Pandangan2 Sufi: Dalam bagian ini, pandangan2 dari Sufi terkenal, khususnya di India, mengenai kafir dan doktrin2 islam yg kejam seperti Jihad, akan dirangkum agar dimengerti ideologi dan pemahamannya. Ghazzali, ideolog Sufi terbesar, mempunyai pandangan yang ortodoks dan keras akan Jihad. Dia menyarankan para muslim agar,
‘..harus berlaku Jihad setidaknya satu kali satu tahun… boleh memakai katapel terhadap mereka (lawan) jika mereka berada dalam benteng, meski mereka itu terdiri dari wanita dan anak-anak sekalipun. Boleh membakar atau menenggelamkan mereka.. boleh menebang pohon2 mereka.. harus menghancurkan kitab2 mereka (Bible, Taurat, dll). Para pejihad boleh mengambil pampasan perang apapun yang mereka inginkan..’ [cxxi]
Mengenai cara-cara pembayaran Jizyah utk menghina dhimmi, dia menulis sbb:
‘..orang Yahudi, kristen dan Majian harus membayar Jizyah.. dalam memberikan jizyah, para dhimmi harus menundukkan kepala sementara pejabat penerima memegang jenggot mereka dan memukul kepalanya.’
Dia meneruskan dengan menjelaskan sejumlah kekurangan2 standar bagi kaum dhimmi seperti yang dicatat dalam Syariah dan Pakta Umar. Tulisnya:
‘Mereka tidak boleh memperlihatkan anggur2 mereka atau membunyikan lonceng2 gereja.. rumah mereka tidak boleh lebih tinggi dari rumah orang muslim, betapapun rendahnya rumah muslim tsb. Kaum dhimmi tidak boleh mengendarai gajah atau kuda; mereka boleh naik keledai hanya jika sadelnya terbuat dari kayu. Mereka tidak boleh berjalan dibagian terbaik dari jalan raya. Mereka harus memakai tanda.. meskipun ditempat mandi umum tanda itu harus mereka pakai. Mereka harus menjaga lidah mereka..’ [cxxii]
Sufi India terkenal ini tidak meninggalkan komentar2 yg luas tentang gagasan2 mereka mengenai non muslim atau isu2 lain seperti Jihad. Tapi, komentar2 tertutup mereka akan isu2 tersebut, ketika kesempatan2 demikian muncul, cukup memberi gagasan bagi kita tentang pandangan2 mereka akan subjek ini. Umumnya, pandangan2 mereka akan kafir dan jihad tidaklah jauh dari pemikiran Ghazzali, sang Master Sufi Terbesar.
Nizamuddin Auliya (1238-1325), yang mengikuti garis ortodoks, mengutuk orang2 Hindu dengan api neraka, katanya: ‘orang2 kafir pada saat kematian akan mengalami hukuman. Saat itu, mereka akan mengaku beriman pada islam tapi tidak akan ditanggapi sebagai agama mereka karena hal itu bukan keimanan sesungguhnya… iman orang kafir saat mati akan tetap tidak diterima.’ Dia menyatakan bahwa ‘di hari kiamat ketika kafir menghadapi hukuman dan siksaan, mereka akan mencoba memeluk islam tapi islam tidak akan untung dipeluk mereka.. mereka akan masuk neraka meski mereka telah mengaku masuk islam sekalipun.’ [cxxiii] Dalam khotbahnya, Nizamuddin Auliya mengutuk kafir sebagai orang2 licik, katanya, ‘Dia (Allah) menciptakan surga dan neraka bagi orang2 percaya dan orang2 kafir demi membayar kelicikan yang mereka lakukan.’ [cxxiv]
Pemikiran Auliya akan jihad melawan non muslim bisa disimpulkan dari pernyataannya bahwa Surah al-Fatihah, tidaklah berisi dua dari 10 perintah utama dari islam, yang adalah “memerangi orang kafir dan menjaga hukum Allah..” dita bukan saja tidak percaya dalam perang melawan kafir atau jihad, dia datang ke India bersama para pengikutnya justru utk melakukan jihad itu. Dia ikut perang suci yang diperintahkan oleh Nasiruddin Qibacha di Multan. Ketika tentara Qibacha hampir kalah, Auliya mendatanginya dan memberi dia panah ‘ajaib’ dan berkata: “Tembakkan panah ini kearah tentara kafir.” Qibacha mengikutinya dan ketika fajar datang dia tidak melihat satu orangpun dipihak tentara kafir; mereka semua sudah lari!’ [cxxv] Ketika Qazi Mughisuddin bertanya tentang kemungkinan menang Jihad di India Selatan dibawah kepemimpinan Malik Kafur, Auliya menyatakan keyakinannya: “Kemenangan ini? Aku malah menunggu kemenangan2 berikutnya.” [cxxvi] Auliya biasa menerima hadiah2 hebat yang dikirim oleh Sultan Alauddin dari jarahan perang yang didapatkan dalam Jihad dan dengan bangga memamerkan dirumahnya (khanqah). [cxxvii]
Khwaja Moinuddin Chisti (1141-1230), mungkin adalah Sufi nomor Dua Terbesar di India setelah Nizamuddin Auliya, mendemonstrasikan kebencian yang sangat hebat terhadap agama Hindu dan praktek2nya. Saat kedatangannya ke dekat Danau Anasagar di Ajmer, dia melihat banyak kuil2 ‘berhala’ dan berjanji utk meratakan semuanya dengan pertolongan Allah dan utusanNya. Setelah menetap disana, para pengikut Khwaja selalu membawakan seekor sapi (binatang keramat bagi orang hindu) kedekat kuil terkenal disana, dimana para raja dan orang Hindu terkemuka sembahyang disana, dan menyembelihnya, lalu memasak kebab dari daging sapi sembelihan itu. Konon katanya dia telah mengeringkan dua danau suci (bagi orang Hindu) Anasagar dan Pansela dengan panas dari kekuatan spiritualnya belaka.’ [cxxviii] Chisti juga datang ke India bersama para pengikutnya utk berjihad melawan kafir dan ikut dalam prang suci ‘curang’ pimpinan Sultan Muhammad Ghauri, dimana Raja Hindu yang Baik dan dihormati rakyatnya, Prithviraj Chauhan dikalahkan di Ajmer. Dalam kefanatikan Jihadnya ini, Chisti memberikan penghargaan atas kemenangan ini pada dirinya sendiri dengan berkata, “Kami telah menawan Pithaura (Prithviraj) hidup2 dan menyerahkan dia kepada tentara islam. [cxxix]
Amir Khasrau (1253-1325), Murid kesayangan dari Shaykh Nizamuddin Auliya, dipuji sebagai Penyair Sufi paling besar diabad pertengahan India. Kedatangannya ke India dianggap sebagai berkat bagi anak benua itu oleh para sejarawan modern. Dia beruntung bisa bekerja di istana dibawah pemerintahan tiga sultan. Dianggap sebagai penyair India paling besar, dia juga dihargai sebagai penemu dari musik klasik india dan pencipta Qawwali (Musik Sufi). Tabla (tambur India) konon katanya adalah penemuan dia.
