithfreedom.org/forum ... ng-t27156/
http://indonesia.faithfreedom.org/forum ... diri-t855/

Laporan kedua, pada tahun 2003 menyatakan, "... warisan intelektual Arab saat ini mengalami kekurangan dalam ilmu-ilmu dasar." Laporan tersebut secara jelas merujuk pada kekurangan wawasan sains dan "kadang-kadang menolak realitas" dalam warisan budaya Arab. Lebih jauh laporan tersebut menyampaikan bahwa asal dari "problema pengetahuan" tersebut berasal dari pemahaman teologi yang menyatakan, "Akhirnya, kesadaran Arab telah terbungkus dalam selubung gaib, yang pada kenyataannya menandakan ketiadaan kesadaran dan meninggalkan budaya ilmiah dan ilmu-ilmu yang menyokong budaya Arab Klasik."

Laporan PBB secara tepat mengidentifikasi "Masalah pengetahuan dasar" dalam intelektual Arab. Namun laporan PBB tidak memperoleh jawaban tepat atas permasalahan tersebut. Problemanya bukan "percaya pada hal-hal gaib" tapi pada penolakan terhadap hukum alam yang disebabkan oleh konsepsi tertentu tentang Allah, yang menghapus pemikiran sains objektif. Sejak upaya sains adalah untuk mengungkap misteri hukum alam, sekolah-sekolah Ulama tidak mengajarkan ini. Malahan ada upaya untuk menyingkirkannya dan salah satunya lewat pendidikan Ash'arit.

Image
http://en.wikipedia.org/wiki/Pervez_Hoodbhoy
Mengomentari laporan PBB ini, fisikawan Pakistan-- Pervez Hoodbhoy---pada Agustus 2007 dalan Physic Today, mencatat bahwa setelah kontribusi besar sains dari peradaban Islam sejak abad ke sembilan hingga abad ke tiga belas, "Sains dalam dunia Islam, tiba-tiba rubuh. Tidak ada penemuan yang muncul dari dunia Islam selama tujuh abad terakhir ini". Kemandeqan perkembangan sains merupakan salah satu elemen penting, walaupun bukan satu-satunya - yang akhirnya menjadikan dunia Islam terpinggirkan dan selalu merasa dizolimi.

Hoodbhoy mengutip angka2 statistik tentang kurangnya penelitian ilmiah di dunia Muslim. Menurut studi yang dilakukan oleh Universitas Islam Malaysia, Negara-negara Muslim hanya mempunyai 8.5 ilmuwan, insinyur dan teknisi per 1000 penduduk, hampir 20 persen dari rata-rata dunia (40,7 per 1.000 penduduk) dan hanya 6 persen dari rata-rata negara-negara dalam Organisasi Kerjasama Ekonomi dan Pembangunan/Organisation for Economic Cooperation and Development (139.3). Di sisi lain, India dan Spanyol menghasilkan persentase yang lebih besar dalam hal literatur sains ketimbang gabungan 46 negara Muslim di dunia. Hoodbhoy juga mencatat statistik resmi bahwa "Pakistan hanya menghasilkan 8 hak Paten selama 43 tahun terakhir".

Laporan pembangunan Manusia PBB/UN Human Development Report 2003 mencatat angka-angka menyedihkan. Korea Selatan menghasilkan 144 karya
ilmiah per sejuta penduduk; sedangkan negara-negara Arab hanya menghasilkan 26 karya ilmiah per sejuta penduduk. Dilihat dari hak paten yg terdaftar selama periode 1980 hingga 2000, laporan tersebut menunjukkan bawah Korea menghasilkan 16.328 hak paten, sedangkan 9 negara kawasan Arab, termasuk Mesir, Suriah, dan Jordania, hanya menghasilkan 370 hak paten dan ini sudah termasuk hak paten yang didaftarkan oleh orang asing.

Situasi lebih parah lagi ketika negara-negara Muslim mencoba menghidupkan sains dgn menjadikannya Islamiyah. Pada tahun 80-an, "Sains Islam" diajukan sebagai alternatif terhadap "Sains Barat." Ide ini disebarkan lewat propaganda dan mendapatkan dukungan dari pemerintah Pakistan, Arab Saudi, Mesir dan negara-negara Muslim lainnya. Pendukung dari "Sains Baru" ini mengungkapkan bahwa, "Wahyu melampaui akal budi sebagai petunjuk kepada ilmu pengetahuan (sains).”

Hasil daripada "Sains Islam" ini dapat diprediksi. Hoodbhoy mencatat, ketika ayat-ayat Quran diambil sebagai fakta-fakta sains secara literal dan digunakan untuk mencatat temperatur neraka dan menghitung komposisi jin surga. Tapi ini semua tidak menciptakan mesin baru atau rumus/hipotesa baru dan bahkan tidak ada yang mampu melakukan eksperimen.

[...] Aneh untuk menyatakan bahwa sains itu beragama Islam (atau Kristen atau Hindu). Apakah hidrogen beragama Islam? Apakah lampu pijar beragama Islam? Klaim ini muncul dari pandangan imam al-Ghazali yang menyatakan bahwa "Quran adalah sumber dari semua jenis sains dan pengetahuan" sehingga pengajaran ini oleh Muslim Sunni diaplikasi secara literatur. Bagi mereka, tidak ada sains selain sains Quran.

LAPORAN PBB ATAS KETERTINGGALAN DUNIA ARAB

Kehancuran dunia Arab tidak hanya dari sisi sains saja. Ketertinggalan dunia Arab dalam bidang pendidikan, kesehatan manusia, pendapatan per kapita, dan produktivitas hanya setingkat di atas kawasan sub-sahara yang merupakan kawasan tertinggal di muka bumi.

Laporan pembangunan Manusia PBB untuk dunia Arab mencatat bahwa pada tahun 2002 , "GDP gabungan seluruh negara Arab ($531.2 Milyar) bisa dilampaui oleh GDP satu negara Eropa yaitu Spanyol ($595.5 Milyar)."

Jika komoditas migas dikeluarkan dari daftar, maka angka ekspor negara kawasan Timur Tengah hanya sebanding dengan negara kecil Finlandia. Laporan tersebut juga mencatat bahwa, sejak booming migas sejak tahun 1975, pertumbuhan pendapatan per kapita kawasan Timur Tengah justru mengalami stagnasi, dimana pertumbuhan per tahun hanya 0,5% ketika angka rata-rata pertumbuhan perkapita dunia lebih besar dari 1,3%. PBB juga mencatat, "Hanya kawasan Sub-Sahara yang lebih buruk daripada Negara-negara Arab." Dalam kurun waktu yang sama, paritas daya beli menurun dari 21,3% menjadi 13,9%. Tingkat pengangguran juga makin memburuk, yaitu sebesar 15%, angka di atas rata-rata negara berkembang. Hal tersebut tidak mengherankan bilamana melihat angka penanaman modal dalam penelitian dan pengembangan pada kawasan tersebut yang tidak melebihi 0,5% dari GNP, di bawah rata-rata dunia yaitu 1,6%. Sebagai contoh, Negara Kuba saja menyediakan dana investasi sebesar 2,35% dari GNP-nya.

Lebih jauh lagi, "Diantara pandangan bahwa Dunia Arab adalah negara-negara kaya, volume perdagangan pada kawasan tersebut kenyataannya relatif kecil." Gabungan GDP seluruh negara-negara Arab (US $604 Milyar) pada akhir abad 20 hanya sedikit di atas negara kecil Spanyol (US $ 559 Milyar) dan jauh ketinggalan bila dibandingkan dengan salah satu negara Eropa lainnya yaitu Italia (US$ 1.074 Miliar)- Laporan UNDP .

Menurut Laporan Pengembangan SDM di kawasan Arab, produktivitas SDM pada kawasan tersebut sangat rendah. Bila produksi minyak disertakan, maka tingkat produktivitas di negara-negara Muslim kaya minyak hanya setengah dari Argentina atau Korea Selatan. Selanjutnya, bila dilakukan komparasi terhadap negara-negara Arab yang memproduksi minyak dalam jumlah sedikit, maka tingkat produktivitas kurang dari sepersepuluh dari Argentina atau Korea Selatan.

Pada tahun 2005, John B, Taylor, pejabat Amerika untuk urusan internasional, mengutip hasil kerja dari Profesor Guido Tabellini yang menyatakan, "Dalam kurun waktu 20 tahun terakhir, produktivitas pada negara tersebut sebenarnya rendah, hanya 0,7 persen per tahun". sebagai perbandingan, pada periode yang sama, pertumbuhan meningkat drastis di negara Amerika Serikat, Eropa, dan Asia Timur... Angka pengangguran regional berkisar 15 persen dan 30 persen untuk pekerja muda.

Dari 300 juta penduduk pada kawasan tersebut, 65 juta diantaranya buta huruf, atau dua dari tiga wanita. Menurut laporan dari dunia Arab tahun 2009, Angka ini sedikit membaik sejak tahun 2002, namun angka buta huruf masih diatas 60 juta.

Dalam istilah "Defisit kebebasan", laporan tersebut juga menyatakan, bahwa "dari tujuh kawasan dunia, negara-negara Arab menempati skor terendah dalam bidang kebebasan hingga akhir 1990-an." dan ada sedikit perubahan sejak itu.

Menurut badan dunia PBB, produktivitas buku-buku ilmiah dan sastra sangat kurang dalam dunia Muslim. Dunia Islam hanya mempublikasikan satu persen dibandingkan dengan produktivas rata-rata dunia sebesar 5%. lebih jauh lagi, kontribusi dunia Muslim dalam bidang literatur seni hanya kurang dari satu persen. Lebih jauh lagi, buku-buku yang diterbitkan dalam dunia Arab, 17% merupakan buku-buku keagamaan. Menurut catatan badan dunia UNESCO, pada tahun 1991, Negara-negara Arab hanya menghasilkan 6.500 judul buku dibandingkan dengan 102.000 judul buku yang diterbitkan di kawasan Amerika Utara, 42.000 Judul buku di kawasan Amerika Latin dan Karibia.

Buku-buku yang diterjemahkan dalam dunia Arab hanya seperlima dibandingkan dengan yang diterjemahkan dalam bahasa Yunani. Faktanya, selama seribu tahun, sejak Pemerintahan Al-Ma'mun, Komunitas Arab hanya menerjemahkan 10.000 judul buku, atau setara dengan jumlah yang diterjemahkan dalam bahasa Spanyol dalam satu.

Litani Suram dari Filsuf Suriah, Sadik Jalal al-Azham
Dengan mengamati angka-angka tersebut, kita mengetahui bahwa dunia Arab mengkonsumsi segala sesuatu tapi tidak mampu mengolah bahan baku. Apa yang bisa kita harapkan dari megara Arab? Amatilah Negara Arab dari ujung ke ujung; tidak ada nilai tambah pada apapun. Apa yang kita produksi? Apa yang kita ekspor? [Ini adalah kenyataan pahit] apakah anda berbicara tentang material, ekonomi, bidang ilmiah, atau intelektual atau apapun. Lihat produksi minyak, sebagai contoh. Apakah hubungan Negara Arab dengan industri minyak? Mereka memiliki ladang-ladang minyak, tetapi tidak memiliki kemampuan dalam menggali, menyuling dan memasarkan serta mengirimkan minyak-minyak tersebut. Amatilah pada ladang-ladang pengeboran minyak dan teknologi telekomunikasi, apakah ada orang Arab didalamnya? Saya meragukan dunia Arab mampu memproduksi telepon tanpa mengimpor suku cadang dan teknologi yang dibutuhkan, dan bahkan juga mungkin teknisi-nya.

