by M-SAW » Mon Feb 05, 2007 1:46 pm
Kita sambung ya PENGAJIAN KITA
:)
Maaf sebesar besarnya kalau pengajian kali ini masih menceritakan kejadian islami yang berdarah darah,saya ga berani NYENSORNYA
PASAL KEDUA:
Dalil dari as-Sunnah Tentang Kafirnya Seorang Muslim
Karena Mencaci Maki Nabi H dan Kewajiban Membunuhnya
Meskipun Telah Bertaubat
Dalil Pertama:
Yaitu kisah Ibnu Abi Sarh. Sebuah kisah yang juga telah disepakati oleh para ulama dan telah masyhur di kalangan mereka, tidak hanya diriwayatkan oleh perorangan saja. Hadits ini lebih mantap dan kuat daripada riwayat yang disampaikan oleh satu orang saja yang adil. Kami akan sebutkan di sini dengan memberi syarahnya agar dalil petunjuknya bisa terlihat secara jelas, di antaranya:
Dari Mush'ab bin Sa'ad, dari Sa'ad bin Abi Waqqash yang berkata:
"Ketika terjadi peristiwa Fathu Makkah, Abdullah bin Sa'ad bin Abu Sarh bersembunyi di rumah Utsman bin Affan. Lalu, Utsman menyeretnya hingga memberdirikannya di hadapan Nabi . Utsman berkata, "Wahai Rasulullah, bai'atiah Abdullah!" Kemudian beliau mengangkat kepalanya dan memandang kepadanya tiga kali.
Semuanya menunjukkan keengganan beliau untuk membai'atnya. Setelah pandangan yang ketiga itu, barulah beliau mau membai'atnya. Kemudian beliau menghadap kepada para sahabatnya dan berkata, "Tidakkah ada di antara kalian seorang yang bijaksana (rasyiid) yang berdiri kepada orang ini, sehingga jika dia melihatku, maka kugenggam tanganku dari memba'iatnya, lalu kubunuh dia."21
21. Telah disebutkan oleh Ibnu Hajardi dalam Fathul Ban, (11/9); di-takhrij oleh al-Hakim di dalam al-Mustadrak dalam kitab pembahasan tentang peperangan, (3/45); di-takhrij oleh an-Nasa'i dalam kitab pembahasan tentang pengharaman darah, bab: hukum berkaitan dengan seorang yang murtad, (7/106); dt-takhrij oleh Abu Daud dalam kitab pembahasan tentang jihad, hadits no. 2683; Adapun isnad hadits ini adalah hasan.
Para sahabat berkata, "Wahai Rasulullah, kami tidak tahu apa yang terbersit dalam benakmu. Mengapa engkau tidak memberi isyarat kepada kami dengan matamu?!" Beliau bersabda, "Sesungguhnya tidak seyogianya bagi seorang Nabi untuk mempunyai mata yang khianat." Hadits riwayat Abu Daud dengan isnad yang shahih
Sebagaimana diriwayatkan oleh Ibrahim bin Sa'ad, Ibnu Ishaq pemah berkata, "Sebagian ulama kami telah berkata kepadaku bahwa Ibnu Abi Sarh telah kembali ke Quraisy, lalu dia berkata, 'Demi Allah, kalau aku menghendaki, niscaya aku akan mengatakan seperti apa yang dikatakan oleh Muhammad, dan menyampaikan sesuatu yang seperti dibawanya. Sungguh, dia mengatakan sesuatu, dan aku membelokkannya kepada sesuatu yang lain, lalu dia (Nabi ) berkata, 'Kamu benar.'" Dalam hal ini, Allah telah menurunkan ayat, "Dan siapakah yang lebih zalim daripada orang yang membuat kedustaan terhadap Allah atau yang berkata, "Telah diwahyukan kepada saya," padahal tidak ada diwahyukan sesuatupun kepadanya," (al-An'am: 93). Oleh karena itu, Rasulullah memerintahkan untuk membunuhnya.
Dalil petunjuk dari kisah Ibnu Abi Sarh adalah bahwa Abdullah bin Sa'ad bin Abi Sarh telah mengada-ada atas nama Nabi yaitu bahwa dia telah menyempurnakan wahyu Nabi dan menulis untuk beliau sesuatu yang dikehendakinya, lalu Nabi menyepakatinya. Juga, bahwa dia membiaskan wahyu itu sesuka hatinya dan merubah perintah Nabi yang bersumber dari wahyu itu, lalu Nabi menyetujui tindakannya itu. Dia juga mengaku bahwa tulisannya itu akan turun seperti apa yang telah diturunkan oleh Allah , mengingat dalam pengakuannya itu, Allah telah memberi wahyu kepadanya seperti Dia telah memberi wahyu kepada Nabi . Penghinaan semacam ini sudah lebih dari sekadar kufur dan keluar dari agama, dia termasuk salah satu bentuk caci makian.
Ketika Nabi sudah mampu untuk mengadili Ibnu Abi Sarh, maka beliau pun langsung menghalalkan darah Ibnu Abi Sarh manakala terbukti dia telah berani mencerca kenabian dan membuat kebohongan terhadapnya, meskipun sebenamya beliau telah menjamin keselamatan bagi seluruh penduduk kota Makkah yang pemah memerangi dan memusuhinya dengan sekuat tenaga, dan meskipun sunnah beliau menyatakan bahwa orang yang murtad itu tidak boleh dibunuh sebelum terlebih dulu diminta untuk bertaubat (istitab), baik secara wajib ataupun sunnah. Hal ini sebagai dalil bahwa dosanya orang yang mencaci maki Nabi itu lebih besar daripada dosanya orang yang murtad.Adapun penghalalan darah Ibnu Abi Sarh oleh Nabi setelah dia bertaubat dan masuk Islam, dan juga sabda beliau, "Tidakkah kalian membunuhnya," lalu pengampunan beliau setelah itu terhadapnya, adalah sebagai dalil bahwa Nabi sebelumnya berhak untuk membunuhnya, lalu beliau memaafkan kesalahannya, dan melindungi keselamatannya. Hal itu juga sebagai dalil bahwa beliau berhak untuk membunuh orang yang telah mencaci makinya, meskipun sebenamya orang itu telah bertaubat dan kembali kepada agama Islam.
Sunatullah untuk menolong Nabi-Nya terhadap orang-orang yang telah memfitnah beliau, jika memang belum ditegakkan sanksi (had) terhadap orang tersebut.
