SON OF HAMAS (PUTRA HAMAS) (SELESAI)

User avatar
Adadeh
Posts: 8184
Joined: Thu Oct 13, 2005 1:59 am

Bab 19 – Sepatu-sepatu

Post by Adadeh »

Bab 19 – Sepatu-sepatu
2001


Intifada Kedua tampak berlangsung terus-menerus tanpa berhenti sedikit pun untuk menarik nafas. Di tanggal 28 Maret, 2001 seorang pembom bunuh diri membunuh dia remaja di pompa bensin. Di tanggal 22 April, seorang pembom bunuh diri membunuh satu orang, dirinya, dan melukai 50 orang di tempat perhentian bus. Di tanggal 18 May, lima warga sipil dibunuh dan lebih dari 100 orang terluka akibat bom bunuh diri diluar pusat perbelanjaan di Netanya.

Lalu di tanggal 1 Juni, pada jam 11:26 malam, sekelompok remaja sedang berdiri mengantri, sambil ngobrol dan bercanda, dan menunggu untuk bisa masuk disco Dolphi yang terkenal di Tel Aviv. Kebanyakan dari para remaja ini berasal dari bekas Uni Sovyet, dan orangtua mereka adalah imigran baru di Israel. Saeed Hotari juga berada di barisan antrian, tapi dia adalah orang Palestina dan sedikit lebih tua daripada para remaja tersebut. Dia mengikatkan pada tubuhnya bahan peledak dan pecahan² metal.

Koran² tidak menyebut serangan di Dolphinarium sebagai serangan bom bunuh diri. Mereka menyebutnya sebagai pembantaian. Sejumlah besar anak² remaja tercabik hancur berantakan akibat ledakan hebat bom yang berisi kelereng² metal. Jumlah korban sangat besar: 21 mati; 132 luka².

Image
Sebagian korban pembantaian di disko Dolphinarium.

Tiada pembom bunuh diri yang berhasil membunuh begitu banyak orang dalam satu kali serangan. Tetangga² Hotari di Tepi Barat memberi selamat ayahnya. “Aku harap ketiga putraku lainnya juga akan melakukan hal yang sama,” kata Pak Hotari pada wartawan. “Aku ingin semua anggota keluargaku mati bagi negara dan tanah air kami.”

Israel menjadi lebih bertekad lagi untuk memotong kepala ular. Pada saat itu semestinya mereka tahu bahwa memenjarakan atau membunuh para pemimpin organisasi perlawanan Palestina tidaklah akan menghentikan pertumpahan darah.

Jamal Mansour adalah seorang wartawan, dan seperti ayahku, dia adalah salah satu dari 7 pendiri Hamas. Dia adalah salah satu sahabat terdekat ayah. Mereka dulu telah diasingkan bersama di Lebanon selatan. Mereka bicara dan tertawa bersama di telepon hampir setiap hari. Dia juga adalah pendukung utama para pembom bunuh diri. Di wawancara bulan Januari oleh majalah Newsweek, dia membela pembunuhan yang dilakukan terhadap para penduduk sipil tak bersenjata dan memuji para pembom bunuh diri.

Image
Jamal Mansour, salah seorang pendiri Hamas.

Pada tanggal 31 Juli, hari Selasa, setelah mendapat keterangan dari seorang mata², sebuah helikopter Apache berlaras dua mendekati kantor media Mansour di Nablus. Helikopter itu menembakkan rudal yang dikemudikan oleh laser yang meluncur menembus jendela kantornya di lantai dua. Mansour, ketua Hamas Jamal Salim, dan enam orang Palestina lainnya langsung tewas oleh ledakan rudal tersebut. Dua korban adalah anak², usia 8 dan 10, yang sedang menunggu diperiksa dokter di lantai pertama. Kedua anak ini hancur remuk tertimpa reruntuhan gedung.

Kejadian ini sungguh mengejutkanku. Aku menelepon Loai.

“Apa sih yang tengah terjadi? Apakah kau yakin orang² itu terlibat dalam pemboman bunuh diri? Aku tahu mereka mendukung penyerangan, tapi mereka adalah bagian politik Hamas, dan bukan bagian militer.”

“Ya. Kami punya keterangan bahwa Mansour dan Salim langsung terlibat dalam pembantaian disko Dolphinarium. Tangan mereka berlumuran darah. Kami harus melakukan ini.”

Apa yang bisa kulakukan? Berdebat dengannya? Mengatakan bahwa informasi yang didengarnya salah? Tiba² aku sadar bahwa Pemerintah Israel juga mungkin akan membunuh ayahku. Meskipun dia tidak mengatur penyerangan bom bunuh diri, dia tetap bersalah karena berhubungan dengan mereka. Selain itu, dia juga punya keterangan yang bisa menyelamatkan banyak nyawa, tapi dia menahan keterangan itu. Dia punya pengaruh, tapi tak menggunakannya. Dia bisa mencoba menghentikan pembunuhan, tapi dia tak melakukannya. Dia mendukung serangan² itu dan mendorong anggota² Hamas untuk terus melakukan perlawanan sampai Israel terpaksa mundur. Di mata Pemerintah Israel, dia juga adalah seorang teroris.

Setelah banyak mempelajari Alkitab, aku sekarang mulai membandingkan perbuatan² ayahku dengan ajaran² Yesus, dan bukan dengan Qur’an lagi. Hasilnya, ayah semakin tampak bukan lagi sebagai pahlawan di mataku, dan hatiku terasa remuk. Aku ingin memberitahu padanya apa yang kupelajari, tapi aku tahu dia tidak akan mendengar. Dan jika Pemerintah Israel berhasil membunuhnya, maka dia tidak akan pernah mendapatkan kesempatan untuk mengetahui bahwa Islam telah membimbingnya di jalan yang salah.

Aku menghibur diriku bahwa ayah tidak akan dibunuh untuk sementara waktu karena koneksiku dengan Shin Bet. Mereka dan aku ingin dia tetap hidup, meskipun tentunya karena alasan yang sangat berbeda. Dia adalah sumber utama keterangan dalam tentang kegiatan Hamas. Tentu saja aku tidak bisa menerangkan hal ini kepadanya, dan bahkan perlindungan Shin Bet juga akhirnya bisa jadi berbahaya baginya. Tentunya orang² akan curiga jika semua pemimpin Hamas harus menyembunyikan diri, tapi ayah seorang diri tidak perlu melakukan hal itu dan bisa bebas berjalan-jalan di luar. Aku merasa harus berusaha melindungi ayah. Aku segera datang ke kantornya dan mengatakan padanya bahwa apa yang baru saja terjadi pada Mansour bisa terjadi pula pada dirinya.

“Singkirkan semua orang. Singkirkan bodyguardmu. Tutup kantor. Jangan datang ke sini lagi.”

Reaksinya persis seperti yang telah kuduga.

“Aku akan baik² saja, Mosab. Kami akan menaruh besi baja di depan jendela².”

“Apakah kau gila? Pergi sekarang juga! Rudal² mereka bisa menembus tank² dan bangunan², dan kau pikir kau bisa berlindung di balik selembar metal? Jika kau tutup jendela, maka mereka akan menembak lewat langit² ruangan. Mari pergi sekarang juga!”

Aku tidak bisa menyalahkan ayah dengan sikapnya menolak. Dia adalah pemimpin agama dan politik, dan bukan tentara. Dia tidak tahu apa² tentang pembunuhan atau tentara. Dia tidak tahu apa yang kuketahui. Akhirnya ayah setuju untuk pergi bersamaku, meskipun kutahu dia tidak senang melakukannya.

Tapi aku bukan satu²nya orang yang berkesimpulan bahwa sahabat Mansour, yakni Hassan Yousef, tentunya akan jadi target pembunuhan berikutnya. Ketika kami sedang berjalan di tepi jalan, tampaknya orang² di sekitar kami merasa khawatir. Mereka mempercepat langkah kaki mereka dan sekali² melihat ke langit dengan gugup, jangan² ada helikopter Israel yang muncul. Tiada yang mau ikut jadi korban sial gara² berada terlalu dekat dengan ayah.

Aku mengantar ayah ke Hotel City Inn dan mengatakan padanya untuk tinggal di situ.

“Petugas penerima tamu akan mengganti kamarmu setiap lima jam. Dengarkan dia. Jangan bawa siapapun ke dalam kamarmu. Jangan telepon siapapun kecuali aku, dan jangan tinggalkan tempat ini. Ini telepon yang aman untukmu.”

Setelah aku pergi, aku langsung menelepon Shin Bet.

“Bagus. Tempatkan dia di sana agar aman.”

Image
Mosab menemani ayah kemana pun.

Agar bisa yakin ayah tetap aman, aku harus tahu setiap kegiatannya. Aku menyingkirkan semua bodyguardnya, karena aku tak percaya akan mereka. Aku ingin ayah bergantung padaku sepenuhnya. Jika tidak, dia kemungkinan bisa berbuat kesalahan yang mengakibatkan kematiannya. Aku jadi pembantu, bodyguard, dan penjaga gerbanya. Aku menyediakan semua yang dibutuhkannya. Aku memperhatikan apapun yang terjadi di dekat hotelnya. Aku adalah kontak perantaranya ke dunia luar, dan aku juga jadi kontak perantara dunia luar kepada ayah. Perananku yang baru ini juga menguntungkan diriku karena dengan begitu tiada orang yang curiga padaku.

Aku mulai melakukan sebagaian peranan sebagai pemimpin Hamas. Aku membawa senjata M16, yang merupakan tanda bahwa aku adalah pria yang punya koneksi, peranan penting, dan kekuasaan. Di saat itu, senjata seperti M16 sangatlah diminati dan tidak banyak yang punya (senjataku ini harganya bisa mencapai $10.000).

Orang² militer Hamas mulai bergaul bersamaku hanya untuk menunjukkan bahwa diri mereka penting. Karena mereka mengira aku tahu semua rahasia Hamas, mereka merasa bebas membagi masalah² dan rasa tidak puas mereka padaku, karena menyangka aku bisa menolong mereka.

Aku mendengarkan baik². Mereka tidak tahu bahwa sedikit keterangan dari sana sini yang mereka sampaikan bisa kususun hubungannya satu sama lain untuk menghasilkan gambaran besar permasalahan. Hal ini jugalah mengakibatkan Shin Bet mampu melakukan banyak operasi rahasia yang sukar kujabarkan pada kalian hanya dalam satu buku saja. Yang ingin kusampaikan pada kalian adalah banyak nyawa yang terselamatkan sebagai hasil pembicaraanku dengan para militer Hamas tersebut. Banyak wanita yang tidak menjadi janda dan banyak anak² yang tidak kehilangan orangtua karena kami berhasil mencegah terjadinya banyak serangan bom bunuh diri.

Setelah aku dipercaya dan dianggap penting oleh bagian militer Hamas, maka aku pun jadi wakil Hamas bagi organisasi Palestina lainnya. Organisasi² lain ini mengira akulah yang menyediakan bahan peledak dan yang mengatur kerjasama operasi penyerangan dengan Hamas.

Suatu hari, Ahmad al-Faransi, ajudan Marwan Barghouti, meminta aku untuk menyediakan bahan² peledak bagi beberapa pembom bunuh diri dari Jenin. Aku katakan padanya bahwa aku akan menyediakan bahan peledak itu, dan aku mulai memainkan perananku – menunda sampai aku mengetahui keberadaan kelompok² pembom di Tepi Barat. Permainan seperti ini sangatlah berbahaya. Tapi aku tahu bahwa aku terlindung dari beberapa jurusan. Menjadi putra Syeikh Hassan Yousef mencegah diriku disiksa oleh Hamas di penjara, dan posisi ini juga melindungiku saat bekerja diantara para teroris. Pekerjaanku di USAID juga memberiku perlindungan dan kebebasan pula. Juga Shin Bet selalu melindungiku.

Akan tetapi, jika aku berbuat kesalahan, maka nyawalah taruhannya, dan Pemerintah Palestina (PA) selalu saja jadi ancaman bagiku. PA punya alat bantu dengar yang canggih, hadiah dari CIA. PA menggunakannya untuk melacak teroris dan mata² Israel. Maka aku harus sangat berhati-hati, terutama agar tidak jatuh ke tangan PA karena aku tahu lebih banyak tentang Shin Bet daripada mata² lainnya.

Karena aku adalah satu²nya akses perantara bagi ayahku, maka aku berhubungan langsung dengan semua ketua Hamas di Tepi Barat, Jalur Gaza, dan Syria. Orang lain yang punya akses yang sama seperti diriku hanyalah Khalid Meshaal (ketua Hamas di Syria) di Damaskus. Meshaal lahir di Tepi Barat, tapi dia kebanyakan hidup di negara² Arab lainnya. Dia bergabung bersama Persaudaraan Muslim di Kuwait dan belajar fisika di Universitas Kuwait. Setelah Hamas berdiri, Meshaal mengetuai Hamas di Kuwait. Setelah Kuwait diserang Iraq, dia pindah ke Yordania, lalu ke Qatar, dan akhirnya tinggal di Syria.

Image
Khalid Meshaal, ketua Hamas di Syria.

Karena tinggal di Damaskus, dia bisa bebas bepergian dan tidak dibatasi seperti para ketua Hamas di Palestina. Dia berperan bagaikan diplomat yang mewakili Hamas di Kairo, Moskow, dan Liga Arab. Sewaktu dia bepergian, dia pun mengumpulkan dana. Di bulan April 2006, dia berhasil mengumpulkan dana sebesar $100.000.000 dari Iran dan Qatar.

Meshaal jarang tampil di tempat umum; dia tinggal di tempat rahasia, dan dia tidak berani kembali ke Palestina karena takut dibunuh. Dia punya alasan kuat untuk berhati-hati.

Di tahun 1997, ketika Meshaal sedang berada di Yordania, dua orang agen rahasia Israel masuk ke dalam kamarnya dan memasukkan racun langka ke dalam telinganya saat dia tidur. Para bodyguard-nya melihat para agen rahasia itu pergi meninggalkan gedung, dan satu dari mereka segera memeriksa Meshaal. Dia tidak melihat darah apapun, tapi Meshaal tampak tergeletak di lantai tanpa bisa bersuara. Para bodyguard mengejar agen² Israel, dan satu dari para agen itu jatuh ke pipa limbah. Para agen Israel ditangkap oleh polisi Yordania.

Saat itu Israel baru saja menandatangani perjanjian damai dengan Yordania dan bertukar duta besar. Serangan terhadap Meshaal ini mengancam perjanjian damai yang baru saja dibuat. Hamas merasa malu karena salah satu pemimpinnya bisa diserang dengan begitu mudah. Kisah ini mempermalukan semua yang terlibat, sehingga mereka semua mencoba menutup-nutupinya. Tapi media internasional bisa mengetahui berita ini.

Demonstrasi² terjadi di jalanan Yordania, dan Raja Hussein meminta Israel membebaskan Syeikh Ahmed Yassin, pemimpin rohani Hamas, dan tawanan² Palestina lainnya untuk ditukar dengan agen² rahasia Mossad yang merah mukanya karena malu. Sebagai tambahan persyaratan, Mossad juga harus mengirim tim dokter untuk menyuntikkan penawar racun pada Meshaal. Akhirnya Israel bersedia melakukan hal itu.

Khalid Meshaal meneleponku setidaknya seminggu sekali. Di lain waktu, dia meninggalkan rapat yang sangat penting untuk menerima telepon²ku. Suatu hari, Mossad menelepon Shin Bet.

“Kita punya seseorang yang sangat berbahaya dari Ramallah yang bicara dengan Khalid Meshaal setiap minggu, dan kami tidak bisa mengetahui siapa orang ini!”

Tentunya Mossad sedang membicarakan tentang diriku. Kami semua tertawa terbahak-bahak, dan Shin Bet tetap tidak memberitahu Mossad tentang siapa diriku sebenarnya. Tampaknya ada persaingan diantara badan² keamanan setiap negara – sama seperti FBI (Federal Bureau of Investigation) dengan CIA (Central Intelligence Agency), atau dengan NSA (National Security Agency) di AS.

Suatu hari aku ingin memanfaatkan hubunganku dengan Meshaal. Aku katakan padanya aku punya keterangan penting yang tidak bisa kusampaikan lewat telepon.

“Apakah kau punya cara aman untuk menyampaikannya?” tanyanya.

“Tentu saja. Aku akan telepon kamu lagi dalam waktu seminggu dan memberi keterangan terperinci bagimu.”

Biasanya cara rahasia untuk berkomunikasi antar daerah Palestina dan Damaskus adalah dengan memberikan surat pada seorang kurir yang tidak punya catatan polisi dan tak berhubungan dengan Hamas. Surat² seperti ini ditulis di atas kertas yang sangat tipis, lalu digulung sampai jadi kecil sekali, dan dimasukkan ke dalam kapsul obat kosong atau dibungkus dengan kain nylon. Sebelum menyeberangi perbatasan, kurir harus menelan kapsul itu, lalu memuntahkannya di WC di tempat yang dituju. Kadang² kurir harus membawa 50 buah pesan sekaligus. Tentunya kurir juga tak tahu apa isi surat² tersebut.

Aku mengambil keputusan untuk melakukan hal yang berbeda dan membuka saluran baru rahasia di luar Palestina, dan dengan begitu memperluas akesku dari sekedar tingkat pribadi saja menjadi tingkat operasi dan keamanan organisasi.

Shin Bet senang sekali mendengar gagasanku.

Aku memilih anggota Hamas lokal dan mengatakan padanya untuk menemuiku di kuburan tua di tengah malam. Untuk membuatnya terkagum-kagum, aku datang sambil membawa senapan M16-ku.

“Aku ingin kau melakukan tugas yang sangat penting,” kataku padanya.

Dia jelas tampak ketakutan tapi juga tertarik dan ingin tahu. Dia mendengarkan setiap kata yang diucapkan putra Hassan Yousef.

“Kau tidak boleh memberitahu siapapun – tidak juga keluargamu, bahkan juga ketua Hamas. Ngomong², siapakah pemimpinmu?”

Aku memintanya untuk menulis seluruh pengalamannya dalam Hamas, apapun yang dia ketahui, sebelum aku bisa menerangkan lebih banyak padanya tentang tugas rahasia yang akan diembannya. Meskipun dia tidak bisa menuliskan semuanya di atas kertas dalam waktu singkat, aku sungguh merasa beruntung menerima kertas laporan itu karena keterangannya sangat banyak dan penting. Isinya termasuk keterangan² terbaru tentang setiap kegiatan di daerahnya.

Kami bertemu untuk keduakalinya, dan aku katakan padanya bahwa dia akan memintanya pergi keluar Palestina.

“Lakukan persis seperti apa yang kukatakan,” kataku memperingatkannya, “dan jangan banyak tanya.”

Aku beritahu Loai bahwa orang ini sangat terlibat dalam organisasi Hamas, dan merupakan pengikut Hamas yang aktif dan setia. Shin Bet memeriksa data tentang orang itu, tidak menganggapnya sebagai bahaya, dan membuka perbatasan ke Syria baginya untuk membawa suratku pada Khalid Meshaal.

Aku menulis surat pada Khalid Meshaal bahwa aku punya semua kunci ke Tepi Barat dan dia bisa bergantung padaku sepenuhnya untuk tugas² pelik dan khusus, jika dia tidak bisa menggunakan jalur Hamas yang biasa. Aku katakan bahwa aku siap menerima perintahnya, dan aku menjamin tugas akan dijalankan dengan sukses.

Waktuku menghubunginya sangat tepat, karena Israel telah membunuhi atau menangkapi sebagian besar pemimpin² dan aktivis Hamas saat itu. Brigade Al-Qassam juga telah kelelahan, dan Meshaal tidak punya banyak sumberdaya manusia.

Aku tidak menyuruh kurirku untuk menelan surat. Aku menciptakan desain pengiriman baru, karena hal itu mengasyikan bagiku. Aku suka dengan peralatan agen rahasia, terutama karena badan rahasia Israel menyediakan teknologinya.

Kami membeli baju baru yang sangat bagus bagi kurirku – baju jas komplit, sehingga perhatiannya teralihkan pada baju barunya dan bukan pada sepatunya di mana kami menyembunyikan surat untuk Khalid Meshaal.

Dia lalu mengenakan baju baru tersebut, dan aku memberinya cukup uang untuk melakukan perjalanan dan sedikit uang lebih untuk bersenang-senang di Syria. Aku katakan padanya bahwa orang yang akan menghubunginya hanya akan mengenalnya melalui sepatunya, jadi dia harus tetap memakai sepatu itu. Jika dia tidak memakai sepatu itu, maka mereka akan mengira dia adalah orang lain dan ini akan berbahaya baginya. Begitu penjelasanku padanya.

Setelah kurirku tiba di Syria, aku menelepon Khalid Meshaal dan mengatakan padanya bahwa sebentar lagi akan ada orang yang menghubunginya. Jika orang lain mengatakan pesan seperti itu padanya, Khalid akan jadi sangat curiga dan menolak bertemu. Tapi kurir ini telah dikirim oleh teman mudanya, putra Hassan Yousef. Makanya dia yakin dia tidak perlu khawatir.

Ketika kurirku bertemu dengan Khalid Meshaal, Khalid memintanya menyerahkan surat dariku.

“Surat apa?” kurirku bertanya. Dia tidak tahu bahwa dia memiliki surat itu.

Aku telah memberitahu Khalid untuk mencari surat itu di sepatu kurirku. Mereka lalu menemukan sebuah ruang kecil tersembunyi di salah satu sepatu kurirku. Dengan begitu, jalur baru komunikasi sudah dibuka dengan Damaskus, meskipun Khalid Meshaal tidak menyadari bahwa Shin Bet mengamati semua ini.
Sabilla
Posts: 1310
Joined: Mon Jul 20, 2009 8:23 pm

Re: Son of Hamas (Putra Hamas)

Post by Sabilla »

Sebuah buku yang mengharukan ! uwoOWWW...... [-(
User avatar
Adadeh
Posts: 8184
Joined: Thu Oct 13, 2005 1:59 am

Bab 20 - Duri

Post by Adadeh »

Bab 20 - Duri
Musim Panas 2001


Sewaktu jam hampir menunjukkan pukul 2 siang, di tanggal 9 Agustus, 2001, Izz al-Din Shuheil al-Masri yang berusia 22 tahun, meledakkan diri di toko pizza Sbarro yang padat pengunjung di persimpangan Jalan Raja George dan Jalan Jaffa. Al-Masri berasal dari keluarga terpandang di Tepi Barat.

Image Image
Serangan bom bunuh diri di toko pizza Sbarro di Yerusalem.