Dalam bidang pendidikan, hal-hal yang terlihat tidak lebih baik. Dalam artikel Wall Street Journal, Sheikh Muhammad bin Rashid al Maktoum, Perdana menteri Uni Emirat Arab dan Penguasa Dubai, mencatat bahwa lebih dari setengah penduduk Arab yang berjumlah 300 juta merupakan kaum muda berusia kurang dari 25 tahun. Dia bertanya secara retoris, "Berapa banyak sih yang kita berikan untuk dana pendidikan?" Pengeluaran perkapita dari 22 negara Arab (Anggota Liga Arab) dalam lima belas tahun terakhir ini hanya 20% hingga 30%, ketika di saat yang sama negara-negara lain mengeluarkan dana yang lebih besar.
:( :(

Awal Kehancuran : Benih Islamis

Kondisi Negara Arab masa kini amat sangat jauh bila dibandingkan dengan kegemilangan Khalifah Al-Ma'mun penguasa Baghdad. Ali Allawi meratapkan, "Daya kreatif hampir satu setengah milyar Muslim di jaman modern ini, amatlah kerdil bila dibandingkan dengan output daya kreatif dari 20 atau 30 juta Muslim pada masa dinasti Abbasid." [-X Secara jelas, laporan PBB tahun 2003 mengutip perkataan filsuf Arab pertama, al-Kindi, pemikir yang didukung oleh al Ma-mun, untuk mendorong penerimaan kebenaran, tidak peduli dari mana berasal. Saran halus bahwa dunia Arab harus mengejar ketertinggalan dengan masa lalu. Mengulangi pertanyaan dari al-Afghani : "Perlu dipertanyakan mengapa peradaban Arab, setelah menjadi obor penerang bagi dunia, tiba-tiba padam; dan mengapa obor tersebut belum menyala sejak itu, dan mengapa dunia Arab masih terkubur dalam kegelapan pekat.''

Pertanyaan ini harus ditangani dalam konteks waktu yang sangat panjang. Seperti biasanya dalam sejarah kehancuran kerajaan-kerajaan, Islam kehilangan vitalitas intelektual ketika kekuasaan kerajaan tersebut berlahan-lahan redup. Islam sebagai peradaban global dengan Arab sebagai pusatnya secara perlahan mengalami keruntuhan bertahap dari dalam dirinya sendiri (dengan bantuan pasukan Mongol yang menghancurkan Khalifah Bahgdad pada 1258). Penurunan tersebut berlangsung tanpa interupsi dan kemudian Arab sebagai pusat peradaban Islam digantikan oleh dinasti Usmani. Bagaimanapun, degradasi tersebut menimbulkan pertanyaan yang mengganggu. Hal ini terjadi terutama karena serangan kekuatan peradaban Barat yang maju ke tanah suci Islam.

Seperti yang ditulis oleh Ibnu Khaldum dalam Mukadimah (Pengantar Sejarah), Muslim "berada di bawah kewajiban untuk mendapatkan kekuasaan atas bangs-bangsa lain." Bukankah Allah sudah berjanji, "Dan sesungguhnya tentara Kami itulah yang pasti menang" (QS.37:173)? Dan tidak mengherankan keberhasilan Islam di abad-abad pertama mengkonfirmasi nubuatan untuk umatnya? Kegagalan sangat menyakitkan sebab Islam didorong oleh semangat teologi.

Kemudian hal tersebut makin memburuk pada tahun 1798, ketika Napoleon mengalahkan Mesir pada pertempuran Piramida (atau lebih awal lagi ketika Dinasti Turki Ottoman dipaksa untuk menandatangani perjanjian Küçük Kaynarca pada tahun 1774 dengan Russia ). Seperti yang diamati oleh Abd al-Rahman al-Jabarti pada saat itu, dunia Muslim mengalami kebingungan secara politik, teologi, filosofis. Bagaimana mungkin hal ini terjadi, Islam dikalahkan di tanah sendiri??

Keadaan makin memburuk sejak PD I, ketika kekhalifahan Turki Ottoman runtuh pada tahun 1924 dan berubah menjadi negara sekuler dan kolonisasi Bbarat yang hampir lengkap dari Levant dan Maghreb. Ada musuh lama disana, Barat, yang sedang memerintah Dunia Islam. Dalam pengajaran Islam ketat, non- Muslim tidak diijinkan untuk memerintah Negara Islam. Sangat memalukan bagi Muslim jika diperintah seorang kafir. Tiba-tiba, sebagian besar dunia Islam diperintah oleh Kafir Barat. Bagaimana hal ini dapat dipahami dalam kacamata iman dan apa yang harus dilakukan?

Ada dua tanggapan dari pihak Islam. Tanggapan pertama mengatakan pemikiran Islam sudah karatan dan ketinggalan jaman, hal inilah yang mengakibatkan kemunduran dunia Islam. Maka, dibutuhkan modernisasi dan belajar dari Dunia barat. Untuk melakukan ini, Islam harus diintepretasi kembali untuk menunjukkan bahwa ajaran-ajaran mendasar dan prinsipnya, pada kenyataannya tidak hanya kompatibel dengan ilmu pengetahuan modern, tetapi juga mendasari pencapaian sains modern tersebut. Islam telah memimpin jalan pada Abad Pertengahan, dan kemajuan Barat saat ini banyak berdiri di atas prestasi pengetahuan Islam. [-X Taqqiya/Mitos Islam!
LIHAT http://indonesia.faithfreedom.org/forum ... im-t11777/
http://indonesia.faithfreedom.org/forum ... ns-t19466/

Sekarang saatnya, Islam harus merebut kembali warisan dari Barat dan mengembangkan lebih jauh lagi. Tanggapan ini sudah ada jauh sebelum akhir kekhalifahan Muslim di Mesir dan India dibawah dominasi kekuasaan barat. :butthead: :butthead: :butthead:

Jamal al-Din al-Afghani, seorang Pan-Islamis, menegaskan bahwa tidak ada konflik antara iman dan akal dalam Islam dan ia berusaha melakukan modernisasi Islam dalam rangka memperkuat perlawanan terhadap dunia Barat. Superioritas negara Barat terlihat dari perkembangan sains dan kekuatan yang berasal dari sains dan ilmu pengetahuan tersebut. Dalam kritikan pedasnya terhadap ulama India, ia mengatakan, "Mereka tidak bertanya: Siapakah kita dan apa yang benar serta tepat buat kita? Mereka tidak pernah bertanya tentang pengetahuan akan listrik, mesin uap, dan kereta api ... Ulama kita saat ini berada dalam menara gading yang tidak memberikan bimbingan kepada umatnya. Ketika berkorespondensi dengan penulis Perancis, Ernest Renan, al-Afghani menuliskan, "Seorang mukmin sejati, pada kenyataannya mundur dari jalan cara penelitian guna mencari kebenaran objek saintifik ... dan berubah menjadi sapi untuk membajak. Dogma telah memperbudak dia, dia harus berjalan selamanya dalam jalan yang telah ditentukan baginya oleh para penafsir hukum. Sang mukmin begitu yakin bahwa agama Islam berisi seluruh nilai moralitas dan pengetahuan sains, sampai dia tidak lagi berusaha untuk melampaui hukum yang sudah ditetapkan ... yagn membuatnya membenci ilmu pengetahuan." "Sebenarnya," tegas Al-Afghani, "agama Islam melumpuhkan sains dan menghentikan perkembangannya.''

Image
http://en.wikipedia.org/wiki/Muhammad_Abduh
Al-afghani mengajar Muhammad 'Abduh, orang mesir (1849-1905), tentang rasionalisme pemikiran Islam awal, termasuk Ibnu sina. Meskipun Abduh telah menerima pengajaran tradisional, termasuk empat tahun belajar di Universitas Al-azhar Kairo, dia memberontak pada cara belajar hafalan dan kurangnya filsafat dan teologi dalam curriculum Al-Azhar. Seorang profesor tradisional Al-Azhar, Sheik Ulaysh, mengkonfrontasi dia dengan bertanya, apakah dia
melepaskan pengajaran Ash'arit guna mengikuti paham mutazillah. Abduh menjawab, ”Jika saya melepaskan penerimaan buta doktrin (taqlid) Ash'arit, kenapa saya menerima penerimaan buta dari Mutazilah?" Ini adalah jawaban cerdas, karena doktrin "penerimaan buta" adalah hal yang dilawan oleh doktrin Mutazillah, dan akan sangat berbahaya bagi Abduh bila secara terang-terang menyatakan simpati pada aliran Mutazilah. Walaupun begitu, Abduh diasingkan karena mencoba melakukan reformasi. Di Beirut, dia menulis Risalat al-tawhid. Pada edisi pertama buku tersebut Abduh menuliskan "Saya sepaham dengan Mutazilah dan setuju bahwa Al-Quran itu dibuat - Khalq Al-Quran - dan tidak abadi bersama Allah". Saking kontroversialnya ucapannya itu, dia menghapus tulisan tersebut pada edisi berikutnya.

Sekembali-nya dari Beirut, Abduh masih menemui kesulitan dalam upaya reformasi di Universitas Al-Azhar, bahkan dalam pengajaran pemikiran klasik Ibnu Khaldun dari abad 14. "Setelah saya kembali dari pengasingan, saya mencoba meyakinkan Sheik Muhammad al-Anbabi, sheik Al-Azhar saat itu, untuk memberikan beberapa usulan, tapi sang sheik menolaknya. Ketika saya berkata kepadanya, "Apakah anda setuju, kalau saya mengajarkan Mukadimah (tulisan Ibnu Khaldun) di Al-Azhar?? Dan saya menjelaskan kepadanya tentang manfaat dari pengajaran tulisan Ibnu Khaldun. Sang sheik menjawab, "Hal itu akan menentang tradisi pengajaran di Al-Azhar."

Selain tentang ide bahwa Al-Quran dibuat, Risalat juga memuat pengajaran-pengajaran utama kaum Mutazillah dan seolah-olah ditulis oleh Abd al-Jabbar. "Bagaimana kita dapat menolak akal rasio berdasarkan pemeriksaan bukti-bukti untuk mendapatkan kebenaran sebagai anugerah Ilah? Namun kewajiban ini (mengenali wahyu) tidak melibatkan alasan dalam menerima kemustahilan rasional seperti inkompatibilitas atau pertentangan pada waktu dan tempat yang bersamaan.....Tetapi jika muncul sesuatu yang bertentangan maka akal budi harus lebih dipercaya ketimbang perasaan." Maka kemudian bebas untuk mencari arti sebenarnya dengan mengacu pada pesan Rasul Allah di mana ambiguitas muncul. Wahyu diberikan" untuk membantu alasan keliru dengan mendefinisikan tindak dan baik dan buruk berdasarkan prinsip utilitas.

Abduh menyatakan keinginannya, "Untuk membebaskan pikiran dari belenggu talid (imitasi atau emulasi).....untuk kembali, dalam akuisisi pengetahuan agama, dan menimbang mereka dalam skala akal budi manusia, dimana Tuhan telah menciptakan untuk mencegah tindakan berlebihan atas nama agama....dan membuktikan bahwa, dilhat dalam terang ini, agama haruslah menjadi sahabat dari sains, yang mendorong manusia untuk menguak tabir rahasia semesta."

Abduh kemudian menjadi Mufti Mesir - otoritas tertinggi dalam hukum Islam. Karena terpesona akan Leo Tolstoy dan Herbert Spencer, dia pergi ke London untuk menemui mereka, "Abduh tidak bersedia seperti kaum Mutazilah "menundukkan kuasa ilahi kepada prinsip keadilan," seperti yang sudah kita baca sebelumnya. Posisinya adalah bahwa "Akal memiliki kekurangan untuk menembus esensi sesuatu. Untuk mencari tahu sifat sesuatu dengan berbagai kompleksitasnya, justru akan membawa kita kepada esensinya, yang tidak dapat diakses secara rasional.” :rolleyes:

Menarik untuk mencatat alasan mengapa Abduh tidak menyetujui reformasi Tanzimat dlm kekaisaran Turki Ottoman yang memberikan persamaan hak di depan hukum kepada Muslim dan non Muslim. Dia tidak menentang substansi dari reformasi tersebut tetap memiliki keberatan karena reformasi tersebut bukan berasal dari dan oleh agama, sebagaimana seharusnya, akan tetapi merupakan pemberontakan terhadap agama... Semua upaya perubahan dalam Islam telah gagal karena mereka tidak memiliki legalitas. Bahkan untuk Abduh, kemudian, "Akal bukanlah legislator" dan Islam tetaplah menjadi satu-satunya sumber hukum (legitimasi).