Sedikit sekali bukti2 mengenai pencapaian Amir Khasrau dalam musik dan syair. Tapi dalam bidang membantai kafir dan agama kafir, kefanatikan islamnya sangat2 terlihat dalam bukti2 sejarah. Dalam menjelaskan kemenangan2 muslim terhadap raja2 Hindu, dia mengejek tradisi2 agama mereka, seperti penyembahan ‘pohon’ dan ‘patung’. Dalam mengejek patung2, yang dihancurkan oleh para pejihad, dia menulis sbb: ‘Alhamdulliah, agama Muhammad telah dimuliakan. Tidak ragu lagi bahwa batu2 yang disembah oleh para Gabrs (kata lain utk para penyembah berhala) hanyalah batu2 yang tidak punya fungsi apa2 bagi mereka, mereka melakukan pekerjaan sia-sia dalam penyembahan itu.’ [cxxx]
Amir Khasrau menunjukkan rasa senangnya dalam menjelaskan pembantaian barbar para tawanan Hindu oleh pejuang jihad. Dalam menggambarkan perintah pembantaian Khizr Khan terhadap 30.000 orang Hindu dalam penaklukan Chittor tahun 1303, dia menulis: ‘Alhamdulliah! Syukurlah dia memerintahkan pemusnahan semua pemimpin Hindu dalam nama Islam, oleh pedang2 mereka sendiri.. atas nama Khalifah Allah, bahwa kemurtadan tidak ada tempat di India.’ [cxxxi] Dia menulis syair kegembiraan yang isinya menjelaskan penghancuran kuil Hindu terkenal di India selatan oleh Malik Kafur dan pembantaian orang2 hindu serta pendeta2 hindu disana. [cxxxii] Dalam menuliskan pembantaian dia menulis, ‘.. kepala para brahman dan kafir lepas dari leher mereka dan jatuh ketanah dekat kaki mereka sendiri, lalu darah mengalir bagaikan sungai.’ Mengenai penaklukan orang Hindu dan kemenangan barbar islam di India, dia menulis:
‘Seluruh negeri, lewat pedang para pejuang suci kita, telah menjadi sebuah hutan yang dibuang durinya oleh api. Islam berjaya, penyembah berhala ditaklukan. Kalau saja Hukum tidak memberi perkecualian utk membayar pajak jizyah dari kematian, nama Hindu, akar dan cabang2nya, akan musnah. [cxxxiii]
Amir Khasrau menjelaskan banyak sekali kisah kekejaman yang sangat barbar, sering malah kekejian itu ada dalam skala besar, kekerasan yang dilakukan oleh penakluk muslim terhadap orang2 hindu. Tapi tak sedikitpun dia menunjukkan ada rasa sedih atau menyesal atas terjadinya kekerasan tsb, dia malah bergembira. Ketika menuliskan tindakan2 barbar tsb, sering dia menyatakan rasa terimakasih pada Allahnya dan Muhammad atas kejayaan yang mereka berikan pada muslim.
Sufi2 Lain: Sufi besar lain yang datang ke India adalah Shaykh Makhdum Jalal ad-Din bin Mohammed, lebih terkenal dengan sebutan Hazrat Shah Jalal, yang menetap di Sylhet, Bengal. Disamping para sufi terkenal ini, ada Sufi besar lain, Shaykh Bahauddin Zakaria, Shaykh Nuruddin Mubarak Ghaznavi, Shaykh Ahmad Sirhindi dan Shaykh Shah Walliullah, dll. Mereka kebanyakan sering di kutuk oleh para sejarawan modern karena pandangan2 mereka yang relatif lebih ortodoks. Contohnya, Shaykh Mubarak Ghaznavi – seorang ulama dan Sufi islam terkenal pada aliran Suhrawardi – sangat tidak menghargai dan membenci kafir serta agama2 mereka, dia mengingatkan sang Sultan bahwa “Raja2 tidak akan bisa melakukan kewajiban mereka melindungi iman islam kecuali mereka memusnahkan para kafirin, shirik dan penyembah berhala, semua demi membela Allah dan diilhami oleh rasa hormat utk melindungi nabi Tuhan.” [cxxxiv] Tapi, dalam situasi2 yang tertentu yang biasanya sulis, dia menyarankan, “.. jika memadamkan penyembahan berhala tidak dimungkinkan karena berakar dalammnya para kafir dalam agama mereka dan karena banyaknya orang kafir dan mushrik, para raja setidaknya harus mempermalukan, menghina dan mengejek para mushrikin dan Hindu Penyembah berhala, yang adalah musuh2 terjahat bagi Allah dan utusanNya.” [cxxxv]
Meski dikutuk oleh sejarawan modern, para sufi ini sangat populer di jamannya, dihormati oleh para ulama dan khususnya para penguasa, hingga pandangan2 mereka berpengaruh pada pembentukan kebijakan negara tsb. Master Sufi Bahauddin Zakaria dan Nuruddin Mubarak mendapatkan julukan terhebat dalam islam – Shaykh al-Islam, biasanya julukan ini diberikan pada ulama paling terpelajar dalam islam.
Peran Para Sufi dalam penyebaran Islam: Para sufi disebut2 berjasa mengkonversi sejumlah besar orang kafir kedalam islam lewat jalan damai. Tapi pengakuan ini hanya didukung dengan bukti2 yang sedikit sekali. Dua hal harus jadi pertimbangan sebelumnya utk mendiskusikan hal ini. Pertama, para sufi mulai terorganisir dengan baik dan diterima oleh masyarakat ketika abad 13 dan awal abad 14. Saat itu, orang2 di timur tengah, Persia, Mesir dan Afrika Utara hampir seluruhnya telah menjadi muslim. Para sufi tidak mungkinlah berperan besar dalam konversi dinegeri2 tsb. Dengan persetujuan (baca persekongkolan), kata Francis Robinson, para sufi berperang besar dalam “penyebaran islam dengan hebat dari abad 13 dst.’ [cxxxvi]. Kedua, para sufi hampir pasti lebih dulu membutuhkan kekuasaan dan teror dari ujung pedang utk menciptakan dominasi islam sebelum menyebarkan islam dengan cara yang (katanya) damai.