Bom yang dia bawa seberat sekitar 5 sampai 10 kg, dan bom meledak sambil melontarkan banyak paku, sekrup dan mur kepada kerumunan orang² di musim panas, membunuh 15 orang dan melukai 130 lainnya. Karena pemboman hebat ini dan juga pemboman Dolphinarium serupa beberapa bulan sebelumnya, masyarakat Israel bagaikan dibutakan oleh rasa duka dan amarah yang meluap. Siapapun kelompok yang melakukan serangan bom ini harus segera diketahui dan dihentikan sebelum banyak orang tak bersalah terbunuh lagi. Jika tidak segera dicegah, maka kejadian² seperti ini akan terus bergulir tak terkendali dan akhirnya akan berakibatkan kematian masal dan kesedihan tak terperikan di seluruh negara.

Shin Bet berulangkali mengumpulkan semua detail pemboman, sambil mencoba menghubungkan serangan bom ini dengan lima orang yang dulu kutempatkan di apartemen di Al Hajal, Ramallah - kelima orang ini adalah Muhammad Jamal al-Natsheh, Saleh Talahme, Ibrahim Hamed, Sayyed al-Sheikh Qassem, dan Hasaneen Rummanah. Meskipun begitu, Shin Bet tetap tidak menemukan bukti apapun yang menghubungkan mereka dengan pemboman² di Dolphinarium dan Sbarro.

Siapa yang mampu menciptakan bom sehebat itu? Tentunya bukan sekedar mahasiswa kimia dan teknik biasa saja. Kami tahu kelima orang itu, nilai² ujian mereka, dan apa yang mereka makan di pagi hari.

Siapapun yang merakit bom² ini tentunya adalah seorang ahli dalam bidangnya, dan tampaknya tak berhubungan dengan organisasi Palestina manapun, dan masih di luar radar pengamatan kami. Tetapi kami harus menemukan orang ini sebelum dia membuat bom baru. Orang ini sangat amat berbahaya.

Yang tak kami ketahui saat itu adalah orang² Arafat telah menerima telepon dari CIA tak lama setelah serangan bom Sbarro. “Kami tahu siapa yang membuat bom,” kata agen² Amerika pada mereka. “Namanya adalah Abdullah Barghouti; dia hidup bersama saudaranya Bilal Barghouti. Ini alamat rumah mereka. Cepat tangkap mereka.”

Image
Abdullah Barghouti sedih karena "hanya" mampu membunuh 66 orang Israel saja. Tampaknya dia akan punya kesempatan baru mendongkrak jumlah korbannya.

Dalam waktu beberapa jam saja, Abdullah dan Bilal Barghouti sudah berada ditangani PA - bukan karena Pemerintah Palestina ingin menangkap mereka, tapi agar uang dan dukungan logistik dari AS terus mengalir ke PA. Arafat tahu bahwa dia setidaknya harus menyiratkan bahwa PA berperan pula dalam menjaga perdamaian. Aku yakin Arafat lebih suka menganugerahkan medali penghargaan bagai Abdullah Barghouti daripada memenjarakannya.

Tak lama setelah Abdullah Barghouti berdiam dengan nyaman dalam Pusat Keamanan Pencegahan (Preventive Security Headquarters) milik PA, Barghouti yang lain - yakni Marwan Barghouti (bukan saudara dan tak ada hubungan darah dengan Abdullah Barghouti) yang adalah ketua Fatah, muncul untuk mencoba membebaskan Abdullah Barghouti. Tapi PA tidak mau membebaskan Abdullah - AS telah meletakkan Abdullah ke pangkuan PA, dan AS tentunya mengharapkan PA menangkap Abdullah. Israel juga berharap hal yang sama dengan AS, dan akan bersikap lebih keras jika PA tidak melakukan tanggungjawabnya. Maka Marwan memberi Abdullah makanan, pakaian, dan uang, dan mengganti penjara menjadi kurungan rumah saja - sehingga Abdullah tetap bisa bekerja di kantor yang nyaman, sambil merokok, menikmati kopi, dan ngobrol bersama para pejabat tinggi keamanan PA.

Image
Marwan Barghouti, ketua Fatah.

Meskipun bukan bersaudara, Marwan Barghouti dan Abdullah Barghouti memiliki banyak kesamaan latar belakang. Mereka berdua punya hubungan kuat dengan Muhaned Abu Halawa, psikopat yang berusia 23 tahun, dan juga ajudan dari Ahmad Ghandour (pemimpin Brigade Syahid Al-Aqsa).

Halawa adalah komandan medan perang Fatah dan anggota Pasukan 17. Jika kau membayangkan tentara komando elit seperti Pasukan 17 atau Garda Republik punya Saddam Hussein, tentunya yang terbayang adalah tentara yang sangat disiplin, ahli dalam berbagai hal, dan sangat terlatih. Tapi tidak begitu kenyataannya dengan Halawa. Dia adalah orang tak berpendidikan yang berperilaku seenaknya, sambil pergi ke mana² membawa senjata² berat yang diletakkan di mobil Jeepnya. Halawa secara rutin membagi-bagikan senjata² ini pada para extrimis dan orang² tak bermoral, yang lalu segera membawa senjata² itu ke pos² pemeriksaan untuk menembaki para prajurit dan warga Israel secara membabi-buta.

Contoh perbuatan mereka bisa dilihat di bulan Mei, ketika Halawa memberikan dua buah senjata AK-47 dan sekarung peluru pada seorang pria. Tak lama kemudian, pria ini dan temannya bersembunyi untuk melakukan serangan mendadak di jalanan keluar Yerusalem dan mereka menembakkan 13 peluru kepada biarawan Kristen Yunani Ortodox bernama Tsibouktsakis Germanus. Halawa menghadiahi para pembunuh ini dengan lebih banyak senjata untuk melakukan serangan yang direncanakannya di Universitas Ibrani di Bukit Scopus.

Mudah dimengerti jikalau Pemerintah Israel menugaskan Shin Bet untuk menyingkirkan Halawa selamanya. Karena koneksiku dengan Hamas, maka aku adalah satu²nya orang yang bisa mengenalinya. Tapi untuk pertamakalinya dalam hidupku, aku menghadapi dilema moral yang berat. Bathinku menolak untuk membunuh orang ini, meskipun dia sangat jahat.

Aku pulang ke rumah dan mengambil Alkitab Perjanjian Baruku yang sekarang sudah kumel karena terlalu sering kubaca. Aku mencari dan mencari, tapi tak menemukan keterangan yang mengijinkan pembunuhan. Tapi aku juga takut akan darah korban yang melumuri tanganku jika aku membiarkan Halawa tetap hidup dan terus membunuhi orang². Aku merasa bingung.

Aku terus berpikir dan akhirnya berdoa pada Tuhan yang Maha Kuasa, sampai akhirnya aku mengatakan, Ampuni aku, Tuhan, untuk apa yang akan kulakukan. Ampuni aku. Orang ini tidak bisa dibiarkan terus hidup.

“Wah, bagus tuh,” kata Laoi, ketika kusampaikan keputusanku. “Kita akan membereskan orang ini. Kau hanya perlu meyakinkan bahwa Marwan Barghouti tidak sedang bersama Halawa dalam mobil.”

Marwan bukan hanya tokoh penting Palestina, tapi dia juga teroris tulen yang tangannya berlumuran darah orang² Israel yang dibunuhnya secara pribadi. Meskipun Shin Bet sangat membencinya, tapi mereka tidak mau membunuhnya, karena itu hanya akan membuat Marwan tampak sebagai pahlawan syahid yang hebat.

Di tanggal 4 Agustus, 2001, aku sedang duduk di mobilku di luar kantor Marwan Barghouti sewaktu kulihat Halawa berjalan masuk kantor. Dua jam kemudian, dia keluar kantor, masuk ke dalam mobil VW Golf warna emas, dan lalu pergi. Aku menelepon Shin Bet dan mengatakan bahwa Halawa berada sendirian dalam mobilnya.

Dari dalam sebuah tank di puncak bukit, prajurit² IDF mengamati kedatangan mobil Halawa, menunggu sampai tiada warga sipil didekatnya, untuk menembaknya. Sebuah peluru tank ditembakkan ke arah jendela depan mobilnya, tapi tampaknya Halawa melihat itu, sehingga dia meloncat keluar mobil. Mobilku - hanya berjarak beberapa ratus meter darinya - terguncang karena kekuatan ledakan. Peluru kedua meleset dan mengenai aspal jalanan. Mobil VW Gold terbakar hebat, dan begitu juga Halawa - tapi dia belum mati. Sewaktu aku melihatnya berlari di jalanan sambil menjerit-jerit kesakitan dengan api menyelimuti tubuhnya, jantungku berdetak keras sekali seakan mau meloncat keluar dari dadaku.

Waduh, kasihan sih sebenarnya.

“Ngapain kamu di sana?!” jerit Shin Bet melalui ponselku ketika mereka melihat mobilku tampak dekat dengan tempat kejadian. “Apakah kau mau mati? Pergi segera!”

Meskipun sebenarnya aku tidak boleh berada dekat tempat serangan, aku menyetir mobilku ke sana untuk melihat apa yang akan terjadi. Aku merasa bertanggungjawab dan wajib tahu karena aku adalah bagian dari operasi ini. Memang keputusanku itu ****. Jika orang Palestina melihat mobilku di situ, maka mereka akan tahu bahwa aku terlibat dalam usaha pembunuhan Halawa.

Di malam harinya, aku pergi bersama ayah dan Marwan Barghouti ke rumah sakit untuk menjenguk Halawa. Wajahnya terluka hebat sampai² aku tak berani melihatnya. Tapi dia tampak terlalu fanatik untuk bisa mati semudah itu.

Dia menyembunyikan diri selama beberapa bulan, dan kudengar dia tidak sengaja menembak dirinya sendiri sampai² hampir mati kehabisan darah. Tapi bahkan ini pun tidak sanggup membuatnya berhenti membunuhi orang² Israel. Dia tetap saja melakukan hal itu. Lalu di suatu hari, Loai meneleponku.

“Ada di mana kamu?”

“Aku sedang berada di rumah.”

“Baiklah, tetap tinggal di sana.”

Image
Helikopter Apache Israel yang didapat dari AS.

Aku tak bertanya apa yang sedang terjadi. Aku telah belajar untuk mentaati petunjuk Loai. Dua jam kemudian, Loai menelepon lagi. Rupanya, Halawa sedang makan bersama beberapa temannya di restoran ayam goreng tak jauh dari rumahku. Seorang mata² Israel melihatnya dan memberitahu Shin Bet tentang hal itu. Ketika Halawa dan teman²nya meninggalkan restoran, dua helikopter Israel muncul di udara dan menembakkan misil. Selesai sudah riwayat mereka.

Setelah Halawa dibunuh, beberapa anggota Brigade Syahid Al-Aqsa datang ke restoran dan menemukan pemuda usia 17 tahun yang adalah satu dari orang² yang telah terakhir kali ditemui Halawa sebelum dia masuk mobil. Pemuda ini adalah yatim piatu tanpa keluarga yang melindunginya. Maka mereka menyiksanya sedemikian rupa sampai dia mengaku sebagai mata² Israel. Mereka menembaknya, mengikat tubuhnya di bagian belakang mobil, menyeretnya di sepanjang jalanan Ramallah, dan menggantungnya di menara alun².

Di saat yang sama, media mulai menjeritkan bahwa Israel telah berupaya membunuh Marwan Barghouti, tapi tentunya berita ini salah. Aku tahu betul bahwa Shin Bet tidak berusaha membunuhnya. Tapi tampaknya semua orang lebih percaya pada koran dan Al-Jazira, sehingga Marwan Barghouti lalu mengambil kesempatan dari kejadian ini. Dia mulai membual, “Iya, memang mereka mencoba membunuhku, tapi aku lebih cerdik daripada mereka.”

Ketika Abdullah Barghouti mendengar tentang berita itu di penjara, dia mempercayai ucapan Marwan Barghouti dan mengirim bom² rakitannya ke para pembantu Marwan untuk dipakai dalam rangka balas dendam terhadap orang² Israel. Marwan sangat berterima kasih atas usaha Abdullah dan merasa berhutang budi padanya.

*******************
Munculnya Abdullah Barghouti mengakibatkan terjadinya perubahan dramatis dalam konflik antara Israel dan Palestina. Pertama, bom rakitannya jauh lebih canggih dan lebih dahsyat daripada yang pernah kami lihat sebelumnya, dan hal ini membuat Israel lebih mudah diserang dan menambah tekanan pada badan keamanan Israel untuk segera menghentikan serangan² bom.

Kedua, Intifada Al-Aqsa tidak lagi terbatas di Palestina saja. Abdullah Barghouti adalah orang luar, yang lahir di Kuwait. Ancaman apa lagi yang mengincar Israel di perbatasannya?

Ketiga, Abdullah Barghouti bukanlah orang yang bisa dengan mudah dilacak. Dia bukan anggota Hamas atau PA. Dia hanya seorang diri saja, yang bagaikan mesin kematian misterius yang bekerja sendiri.

Tak lama setelah penangkapan Abdullah Barghouti, PA meminta Marwan untuk bertanya padanya apakah ada serangan² berikut yang direncanakannya.

“Baiklah,” kata Marwan. “Aku akan minta Hassan Yousef bicara padanya.”

Marwan tahu ayahku sangat menentang korupsi politik dalam Pemerintahan Palestina dan telah mendengar usaha ayah untuk mendamaikan Hamas dan PA. Dia menelepon ayahku, dan ayah setuju untuk bicara dengan Abdullah Barghouti.

Ayah sebelumnya belum pernah bertemu dengan Abdullah Barghouti, yang sudah jelas bukanlah anggota Hamas. Ayah memperingatkan Abdullah, “Jika kau punya rencana rahasia, kau harus memberitahu PA agar kita bisa menundanya, sehingga Israel tidak menekan kita lebih hebat lagi, setidaknya sampai beberapa minggu. Jika terjadi pemboman sehebat bom² yang meledakkan Dolphinarium atau Sbarro, Israel akan menyerang Tepi Barat dengan kekuatan penuh. Mereka akan menangkapi para pemimpin PA, termasuk kamu juga.”

Abdullah mengakui bahwa dia telah mengirim sejumlah bom ke Nablus, di mana para teroris akan memasukkan bom² itu ke dalam empat buah mobil, mengelilingi Perdana Menteri Israel Shimon Peres ketika dia sedang berada di perjalanan, dan meledakkan keempat mobil itu untuk membunuh Shimon Peres. Dia juga mengaku bahwa sebagian aggota Hamas di utara akan membom beberapa pejabat negara Israel. Tapi dia tidak tahu siapakah para pembom ini, siapa target mereka, atau siapa yang merencanakan pembunuhan Peres. Dia hanya punya nomer telepon mereka saja.

Ayahku pulang ke rumah dan memberitahu aku apa yang baru saja diketahuinya. Kami menduga mereka akan membunuh salah satu pejabat Israel yang tertinggi, yakni Menteri Luar Negeri. Perkembangan ini menegangkan.

Tentu saja kami lalu berusaha untuk menelepon orang yang menelepon Abdullah. Marwan Barghouti tidak mau Abdullah menggunakan teleponnya dan ayahku juga tidak mau Abdullah menggunakan teleponnya pula. Kami menyadari bahwa Israel akan menyadap pembicaraan telepon, dan tiada seorang pun dari mereka yang ingin terlibat dalam operasi teroris besar ini.

Maka ayahku menyuruhku membeli ponsel yang setelah selesai dipakai, bisa langsung dibuang. Aku membeli telepon, menulis nomer teleponnya, dan memberi tahu Shin Bet agar mereka bisa menyadapnya.

Abdullah lalu menelepon para penghubungnya di Nablus dan memberitahu untuk menunda melakukan serangan bom sampai ada perintah baru. Setelah pihak keamanan Israel tahu akan rencana pembunuhan ini, mereka menjaga para pejabat anggota Knesset dan Kabinet Negara lebih ketat lagi. Akhirnya, setelah dua bulan penuh serangan bom, keadaan jadi lebih tenang lagi.
Di saat itu, Marwan tetap berusaha membebaskan Abdullah Barghouti, karena Abdullah tidak hanya mampu merakit bom² canggih baginya, tapi juga karena Marwan ingin Abdullah bebas melanjutkan pembunuhan atas orang² Israel lagi. Selain merupakan salah seorang pemimpin dalam Intifada Kedua, Marwan Barghouti juga adalah seorang teroris murni yang secara pribadi suka menembaki prajurit² dan warga sipil Israel.

Akhirnya PA membebaskan Abdullah Barghouti. Shin Bet jadi sangat murka.

Lalu semuanya menjadi lebih kacau lagi.
User avatar
Adadeh
Posts: 8184
Joined: Thu Oct 13, 2005 1:59 am

Bab 21 - Permainan

Post by Adadeh »

Bab 21 - Permainan
Musim Panas 2001 - Musim Semi 2002


Pada tanggal 27 Agustus, 2001, sebuah helikopter Israel menembakkan dua buah roket ke kantor Abu Ali Mustafa, sekretaris jendral PFLP. Satu dari roket² itu menghajarnya saat dia duduk di kantornya.

Image
Abu Ali Mustafa, ketua PFLP.

Keesokan harinya, lebih dari 50.000 masyarakat Palestina yang marah, dan juga keluarga Mustafa, menghadiri penguburannya. Mustafa telah menentang proses perdamaian dan isi Perjanjian Oslo. Meskipun begitu, dia adalah Muslim moderat sama seperti ayahku, dan kami sering pergi bersama untuk mendengarkan ceramahnya.

Israel menuduhnya melakukan sembilan serangan bom mobil, tapi hal ini tidak benar. Sama seperti ayahku, dia adalah pemimpin politik, dan bukan pemimpin militer. Israel tidak punya bukti apapun terhadap dirinya. Tapi tampaknya itu tak jadi masalah. Mereka tetap saja membunuh Mustafa - mungkin sebagai balas dendam pembantaian di Sbarro atau di Dolphinarium. Atau kemungkinan besar mereka ingin menyampaikan peringatan pada Yasser Arafat. Selain menjadi ketua PFLP, Mustafa juga adalah anggota Komite Pelaksana PLO.

Image
Serangan teroris Muslim 9/11 di AS.

Dua minggu kemudian, pada tanggal 11 September, sembilan belas teroris Al-Qaeda membajak empat pesawat jet AS. Dua pesawat yang diterbangkan teroris menabrak dua gedung World Trade Center di New York City. Pesawat ketiga jatuh di gedung Pentagon di Washington DC. Pesawat yang keempat jatuh di lapangan County Somerset, Pennsylvania. Semua korban berjumlah 2.973, termasuk para teroris itu sendiri.

Sewaktu berbagai media berlomba memberitakan kejadian luar biasa ini, aku duduk bersama orang² seluruh dunia melihat berulang-ulang tayangan jatuhnya Gedung Kembar itu, di mana abu putih menutupi Jalan Gereja bagaikan badai salju di bulan Februari. Aku merasa malu melihat cuplikan film anak² Palestina bersorak-sorai merayakan serangan itu di jalanan Gaza.

Serangan ini membuat usaha perlawanan Palestina terhadap Israel jadi hangus, sewaktu seluruh dunia berteriak dengan satu pesan melawan terorisme – pokoknya segala macam terorisme, apapun tujuannya. Dalam beberapa minggu berikutnya, Shin Bet mulai mengambil pelajaran dari peristiwa 9/11 tersebut.

Mengapa organisasi² kemanan rahasia AS tidak mampu mencegah malapetaka tersebut? Jawabannya adalah: pertama, masing² organisasi tersebut ternyata bekerja sendiri² dan malah saling bersaing dan kurang ada kerjasama. Kedua, mereka kebanyakan bergantung pada teknologi dan jarang bekerjasama dengan para teroris. Taktik seperti ini mungkin cocok dalam Perang Dingin (melawan komunis), tapi sungguh sukar melawan orang² yang menganut ideologi fanatik dengan bantuan teknologi saja.

Di lain pihak, organisasi kemanan rahasia Israel kebayakan bergantung pada sumberdaya manusia; dan mereka punya mata² yang tak terhingga jumlahnya di mesjid², organisasi² Islam, dan berbagai badan kepemimpinan. Mereka bahkan sanggup merekrut teroris² yang terganas sekalipun. Mereka tahu bahwa mereka perlu memiliki mata dan telinga di bagian dalam, dan juga pikiran untuk mengerti motif dan emosi, yang semuanya dibutuhkan untuk menghubungkan keterangan satu dan yang lain untuk menghasilkan pemahaman yang lengkap.

Amerika tidak tahu apapun tentang ideologi dan budaya Islam. Selain itu, bagian perbatasan AS dibiarkan terbuka dan keamanan sangat lemah, sehingga AS jadi target yang jauh lebih empuk dibandingkan Israel. Meskipun perananku sebagai mata² memungkinkan Israel menangkapi ratusan teroris di jalanan, kami tetap saja tidak mampu menghentikan terorisme sepenuhnya - bahkan di negara sekecil Israel.

Image
Rehavam Ze’evi, Menteri Turisme Israel.

Sekitar sebulan kemudian, di tanggal 17 Oktober, empat orang bersenjata PFLP masuk ke Hotel Hyatt Yerusalem dan membunuh Menteri Turisme Rehavam Ze’evi. Mereka mengatakan pembunuhan ini adalah tindakan balas dendam atas pembunuhan Mustafa. Meskipun tampaknya bidang Ze’evi tidak banyak terlibat dalam politik, tapi sudah bisa ditebak bahwa dia akan jadi target penyerangan. Hal ini karena dia secara terang²an menganjurkan kebijaksanaan politik yang membuat hidup tiga juta masyarakat Palestina jadi sangat sengsara di Jalur Gaza dan tepi Barat, sehingga akhirnya mereka dengan sukarela mengungsi ke negara² Arab lainnya. Sewaktu diwawancarai oleh wartawan Associated Press, Ze’evi mengatakan bahwa sebagian rakyat Palestina bagaikan ‘kutu penghisap darah’ yang harus dibasmi seperti membasmi ‘kanker yang menyebar dalam tubuh kita.’ [8]
[8]”Berita kematian: Rehavam Zeevi,” BBC News, 17 Oktober, 2001, http://news.bbc.co.uk/2/hi/middle_east/1603857.stm (diakses tanggal 24 November, 2009).


Mata ganti mata, gigi ganti gigi, dan saling bunuh karena dendam terus berlangsung. Sementara itu, masih banyak mata dan gigi yang tersedia.

Aku telah bekerja keras selama beberapa tahun untuk mengumpulkan semua keterangan sebisa mungkin untuk menolong Shin Bet menghentikan pertumpahan darah. Kami terus mengamati Muhammad Jamal al-Natsheh, Saleh Talahme, dan tiga orang lainnya yang dulu kuantar ke apartemen setelah mereka keluar dari penjara PA. Mereka berubah-ubah tempat tinggal, dan hanya Saleh saja yang tepat berhubungan denganku. Tapi kami tetap mengawasi keempat orang lainnya melalui keluarga mereka dan menyadap percakapan telepon mereka.