Begitu pula, tidak ada penulis lain yang mencoba memfitnah Nabi seperti hinaan rekaan ini, selain bahwa Allah pasti akan membuka aibnya dan mengazabnya dengan siksaan yang tidak lazim bagi setiap orang yang telah berbuat fitnah seperti itu. Hal itu, mengingat tindakan semacam ini akan menimbulkan di dalam hati yang sakit suatu keragu-raguan, yaitu dengan mengucapkan, "Penulisnya adalah orang yang paling tahu mengenai batinnya dan esensi permasalahannya. Sungguh, dia telah memberitakan darinya apa yang telah beliau beritakan." Maka, di antara pertolongan Allah terhadap Rasul-Nya, adalah Dia menampakkan dalam diri Rasul-Nya suatu tanda yang karenanya terbuktilah bahwa orang tersebut melakukan kedustaan.
Imam al-Bukhari di dalam kitab Shahih-nya meriwayatkan dari Anas bin Malik yang berkata, "Pemah ada seorang lelaki Nasrani, dia masuk Islam dan membaca surat al-Baqarah dan Ali Imran. Dia pemah menulis surat kepada Nabi , lalu dia menjadi Nasrani kembali. Dia pernah berkata, "Muhammad tidak akan tahu, kecuali apa yang telah aku tulis untuknya." Kemudian, Allah mematikannya dan orang-orang pun menguburnya. Namun, temyata bumi memuntahkannya. Lalu mereka berkata, "Ini adalah ulah Muhammad dan para sahabatnya. Galilah lobang untuk sahabat kami, lalu lemparkan dia ke dalamnya." Kemudian, mereka menggali tanah sebisanya. Namun, tanah itu tetap memuntahkannya. Seketika mereka mengetahui, bahwa dia bukanlah manusia, maka mereka pun membuangnya.
Imam Muslim juga telah meriwayatkan hadits ini dari Sulaiman bin Mughirah, dari Tsabit, dari Anas yang berkata, "Pemah di antara kita ada seorang lelaki dari Bani Najjar yang membaca surat al-Baqarah dan AH Imran. Dia pemah menulis surat kepada Nabi ,lalu dia pergi kabur hingga bertemu dengan kaum Ahlu Kitab. Anas berkata, "Kemudian mereka menyanjungnya. Mereka berkata, 'Ini adalah orang yang pernah menulis surat kepada Muhammad .Maka, mereka pun merasa heran kepadanya. Tidak begitu lama, Allah mematikannya. Lalu, mereka menggali kubur untuknya dan menguburkannya. Namun, ternyata tanah tersebut memuntahkannya ke atas permukaannya, sehingga mereka pun membiar-kannya dalam keadaan tergeletak begitu saja.22 .
22. Lihat Fathul Bari, dalam kitab pembahasan sifat-sifat terpuji (AI-Manaaqib) 7/722, hadits no. 3617; Muslim dalam kitab pembahasan tentang sifat-sifat kaum munafik (4/2145).
Orang terlaknat yang telah mengada-ada terhadap Nabi ini, yaitu dia mengaku bahwa Nabi tidak mengetahui selain apa yang telah dia tulis untuknya, dia telah dibinasakan oleh Allah dan dibuka aibnya dengan cara dimuntahkan dari liang kubur setelah berulang-ulang kali diupayakan untuk dikubur. Ini adalah suatu hal yang tidak lazim yang menunjukkan kepada setiap orang bahwa hal ini sebagai hukuman (sanksi) atas apa yang telah dia ucapkan, dan bahwa dia telah berkata bohong. Hal itu, mengingat umumnya orang-orang yang mati tidak ada yang mengalami nasib seperti ini.
Di samping bahwa tindakannya ini lebih berat daripada sekadar keluar dari agama atau murtad. Karena, kebanyakan orang-orang yang murtad itu meninggal dan mereka tidak mengalami nasib semacam ini. Hal ini juga menunjukkan bahwa Allah akan membalaskan untuk Rasul-Nya atas orang-orang yang telah mencerca dan mencaci makinya, juga akan memenangkan agamanya dan memperlihatkan kebohongan para pendusta, mengingat adanya kemustahilan bagi orang-orang untuk menjatuhkan hukuman (had) terhadapnya.
Dan, kisah yang semisal dari kisah ini adalah apa yang telah dituturkan kepada kami oleh sejumlah kaum Muslimin yang adil, yang ahli di bidang fiqih dan sekaligus orang-orang yang berpengalaman atas berbagai percobaan yang telah mereka lakukan berulang-ulang kali sewaktu mengepung beberapa benteng dan kota yang berada di perbatasan negeri Syam, yaitu ketika kaum Muslimin mengepung Bani al-Ashfar pada zaman kami (maksudnya: masa Ibnu Taimiyah).
Mereka berkata, "Kami pemah mengepung benteng (atau kota) selama satu bulan atau lebih. Namun, benteng tersebut menjadi penghalang masuk bagi kami hingga kami merasa frustasi. Namun, pada saat itu penduduk kota tersebut mencaci maki Rasulullah dan merusak kehormatan beliau. Lalu, kami pun dapat melobangi benteng tersebut dengan mudah. Tidak butuh waktu lama selain hanya jangka sehari, dua hari, atau kira-kira sekian waktunya. Kemudian tempat itu pun dibuka secara paksa, dan selanjutnya terjadilah prahara yang sangat besar di tengah-tengah mereka. Menurut penuturan mereka, "Hingga di mana pun kami berada, kami dengan segera dapat membuka benteng tersebut, ketika kami mendengar mereka mencaci maki (Nabi ||) dengan hati penuh amarah kepada mereka atas apa yang telah mereka katakan terhadap Nabii."
Dalil Kedua:
Yaitu Kisah Ibnu Khathal. Dalam kitab Shahih al-Bukhari dan Muslim telah disebutkan hadits az-Zuhri dari Anas bin Malik :
"Bahwa Nabi masuk Makkah pada tahun Fathu Makkah, sementara beliau mengenakan topi besi. Ketika beliau melepasnya, maka datanglah seorang lelaki dan berkata, "Ibnu Khathal bergantung pada penutup Ka'bah. Lalu beliau berkata, 'Bunuhtah dia.'"23.
23 Lihat kitab Fathul Ban dalam kitab pembahasan tentang balasan dari berburu (jazaa ash-shaid) (4/70, 71; hadits no. 1846).. Di-takhrij pula oleh Baihaqi di dalam kitab as-Sunan dalam kitab pembahasan tentang orang yang murtad (8/205).
note : sapa yg ngomong ,klo wkt muh bebasin mekkah,,keadaan aman2 saja,tdk ada yg dibunuh? :P
Ini berdasarkan riwayat yang masyhur (beredar) di antara kalangan ulama, dan mereka telah bersepakat bahwa Rasulullah menghalalkan darah Ibnu Khathal pada waktu Fathu Makkah dikarenakan dia telah membunuh orang, dan diapun dibunuh.