Sikap dan pemikiran (mindset ) para Sufi besar diabad pertengahan india, yang disebut2 diatas, sama sekali tidak berbeda dari mereka yang memakai cara2 ortodoks, yang memakai kekuatan keji sesuai Quran, Sunnah dan Syariah utk menarik orang kafir ke islam. Para sufi terkenal di India, tanpa kecuali ikut serta mendukung Jihad kekerasan utk menjayakan islam. Sufi India terbesar – Nizamuddin Auliya dan Moinuddin Chisti – sendiri datang ke India utk ikut serta dalam perang suci (Jihad) melawan orang kafir. Auliya juga mengirim Shaykh Shah Jalal, Sufi Besar dari Bengal, bersama 360 muridnya utk ikut serta dalam perang Jihad melawan Raja Gaur Govinda dari Sylhet (lihat bawah). Sufi terkenal dari Bijapur juga datang kesana utk ikut perang suci membantai orang kafir dan mendirikan kekuasaan islami.
Konversi para Sufi di Bengali: Klaim bahwa para sufi secara damai mengkonversi non muslim masuk islam dalam jumlah besar tidaklah didukung oleh catatan sejarah. Terlebih lagi, kebanyakan sufi itu orang tidak toleran, mindsetnya Jihad keji bahkan mereka sendiri sebenarnya juga Pejihad. Ketika membicarakan isu ini dalam sebuah pembicaraan yang akrab dengan dua Ulama Bangladesh sekular, mereka bilang bahwa, setidaknya di Bangladesh, para Sufi telah menyebarkan islam lewat cara2 damai. Ini sesuai dengan pernyataan Nehemia Levtzion bahwa ‘para sufi khususnya berperan penting dalam pencapaian hampir seluruh penduduk Bengal timur.’ [cxxxvii]
Penyelidikan akan dua Sufi Besar Bengal menegaskan (lihat bawah) akan kebenaran peran para sufi dalam pengkonversian ini, dan ‘sedamai’ apakah cara2 mereka itu. Dua Jalaluddin, yaitu Shaykh Jalaluddin Tabrizi (m. 1226) dan Shaykh Shah Jalal (m.1347), adalah dua orang Sufi besar Bengal. Shaykh Jalaluddin Tabrizi datang ke Bengal setelah Bakhtiyar Khilji menaklukan Bengal dengan mengalahkan Raja Hindu Lakshman Sena tahun 1205. Dia menetap di Devtala dekat Pandua (Maldah, Bengal Barat). Katanya dia “mengkonversi sejumlah besar orang kafir masuk islam tapi metoda konversi itu sendiri tidak diketahui bagaimana. Menurut Syed Athar Abbas Rizvi, seorang kafir (Hindu) mendirikan kuil yang besar dan sebuah sumur. Sang Shaykh meluluh lantakan kuil tsb dan membangun sebuah takiya (khanqah)..’ [cxxxviii] Kisah ini setidaknya memberikan sedikit penjelasan tentang cara bagaimana para Sufi besar ini mengkonversi kafir ke islam. [cxxxix].
Shaykh Shah Jalal, Sufi besar lain dari Bengal, telah menetap di Sylhet. Dia dianggap sebagai pahlawan nasional oleh muslim Bangladesh. Shah Jalal dan murid2nya dianggap berjasa telah mengkonversi sejumlah besar orang Bengal masuk islam lewat jalan damai.
Ketika Shah Jalal menetap di Sylhet, Bengal Timur (Sekarang Bangladesh), disana diperintah oleh Raja Hindu bernama Gaur Govinda. Sebelum kedatangannya ke Bengal, Sultan Shamsuddin Firuz Shah telah dua kali menyerang Gaur Govinda; penyerangan ini dipimpin oleh kemenakannya, Sikandar Khan Khazi. Dalam kedua serangan tsb, penjajah muslim dikalahkan . [cxl] Serangan ketiga dikomandani oleh Jendral Kepala sang Sultan sendiri, Nasiruddin. Disini Shaykh Nizamuddin Auliya mengirim muridnya yang terkenal, Shah Jalal bersama 360 pengikutnya utk ikut serta berjihad. Shah Jalal mencapai Bengal dan bergabung bersama tentara muslim. Dalam peperangan tsb, Raja Gaur Govinda dikalahkan [cxli]. Menurut kisah2 tradisional, penghargaan atas kemenangan perang ini jatuh kepundak Shah Jalal dan murid2nya.
Sepertinya sudah menjadi aturan umum, untuk setiap perang, para muslim mestilah membawa banyak sekali para budak, jumlahnya dari puluhan ribu hingga ratusan ribu, yang suka rela menjadi muslim. Tak pelak lagi, hari pertama kedatangan Shah Jalal ke Sylhet, dia mengkonversi banyak orang kafir dengan todongan perbudakan dan pedang – benar2 sebuah cara yang sangat ‘damai’ dalam penyebaran islam! Ibn Batutah, yang datang berkunjung ke Shah Jalal di Sylhet mencatat bahwa cara2 tsb sangat berperan penting dalam mengkonversi banyak orang kafir jadi memeluk islam disana [cxlii]. Tapi dia tidak menceritakan dengan rinci standar ukuran yang bagaimana yang dipakai sang Sufi dalam konversi tsb. Kita harus pertimbangkan bahwa Shah Jalal datang ke India bersama 360 pengikutnya utk berperang Jihad’ [cxliii]. Dan dia ikut perang berdarah melawan Raja Gaur Govinda. Keterangan ini saja memberi kita gagasan yang jelas tentang cara bagaimana yang dipakai dalam mengkonversi orang2 Hindu di Sylhet.