Image
http://simple.wikipedia.org/wiki/Syed_Ahmed_Khan
Di India, Sayyid Ahmad Khan (1817-1898) melangkah lebih jauh daripada Abduh yang bersikeras pada keutamaan alasan dan keterciptaan Quran. "Jika orang tidak menghindari ketaatan buta, jika mereka tidak dapat menemukan cahaya dalam Quran dan Hadits, dan tidak dapat menyesuaikan terhadap agama dan sains dewasa ini, Islam akan punah di India." Didirikan oleh Khan, Universitas Aligarh, meniru Universitas Cambridge, yang menjadi pusat utama bagi pembaharuan intelektual. "Dari seluruh buku agama yang ada saat ini dan digunakan dalam pengajaran, yang manakah dari mereka yang membahas filsafat Barat atau hal-hal ilmiah modern yang menggunakan prinsip-prinsip agama? Dari mana saya harus mencari konfirmasi atau penolakan atas rotasi bumi, atau jaraknya dengan matahari? Jadi adalah seribu kali lebih baik tidak membaca buku-buku ini daripada membacanya. Ya, jika orang yang beragama Islam menjadi pejuang sejati dan berpikir agamanya benar, maka biarkan dia datang tanpa rasa takut ke medan perang dan lakukan terhadap dunia barat dan sains modern apa yang telah dilakukan oleh nenek moyang mereka terhadap filsuf Yunani. Hanya itu satu-satunya cara buku agama dapat berguna, daripada sekedar membeo. Katanya lagi, "Hari ini kita membutuhkan teologi modern (Ilm al-kalam) seperti sebelumnya dengan begitu kita akan dapat menyangkal doktrin dunia modern atau melemahkan dasar mereka, atau menunjukkan kepada mereka bahwa apa yang mereka temukan sesuai dengan keimanan Islam (Hadits dan Quran)." :-({|=

Ahmad Khan menolak hukum sharia :shock: dan mengatakan bahwa Quran harus di interpretasi ulang untuk mengkonfirmasi pengetahuan akan fakta realitas fisik. Dia tidak saja menyuarakan paham mutazillah tetapi juga menganut pandangan filsuf Islam, termasuk pandangan Aristotele yang mendeskripsikan Tuhan sebagai "Penyebab Pertama (Prima Kausa)."

Muridnya, Sayyid Ameer Ali (1849-1924), mengutuk al-Anshari, ibn Hanbal, Al-Ghazali, dan ibnu Taymiyya krm menyebabkan keruntuhan sains dan budaya Islam. Pesan dari Ahmad khan sangat dibenci oleh para ulama dan ia difitnah oleh para ortodoks, yang memboikot Universitas Aligarh, bahkan penjaga Ka’bah (Mutawali) mengumumkan bahwa dia adalah musuh Islam dan darahnya halal untuk ditumpahkan. Bahkan Al-afghani menganggap Khan seorang heretic (sesat).

Upaya dari al-Afghani, Muhammad Abduh, Ahmad Khan, dan orang-orang seperti mereka menemui kegagalan dalam rangka re-orientasi budaya dan hukum Islam agar Islam mampu menyerap sains modern dan cara berpikir rasional. Alasan untuk hal ini mungkin adalah karena mereka (perubahan2 itu) tidak dipandang berasal dari rahim Islam. Satu hal yang harus diingat adalah, sampai abad kesembilan belas dan awal abad keduapuluh, selama 1000 tahun paham Ash'arisme sudah meresap ke dalam setiap sudut dan celah budaya Arab. Pengaruhnya tidak bisa dihilangkan dalam waktu lima puluh tahun atau lebih.

Image
http://en.wikipedia.org/wiki/Bassam_Tibi
Alasan terpenting untuk kegagalan ini, menurut Bassam Tibi adalah, "Modernisasi Islam tidak pernah melampaui dogma, bersifat skriptulis, bertindak eksklusif dengan batasan dogma. Sebab modernitas tersebut tidak berangkat dari apa yang ditanyakan oleh Arslan ("Kenapa Muslim mengalami kemunduran"), maka tidak ada inovasi kultural yang dihasilkan. David Pryce-Jones menerangkan bahwa "Afghani membangun definisi kemajuan yang bertentangan dengan masa lalu Islam."

Ironisnya, para reformator ini meletakkan pondasi bagi pergerakan Salafi. :shock: Jika kita menelusuri genealogi dari ideologi Islamis sekarang ini yang nampak adalah seruan agar Muslim kembali kepada cara2 Sahabat Nabi.** Ini semua berujung pada Al-afghani. Urutannya adalah al-Afghani -->> Muhammad Abduh -->> Rashid Rida -->> Hassan Al-banna -->> Sayyid Qutb -->> Osama Bin laden dan Ayman al-Zawahiri.

Kalau para 'reformator' ini mau kembali ke masa lalu, problemanya adalah, masa lalu tidak dapat diubah. Oleh karena itulah reformasi pada penghujung abad
19 dan awal abad 20, celakanya mati diaborsi. Pada 2008, penulis Saudi dan reformis, Turki Al-Hamid, menulis ucapan selamat tinggal kepada gerakan reformasi:
"Sejak awal abad 20 hingga hari ini, kita terus menerus mendengar orang berbicara bahwa kita harus mengadopsi hal-hal baik dari Barat dan mengabaikan hal-hal yang jelek. TAPI kalian tidak dapat melakukan hal itu. Produk2 peradaban modern seperti mobil, komputer dll - semua ini adalah produksi
dari filsafat tertentu, cara berpikir tentu. Jika Anda mengadopsi produk, tapi mengabaikan pembuatnya - anda memiliki masalah. Kalian tidak dapat
melakukan hal itu. (Untuk kita) Produk tersebut mungkin barang baru, tapi pemikiran dibelakangnya (pemikiran Barat/Yunani/Yudeo-Kristen) bukan pemikiran ecek-ecek yang lahir kemarin. Apa daya, maksud hati ingin bergerak maju tapi pandangan menoleh kebelakang melulu."
RIP ISLAM!!

-------
** 'Kembali pada cara Sahabat2 Nabi ' terkandung dalam ayat Medinah Quran: ''Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia." [QS.3:110]. Karena itulah (untuk mencapai 'umat yg terbaik' ala Medinah itu, ala Sahabat2 Nabi), mau tidak mau, semua reformasi Islamiyah harus MUNDUR ke jaman Medinah itu, 1400 tahun lalu! :supz: :supz:

WALAHUALLAM YA AMPLOOOOOPPP!!! :prayer: CAPEK DEHHHH!! REFORMASI GAGAL MULU, UDAH DEH BUBAR AZAHH!!!
Last edited by ali5196 on Mon Aug 29, 2011 4:32 am, edited 2 times in total.
ali5196
Posts: 16757
Joined: Wed Sep 14, 2005 5:15 pm

Re: The Closing of the Muslim Mind

Post by ali5196 »

Nah, silahkan berkomentar disini. Pendek2 aja yahhh ... sudah lebih dari 1000 orang baca terjemahan ini. Siapakah mereka? Pingin tahu deh, ane! \:D/
ali5196
Posts: 16757
Joined: Wed Sep 14, 2005 5:15 pm

Re: The Closing of the Muslim Mind

Post by ali5196 »

Setelah 1400 tahun, mampunya cuma mutar-mutar doang kayak orang kesurupan. Pake rok panjang pula!

Image
http://en.wikipedia.org/wiki/Sufism
ali5196
Posts: 16757
Joined: Wed Sep 14, 2005 5:15 pm

Bab 8 : Sumber-sumber Islami

Post by ali5196 »

BAB 8 SUMBER-SUMBER ISLAMISME
diterjemahkan oleh lara, diperiksa ali5196 :rock:

Jawaban lain atas pertanyaan al-Afghani tentang merosotnya peradaban Islam tidak ada kaitannya dengan hilangnya ilmu pengetahuan atau kebutuhan untuk mengejar ketinggalan dengan Barat. Krisis dianggap sbg teguran Allah karena umat Islam tidak patuh pada jalanNya. Jika sukses adalah bukti keimanan, maka kegagalan adalah teguran pribadi, sesuai janjiNya, “Kau akan ditinggikan kalau kau percaya” (Q 3:139)? Jadi, kalau kau gagal, pasti karena tak percaya/kafir. Secara teologis, kekalahan/ketertinggalan umat Islam harus dipahami sebagai penghakiman Allah karena umat Islam telah meyimpang dari jalanNya yang mustaqim. Pandangan ini yang dimanfaatkan para Islamis.

Runtuhya kekaisaran Ottoman di akhir Perang Dunia I dan penghapusan kekhalifahan oleh Kemal Ataturk, Turki-1924, menimbulkan penyesalan dan semacam keinginan untuk memulihkan sistem itu lagi, terutama di kalangan Islamis, seperti organisasi Muslim Brotherhood/Ikhwanul Muslimin yang memang didirikan untuk maksud itu. Hancurnya kekhalifahan bak skenario Vatikan meninggalkan otoritasnya utk mewakili Gereja. Mayoritas Muslim tidak terlalu peduli dng kembalinya sistem kekhalifahan yang mereka anggap mitos dan memang tak berlanjut secara kontinu sejak era Muhammad, tapi mereka perlu penjelasan atas merosotnya peradaban mereka.

[...]

Kaum Islamis berupaya membangkitkan kembali sistem kekhalifahan sebagai jawaban atas penderitaan dan penghinaan yang menimpa umat Islam secara
bertubi2. Mereka menganggap bahwa kemerosotan peradaban dianggap karena kurang iman. Solusinya, tidak dengan meniru Barat, tapi memulihkan bahkan memurnikan kepercayaan umat Islam. (Spt juga dijaman Hitler, Stalin, Mao tse Tung, Pol Pot dsb--penerj) Mereka juga mencari musuh internal dan musuh eksternal. Wakil Osama bin Laden, Ayman al-Zawahiri, mendeskripsikan, “Musuh dari dalam adalah murtadin, musuh dari luar Yahudi-Salibi.” NAHHH disinilah, di jantung upaya memulihkan peradaban inilah, terletak penyebab keruntuhan itu.

Apakah para Islamis saat ini suatu fenomena baru atau sesuatu yang bangkit dari masa lalu? Berapa banyak yang Islam dan berapa banyak yang Islamis? Apakah Islamis merupakan deformasi/perubahan bentuk Islam? Jika ya, bagaimana dan darimana datangnya? Dan mengapa Islam rentan terhadap deformasi jenis ini?

Hilaire Belloc dalam ‘The Great Heresies,’ terbit 1938, memprediksikan kebangkitan Islam
sbb: “ Karena agama merupakan akar dari semua gerakan dan perubahan politik, dan karena yang ada saat ini adalah sebuah agama besar yang lumpuh secara fisik tapi hidup secara moral, maka kita saat ini berada dalam keseimbangan yang tidak stabil dan tak mungkin selamanya tidak stabil.” Kemudian dlm beberapa halaman berikutnya, “Budaya [Islam] telah jatuh secara material; tapi tidak ada alasan mengapa ia tidak belajar agar menjadi setara dalam hal –hal yang saat ini menjadikan kita unggul.”

Belloc melihat kebangkitan Islam dalam konteks sejarah Islam dari abad ke-7 sampai abad ke-17 yang diakhiri kekalahan Turki (Ottoman) yang kedua dan terakhir kalinya di luar gerbang Vienna. Kebangkitan Islam, katanya, tampaknya kurang lebih sama. Namun sekarang dilengkapi teknologi modern, Islam akan sangat berbahaya (mematikan) bagi Barat yang semakin diperlemah dgn menurunnya agama dan meningkatnya atheisme. (Bayangkan! Ini ditulis di tn 1938!)

[...]

Image
Sayyid Qutb

Para penulis Islamis tak dapat dipahami hanya dengan kacamata Islam, tapi harus dengan perspektif ideologi Barat abad ke-20 yang mengasimilasi mereka, khususnya ideology Nietzsche dan Marx (sebentar lagi kita akan lihat hubungannya). Pemikir Islam berpengaruh, seperti Sayyid Qutb dari Mesir sangat fasih dalam filsafat dan sastra Barat. Qutb sempat tinggal di Amerika, ikut program master selama dua tahun (1949-50). Ia menolak apa yang ia lihat sbg dianggapnya budaya materialis. Misalnya, cara masyarakat Amerika merawat rumput halaman rumah mereka dianggapnya sbg materialistis, juga tari-tarian Amrik dianggap sbg kemerosotan sexual. Keterbukaannya pada Barat justru mempertajam kebenciannya. Solusi thp masalah yang dianggapnya dapat menyelamatkan Barat adalah Islam. :turban:

Qutb bilang, umat Islam harus meniru perilaku sahabat Nabi sbg persiapan perjuangan ke depan. Tapi ia menggunakan cara-cara Lenin untuk mewujudkan garda depan pelopor pemulihan kekhalifahan. (Bahkan, walau membenci Marxisme, Qutb adalah penghubung Ikhwanul Muslimin dengan Partai Komunis Mesir dan Komunis Internasional.) Karena oposisinya thp pemerintah Mesir ia dihukum gantung oleh Nasser tahun 1966. Dikatakan, ia pergi ke tiang gantungan sambil tersenyum guna menginspirasi pengikutnya hingga kini.