Saleh percaya padaku. Dia selalu mengatakan di mana dia tinggal dan sering mengundangku untuk bertamu. Setelah aku mengenalnya, aku sangat suka bersahabat dengannya. Dia adalah orang yang mengagumkan - ilmuwan cerdas, lulus sebagai insinyur terpandai di kelasnya, dan salah satu mahasiswa terbaik di Universitas Birzeit. Baginya, aku adalah putra Hassan Yousef, dan juga teman baik dan pendengar yang setia.

Aku sering bertemu dengannya; aku mengenal istrinya yakni Majeda dan juga kelima anak²nya (dua anak laki dan tiga anak perempuan). Putra sulungnya bernama Mosab, sama seperti namaku. Majeda dan anak²nya datang ke Ramallah dari Hebron untuk menjenguk Saleh di apartemen rahasia tempatnya bersembunyi. Saat itu aku masih berusaha menyelesaikan pendidikan S1-ku. Di suatu petang, Saleh bertanya bagaimana studiku.

“Ada kesulitan dengan bahan kuliah?”

“Iya nih, Statistik Ekonomi.”

“Baiklah, besok bawa kemari bukumu dan kita akan duduk bersama dan belajar bagaikan di kelas kecil.”

Ketika aku katakan pada Loai dan Shin Bet tentang hal itu, mereka senang. Mereka berpikir kegiatan belajar bersama ini merupakan penyamaran yang baik bagiku.

Tapi sebenarnya hal ini tidak sepenuhnya penyamaran, karena aku dan Saleh memang berteman baik. Dia mengajarku, dan aku berhasil mendapatkan angka ujian yang sangat baik dua minggu kemudian. Aku mengasihinya dan keluarganya. Aku pun sering bertamu dan makan di tempatnya. Kami menjadi sahabat erat. Ini tentunya hubungan yang aneh karena saat itu aku sudah tahu bahwa Saleh adalah orang yang sangat berbahaya. Tapi di lain pihak, demikian pula aku baginya.
*******************
Pada malam di tanggal 2 Maret, 2002, aku sedang duduk di rumah ketika dua orang pria datang ke rumah.

Dengan rasa curiga aku bertanya padanya, “Apakah ada yang bisa kutolong?”

“Kami mencari Syeikh Hassan Yousef. Ini hal penting.”

“Katakan padaku mengapa penting.”

Mereka menerangkan bahwa mereka adalah dua dari lima pembom bunuh diri yang baru saja tiba dari Yordania. Orang penghubung mereka baru saja ditangkap, dan mereka butuh tempat aman untuk tinggal.

“Baiklah, “kataku. “Kau datang di tempat yang tepat.”

Aku tanya apa yang mereka butuhkan.

“Kami bawa mobil penuh dengan bahan peledak dan bom, dan kami butuh tempat aman untuk parkir mobil.”

Waduh, pikirku, apa yang harus kulakukan dengan mobil penuh bahan peledak? Aku harus cepat berpikir. Aku mengambil keputusan untuk menyimpan mobil di garasi di sebelah rumah kami. Ini tentunya bukan gagasan yang baik, tapi aku harus cepat mengambil keputusan saat itu juga.

“Baiklah, ini uang bagi kalian,” kataku sambil mengosongkan dompetku. “Silakan cari tempat untuk tinggal, kembali padaku lagi malam ini, dan kita rencanakan apa yang harus kita lakukan.”

Setelah mereka pergi, aku telepon Loai, dan aku lega ketika Shin Bet datang dan membawa pergi mobil itu.

Kelima pembom bunuh diri kembali ke rumahku dalam waktu singkat. “Baiklah,” kataku pada mereka, “mulai sekarang, akulah koneksi kalian dengan Hamas. Aku akan menyediakan kalian target, lokasi, transportasi, dan segala yang kalian butuhkan. Jangan bicara pada siapapun, atau kalian bisa² terlanjur terbunuh sebelum mampu membunuh satu orang Israel saja.”

Kesempatan ini bagaikan menemukan durian runtuh, karena selama ini tiada seorang pun yang mengetahui para pembom bunuh diri sebelum mereka meledakkan bom. Sekarang tiba² saja lima calon pembom bunuh diri muncul di hadapanku dengan mobil penuh dengan bom. Tiga puluh menit kemudian aku memberitahu Shin Bet tentang lokasi mereka. Perdana Menteri Sharon memerintahkan agar mereka dibunuh.

“Wah, ya tidak bisa,” kataku pada Loai.

“Apa?!”

“Aku tahu mereka adalah teroris, dan mereka akan meledakkan diri. Tapi kelima orang ini **** dan tak tahu apa yang mereka lakukan. Kau tidak boleh membunuh mereka. Jika kau membunuh mereka, maka ini adalah terakhir kali aku membantumu.”

“Kau ini mengancam kami?”

“Tidak, tapi kau tahu bagaimana aku bekerja. Aku membuat satu perkecualian dengan Halawa, dan kau tentunya ingat bagaimana kesudahannya. Aku tidak mau lagi jadi bagian pembunuhan orang.”

“Apa ada pilihan lain?”

“Tangkap mereka,” kataku, meskipun aku tahu ini berbahaya sekali. Kami memang telah memiliki mobil dan bom mereka, tapi mereka masih punya sabuk penuh bom pula. Jika mereka melihat seorang prajurit berada dalam jarak 100 meter dari kamar mereka, mereka tentunya akan meledakkan sabuk bom dan membunuh semua orang di sekitarnya.

Bahkan jikalau sekalipun kami berhasil menangkap mereka semua tanpa ada korban nyawa, mereka pasti akan menyebut namaku pada interogator mereka di penjara, sehingga aku pasti ketahuan. Yang termudah tampaknya memang membiarkan saja helikopter meluncurkan roket² ke apartemen mereka, dan beres sudah.

Tapi hati nuraniku tidak bisa membiarkan itu terjadi. Meskipun belum jadi Kristen, aku benar² mencoba melakukan ajaran Yesus. Allâh tidak keberatan dengan pembunuhan dan malah mewajibkannya. Tapi Yesus menarikku ke standard yang lebih tinggi. Sekarang aku tidak tega untuk membunuh, bahkan teroris sekalipun.

Di saat yang sama, aku juga telah jadi aset yang sangat berharga bagi Shin Bet. Mereka tidak senang dengan keadaan ini, tapi mereka akhirnya setuju untuk membatalkan rencana pembunuhan.

“Kita harus tahu apa yang berlangsung dalam kamar itu,” kata mereka padaku. Aku datang ke apartemen mereka dengan berdalih membawa perabot² sederhana yang mereka butuhkan. Mereka tak mengetahui bahwa kami memasang alat penyadap pada perabotan tersebut sehingga kami bisa mendengar pembicaraan mereka. Bersama-sama Shin Bet, aku mendengarkan mereka diskusi siapa yang akan mati pertama, kedua, ketiga, dan seterusnya. Semua ingin jadi orang pertama yang mati sehingga mereka tidak usah melihat rekannya meledak. Sungguh mengerikan. Rasanya bagaikan mendengarkan sekelompok orang mati mengobrol.

Pada tanggal 16 Maret, pasukan keamanan bersiaga di sekitar apartemen itu. Apartemen para pembom itu berada di tengah² kota Ramallah, sehingga IDF tidak bisa membawa tank. Karena pasukan harus berjalan kaki, operasi penyergapan ini sangat berbahaya. Aku mengikuti semua kegiatan dari tempatku, dan Loai bicara denganku di telepon dan memberitahu apa yang sedang terjadi.

“Mereka sekarang akan tidur.”

Kami menunggu sampai terdengar suara dengkuran dari monitor. Akan bahaya sekali jika mereka terbangun. Pasukan tentara harus bisa masuk dan mencapai ranjang sebelum para pembom bisa bergerak.

Seorang prajurit memasang bom di gagang pintu, dan kami mendengarkan monitor untuk mendeteksi suara apapun yang menandakan mereka terjaga. Para prajurit sekarang memberi tanda aba² untuk siap beraksi.

Pintu diledakkan, dan pasukan khusus anti teroris menyerbu masuk ke apartemen kecil itu, menangkap semua teroris kecuali satu orang. Dia mengambil senjata dan berlari keluar jendela. Dia mati sebelum menghujam lantai.

Semua orang menarik napas lega, kecuali aku. Begitu pasukan keamanan membawa mereka ke dalam Jeep tentara, salah seorang dari mereka menyebut namaku sebagai mata² Israel.

Apa yang amat kukhawatirkan telah benar² terjadi. Aku telah ketahuan. Sekarang gimana dong?

Loai punya jalan keluar. Shin Bet mendeportasi orang tersebut kembali ke Yordania, dan mengirim teman²nya yang lain ke penjara. Jadi tatkala orang tersebut bebas kembali ke rumahnya dan senang bertemu dengan keluarganya, ketiga pembom lainnya yang dipenjara tentu mengira dialah yang mengkhianati mereka, dan bukan aku. Ini adalah solusi yang sangat cerdik.

Aku selamat sekali lagi, tapi nyaris ketahuan. Tapi sudah jelas bahwa aku kurang berhati-hati.
*******************
Image
Avi Dichter, ketua Shin Bet di tahun 2002.

Suatu hari, aku menerima pesan dari ketua Shin Bet yakni Avi Dichter, yang berterima kasih padaku atas pekerjaan yang kulakukan bagi mereka. Dia berkata bahwa dia telah memeriksa semua arsip perang Israel melawan terorisme dan menemukan nama Pangeran Hijau di setiap arsip. Meskipun membanggakan, tapi hal ini juga merupakan suatu peringatan. Aku menyadari akan hal ini, begitu juga Loai. Jika aku terus melakukan hal yang sama, aku tentunya akan mati karena ketahuan. Jejak langkahku sudah terlalu panjang. Seseorang akhirnya akan bisa mengendusnya. Entah bagaimana caranya, tapi penting untuk menghapus jejakku.

Sikap keras kepalaku untuk menolak lima pembom tersebut dibunuh juga telah mempersulit keadaanku. Meskipun semua orang yakin bahwa pembom yang dikirim balik ke Yordania berkhianat sehingga teman²nya tertangkap, mereka juga tahu bahwa Israel tak akan ragu menangkap siapapun yang membantu para pembom tersebut. Dan mereka tahu aku sudah jelas banyak membantu para pembom bunuh diri itu. Sekarang masalahnya: mengapa aku belum juga ditangkap IDF?

Seminggu setelah penangkapan para pembom bunuh diri tersebut, tim keamanan Israel menyampaikan dua gagasan yang dapat menyelamatkan diriku agar tetap tak ketahuan. Pertama, mereka bisa menangkapku dan mengembalikan aku ke penjara. Tapi aku khawatir ini bisa mengakibatkan kematian ayah, karena tidak lagi dilindungi diriku.

“Pilihan lain bagi kita adalah melakukan sebuah permainan.”

“Permainan apa?”

Loai menjelaskan bahwa kami harus menyelenggarakan penangkapan besar, yang bisa meyakinkan semua orang Palestina bahwa Israel benar² ingin menangkap atau membunuhku. Agar tampak meyakinkan, hal ini harus dilakukan secara nyata dan tidak bersandiwara. IDF (Israeli Deffence Force) harus benar² mengira bahwa mereka harus menangkapku. Ini berarti Shin Bet harus menipu IDF – sekutu mereka sendiri.

Shin Bet memberi waktu IDF hanya beberapa jam saja untuk mempersiapkan operasi besar ini. Shin Bet mengatakan pada IDF bahwa sebagai putra Hassan Yousef, aku adalah orang yang sangat berbahaya, karena aku punya hubungan erat dengan para pembom bunuh diri dan kemungkinan bersenjata bom pula. Shin Bet mengatakan mereka mendengar laporan mata² bahwa aku akan datang ke rumah ayahku pada malam itu untuk menengok ibuku. Aku hanya akan tinggal untuk waktu singkat, dan aku bersenjata M16.

Bukan main permainan tipu-tipuan ini.

IDF dibuat yakin bahwa aku adalah teroris kelas hiu yang bisa hilang lenyap dengan cepat jika mereka gagal menangkapku. Karena itu IDF berjanji akan melakukan yang terbaik agar mereka tidak gagal. Pasukan keamanan khusus datang memakai pakaian Arab, bersama para penembak jarak jauh. Mereka masuk ke kota dengan mengendarai mobil Palestina, dan berhenti dalam jarak dua menit menyetir dari rumahku, sambil menunggu aba² dari Shin Bet. Tank² berat sudah berada dalam posisi 15 menit dari perbatasan wilayah Palestina. Helikopter² dengan senjata lengkap sudah siap untuk membantu dari udara, jika saja para feda’iyin Palestina menyerang pasukan IDF di jalanan.

Di luar rumah ayahku, aku duduk di mobilku sambil menunggu panggilan telepon dari Shin Bet. Mereka memberitahu bahwa jika telepon berdering, aku hanya punya waktu 60 detik tepat untuk melarikan diri sebelum pasukan keamanan datang mengepung rumahku. Aku tidak boleh melakukan kesalahan.

Terasa tusukan rasa sesal di hatiku membayangkan betapa takutnya ibu dan adik² kecilku di tengah penyerangan tersebut. Seperti biasa, mereka harus membayar harga bagi tindakan yang dilakukan ayah dan diriku.

Aku melihat kebun bunga ibu yang indah. Dia telah mengumpulkan bunga² tersebut dari berbagai tempat, juga dari teman² dan keluarganya. Dia merawat bunga²nya bagaikan merawat anak²nya.

“Berapa banyak bunga lagi yang kita butuhkan?” kadang² aku menggodanya.

“Hanya sedikit tambahan lagi, kok,” begitu selalu jawab ibu.

Aku ingat saat dia menunjuk ke satu bunga dan berkata, “Tanaman ini lebih tua daripada dirimu. Ketika kau masih anak², kau memecahkan potnya, tapi aku menyelamatkannya dan sampai sekarang tanaman itu masih hidup.”

Apakah tanaman itu masih bisa terus hidup beberapa menit dari sekarang setelah pasukan khusus muncul dan menginjaknya?

Ponselku berdering.

Darah terasa mengalir deras dalam kepalaku. Hatiku berdebar-debar. Aku menyalakan mesin mobil dan langsung melajukan mobil ke tengah kota menuju tempat persembunyian rahasia yang baru. Aku tidak berpura-pura lagi jadi buronan. Para pasukan tentunya lebih memilih membunuhku daripada menangkapku saat ini. Semenit setelah aku pergi, sepuluh mobil sipil dengan nomer mobil Palestina datang dan menginjak rem kuat² di depan rumah. Pasukan khusus Israel mengepung rumahku, senapan otomatis mengarah ke setiap jendela dan pintu. Halaman depan rumah² para tetangga penuh dengan anak², termasuk adik lakiku Naser. Mereka berhenti main sepakbola dan berlarian ketakutan.

Setelah pasukan berada dalam posisi siaga, lebih dari dua puluh tank menderu masuk. Sekarang seluruh masyarakat kota datang untuk menonton apa yang terjadi. Aku bisa mendengar suara mesin disel raksasa menderu hebat dari tempat persembunyianku. Ratusan militan Palestina bersenjata datang ke rumah ayah dan mengelilingi IDF. Tapi mereka tidak bisa menembak karena banyak anak kecil sedang berlarian untuk mencari perlindungan dan karena keluargaku masih berada di dalam rumah.

Ketika para feda’iyin muncul, maka helikopter juga dipanggil. Aku tiba² berpikir mungkin sebaiknya aku membiarkan saja kelima pembom bunuh diri itu dibunuh. Jika aku tidak melarang IDF meluncurkan bom pada mereka, tentunya keluarga dan para tetanggaku tidak terancam resiko besar seperti sekarang. Jika ada saudaraku yang mati tertembak karena pengepungan ini, aku tak akan bisa memaafkan diriku.

Agar yakin hasil karya kami jadi berita besar, aku memberi keterangan pada Al-Jazira bahwa akan terjadi penyerangan besar di rumah Syeikh Hassan Yousef. Mereka semua mengira akhirnya Israel akan menangkap ayah, dan mereka ingin merekam peristiwa penangkapannya saat itu juga. Aku bisa membayangkan reaksi mereka tatkala melalui pengeras suara para pasukan meminta putra Syeikh yang tertua, Mosab, untuk keluar rumah dengan tangan di atas kepala. Setelah aku tiba di apartemen rahasiaku, aku menyalakan TV dan menonton drama penangkapan itu bersama dengan seluruh dunia Arab.

Pasukan mengumpulkan keluargaku keluar dari rumah dan menanyai mereka satu per satu. Ibuku berkata pada mereka bahwa aku pergi satu menit sebelum mereka tiba. Tentu saja mereka tak percaya keterangan ibuku. Mereka lebih percaya pada Shin Bet, pihak yang mengatur semua permainan ini. Ketika aku tetap juga tidak muncul untuk menyerah, maka pasukan Israel mengancam akan mulai menembak ke dalam rumahku.

Selama waktu sepuluh menit, semua orang menunggu dengan tegang. Tak lama kemudian, sebuah misil mendesis di udara dan meledakkan separuh rumahku. Para pasukan berlarian masuk ke dalam rumah. Aku tahu mereka memeriksa setiap rumah. Tapi mereka tak menemukan mayatku sama sekali.

IDF sangat malu dan marah sekali karena aku berhasil melarikan diri dari cekalan mereka. Jika mereka menangkap aku sekarang, Loai memperingatkan aku di telepon, mereka akan menembakku di tempat. Bagi kami, operasi itu sungguh sukses. Tiada seorang pun yang terluka, dan namaku seketika tercantum dalam daftar teroris yang paling dicari. Seluruh kota membicarakan tentang diriku. Dalam waktu semalam saja, aku telah menjadi teroris berbahaya.

Dalam beberapa bulan setelah itu, aku punya tiga prioritas: menghindari tentara Israel, melindungi ayahku, dan terus mengumpulkan keterangan.
User avatar
Adadeh
Posts: 8184
Joined: Thu Oct 13, 2005 1:59 am

Bab 22 - Perisai Pertahanan

Post by Adadeh »

Bab 22 - Perisai Pertahanan
Musim Semi 2002


Kekerasan semakin meningkat dengan kecepatan yang memusingkan kepala.

Orang² Israel ditembaki, ditusuk, dan dibom. Orang² Palestina dibunuhi. Ronde demi ronde balas dendam terus berlangsung, dan semakin cepat. Masyarakat internasional mencoba menekan Israel tapi imbauan ini sia² saja.

“Hentikan pendudukan ilegal... Hentikan pemboman terhadap warga sipil, pembunuhan, dan penggunaan kekerasan yang tak berguna, penghancuran rumah, dan penghinaan setiap hari terhadap masyarakat Palestina,” tuntut sekjen PBB Kofi Annan di tanggal 2 Maret, 2002. [9]
[9] “Annan Mengritik Israel karena Mengarah Penduduk Sipil,” U.N.Wire, 12 Maret, 2002, http://www.unwire.org/unwire/20020312/24582_story.asp (diakses pada tanggal 23 Oktober, 2009).


Di hari di mana kami menangkap empat pembom bunuh diri yang kulindungi dari pembunuhan, para pemimpin Persatuan Eropa meminta pihak Israel dan Palestina menghentikan kekerasan. “Tak ada solusi militer bagi masalah ini,” kata mereka. [10]
[10] Persatuan Eropa, “Deklarasi Barcelona tentang Timur Tengah,” 16 Maret, 2002, http://europa.eu/bulletin/en/200203/iI055.htm


Di tahun 2002, hari raya Paskah jatuh di tanggal 27 Maret. Di sebuah ruang makan lantai bawah Hotel Park di Netanya, 250 tamu berkumpul untuk tradisi makan Seder.

Anggota Hamas bernama Abdel-Basser Odeh, usia 25 tahun, masuk melewati penjagaan keamanan, meja pendaftaran di lobi, ke dalam kerumunan orang². Dia memasukkan tangan ke dalam jaketnya dan meledakkan bom.

Image
Abdel-Basser Odeh, pembom bunuh diri.

Image
Serangan bom bunuh diri di hari Paskah di Netanya.

Ledakan membunuh 30 orang dan melukai 140 lainnya. Beberapa dari korban adalah orang yang dulu selamat dari Holokaus Nazi. Hamas menyatakan bertanggung jawab, dengan mengatakan tujuan peledakkan adalah untuk mencegah Pertemuan Puncak Arab (Arab Summit) di Beirut. Meskipun demikian, keesokan harinya, Liga Arab yang dipimpin Saudi Arabia mengumumkan bahwa mereka telah memungut suara dan mengakui Negara Israel dan menormalkan hubungan, selama Israel setuju untuk kembali ke daerah kekuasaan sebelum tahun 1967, menyelesaikan masalah pengungsi Palestina, dan mendirikan Negara Palestina merdeka dengan Yerusalem Timur sebagai ibukotanya. Jika Israel menerima persyaratan ini, masyarakat Palestina akan menang besar sekali. Tapi sayangnya, Hamas tetap saja memaksa dengan sikapnya yang ‘mendapatkan segalanya atau tidak sama sekali.’

Karena tahu Hamas tidak akan mengubah pendirian, Israel melakukan rencana ekstrim untuk menanggulangi Hamas.

Dua minggu kemudian, pasukan Israel menyerang masuk wilayah Palestina dan menduduki dua kota yakni Ramallah dan Al-Bireh. Pengamat militer memperingatkan kemungkinan terjadinya banyak korban di pihak Israel. Tapi sebenarnya mereka tak perlu khawatir.

IDF membunuh lima orang Palestina, menetapkan jam malam, dan menguasai beberapa gedung. Buldozer² raksasa D9 juga menghancurkan beberapa rumah di kamp penampungan Al-Amari, termasuk rumah milik Wafa Idris, pembom bunuh diri wanita pertama, yang membunuh pria Israel berusia 81 tahun dan melukai 100 orang lainnya diluar toko sepatu di Yerusalem, di tanggal 27 Januari.

Setelah serangan bom bunuh diri di Hotel Park, Pemerintah Israel memberi lampu hijau untuk melancarkan operasi militer yang belum pernah terjadi sebelumnya. Operasi militer ini bernama Perisai Pertahanan (Operation Defense Shield).

Teleponku berdering. Ternyata Loai.

“Ada apa?” tanyaku.

“Seluruh IDF berkumpul,” kata Loai. “Malam ini, kami akan menangkap Saleh dan semua buronan lainnya.”

“Apa maksudmu?”

“Kami akan menguasai seluruh Tepi Barat dan memeriksa setiap rumah dan bangunan, tak peduli berapa lama waktu yang dibutuhkan. Diam di tempat. Aku akan meneleponmu lagi.”

Wow, pikirku. Ini hebat! Mungkin serangan itu akhirnya akan mengakhiri perang sinting ini.