Pada kesempatan lain, dikatakan Sufi Nur Qutb-i-Alam memainkan peran penting dalam konversi besar-besaran di Bengal. Tahun 1414. Ganesha, pangeran Hindu memberontak terhadap pemerintahan muslim dan berhasil mengambil alih kekuasaan di Bengal. Naiknya Hindu ke puncak kekuasaan memunculkan reaksi yang kuat diantara kaum Sufi dan para Ulama. Mereka menolak pemerintahan ini dan meminta tolong dari penguasa muslim diluar Bengal. Menjawab permintaan ini, Ibrahim Shah Sharqi menaklukan Bengal dan mengalahkan Ganesha. Nur Qutb-i-Alam, Master Sufi yg dianggap pemimpin di Bengal, mengajukan gencatan senjata. Dia memaksa Ganesha utk turun takhta dan menjadikan anaknya Ganesha yg berumur 12 tahun, Jadu, masuk islam sekaligus dijadikan raja boneka dengan nama Sultan Jalaluddin Muhammad [xcliv]. Konversi oleh sufi ini, yg katanya damai ini, terbukti menjadi hikmah bagi Islam. Sang sufi melatih Sultan Muda dalam hal islam dengan begitu baiknya hingga sang Sultan menjadi pengkonversi paling berdarah lewat kekejian2nya. Disanalah, tulis Cambridge History of India, gelombang konversi besar-besaran dibawah kekuasaan Jalaluddin Muhammad (1414-1431) [cxlv]. Tentang peran khusus Jalaluddin dalam mengkonversi orang Hindu di Bengal jadi masuk islam, Dr. James Wise menulis dalam Journal of the Asiatic Society of Bengal (1894) bahwa ‘satu-satunya kondisi yang dia tawarkan adalah terima Quran atau mati.. Banyak orang hindu lari ke Kamrup dan hutan2 di Assam, tapi tetap saja lebih banyak mualaf ditambahkan kedalam jumlah orang muslim selama 17 tahun itu (1414-1431) dibandingkan dengan 300 tahun berikutnya.’ [cxlvi]
Prof. Ishtiaq Hussain Qureishi membuat pengamatan yang menarik bahwa para sufi di Bengal memainkan peran misionaris yang penting dalam mengkonversi orang2 hindu dan buddhis, tapi dalam sebuah cara yang ‘ortodoks’. [cxlvii] Artinya bahwa para sufi di Bengal secara doktrinasi adalah sangat ketat; dg demikian, kompromi dan bujukan2 damai secara doktrin tidaklah mungkin dipakai sebagai cara mereka karena cara ortodoks menuntut dipakainya kekuatan tanpa syarat dalam mengkonversi kafir. Ishtiaq meminjam kepercayaan terhadap ortodoksnya sufi di bengal dengan mengatakan bahwa ‘mereka mendirikan khanaqah2 mereka dan tempat2 pemujaan mereka di kuil2 yang telah terkenal sebagai tempat perlindungan sebelum islam.’ Ishtiaq ingin mengatakan pada kita bahwa didirkannya khanqah ditempat bekas kuil hindu atau budha (setelah menghancurkan kuil tsb), adalah sebuah fenomena yg selalu muncul diantara cara2 sufi dimanapun, yg memfasilitasi konversi orang2 pribumi kafir seperti Levtzion katakan ‘para sufi mendirikan khanaqah mereka ditempat bekas kuil2 buddha dan hal tsb cocok sekali dengan situasi religius di Bengal saat itu.’ [cxlviii]
Sangat mustahil sekali jika ada yang mengatakan bahwa orang Hindu dan Buddhis di Bengal sangat senang para Sufi menghancurkan kuil2 mereka dan mendirikan Khanaqah disana. [cxlix] Tentu saja, Sejarah india penuh dengan pernyataan2 bahwa orang2 Hindu dan non muslim lainnya menyambut hangat kedatangan para muslim yang menetap diantara mereka dengan ‘damai’nya, tapi anehnya kok orang2 hindu dan non muslim ini memberontak terhadap muslim ketika diserang agamanya. Pemberontakan yang terus menerus yang dihadapi penjajah muslim dari orang2 India sama politisnya dengan serangan penjajah terhadap institusi agama dan budayana – sebuah fakta, yang berulang kali ditekankan oleh Jawaharlal Nehru dalam tulisan2nya. Pemerintahan Akbar yg liberal dan Zainul Abedin (di Kashmir), yang melarang penganiayaan berdasarkan agama dan mengijinkan kebebasan agama, adalah sebuah hal yang paling damai dan membuat makmur. Ini membuktikan bahwa orang2 india tidak pernah suka ketika orang2 muslim, baik itu para penguasa maupun par asufi, menghina simbol2 agama mereka. Terlebih lagi, orang2 Buddhis, yg katanya dominan sebagai mualaf di Bengal, yang sebelumnya dengan sukarela meninggalkan agama Hindu utk masuk agama Budha, karena sifat damai dan anti kekerasan dari Buddhisme. Serangan orang muslim terhadap kuil dan tempat2 suci lalu mengubah tempat2 itu menjadi mesjid dan khanqah, tak pelak lagi telah menciptakan reaksi yang besar, yang sama sekali tidak berpihak pada islam.
Konversi oleh para Sufi yg mengerikan di Kashmir: Catatan sejarah Persia, Baharistani-Shahi dan Tarikh-i-Kashmir (1620), memberikan kisah yang rinci akan keterlibatan para sufi dalam konversi Hindu di Kashmir. Sufi terbesar yang datang ke Kashmir adalah Amir Shamsud-Din Muhammad Iraqi. Dia membentuk persekutuan yg kuat dengan Malik Musa Raina, yang menjadi administrator di Kashmir tahun 1501. Sultan Zainul Abedin (1423-74), penguasa muslim Liberal dan toleran di Kashmir, telah mengijinkan kebebasan agama dan membiarkan Hindu berkembang, yang sebelumnya dilarang oleh kekuasaan Sikandar [cl]. Dengan perlindungan dan otoritas dari Malik Raina, catatan Baharistan-i-Shahi, Amir Shamsud-Din Muhammad melakukan penghancuran besar-besaran terhadap rumah2 ibadah serta juga penghancuran dasar2 dari ketidak setiaan dan ketidak percayaan. Pada setiap rumah ibadah yg dihancurkan, dia perintahkan utk didirikan mesjid. [cli] Tarikhi-Kashmir, catatan sejarah Kashmir yang dicatat oleh Haidar Malik Chadurah, yang mengabdi pada Sultan Yusuf Shah (1579-86), mencatat: ‘Sheikh Shams-ud-Din sampai di Kashmir. Dia mulai menghancurkan rumah2 ibadah dan kuil2 Hindu dan berusaha mencapai tujuannya.’ [clii] Sebuah catatan sejarah abad pertengahan berjudul Tohfat-ul-Ahbab, mencatat bahwa ‘atas permintaan Shamsud-Din Iraqi, Musa Raina mengeluarkan perintah bahwa setiap hari sekitar 1.500 sampai 2.000 orang kafir dibawa kedepan rumah Mir Shamsud-Din oleh para pengikutnya. Mereka harus melepas simbol2 keramat agama mereka (zunnar), mengucapkan Syahadat, disunat dan makan daging sapi.’ Mereka dipaksa jadi muslim. Tarikh-i-Hasan Khuilhami mencatat tentang konversi orang Hindu ke Islam oleh Shamsud-Din Iraqi ’24.000 keluarga Hindu masuk islam dengan paksaan dan tekanan (qahran wa jabran).’ [cliii]
Tahun 1519, Malik Kaji Chak naik pangkat menjadi Komandan Militer dibawah Sultan Muhammad Shah. Dan ‘salah satu perintah utama Amir Shamsud-Din Muhammad Iraqi dilaksanakan olehnya (Kaji Chak) adalah membantai orang kafir dan pemeluk agama politeis ditanah ini.’ Catat Baharistan-i-Shahi. [cliv] Banyak diantara mereka, masuk islam karena paksaan selama kekuasan Malik Raina, lalu belakangan kembali pada agama politeisme mereka (Hindu). Gosip disebarkan bahwa para murtadin ini ‘telah memakai Quran sebagai tempat duduk mereka.’ Mendengar ini, seorang Sufi yang marah protes pada Malik Kaji Chak:
‘Masyarakat penyembah berhala ini, setelah memeluk dan tunduk pada iman islam, sekarang kembali berbalik dan murtad. Jika kau tidak bisa menghukum mereka sesuai dengan hukum Syariah dan melakukan tindakan disipliner pada mereka, maka wajib bagi ku itu pergi dari sini mengasingkan diri.’ [clv]
Patut dicatat bahwa keluhan Shaykh Iraqi tidaklah menyebut2 tentang penghinaan terhadap Quran tapi Cuma menekankan tentang murtadnya orang2 bekas Hindu tsb. Utk menyenangkan hati sang Sufi, Kaji Chak ‘memutuskan melakukan pembantaian besar-besaran terhadap orang2 kafir.’ Catat Baharistan-i-Shahi. Pembantaian mereka dijadwalkan utk dilakukan pada hari Ashura (Muharram 1518) dan ‘sekitar 700 hingga 800 orang kafir dibunuh.’