Dunia Islam kontemporer yang sangat heterogen membentang sepanjang Atlantik hingga Pasifik, dari Maroko hingga Filipina selatan. Dari 44 negara mayoritas Islam, 24 diantaranya tidak menggunakan hukum Islam sebagai sumber hukum utama mereka. Umat Islam dimana-mana mengamalkan 5 rukun Islam, namun secara budaya sangat berbeda, misalnya saja Indonesia dan negara-negara Arab. Tetapi, karakter heterogen ini berada dalam bahaya diseragamkan/homogen. Mesin penyeragaman ini adalah ideologi Islam Qutb, yang telah memperlihatkan kemampuan luarbiasanya merangkul lintas budaya. Tulisan-tulisan Qutb, bersama penulis Pakistan, Maulana Maududidan pendiri Ikhwanul Muslimin, Hassan al-Banna merupakan karya yang relatif baru. Ajaran Qutb merupakan pondasi pendirian beberapa organisasi Islam, misalnya, Partai Keadilan Sejahtera (PKS) di Indonesia yang tergolong cepat pertumbuhannya (walau akhir-akhir ini mengalami kemunduran) dan organisasi garis keras, Jamaah Islamiyah.

Hizb ut-Tahrir, organisasi yang dilarang di banyak negara Islam tapi cukup berdampak di Asia Tengah dan Eropa Barat, juga berdasarkan ideologi Sayyid Qutb. Orang-orang yang direkrut Hizb ut-Tahrir adalah kaum berpendidikan dan menengah ke atas. Mereka tidak secara eksplisit mendukung kekerasan dan terorisme, tapi mempersiapkan landasan intelektual yang mendukung aksi-aksi sejenis berdasarkan ideologi Qutb. Al-Qaeda, yang secara eksplisit menganjurkan kekerasan di sekitar 50 negara juga lahir karena ideology Qutb. Saudara laki-laki Qutb, Muhammad, adalah dosen Osama bin Laden di Universitas Abdul Aziz, Jeddah, Saudi Arabia. Islamic Jihad, yang mendukung kekerasan di Palestina, juga bentukan ideologi Qutb. Pimpinan tertinggi Iran, Ayatollah Ali Khamenei, menerjemahkan beberapa bagian penting tulisan Qutb ke dalam bahasa Persia. INi menunjukkan betapa ideologi Qutb
melintasi jurang perbedaan Sunni-Syi’ah. Dengan kata lain, ini bukan fenomena lokal. Ini merefleksikan krisis yang kian parah dalam Islam itu sendiri. Bentuk paling parah, ada di dunia Arab, tapi potensinya ada di seluruh dunia atau umat Islam.

Mengapa Qutb begitu populer dan berpengaruh? Ada dua jawaban:

Pertama, rasa dizolimi-melulu dan rasa terhina yang tak kunjung padam di kalangan umat Islam, membuat ideologi Qutb mudah diterima. Islam selalu mengambil model keberhasilan para sahabat Nabi yang merintis jalan kekuasaan dan kemuliaan Islam. Jadi, menurut Qutb, umat Islam harus menghapus abad-abad suram setelahnya, kembali ke model awal jaman para sahabat dan bersiap melakukan apa yang dilakukan para sahabat Nabi, mengambil alih dunia dan membangun kembali kekhalifahan. Instrumennya, tergantung jenis Islam yang dianut, bisa kombinasi tradisional yaitu persuasif (dakwah) dan jihad, atau hanya jihad (alias HAJAR BLEH! penerj)

Qutb menuduh orang-orang Yahudi di Istambul telah bersekongkol, menyebabkan keruntuhan kekhalifahan (“Yahudi selalu menjadi penggerak utama di front perang untuk menentang kebangkitan Islam di seluruh dunia’). Para murtadin diberi label musuh internal yang harus ditaklukkan sehingga kafir Barat dapat diatasi dan dikalahkan.

Kedua, yah itu tuh ... berakar pada prinsip kekuasaan vs akal, yang menjadi pokok bahasan buku ini. Sebagaimana yang kita saksikan, hasilnya sangat berpengaruh thp karakter dunia Islam, menciptakan masyarakat (dengan kepatuhan buta.lara) yang siap menerima ideology Qutb. Pengaruh pemikiran ideologis Barat dari Nietzsche dan Marx yang totaliter tidak menarik bagi Islamisme kecuali dipadukan dengan tradisi teologi dan filsafat Islam sendiri. Persamaannya adalah keutamaan kehendak.


Koneksi Totaliter

Demosi/Penurunan akal oleh Ash’arit dihubungkan dengan ideologi sekuler (Barat) yang juga melecehkan akal, dibumbui dgn penggunaan kekuasaan. Ideologi Barat modern menekankan unsur pokok realitas, yi kehendak. Ini adalah jantung ajaran Nietzsche yang disertai analisisnya thp filsafat Socrates dan Yunani. Filsafat semata-mata adalah rasionalisasi kehendak: kehendak mendominasi, kehendak berkuasa. Nietzche membangun proyek metafisika yang mengubah segala sesuatu sebagai objek kehendak. Kehendak murni memiliki instrumen, yi kekuasaan. Realisasi proyek ini adalah Partai Nazi. (Hans Friedrich Blunk, pimpinan Chamber Literature (Kamar Literatur) Nazi th 1933-35, berkata: “Pemerintah ini lahir sebagai oposisi thp rasionalisme.”)

Demosi akal serupa terjadi dlm Marxsisme-Leninisme. Dalam ideologi Jerman, Marx berkata bahwa akal semacam tumor kekuasaan. Tak punya legitimasi.
Merubah pemikiran orang tidak dilakukan dengan argumentasi atau persuasi, tapi dengan kekuatan kekuasaan/paksaan. Utk merubah manusia, kuasailah sumber2 ekonominya, rubahlah sumber2 ekonomi tsb dan rubahlah cara berpikir orang lewat kekerasan. :shock:

Jika kehendak dan kekuasaan jadi unsur pokok maka ini akan berakhir pada rejim totaliter. Tidak ada kemungkinan lain. Tidak peduli apakah paham kehendak murni tsb berasal dari teologi bengkok (macam Islam) atau ideologi sekuler seperti Hegel atau Hobbes, konsekuensi politiknya tetap sama. Seperti dinyatakanFr James Schall, gagasan kehendak murni sebagai dasar realitas berakibat pada pemerintahan tirani. Kehendak yang tak terkekang akal sehat akan membawa masalah politik.

Saat menghadapi Barat, Muslim mengimitasi barat. Tapi mengapa oh mengapa ... dari sekian banyak pilihan, mereka justru memilih yang terburuk dari Barat, yi fasisme dan komunisme? Mengapa tidak memilih tatanan demokrasi konstitusional? Bernard Lewis berkata hal tsb disebabkan terutama karena “ideologi dan strategi sosial (fasisme dan komunisme) dalam banyak hal lebih mendekati realita dan tradisi umat Islam.”

David Pryce-Jones, lebih mendekati dengan menyatakan, “Paham Nazi dan kekuasaan Arab memiliki kepercayaan yang sama, yi bahwa hidup adalah pertempuran tiada akhir dimana sang pemenang mempertahankan posisinya dengan memaksakan nilai yang dia anut terhadap pihak yang kalah.” Dengan kata lain, mereka secara alami tertarik pada fasisme dan komunisme karena lebih kompatibel dengan apa yang sudah mereka percayai. Kedua model ini sama-sama mengutamakan kehendak dan merendahkan akal. Tatanan politik yang mengutamakan akal tidak menarik. Ini menjelaskan mengapa tokoh2 nasionalis sayap kiri dan komunis terkenal mudah minggat ke Islamisme, seperti penulis terkemuka Mesir, Dr. Mustafa Mahmud, dan penulis Syi’ah, Samih Atef El-Zein.


Islamisme sebagai Ideologi

Komunisme maupun fasisme memang tidak diterapkan di Arab, tapi para Islamis sudah menyerap program totaliternya dicampur interpretasi ala Ash’arit. Itulah sebabnya beberapa fitur ideologi dan bahasa yang mereka gunakan hampir persis. Dikatakan Maulana Maududi:
“Islam adalah program dan ideologi revolusioner yang berusaha mengubah tatanan sosial dunia dan membangunnya lagi sesuai ajaran dan cita-cita Islam. ‘Muslim’ adalah istilah/nama yang diberikan untuk Partai Revolusioner Internasional, dan ‘Jihad’ mengacu pada perjuangan revolusioner partai untuk mencapai tujuannya.”
Hanya dengan merubah kata2, ‘Islam’ dan ‘Muslim,’ dengan ‘Nazisme’ atau ‘Komunisme,’ dalam kalimat diatas, anda akan terlihat persamaannya.

Baca lagi pernyataan Maududi:
“Islam ingin menghancurkan semua negara dan pemerintahan di muka bumi yang menentang ideologi dan program Islam, apapun bentuk negara dan bangsanya. Tujuan Islam mendirikan negara berdasar ideologi dan program sendiri.”
Pernyataan seperti ini tak terbayangkan tanpa pengaruh totalitarianisme Barat. (??? :shock: Penerj tidak setuju!)

Hal ini terbukti dalam deskripsi Qutb ttg Islam sebagai sebuah "gerakan emansipasi'' dan "sebuah kredo revolusioner yang aktif." Islamisme tidak bisa dibendung, karena seperti Komunisme, ''itu gelombang sejarah," kata Hasan al-Turabi dari Sudan, retorika yang akrab--bukan dengan Islam---tapi dengan retorika komunis.

Islamisme pasti memiliki unsur baru didalamnya. Gerakan Islam radikal dan gerakan totaliter Barat abad ke-20 tidak hanya mirip, tapi bergerak sejajar satu sama lain, mengambil keuntungan dari serbuk silang ideologi, bahkan memiliki koneksi nyata. Selain berita hubungan Nazisme dan mufti Hitler, Amin al-Husayni, ada juga hubungan serupa di Uni Soviet, yang diuraikan dalam buku Laurent Murawiec ‘The Mind of Jihad.’ Qutb sendiri mengatakan bahwa semua gerakan pembebasan diterima dalam revolusinya: “Doktrin Islam menerima semua perjuangan pembebasan dan mendukung mereka disetiap tempat.”

LIHAT:

Image
Hitler & Mufti Yerusalem = ISLAMOFASISME http://indonesia.faithfreedom.org/forum ... ml#p190706
http://indonesia.faithfreedom.org/forum ... me-t14924/
http://indonesia.faithfreedom.org/forum ... ri-t29369/


Image

Islamisme bukan cuma agama tapi juga ideologi. Sebagian besar agama, terutama monoteistik memisahkan kehidupan dunia dan akhirat, dimana manusia di dunia ini diharapkan mematuhi kode moral dalam wahyu Tuhan agar mencapai kehidupan abadi di surga. Keadilan yang sempurna hanya ada di kehidupan kelak. Ada perbedaan antara kehidupan bumi dan transenden—the city of man and the city of God. Tujuan akhir manusia adalah kehidupan transenden.

Tapi Islamisme juga sebuah ideologi yang bersikeras akan sebuah ‘realitas alternatif’ di bumi yang meruntuhkan batas alam keilahian dan duniawi. Selayaknya sebuah ideologi, Islam menggunakan politik untuk mengontrol setiap aspek kehidupan. Dan berupaya mencapai keadilan sempurna dengan menerapkan hukum Ilahi pada ‘realitas alternatif’ di bumi ini. Seperti yang dikatakan Qutb, “menghapus semua ketidakadilan di bumi.'' Pengikutnya mungkin terlihat hidup dan bergerak di dunia nyata, tapi sesungguhnya mereka telah dialihkan ke realitas kedua yang palsu. Berperilaku sesuai hukumNya—seperti membantai orang tak bersalah tanpa penyesalan.

[Penerj: Penulis buku ini mencoba membedakan Islam dengan Islamisme. Islam adalah versi yang 'damai' dan Islamisme yg mengandung unsur2 kekerasan. Ini sering dilakukan penulis Barat untuk menghindari kecaman Muslim atau memang malas mengulas kitab2 Islam sendiri spt Quran, hadis dan aturan syariah.]