Al-Waqidi telah menuturkan bahwa Ibnu Khathal datang dari ketinggian dataran Makkah sambil mengenakan baju besi, lalu dia keluar hingga sampai di Khandamah. Tiba-tiba dia melihat tentara kaum Muslimin dan melihat bau peperangan. Dia pun langsung diselimuti rasa takut hingga badannya gemetar luar biasa. Setibanya dia di Ka'bah, dia langsung turun dari kudanya dan melemparkan senjatanya, lalu lari menuju Ka'bah dan masuk di antara penutup-penutup Ka'bah.
Sungguh, kejahatan Ibnu Khathal adalah bahwa Rasulullah telah menyuruhnya untuk membagi-bagikan sedekah dengan ditemani seseorang yang membantunya. Suatu ketika, dia marah terhadap temannya itu karena tidak dibuatkan makanan yang dimintanya. Akibatnya, dia pun tega membunuhnya. Namun, dia takut akan dibunuh pula. Maka, dia pun keluar dari agama Islam (murtad) dan menggiring/memboyong unta sedekah. Selain itu, dia juga melantunkan syair yang berisi cercaan terhadap Rasulullah dan bahkan dia menyuruh kedua budak wanitanya agar menyanyikan syair itu.
Dengan demikian, dia telah melakukan tiga kejahatan sekaligus yang bisa menghalalkan darahnya, yaitu: membunuh nyawa manusia, murtad, dan mencerca Nabi .
Ibnu Musayyib mengisahkan bahwa Abu Barzah telah mendatanginya, sementara Ibnu Khathal dalam keadaan bergantung pada penutup-penutup Ka'bah, lalu dia pun segera membelah perutnya. Begitu pula, al-Waqidi meriwayatkan dari Abu Barzah yang berkata, "Telah turun berkaitan dengan diriku ayat ini, "Aku benar-benar bersumpah dengan kota ini (Makkah), dan kamu (Muhammad) bertempat di kota Makkah ini, (al-Balad: 1-2)." Aku telah mengeluarkan Abdullah bin Khathal dan dia saat itu sedang bergantung pada penutup-penutup Ka'bah. Seketika, aku langsung menebas lehemya, yaitu tepatnya berada di antara rukun dan maqam di Ka'bah.
Dalil petunjuk dari kisah Ibnu Khathal, bahwa bagi orang yang berhujah dengan kisahnya Ibnu Khathal ini akan mengatakan, bahwa dia tidak dibunuh karena telah melakukan pembunuhan terhadap nyawa orang lain. Sebab, kebanyakan yang wajib dilakukan terhadap seorang yang telah membunuh lalu keluar dari agama (atau murtad), dia akan dibunuh dengan cara digantung (qisas). Sedangkan orang yang mati karena dibunuh itu mempunyai wali. Maka hukumnya, jikalau dia dibunuh dengan cara digantung, dia terlebih dulu diserahkan kepada wali dari orang yang dibunuh, lalu mereka bisa saja membunuhnya, memaafkannya atau hanya menuntut diyat (denda) saja.
Begitu pula, dia tidak dibunuh karena kemurtadannya. Sebab, orang yang murtad—sebelum dibunuh—terlebih dulu diminta untuk bertaubat atau yang disebut dengan "proses istitabah". Jika dia telah dimintai hal tersebut barulah diputuskan perkaranya. Sedangkan Ibnu Khathal, dia lari menuju Ka'bah, berlindung di dalamnya, mencari keselamatan, menghindari peperangan dan membuang pedangnya hingga dilihat duduk masalahnya.
Sementara itu, Nabi setelah mengetahui semua duduk perkaranya, langsung menyuruh untuk membunuhnya. Dan, bukanlah hal ini sebagai sunnah Nabi terhadap orang yang dibunuh karena kemurtadannya.
Dengan demikian, tampak nyatalah bahwa pemberatan dalam perintah untuk membunuh Ibnu Khathal ini lebih disebabkan dia telah mencaci dan mencerca Nabi , dan bahwa orang yang mencaci Nabi itu, sekalipun dia telah murtad, namun dia tidak diposisikan sebagai orang yang murtad. Dia akan dibunuh tanpa melalui proses istitabah terlebih dulu, selain bahwa pembunuhannya itu tidak perlu ditunda-tunda. Hal itu juga sebagai legalisasi tentang bolehnya membunuh orang ini setelah dia bertaubat.
Beberapa ulama fiqih telah menjadikan kisah Ibnu Khathal ini sebagai dalil, yaitu bahwa kaum Muslimin yang mencaci maki Nabi juga harus dibunuh, meskipun dia sungguh-sungguh beragama Islam. Pendapat mereka ini disangkal oleh pendapat lain yang mengatakan bahwa Ibnu Khathal adalah seorang kafir harbi, dan dia dibunuh karena statusnya itu. Namun, riwayat yang benar menurut kesepakatan para ulama sirah (sejarah) adalah dia seorang yang murtad. Dan, pendapat ini diperkuat oleh riwayat yang menyebutkkan, bahwa Nabi pada saat Fathu Makkah telah menjamin keamanan seluruh kalangan kafir harbi, kecuali orang-orang yang melakukan kejahatan tertentu (khusus). Dan, Ibnu Khathal termasuk orang yang dihalalkan darahnya oleh Nabi , dan bukan yang selainnya. Dengan demikian, nyatalah bahwa Ibnu Khathal tidak dibunuh hanya semata-mata karena kekufuran dan status kafir harbinya itu.
Dalil Ketiga:
Yaitu Perintah Nabi untuk membunuh orang yang telah membuat kebohongan terhadapnya yang bisa mencoreng nama baiknya.