Mereka yang terbunuh adalah orang2 yang menjadi pemimpin komunitas orang kafir saat itu. Dg demikian, ‘seluruh komunitas orang kafir dan politeis di Kashmir dipaksa masuk lagi islam dibawah todongan pedang. Ini adalah satu sukses utama dari Malik Kaji Chak,’ catat Baharistan-i-Shahi. [clvi] Tindakan mengerikan ini, tentu saja, atas perintah sang Sufi Terkenal.
Sayyid Ali Hamdani adalah sufi terkenal lainnya, yang sampai di Kashmir sekitar tahun 1371 atau 1381. Hal pertama yang dia lakukan ketika tiba di Kashmir adalah membangun mesjid dibekas kuil yang dia hancurkan..’ [clvii] Sebelum kedatangannya ke Kashmir, sang penguasa Sultan Qutbud-Din sedikit sekali perhatiannya dalam menetapkan undang2 agama. Orang2 muslim disegala tingkat masyarakat, termasuk para Qazi dan ulama2 saat itu, sangat memperhatikan terhadap hal2 yang dilarang dan diijinkan oleh Islam. Penguasa Muslim, alim ulama dan orang2 awam bertoleran dan merasa nyaman berada diantara tradisi2 Hindu. [clviii] Kaget dan ngeri atas praktek2 tidak islami dari muslim2 kashmir, Sayyid Hamdani melarang semua hal itu dan mencoba membangkitkan gaya ortodoks. Sultan Qutbud-Din mencoba mengadopsi cara islam ortodoks dalam gaya hidupnya, tapi ‘gagal utk menyebarkan islam sesuai dengan harapan dan kehendak dari Amir Sayyid Ali Hamdani.’ Enggan tinggal di negeri yang didominasi oleh agama, adat dan budaya kafir, sang Sufi meninggalkan Kashmir sebagai protes. Belakangan, anaknya Amir Sayyid Muhammad, sufi besar lainnya, datang kesana ketika Sikandar berkuasa. Kongsi antara Sayyid Muhammad dan Sikandar dg sukses menyapu penyembahan berhala dari Kashmir seperti ditulis diatas. Dan sang Sufi Sayyid Muhammad, catat Baharistan-i-Shahi ‘dihargai berperan besar dalam menyapu bersih penyembahan berhala dan penistaan agama dari para penghuni negeri ini.’ [clix]
Konversi oleh Sufi di Gujarat: Sultan Firoz Shah Tughlaq (berkuasa.1351-88) telah menunjuk Furhut-ul-Mulk sebagai gubernur Gujarat. Meneruskan kebijakan toleran terhadap orang Hindu, catat Ferishtah, Furhut-ul-Mulk ‘mendorong agama hindu, dan dg demikian malah mempromosikan bukannya menekan penyembahan berhala.’ [clx] Seperti biasa, hal ini menimbulkan reaksi diantara ‘para sufi dan ulama Mahomedan diGujarat, mereka takut kebijakan ini akan menyebabkan tergesernya agama sejati Islam dibelahan bumi sana.’ Mereka mengirim surat pada Sultan Delhi menjelaskan pandangan2 politik gubernur muslim yg liberal dan ‘bahayanya terhadap iman sejati jika dia dibiarkan bertahan dalam pemerintahan.’ Setelah menerima keluhan ini, Sultan Firoz Shah ‘mengadakan pertemuan dengan para sufi dan ulama di Delhi dan hasilnya mereka menunjuk Zuffur (Moozuffur Khan)’ sebagai raja Muda di Gujarat. [clxi]
Moozuffur Khan – diminta sekaligus dipilih oleh para sufi – segera setelah Furhut-ul-Mulk yg toleran disingkirkan dari Gujarat dan langsung dia melepaskan teror brutal terhadap orang hindu, termasuk pemaksaan agama dan penghancuran kuil2 mereka. Tahun 1395, ‘dia menuju Somnath, setelah menghancurkan semua kuil hindu disana; dia bangun mesjid di tanah bekas kuil2 tsb dan menempatkan para sufi sebagai penyebar agama dan pejabat pemerintah dinegeri2 tsb.’ [clxii]
Contoh ini sekali lagi membuktikan bahwa para sufi secara umum tidaklah toleran terhadap penguasa muslim yg liberan dan baik-hati (toleran) terhadap non muslim. Pertanyaan lalu muncul: bagaimana kaum sufi, yang ditempatkan oleh Moozuffur Khan di Somnath, menyebarkan islam diantara orang2 Hindu yang ketakutan akan teror setelah kuil2 mereka dihancurkan?
Para sufi di Gujarat dan Delhi ingin gubernur Furhutul-Mulk dipecat karena tidak menekan orang2 Hindu. Dg demikian, tidak ragu lagi bahwa para Sufi, yang ditempatkan di Somnath oleh Moozuffur Khan, dengan giat dan cermat bekerja sama dengan para pejabat muslim utk memaksakan hukum2 islam dan menindas agama Hindu. Artinya, para sufi harus memastikan bahwa kuil2 Hindu yang dihancurkan tidak dibangun lagi dan bahwa agama Hindu tidak dipraktekan kembali. Tentu saja, mereka mungkin bertindak seperti apa yang dilakukan oleh Sufi Besar Shamsud-Din Iraqi dari Kahsmir – yang mana para pengikutnya, dibantu oleh tentara muslim – memaksa 1.500-2.000 kafir Hindu ke mesjid setiap hari dan dipaksa masuk islam.