Terdengar kabar angin di seluruh Tepi Barat. Para pemimpin Palestina tahu ada sesuatu yang akan terjadi, tapi tak tahu persisnya apa. Orang² meninggalkan tempat kerja mereka, klinik kesehatan, dan kelas², dan langsung pulang untuk nonton TV, menunggu berita. Aku telah memindahkan ayahku ke apartemen milik pasutri warga AS, dan Shin Bet menjamin keselamatannya di sana.

Di tanggal 29 Maret, aku masuk ke Hotel City Inn di Jalan Nablus di Al-Bireh, di mana BBC, CNN, dan media internasional lainnya tinggal. Ayah dan aku tetap berhubungan melalui radio dua jalur.

Shin Bet mengira saat itu aku sedang berada di Hotel City Inn, nonton TV sambil makan cemilan. Tapi aku tidak ingin kehilangan kesempatan menonton peristiwa bersejarah ini langsung di tempatnya. Maka aku keluar hotel sambil membawa senjata M16 di pundakku, sehingga aku tampak bagaikan orang buronan. Aku menuju puncak bukit di sebelah Perpustakaan Ramallah, di mana aku bisa melihat bagian tenggara kota tempat ayahku tinggal. Kupikir aku akan aman berada di situ, dan bisa cepat lari ke hotel jika mendengar tank² mendekati.

Sekitar hampir jam 12 malam, ratusan tank Merkava berderu hebat masuk kota. Aku tidak menduga mereka akan menyerang dari segala penjuru dalam waktu bersamaan - dan juga tidak secepat itu. Beberapa jalanan begitu sempit sehingga tank² tidak punya pilihan lain selain menggilas mobil² yang parkir di jalanan. Jalanan lain cukup lebar, tapi tampaknya para prajurit dalam tank menikmati suara mobil² yang digilas dengan tanknya. Kebanyakan jalan² di kamp penampungan berukuran sedikit lebih besar daripada gang² perantara rumah.

“Matikan radiomu!” kataku pada ayah. “Tiarap! Tundukkan kepalamu!”

Aku telah memarkir mobil Audi ayah di pinggir jalan. Dengan rasa takut aku melihat sebuah tank menggilas remuk mobil ayah. Seharusnya mobil itu tidak kuparkir di situ. Aku tahu aku harus cepat melarikan diri, tapi aku tak tahu harus berbuat apa. Tentunya aku juga tak bisa menelepon Loai dan memintanya menghentikan operasi penyerangan hanya karena aku ingin sedikit bermain Rambo.

Aku berlari ke arah tengah kota dan merunduk ke dalam garasi parkir, hanya beberapa meter dari sebuah tank yang sedang melaju. Prajurit² Israel belum tampak karena sedang menunggu tank² Merkava mengamankan wilayah. Tiba² aku menyadari bahwa sebuah kelompok perlawanan Palestina berkantor di gedung yang terletak di atas kepalaku. Aku sedang berlindung di target sasaran.

Tank² tidak bisa membedakan antara mata² Shin Bet atau teroris, Kristen atau Muslim, orang bersenjata atau warga sipil biasa. Dan para tentara yang berada dalam tank tersebut sama takutnya seperti aku yang sekarang bersembunyi. Di sekitarku, para pria yang tampak seperti diriku menembakkan AK47 kepada tank² tersebut. Ping. Ping. Ping. Peluru memantul kesana kemari. Tank juga tak mau kalah, dan balas tembak. BUUM! Telingaku terasa mau meledak.

Bagian besar bangunan di sekitar kami mulai runtuh dan menimbulkan gelombang debu. Setiap kanon tank meledak, hentakannya terasa seperti memukul perutku. Senapan² otomatis terus ditembakkan, peluru² beterbangan, dan suaranya menggema di tembok² garasi. Kanon meledak lagi, debu beterbangan di mana, dan serpihan² tembok dan batu berjatuhan.

Aku harus keluar dari tempat ini. Tapi gimana caranya?

Tiba² sekelompok pejuang Fatah lari masuk ke dalam garasi dan bersembunyi di sebelahku. Wah, payah nih. Bagaimana jika para prajurit masuk ke sini? Para feda’iyin akan menembaki mereka. Lalu apakah aku juga harus menembak? Pada siapa? Jika aku tak menembak, maka aku pun tetap akan ditembak. Tapi aku tak mau membunuh siapapun. Dulu memang aku bertekad membunuh, tapi sekarang tidak lagi.

Lebih banyak lagi pejuang Palestina yang masuk garasi untuk bersembunyi. Tiba² semua sunyi senyap dan tak ada yang berani bernafas.

Para prajurit IDF masuk perlahan-lahan ke dalam garasi. Tampaknya sebentar lagi akan ada saling tembak dahsyat. Para prajurit menyalakan obor api mencari orang atau refleksi senjata. Mereka mendengarkan, dan kami melihat. Jari² telunjuk berkeringat dan siap menarik pelatuk senjata.

Lalu air Laut Merah terbelah.

Mungkin karena takut masuk ke bagian garasi tergelap dan lembab, atau mungkin karena ingin kembali ke tank, para prajurit itu tiba² berhenti, berbalik, dan pergi begitu saja. Setelah mereka menghilang, aku masuk ke gedung di atasku, naik tangga, dan menemukan telepon yang bisa kugunakan untuk menelepon Loai.

“Bisakah kau meminta IDF untuk mundur sekitar dua blok agar aku bisa kembali ke hotelku?

“Apa?! Di mana kamu sekarang? Mengapa kau tidak berada di hotel?”

“Aku sedang melakukan tugasku.”

“Kau sinting!”

Lalu berlangsung suasana diam sesaat yang canggung.

“Baiklah, akan kami lihat apa yang bisa kami lakukan.”

Dibutuhkan waktu dua jam untuk memanggil mundur para tank dan prajurit, yang tentunya terheran-heran mengapa mereka harus mundur. Begitu mereka telah mundur, aku melompat dari satu atap rumah ke atap lainnya, dan hampir mematahkan kaki²ku. Akhirnya aku tiba di kamar hotel dengan aman. Aku tutup pintu, membuka baju teroris dan senapanku, lalu memasukkan semuanya ke lubang AC.

Di saat itu, rumah tempat ayahku bersembunyi terletak di tengah² badai penyerangan. IDF memeriksa semua rumah di sekitarnya, di belakang setiap gedung, di bawah setiap batu. Tapi mereka juga sudah diberitahu untuk tidak masuk rumah tertentu.

Di dalam rumah itu, ayah membaca Qur’an dan berdoa. Pemilik rumah juga membaca Qur’an dan berdoa. Istrinya juga membaca Qur’an dan berdoa. Lalu, karena alasan yang tak mereka ketahui, para tentara Israel melewati rumah itu begitu saja, lalu pergi, dan mulai memeriksa daerah lain.

“Kau pasti tak percaya muzizat ini, Mosab!” kata ayah lewat radio tak lama kemudian. “Sungguh sukar dipercaya! Mereka datang. Mereka memeriksa setiap rumah di sekitar kami, seluruh daerah tetangga - kecuali rumah di mana kami bersembunyi. Alhamdulillaaah!”

Terima kasih kembali, kataku dalam hati.

Israel tidak pernah melakukan operasi penyerangan sebesar Operasi Perisai Pertahanan sejak Perang Enam Hari. Dan ini hanya permulaan saja. Ramallah adalah target pertama. Setelah itu Betlehem, Jenin, dan Nablus diserang pula. Ketika aku sedang berlari-lari menghindari tentara Israel, pasukan IDF telah mengepung tempat tinggal Yasser Arafat. Semua gedung ditutup. Jam malam yang ketat diberlakukan.

Di tanggal 2 April, tank² dan mobil² bersenjata mengepung gedung Preventive Security Compound (Kompleks Keamanan Pencegahan) dekat rumah kami di Betunia. Helikopter² militer beterbangan di atas rumah kami. Kami tahu PA menyembunyikan setidaknya 50 orang buronan, dan Shin Bet frustasi karena tidak bisa menemukan mereka dimana pun.

Kompleks itu terdiri dari empat gedung, dan satu gedung kantor empat tingkat di mana Kolonel Jibril Rajoub [11] dan agen² keamanan PA tinggal. Seluruh fasilitas kompleks ini dibangun dan dilengkapi oleh CIA. Polisi PA juga dilatik dan disenjatai oleh CIA. CIA bahkan punya kantor di gedung itu. Ratusan polisi bersenjata lengkap berada di dalam gedung, juga sejumlah besar tawanan, termasuk Bilal Barghouti dan buronan Israel lainnya. Shin Bet dan IDF benar² serius dan tanpa kompromi kali ini. Pengeras suara mengumumkan bahwa tentara akan meledakkan Gedung Satu dalam waktu lima menit dan memerintahkan semua orang untuk keluar gedung.
[11] Terdapat keterangan menarik tentang Kolonel Jibril Rajoub: Orang ini telah memanfaatkan posisinya sebagai kepala keamanan di Tepi Barat untuk membangun kerajaan kecilnya, dan menyuruh bawahannya untuk membungkuk padanya bagaikan menyembah seorang raja. Aku telah melihat meja makan paginya penuh dengan 50 macam makanan, yang disajikan hanya untuk menunjukkan bahwa sang Kolonel adalah orang sangat penting. Aku juga telah menyaksikan bahwa Kolonel Jibril Rajoub bersikap kasar dan seenaknya, dan berlaku lebih menyerupai seorang gangster daripada pemimpin terhormat. Di tahun 1955, ketika Arafat menangkapi banyak ketua dan anggota Hamas, Rajoub menyiksa mereka tanpa ampun. Hamas beberapa kali mengancam akan membunuhnya, dan ini membuat sang Kolonel membeli mobil anti peluru dan bom. Bahkan Arafat sendiri tidak punya kendaraan seperti itu.

Persis lima menit kemudian, BOOM!! Lalu giliran Gedung Dua. “Semua keluar!” Lalu BOOM!! Giliran Gedung Tiga. BOOM!! Gedung Empat. BOOM!!

“Buka baju kalian!” begitu perintah dari pengeras suara. Para prajurit Israel tidak mau ambil resiko menghadapi kemungkinan ada yang menyembunyikan bahan peledak dalam baju mereka. Ratusan orang berdiri telanjang. Mereka diberi baju katelpak, dan dimasukkan ke dalam bus untuk dibawa ke Pusat Militer Ofer - di mana Shin Bet nantinya melakukan kesalahan.

Banyak sekali orang² yang ditawan, tapi pihak Israel hanya menginginkan orang² buronan saja, dan membebaskan orang² yang tidak mereka cari. Masalahnya adalah semua orang itu telah menanggalkan baju² mereka di kompleks. Dengan begitu, bagaimana pasukan keamanan Israel bisa membedakan mana orang buronan dan mana yang polisi?

Image
Kolonel Jibril Rajoub.

Boss dari boss Loai adalah Ofer Dekel dan dia bertanggung jawab atas operasi penyerangan itu. Dia memanggil Jibril Rajoub, yang sedang tidak berada di Kompleks saat penyarangan dilakukan. Dekel memberi Rajoub ijin khusus sehingga dia bisa melalui ratusan tank dan ribuan prajurit dengan aman. Ketika dia tiba, Dekel meminta Rajoub menunjukkan orang² yang mana yang bekerja sebagai polisi, dan yang mana yang buronan. Rajoub mengatakan akan dengan senang hati melakukannya. Dengan cepat, Rajoub menunjuk para polisi sebagai buronan dan para buronan sebagai polisi, dan karenanya Shin Bet lalu membebaskan semua buronan.

“Mengapa kau lakukan itu padaku?” tanya Dekel pada Rajoub setelah akhirnya mengetahui keadaan sebenarnya.

“Kau baru saja meledakkan gedung tempat kerja dan kompleksku,” jawab Rajoub dengan tenang. Dekel juga rupanya lupa bahwa setahun yang lalu Rajoub terluka ketika tank² dan helikopter IDF menghancurkan rumahnya, sehingga tentunya dia semakin tak suka membantu pihak Israel.

Shin Bet sangat malu. Satu²nya cara untuk balas dendam pada Rajoub adalah dengan mengeluarkan laporan bahwa Rajoub adalah pengkhianat karena menyerahkan orang² yang dicari Israel dalam perjanjian dengan CIA. Sebagai akibatnya, Rajoub kehilangan jabatan dan akhirnya harus bekerja sebagai kepala Persatuan Sepakbola Palestina.

Lepasnya para buronan tentunya adalah kesalahan besar bagi Shin Bet.

Setelah tiga setengah minggu berlalu, Israel menghentikan aturan jam malam dari waktu ke waktu. Di suatu hari pada tanggal 15 April, di mana jam malam sedang tidak diberlakukan, aku bisa membawa makanan dan keperluan lain bagi ayah. Dia berkata padaku bahwa dia merasa tidak aman di rumah tersebut dan ingin pindah tempat. Aku menelepon salah satu pemimpin Hamas dan bertanya apakah dia tahu tempat di mana Hassan Yousef bisa berlindung. Dia menganjurkan aku untuk membawa ayah ke lokasi dimana Syeikh Jamal al-Taweel, salah satu tokoh penting Hamas yang dicari Israel, bersembunyi.

Wow, pikirku. Jika bisa menangkap Jamal al-Taweel, tentunya Shin Bet akan merasa lebih baik setelah kegagalan menangkap buronan beberapa minggu yang lalu. Aku berterima kasih padanya tapi berkata, “Sebaiknya jangan tempatkan ayah di tempat yang sama. Mungkin akan berbahaya bagi mereka berdua jika berada di satu rumah.” Kami setuju untuk memilih tempat lain, dan dengan cepat aku memindahkan ayah di tempat yang baru. Setelah itu aku menelepon Laoi.

“Aku tahu dimana Jamal al-Taweel bersembunyi.”

Loai sangat girang mendengar kabar ini; al-Taweel ditangkap malam itu juga.

Di hari yang sama, kami juga bisa menangkap orang lain yang paling dicari IDF - Marwan Barghouti.

Meksipun Marwan Barghouti adalah salah satu pemimpin Hamas yang terlicin, sebenarnya proses penangkapan Marwan sangatlah mudah. Aku menelepon salah satu penjaga Marwan Barghouti dan bicara dengannya secara singkat melalui ponselnya, dan Shin Bet melacak di mana ponsel tersebut berada. Marwan Barghouti ditangkap dan diadili di pengadilan sipil dan dihukum lima kali hukuman seumur hidup.

Pada saat itu, Operasi Perisai Pertahanan terus berlangsung dan menjadi beritu utama setiap hari di berbagai media internasional. Banyak berita yang menyudutkan pihak Israel. Misalnya terdengar berita bahwa Israel membantai orang² Palestina di Jenin, dan sukar untuk mengetahui kebenarannya karena pihak Israel menutup kota Jenin. Menteri kabinet Palestina Saeb Erekat mengatakan 500 orang mati. Tapi kemudian angkanya diturunkan jadi hanya 50 saja.

Di Betlehem, lebih dari 200 orang Palestina dikepung dalam Gereja Nativity selama lima minggu. Setelah kepulan debu mereda dan kebanyakan penduduk sipil diperbolehkan pulang, diketahui bahwa 8 orang Palestina dibunuh, 26 dikirim ke Gaza, 85 diperiksa IDF dan lalu dibebaskan, dan 13 buronan yang paling dicari diasingkan ke Eropa.

Setelah Operasi Perisai Pertahanan berakhir, dikabarkan sekitar 500 orang Palestina terbunuh, 1.500 luka², dan hampir 4.300 ditahan IDF. Di lain pihak, 29 orang Israel mati, 127 luka². Bank Dunia memperkirakan kerugian mencapai lebih dari $360 juta.
User avatar
Adadeh
Posts: 8184
Joined: Thu Oct 13, 2005 1:59 am

Bab 23 – Perlindungan Illahi

Post by Adadeh »

Bab 23 – Perlindungan Illahi
Musim Panas 2002


Hari sangat panas di tanggal 31 Juli, 2002. Suhunya mencapai 102° Fahrenheit (= 39° Celcius). Di kampus Universitas Ibrani, yang terletak di Bukit Scopus (Mount Scopus), tak ada kegiatan kuliah, meskipun sebagian mahasiswa masih menjalani ujian. Mahasiswa² lainnya mengantri untuk mendaftarkan diri pada kelas musim gugur. Pada jam 1:30 siang, kantin universitas yang bernama Frank Sinatra penuh dengan orang² yang berusaha menyejukkan diri, menikmati minuman dingin, sambil mengobrol. Tiada yang sadar bahwa sebuah tas ditinggalkan di situ oleh seorang pengecat bangunan.

ImageImage
Pemboman di kantin Universitas Ibrani.

Image
Masyarakat Palestina merayakan kematian kafir Yahudi di pemboman Universitas Ibrani.

Bom di tas tersebut meledak hebat mengguncangkan kantin universitas, membuat sembilan orang tewas, termasuk lima warga AS. Delapan puluh lima orang lainnya luka², empat belas orang mengalami luka² yang serius.

Di hari yang sama, sahabatku Saleh tiba² menghilang. Ketika kami memeriksa lokasi empat orang lainnya, ternyata mereka pun telah hilang tanpa jejak, bahkan keluarga mereka juga tak tahu. Mereka semua tercantum dalam daftar kami di urutan teratas sebagai orang² yang paling dicari. Kami lalu mengetahui bahwa sel Hamaslah yang meletakkan bom di kantin universitas dan ternyata orang² dalam sel itu tinggal di wilayah Israel, dan bukan di wilayah Palestina. Mereka membawa kartu tanda pengenal Israel berwarna biru yang mengijinkan mereka pergi ke daerah manapun. Lima orang dari mereka tinggal di Yerusalem: mereka punya istri, keluarga baik², dan pekerjaan yang baik pula.

Saat mereka diperiksa, satu nama muncul di permukaan: Mohammed Arman, orang yang tinggal di salah satu desa dekat Ramallah. Di bawah penyiksaan, Arman ditanyai siapakah yang bertanggung jawab atas pemboman Universitas Ibrani. Dia berkata bahwa dia hanya tahu nama panggilan orang itu sebagai “Syeikh.”

Para interogator membawa album foto para teroris, dan memintanya untuk menunjuk yang manakah Syeikh tersebut. Arman menunjuk foto Ibrahim Hamed, dan memberi kami bukti fisik pertama keterlibatannya dengan pemboman bunuh diri.

Image
Ibrahim Hamed.

Kami nantinya akan mengetahui bahwa setelah peranannya terungkap, Hamed menggunakan dirinya untuk melindungi Saleh dan anggota lain dalam sel Hamasnya. Semua sel di bawah kepemimpinannya diberitahu bahwa jika mereka tertangkap, mereka harus menyalahkan segalanya pada Hamed, karena dia merasa siap mati. Untuk beberapa saat, semua jejak berhenti pada Ibrahim Hamed, tapi dia bagaikan ditelan bumi.
*******************
Berbulan-bulan setelah Operasi Perisai Pertahanan, di Ramallah masih diberlakukan jam malam. Kegiatan Arafat terhenti sama sekali. USAID telah menghentikan proyek mereka dan tidak memperbolehkan karyawannya masuk ke Tepi Barat. Pos² keamanan Israel mencekik kota Ramallah, dengan tidak memperbolehkan apapun, kecuali ambulans, keluar masuk kota. Aku secara resmi adalah buronan IDF. Semua ini membuatku sukar pergi kemana pun. Meskipun begitu, aku tetap harus bertemu Shin Bet sekali setiap dua minggu untuk membicarakan operasi² yang tengah berlangsung yang tak bisa dibicarakan lewat telepon.

Selain itu, aku pun butuh dukungan moral. Karena aku harus terus menyembunyikan diri, maka aku sangat kesepian. Aku merasa jadi orang asing di kotaku sendiri. Aku tidak bisa membagi hidupku dengan siapapun, bahkan tidak pula dengan keluarga sendiri. Aku juga tidak bisa percaya siapapun. Dulu sebelum jadi buronan, biasanya aku dan Loai bertemu di salah satu rumah² aman di Yerusalem. Tapi sekarang aku tidak bisa lagi meninggalkan Ramallah. Bahkan aku juga tidak bisa menampakkan diri di jalanan pada siang hari. Pokoknya aku harus terus bersembunyi.

Jika agen rahasia Shin Bet datang untuk menjemputku, maka mereka menanggung resiko terlihat oleh feda’iyin dan ketahuan karena aksen Ibrani mereka. Jika agen rahasia itu memakai baju IDF untuk menyamar dan berpura-pura menculik aku, orang bisa saja melihat aku masuk Jeep IDF dan merasa curiga. Jikalau pun rencana ini berhasil, berapa kali kami bisa melakukan aksi pura² ini sebelum akhirnya ketahuan?

Shin Bet lalu mengatur cara yang lebih kreatif agar kami bisa bertemu dengan aman.

Image
Pusat Militer Ofer.

Pusat Militer Ofer terletak dua mil sebelah Selatan kota Ramallah, dan ini merupakan fasilitas militer yang paling ketat penjagaannya di seluruh Israel. Tempat ini sarat dengan rahasia dan punya berlapis-lapis sistem keamanan. Kantor² lokal Shin Bet terletak di Pusat Militer tersebut.

“Oke,” kata Loai padaku. “Mulai sekarang, kami akan datang untuk menemuimu di Ofer. Yang perlu kau lakukan adalah mendobrak masuk.”

Kami berdua tertawa. Tapi aku lalu menyadari bahwa dia serius.

“Jika kau tertangkap,” jelasnya, “ini akan nampak bagi siapapun bahwa kau mencoba memasuki instalasi militer utama untuk melakukan serangan.”

Jika aku tertangkap?”

Rencananya menengangkan. Pada suatu malam gelap di mana aku harus melakukan penyusupan ini, aku merasa seperti aktor di malam pembukaan pertunjukkan – aktor ini akan melangkah ke panggung yang belum pernah dia lihat sebelumnya, pakai baju yang belum pernah dia pakai, tanpa naskah cerita dan tanpa latihan terlebih dahulu.

Aku tidak tahu bahwa Shin Bet telah menempatkan agen² mereka di dua menara jaga untuk menerangi tempat yang harus kutuju. Aku juga tidak tahu bahwa agen² keamanan, yang dilengkapi dengan perlengkapan melihat-dalam-gelap, ditempatkan di sepanjang jalur perjalananku untuk melindungiku jikalau ada orang yang mengikutiku.

Aku terus saja berpikir, Gimana ya jika aku membuat kesalahan?

Aku memarkir mobilku di tempat gelap. Loai telah meminta aku memakai baju gelap, tidak membawa senter, dan membawa pemotong kawat. Aku menarik nafas panjang.

Sewaktu menuju bukit, aku bisa melihat lampu² di Pusat Militer dari jarak jauh. Sesaat sekumpulan anjing² liar menggonggong sewaktu aku mendaki bukit yang terjal. Tak apa mereka menggonggong, selama tidak terlalu menarik perhatian orang.

Akhirnya aku sampai di bagian luar pagar dan aku menelepon Loai.