Al-Baghawi telah meriwayatkan dari Abu Buraidah dari bapaknya, bahwa Nabi pemah mendengar seorang lelaki yang berkata kepada suatu kaum:
"Sesungguhnya Nabi telah menyuruhku untuk memutuskan perkara kalian dengan pendapatku, dan harta-harta kalian dcngan begini dan begini ...."—Sungguh, lelaki ini telah meminang seorang wanita dari mereka pada masa Jahiliyah, namun mereka menolak untuk menikahkannya. Kemudian, lelaki ini pun bergegas pergi hingga tinggal serumah dengan wanita itu. Lalu, kaum tersebut mengirim surat kepada Rasulullah dan seketika Rasulullah pun menjawab, "Telah berdusta musuh Allah!" Lalu, beliau mengutus seorang lelaki (utusan) dan berkata kepadanya, "Jika kamu mendapatinya masih hidup, maka bunuhlah dial Namun, jika kamu mendapatinya telah mati, maka bakarlah dial" Utusan itu segera berangkat, dan ternyata dia mendapati lelaki tersebut telah disengat (binatang berbisa) hingga mati. Lalu dia pun membakarnya dengan api. Pada saat itulah, Rasulullah bersabda, "Barangsiapa yang membuat kebohongan atas namaku dengan sengaja, maka dia mempersiapkan tempatnya di neraka. "24
24 Hadits ini telah d\-takhrij oleh Ahmad di dalam Musnad-nya, (3/244); juga telah disebutkan oleh Ibnu Hajar di dalam Fathul Ban, (1/37); dan telah d\-takhhj pula oleh al-Khathib al-Baghdadi di dalam at-Tarikh, (3/155).
Hadits ini telah diriwayatkan oleh Abu Ahmad bin 'Adi di dalam kitabnya al-Kaamil dengan isnadnya dari Ibnu Buraidah, dari bapaknya yang berkata, pernah ada perkampungan dari Bani Laits yang berjarak dua mil dari kota Madinah. Di sana, pemah ada seorang lelaki yang berusaha melamar seorang wanita dari mereka pada masa Jahiliyah, namun mereka tidak berkenan untuk menikahkannya. Lalu lelaki itu pun mendatangi mereka dengan membawa perhiasan.
Dia berkata, "Sesungguhnya Rasulullah telah memakaikan perhiasan ini kepadaku, dan menyuruhku untuk menghukumi harta dan darah kalian."
Setelah itu, dia bergegas pergi dan tinggal serumah dengan wanita yang dia sukai itu. Kemudian kaum itu mengirim surat kepada Rasulullah dan Rasulullah pun menjawab, "Telah berdusta musuh Allah." Kemudian, Rasulullah mengutus seseorang dan berkata kepadanya, "Jika kamu mendapatinya masih hidup—dan aku tidak melihat kamu akan mendapatinya masih hidup, maka penggallah lehernya. Namun, jika kamu mendapatinya telah mati, maka bakarlah mayatnya." Dikatakan, demikianlah sabda Rasulullah , "Barangsiapa yang berbohong atas namaku dengan sengaja, maka berarti dia mempersiapkan tempatnya di dalam neraka." Hadits ini isnadnya shahih menurut syarat hadits dalam kitab ash-Shahih. Kami tidak mengetahui cacatnya.
Abu Bakar bin Mardawaih telah meriwayatkan hadits dari Wazi', dari Abu Salamah, dari Usamah yang berkata, Rasulullah telah bersabda:
"Barangsiapa yang mengucapkan sesuatu yang tidak pernah aku sabdakan, maka dia telah menyiapkan tempat untuk dirinya di neraka."25.
25 Telah d\-takhrij oleh Imam Ahmad di dalam Musnad-nya, (2/501); Isnad hadits ini hasan, namun kedudukan haditsnya (atau matannya) shahih. Di dalam isnadnya, terdapat Muhammad bin Ishaq, dan dia adalah seorang mudallis, dan telah membuat hadits mu'an'an. Hanya saja, hadits ini mempunyai banyak riwayat. Dia merupakan hadits mutawatir yang telah diriwayatkan oleh lebih dari tujuh puluh sahabat.
Hal itu, karena beliau telah mengutus seseorang untuk mendustakan lelaki ini. Lalu ternyata utusan itu mendapatinya telah mati.
Lelaki ini telah dibelah perutnya, dan tanah pun tidak mau menerima jasadnya. Selain itu, juga terdapat riwayat lain, bahwa ada seorang lelaki yang telah mendustakan beliau, lalu beliau mengutus Ali dan Zubair untuk membunuhnya.
Dalil petunjuknya: Berkenaan dengan hadits ini terdapat dua pendapat:
Pendapat pertama, mengambil yang zahir dari makna hadits, yaitu membunuh orang yang sengaja berdusta atas nama Rasulullah . Di antara ulama yang berpendapat semacam ini, ada yang berkata, orang ini menjadi kafir karena ulahnya itu. Sebagaimana dikatakan oleh sekelompok ulama, di antaranya adalah Abu Ahmad al-Jauni sampai perkataan Ibnu 'Uqail dari guru atau syaikhnya Abu al-'Uqail al-Hamadani, seorang yang berbuat bid'ah di dalam Islam, berdusta, dan memalsukan hadits ini lebih parah daripada kaum atheis, mengingat mereka bermaksud merusak agama dari luar, sedangkan orang-orang ini bermaksud merusak agama dari dalam. Mereka seperti penghuni negeri yang berusaha merusak suasana negeri tersebut, sedangkan kaum atheis seperti musuh yang datang mengepung dari luar. Lalu, orang-orang yang menyusup ini pun membukakan pintu bentengnya, dan mereka ini adalah musuh yang lebih jahat terhadap Islam daripada orang-orang yang tidak berbaju Islam (kaum atheis) tersebut.
Alasan pendapat ini antara lain, adalah:
1. Bahwa berdusta atas nama Nabi sama saja dengan berdusta atas
nama Allah .Dan, barangsiapa yang sengaja berdusta atas nama Allah ill, maka dia adalah orang kafir.
2. Bahwa berdusta atas nama Nabi sama saja dengan mendustakannya. Padahal, mendustakan Nabi berarti kekufuran sebaggaimana yang telah disepakati.
3. Bahwa berdusta dengan sengaja atas nama Nabi berarti menghina dan merendahkan Nabi . Karena, orang yang berdusta atas nama orang yang semestinya diagungkannya, berarti dia meremehkan dan merendahkan hak Nabi ; dan itu adalah suatu kekufuran.
4. Bahwa orang yang berdusta atas nama Nabi pasti mencela dan mencoreng nama baik beliau dengan ulahnya tersebut, dan barangsiapa yang telah mencoreng nama baik Nabi , berarti dia telah menjadi kafir.
5.