Sumbangan yg sebenarnya dari Para Sufi dalam Konversi: Jika kaum sufi memainkan peran besar dalam penyebaran islam seperti yang populer diberitakan, pastilah terjadinya diindia; karena, penaklukan islam di India terjadi diwaktu yang sangat tepat, ketika Sufisme mulai terorganisir dengan baik dan secara luas diterima oleh masyarakat muslim utk pertama kalinya. Telah dicatat bahwa Khwaja Moinuddin Chisti tiba ke Ajmer dengan tentaranya Sultan Muhammad Ghauri ketika penaklukan muslim mulai menancapkan kakinya di India Selatan. Seperti diceritakan diatas, tak satupun para Sufi India yg besar punya mentalitas yg dibutuhkan utk menyebarkan islam secara damai. Khwaja Moinuddin Chisti, Nizamuddin Auliya dan Shaykh Shah Jalal datang utk melakukan perang suci di India, dan pastinya, ikut serta berjihad artinya adalah membantai dan memperbudak orang2 hindu. Nizamuddin Auliya mendorong peperangan barbar Sultan Alauddin dan jelas2 bersenang hati dalam kemenangan jihad yang sangat berdarah serta dengan senang hati pula menerima harta rampasan bagiannya yang sangat besar.
Semua ini adalah sejarah yg tercatat dari para Sufi terkenal dan ‘katanya toleran’ di abad pertengahan India. Semua pertanda menunjukkan bahwa, bukannya melakukan profesi misionaris dalam menyebarkan islam dengan cara damai, tapi para sufi ini bisa dikatakan adalah pendukung moral dan spiritual dari perang berdarah yang dilakukan oleh para penguasa muslim. Mereka bahkan ada yang ikut serta dalam peperangan tersebut. Di Kashmir, para sufilah, yang mengilhami Jihad berdarah yang menyebabkan penghancuran besar-besaran kuil hindu, pembantaian orang Hindu dan pemaksaan masuk islam. Mentalitas, Sikap dan tindakan dari para Sufi ternama abad pertengahan India ini – baik itu di Ajmer, Bengali, Bijapur, Delhi ataupun Kashmir – differed very little. Karenanya, peran sufi dalam konversi diseluruh India mungkin tidaklah begitu berbeda dari yang mereka mainkan di Kashmir.
Patut dicatat bahwa penguasa2 muslim India tak putus-putusnya melakukan perang Jihad melawan orang2 Hindu. Banyak dari perang2 ini melibatkan pembantaian besar-besaran hingga hilangnya atau diperbudaknya puluhan ribu hingga ratusan ribu wanita dan anak2 demi konversi islam mereka. Tak ada satupun sufi ternama yang berkeberatan atas praktek barbar dan cara2 utk mengkonversi kafir kedalam islam ini. Tak ada satupun Sufi ternama india yang pernah menyatakan keberatan, mengutuk tindakan barbar ini. Mereka tidak pernah meminta sang penguasa utk menghentikan tindakan barbar dan cara2 konversi dengan kematian ini. Tak satupun dari mereka pernah berkata: ‘jangan menangkap orang2 hindu demi konversi ke islam dengan cara keji ini. Biarkan kami yang bekerja dengan damai. Itu misi kita utk dicapai lewat jalan damai.’ Malah, mereka mengulurkan tangan dukungan, dorongan dan bahkan ikut serta dalam perang2 barbar tsb.
Catatan sejarah keterlibatan para sufi dalam konversi orang Hindu di Kashmir, Gujarat dan Bengal memperjelas gagasan bahwa cara2 yang mereka terapkan sejalan dengan ideologi ‘menyimpang’ mereka dan sejalan dengan sikap muslim terhadap non muslim dan sejalan dengan dalil2 agama mereka. Di Kashmir, merekalah yang mengilhami penguasa utk melakukan cara brutal terhadap orang Hindu dan konversi paksa. Tidak ada bukti yang mendukung bahwa mereka mengkonversi non muslim dalam jumlah besar lewat jalan damai. Jika konversi demikian terjadi – mereka, setidaknya, memainkan peran menyeluruh dalam semua konversi yang terjadi di India abad pertengahan. Peran mereka ditempat lain juga ternyata tidaklah demikian hebatnya seperti yang digembar-gemborkan.
Sedikit dokumentasi akan konversi damai para Sufi: Sejarawan muslim meninggalkan tumpukan dokumentasi tentang kafir yang dipaksa masuk islam lewat peperangan dan perbudakan, dalam jumlah besar, selama ekspedisi perang muslim yang seakan tak berkesudahan, diseluruh penjuru India abad pertengahan. Tak ada satupun dokumen yang menyebutkan, dalam satu kejadian sekalipun, mengenai sufi yang mengkonversi orang Hindu hingga masuk islam dalam jumlah besar LEWAT CARA NON KEKERASAN (DAMAI).
Sultan Mahmud memperbudak 500.000 orang hindu dalam ekspedisi pertamanya ke India, yang langsung dia catat sebagai ‘orang hindu masuk islam’. Shams Shiraj Afif mencatat bahwa Sultan Firoz Tughlaq mengkonversi sejumlah besar orang Hindu dengan menawarkan mereka keringanan dari tekanan dan penghinaan jizyah serta pajak2 lainnya, [clxiii] yang mana juga diklaim oleh sang Sultan itu sendiri (dituliskan diatas). Menurut Afif, dia mengumpulkan 180.000 anak lelaki Hindu sebagai budak; ‘sebagian dari budak2 itu menghabiskan waktu mereka membaca dan menghafalkan kitab2 suci, yang lainnya mempelajari agama, menyalin kitab.’ [clxiv] Bahkan selama berkuasanya Akbar yang toleran, yang melarang perbudakan serta konversi paksa, Jendralnya yang tidak begitu termashyur, Abdulla Khan Uzbeg, yang memerintah Malwa hanya sekitar dua tahun, telah mengkonversi 500.000 kafir masuk islam lewat perbudakan. [clxv] Kakek moyang muslim sekarang di propinsi barat laut kebanyakan masuk islam selama kekuasaan si fanatik Aurangzeb hanya utk menghindari penganiayaan, mendapatkan hak istimewa dan diringankan dari pajak yang mencekik leher.
Ditengah gaya konversi paksa yang dominan ini, ada beberapa bukti atau catatan bahwa para sufi membuat sumbangan yang penting.