“Dari sudut, hitung tujuh kaki,” katanya. “Lalu tunggu aba² dariku dan mulailah memotong kawat pagar.”

Aku memotong kawat pagar tersebut, yang tidak dipakai lagi setelah pagar baru dibangun sejak Intifada Kedua, dengan jarak 20 kaki dari pagar lama.

Aku juga telah diperingatkan akan adanya babi² penjaga (iya, memang babi² beneran nih), tapi aku tak menemukan mereka, jadi tak ada masalah. Tempat² militer lain biasanya dijaga oleh anjing² herder atau anjing terlatih lainnya. Ironisnya, orang² Israel yang sadar-kosher (suka yang halal saja – anti haram) malahan memakai babi untuk menjaga tempatnya. Tapi ini benar² terjadi.

Pemikiran di belakang gagasan tersebut adalah babi akan membuat teroris Muslim enggan menyerang masuk. Islam melarang keras Muslim untuk menyentuh babi, sama seperti juga Yudaisme Ortodox. Bahkan larangan di Yudaisme mungkin lebih keras lagi.

Aku tidak pernah melihat babi² menjaga Pusat Militer itu, tapi Loai mengatakan bahwa memang babi² melakukan tugas menjaga Pusat Militer Ofer.

Aku menemukan pintu kecil di dalam pagar baru sebelah dalam yang tak dikunci. Aku masuk ke dalam dan melihat dua menara jaga menjulang bagaikan dua tanduk setan, di dalam instalasi militer paling ketat dijaga di Israel.

“Tetap tundukkan kepalamu,” kata Loai di ponselku,” dan tunggu aba².”

Di sekelilingku terdapat semak². Setelah beberapa saat, beberapa semak mulai bergerak. Ternyata semak² itu adalah agen² Shin Bet yang biasa berkumpul rapat denganku, tapi sekarang mereka memanggul senjata otomatis berat dan mengenakan seragam kamuflase IDF dengan banyak ranting menonjol di mana². Aku bisa melihat mereka senang bermain komando rahasia seperti ini – ini adalah bagian dari penyamaran² mereka, termasuk menyamar menyerupai teroris, feda’iyin, orangtua, atau kadang² wanita.

“Wah, apa kabar nih?” tanya mereka, seakan-akan kami sedang duduk bersama di warung kopi. “Apakah semua baik² saja?”

“Ya, semua baik² saja.”

“Apakah kau punya keterangan bagi kami?”

Kadang² aku membawa rekaman suara atau bukti atau keterangan mata² bagi mereka, tapi kali ini aku tak membawa apapun.

Saat itu hujan mulai turun, dan kami lari ke balik bukit di mana dua Jeep sudah menunggu kami. Tiga orang dari mereka masuk ke Jeep pertama, dan aku meloncat masuk bagian belakang Jeep. Yang lain menunggu di Jeep kedua untuk memastikan aku bisa kembali dengan selamat. Aku kasihan dengan mereka yang berada di Jeep kedua karena saat itu hujan turun sangat lebat. Tapi mereka tampak santai saja.

Setelah bertemu dengan Loai, boss-nya, dan para penjaga selama beberapa jam, aku kembali pulang dengan menggunakan jalur yang sama – aku merasa puas, meskipun jalanan becek, panjang, basah, dan dingin.

Cara bertemu seperti ini kerap kami lakukan. Semua diatur dengan baik, tanpa kesalahan apapun setiap kali pertemuan. Aku tidak usah lagi memotong pagar, tapi aku tetap membawa alat pemotong untuk jaga².
*******************
Setelah aku berhasil “kabur” dari penyerangan IDF yang ditonton banyak orang, aku terus berhubungan dengan ayahku untuk memastikan dia baik² saja dan mengetahui apa yang dibutuhkannya. Sekali² aku mengunjungi kantor USAID, tapi karena mereka telah menghentikan hampir semua kegiatanku, aku bisa menyelesaikan tugas kecil dari mereka di komputer pribadi di rumah saja. Di malam hari, aku bergaul dengan para buronan Palestina dan mengumpulkan informasi. Dan di tengah larut malam, sekali atau dua kali sebulan, aku menyusup masuk Pusat Militer untuk rapat bersama Shin Bet.

Di waktu luangku, aku terus bertemu dengan teman² Kristen untuk bicara tentang kasih Yesus. Sebenarnya kami tidak sekedar bicara saja. Meskipun aku hanyalah pengikut sang Guru, aku merasakan kasih dan perlindungan Tuhan padaku setiap hari, dan kasih itu tampaknya mengalir pula dalam keluargaku.

Image
Tengah kota Ramallah.

Di suatu sore, pasukan khusus Israel sedang mencari buronan di Hotel City Inn dan tak berhasil menemukan apapun. Karena lelah, mereka ingin istirahat sejenak di sebuah rumah terdekat. Hal ini merupakan hal yang lumrah. IDF tidak perlu ijin atau perintah atasan untuk bisa melakukan hal itu. Jika keadaan agak tenang, para pasukan khusus Israel akan datang ke sebuah rumah yang mereka pilih untuk beristirahat sambil makan. Kadangkala dalam pertempuran hebat, pasukan akan masuk rumah lokal dan berlindung di dalamnya, tentunya hal ini membahayakan penghuni – tapi cara ini pun dilakukan pula oleh para feda’iyin.

Di hari tersebut, mereka kebetulan saja memilih rumah tempat persembunyian ayahku. Shin Bet tidak tahu akan hal ini. Tiada seorang pun dari antara kami yang mengetahui akan hal itu. Fakta bahwa seorang prajurit memilih rumah ini tanpa sengaja tentunya bukanlah hal yang bisa dicegah atau diduga sebelumnya. Ketika mereka tiba, ayahku “kebetulan” pula sedang berada di lantai bawah.

“Bisakah kau tidak membawa anjing²mu masuk ke rumah?” wanita pemilik rumah meminta pada prajurit². “Aku punya anak² kecil.”

Suami wanita itu ketakutan jikalau para prajurit menemukan Hassan Yousef dan menangkap mereka karena melindungi buronan. Maka dia berpura-pura santai dan tak takut. Dia menyuruh putrinya yang berusia 7 tahun menemui para prajurit untuk bersalaman. Komandan tentara senang melihat anak kecil ini dan mengira orangtuanya hanyalah orang awam yang tak punya hubungan apapun dengan teroris. Dia meminta pada wanita itu dengan sopan apakah anak buahnya boleh beristirahat sebentar di loteng atas, dan wanita itu mengijinkannya. Sekitar dua puluh lima prajurit tinggal di rumah itu selama lebih dari delapan jam, tanpa mengetahui bahwa ayah terletak tepat di bawah mereka.

Image
Tengah kota Ramallah.

Aku tidak bisa menjelaskan bagaimana perlindungan dan berkat illahi tersebut, tapi aku sangat merasakannya secara nyata. Ketika Ahmad al-Faransi (yang dulu pernah meminta bahan peledak padaku bagi para pembom bunuh dirinya) meneleponku dari tengah kota Ramallah dan memintaku untuk menjemputnya dan mengantarnya pulang, aku berkata padanya bahwa aku sedang berada dekat daerah itu dan bisa menjemputnya dalam waktu beberapa menit. Ketika aku tiba, dia masuk ke dalam mobil, dan kami lalu pergi.

Kami belum pergi jauh ketikan ponsel al-Faransi berdering. Al-Faransi merupakan salah seorang yang akan dibunuh IDF dan kantor Arafat meneleponnya untuk memperingatkan bahwa helikopter² Israel sedang membuntutinya. Aku buka jendela mobil dan mendengar dua buah helikopter Apache mendekat. Meskipun kedengarannya mungkin aneh bagi mereka yang tidak pernah merasakan Tuhan bicara pada diri mereka, tapi pada hari itu aku benar² mendengar Tuhan bicara pada hatiku, memerintahkanku untuk belok kiri diantara dua gedung. Aku nantinya mengetahui bahwa jika aku terus menyetir lurus, helikopter Israel akan bisa menembak mobilku dengan tepat. Aku membelokkan mobil dan seketika mendengar suara illahi yang berkata, Keluar dari mobil dan tinggalkan mobil. Kami meloncat keluar mobil dan berlari. Di saat helikopter mencapai target mobilku, yang bisa dilihat pilot helikopter hanyalah mobil kosong diparkir dengan dua pintu depan terbuka lebar. Helikopter itu terbang berkeliling selama enam puluh detik dan lalu pergi.

Aku kemudian mengetahui bahwa badan keamanan Israel menerima keterangan dari mata² bahwa al-Faransi tampak masuk sebuah mobil Audi A4 warna biru tua. Banyak mobil seperti itu di kota kami. Laoi tidak sedang berada di ruang operasi saat itu untuk memeriksa lokasiku, dan tiada seorang pun yang bertanya apakah Audi ini milik Pangeran Hijau. Hanya segelintir anggota Shin Bet yang tahu tentang diriku.

Agaknya aku selamat karena perlindungan illahi. Aku saat itu belum menjadi orang Kristen, dan al-Faransi sudah jelas tidak mengerti akan Tuhan. Teman² Kristenku berdoa bagiku setiap hari. Dan tentang Tuhan, Yesus mengatakan di Matius 5:45, “menerbitkan matahari-Nya untuk orang yang baik dan untuk orang yang jahat juga. Ia menurunkan hujan untuk orang yang berbuat benar dan untuk orang yang berbuat jahat juga.“ Tuhan seperti ini sangat berbeda dengan tuhan Qur’an yang kejam dan penuh dendam.
ini baru onta
Posts: 16
Joined: Mon Oct 05, 2009 2:49 pm

Re: Son of Hamas (Putra Hamas)

Post by ini baru onta »

Gambarnya ngilang... Image
Adadeh wrote:Image
Kolonel Jibril Rajoub.
Hmm... hari ini nambah 2 bab lagi ya Image
Musti buru save as nih :rock:

Anyway, goodjob senior Adadeh...
Phao
Posts: 452
Joined: Sun Jul 05, 2009 7:15 pm
Location: 'Atapiluloh Al Ajib' city - Arab Saudi

Re: Bab 23 – Perlindungan Illahi

Post by Phao »

Bro Adadeh, untuk page terakhir nanti ada baiknya diberi keterangan bahwa buku "son of hamas" ini diterjemahkan oleh Adadeh... dan juga jangan sampai lupa dikasih keterangan indonesia.faithfreedom.org/forum

Hal ini ane maksudkan agar, kelak jika (pasti) buku terjemahan bro Adadeh ini tersebar luas, org2 baik kufur maupun slimer, dapat mengetahui situs kite yg tercinta ini :heart: :supz: :heart:
Juga utk mereka muda-mudi maupun manula yg belum mengenal FFI

Jangan lupa dibuat script PDF-nya bro Adadeh...
=D> =D> =D> =D> :prayer: :prayer: :prayer: :prayer: @ADADEH
:finga: :finga: :finga:
User avatar
Adadeh
Posts: 8184
Joined: Thu Oct 13, 2005 1:59 am

Bab 24 - Tahanan yang Dilindungi

Post by Adadeh »

Bab 24 - Tahanan yang Dilindungi
Musim Gugur 2002 - Musim Semi 2003


Aku merasa lelah. Aku sudah merasa terlalu lelah karena memainkan berbagai peranan berbeda dalam waktu yang bersamaan. Aku lelah karena harus merubah sifat dan penampilan agar sesuai dengan lingkungan di mana aku berada. Ketika aku bersama ayah dan para pemimpin Hamas lainnya, aku harus berperan sebagai anggota Hamas yang setia. Ketika aku berada bersama Shin Bet, aku harus berperan sebagai mata² Israel. Ketika aku berada di rumah, aku seringkali harus mengambil posisi sebagai ayah dan pelindung saudara²ku. Ketika aku bekerja di kantor, aku harus berperan sebagai karyawan biasa yang merangkap sebagai mahasiswa semester akhir di universitas. Sebentar lagi aku harus menghadapi ujian kuliah, tapi aku tak bisa konsentrasi.

Saat itu adalah akhir bulan September 2002, dan aku mengambil keputusan bahwa sudah saatnya untuk melakukan permainan nomer 2 yang diprakarsai oleh Shin Bet.

“Aku tidak bisa terus-menerus begini,” kataku pada Loai. “Apa yang harus kulakukan? Dikurung beberapa bulan di penjara? Kita bisa saja kan mengatur agar aku menjalani segala prosedur interogasi, dan setelah itu kau bebaskan aku. Lalu aku bisa kembali ke rumah dan menyelesaikan kuliahku. Aku bisa kembali bekerja di USAID dan hidup biasa lagi.”

“Bagaimana dengan ayahmu?”

“Aku tidak akan meninggalkannya sehingga dia bisa terbunuh. Tangkaplah dia juga.”

“Jika itu yang memang kau inginkan, Pemerintah akan dengan senang hati melakukannya, karena akhirnya kita bisa menangkap Hassan Yousef.”

Aku beritahu ibuku di mana ayah bersembunyi, dan aku membiarkan ibu mengunjungi ayah. Lima menit setelah ibu tiba di rumah persembunyian ayah, pasukan keamanan khusus menyerbu sekitar rumah tersebut. Para prajurit berlarian di komplek tetangga, memerintahkan penduduk sipil untuk masuk ke dalam rumah.

Image
Narghile (pipa rokok Turki).

Image
Abdullah Barghouti, ahli perakit bom bunuh diri.

Salah seorang warga “sipil” yang sedang menyedot narghile (pipa rokok Turki) di depan rumahnya, tak lain daripada Abdullah Barghouti, sang master perakit bom bunuh diri. Dia tidak tahu bahwa dia tinggal di rumah bersebelahan dengan rumah rahasia Hassan Yousef. Dan para prajurit IDF juga tidak tahu bahwa mereka baru saja berteriak pada pembantai massal yang paling dicari di Israel.

Semua orang tak mengerti apa yang terjadi. Ayahku tidak tahu bahwa putranya telah menyerahkan dirinya agar bisa melindunginya dari pembunuhan. Dan IDF juga tidak tahu bahwa Shin Bet telah mengetahui di mana Hassan Yousef bersembunyi selama ini dan bahwa beberapa prajurit Israel bahkan makan siang dan tidur di rumah tempat Hassan Yousef bersembunyi.

Seperti biasa, ayah menyerah dengan damai. Dia dan pemimpin² Hamas lainnya mengira bahwa Shin Bet telah mengikuti ibuku ke tempat persembunyian ayah. Tentu saja ibu jadi sedih, tapi dia juga senang karena suaminya akan aman di penjara dan tidak lagi tercantum dalam daftar orang² yang akan dibunuh Israel.

“Kami akan menemuimu nanti malam,” kata Loai padaku melalui telepon setelah ayah ditangkap.

Setelah matahari terbenam, aku duduk di rumahku, melihat ke jendela di mana tampak dua puluh pasukan khusus bergerak cepat dan mengambil posisi di sekitar rumahku. Aku tahu bahwa aku harus mempersiapkan diri diperlakukan kasar. Dua menit kemudian, mobil² Jeep masuk. Lalu sebuah tank. IDF telah menutup daerah itu. Seseorang meloncat ke atap rumah. Lalu terdengar orang memukul keras² pintu rumahku.

“Siapa itu?” kataku pura² tidak tahu.

“IDF! Buka pintu!”

Aku membuka pintu, dan mereka mendorongku ke lantai, dan dengan cepat memeriksa apakah aku bersenjata.

“Apakah ada orang lain di sini?”

“Tidak.”

Aku tak tahu mengapa mereka bertanya begitu. Mereka lalu mulai menendangi pintu² kamar sampai terbuka dan memeriksa setiap kamar di rumah. Begitu aku dibawa keluar, aku bertatapan muka dengan temanku Loai.

“Kemana saja kau?” Loai bertanya kasar padaku, seakan aku benar² buronan. “Kami telah mencarimu di mana². Apakah kau ingin ditembak mati? Kau tentunya sudah gila melarikan diri dari rumah ayahmu tahun lalu.”

Sekumpulan prajurit IDF mengamati dengan mata marah.

“Kami sudah menangkap ayahmu,” kata Loai, “dan akhirnya kami bisa menangkapmu pula! Kita nanti lihat apa yang akan kau katakan saat interogasi!”

Dua orang prajurit melemparkan aku ke dalam Jeep. Loai datang, dan merunduk agar orang tidak bisa mendengarkan apa yang kami bicarakan, dan bertanya, “Bagaimana keadaanmu, wahai kawan? Apakah kau baik² saja? Borgolnya terlalu ketat?”

“Semua baik² saja,” kataku. “Jangan biarkan aku berada di sini terlalu lama, dan awasi agar prajurit² tidak memukuliku di sepanjang perjalanan.”

“Jangan khawatir. Seorang agen kami akan berada bersamamu.”

Mereka membawaku ke Pusat Militer Ofer, di mana kami duduk di ruangan yang sama, yang dulu sering kami gunakan untuk rapat. Kami duduk bersama selama dua jam untuk “interogasi,” sambil minum kopi dan membicarakan keadaan terakhir.

“Kami akan membawamu ke Maskobiyeh,” kata Loai, “hanya untuk waktu singkat saja. Kita akan berpura-pura kau telah menjalani interogasi yang berat. Ayahmu telah berada di sana, dan kau akan bertemu dengannya. Dia tidak akan ditanyai atau disiksa. Setelah itu kami akan membawamu ke penjara biasa. Kau akan berada di sana selama beberapa bulan, dan setelah itu, kami akan minta perpanjangan penjara bagimu selama tiga bulan, karena siapapun dengan status seperti dirimu tentunya telah diduga akan berada cukup lama di penjara.”

Ketika aku melihat para interogator, bahkan yang dulu menyiksaku ketika aku pertamakali dibawa ke tempat ini, aku heran karena aku tidak merasa benci sama sekali pada orang² ini. Satu²nya cara untuk bisa menerangkan perasaanku hanyalah melalui ayat berikut: Ibrani 4:12 berkata bahwa “Perkataan Tuhan adalah perkataan yang hidup dan kuat; lebih tajam dari pedang bermata dua. Perkataan itu menusuk sampai ke batas antara jiwa dan roh; sampai ke batas antara sendi-sendi dan tulang sumsum, sehingga mengetahui sedalam-dalamnya pikiran dan niat hati manusia.” Aku telah membaca dan merenungkan ayat ini berkali-kali, begitu juga dengan perintah Yesus untuk memaafkan musuhmu dan mencintai mereka yang menindasmu. Meskipun aku belum bisa menerima Yesus sebagai Tuhan, perkataannya terasa hidup, aktif, dan bekerja dalam diriku. Jika tidak begitu, aku tidak akan bisa melihat manusia sebagai manusia, dan bukan sebagai orang Yahudi atau Arab, tawanan atau interogator. Bahkan kebencian yang dulu mendorongku untuk membeli senjata dan merencanakan pembunuhan atas orang² Israel telah diganti dengan rasa kasih yang tak kumengerti.

Aku dimasukkan ke dalam sel penjara seorang diri selama dua minggu. Jika teman² Shin Bet-ku sedang tidak sibuk memeriksa tawanan, mereka mengunjungiku di sel penjara sekali atau dua kali sehari untuk sekedar mengobrol dan menanyakan keadaanku. Aku diberi makan dengan baik, tidak dikerudungi dengan tutup kepala yang bau, tak usah bertemu dengan penjaga penjara yang seperti kera besar, tak ada lagi lagu Leonard Cohen (meskipun nantinya dia jadi penyanyi favoritku - aneh, ya?). Di Tepi Barat tersebar berita bahwa aku benar² tangguh di penjara, karena tidak mengatakan informasi apapun meskipun disiksa berat oleh Israel.

Beberapa hari setelah aku dimasukkan ke penjara, aku dipindahkan ke sel penjara ayahku. Wajah ayah tampak sangat lega saat dia memelukku. Dia melihat wajahku dan tersenyum.

“Aku mengikutimu,” kataku sambil tertawa. “Aku tak bisa hidup tanpamu.”

Ada dua orang lain dalam sel tersebut, dan kami ngobrol dengan gembira bersama. Secara jujur aku mengakui bahwa aku merasa sangat senang melihat ayahku aman berada di penjara. Tiada usaha bunuh atau tiada misil yang akan menyerang dari langit.

Kadangkala ketika ayah membacakan Qur’an bagi kami, aku senang melihat padanya dan mendengarkan suaranya yang indah. Kuingat betapa lembutnya dia pada kami anak²nya ketika kami masih kecil. Dia tidak pernah memaksa kami bangun pagi untuk melakukan sholat fajar, tapi kami semua melakukannya karena kami ingin membuatnya bangga. Dia telah memberikan hidupnya bagi Allâh sejak masih sangat muda, dan meneruskan ajarannya kepada kami anak²nya.

Sekarang aku berpikir: Ayahku terkasih, aku sangat senang bisa duduk bersamamu. Aku tahu kau tidak mau berada di penjara saat ini, tapi jika kau tidak berada di sini, tubuhmu yang hancur berantakan mungkin sudah berada di dalam kantung plastik kecil di suatu tempat. Kadangkala dia mendongak dan melihatku tersenyum padanya dengan rasa sayang dan hormat. Dia tidak mengerti apa pikiranku, dan aku pun tidak bisa menjelaskan padanya.

Ketika para penjaga akhirnya datang untuk memindahkanku ke penjara biasa, ayah dan aku berpelukan erat. Dia tampak ringkih dalam pelukanku, tapi aku tahu betapa kuatnya dia. Kami menjadi begitu dekat selama beberapa hari terakhir, sehingga sukar untuk berpisah. Aku bahkan merasa sedih berpisah dengan teman² Shin Bet-ku. Hubungan kami selama bertahun-tahun telah berkembang menjadi sangat amat akrab. Aku melihat wajah² mereka dan berharap mereka mengetahui bahwa aku sangat menghargai mereka. Mereka menatapku kembali dengan rasa sedih. Mereka tahu bahwa perjalananku berikut tidak akan semudah di tempat ini.

Ekspresi wajah para prajurit IDF yang memborgolku untuk dibawa ke penjara lain sangatlah berbeda dengan ekspresi wajah para temanku. Bagi prajurit IDF, aku adalah teroris yang pernah lepas dari buruan mereka, sehingga membuat mereka malu dan tampak ****. Kali ini aku dibawa ke Penjara Ofer, yang merupakan bagian dari pusat militer di mana aku dulu sering rapat dengan Shin Bet.

Jenggotku tampak panjang dan tebal seperti jenggot para tawanan lainnya. Aku bergabung bersama tawanan lain dan melakukan kegiatan rutin sehari-hari. Ketika waktu sholat tiba, aku bersujud, bersimpuh, dan berdoa, tapi tidak lagi pada Allâh. Aku sekarang berdoa pada Pencipta Alam Semesta. Aku semakin menjauh dari Islam. Suatu hari aku menemukan Alkitab berbahasa Arab di bagian agama di perpustakaan penjara. Alkitab ini lengkap, dan tidak hanya Perjanjian Baru saja. Tampaknya tiada seorang pun yang pernah menyentuhnya. Aku berani bertaruh bahwa tiada yang tahu Alkitab ini berada di situ. Sungguh pemberian besar dari Tuhan! Aku membacanya berulangkali.