Ketahuilah, bahwa pendapat ini sangat kuat sekali seperti yang Anda lihat sendiri. Akan tetapi, dia berusaha membedakan antara orang yang berdusta atas nama Nabi melalui ucapan langsung dengan orang yang berdusta atas nama beliau melalui perantara, seperti misalnya dia mengatakan, "Si fulan bin fulan telah mengatakan kepadaku begini." Maka, orang semacam ini tidak lain telah berdusta dengan mengatasnamakan si fulan tadi dan menyandarkan hadits itu kepadanya. Adapun bila dia mengatakan, "Hadits ini shahih," atau terbukti dia mengatakan itu atas pengetahuannya bahwa dia telah berdusta, maka berarti dia telah berdusta atas nama orang tersebut. Sedangkan jika dia mereka-reka dan meriwayatkannya sebagai riwayat yang biasa atau wajar saja, maka dalam hal ini terdapat catatan, terlebih lagi bahwa para sahabat itu orang-orang yang sangat adil. Wallahu A'lam.
Kebohongan jika berasal dari salah seorang yang berada di tengah-tengah mereka (para sahabat), maka pastilah besar mudaratnya di dalam agama. Rasulullah di sini menginginkan untuk membunuh orang yang telah berdusta atas nama beliau, dan juga mempercepat proses hukumannya, agar hal itu bisa menjadi benteng/penjaga terhadap masuknya atau menyusupnya — di tengah orang-orang adil (para sahabat) — seseorang yang bukan golongan mereka dari kalangan kaum munafik dan yang sejenisnya.
Adapun orang yang meriwayatkan hadits, sedangkan dia mengetahui bahwa dia telah berdusta, maka tindakannya tersebut hukumnya haram. Sebagaimana terdapat riwayat shahih dari Nabi , yang bersabda:
"Barangs/apa yang telah meriwayatkan hadits dariku sedangkan dia mengetahui bahwa dia telah berdusta, maka dia termasuk gohngan pendusta."26.
26. D\-takhrij oleh Imam Ahmad di dalam Musnad-nya (4/250, 584); dan telah di-takhrij pula oleh ath-Thabrani di dalam al-Kabir (7/180); isnadnya shahih. Di-takhrij pula oleh Muslim di muqaddimahnya Bab Wajibnya Meriwayatkan dari rawi yang tsiqah, juga Ibnu Majah no. 39.
Akan tetapi dia tidak sampai menjadi kafir, kecuali bila dia menyertakan pada riwayatnya itu motif lain yang bisa menyebabkannya menjadi kafir, karena di sini dia jujur ketika mengatakan bahwa gurunya telah menyampai-kan hadits dusta itu. Namun, mengingat dia tahu bahwa gurunya telah berdusta dalam hadits itu, maka riwayat itu pun menjadi tidak halal baginya. Schingga, tindakannya di sini dianggap seperti melakukan kesaksian untuk menetapkan hadits itu, atau menjadi semacam kesaksian atau transaksi.
Padahal, dia mengetahui bahwa tindakan itu adalah batil. Sesungguhnya kesaksian semacam ini hukumnya haram, akan tetapi dia tidak dinyatakan scbagai saksi palsu.
Atas dasar pendapat inilah, maka tentunya orang yang telah mencaci maki Nabi H itu lebih berhak untuk dibunuh daripada orang yang berdusta atas namanya. Karena, orang yang berdusta atas namanya telah menambahkan di dalam agama sesuatu yang bukan termasuk darinya, scdangkan si pencaci maki ini telah mencerca agama secara keseluruhan. Ketika itu, Nabi menyuruh untuk membunuh orang yang telah berdusta atas namanya tanpa melalui proses istitabah, maka tentunya orang yang mencaci maki beliau lebih sepatutnya lagi diperlakukan seperti itu.
Pendapat kedua, orang yang berdusta atas nama Nabi itu diberatkan sanksi atau hukumannya, akan tetapi dia tidak sampai menjadi kafir dan juga tidak boleh dibunuh, karena faktor-faktor yang menyebabkan orang menjadi kafir dan dibunuh itu sangat jelas (sudah diketahui), dan faktor-faktor tersebut tidak ada di sini. Sehingga, tidak diperbolehkan menetapkan sesuatu yang tidak punya landasan. Barangsiapa yang berpendapat semacam ini, maka dia harus mengikat pendapatnya itu dengan menyatakan bahwa berbuat dusta atas nama Nabi itu tidak mengandung aib yang terlihat. Adapun bila dia mengabarkan bahwa dia telah mendengar Nabi mengatakan sesuatu yang secara jelas (eksplisit) menunjukkan kekurangan dan aib Nabi , semisal keringat kuda dan kebohongan-kebohongan lainnya, maka berarti dia telah secara jelas menghina Nabi , dan tidak syak lagi bahwa dia itu adalah seorang kafir yang halal darahnya.
Orang yang berpendapat semacam ini menjawab hadits di atas dengan mengatakan bahwa Nabi telah mengetahui bahwa orang itu munafik, maka beliau pun membunuhnya karena kemunafikannya itu.
Jawaban ini tidaklah benar dikarenakan alasan-alasan berikut:
1. Karena tidak ada di antara sunnah Nabi bahwa beliau membunuh seseorang dari kaum munafik yang kemunafikannya telah dikabarkan oleh sumber terpercaya atau diwahyukan oleh al-Quran. Lalu bagaimana mungkin beliau membunuh seseorang hanya karena mengetahui kemunafikannya semata? Kemudian beliau juga telah menyebutkan sekelompok kaum munafik kepada Hudzaifah dan sahabat yang lainnya. Namun, beliau tidak pernah membunuh seorang pun dari mereka. Selain itu, sebab yang tersebut dalam hadits di atas adalah bahwa dia mendustakan hadits atas nama Nabi «|t dikarenakan suatu tujuan, dan karenanya dia dihukum mati. Yaitu, karena orang tersebut berdusta hanya untuk memperoleh kesenangan atau syahwatnya saja. Tindakan semacam ini kadang bisa saja dilakukan oleh orang-orang fasik, sebagaimana dilakukan pula oleh orang-orang kafir.
2. Bisa jadi kemunafikan orang tersebut disebabkan oleh kebohongannya ini atau oleh sebab lain yang sebelumnya. Jika ternyata kemunafikannya itu disebabkan oleh kebohongannya ini, maka menjadi jelaslah bahwa melakukan kebohongan atas nama Nabi itu adalah suatu kemunafikan, dan seorang yang munafik itu adalah kafir. Namun, jika sifat munafik itu sudah ada pada dirinya sebelumnya, dan sifat munafik inilah yang menuntut dia harus dibunuh, bukan faktor yang lainnya, maka pertanyaannya adalah: Mengapa perintah untuk membunuhnya ditunda sampai dia melakukan kebohongan atas nama Nabi ini? Dan, mengapa pula Allah tidak mengazabnya karena kemunafikannya itu hingga pada akhimya dia melakukan kebohongan ini?