Jessica Stern, penulis ‘Terror in the Name of God,’ menulis, “Aku melihat kekerasan apokaliptik yang bertujuan ‘membersihkan’ dunia dari ‘kotoran’ untuk menciptakan negara transenden. Semua kelompok teroris yang dikaji dalam buku ini percaya bahwa mereka sedang menciptakan dunia yang lebih sempurna. Dalam pandangan mereka, mereka sedang membersihkan dunia dari ketidakadilan, kekejaman dan semua yang tidak humanis. Ketika aku memulai proyek ini, aku tak dapat mengerti mengapa para pembunuh yang saya temui itu seperti mabuk rohani. Sekarang aku mengerti. Memang begitulah adanya mereka.” Komisaris bersama polisi Mumbai, Rakesh Maria, berkata ttg tahanan teroris Muhammad Ajmal Kasab, satu-satunya pelaku pembunuhan massal di Mumbai, India, 2008, yang masih hidup, “Ia dibuat percaya bahwa ia melakukan sesuatu yang kudus.”

Abdelwahab Meddeb, reformis Tunisia, berkata ttg teroris Islam, “Tak ada tindakan kriminal yang lebih hina daripada orang yang bukan hanya tak merasa bersalah setelah melakukan kejahatan, tapi juga melabuhkan ilusi bahwa kejahatan ini akan membuatnya mendapat pahala Ilahi. Pengalihan dari buruk jadi baik tidak hanya membebaskan dari rasa bersalah, tapi juga mengubah seorang yang tak bahagia menjadi jiwa yang bahagia.”

Terorisme bukan hanya beberapa orang melakukan hal-hal yang mengerikan karena dorongan sesaat. Ini adalah jenis pembunuhan yang naik ke tataran moral, dilembagakan dalam organisasi—sel, partai, atau negara—sebagai prinsip yang menjiwai mereka. Ini adalah rasionalisasi yang mengijinkan “perubahan jahat jadi baik,” kata Meddeb. Dalam beraksi, teroris sebelumnya harus yakin/percaya bahwa kekerasan yang mereka lakukan itu bermoral atau “suci,” membawa ke kebaikan yang lebih tinggi. Sebab itu, hal pertama yang harus dipahami adalah ideologi di balik organisasi teroris; sumber legitimasi moral mereka. Tanpa ideologi itu, organisasi mereka takkan eksis. Dalam kasus Islamis radikal, trinitas di balik ideologi tsb adalah Sayyid Qutb, Hassan al-Banna dan Maulana Maududi. [-X :---) (Bukan Allah, Muhammad dan Syaiton? penerj)

Sarana untuk transformasi realitas ke realitas alternatif yi. kontrol total berdasarkan kekuasaan absolut. Dilakukan untuk memusnahkan tatanan lama. Qutb mengatakan, “hanya transformasi radikal dengan kehancuran total dari sistem lama bisa menjamin berkembangnya masyarakat ideal di bawah kekuasaan Allah.” Maududi menyatakan bahwa ''Islam (lihat tuh! BUKAN IslamISME atapi Islam, spt dikatakan sendiri oleh Muslim. Knp penulis masih keukeuh juga bahwa ini adalah IslamISME???) adalah sebuah sistem yang lengkap, yang akan menggantikan semua sistem tirani dan kejahatan di dunia, dan melaksanakan program reformasinya sendiri yang dianggap terbaik untuk kesejahteraan umat manusia.”

Islamisme menganut ideologi klasik yang menggabungkan langit dan bumi dalam satu realitas. Persis dikatakan Qutb, “Islam (TUH KHAN! ISLAM, bukan IslamISME---penerj) memilih menyatukan langit dan bumi dalam satu sistem.” Ini berarti, “tujuan utama menerapkan hukum Allah di bumi ini bukan semata tindakan untuk mendapat pahala di kehidupan nanti, tapi kehidupan dunia ini dan dunia berikutnya merupakan dua tahap yang saling melengkapi….Harmonisasi hukum Ilahi bukan berarti kebahagiaan manusia ditunda di kehidupan berikutnya, melainkan membuatnya nyata dan dapat diraih dalam dua tahap.” Dengan kata lain, tujuan kedua transenden diraih dalam tahap pertama duniawi, seperti kata Qutb, “untuk membangun kerajaan Allah di bumi” atau “untuk menciptakan dunia baru.” Jelas ini bukan tujuan politik lagi, tapi sudah metafisik. Diperkirakan Qutb, hasilnya akan menciptakan suatu kondisi—yang terdengar menakutkan mirip dengan konsep masyarakat tanpa kelas Marx--: “Penerapan secara universal hukum Ilahi secara otomatis berarti pembebasan manusia sepenuhnya dari segala bentuk perbudakan.” Dan untuk mencapai tujuan ini, Maududi menyerukan, “Islam (TUH! ISLAM bukan IslamISME) menginginkan seluruh bumi dan tak puas kalau hanya sebagian. Islam menuntut seluruh dunia yang berpenghuni.”

Manifestasi politik “single system” Qutb mencontoh dari rejim totaliter ideologi sekuler abad ke-20 serta ide ‘proto-totalitarian city’ Socrates yang tercantum dalam buku Plato “The Republic.’ Socrates memperlihatkan keterbatasan politik dengan cara mengajak kita membayangkan sebuah negara imajiner. Jiwa kita di transpose menjadi bagian tatanan politik imajiner tsb. Socrates memperlihatkan akibat yang ditimbulkan: Jika kita coba wujudkan sebuah negara yang sempurna secara politis sesuai bayangan kita, apa yang kita dapatkan? Jawabannya: negara garnisun/tentara, hancurnya kehidupan berkeluarga, disiplin kaku, peniadaan privasi, eugenics/kontrol ketat populasi, pendidikan negara, etc. Dengan kata lain, politik tidak dapat memuaskan kebutuhan tertinggi manusia, memenuhi hasrat manusia, karena tak mungkin mencapai keadilan sempurna; kalaupun dibuat wadah/pelaksana untuk itu, akan berujung sebentuk tirani yang mengerikan. Inilah kesalahan mendalam dimana totaliter Barat (Nazi dan fasisme) dan Islam telah jatuh ke dalamnya.

Jadi, logis “dalam negara seperti itu,” kata teman se-ideologi Qutb, Maulana Maududi, “tak ada yang bisa menganggap satupun urusannya sebagai urusan pribadi atau personal. Mempertimbangkan aspek ini, negara Islam (!!) memiliki kemiripan dengan negara Fascis dan komunis.” Hal ini, katanya, “antithesis dari demokrasi sekuler Barat.” Mencari pembenaran se-nada Robespiere, Qutb berkata bahwa suatu, “kediktatoran yang adil” akan “memberikan kebebasan politik pada kebaikan itu sendiri.” Hassan al-Banna, selain membaca karya al-Ghazali, juga menganggap Uni Soviet di bawah Stalin sebagai model sistem satu partai yang sukses.

Selama dunia terus menghindar untuk menangani revolusi Islamis, konflik akan terus berlanjut—dengan adanya darul harb (wilayah perang)—persis revolusi abadi yang dicanangkan Marxist sampai tatanan borjuis disingkirkan sepenuhnya; atau oleh Nazi, hingga semua ras rendah dimusnahkan atau diperbudak.
Utopia kerajaan Tuhan di bumi bagi para Islamis, Pemerintahan Seribu Tahun Hitler, atau masyarakat tanpa kelas Marxist yang memerlukan kontrol total dalam semua aspek takkan pernah terwujud. Untuk itu dicari kambing hitamnya: ''kafir telah lolos dari genggaman kita, Yahudi telah melarikan diri,'' atau ''kapitalis berhasil menghindar.'' Dengan demikian, surga dunia akan selamanya tertunda dan perang merupakan sebuah revolusi abadi. Qutb menyatakan, “Perjuangan ini bukanlah fase sementara melainkan perang yang abadi dan permanen.” Ditambahkan Hassan al-Banna, “Yang saya maksud dengan Jihad adalah kewajiban yang akan berlangsung hingga Hari Kebangkitan.”

Dasar-dasar Kebencian

Bahan bakar perang abadi Islamis sama dengan Marxism-Leninism dan Nazisme, yakni kebencian. Hanya sasarannya saja yang berbeda. Mulai dari kebencian ras di Nazism, kebencian kelas di komunisme, hingga kebencian kafir di Islam radikal, termasuk juga kebencian pada muslim lain yang tak sesuai dengan versi Islam yang dianut. “Kita harus membenci,” ujar Lenin; “kebencian adalah dasar komunisme.” Doktrin senada Bin Laden sama tegasnya, “Mengenai hubungan antara muslim dan kafir, dinyatakan oleh Allah: ‘Sesungguhnya kami [umat Islam] berlepas diri daripada kamu [bukan Islam] dari daripada apa yang kamu sembah selain Allah, kami ingkari (kekafiran)mu dan telah nyata antara kami dan kamu permusuhan dan kebencian buat selama-lamanya antara kita sampai kamu beriman kepada Allah saja.” (Q 60:4). Jadi ada permusuhan, permusuhan sengit dari hati….. Jika kebencian suatu saat dipadamkan dari hati, itu berarti murtad!.... Pertempuran, permusuhan dan kebencian—dari muslim pada kafir—adalah pondasi ajaran kita.”
Megafon paling sukses untuk menyampaikan pesan ini adalah internet, yang digunakan Islamis radikal untuk menciptakan, apa yang disebut Dr. Jerrold M. Post, professor bidang psikiatri, psikologi politik dan hubungan internasional di George Washington University sebut sebagai, “komunitas virtual kebencian.”

Kejahatan Demokrasi

Telah diisyaratkan Maududi, demokrasi adalah antithesis proyek Islamis, seperti halnya keutamaan akal adalah antithesis keutamaan kekuasaan/kehendak. Pandangan antirasional bukan hanya menganggap demokrasi sbg tatanan konstitusi tak berguna, tapi juga bertentangan dengan Islamis dan dianggap sebagai bentuk penghujatan, suatu hal yang paling mereka takutkan. Penulis al-Qaeda, Yussuf al-Ayyeri (tewas dalam kontak senjata di Riyadh, Juni 2001) menulis di buku terakhirnya ‘The Future of Iraq and the Arabian Peninsula after the Fall of Baghdad’ : Bukan mesin perang Amerika yang seharusnya jadi perhatian penuh umat Islam. Yang mengancam masa depan Islam adalah Demokrasi Amerika.” Karena demokrasi mendasarkan tatanan politik akal dan kehendak bebas, jadi masih terus berargumentasi, sementara bagi Islamis segalanya sudah lengkap, selesai lewat wahyu. Islamis radikal menganggap demokrasi sebagai musuh alami dan fatal mereka. Hukum buatan manusia adalah suatu bentuk kesyirikan karena otorita manusia bersinggungan dengan hukum ilahi yang telah ditentukan bagi setiap situasi. Demokrasi menempatkan hukum manusia pada level Tuhan. INi mempertuhankan manusia dan ini tidak nampak sbg tatanan politik tapi sbg agama palsu. Itulah sebabnya Sayyid Qutb menyatakan dalam ‘Milestones,’ “Siapapun yang mengatakan Undang-Undang adalah hak rakyat, bukan orang Islam.”

Abu Muhammad al-Maqdisi, teolog Palestina-Yordania, dalam bukunya ‘Democracy: A Religion!’ menegaskan pandangan Qutb, bahwa “demokrasi adalah sebuah agama, tapi bukan agama Allah.” Jadi, sudah kewajiban agama, umat Islam harus, “menghancurkan orang-orang yang menganut demokrasi, dan kita harus memusuhi pengikut mereka—membenci mereka dan mengobarkan jihad besar terhadap mereka.”

Image
Ulama Indonesia, Abu Bakar Ba’asyir, yang dibebaskan dari penjara July 2006, setelah dituduh terlibat dalam serangan terror di Bali, 2002, menggemakan kembali Qutb: “Tidak ada demokrasi dalam Islam, jadi jangan coba menginterpretasi Qur’an dan mengubah Islam menjadi demokrasi sesuai kebutuhanmu. Hukum Tuhan duluan ada. Bukan terserah kepada rakyat untuk memutuskan apa yang benar dan bagaimana cara hidup. Tapi kehendak rakyatlah yang harus disesuaikan dengan kehendak Allah. Bukan demokrasi yang kita inginkan, tapi Allah-cracy! Prinsip-prinsip Islam tidak bisa diubah, dan tidak ada demokrasi dalam Islam atau omong kosong seperti ‘demokrasi Islam’ ….Demokrasi adalah sirik[penghujatan] dan haram [terlarang].”