Kadang² seseorang datang padaku dan menanyakan dengan sopan apa yang sedang kulakukan. Aku jelaskan padanya bahwa aku sedang belajar sejarah dan karena Alkitab adalah buku kuno, maka buku itu mengandung keterangan jaman kuno. Tidak hanya itu, tapi ajarannya juga sangat baik, kataku, dan aku percaya bahwa setiap Muslim harus membacanya pula. Para tawanan biasanya tidak keberatan dengan jawabanku. Mereka hanya tampak jengkel ketika bulan Ramadan, karena tampaknya aku lebih banyak membaca Alkitab daripada Qur’an.

Kegiatan Belajar Alkitab yang sering kukunjungi di Yerusalem Barat terbuka bagi siapapun - orang Kristen, Muslim, Yahudi, atheis, pokoknya dari golongan manapun. Melalui kelompok ini, aku mendapat kesempatan untuk bisa duduk bersama dengan orang² Yahudi yang datang dengan tujuan yang sama denganku: untuk mempelajari agama Kristen dan mengenal Yesus. Sungguh merupakan pengalaman menarik bagiku sebagai seorang Muslim Palestina untuk belajar tentang Yesus bersama dengan seorang Yahudi Israel.

Dari kelompok ini, aku berkenalan akrab dengan pria Yahudi bernama Amnon. Dia telah menikah dan punya dua anak yang cantik. Dia sangat cerdas dan mahir berbicara dalam beberapa bahasa. Istrinya adalah orang Kristen dan telah mendorongnya sejak lama untuk dibaptis. Akhirnya, Amnon bersedia melakukan itu. Kelompok itu berkumpul bersama di suatu petang untuk menyaksikan upacara baptisnya di tempat mandi milik pendeta. Ketika aku datang, Amnon telah selesai membaca suatu ayat dan mulai menangis keras².

Dia tahu ketika dia mempersilakan dirinya dibaptis, dia tidak hanya menyatakan persekutuan dengan Yesus Kristus, tapi dia juga telah bercerai dengan budaya Yudaismenya. Dia telah memalingkan tubuh dari agama ayahnya, seorang profesor di Universitas Ibrani. Dia telah meninggalkan tradisi agama masyarakat Yahudi dan mempertaruhkan masa depannya.

Tak lama setelah itu, Amnon menerima surat perintah bahwa dia harus bergabung bersama IDF. Di Israel, semua warga non-Arab, laki atau perempuan, di atas usia 18 tahun diwajibkan ikut dalam militer - pria selama tiga tahun, dan wanita selama dua tahun. Tapi Amnon telah melihat banyak pembantaian di pos penjagaan. Dia merasa bahwa sebagai orang Kristen, dia tidak mau ditempatkan di tempat itu, karena kemungkinan akan menanggung resiko membunuh warga sipil tak bersenjata. Dia juga tak mau mengenakan seragam militer dan pergi ke Tepi Barat.

“Bahkan jikalau pun aku bisa melakukan tugasku dengan menembak anak yang melempar batu di kakinya dan bukan di kepalanya, aku tetap tak mau melakukan itu. Aku kan disuruh untuk mengasihi musuhku,” begitu penjelasannya.

Surat perintah kedua datang. Lalu surat perintah ketiga.

Ketika dia tetap saja tak mau melakukan tugas wajib militer, Amnon ditangkap dan dipenjara. Aku tidak tahu bahwa selama aku berada di penjara Ofer, Amnon pun dipenjara di situ, di bagian penjara bagi orang² Yahudi. Dia dipenjara karena dia tidak mau bekerja bagi Israel; aku dipenjara karena aku setuju untuk bekerja bagi Israel. Aku sedang mencoba untuk melindungi orang² Yahudi; dia sedang mencoba melindungi orang² Palestina.

Aku tidak beranggapan bahwa semua orang di Israel dan Palestina harus jadi orang Kristen agar bisa menghentikan pertumpahan darah. Tapi kupikir, jika saja kita memiliki 1.000 Amnon di dalam masyarakat Yahudi dan 1.000 Mosab di dalam masyarakat Palestina, maka akan terjadi perubahan besar. Dan jika jumlahnya lebih besar lagi ... siapa tahu kemungkinan ini bisa terjadi?

Dua bulan setelah tiba di Ofer, aku dibawa ke pengadilan, di mana tak seorang pun mengetahui siapa diriku - hakim dan jaksa penuntut tidak tahu, dan pengacaraku sendiri juga tidak tahu.

Di pengadilan, Shin Bet bersaksi bahwa aku adalah seorang teroris yang berbahaya dan mereka meminta aku dipenjara lebih lama lagi. Pak Hakim setuju dan menetapkan aku harus dipenjara selama enam bulan lagi di penjara lain. Lagi² aku ditransfer.

Image
Letak penjara Ktzi'ot di padang pasir Negev, dekat perbatasan dengan Mesir.
Image
Penjara Ktzi'ot dari atas.
Image
Penjara Ktzi'ot.

Setelah melakukan perjalanan pakai mobil selama lima jam di gurun pasir Negev, akhirnya mobil berhenti dekat pusat nuklir Dimona. Lalu aku melihat tenda penjara Ktzi’ot, di mana kau meleleh di musim panas dan membeku di musim dingin.

“Apa organisasimu?”

“Hamas.”

Ya, aku masih mengaku sebagai bagian dari Hamas, tapi aku tidak lagi seperti tawanan yang lain.
Hamas masih merupakan organisasi mayoritas. Tapi sejak dimulainya Intifada Kedua, Fatah juga berkembang dengan pesat, dan masing² organisasi memiliki jumlah tenda yang hampir sama banyaknya. Aku sudah lelah berpura-pura, dan iman baruku juga melarangku untuk berdusta. Agar aman, aku tidak banyak bergaul dengan siapapun dan menyendiri saja selama aku berada di situ.

Ktzi’ot adalah tempat terasing yang masih liar. Di malam hari terdengar suara angin bercampur dengan lolongan srigala, hyena, dan macan tutul. Aku telah mendengar cerita bahwa beberapa tawanan bisa melarikan diri dari Ktzi’ot, tapi tak satu pun selamat melalui gurun pasir. Musim dingin lebih buruk daripada musim panas - udara sangat dingin membeku, salju yang beterbangan, dan hanya kanvas tenda saja yang melindungi kami dari udara luar. Setiap tenda memiliki kain penangkal lembab di langit² tenda. Tapi sebagian tawanan menyobek kain itu untuk memakainya sebagai gorden prifasi di sekitar tempat tidurnya. Udara lembab dari nafas kami seharusnya tertahan pada kain tersebut. Tapi yang terjadi adalah udara lembab itu menguap dan menempel pada bagian atas kemah menjadi cairan air liur yang berkumpul sampai terlalu berat dan lalu menetes bagaikan hujan pada kami di sepanjang malam ketika sedang tidur.

Orang² Israel menyebarkan begitu banyak papan² berlem penangkap tikus di seluruh kamp tawanan untuk mengontrol populasi tikus. Di suatu pagi yang sangat dingin, ketika semua orang masih tidur dan aku sedang membaca Alkitab, terdengar suara mencicit. Aku menengok ke bawah tempat tidurku dan melihat seekor tikus tertempel di papan lem. Yang mengejutkan aku, di situ terdapat seekor tikus lain yang mencoba menyelamatkan tikus yang terperangkap sambil berusaha tidak menginjak lem. Apakah tikus lain itu pasangannya atau temannya? Aku tak tahu. Aku melihat selama sekitar setengah jam bagaimana seekor binatang mempertaruhkan nyawanya untuk menyelamatkan binatang lain. Aku sangat terharu sehingga aku bebaskan keduanya.

Di penjara, bahan bacaan terbatas pada Qur’an dan pelajaran tentang Qur’an saja. Aku hanya punya dua buku berbahasa Inggris yang diselundupkan temanku melalui pengacaraku. Aku sangat berterimakasih mempunyai bahan bacaan yang memperkuat kemampuan bahasa Inggrisku, tapi sebentar kemudian buku itu mulai lapuk karena terlalu sering kubaca. Suatu hari, ketika aku sedang berjalan seorang diri, aku melihat dua tawanan sedang membuat teh. Di sebelah mereka terdapat sebuah kotak kayu besar berisi novel² yang dikirim oleh Palang Merah. Dan kedua orang ini menyobeki halaman buku² untuk dijadikan bahan bakar api! Aku sungguh tak tahan melihatnya. Aku dorong kotak kayu itu menjauh dari mereka dan mulai mengambili buku² tersebut. Mereka mereka aku menginginkan buku² itu untuk membuat teh bagi diriku.

“Apakah kalian gila?” tanyaku pada mereka. “Aku butuh waktu sangat lama untuk bisa mendapatkan dua buku bahasa Inggris sehingga aku bisa membacanya, dan sekarang kau bikin teh dengan buku² ini!”

“Itu buku² Kristen,” kata mereka.

“Ini bukan buku² Kristen,” kataku pada mereka. “Ini buku² New York Times bestsellers! Aku yakin buku² ini tidak mengatakan apapun yang menentang Islam. Ini hanyalah buku² fiksi tentang pengalaman manusia.”

Mereka mungkin mengira ada yang salah terhadap putra Hassan Yousef. Dia tampak sangat diam, suka menyendiri, dan membaca. Tiba² saja sekarang dia ngamuk gara² sekotak buku. Jika bukan karena ayahku, mungkin mereka sudah akan berkelahi denganku untuk mempertahankan bahan bakar mereka. Tapi mereka membiarkan aku mengambil novel² tersebut, dan aku kembali ke tempat tidurku dengan kotak besar penuh buku. Aku tumpuk buku² ini di sekitarku dan bergelimangan dalam buku² tersebut. Aku tak peduli apa kata orang. Hatiku bernyanyi dan memuji Tuhan karena menyediakan bagiku buku bacaan sewaktu aku mencoba menghabiskan waktu di tempat ini.

Aku membaca enam belas jam sehari sampai mataku jadi lemah karena penerangan di penjara yang kurang baik. Selama empat bulan di Ktzi’ot, aku menghafalkan empat ribu perbendaharaan kata bahasa Inggris.

Ketika aku berada di sana, aku mengalami dua kali kekacauan di penjara, jauh lebih parah daripada yang pernah kualami di Megiddo. Tapi Tuhan menyelamatkan diriku dari dua malapetaka tersebut. Sebenarnya aku merasakan kehadiran Tuhan jauh lebih kuat di penjara tersebut daripada di lain tempat. Aku belum mengenal Yesus sebagai sang Pencipta, tapi aku jelas telah belajar untuk mengasihi Tuhan sang Bapa.
***************
Pada tanggal 2 April, 2003 – sewaktu tentara Sekutu menyerang Baghdad – aku dibebaskan. Aku dianggap sebagai pemimpin Hamas yang dihormati, teroris berpengalaman, dan buronan licin. Aku telah ditahan dan sekarang bebas. Resiko ketahuan sebagai mata² juga telah sangat berkurang, dan ayahku masih hidup di tempat aman.

Sekali lagi, aku bisa dengan bebas berjalan-jalan di Ramallah. Aku tidak lagi harus bersembunyi sebagai buronan. Aku bisa jadi diriku lagi, bisa menelepon ibuku; dan lalu menelepon Loai.

“Selamat datang kembali, Pangeran Hijau,” katanya. “Kami sangat rindu padamu. Banyak yang terjadi sewaktu kau pergi, dan kami tak tahu harus berbuat apa tanpa kau.”

Beberapa hari setelah aku keluar dari penjara, aku bertemu Loai dan teman² baik Israelku. Mereka hanya punya satu laporan saja untuk disampaikan, tapi ini adalah laporan yang sangat penting.

Di bulan Maret, Abdullah Barghouti telah diketahui persembunyiannya dan ditangkap. Setelah itu, pembuat bom dari Kuwait ini diadili di pengadilan militer karena telah membunuh enam puluh enam orang dan melukai sekitar lima ratus orang. Aku tahu jumlah korban lebih dari itu, tapi hanya itulah yang bisa kami buktikan. Barghouti awalnya dihukum enam puluh tujuh kali hukuman seumur hidup – satu untuk setiap korban pembunuhannya dan satu ekstra bagi semua korban yang terluka. Sewaktu mendengar ini, dia tidak menunjukkan rasa sesal sedikit pun, menyalahkan Israel, dan hanya menyesal karena tidak punya kesempatan untuk membunuh orang² Israel lagi.

“Teror pembunuhan membabi-buta yang dilakukan pihak tertuduh merupakan satu dari pembunuhan berdarah yang paling keji dalam sejarah negara ini,” kata Hakim. [12] Barghouti mengamuk, mengancam untuk membunuh Hakim dan akan mengajar semua anggota Hamas yang dipenjara bagaimana cara membuat bom. Karena ancamannya itu, dia lalu ditempatkan di sel penjara terisolasi seorang diri tanpa kontak dengan tawanan lain. Sementara itu, Ibrahim Hamed, sahabatku Saleh Talahme, dan tiga orang lainnya masih belum ditemukan.
[12] Associated Press, “Pembuat Bom Palestina Dihukum 67 Kali Seumur Hidup,” MSNBC, 30 November, 2004, http://www.msnbc.msn.com/id/6625081/.

Di bulan Oktober, proyek USAID-ku telah selesai, dan aku tidak bekerja lagi bagi mereka. Maka aku memusatkan perhatian pada tugasku untuk Shin Bet dengan mengumpulkan semua keterangan sebaik mungkin.

Di suatu pagi, dua bulan kemudian, Loai menelepon.

“Kami telah menemukan Saleh.”
Last edited by Adadeh on Thu Apr 01, 2010 6:22 am, edited 1 time in total.
User avatar
Adadeh
Posts: 8184
Joined: Thu Oct 13, 2005 1:59 am

Re: Bab 23 – Perlindungan Illahi

Post by Adadeh »

Phao wrote:Bro Adadeh, untuk page terakhir nanti ada baiknya diberi keterangan bahwa buku "son of hamas" ini diterjemahkan oleh Adadeh... dan juga jangan sampai lupa dikasih keterangan indonesia.faithfreedom.org/forum
Oke, boss.
User avatar
truthneverchange
Posts: 1144
Joined: Fri Aug 10, 2007 1:37 pm
Location: lautan api [neraka] => http://www.youtube.com/watch?v=n-8MJ3Bivw8
Contact:

Re: Son of Hamas (Putra Hamas)

Post by truthneverchange »

di bagian bab 17 di bawah gambar tank, ada disebutkan : "Bulan Sabit Merah (Palang Merahnya Muslim)...".

sampe2 lambang palang merah aja pake lambang bulan sabit TAPI muslim2 indonesia masih aja pada nyangkal bahwa allah-nya bukanlah dewa bulan. hihihi...

udah jelas2 tuhan-nya muslim itu dewa bulan (allah/ bulan sabit), masih aja pada nyangkal. berarti muslim2 hidup dalam kebohongan krn selalu menyangkal fakta tuhan mereka bukan dewa bulan

gue jg pernah liat di tv koq waktu yg masalah ribut2 antara israel dan palestina, gue liat jelas dengan mata kepala gue sendiri klo lambang palang merahnya emang bulan sabit warna merah (bukan tanda +)

ayo muslim2 para penyembah batu berhala hajar aswad bernama allah swt (dewa bulan/ bulan sabit), segeralah berjihadlah korbankan nyawa kalian dengan seperangkat alat jihad (bom), agar kalian segera berjumpa dengan allah swt (iblis laknatullah) kalian di dalam lautan api (neraka) (makan tuh kibulan para ustad, kyai, ulama, dll).

para jihader2 yang telah tewas tersebut kini sedang menerima hadiah dari allah swt (iblis laknatullah) di dalam lautan api (neraka) berupa siksaan kekal nan abadi. hihihi...
User avatar
1sht4r
Posts: 110
Joined: Sat Oct 14, 2006 10:24 pm
Location: jakarta
Contact:

Re: Son of Hamas (Putra Hamas)

Post by 1sht4r »

Ga sabar nunggu kelanjutannya...
Go..go.. Adadeh!! :finga: :finga: :finga:
User avatar
I Want You
Posts: 2321
Joined: Thu May 07, 2009 2:20 pm
Location: Serambi Yerusalem
Contact:

Re: SON OF HAMAS (PUTRA HAMAS)

Post by I Want You »

Bagus banget nih buku !! tob markotobbb ! :prayer: :prayer: :prayer:

mohon kalau di buat PDF nya , gambar2 yang ada di sertakan ya , Senior Adadeh ! :prayer: :prayer: :prayer:

:-k kapan buku ini bisa di buat filmnya ya ? pasti seru banget ! :green: :green: :green:
User avatar
Adadeh
Posts: 8184
Joined: Thu Oct 13, 2005 1:59 am

Bab 25 - Saleh

Post by Adadeh »

Bab 25 - Saleh
Musim Dingin 2003 - Musim Semi 2006


Tidak sukar untuk mengetahui di mana Saleh dan teman²nya baru saja berada sebelumnya. Darah yang mereka tinggalkan di tempat kejadian sangatlah jelas. Tapi sampai sekarang tiada seorang pun yang bisa menangkap mereka.

Keterangan dari Shin Bet bahwa mereka telah menemukan Saleh membuat hatiku sedih. Saleh adalah teman dekatku. Dia telah menolongku dalam studiku. Aku telah makan bersamanya dan istrinya, dan aku telah bermain-main dengan anak²nya. Tapi Saleh juga adalah seorang teroris. Dulu sewaktu dia dipenjara oleh PA, dia terus belajar melalui Universitas Terbuka Al-Quds dan menggunakan apa yang dipelajarinya untuk menjadi perakit bom yang hebat, sehingga dia bahkan bisa membuat bom dari bahan² di tempat sampah.

Setelah Saleh keluar dari penjara PA, Shin Bet mengawasi dia dan teman²nya untuk mengetahui berapa lama yang dibutuhkan mereka untuk membangun kembali Brigade Al-Qassam. Ternyata mereka tak butuh waktu lama. Organisasi yang baru memang tidak sebesar yang lama, tapi tetap mematikan.

Maher Odeh adalah otak operasi pemboman; Saleh adalah teknisi perakit bom; dan Bilal Barghouti merekrut pelaku bom bunuh diri. Sebenarnya, bagian militer Hamas hanya terdiri dari sepuluh orang yang masing² bekerja sendiri², memiliki dana tersendiri, dan tidak pernah saling bertemu kecuali jika ada urusan yang sangat penting. Saleh bisa menghasilkan beberapa sabuk bom bunuh diri dalam semalam saja, dan Bilal memiliki daftar orang² yang bersedia mati syahid melakukan serangan bom bunuh diri.

Jika aku yakin Saleh tidak bersalah, aku tentu akan memperingatkan bahwa dia akan segera diciduk. Tapi ketika akhirnya kami menghubungkan berbagai kejadian dan informasi, aku menyadari bahwa dia sebenarnya bertanggung jawab atas pemboman Universitas Ibrani dan tempat² lainnya. Aku mengerti bahwa dia harus dipenjara. Mungkin yang seharusnya kulakukan dulu adalah memperkenalkan ajaran Yesus padanya dan mengajaknya mengikuti ajaran tersebut, sama seperti yang telah kulakukan. Tapi aku juga tahu betul bahwa dia terlalu dibutakan oleh amarah, semangat balas dendam, dan kesetiaan pada Islam sehingga tak akan sudi mendengar nasehat temannya. Aku lalu memohon pada Shin Bet untuk menangkap Saleh dan orang² buronan lainnya dan jangan membunuh mereka. Meskipun awalnya sangat ragu, mereka akhirnya setuju.

Agen² keamanan Israel telah mengamati Saleh selama lebih dari dua bulan. Mereka tahu saat dia meninggalkan apartemennya untuk bertemu dengan Hasaneen Rummanah di sebuah rumah kosong. Mereka juga melihat saat dia kembali pulang, dan tetap tinggal di tempatnya selama seminggu. Mereka melihat teman Saleh bernama Sayyed al-Syeikh Qassem lebih sering keluar meninggalkan tempatnya, tapi lalu kembali pulang. Mereka sangat berhati-hati, sehingga sukar dilacak. Tapi begitu jejak mereka tercium, yang Shin Bet perlu lakukan hanyalah menyelusuri siapa para penghubung di sekitar mereka, yang ternyata jumlahnya mencapai empat puluh sampai lima puluh orang.

Kami telah menemukan tiga dari lima orang yang paling kami cari. Dua orang lainnya yakni Ibrahim Hamed dan Maher Odeh masih buron. Kami harus membuat keputusan apakah kami tetap harus menunggu sampai ada penghubung kepada kedua buronan itu, atau segera mematahkan tulang punggung Brigade Al-Qassam di Tepi Barat dengan menangkapi orang² yang sudah kami ketahui lokasinya. Kami menetapkan untuk melakukan pilihan kedua, dengan pertimbangan keadaan mungkin tidak akan jadi lebih menguntungkan, dan kemungkinan bisa menangkap Hamed atau Odeh jika mendapat keterangan tentang mereka dari tawanan² lainnya.

Di suatu malam tanggal 1 Desember, 2003, pasukan keamanan khusus mengepung lebih dari lima puluh lokasi yang dicurigai pada waktu yang bersamaan. Semua pasukan yang ada dipanggil dari seluruh Tepi Barat. Para ketua Hamas berkumpul di gedung Al-Kiswani di Ramallah, dan mereka tidak bereaksi ketika diminta menyerah. Saleh dan Sayyed punya banyak senjata, termasuk senapan otomatis berat, dan senapan tempur yang biasanya digunakan di kendaraan² militer.

Baku tembak dimulai pada jam 10 malam dan terus berlansung sampai larut malam. Ketika saling tembak dimulai, aku bisa mendengarnya dari rumahku. Lalu terdengar tembakan kanon tank Merkava yang khas menggelegar di pagi hari dan setelah itu tak terdengar apapun lagi. Pada jam 6 pagi, teleponku berdering.

“Temanmu sudah mati,” kata Loai padaku. “Maaf sekali. Kau tentunya tahu kami sudah berusaha untuk tidak membunuh jika memang keadaan memungkinkan. Tapi kuberitahu ya. Jika orang ini ...” suara Loai terhenti dan dia melanjutkan lagi, “jika orang ini tumbuh besar di lingkungan lain, dia tentunya tidak akan jadi seperti itu. Dia akan jadi orang biasa seperti kita. Dia mengira, dan dia benar² yakin, bahwa apa yang dilakukannya adalah baik bagi masyarakatnya. Tapi dia sangat salah.”