3. Sesungguhnya orang-orang telah menyampaikan ucapan orang tersebut kepada Nabi , lalu beliau pun berkata:
"Telah berdusta musuh Allah."
Kemudian beliau pun menyuruh untuk membunuhnya jika dia ditemu-kan dalam keadaan masih hidup. Setelah itu, beliau berkata,
"Aku tidak mellhatmu akan menemukannya dalam keadaan hidup," karena beliau mengetahui dosa orang tersebut menyebabkan hukuman atau siksanya dipercepat.
4. Jika Nabi menyuruh untuk membunuh atau menjatuhkan hukuman (sanksi) dan kaffarat (tebusan) setelah dilakukannya suatu sifat atau perbuatan, maka pastilah ganjaran (hukuman) itu ditimpakan kepada perbuatan tersebut. Perbuatan itulah yang menuntut adanya ganjaran tersebut, bukan yang lainnya. Sebagaimana bahwa ketika seorang Arab badui melakukan persetubuhan (jima') pada saat menunaikan puasa Ramadhan, maka Nabi langsung menyuruhnya untuk membayar kaffarat (tebusan), dan ketika Ma'iz bersama wanita al-Ghamidiyyah dan juga yang lainnya mengaku telah berbuat zina, maka Nabi pun menyuruh untuk merajamnya. Yang demikian ini menurut sepenge-tahuan kami termasuk hal-hal yang tidak diperselisihkan lagi di tengah banyak orang. Justeru mereka berselisih pendapat tentang faktor yang menyebabkannya, apakah faktor itu adalah seluruh sifat-sifat tersebut atau hanya sebagiannya saja, sedangkan sifat itu adalah bagian dari bentuk perbaikan parameter atau yang disebut dengan tanqiih al-manaath. Adapun menjadikan perbuatan itu tidak punya dampak dan sebaliknya menganggap yang menyebabkan hukuman itu adalah faktor lain yang tidak tersebut di sini, maka secara pasti ini adalah anggapan yang batil.
Akan tetapi, bisa saja dikatakan di sini pendapat yang lebih dekat atau tepat dari semua ini, yaitu bahwa lelaki ini telah membuat kebohongan atas nama Nabi yang membuat nama beliau tercemar. Karena, dia telah mengklaim bahwa Nabi telah mengangkatnya sebagai hakim dalam urusan darah dan harta mereka, dan juga telah mengizinkannya untuk menginap di rumah siapa saja yang dikehendakinya, padahal maksud dari semua itu adalah agar dia bisa menginap di rumah wanita tersebut untuk melakukan perbuatan mesum dengannya. Di samping bahwa mereka juga tidak akan mungkin mengingkarinya jika memang dia benar-benar ditunjuk oleh Nabi sebagai hakim dalam urusan darah dan harta mereka.
Sudah jelas, bahwa Nabi tidak mungkin menghalalkan sesuatu yang haram. Dan, barangsiapa yang menuduh bahwa beliau telah menghalalkan hal-hal yang diharamkan dalam urusan darah, harta dan perkara-perkara yang keji, maka sungguh dia telah mencoreng dan mencemarkan nama baik Nabi if. Begitu pula jika dia menyandarkan kepada Nabi bahwa beliau memberi izin kepadanya untuk menginap di rumah seorang wanita asing (bukan mahram) untuk berkhalwat dengannya, dan juga bahwa dia boleh menghukumi dengan sekehendak hatinya di tengah-tengah kaum Muslimin, maka hal semacam ini merupakan tindakan pencemaran dan pencorengan terhadap nama baik Nabi .
Atas dasar inilah Nabi menyuruh untuk membunuh orang yang mencela dan memcercanya tanpa melalui proses istitabah, dan hal inilah yang dimaksud dalam pembahasan ini. Dengan demikian, menjadi nyatalah bahwa hadits di atas sebagai landasan untuk membunuh seorang yang mencerca beliau tanpa melalui proses istitabah menurut salah satu dari dua pendapat.
Pendapat kedua ini diperkuat lagi bahwasanya kaum tersebut jika memang terbukti bagi mereka bahwa ucapan lelaki ini merupakan celaan dan cercaan kepada Nabi , niscaya mereka langsung mengingkarinya. Dan, barangkali bisa dikatakan di sini, "Mereka ragu-ragu terhadap lelaki ini," lalu mereka bersikap diam hingga mereka mengklarifikasikannya terlebih dulu kepada Nabi , sewaktu terjadi pertentangan antara wajib menaati Rasulullah dan betapa besar masalah yang dibawa oleh lelaki laknat ini. Dan, orang yang mendukung pendapat yang pertama telah mengatakan, "Setiap kebohongan atas nama Nabi mengandung cercaan terhadapnya." Sebagaimana yang telah disebutkan terdahulu.
Selain itu, lelaki ini tidak pemah menyebutkan dalam perkataannya itu bahwa dia bermaksud mencerca dan menghina Nabi .
Akan tetapi, dia hanya bermaksud untuk memenuhi syahwatnya dengan membuat kebohongan atas nama Nabi . Dan hal ini merupakan kebiasaan orang-orang yang dengan sengaja melakukan kebohongan atas nama Nabi . Dia hanya bermaksud untuk memperoleh tujuannya semata, jika memang dia tidak bermaksud untuk meremehkan Nabi «H. Tujuan-tujuan itu umumnya bisa berupa harta atau kehormatan. Sebagaimana bahwa orang jahat (musii')—jika dia tidak bermaksud sebatas menyesatkan—dia hanya bermaksud untuk memperoleh kepemimpinan agar dilaksanakan perintah-nya dan dimuliakan, atau hanya bermaksud memperoleh keinginan-keinginan atau syahwatnya yang kasat mata saja.
Ringkasnya, barangsiapa yang mengucapkan atau melakukan suatu kekufuran, maka dia telah menjadi kafir karenanya, meskipun dia tidak pernah bermaksud untuk menjadi kafir, mengingat tidak ada seorang pun yang bermaksud menjadi kafir kecuali yang telah dikehendaki oleh Allah .
Dalil Keempat:
Yaitu dalil-dalil dari hadits yang menunjukkan kekufuran orang yang telah menyakiti Rasulullah , beserta syariat untuk membunuhnya.