Jurubicara al-Qaeda, Suleiman Abu Gheith berkata, “Amerika adalah kepala bid’ah di dunia modern dan memimpin sebuah rejim demokrasi kafir yang memisahkan antar agama dan negara serta memerintah rakyat oleh rakyat melalui undang-undang legislative yang bertentangan dengan jalan Allah, dan mengizinkan apa yang dilarang Allah.” Bagi Islamis radikal, demokrasi itu sendiri adalah tindakan menghujat yang berdosa dan harus dimusnahkan.

Karena itu, Sheik Omar Abdel Rahman (sheik buta) mendesak, “Umat Islam dimanapun harus memecah bangsa Amerika, merobek mereka, merusak perekonomiannya, memprovokasi perusahaan mereka, menghancurkan kedutaan mereka, menyerang kepentingan mereka, menenggelamkan kapal mereka, …menembak jatuh pesawat-pesawat mereka, [dan] membunuh mereka di darat, di laut, dan di udara. Bunuh mereka dimanapun kau temukan mereka.” (HAYOOOO .. masih ingat ayat brp yg menyebutkan ini? Q9:5 bukan? ''Apabila sudah habis bulan-bulan Haram itu, maka bunuhlah orang-orang musyrikin itu di mana saja kamu jumpai mereka ...'')

Penting untuk dipahami bahwa keinginan Islamis radikal untuk menghancurkan Amerika, sebagai pemimpin demokrasi Barat, bukan semata tujuan politik tapi juga persyaratan metafisik untuk transformasi realitas. Amerika harus dihancurkan karena, “Amerika jahat dalam esensinya (Amreeka sharrun mutlaq),” kata Sheikh Muhammad Hussein Fadlallah dari Hezbollah. “Kami tidak berperang untuk suatu penawaran,” Hussein Massawi, mantan pimpinan Hezbolah memperingatkan, “Kami berperang untuk memusnahkanmu.” Pemimpin Taliban, Mullah Muhammad Omar, mengatakan, “Masalah nyata adalah kepunahan Amerika. Dan, Insya Allah, Amerika akan hancur.”

Dalam Islamisme, penghancuran ini penting secara metafisik, sepenting penghapusan kaum borjuis oleh Marxis dan ras rendah oleh Nazi, demi proyek millennium bergengsi mereka. Sebagaimana rejim totaliter Nazi dan Marxis, Islamis, dalam rangka membangun realitas alternatif mereka, menghapus sebagian besar sisi humanis, membenarkan pembantaian—dalam kasus ini disebut kafir, kasus serupa disebut non-Aryan atau kaum borjuis.

Dalam hal ini, Islam radikal adalah sebentuk neo-barbarism. Bila peradaban didefinisikan sebagai tindakan mengakui orang lain sebagai manusia, maka barbarism adalah seseorang yang tak dapat melakukan tindakan ini—seringkali karena ia berasal dari atau memilih dunia yang tak memiliki istilah manusiawi. Sulit membayangkan besarnya bencana yang timbul akibat ketidakmampuan atau penolakan akan istilah manusiawi ini. Jika seseorang tidak mampu mengakui orang lain sebagai manusia, ia takkan tahu perbedaan manusia dan hewan, atau manusia dan ilahi. Kebingungan ini mengarah pada perbudakan, pengorbanan manusia, kanibalisme, genosida, dan berbagai kengerian lainnya. Melalui Islamisme, seperti komunisme atau Nazisme, seseorang kehilangan kemampuannya mengakui orang lain sebagai manusia. Ketiga paham tersebut merupakan mesin dehumanisasi—mengubah orang lain jadi hewan atau lebih rendah lagi. Atas nama kegelapan, dewa suatu suku, seseorang menjadi barbar.

Perlunya Kekuatan Bersenjata: Terorisme sebagai Kewajiban Moral

Seperti komunis dan Nazi, Islamis juga memandang perlu kekuatan bersenjata bagi transformasi yang mereka harapkan. Akal tak berguna; jadi, kekuatanlah satu-satunya alat untuk perubahan fundamental. Tuhan tanpa akal menjadi dasar teologis bagi kekerasan. Ada sejumlah contoh doktrin kekerasan ini. Pembimbing spiritual Bin Laden, Abdullah ‘Azzam, berkata bahwa, “mereka yang beranggapan dapat mengubah realitas, atau mengubah masyarakat tanpa pengorbanan darah dan luka….tidak mengerti esensi agama kita.” Harganya mahal: “Kemuliaan tidak membangun puncak keagungannya kecuali dengan tengkorak….Kehormatan dan penghargaan tak dapat dibangun kecuali atas pondasi orang cacat/terluka dan mayat-mayat.” TangisNya: “Jihad dan senjata semata, tidak negosiasi, tidak konferensi, dan tidak dialog.” Wakil Bin Laden,Ayman al-Zawahiri, menyerukan, “Demi Allah, reformasi hanya berlangsung lewat Jihad, dan yang tidak melalui jihad ditakdirkan mati dan gagal. Kita harus paham sifat pertempuran dan konflik.”

Mantan pimpinan al-Jihad Mesir yang ditahan, Kamal el-Said Habib, mengkritik perilaku jihadis Mesir, “kekerasan menggantikan politik sebagai alat berinteraksi.” Ia tak menyadari bahwa kekerasan semacam itu akibat logis dari teologi yang dianut jihadis.

Dalam sebuah wawancara, th 1998, Muhammad Khan—amir/pimpinan Lashkar-e Taiba, sebuah kelompok terkenal yang mensponsori serangan teroris di Mumbai, India—menyatakan perlunya kekerasan: “Ketika perubahan datang, itulah saatnya orang-orang yang menentang Islam akan hancur.” “Dengan kekuatan?” tanya pewawancara. “Ya,” jawab sang amir, “itu pasti.” Islamis Indonesia, Abu Bakar Ba’ashir, berkata, “Perjuangan bagi Islam hanya terwujud lewat krisis dan konfrontasi…..Ingatlah, jihad yang membawa Islam ke kekuasaan dan membangun masyarakat kita. Tak ada Islam tanpa jihad.”

30 November 2005, dari rekaman al-Qaeda, ada pertanyaan retorik, “Bagaimana kita dapat memaksakan agama ini? Bisakah lewat perdamaian? Logika? Atau lewat ceramah dan pemungutan suara?” Lalu ada suara menjawab: “Satu-satunya jalan lewat pedang.” Sumber lain al-Qaeda memperlihatkan silsilah al-Qaeda hingga ke kaum anti-rasionalis abad pertengahan, menyerukan kekerasan sebagai oposisi langsung thp filsafat: “Jenis perlawanan yang diperlukan untuk kaum murtadin bukanlah debat Socrates, idealisme Plato, atau diplomasi Aristoteles. Tapi dialog peluru, idealisme pembunuhan, pemboman dan penghancuran serta diplomasi meriam dan senapan mesin.”

Pandangan ini bukan eksklusif milik Sunni. Ayatollah Khomeini berkata: “Apapun yang baik, ada berkat pedang dan bayangan pedang. Orang tidak bisa dibuat taat kecuali dengan pedang. Pedang adalah kunci menuju surga.” Dalam pidatonya, Desember 2004, ia berbicara ttg manfaat membunuh kafir sebagai bentuk jasa untuk para kafir itu sendiri. Katanya, “Perang adalah berkat bagi dunia dan bagi setiap bangsa. Allah sendiri yang memerintahkan manusia untuk mengobarkan perang dan membunuh.” Dan ulama Morteza Muthhari berkata, “Faktor kekerasan diperlukan…. Tidak ada halangan untuk menggunakan kekerasan.”

Islamis radikal menerjemahkan kemahakuasaan Tuhan versi mereka menjadi suatu politik kekuasaan tak terbatas. Sebagai instrumen Tuhan, mereka adalah saluran untuk kekuatan ini. “Garda depan” Tuhan mengambil posisi Tuhan, sebagaimana garda depan kaum proletar mengambil posisi kaum proletar dlm Marxism-Leninism, dan menghasilkan apa yang kemudian dikatakan Kardinal Joseph Ratzinger, sbg ''bentuk totalitarianisme yang mempraktekkan sejenis pemujaan ateistik yg siap mengorbankan kemanusiaan pada Tuhan Palsu.”

Dalam fatwanya tahun 1998, Osama bin Laden memberikan contoh tepat pemindahan otoritas Ilahi waktu memerintahkan “membunuh orang Amerika dan sekutu-sekutunya—sipil dan militer” dengan mengklaim itu adalah “perintah Allah untuk membunuh orang Amerika.” Sekali keutamaan kekuatan dikemukakan, terorisme jadi langkah logis berikutnya ke kekuasaan, sebagaimana Nazism dan Marxisme-Leninisme. Inilah yang mendorong Osama bin Laden meresapi pernyataan mengejutkan dari wali rohaninya, Abdullah ‘Azzam, yang dikutip Osama dalam video bulan November 2001, dirilis setelah peristiwa 9/11: “Terorisme adalah keharusan dari agama Allah.” Ini boleh jadi benar—kekerasan dalam menyebarkan kepercayaan adalah keharusan—jika Tuhan tanpa akal, maka bertindak tidak masuk akal tidak bertentangan dengan sifatNya.

Pernyataan Azzam ini mengagetkan sebagian Muslim yang beranggapan bahwa terorisme secara moral menjijikan dan asing dengan ajaran inti Islam, terutama yang berkaitan dengan suicide bombing terhadap warga sipil. Islamisme dalam Islam mungkin analogi yang kasar dengan pengembangan teologi pembebasan (liberation theology) dalam agama Kristen. Khususnya di negara Amerika Latin, Katolik terinfeksi ideologi Marxisme dengan preferensinya ke kalangan miskin. Menurut teologi pembebasan, tak cukup menolong kaum miskin lewat abdan amal. Kita harus membasmi lembaga yang konon menyebabkan kemiskinan. Termasuk properti dan aspek2 lain dari kapitalisme. Dalam ajaran ini, paham Kekristenan dimasuki paham Marxis yg mempromosi ttg perlunya kekerasan. Para pendeta melempar rosario mereka, mengambil senapan mesin dan granat, bergabung dengan revolusi. TAPI Kristen punya seorang paus yang bisa menDELEGITIMASI gerakan KristenISME itu. Dan dalam perjuangan thp paham totaliter ini, Paus Johannes Paulus II menang. Muhammad Navab-Safavi juga menyerukan kpd sesama umat Islam: “Buang tasbihmu dan belilah senjata. Karena tasbih membuatmu berdiam diri, sementara senjata mendiamkan musuh-musuh Islam.” Islam tak punya figur otoritas seperti Paus yang secara definitif dapat mendelegitimasi IslamISME. Kalaupun ada, tak pasti ia akan melakukannya, karena Islamisme sudah punya klaim legitimasi (yaitu Islam sendiri! penerj).

Masalahnya saat ini adalah, sisi nalar dalam Islam telah hilang, akibatnya antibodi alami thp infeksi totaliter jadi lemah. Yang kita saksikan saat ini adalah konsekuensi puncak dari penolakan thp akal manusia dan hilangnya kausalitas, sebagaimana yang terjadi di seluruh dunia Islam, dalam budaya disfungsional yang mereka lahirkan. Bukan berarti sisi akal sudah tidak ada disana. Fatima Mernissi mengatakan dengan pedihnya, “Fakta bahwa kaum rasionalis, tradisi humanistik ditolak politisi lalim, bukan berarti mereka sudah tidak ada. Memiliki lengan yang diamputasi tidak sama dengan lahir tanpa lengan. Kajian thp orang yang di-amputasi memperlihatkan bahwa bagian tubuh yang diamputasi tetap hadir di pikirannya. Semakin sisi rasional kita ditekan, semakin kita menginginkannya.”