Loai tahu aku mengasihi Saleh dan tidak ingin dia mati. Dia tahu bahwa Saleh berjuang melawan sesuatu yang dia yakini sebagai hal yang jahat dan merugikan masyarakatnya. Dan mungkin karena itu pula, Loai juga jadi peduli akan nasib Saleh.

“Apakah mereka semua mati?”

“Aku belum melihat tubuh² mereka. Mereka membawa mayat² korban ke Rumah Sakit Ramallah. Kami ingin kau pergi ke sana juga untuk mengenali mayat² tersebut. Kau satu²nya yang mengetahui orang² ini.”

Aku ambil jaketku dan menyetir ke rumah sakit, dengan sangat berharap mayat Saleh tidak berada di situ dan mungkin Saleh tidak terbunuh. Ketika aku tiba, keadaan di rumah sakit kacau-balau. Para aktivis Hamas yang marah berteriak-teriak di jalanan, dan terlihat banyak polisi dimana pun. Tiada seorang pun yang boleh masuk ke dalam, tapi karena semua tahu siapa aku, maka petugas rumah sakit mempersilakan aku masuk. Seorang petugas medis membimbingku ke ruangan pendingin. Dia membuka pintu kulkas dan dengan perlahan menarik sebuah laci yang mengeluarkan semerbak kematian di seluruh ruangan.

Aku melihat ke dalam laci itu dan tampak wajah Saleh. Dia tampak hampir tersenyum. Tapi sebagian besar kepalanya telah hilang. Laci Sayyed terdiri dari kumpulan bagian² tubuh - kaki², kepala, dan lain² - semuanya dimasukkan ke dalam kantong plastik hitam. Hasaneen Rummanah telah terbelah dua. Aku tidak yakin bahwa itu adalah dia karena wajahnya bercukur dan Hasaneen selalu berjanggut coklat lembut. Meskipun media melaporkan bahwa Ibrahim Hamed juga berada diantara orang² yang terbunuh, pada kenyataannya, dia masih belum tertangkap. Ibrahim memerintahkan orang² ini untuk bertempur sampai mati, tapi dia sendiri lebih memilih melarikan diri menyelamatkan nyawanya.

Karena pada hakekatnya semua ketua Hamas di Tepi Barat mati atau sedang dipenjara, maka aku jadi penghubung bagi para pemimpin Hamas lainnya di Gaza dan Damaskus. Aku juga jadi penghubung utama seluruh jaringan organisasi², sekte², dan sel² di Palestina - termasuk sel² teroris. Juga hanya segelintir orang² Shin Bet yang mengetahui siapa aku sebenarnya. Hal ini sebenarnya sungguh mengherankan.

Karena peranan baruku ini, maka aku pun dengan sedih harus mengurus penguburan Saleh dan rekan²nya. Ketika aku melakukan hal ini, aku mengamati setiap gerakan dan mendengar setiap bisikan marah dan sedih orang² di sekitarku, yang mungkin bisa mengungkapkan di mana Ibrahim Hamed bersembunyi.

“Karena kabar burung sudah terbang ke mana²,” kata Loai, “dan kau duduk menggantikan para pemimpin yang kami tangkap, mari kita buat berita bahwa Ibrahim Hamed bekerja sama dengan Shin Bet. Masyarakat Palestina umumnya tidak mengetahui apa yang terjadi sehingga mereka akan percaya berita seperti ini. Akibatnya, Ibrahim Hamed harus keluar dari persembunyiannya untuk membela diri di muka umum atau setidaknya menghubungi pemimpin² politik Hamas di Gaza atau Damaskus. Apapun pilihannya, kita mungkin bisa melacaknya.”

Itu adalah gagasan yang baik, tapi ditolak oleh boss-nya karena khawatir Ibrahim akan membom penduduk sipil sebagai aksi balas dendam - ini sungguh pertimbangan yang tak masuk akal karena Ibrahim tentunya sudah sangat marah atas kematian teman²nya dan penangkapan separuh anggota organisasinya.

Maka kami pun menerapkan cara lain yang lebih sulit dilakukan.

Agen² Shin Bet menempatkan alat² penyadap suara di rumah Ibrahem Hamdi, dengan harapan istri dan anak²nya tanpa sengaja mengatakan dimana dia berada. Tapi ternyata rumah itu adalah rumah tersepi di Palestina. Sekali waktu kami mendengar putranya yang paling bungsu, Ali, bertanya pada ibunya,” Mana ayah?”

“Kita tidak membicarakan tentang hal itu sama sekali,” bentak ibunya.

Jika keluarganya saja sudah sedemikian berhati-hati, tentunya terlebih lagi Ibrahim Hamed. Bulan² berlalu tanpa ada jejak darinya.

***************
Di akhir bulan Oktober 2004, Yasser Arafat jatuh sakit saat rapat. Orang² di sekitarnya mengatakan dia sakit flu. Tapi keadaannya semakin memburuk, dan dia akhirnya diterbangkan dari Tepi Barat ke rumah sakit di luar kota Paris. Di tanggal 3 November, dia jatuh koma. Seseorang berkata bahwa dia sebenarnya telah diracun. Yang lain berkata dia kena AIDS. Dia mati di tanggal 11 November di usia tujuh puluh tiga tahun.

Image
Yasser Arafat mati di usia 73 tahun.

Seminggu lebih kemudian, ayahku dibebaskan dari penjara, dan tiada seorang pun yang lebih kaget atas pembebasannya selain dia sendiri. Loai dan beberapa pejabat Shin Bet bertemu dengannya di pagi hari dia dilepaskan dari penjara.

“Syeikh Hassan,” kata mereka, “sudah saatnya untuk mengadakan perdamaian. Orang² di luar memerlukan orang seperti kau. Arafat sudah wafat; sudah banyak orang yang terbunuh. Kau adalah orang yang bisa berpikir terang. Kita harus melakukan sesuatu bersama sebelum keadaan jadi memburuk.”

“Tinggalkan Tepi Barat, dan beri kami negara berdaulat,” jawab ayah, “dan masalah akan berakhir.” Tentu saja baik ayah maupun Shin Bet tahu bahwa Hamas tetap akan terus menyerang sampai negara Israel tidak ada lagi, meskipun negara Israel yang berdaulat mungkin bisa mendamaikan sekitar satu atau dua dasawarsa.

Di luar Penjara Ofer, aku menunggu bersama ratusan wartawan dari seluruh dunia. Sambil membawa barang² miliknya dalam sebuah kantung plastik hitam, ayah memicingkan mata karena silau sinar mentari sewaktu dua orang prajurit Israel membimbingnya keluar pintu.

Kami berpelukan dan berciuman, dan dia memintaku untuk segera membawanya ke kuburan Yasser Arafat sebelum kami pulang. Aku melihat matanya dan mengerti bahwa ini merupakan langkah yang sangat penting baginya. Karena Arafat telah mati, Fatah menjadi lemah dan jalanan kembali penuh dengan kekerasan. Para pemimpin Fatah khawatir Hamas akan mengambil alih kekuasaan dan usaha ini akan mengobarkan perang saudara. Amerika Serikat, Israel, dan masyarakat internasional juga takut hal itu akan terjadi. Kunjungan ketua top Hamas di Tepi Barat ke kuburan Arafat mengejutkan semua orang, tapi tiada seorang pun yang tak menangkap pesannya: Tenanglah, semua pihak. Hamas tidak akan mengambil kesempatan dari kematian Arafat. Tiada perang saudara.

Sebenarnya, setelah satu dasawarsa menangkap, memenjarakan, dan membunuh, Shin Bet masih saja tidak tahu siapakah yang berkuasa dalam Hamas. Dan tiada seorang pun yang tahu. Aku telah menolong mereka menangkap aktivis² buronan, orang² yang sangat terlibat dalam gerakan perlawanan, dengan harapan kami bisa menangkap orang² yang mengatur Hamas. Kami memenjarakan orang² sampai bertahun-tahun, kadang² hanya karena kecurigaan saja. Tapi Hamas tampak tidak kehilangan apapun.

Maka, siapakah sebenarnya yang mengatur Hamas?

Fakta bahwa yang berkuasa atas Hamas bukanlah ayahku tentunya mengejutkan siapapun – bahkan aku sendiri. Kami menyadap kantor dan mobilnya, memonitor setiap gerakannya. Dan sudah jelas bahwa dia bukanlah yang memberi perintah.

Hamas itu bagaikan hantu. Dia tidak punya pusat pemerintahan atau kantor² cabang, tiada tempat di mana orang bisa berkunjung untuk bicara dengan wakil organisasi. Banyak orang² Palestina yang berkunjung ke kantor ayahku, menyampaikan masalah² mereka, dan minta tolong, terutama para keluarga tawanan dan yang terbunuh yang kehilangan suami² dan bapak² mereka dalam intifada. Tapi bahkan Syeikh Hassan Yousef sendiri tidak sanggup menolong mereka. Setiap orang mengira dia punya jawaban masalah, tapi dia sebenarnya tidak berbeda dengan kami semua: dia tak punya jawaban.

Suatu kali dia memberitahuku bahwa dia sedang mempertimbangkan menutup kantornya.

“Mengapa? Di mana kau akan bertemu dengan media?” tanyaku.

“Aku tak peduli. Orang² datang dari mana², berharap aku bisa menolong. Tapi aku tak mungkin bisa menyediakan dana bagi yang membutuhkan; terlalu banyak yang datang minta tolong.”

“Mengapa Hamas tidak membantu mereka? Mereka adalah sanak keluarga para anggota Hamas. Hamas kan punya banyak uang.”

“Ya, tapi organisasi Hamas tidak memberikannya padaku.”

“Ya minta saja dong. Katakan pada mereka tentang orang² yang butuh bantuan.”

“Aku tak tahu siapa mereka atau bagaimana menemui mereka.”

“Tapi kau kan ketuanya,” protesku.

“Aku bukan ketuanya.”

“Kau mendirikan Hamas, ayah. Jika kau bukan ketuanya, lalu siapa dong?”

“Tiada seorang pun yang jadi ketua!”

Aku sangat terkejut. Shin Bet merekam semua pembicaraan, dan mereka juga terkejut.

Suatu hari, aku menerima telepon dari Majeda Talahme, istri Saleh. Kami belum sempat bicara setelah penguburan suaminya.

“Apa kabar? Bagaimana kabarnya Mosab dan adik²nya?”

Majeda mulai menangis.

“Aku tak punya uang untuk memberi makan anak².”

Aku berpikir, semoga Tuhan mengampunimu, Saleh, atas apa yang kau perbuat terhadap keluargamu!

“Baiklah, saudaraku, tenang, dan aku akan mencoba berbuat sesuatu.”

Aku lalu menemui ayah.

“Istri Saleh baru saja menelepon. Dia tidak punya uang untuk membeli makanan bagi anak²nya.”

“Sedihnya, Mosab, dia bukanlah satu²nya yang mengalami masalah seperti itu.”

“Ya, tapi Saleh adalah sahabatku. Kita harus segera berbuat sesuatu!”

“Nak, aku sudah memberitahu padamu. Aku tak punya uang.”

“Oke, tapi mestinya ada seseorang yang mengatur keuangan. Seseorang yang punya banyak uang. Ini sungguh tak adil! Saleh mati demi perjuangan Hamas!”

Ayahku mengatakan dia akan melakukan apa yang dia bisa. Dia menulis surat, yang kedengarannya seperti “bagi yang bersangkutan,” dan memasukkan surat ke dalam kotak pesan. Kami tidak bisa menelusuri siapa yang akan menerima surat itu, tapi kami tahu orang itu berada di Ramallah.

Beberapa bulan sebelumnya, Shin Bet telah mengirim aku ke sebuah warung internet di tengah kota. Kami tahu seseorang menggunakan salah satu komputer di warung itu untuk berkomunikasi dengan pemimpin² Hamas di Damaskus. Kami tidak tahu siapa para pemimpin tersebut, tapi tak disangsikan lagi bahwa Syria merupakan pusat kekuatan Hamas. Sudah masuk akal jika Hamas ingin mengontrol seluruh organsasi – kantor, persenjataan, dan kamp² militer – diluar jangkauan palu Israel.

“Kami tidak tahu siapa yang berhubungan dengan Damaskus,” kata Loai, “tapi tampaknya orang ini berbahaya.”

Sewaktu aku berjalan masuk ke warung internet tersebut, aku melihat dua puluh orang duduk di depan komputer² yang tersedia. Tiada seorang pun yang berjenggot. Tiada yang tampak mencurigakan. Tapi salah seorang dari mereka menarik perhatianku, meskipun aku tidak tahu mengapa. Aku tidak mengenalnya, tapi naluriku mengatakan bahwa aku harus mengawasi orang ini. Aku tahu ini hanya dugaan saja, tapi setelah bertahun-tahun bekerja sama, Shin Bet tahu bahwa mereka bisa percaya pada naluriku.

Kami yakin bahwa siapapun orang ini , dia kemungkinan berbahaya. Hanya orang yang sangat dipercaya saja yang bisa berkomunikasi dengan para pemimpin Hamas di Damaskus. Kami berharap dia akan membimbing kami untuk mengetahui siapa sebenarnya yang berkuasa atas Hamas. Kami sebarkan foto wajahnya, tapi tiada seorang pun yang mengenalnya. Aku mulai mempertanyakan ketajaman naluriku.

Beberapa bulan kemudian, aku berusaha menjual sebuah rumah di Ramallah. Beberapa orang datang untuk melihat, tapi tiada seorang pun yang mengajukan tawaran. Di sore harinya, ketika aku telah menutup rumah itu dan pulang, seseorang meneleponku dan bertanya apakah aku masih berada di rumah tersebut. Aku saat itu sudah sangat lelah, tapi aku mempersilakannya berkunjung dan bertemu denganku di rumah itu. Aku kembali ke rumah yang akan kujual, dan tak lama kemudian orang itu datang.

Ternyata orang ini adalah orang yang kucurigai di warung internet. Dia mengatakan namanya adalah Aziz Kayed. Dia bercukur rapih dan tampak sangat profesional. Aku bisa menduga bahwa dia berpendidikan tinggi, dan dia mengatakan bahwa dia memiliki pusat pendidikan Islam bernama Al-Buraq Center yang dihormati. Kelihatannya dia bukanlah orang yang kami cari. Tapi daripada membuat Shin Bet semakin bingung, aku tidak mengatakan pada siapapun.

Image
Mosab mendampingi ayahnya.

Tak lama setelah bertemu dengan Kayed, ayah dan aku mengunjungi berbagai kota, desa, dan kamp² penampungan di seluruh Tepi Barat. Di satu kota, lebih dari 50.000 orang berkumpul untuk bertemu dengan Syeikh Hassan Yousef. Mereka semua ingin menyentuhnya dan mendengar apa yang akan dia katakan. Dia masih sangat dicintai masyarakat.

Di Nablus, yang merupakan pusat Hamas yang kuat, kami bertemu dengan para pemimpin organisasi, dan aku bisa menebak siapa dari mereka yang menjadi anggota² konsul shurah – kelompok kecil beranggotakan tujuh orang yang membuat keputusan akan masalah strategis dan kegiatan sehari-hari gerakan di daerah mereka. Sama seperti ayah, mereka juga merupakan ketua² Hamas yang paling senior, tapi mereka bukanlah “pembuat keputusan” yang sedang kami cari.

Setelah bertahun-tahun, aku tidak percaya bahwa kontrol akan Hamas ternyata sudah terlepas dan jatuh ke tangan² yang tak diketahui. Jika aku sendiri, yang lahir dan dibesarkan di jantung Hamas, tidak tahu siapakah yang berperan menggerakkan Hamas, lalu siapa yang bisa tahu?

Jawabannya datang tiba² saja, entah dari mana. Salah seorang konsul shurah di Nablus menyebut nama Aziz Kayed. Dia menganjurkan agar ayah mengunjungi Al-Buraq dan bertemu dengan “orang baik” ini. Kupingku tiba² menjadi sangat waspada. Mengapa ketua Hamas lokal memberi anjuran seperti itu? Terlalu banyak kebetulan yang tampak: pertama, Aziz tampak mencurigakan di warung internet; lalu dia muncul di tempat aku menjual sebuah rumah; dan sekarang, anggota konsul memberitahu ayah untuk bertemu dengan orang ini. Apakah ini pertanda bahwa naluriku benar dan Aziz Kayed adalah seorang penting dalam organisasi Hamas?

Apakah kami demikian beruntung sehingga menemukan orang yang paling berkuasa? Meskipun masih ragu, aku tetap mengikuti naluriku. Aku kembali dengan cepat ke Ramallah, menelepon Loai dan memintanya untuk mencari keterangan tentang Aziz Kayed melalui komputer.

Beberapa Aziz Kayed muncul, tapi tak seorang pun cocok dengan keterangan akan yang dicari. Kami lalu mengadakan rapat darurat, dan aku meminta Loai memperluas pencarian nama Aziz Kayed di seluruh Tepi Barat. Mereka mengira aku gila, tapi tetap melaksanakan permintaanku.

Kali ini, kami menemukan keterangan tentang dirinya.

Aziz Kayed lahir di Nablus dan bekas anggota gerakan pelajar Islam. Dia menghentikan aktivitasnya sepuluh tahun yang lalu. Dia menikah dan punya beberapa anak, dan bisa dengan bebas keluar masuk negara Israel. Kebanyakan dari temannya adalah orang² sekuler. Kami tak menemukan keterangan yang mencurigakan.

Aku menjelaskan pada Shin Bet semua yang terjadi, dari saat aku melihatnya di warung internet sampai pada kunjungan ke Nablus bersama ayahku. Mereka mengatakan bahwa meskipun mereka sangat percaya padaku, kami tidak mempunyai cukup bukti.

Ketika kami sedang bicara, aku teringat sesuatu.

“Kayed mengingatkanku akan tiga orang yang kukenal,” kataku pada Loai. “Salah Hussein dari Ramallah, Adib Zeyadeh dari Yerusalem, dan Najeh Madi dari Salfeet. Ketiga orang ini punya gelar sarjana dan pernah aktif di Hamas. Tapi karena suatu alasan, mereka tiba² menghilang begitu saja sepuluh tahun yang lalu. Sekarang mereka hidup normal, tidak berhubungan dengan kegiatan politik apapun. Aku heran mengapa orang yang tadinya begitu bersemangat dengan Hamas, tiba² saja berhenti.”

Loai setuju bahwa mungkin hal ini perlu dicurigai. Kami mulai mempelajari kegiatan tiap orang tersebut. Ternyata ketiga orang ini masih berkomunikasi satu sama lain dan juga dengan Aziz Kayed. Mereka semua bekerja bagi Al-Buraq. Ini jelas lebih dari sekedar kebetulan saja.

Apakah keempat orang ini adalah para penggerak Hamas, bahkan mengontrol bagian militer Hamas pula? Apakah mereka selama ini menghindar radar pengamatan kami sewaktu kami mengarah pada tokoh² Hamas yang telah diketahui umum? Kami terus memonitor, menggali keterangan, dan menunggu. Akhirnya kesabaran kami terbayar dengan memuaskan.

Kami mengetahui bahwa keempat pria berusia 30-an ini menguasai total keuangan Hamas dan mengatur seluruh kegiatan Hamas di Tepi Barat. Mereka membawa uang sebesar jutaan dollar dari luar negeri, yang lalu mereka gunakan untuk membeli persenjataan, bom², merekrut sukarelawan, melindungi para buronan, menyediakan logistik, semuanya – semuanya dilakukan di bawah Al-Buraq, yang merupakan salah satu badan pendidikan Islam yang tampaknya tidak berbahaya.

Tiada yang tahu akan mereka. Mereka tidak pernah muncul di TV. Mereka hanya berkomunikasi melalui surat² yang dimasukkan ke dalam kotak² pesan. Sudah jelas bahwa mereka tidak percaya siapapun – buktinya bahkan ayahku sendiri tidak tahu keberadaan mereka.

Suatu hari, kami mengikuti Najeh Madi dari apartemennya ke penyewaan garasi umum yang jaraknya satu blok dari rumahnya. Dia berjalan ke salah satu bagian dan mengangkat pintu penutup ruang garasi. Apa yang dilakukannya di situ? Mengapa dia menyewa sebuah garasi tertutup yang jauh dari rumahnya?

Selama dua minggu, kami terus mengamati garasi sialan itu, tapi tiada yang datang mengunjungi tempat itu. Akhirnya pintu garasi dibuka – bukan dari luar, tapi dari dalam – dan Ibrahim Hamed keluar dari garasi tersebut!

Shin Bet menunggu cukup lama sampai dia kembali ke dalam garasi sebelum akhirnya ditangkap. Tapi ketika Ibrahim Hamed dikepung pasukan keamanan khusus, dia tidak berkelahi sampai mati seperti yang dia perintahkan pada Saleh dan teman²nya yang lain.

“Lepaskan bajumu dan keluar!”

Tiada jawaban.

“Kau punya waktu sepuluh menit. Setelah itu kami akan menghancurkan gedung!”

Dua menit berlalu, pemimpin bagian militer Hamas di Tepi Barat berjalan keluar pintu dengan hanya mengenakan celana dalam.

“Lepaskan semua bajumu!”

Dia ragu², lalu melepas celana dalamnya, dan berdiri telanjang di hadapan para prajurit Israel.

Ibrahim Hamed secara pribadi bertanggung jawab atas kematian lebih dari delapan puluh orang yang bisa kami buktikan. Mungkin kedengarannya tidaklah seperti anjuran Yesus, tapi jika semuanya terserah padaku, aku akan mengembalikan dia ke dalam garasi joroknya, menguncinya dalam tempat itu seumur hidup, dan Pemerintah Israel tidak perlu membayar ongkos proses pengadilan bagi dirinya.

Menangkap Ibrahim Hamed dan mengungkapkan pemimpin² Hamas yang sebenarnya merupakan operasi rahasiaku yang paling penting bagi Shin Bet. Dan ini juga merupakan yang terakhir.
User avatar
I Want You
Posts: 2321
Joined: Thu May 07, 2009 2:20 pm
Location: Serambi Yerusalem
Contact:

Re: SON OF HAMAS (PUTRA HAMAS)

Post by I Want You »

ini buku seru banget ! sampe2 gua pantengin nih thread ! :green:
=D> =D> =D> =D>

thank's atas jasa Senior Adadeh yang cape2 nerjemahinnya ! :prayer: :prayer: :prayer:

mohon ijin untuk menyebar luaskannya , ya ! :prayer:
ali5196
Posts: 16757
Joined: Wed Sep 14, 2005 5:15 pm

Post by ali5196 »

Stress gua bacanya !! Yang paling stress lagi adalah melihat anak-anak muda di jalan2 di Eropa mengenakan keffiyehnya Arafat ! What the f*#@ are they thinking ??? The guy is a bloodthirsty terrorist, killing YOUR friends !! Doodoos !!