Di antara hadits-hadits ini adalah sebagai berikut:
Hadits tentang seorang badui yang sewaktu Nabi memberinya justeru dia berkata kepada beliau:
"Kamu tidak pernah berbuat kebaikan." Sehingga, kaum Muslimin bermaksud untuk membunuhnya , lalu Nabi bersabda, "Jika kalian membiarkan lelaki ini sewaktu mengucapkan apa yang diucapkannya itu, lalu kalian membunuhnya, niscaya dia tetap masuk neraka." Hadits ini akan disebutkan dalam materi hadits-hadits yang membahas tentang pengampunan Nabi terhadap orang-orang yang telah menyakitinya.
Petunjuk dalilnya: Hadits ini menunjukkan bahwa orang yang telah menyakiti Nabi jika dia dibunuh, maka dia tetap masuk neraka. Hal itu sebagai dalil kekufurannya dan bolehnya dia dibunuh. Karena jika tidak, maka dia justeru dinyatakan sebagai orang yang mati syahid, sedang pembunuhnya termasuk penghuni neraka. Akan tetapi, Nabi telah memaafkannya, lalu setelah itu orang itu pun memohon keridhaan beliau hingga beliau pun ridha, mengingat sudah kebiasaan Nabi selalu memaafkan orang yang telah menyakitinya, sebagaimana akan kita bahas nanti, insya Allah.
Hadits lainnya, adalah bahwa sewaktu Nabi membagi-bagikan harta rampasan perang (ghanimah), ada seorang lelaki yang berkata kepada beliau:
"Sungguh, ini pembagian yang tidak semata-mata karena Allah ." Lalu Umar bin Khattab berkata, "Wahai Rasulullah, biarkanlah aku membunuh orang munafik ini." Namun, Nabi bersabda, "Ma'aadzallah (aku berlindung kepada Allah) bila orang-orang sampai berkata aku membunuh para sahabatku."27.
27.Hadits ini telah d\-takhrij oleh Imam Muslim, dalam kitab pembahasan Zakat (2/740); juga telah disebutkan oleh Ibnu Hajar di dalam kitab Fathul Ban Syarh al-Bukhari, (12/291); juga telah di-takhrij oleh Imam Ahmad di dalam kitab Musnad-nya, (3/244); dan juga telah d\-takhrij oleh ath-Thabarani di dalam kitab al-Mu'jam al-Kabir, (2/185).
Kemudian beliau mengabarkan bahwa akan muncul dari anak cucu orang itu nanti kaum yang akan membaca al-Quran, namun bacaan itu tidak sampai melewati pangkal tenggorokan mereka, lalu beliau menyebutkan hadits tentang kelompok Khawarij, (HR. Muslim).
Dalil petunjuknya: Di sini, Nabi sebenamya tidak melarang Umar bin Khattab untuk membunuh orang tersebut, jika bukan karena beliau khawatir orang-orang akan berkata, "Muhammad membunuh para sahabat-nya." Beliau juga tidak melarang itu untuk dirinya meskipun dia seorang yang ma'shum (terhindar dari dosa). Sebagaimana beliau telah berkata di dalam hadits tentang kisah Hatib bin Abu Balta'ah, yaitu sewaktu Hatib mengatakan, "Aku tidak melakukan itu karena kufur, juga bukan karena benci terhadap agamaku, dan juga bukan karena ridha dengan kekufuran setelah masuk Islam." Ketika itu Nabi ^ berkata, "Dia sungguh telah membenarkan (agama) kalian."28.
28. Hadits ini telah d\-takhrij oleh Imam al-Bukhari di dalam kitab pembahasan tentang tafsir, hadits no. 4608; juga telah d\-takhrij oleh Imam Muslim di dalam kitab pembahasan tentang keutamaan, (4/1941, 1942); dan juga telah d'htakhrij oleh Imam Ahmad di dalam kitab Musnad-nya, (1/80).
Lalu Umar berkata, "Biarkanlah aku memenggal leher orang munafik ini." Namun, Nabi berkata, "Dia pernah ikut perang Badar. Tahukah kamu, bahwasanya Allah melihat kepada sahabat yang ikut perang Badar dan Dia berfirman, "Berbuatlah se-kehendakmu, sungguh Aku telah mengampuni dosa-dosa kalian." Di sini, Nabi menjelaskan bahwa Hatib tetap dalam keimanannya dan bahwa dosa-dosa yang telah dilakukannya itu termasuk kategori dosa-dosa yang akan diampuni. Dengan demikian, maka darah atau keselamatannya pun harus dilindungi.
Di sini, beliau ber'illat (berargumen) dengan kerusakan yang telah hilang (tiada).
Dari sini jelaslah, bahwa membunuh orang yang mengucapkan perkataan semacam itu, jika tidak berekses atau berbuntut timbulnya kerusakan setelah itu, hukumnya boleh-boleh saja. Dan, begitu pula jika kerusakan ini tidak ada, maka Allah telah menurunkan firman-Nya, "Berjihadlah (melawan) orang-orang kafir dan orang-orang munafik itu, dan bersikap keraslah terhadap mereka," (at-Taubah: 73), setelah sebelumnya Dia berfirman kepada Nabi , "Dan janganlah kamu menuruti orang-orang yang kafir dan orang-orang munafik itu, janganlah kamu hiraukan gangguan mereka," (Al-Ahzab: 48). Zaid bin Aslam mengatakan bahwa ayat, "Ber-jihadlah (melawan) orang-orang kafir dan orang-orang munafik ...," (at-Taubah: 73), itu me-nasakh (menghapus) ayat yang sebelumnya.
Di antara peristiwa yang serupa dengan kejadian ini adalah bahwa Abdullah bin Ubay sewaktu berkata, "Sesungguhnya jika kita telah kembali ke Madlnah, benar-benar orang yang kuat akan mengusir orang-orang yang lemah daripadanya," (al-Munafiqun: 8), dan berkata, "Janganlah kamu memberikan perbelanjaan kepada orang-orang (Muhajirin) yang ada di sisi Rasulullah supaya mereka bubar (meninggalkan Rasulullah)," (al-Munafiqun: 7). Maka, seketika itu Umar pun meminta izin untuk membunuhnya. Namun, Nabi malah berkata, "Kalau demikian, banyak orang di Madinah nanti yang akan gemetar/lari karenanya," dan beliau juga berkata, "Niscaya orang-orang akan berbicara bahwa Muhammad membunuh para sahabatnya." Kisah ini sudah sangat masyhur dan disebutkan dalam kitab Shahih al-Bukhari dan Muslim.