Ada beberapa kaum terpelajar Muslim yang sangat cerdas yang menginginkan sesuatu semacam gerakan neo-Mu’tazila dalam Islam, pemulihan keutamaan akal, sehingga mereka dapan membuka kembali gerbang ijtihad serta mengembangkan sejenis dasar hukum alami untuk kemanusiaan, politik, dan aturan konstitusional. Nyatanya, ilmuan Indonesia, Harun Nasution (1919-1998) ingin memakai label neo-Mu’tazila secara terbuka meskipun label ini dikutuk sbg bid’ah. Ia secara eksplisit menyerukan pengakuan hukum alam serta menentang paham occasionalism dan determinisme Ash’arit yang dianggapnya bertentangan dengan kemajuan sosial, ekonomi dan kemajuan politik. Ia mempertahankan kehendak bebas manusia dan konsekuensinya. Pemikir reformist kelahiran Tunisia, Latif Lakhdar, menyerukan kebangkitan “Mu’tazilla dan pemikiran filsafat thp tulisan-tulisan suci, dimana ajaran agama diinterpretasikan akal manusia.” Ia merekomendasikan “membuka rasionalisme agama—tulisan religius sbg subjek penelitian dan kajian rasional—harus menjadi inti pendidikan agama di wilayah Islam Arab, karena absurd untuk percaya tulisan suci dan menyangkal realitas.”

Tetapi, di tempat2 lain di dunia Islam, jika seseorang berani menyatakan keberadaan Qur’an tidak abadi bersama Allah, ia sebaiknya dijaga ketat, 24/7. Di Mesir, Dr. Nasr Hamid Abu Zayd, asisten professor bahasa Arab Universitas Kairo, memancing keributan karena menyatakan Qur’an adalah produk manusia
karena bahasa adalah konvensi manusia. Mengenai Mu’tazila, ia berkata, “Mu’tazilla mengasumsi dari text Qur’an bahwa Qur'an adalah sebuah penciptaan (manusia) dan bukan kata-kata Tuhan yang kekal. Dengan kata lain, hubungan antara pembicara dan yg diajak bicara/pembaca ada hanya karena konvensi manusia; tak ada keilahian dalam hubungan ini. Mereka berupaya membangun jembatan antara firman ilahi dan akal manusia.[...] Mereka bersikeras bahwa bahasa adalah produk manusia dan firman ilahi mengikuti aturan dan bentuk-bentuk bahasa manusia.”

Karena keberaniannia itu, ia diseret ke pengadilan dgn tuduhan murtad. 14 Juni 1995, Pengadilan Banding Tingkat Dua di Mesir memutuskan Dr. Abu Zaid sbg kafir. Akibatnya, ia dipaksa bercerai dengan istrinya. Wanita muslim tak diizinkan menikah dengan pria non-muslim. Tapi Dr. Abu Zayd dan istrinya melarikan diri ke Eropa. Aman di pengasingan, ia baru-baru ini menyatakan bahwa “reformasi Islam dimulai dini di awal abad ke-19 dan sebenarnya memiliki akar yang
lebih awal. Satu ajaran penting dari kaum Mu’tazilla, 1000 tahun lalu, adalah bahwa Qur’an tak perlu diinterpretasi secara literal, dan bahkan kaum terpelajar Iran saat ini sangat terbuka thp kritik keilmuan dan interpretasi.”

Namun nasib ilmuwan muda Iran, Abdolkarim Soroush juga berakhir di pengasingan. Fr Samir Khalil Samir berkata, “Seorang pemuda muslim Iran, dengan gelar di bidang kajian Islam, suatu hari berkata padaku: ‘Kita tak dapat lagi berpikir bahwa Qur’an didikte secara langsung oleh Tuhan pada Muhammad melalui malaikat Jibril. Qur’an harus diinterpretasi lagi. Sayangnya, di dunia Islam saat ini tidak banyak kebebasan: beberapa dekade lalu, salah seorang intelektual kita, Abdolkarim Soroush dikeluarkan dari universitas karena mengajarkan hal tersebut. [Soroush dlm beberapa kesempatan diserang secara fisik.] Akhirnya, agar dapat tetap hidup dan mengekspresikan diri, ia harus pindah ke Eropa.’” Banyak neo-Mu’tazila yang ingin membangkitkan lagi tradisi teologi dan filsafat rasional Islam, berakhir di Barat juga.

Sayangnya, seperti yang diperingatkan Bassim Tibi, “Mereka, para intelektual Islam yang….masih berharap menggunakan akal untuk mereformasi Islam, lebih baik melakukannya dalam pengasingan di Barat, baik itu Paris, London atau Washington. Ide-ide mereka dibahas di Skandinavia, tapi tidak di dunia Islam.” Bahkan di Eropa, muslim seperti mereka menghadapi bahaya dicap murtad. Selama beberapa tahun di Jerman, Tibi sendiri, perlu pengawal bersenjata yang disediakan pemerintah Jerman untuk melindunginya dari pembunuhan. Taj Hargey, seorang imam Inggris, menyesalkan bahwa, “para pemikir iconoclastic, liberal, dan nonconformist yang berani menantang otoritas religius Islam dengan memberikan interpretasi rasional atau alternatif thp agama mereka selalu dicap murtad, bid’ah, dan kafir.


* Islamisme mengacu pada ideologi totaliter Islam.
BAB 9 ...
Last edited by ali5196 on Thu Sep 15, 2011 2:38 am, edited 1 time in total.
ali5196
Posts: 16757
Joined: Wed Sep 14, 2005 5:15 pm

Bab 9 : Krisis

Post by ali5196 »

Bab 9: KRISIS
diterjemahkan oleh lara dan sepupunya, Anne. Diperiksa oleh ali5196 :finga:

Image
Quetta/Pakistan, bom ramadan 2011
Image
Muslim ngamuk karena kartun, buku, Kristen, Hindu, Yahudi, Palestina, kurang makan dsb dsb
Image
Muslim ngamuk karena wanita, tubuh wanita, kurang taatnya wanita, wanita pergi tanpa muhrim/ijin suami, wanita jadi pemimpin dsb dsb
Image
Akibat ngamuknya muslim kalau anak2 madrasah malas belajar, malas solat, terlalu banyak bertanya dsb

Krisis besar yang telah mencengkram dunia Islam menimbulkan pertanyaan pada umat Islam: "Dapatkah kita memasuki dunia modern dan tetap mempertahankan iman kita?" Chandra Muzaffar, filsuf Islam Malaysia paling terkemuka, menyatakan bahwa pertanyaan tersebut timbul akibat meluasnya persepsi bahwa “Islam dan dunia sekuler Barat pasca-Jaman Pencerahan (post-Englightenment) secara diametrik saling bertentangan satu sama lain. Umat Islam kemudian menyadari, kalau mereka tidak merubah dunia sekuler Barat, visi keadilan yang terkandung dalam Qur’an tak akan pernah terwujud.” Transformasi Barat adalah tujuan Muslim/Islam, tapi yang jadi masalah, caranya dng damai atau kekerasan? Salah satu jawaban atas pertanyaan diatas sudah dikemukakan kaum Islamis dan Osama bin Laden, yi. TIDAK, kita TIDAK dapat mempertahankan iman kita di dunia modern. Sebab itu, kita harus menghancurkan modernitas dan mendirikan lagi kekhalifahan.

Jawaban Islamis (Islam garis keras tsb) didasarkan pada patologi spiritual berdasarkan sebuah deformasi teologis, yang terbukti telah menghasilkan budaya disfungsional. (lara: teologi menyimpang->penyakit spiritual->budaya mandeq->robot kekerasan). Oleh karena itu, masalah harus ditangani pada level dasar. Sangat keliru untuk menyatakan bahwa untuk mengakhiri terorisme, Barat harus memperbaiki kondisi perekonomian Timur Tengah. Teroris adalah produk sebuah ideologi totaliter yang membenarkan terorisme. Itulah akar penyebabnya, bukan ekonomi! Ini sama saja dgn mengatakan bahwa 'untuk mengatasi Nazisme kita harus mengatasi problem kemiskinan di Jerman.' Pernyataan itu hanya akan jadi bahan tertawaan, namun, pemikiran seperti itu ditanggapi serius saat ini.

Timur Tengah miskin akibat sebuah budaya disfungsional yang didasarkan pada teologi yang cacat. Jika tidak direformasi pada level tsb, rekayasa ekonomi atau pengembangan tatanan politik konstitusional tak akan berhasil. Jika seseorang tinggal di tengah masyarakat yang menganggap segala sesuatu berasal dari penyebab pertama (Allah), ia tak akan melihat ke sekelilingnya dan mencoba memperbaiki kinerjanya. “Untuk menjamin fungsinya,” tulis Pervez Hoodboy, “masyarakat terorganisir memerlukan orang-orang modern—orang-orang yang memahami hubungan sebab akibat (mengutamakan akal--lara).” Sesuai pengamatan Fouad Ajami, ketidakmampuan memahami hubungan sebab akibat sudah menjadi pandemik di dunia Islam. :rolleyes:

Adakah komunitas dalam dunia Islam yang dapat mengemukakan suatu teologi yang memungkinkan pemulihan akal, re-hellenisasi Islam dengan Tuhan sebagai akal? Dapatkah Islam melakukan apa yang disebut Samir Khalil Samir sebagai “suatu Pencerahan, dengan kata lain, revolusi pemikiran yang menegaskan nilai realitas duniawi dalam dan dari dirinya sendiri, terlepas—walau tak bertentangan-- dari agama?'' Jika tidak, sulit membayangkan atas dasar apa umat Islam bisa memodernisasi diri atau atas dasar apa dialog dengan umat Islam dapat dilangsungkan. Ada banyak umat Islam (di Turki dan negara-negara demokrasi sedang berkembang seperti Indonesia dan Malaysia, dan sejumlah besar populasi muslim India) yang ingin memasuki dunia modern—dengan sains dan lembaga politik modern—sambil tetap mempertahankan kepercayaan mereka.

Fazlur Rahman berpendapat bahwa “Qur’an sendiri tidak hanya memiliki sejumlah ajaran filsafat definitif, tapi juga dapat menjadi katalis yang kuat untuk membangun pandangan dunia yang menyeluruh konsisten dengan ajarannya. Hal tsb tidak pernah dicoba secara sistematis dalam sejarah Islam; padahal dapat dan harus dilakukan.” Kelihatannya, Fazlur Rahman menganjurkan upaya dalam Islam serupa dengan yang dilakukan Aquinas dalam Kekristenan. Aquinas mengembangkan ide-ide tersembunyi filsafat yang ada dalam Kitab Suci Kristen dan mendamaikannya dengan akal. Ia memperlihatkan bahwa ‘Logos’ Yunani adalah gambaran pendahuluan ‘Logos’ Kekristenan. Wahyu dan akal berdasarkan sumber yang sama. Usaha keras tsb terlihat dalam ‘The Thomist’ (jurnal filsafat & teologi dalam tradisi dan spirit Aquinas--lara), yang terbit 13 abad setelah Kristus. Saat ini, Islam berada dalam jarak kronologis hampir sama, dari saat pendiriannya. Akankah mereka yang mengikuti pemikiran Fazlur Rahman, merasakan kebutuhan yang sama dan berusaha melakukan apa yang ia gariskan? Ada sejumlah pemikir Islam terkemuka yang ingin melakukannya dan berjuang menemukan ruang publik untuk usahanya tersebut.

Sayangnya ide-ide yang menarik bagi umat Islam saat ini bukanlah ide para pemikir tsb. Ide-ide yang sekarang digandrungi umat Islam adalah ide-ide yang berasal dari al-Qaeda, neo-Kharijit dan Hanbali. Seperti yang dideskripsikan analis Tony Corn, “Dalam 30 tahun terakhir, satu label tertentu—pan-Islam Salafisme—telah mengisi kekosongan akibat kegagalan pan-Arab Socialism, dan usaha mereka untuk memarjinalkan bentuk Islam yang lebih tercerahkan terus berlangsung. Salafisme saat ini menempati posisi semi hegemoni di dunia Islam.” Hoodboy menegaskan pendapat ini: “Gerakan-gerakan kaum fundamentalis telah mendominasi wacana intelektual di negara-negara Islam utama. Gerakan-gerakan kaum modernist/pembaharu Islam, yang menekankan kompabilitas Islam dengan sains dan rasionalisme telah kehilangan hegemoni budaya dan ideologi. Kaum modernis telah disingkirkan dari panggung budaya dan politik serta sistem pendidikan modern. Modernitas yang lahir 50 tahun lalu telah runtuh di negara-negara Islam utama. Orthodoksi telah merebut tugas untuk membimbing umat Islam. Dan wacana mereka ini adalah undangan ke arah bencana dan mungkin ke abad kegelapan baru bagi umat Islam.