Lihat foto2 di :
http://thetreehouseandthecave.blogspot. ... fiyeh.html
http://pajamasmedia.com/blog/the-keffiy ... statement/

Thanks Adadeh. Ini buku bestseller di AS. Jadi, sangat untunglah orang yg mengunjungi FFI : bisa baca bestseller secara gratis !!
Sabilla
Posts: 1310
Joined: Mon Jul 20, 2009 8:23 pm

Re: SON OF HAMAS (PUTRA HAMAS)

Post by Sabilla »

Ternyata buku ini bestseller, yaa.....??
Pantesan, buku ini mengharukan..... uwoOWWW...... Benar-benar mengharukan ! [-(
lafaek
Posts: 41
Joined: Tue Dec 18, 2007 7:27 am
Location: Mecca - The Devil's City
Contact:

Re: SON OF HAMAS (PUTRA HAMAS)

Post by lafaek »

Aku juga menyampaikan terima kasih kepada Mr. Adadeh yang tiada kenal lelah mengerjakan tugas ini . Beruntunglah kita-kita ini kenal FFI banyak sekali harta karun yang ada di Situs unik ini. Kalo tidak ada Mr. adadeh ini mungkin bagi saya organisasi Hamas ( yang memang terkesan menyeramkan ini ) msih merupakan misteri. Trimakasih kasih Mr. Adadeh.... Trimakasih kasih Mr. Adadeh.... Tapi gara-gara baca ini aku sampai terlambat ikut Misa Kamis Putih. Semoga Tuhan memberi umur panjang, kesehatan dan kebahagiaan di dinia dan ekhirat bagi Mr adadeh dan keluarga ,sehingga dapat melanjutkan misi di situs ini. .... Jangan lupa hatiku selalu berdebar-debar , seakan tak sabar menanti lanjutannya ... mas ya mr. Adadeh. :partyman: :partyman: :partyman: :partyman:
Phao
Posts: 452
Joined: Sun Jul 05, 2009 7:15 pm
Location: 'Atapiluloh Al Ajib' city - Arab Saudi

Re:

Post by Phao »

ali5196 wrote: Ini buku bestseller di AS. Jadi, sangat untunglah orang yg mengunjungi FFI : bisa baca bestseller secara gratis !!
Gratis, wkwkwkwk... :finga: :finga:
Tahu aja om Ali... :lol: :lol:
Tapi yg paling penting isinya muantap!! alhamduladi, semoga bro Adadeh cs lancar rezeki!! [-o< [-o< [-o<
User avatar
Adadeh
Posts: 8184
Joined: Thu Oct 13, 2005 1:59 am

Bab 26 – Pandangan bagi Hamas

Post by Adadeh »

Bab 26 – Pandangan bagi Hamas
2005


Saat ayah dipenjara yang terakhir kali, dia seakan mengalami pencerahan illahi.

Ayah adalah orang yang terbuka pikirannya. Dia bersedia duduk dan bicara dengan orang² Kristen, orang² tak beragama, dan bahkan orang² Yahudi. Dia mendengarkan baik² para wartawan, ilmuwan, dan analis, dan dia menghadiri berbagai ceramah di universitas². Dan dia juga mendengarkan aku - yang merupakan pembantu, penasehat, dan pelindungnya. Akibatnya, dia juga jadi berpandangan lebih luas dan bijaksana dibandingkan para pemimpin Hamas lainnya.

Dia melihat Israel sebagai kenyataan yang kekal dan mengakui bahwa banyak tujuan perjuangan Hamas yang tak masuk akal dan tak mungkin bisa dicapai. Dia ingin menemukan titik tengah bagi Israel dan Palestina, dan kedua pihak tak perlu kehilangan muka. Ayah lalu menyampaikan pidato pertama di muka umum setelah keluar dari penjara, dimana dia menyampaikan kemungkinan pemecahan masalah melalui terbentuknya negara Israel dan negara Palestina yang hidup berdampingan. Tiada satu pun ketua Hamas yang pernah mengatakan kemungkinan seperti itu. Paling² yang dulu mereka pernah lakukan hanyalah berjabatan tangan untuk mengumumkan jeda perang barang sebentar saja. Tapi ayahku mengakui hak Israel untuk eksis! Sejak itu, teleponnya terus berdering tak putus²nya.

Para diplomat dari setiap negara, termasuk Amerika Serikat, menghubungi kami untuk meminta bertemu secara rahasia dengan ayah. Mereka ingin tahu apakah dia benar² berpendapat begitu. Aku menjadi penerjemahnya, dan tak pernah meninggalkan sisinya. Teman² Kristenku mendukungnya secara tulus, dan dia mengasihi mereka karenanya.

Tak heran bahwa setelah itu, dia segera menghadapi masalah. Meskipun dia bicara atas nama Hamas, sudah jelas bahwa yang disampaikannya tidak sesuai dengan hati Hamas. Meskipun perasaan ayah sudah tidak sesuai lagi dengan perasaan Hamas, dia tidak bisa meninggalkan Hamas. Kematian Yasser Arafat telah mengakibatkan kekosongan kepemimpinan dan membuat jalanan kembali penuh pertikaian. Pemuda² radikal tampak di mana² - mereka bersenjata, hati mereka penuh kebencian, dan tanpa pemimpin.

Ini bukan berarti sukar mencari pengganti Arafat. Setiap politikus korup bisa saja muncul sebagai Arafat yang baru. Maasalahnya adalah dia telah begitu memusatkan PLO dan PA. Dia bukanlah orang yang bersedia bekerja sama dengan kelompok lain. Dia menguasai semua kekuasaan dan koneksinya. Dan namanya juga tercantum di semua akun bank.

Sekarang Fatah penuh dengan orang² yang ingin jadi seperti Arafat. Tapi siapakah diantara mereka yang bisa diterima oleh seluruh masyarakat Palestina dan international - dan cukup kuat untuk mengontrol berbagai organisasi yang berbeda? Bahkan Arafat sendiri kerepotan melakukan hal itu.

Ketika Hamas mengambil keputusan untuk berpartisipasi dalam pemilu parlemen Palestina beberapa bulan kemudian, ayahku tidak begitu antusias. Setelah sayap militer ditambahkan pada Hamas sewaktu Intifada Al-Aqsa, dia melihat Hamas berubah menjadi makhluk yang asing yang aneh, yang berjalan timpang dengan satu kaki militer yang panjang dan satu kaki politik yang pendek. Sudah jelas bahwa Hamas tidak mampu membentuk negara yang berfungsi sebagaimana adanya.

Untuk melakukan revolusi, diperlukan sikap yang murni dan tegas. Tapi untuk memerintah negara, diperlukan sikap kompromi dan flexibel. Jika Hamas ingin berkuasa, kemampuan berunding bukan hanya sekedar pilihan, tapi bahkan suatu kewajiban. Sebagai orang² yang dipilih masyarakat, mereka harus bertanggung jawab atas anggaran negara, air, makanan, listrik, dan pembuangan sampah. Dan ini semua harus datang dari pihak Israel. Negara Palestina yang mandiri harus bersedia bekerja sama dengan Israel.

Ayahku ingat dalam rapat²nya dengan para ketua negara² Barat, pihak Hamas selalu menolak setiap rekomendasi yang mereka ajukan. Sikap berpikiran sempit dan penuh penolakan itu rupanya sudah mendarah daging pada diri mereka. Dan jika para pemimpin Hamas tidak mau berunding dengan pihak AS dan Eropa, maka, pikir ayahku, bagaimana mungkin mereka akan bersedia berunding dengan Israel?

Ayahku tidak peduli bahwa Hamas punya banyak calon kandidat dalam pemilu. Dia hanya tidak ingin para senior Hamas seperti dirinya, yang dicintai masyarakat dan sangat berpengaruh, ikut serta dalam pemilu bagi Hamas, karena khawatir Hamas nantinya akan menang. Dia tahu bahwa jika Hamas menang pemilu, maka ini merupakan bencana bagi masyarakat. Kejadian di waktu selanjutnya membuktikan bahwa dia benar.

“Sudah jelas ada kekhawatiran dari pihak kami bahwa Israel, dan kemungkinan pihak lain juga, akan menghukum masyarakat Palestina karena mereka memilih Hamas,” aku mendengar ucapannya pada wartawan Haaretz. “Mereka akan berkata ‘kau memilih Hamas dan karenanya kami akan meningkatkan pengepungan terhadapmu dan membuat hidupmu semakin sulit.’” [13]
[13] Danny Rubinstein, “Ketua Hamas: Kau Tak Bisa Menyingkirkan Kami,” Haaretz, http://www.haaretz.com/hasen/pages/ShAr ... ntrassID=o.

Tapi banyak anggota² Hamas yang tergiur saat mencium bau uang, kekuasaan, dan kemegahan. Bahkan para bekas pemimpin yang sudah tidak aktif lagi, tiba² muncul dalam usaha memenangkan kedudukan dalam pemilu. Ayahku sangat muak dengan sikap serakah, tak bertanggung jawab, dan kebodohan mereka. Orang² ini bahkan tidak bisa membedakan antara CIA dan USAID. Siapa yang mau bekerja bagi mereka?

*******************

Aku juga merasa frustasi dalam berbagai hal.

Aku frustasi dengan korupsi yang terus terjadi dalam PA, kekejaman dan kebodohan Hamas, dan barisan panjang tanpa henti para teroris yang telah dipenjara dan dibunuh. Aku merasa lelah karena harus terus berpura-pura dan menanggung resiko besar setiap hari. Aku ingin kehidupan yang normal.

Ketika aku sedang berjalan-jalan di Ramallah pada bulan Agustus, aku melihat seorang membawa komputernya naik tangga menuju toko reparasi komputer. Tiba² muncul gagasan dalam benakku bahwa mungkin ada prospek baik bagi bisnis perawatan komputer pribadi dan membuat tim kerja seperti America Geek Squad (geek = orang² kikuk tapi sangat melek teknologi) versi Palestina. Sejak aku tak bekerja lagi bagi USAID dan ingin membuka suatu usaha, kupikir sebaiknya gagasan ini direalisasikan saja.

Aku berteman baik dengan manajer IT (Information Technology) di USAID, yang sangat berpengetahuan dalam bidang komputer. Ketika kuberitahu dia akan gagasanku, kami mengambil keputusan untuk jadi partner bisnis bersama. Aku menyediakan dana, dan dia menyediakan kemampuan teknis, dan kami memperkerjakan beberapa insinyur komputer lainnya, termasuk karyawan² wanita agar kami bisa lebih banyak mendorong kemajuan kaum wanita dalam budaya masyarakat Arab.

Kami namai perusahaan kami sebagai Electronic Computer Systems, dan aku juga membuat beberapa iklan untuk mempromosikan perusahaanku. Iklan² kami tampil dengan gambar karikatur seorang pria membawa komputer sambil naik tangga, dan putranya berkata padanya, “Ayah, kau tidak perlu melakukan itu” dan menganjurkan ayahnya untuk menelepon nomer telepon kami.

Panggilan telepon datang dari mana², dan kami tiba² saja jadi sangat sukses. Aku membeli sebuah mobil van untuk perusahaan, dan kami mendapatkan ijin menggunakan produk Hewlett-Packard yang kemudian kami gunakan untuk memperluas jaringan bisnis. Ini merupakan saat yang menggembirakan dalam hidupku. Aku sebelumnya tidak kesulitan uang, tapi kegiatan bisnis ini menyenangkan dan membuatku jadi produktif.

***************

Sejak aku memulai perjalanan rohaniku, aku kadang² membicarakan hal ini dengan rekan² Shin Bet dan kami beberapa kali melakukan pembicaraan yang menarik tentang Yesus dan perubahan imanku.

“Silakan percaya apapun yang kau kehendaki,” kata mereka. “Kau dapat membagi pendapatmu dengan kami. Tapi jangan bilang pada orang² lain. Dan jangan pernah dibaptis, karena ini merupakan pernyataan resmi umum. Jika orang² tahu kau telah jadi pemeluk Kristen dan meninggalkan agama Islam, kau akan menghadapi masalah besar.”

Kupikir mereka sebenarnya lebih khawatir akan masa depan mereka tanpa diriku daripada masa depanku sendiri. Tapi Tuhan merubah hidupku sedemikian rupa sehingga aku tidak mungkin bisa tetap seperti sediakala.

Suatu hari, temanku Jamal sedang memasak makanan malam bagiku.

“Mosab,” katanya, “Aku mempunyai kejutan bagimu.”

Dia mengganti saluran TV dan berkata dengan mata berseri-seri, “Coba lihat program TV Al-Hayat. Kau mungkin tertarik untuk melihatnya.”

Aku nonton TV dan melihat mata pendeta Koptik tua Zakaria Botros. Dia tampak baik hati, lemah lembut, dan berkata dengan suara yang dalam dan meyakinkan. Aku suka padanya – sampai aku menyadari apa yang dikatakannya. Dia secara sistematis melakukan bedah Qur’an, membelahnya dan menunjukkan setiap tulang, otot, urat daging, dan organ tubuh, dan lalu mengamati semuanya satu persatu di bawah mikroskop kebenaran dan menunjukkan bahwa seluruh buku Qur’an ternyata mengandung virus kanker.

Kesalahan sejarah dan fakta, kontradiksi² - dia jabarkan semuanya secara persis dan sopan, tapi dengan tegas dan penuh keyakinan. Naluriku pertama adalah ingin marah dan mematikan TV. Tapi perasaan ini hanya berlangsung selama beberapa detik saja sebelum aku menyadari bahwa ini sebenarnya adalah jawaban Tuhan atas doa²ku. Bapak Zakaria sedang memotongi semua potongan² daging mati Allâh yang masih menempel padaku, yang masih menghubungkan diriku dengan Islam, dan membutakan diriku pada kebenaran bahwa Yesus adalah benar² Anak Tuhan. Sebelum itu, aku tidak bisa mengalami kemajuan dalam mengikuti Yesus. Tapi semua ini tentunya bukanlah perubahan yang mudah. Bayangkan saja rasa sakit yang dialami ketika kau bangun pagi dan menyadari bahwa ayah yang kau kenal selama ini ternyata bukanlah ayahmu yang sebenarnya.

Aku tidak bisa mengatakan dengan tepat kapan hari dan jam aku “jadi Kristen,” karena semua proses ini berlangsung selama enam tahun. Tapi aku tahu bahwa aku sangat ingin dibaptis, tidak peduli Shin Bet bilang apa. Di saat itu, sekelompok orang² Kristen Amerika datang ke Israel untuk tamasya di Tanah Suci dan mendatangi cabang gereja mereka di Yerusalem, yakni gereja yang selama ini kukunjungi.

Tak lama setelah itu, aku berkawan baik dengan seorang gadis dari kelompok tersebut. Aku suka bicara dengannya, dan aku langsung mempercayainya. Ketika aku menyampaikan sedikit kisah rohaniku dengan dirinya, dia sangat mendukung diriku, dan mengingatkanku bahwa Tuhan seringkali menggunakan orang² yang tak kau duga untuk melakukan pekerjaanNya. Keterangan ini sangat sesuai dengan pengalamanku.

Di suatu petang ketika kami sedang makan malam bersama di Restoran Koloni Amerika di Yerusalem Timur, temanku bertanya mengapa aku belum juga dibaptis. Aku tidak bisa menjawab bahwa hal itu karena aku adalah seorang agen Shin Bet dan karena aku sangat terlibat dengan semua perkembangan politik dan aktivitas keamanan di daerah itu. Tapi pertanyaannya merupakan pertanyaan yang tepat, dan aku pun sering mempertanyakan hal itu pada diriku sendiri.

“Dapatkah kau membaptisku?” tanyaku.

Dia bilang dia dapat melakukannya.

“Dapatkah kau merahasiakan hal ini diantara kita berdua saja?”

Dia bilang dia sanggup, dan menambahkan, “Pantai tidak jauh letaknya dari sana. Mari kita pergi ke sana.”

“Serius nih?”

“Iya, dong. Mengapa tidak?”

“Baiklah. Mengapa tidak?”

Aku agak bingung ketika kami naik bus untuk pergi ke Tel Aviv. Apakah aku sudah lupa siapa diriku? Apakah aku benar² mempercayai gadis dari San Diego ini? Empat puluh lima menit kemudian, kami berjalan di pantai yang penuh orang, sambil minum minuman di udara petang yang segar dan hangat. Tiada seorang pun dari kumpulan orang ramai itu yang tahu bahwa putra ketua Hamas – organisasi teroris yang bertanggung jawab membunuh dua puluh satu remaja di disko Dolphinarium yang tak jauh dari sini – akan segera dibaptis jadi Kristen.

Aku melepaskan kaosku dan kami berjalan ke laut.

***************

Di hari Jum’at, tanggal 23 September, 2005, sewaktu aku mengantarkan ayahku kembali dari kamp penampungan dekat Ramallah, dia menerima panggilan telepon.

“Apa yang terjadi?” aku mendengar teriakan ayah ke teleponnya. “Apa?”

Suara ayahku terdengar sangat gusar.

Ketika dia menutup teleponnya, dia menjelaskan padaku bahwa yang meneleponnya adalah juru bicara Hamas yakni Sami Abu Zuhri di Gaza, yang memberitahunya bahwa Israel baru saja membunuh sejumlah besar anggota² Hasa saat rapat umum di kamp pengungsi Jebaliya. Dia mengatakan bahwa dia menyaksikan sendiri pesawat Israel meluncurkan misil² ke kumpulan orang². Mereka melanggar gencatan senjata, katanya.

Ayahku telah bekerja sangat keras untuk merundingkan gencatan senjata tujuh bulan sebelumnya. Sekarang tampaknya usahanya sia² belaka. Dia merasa tidak bisa mempercayai Israel dan sangat marah dengan sikap Israel yang haus darah.

Tapi aku tak percaya akan hal ini. Meskipun aku tidak mengatakan apapun pada ayah, laporan yang kudengar itu tak masuk akal.

Al-Jazira menelepon. Mereka ingin ayah tampil di siaran TV begitu kami tiba di Ramallah. Dua puluh menit kemudian, kami sudah berada di studio mereka.

Ketika mereka sedang mempersiapkan mikrofon untuk ayah, aku menelepon Loai. Dia meyakinkan diriku bahwa Israel tidak melakukan serangan apapun. Aku merasa lega. Aku minta produser untuk menunjukkan padaku rekaman video tentang serangan tersebut. Dia membawaku ke ruang kontrol, dan kami melihat video itu berulang kali. Tampak jelas bahwa ledakan berasal dari daratan dan bukan karena tembakan dari udara.

Syeikh Hassan Yousef sudah berbicara di TV, mencaci pengkhianatan Israel, mengancam akan menyudahi gencatan senjata, dan menuntut pemeriksaan internasional.

“Apakah kau sudah merasa lebih baik sekarang?” aku bertanya padanya setelah dia berjalan keluar ruangan studio.

“Apa maksudmu?”

“Maksudmu setelah kau mengucapkan pernyataanmu.”

“Mengapa aku harus merasa lebih baik? Sungguh sukar dipercaya mereka bisa melakukan hal itu.”

“Bagus, sebab mereka ternyata tidak melakukannya. Hamaslah yang melakukan itu. Zuhri itu pendusta. Mari masuk ke ruang kontrol; aku ingin kau melihat sesuatu.” Ayahku mengikutiku kembali ke ruang kecil di mana kami melihat video itu beberapa kali.

“Lihatlah ledakan itu. Lihat. Ledakan terjadi dari atas ke bawah. Ledakan ini tidak berasal dari udara.”

Kami nantinya mengetahui bahwa orang² militer Hamas di Gaza saat itu telah muncul sambil mengacungkan senjata² mereka untuk demonstrasi. Di saat yang bersamaan, sebuah misil Qasam yang diletakkan di bak belakang truk tak sengaja meledak dan membunuh lima belas orang dan melukai lebih banyak orang lagi.

Ayahku terkejut akan kebohongan yang dilakukan Hamas. Tapi Hamas tidak sendirian saja dalam melakukan penipuan ini. Selain hanya mempertontonkan video itu di siaran beritanya sendiri saja, Al-Jazira juga terus-meneruskan menyebarkan dusta tersebut. Setelah itu keadaan jadi memburuk. Sangat amat memburuk.

Sebagai balasan atas serangan palsu di Gaza, Hamas melontarkan empat puluh misil ke berbagai kota di Israel selatan. Ini merupakan serangan besar pertama sejak Israel telah mengundurkan diri sepenuhnya seminggu sebelumnya. Di rumahku, aku dan ayah menonton berita TV bersama seluruh masyarakat dunia. Keesokan harinya, Loai memperingatkan aku bahwa kabinet Pemerintahan Israel menetapkan bahwa Hamas telah membatalkan gencatan senjata.

Image
Mayor Jendral Yisrael Ziv, kepala operasi tentara Israel.

Sebuah laporan berita mengutip perkataan Mayor Jendral Yisrael Ziv, kepala operasi tentara Israel: “Sudah ditetapkan untuk melakukan serangan panjang dan terus-menerus terhadap Hamas,” dan wartawan menambahkan, “bahwa Israel sedang bersiap-siap untuk menyerang lagi para pemimpin Hamas,” hal yang tak dilakukan lagi setelah gencatan senjata dulu. [14]
[14] Israel Bersumpah untuk ‘Meremukkan’ Hamas setelah Serangan,” Fox News, 25 September, 2005, http://www.foxnews.com/story/0,2933,170304,00.html (dibaca di tanggal 5 Oktober, 2009).


“Ayahmu harus masuk penjara lagi,” kata Loai.

“Apakah kau meminta persetujuanku?”

“Tidak. Mereka memintanya secara pribadi, dan tak ada yang bisa kami lakukan akan hal itu.”

Aku sangat marah.

“Tapi ayah tidak memerintahkan penyerangan misil tadi malam. Dia tidak memerintahkan hal itu. Dia tidak berhubungan apapun dengan semua ini. Orang² idiot di Gazalah yang mengatur semua ini.”

Akhirnya aku kehabisan napas. Aku sangat terpukul. Loai memecahkan kesunyian.

“Apakah kau masih disana?”

“Ya.” Aku duduk. “Ini sungguh tak adil … aku tak mengerti.”

“Kau juga,” katanya perlahan.

“Aku juga, apa? Masuk penjara lagi? Tidak! Aku tak mau kembali lagi. Aku tak peduli melindungi perananku lagi. Semuanya sudah usai bagiku. Aku tidak mau lagi melakukan ini.”

“Saudaraku,” dia berbisik, “apakah kau pikir aku ingin kau ditangkap? Ini semua terserah padamu. Jika kau ingin tetap berada di luar, silakan berada diluar. Tapi sekarang keadaannya jauh lebih berbahaya daripada waktu kapanpun. Kau terus-menerus berada di samping ayahmu sepanjang tahun. Setiap orang mengetahui kau sangat terlibat dengan Hamas. Bahkan banyak yang percaya kau adalah bagian dari pemimpin Hamas … Jika kami tidak menangkapmu, maka kau akan mati dalam beberapa minggu saja.”
Post Reply