Berdasarkan penyelidikan sejarah konversi di abad pertengahan India, catat Habib, ‘Muslimin tidak punya karya misionaris utk dicatat.. kita tidak menemukan adanya gerakan misionaris utk mengkonversi non muslim ke islam.’ Dia menambahkan bahwa islam abad pertengahan ‘gagal utk mengembangkan aktivitas misionaris;’ dan bahwa, di India, ‘kita harus mengakui dengan jujur bahwa tidak ada jejak2 gerakan misionari mengenai konversi non muslim ke islam.’ Dia lebih lanjut menambahkan: ‘buku2 mistik murahan sekarang bertebaran menyebut-nyebut konversi ke muslim mistik berdasarkan mukjijat2 yang mereka lakukan.. tapi buku2 demikian bisa dengan mudah dibuktikan sebagai karangan belaka.’ [clxvi] Penyelidikan Rizvi mengenai Mistik Sufi di abad pertengahan india juga membawa dia utk menyimpulkan bahwa ‘catatan mistik dahulu (malfuzat dan Maktubat) tidak menyebut tentang konversi ke Islam oleh para sufi ini.’ Nizamuddin Auliya adalah sufi besar India. Tapi dalam catatan biografinya Fawaid-ul-Fuad mencatat konversi dua orang hindu saja olehnya, dua orang hindu itu adalah penjual kartu. [clxvii]
Mengenai ‘kisah’ konversi besar-besaran, yang mana katanya para sufi terlibat disana, peran mereka adalah menghasut para penguasa agar melakukan kekerasan dan kekejian terhadap non muslim yang berujung pada konversi mereka. Bukti2 diatas yang banyak membuat sangat jelas bahwa para sufi mistik sedikit sekali tertarik atau berinisiatif dalam aktivitas misionari yang damai. Malah, mereka menentang aktivitas demikian dalam tindakan2nya. Contoh, ketika Sultan Muhammad Shah Tughlaq yg fanatik, ingin merekrut para sufi utk karya misionaris damai, catat Mahdi Hussain, dia menghadapi tentangan keras dari komunitas sufi. [clxviii] Manakala para sufi terlibat dalam konversi, metoda mereka jelas bukanlah cara damai.
Terlebih lagi, kebanyakan sufi2 di India, yang datang dari Persia dan Timur Tengah, tidaklah bisa berbicara bahasa setempat utk menyebarkan pesan2 islam kepada orang2 india secara efektif. Mereka tidak pernah belajar bahasa India setempat yang mereka sebut sebagai bahas Jahiliyah, sementara masyarakat India pribumi kebanyakan buta huruf; mereka jarang belajar bahasa Arab atau Persia. Terakhir, orang2 Hindu dijaman kita, khususnya mereka dari kasta rendah, lebih mudah utk dinilai pesan kesetaraannya yang superior, pesan damai serta keadilan sosialnya, yang katanya juga ada dalam islam. Sekarang ini, pesan islam mencapai setiap sudut india dalam bahasa yang jelas dan dimengerti lewat begitu banyak metoda dan cara yang inovatif dan mudah diakses. Jika pesan2 islam itu begitu hebat dan damainya, hingga jaman pertengahan dulu bisa membuat puluhan juta kafir india memeluk islam ketika islam berkuasa, lalu kenapa laju konversi islam jaman sekarang malah jauh lebih kecil dibanding ketika perang Jihad terus menerus dilakukan? Harusnya jauh lebih besar lagi sekarang, ketika semua orang bisa membaca dan menangkap ‘pesan damai’ dari islam.
========================================
Catatan Kaki:
xxx Waddy C (1976) The Muslim Mind, Longman Group Ltd., London, p. 187
xxxi Sachau EC (1993) Alberuni’s India, Low Price Publications, New Delhi, p. 20–21
xxxii Elliot & Downson, Vol. VI, p. 516; Levi (2002) Hindus Beyond the Hindu Kush:Indian in the Central Asian Slave Trades, Journal of the Royal Asiatic Society, 12(3), p.283–84
xxxiii Habibullah ABM (1976) The Foundations of Muslim Rule in India, Central BookDepot, Allahabad, p. 1
xxxiv Sharma, p. 110
xxxv Gibb HAR (2004) Ibn Battutah: Travels in Asia and Africa, D K Publishers, New Delhi, p. 190,215
xxxvi Elliot & Dawson, Vol. III, p. 395
xxxvii Lal (1999), p. 62–63
xxxviii Lal (1999), p. 118
xxxix Smith, p. 303–04
xl Sharma, p. 211
xli Elst K (1993) Negationism in India, Voice of India, New Delhi, p. 41
xlii Pundit KN (1991) A Chronicle of Medieval Kashmir, (Translation), Firma KLM Pvt Ltd, Calcutta, p. 74 (This authoritative seventeenth-century Persian chronicle, entitled Baharistan-i-Shahi, was written anonymously. It has been translated by Prof. KN Pundit under the title, A Chronicle of Medieval Kashmir.)
xliii Chadurah HM (1991) Tarikh-i-Kashmir, ed. & trans. Razia Bano, New Delhi, p. 55
xliv Owen S (1987) From Mahmud Ghazni to the Disintegration of Mughal Empire, Kanishka Publishing House, New Delhi, p. 127
xlv Pundit, p. 74
xlvi Nehru J (1946) The Discovery of India, The John Day Company, New York, p. 264
xlvii Bernier F (1934) Travels in the Mogul Empire (1656–1668), Revised Smith VA, Oxford, p. 40,210
xlviii Lal (1999), p. 118–119 xlix Lal (1994), p. 64
l Elliot & Dawson, Vol. I, p. 173–74
li Ibid, Vol. I, p. 122
lii Sharma, p. 109
liii Bulliet RW (1979) Conversion to Islam and the Emergence of a Muslim Society in Iran, N. Levtzion ed., Conversion to Islam, Holmes and Meier Publishers Inc., New York, p.33
liv Pipes (1983), p. 52
lv Tagher, p. 19
lvi Elliot & Dawson, Vol. II, p. 419
lvii Ibid, p. 26
lviii Ibid, p. 42–43
lix Ibid, p. 33
lx Lal (1994), p. 18–19
lxi Milton G (2004) White Gold, Hodder & Stoughton, London, p. 120
lxii Lal (1994), p. 20
lxiii Lal KS (1973) Growth of Muslim Population in Medieval India, Aditya Prakashan, New Delhi, p. 211–17
lxiv Lal (1994), p. 43–44
lxv Moreland WH (1995) India at the Death of Akbar, Low Price Publications, New Delhi, p. 92
lxvi Lal (1994), p. 73
lxvii Elliot & Dawson, Vol. VI, p. 528–29
lxviii Ibid, p. 451
lxix Lal (1994), p. 155
lxx Arnold TW (1896) The Preaching of Islam, Westminster, p. 365
lxxi Ashraf KM (1935) Life and Conditions of the People of Hindustan, Calcutta, p. 151
lxxii Triton, p. 12–24
lxxiii Ibid, p. 37
lxxiv Ibn Warraq, p. 228–29
lxxv Triton, p. 227
lxxvi Lal (1999), p. 116
lxxvii Ibid, p. 130
lxxviii Ibid, p. 113
lxxix Ibid, p. 113–14
lxxx Ibid, p. 132,134
lxxxi Elliot & Dawson, Vol. III, p. 386
lxxxii Roy Choudhury ML (1951) The State and Religion in Mughal India, Indian Publicity Society, Calcutta, p. 227
lxxxiii Sharma, p. 219
lxxxiv Exhibit No. 34, Bikaner Museum Archives, Rajasthan, India; Available at: http://according-to-mughal-records.blogspot.com/" onclick="window.open(this.href);return false;
lxxxv Exhibit No. 41, Bikaner Museum Archives.