Dalam sebuah deskripsi kuat ttg bencana yang mengancam, pemikir Islam kontemporer dari Tunisia, Abdelwahab Meddeb, yg tinggal di Paris, berkata:

“Theosentrisme absolut yang sangat gila ini, belum pernah berkembang begitu radikal dalam tradisi Islam sebelumnya, dunia berubah menjadi kuburan. Bila Maududi mencela Barat karena membunuh Tuhan (dengan atheisme---penerj), kita juga dapat menuduhnya telah mentasbiskan kematian humanitas. Sistemnya yang sangat keterlaluan menciptakan totalitarianisme yang kasat mata, menghasut dan menyuntikkan semangat pengikutnya untuk menyebar kematian dan kehancuran di seluruh muka bumi. Ini adalah sejenis peniadaan kehidupan, dimana penalaran teoritis yang tidak dikontrol penalaran praktis, akan mengarah pada nihilism…. Visi radikal dan mengerikan ini membangun suatu tabula rasa dan mengubah dunia jadi suatu area nuklir yang tandus sejauh mata memandang, dalam lembaran yang dihitampekatkan oleh Sayyid Qutb.”

Meddeb memprediksikan bahwa tercapainya visi “pembebasan” Qutb (pendiri Ikhwanul Muslimin di Mesir) akan “mengubah manusia menjadi zombie di suatu area hangus.” Tapi sayangnya, ide Qutb telah meresap kemana-mana dan begitu sedikit yang telah dilakukan untuk melawan kecenderungan ini.

Perubahan bentuk Islam menjadi Islamisme adalah berita buruk, bukan saja bagi Barat tapi juga bagi mayoritas umat Islam yang tak ingin hidup dalam teokrasi totaliter. “Bagi Barat ini hanyalah ancaman fisik dalam bentuk terorisme,” kata jurnalis Pakistan Ayaz Amir. “Bagi dunia Islam….terjebak dalam bin Ladenisme berarti perjalanan waktu mundur ke abad-abad kegelapan pemberangusan pengetahuan dalam Islam. Ini berarti terjebak dalam lumpur yang menghisap dunia Islam ke belakang.” Mayoritas Muslim moderat bukanlah masalah bagi sekelompok kecil
jihadis yang disiplin dan terorganisir. Sebagaimana juga dengan mayoritas orang Rusia dalam jaman kekaisaran Russia yang tiba-tiba mendapati diri mereka diperintah suatu kelompok kecil, klik kekerasan pengikut Stalin dan Lenin, 1917. Atau mayoritas orang Jerman yang tiba2 sadar bahwa negera mereka telah diambil alih Hitler.

Masalah dari sisi akal, diungkapkan seorang Islamis Indonesia, “Islam liberal tidak memiliki kader.” Sementara pihak lain memiliki kader lebih dari cukup. Kelompok-kelompok kecil, terorganisir ketat, berdisiplin tinggi, dan punya cukup dana, berusaha meniru keberhasilan Leninis dengan taktik propaganda dan kekerasan yang serupa. Yang terburuk terjadi di dunia Arab. Semakin banyak umat yang tertarik pada pesan kaum Islamis semakin bahaya keadaan dan semakin genting pula tindakan untuk mengatasinya. Para Islamis punya kepentingan menjadikan situasi semakin memburuk, dan nyatanya memang mereka SUKSES!

Tak terelakkan, Islamis akan berhasil, kecuali ada strategi untuk melawannya. Mantan presiden Indonesia, Abdurrahman Wahid, yang juga pimpinan organisasi Islam, Nahdlatul Ulama, telah menyerukan counterstrategy yang didalamnya tercakup penawaran “Visi alternatif yang menarik dari Islam, yang dapat membuang ideologi kebencian fanatik ke tempat asalnya di kegelapan.” Hingga akhir hayatnya, Desember 2009, Wahid tanpa lelah menganjurkan kemitraan dengan dunia non-muslim untuk menegakkan martabat manusia, kebebasan hati nurani, kebebasan beragama dan manfaat modernitas, sebelum raksasa ideologi Islamis membanjiri dunia Islam. Seruan yang menarik, tapi .. walahu alam... mana hasilnya?

Image
(Mantan & alm) Pres Abdurahman Wahid sedang memikirkan counterstrategy melawan Islamis

Bulan Mei 2008, saya berkesempatan berbicara dengan Presiden Wahid. Ketika saya tanyakan ttg makna penindasan thp kaum Mu’tazilla di abad ke-9, ia berupaya menghindar dipahami dan tidak memberi respon langsung, hal yang tidak mengherankan mengingat imej negatif yg ada thp Mu’tazilla. Tetapi, ia menjawab dng cara lain yang menurutku hebat. Presiden Wahid bercerita padaku ttg perjalanannya ke mesjid di Fez, Maroko. Disana, di bawah kotak kaca, ia melihat salinan ‘Nicomachean Ethics’nya Aristoteles. Melihat itu, katanya, ia menangis. Lalu ia berkata: “Jika saja tak ada buku semacam itu, saya sudah menjadi seorang fundamentalis.” Saya bertanya, bagaimana ia tahu dalam sekali pandang bahwa itu ‘Nicomachean Ethic’ Aristoteles? Ia berkata bahwa ia pertama kali membacanya di sekolah asrama ayahnya di Indonesia. Tak diragukan, ini salah satu dari sejumlah pengaruh formatif pada Wahid, tapi penting—bahkan menentukan—dalam “perang ide” yang sedang terjadi dalam Islam.

IRONISNYA, ini justru tidak diperhatikan orang Amerika. Berikut sebuah kisah nyata:

Seorang interrogator AS di Guantanamo yang memiliki pengetahuan luas ttg sejarah Islam dan bahasa Arab, bercerita padaku ttg pembahasannya mengenai Aristoteles dengan seorang tahanan Arab yang cukup terpelajar sewaktu mereka mendiskusikan pentingnya berpikir kritis dan peranannya dalam karya-karya teolog Islam. Si tahanan sangat tertarik dan berkata ia pernah mendengar mengenai Aristotles waktu sekolah, tapi di negaranya murid tidak punya akses pada tulisan2 Aristoteles. Si tahanan meminta untuk meminjam beberapa karya Aristoteles dalam bahasa Arab. Tetapi, ketika si interrogator ke perpustakaan untuk memesannya, sang pustakawan—yang lebih fokus ke Qur’an dan bacaan ringan seperti buku-buku alam dengan banyak gambar—tak dapat melihat relevansinya dengan Aristoteles atau bahkan tak percaya seorang tahanan bisa tertarik pada Aristoteles. (Si interrogator menunjukkan pada saya bahwa “si tahanan jauh lebih intelektual daripada si staf perpustakaan—seharusnya tak seorangpun boleh berasumsi bahwa tahanan2 ini hanya preman kekerasan.”) Perpustakaan tidak memesan Aristoteles, dan alhasilnya ... sebuah kesempatan untuk mengatasi masalah di level benihnya hilang sudah, hanya karena orang tidak paham akan pentingnya hal tsb.

Pilihan

Dalam percakapan dengan seorang mahasiswa di Roma, Paus Benediktus XVI membuat pernyataan yang dengan rapih merangkum inti dari apa yang dipertaruhkan baik bagi Islam maupun Barat. Ia berkata:

“Hanya ada dua pilihan. Apakah kita mengakui keutamaan RASIO yang bersumber pada Nalar Kreatif yang ada pada permulaan segala sesuatu dan merupakan prinsip segala sesuatu—keutamaan akal juga merupakan keutamaan kebebasan—ATAU mengakui keutamaan IRASIONAL, karena segala sesuatu di bumi dan dlm kehidupan kita hanya berfungsi seketika, marjinal dan hanya merupakan produk irasionalitas—akal juga produk irasionalitas. Pada akhirnya, kita TIDAK dapat memilih keduanya, tapi kalau kita memilih [-------------] maka ini adalah pilihan bagi rasionalitas dan untuk keutamaan akal. Tampaknya hal ini bagi saya pilihan yang terbaik, yang memperlihatkan pada kita bahwa dibelakang segala sesuatu ada Intelegensi Agung yang padaNya kita dapat mempercayakan diri kita.”

Kata dalam kurung yang saya hilangkan adalah 'agama Kristen.' Pertanyaannya adalah, apakah kalau kata 'Islam' dimasukkan dlm kalimat diatas maka statemen tsb tetap dapat dibaca dengan benar? Apakah Islam Sunni masih membuka pilihan untuk keutamaan akal? Kita tunggu saja tanggal mainnya!

[...]

Jika Islam bermaksud menemukan jalan keluar dari dilemma saat ini, entah bagaimana caranya mereka harus mempertemukan konsep kesatuan Tuhan (tauhid) dengan kesatuan akal/nalar : nalar dalam Tuhan, nalar dalam ciptaanNya dan nalar dalam manusia. Jika salah satu saja dari ketiga itu tidak memiliki nalar/akal, hubungan diantaranya akan runtuh dalam irrasionalitas. Jika Tuhan tidak memiliki akal, demikian pula ciptaanNya—karena darimana lagi ciptaanNya mendapatkan rasionalitas? Jika sang ciptaan tidak memiliki akal maka manusia tidak bisa bernalar dan berinteraksi. Manusia bahkan tak punya alat refleksi diri untuk menyadari keberadaannya. Hanya ada kehendak, tapi kehendak buta, dan kepercayaan yang berdasarkan kehendak buta akan menjadi kepercayaan buta. Akal dan wahyu yang berdiri sendiri-sendiri (terpisah) akan mendistorsi keberadaan masing-masing. Akal mengajukan pertanyaan yang tak dapat dijawab, dan wahyu tak bisa dimengerti tanpa akal. Memisahkan akal dari kepercayaan (krisis dlm dunia Barat saat ini) atau kepercayaan dari akal (krisis dlm Islam) mengarah ke bencana; mereka harus bekerjasama.

Image
Seperti yang diisyaratkan diatas, apa yang dilakukan Thomas Aquinas bagi agama Kristen, seseorang perlu melakukannya untuk Islam. Tergantung pada apakah paham Ash’arit dilihat sebagai bagian integral Qur’an atau hanya penambahan-penambahan yang dapat diabaikan. Jika karena alasan doktrin hal tsb tidak dapat dilakukan dan Islam Sunni terus ngotot keukeuh menganut moral Ash’arit yang mengarah pada kepercayaan ekstrim, maka Islam SAMPAI KIAMAT (penerj) takkan dapat beradaptasi dengan modernitas, sains modern, serta aturan konstitusional demokrasi dan masa depannya akan sangat suram.

Dr. Muhammad al-Houni, reformis Libya yang tinggal di Italy, sampai pada kesimpulan berikut:
“Masyarakat Arab hanya punya satu dari dua pilihan: memutuskan hubungan dengan peradaban Barat beserta lembaga-lembaga budayanya dan terus membahayakan diri sendiri….atau memutuskan hubungan mereka dengan warisan religius Abad Pertengahan, agar filsafat mereka menjadi filsafat kehidupan dan kebebasan, bukan filsafat kematian dan kebencian.''

Atau spt yang diungkapkan Bassam Tibi: “Jika rasionalisme Islam abad pertengahan yang mengakui universalitas pengetahuan terus dinyatakan sebagai bid’ah, dan terus diadakan polarisasi (antara Muslim dan non-Muslim---penerj), maka umat Islam abad ke-21 akan terus gagal memulai modernitas.”

Masalahnya adalah, kegagalan mereka akan berakibat tragis juga pada kita, non-Muslim. Pemulihan akal, berdasarkan Logos adalah satu-satunya benteng kewarasan. Ini penting bagi Timur maupun Barat. “Come now, let us reason together” (Isaiah 1:18).

Image
http://www.thereligionofpeace.com/ :finga:
siapmurtad
Posts: 55
Joined: Sun May 09, 2010 1:53 pm

Re: The Closing of the Muslim Mind (SELESAI! HOREEEEE!!!)

Post by siapmurtad »

Btw mana pdf atau ebooknya ya? tolong diupload dunk:). Trimakasih atas kerja keras Ali, dkk. Gusti Yesus memberkahi kalian semua
User avatar
bagonk
Posts: 214
Joined: Sun Jul 31, 2011 10:44 am

Re: The Closing of the Muslim Mind (SELESAI! HOREEEEE!!!)

Post by bagonk »

ijin nandain gan
Post Reply