lxxxvi Sharma, p. 220
lxxxvii Ibid, p. 219–20
lxxxviii Bikaner Museum Archives, Exhibit No. 43
lxxxix Ibid, Exhibit No. 40
xc Ferishtah MQHS (1829) History of the Rise of the Mahomedan Power in India, translated by John Briggs, D.K. Publishers Distributors (P) Ltd, New Delhi, Vol. IV (1997 imprint), p. 268
xci Ibid, p. 269
xcii 85% of Muslims in India were SC, backward Hindus: Report, Indian Express, 10 August 2008.
xciii Rabbi KF (1895) The Origins of the Musalmans of Bengal, Calcutta, p. 113
xciv Farishtah, Vol. I, p. 224
xcv Elliot & Dawson, Vol. III, p. 224
xcvi Lal KS (1995) Growth of Scheduled Tribes and Castes in Medieval India, Aditya Prakashan, New Delhi, p. 73
xcvii Ferishtah, Vol. I, p. 104
xcviii Elliot & Dawson, Vol. II, p. 297–98
xcix Ibid, p. 233–36; Ferishtah, Vol. I, p. 105
c Lal (1995), p. 90
ci Hardy P (1979) Modern European and Muslim Explanations of Conversion to Islam in South Asia: A Preliminary Survey, In N. Levtzion ed., p. 85
cii Arnold, p. 271
ciii Eaton RM (1978) Sufis of Bijapur 1300-1700, Princeton University Press, p. 28
civ Ibid, p. 30
cv Eaton RM (2000) Essays on Islam and Indian History, Oxford University Press, New Delhi, p. 32
cvi Elliot & Dawson, Vol. I, p. 435
cvii Pipes (1983), p. 69
cviii Gibb, p. 33
cix Ibid
cx Umaruddin, p. 61
cxi Gibb, p. 33–34
cxii Walker, p. 305
cxiii Umaruddin, p. 58–59
cxiv Ibid, p. 62
cxv Walker, p. 304
cxvi Umaruddin, p. 59–60
cxvii Elliot & Dawson, Vol. III, p. 378–79
cxviii Sharma, p. 226
cxix Nizami KA (1991a) The Life and Times of Shaikh Nizamuddin Auliya, New Delhi, p. 138
cxx Nizami KA (1991b) The Life and Times of Shaikh Nasiruddin Chiragh-I Delhi, New Delhi, p. 100,103
cxxi Bostom, p. 199
cxxii Ibid
cxxiii Sharma, p. 228–29
cxxiv Nizami (1991a), p. 185
cxxv Ibid, p. 232
cxxvi Ibid
cxxvii Sharma, p. 200
cxxviii Ibid, p. 230
cxxix Ibid
cxxx Elliot & Dawson, Vol. III, p. 81–83
cxxxi Ibid, p. 77
cxxxii Ibid, p. 91
cxxxiii Ibid, p. 545–46
cxxxiv Ibid, p. 179
cxxxv bid, p. 183
cxxxvi Robinson F (2000) Islam and Muslim History in South Asia, Oxford University Press, New Delhi, p. 31–32
cxxxviii Rizvi SAA (1978) A History of Sufism in India, Munshiram Manoharlal Publishers, New Delhi, Vol. I, p. 201
cxxxvii Levtzion N (1979) Toward a Comparative Study of Islamization, in Conversion to Islam, p. 18
cxxxix In Kashmir, great Sufi saint Sayyid Ali Hamdani also destroyed a temple to set up his Khanqah. There is a likely parallel between the methods these two Sufis applied in converting the Hindus (see below).
cxl There is a tradition that king Gaur Govinda was attacked because of his punishing one Shaykh Burhanuddin and his son for slaughtering a cow. A piece of the cow-meat was stolen and dropped on the king’s temple, which infuriated the king. Such stories should be considered in the light of the facts that Muslims attacked every corner of India, often repeatedly and it is unlikely that they had or needed a valid reason like this in each case.
cxli Hazrat Shah Jalal, Wikipedia,
http://en.wikipedia.org/wiki/Hazrat_Shah_Jalal" onclick="window.open(this.href);return false;
cxlii Gibb, p. 269
cxliii Shah Jalal (R), Banglapedia;
http://banglapedia.search.com.bd/HT/S_0238.htm" onclick="window.open(this.href);return false;
cxliv Sharma, p. 243-44
cxlv Smith, p. 272
cxlvi Lal KS (1990) Indian Muslims: Who are They, Voice of India, New Delhi, p. 57
cxlvii Qureishi IH (1962) The Muslim Community of the Indo-Pakistan Subcontinent (610–1947), ‘S-Gravenhage, p. 74
cxlviii Levtzion N (1979) in Conversion to Islam, p. 18
cxlix For the Sufis, building of their khanqahs at the site of destroyed temples was meant forshowing their utter contempt and disrespect for the religion of infidels.cl Pundit, p. 74; also discussed above
cli Ibid, p. 93–94
clii Chadurah HM (1991) Tarikh-Kashmir, ed. & trans. Razia Bano, Delhi, p. 102–03
cliii Pundit, p. 105–106
cliv Ibid, p. 116
clv Ibid, p. 117
clvi Ibid
clvii Ibid, p. 36
clviii Ibid, p. 35
clix Ibid, p. 37
clx Ferishtah, Vol. IV, p. 1
clxi Ibid
clxii Ibid, p3
clxiii Sharma, p. 185
clxiv Elliot & Dawson, Vol. III, p. 341
clxv Lal (1994), p. 73
Udah selesai terjemahan jatah gue nih!
DILANJUTKAN ke halaman 1 post453041.html#p453041
Jangna bingung yah, bacanya!CHAPTER IV/HALAMAN 133 Penyebaran Islam oleh Saudagar Arab ke Asia Tenggara (Conversion by traders in Southeast Asia) :
Masuknya kafir kedlm Islam oleh saudagar Muslim, khususnya di Asia Tenggara, tampil sbg paradigma baru. Dlm artikel The Time Of India, Atul Sethi menyatakan bahwa pernyataan - 'Islam dibawa ke India oleh penjajah2 Muslim-' sbg sebuah konsep salah (misconception). Ia mencoba menjelaskan dimana letaknya salah konsep tsb dgn menulis : clxix