Dalil petunjuknya: Bahwa orang yang telah menyakiti Nabi dengan melontarkan perkataan semacam ini boleh dibunuh, dan hal itu jika bisa dilakukan. Namun, Nabi mengabaikan untuk membunuh orang tersebut jika dikhawatirkan pembunuhannya itu justeru berimplikasi larinya banyak orang dari ajaran Islam sewaktu Islam masih dalam kondisi lemah.
Di antara hadits lainnya, adalah bahwa Nabi ketika bertanya, "Siapa yang mau memahami uzurku terhadap seseorang yang telah menyakiti keluargaku?" Lalu Sa'ad bin Mu'adz berkata, "Saya mau memahami uzurmu. Jika temyata dia berasal dari suku Aus, maka pasti aku penggal lehemya." Kisah ini sangat masyhur.
Dalil petunjuknya: Ketika hal itu tidak dipungkiri atas beliau, maka beliau menyatakan bahwa orang yang telah menyakiti dan mencela Nabi itu boleh dipenggal lehernya. Perbedaan antara Ibnu Ubay dan orang-orang lainnya yang berbicara tentang Aisyah , adalah bahwa Ibnu Ubay sewaktu membicarakan Aisyah (atau menuduhnya berzina), itu sebenarnya bermaksud untuk mencela Nabi , mencercanya, menimpakan aib kepadanya, dan mengucapkan kata-kata yang berpretensi untuk mencorengnya. Oleh karena itu, para sahabat pada saat itu berkata, "Kami akan membunuhnya." Berbeda dengan Hassan, Misthah, dan Hamnah. Mereka sama sekali tidak bermaksud demikian, dan tidak pula mengucapkan kata-kata yang berpretensi kepada hal-hal tersebut. Karena itulah, Nabi meminta maaf untuk membunuh Ibnu Ubay dan tidak membunuh yang lainnya. Dan karena itu pula, orang-orang ribut hingga hampir terjadi perang antara dua perkampungan.
Dalil Kelima:
Yaitu dalil dari as-Sunnah yang menunjukkan kekufuran orang yang telah mencerca Rasulullah beserta syariat untuk membunuhnya.
Di antara hadits-hadits yang berkenaan dengan masalah ini adalah sebagai berikut:
Hadits yang diriwayatkan dari asy-Sya'bi yang berkata: Ketika Rasulullah menaklukkan kota Makkah, beliau meminta harta Uzza lalu menabur-kannya di hadapannya. Kemudian beliau memanggil seseorang yang beliau sebut namanya, lalu memberikan kepadanya bagiannya. Kemudian beliau memanggil Abu Sufyan bin Harb, lalu memberikan kepadanya bagiannya. Kemudian beliau memanggil Sa'ad bin Harits, lalu memberikan kepadanya bagiannya.
Kemudian beliau memanggil sekumpulan orang-orang Quraisy, lalu beliau pun memberi mereka.
Beliau memberi seseorang sebutir emas seberat 50 mitsqal dan seberat 70 mitsqal dan yang semisalnya. Lalu ada seorang lelaki berkata, "Sungguh, engkau sangat tahu kemana engkau meletakkan biji emas!" Lalu lelaki kedua mengucapkan perkataan yang sama, namun Nabi berpaling darinya. Lalu lelaki ketiga berkata:
"Sungguh engkau menghukumi, tapi aku tidak melihatmu berlaku adil." Beliau pun berkata, "Celakalah kamu! Kalau begitu, tidak ada seorang pun yang adil setelahku." Kemudian Nabi memanggil Abu Bakar dan berkata, "Pergilah dan bunuhlah dial" Lalu Abu Bakar pun pergi, namun dia tidak menemukan lelaki tersebut. Lalu Nabi pun bersabda, "Sekiranya engkau membunuhnya, aku berharap dia sebagai orang yang pertama dan yang terakhir dari mereka."
Dalil petunjuknya: Hadits ini menetapkan untuk membunuh seseorang yang mencerca Rasulullah tanpa melalui proses istifabah. Dan, ini bukanlah kisah pembagian harta rampasan perang Hunain, dan juga bukan pembagian emas lantak (batangan) yang dibawa Ali dari Yaman, melainkan kisah tentang pembagian harta Uzza yang terjadi sebelum peristiwa-peristiwa tersebut. Penghancuran patung Uzza itu terjadi sebelum peristiwa Fathu Makkah, tepatnya pada akhir bulan Ramadhan tahun kedelapan Hijriyah. Sementara harta rampasan perang Hunain dibagi-bagikan setelahnya di suatu tempat yang bemama Ji'ranah pada bulan Dzulqa'dah, dan pembagian emas yang dibawa Ali teijadi pada tahun kesepeluh Hijriyah.
Hadits ini hukumnya mursal dan bersumber dari Majalid. Di dalam sanadnya terdapat rawi yang lemah. Akan tetapi, ada riwayat lain yang bisa menguatkan maknanya, yaitu bahwa Umar telah membunuh seorang lelaki yang tidak puas terhadap putusan Nabi , dan juga rurun wahyu yang membenarkan tindakan tersebut. Dan, dosanya pun lebih ringan daripada dosa ini.
Selain itu, disebutkan pula dalam kitab Shahih Bukhari dan Muslim riwayat dari Sa'id, dari Nabi berkaitan dengan hadits orang yang mencela beliau dalam masalah pembagian emas yang dibawa Ali dari Yaman, dan orang itu pun mengatakan, "Wahai Rasulullah, takutlah kepada Allah ." Pada wakru itu, beliau pun bersabda:
"Sesungguhnya akan muncul dari anak cucu orang ini suatu kaum yang afcan membaca Kitab Allah dengan suara yang merdu, namun bacaan itu tidak sampai ke pangkal tenggorokan mereka. Mereka keluar dari agama seperti melesatnya anak panah dari busurnya. Mereka membunuhi orang-orang Islam dan meninggalkan para penyembah berhala. Jika aku sampai menemui mereka, niscaya aku bunuh mereka seperti pembunuhan yang dilakukan terhadap kaum 'Aad. "29.
29. Hadits ini d\-takhrij oleh Imam al-Bukhari di dalam kitab pembahasan tentang peperangan, (7/665, hadits no. 4351); dan juga telah di-takhrij oleh Imam Muslim di dalam kitab pembahasan tentang zakat, (2/742, 743).
Dalil petunjuknya: Hadits ini dan yang semisalnya sebagai dalil bahwa Nabi telah menyuruh untuk membunuh golongan dari lelaki yang telah mencela beliau, dan memberitahukan bahwa orang yang mampu membunuh mereka akan mendapatkan pahala. Beliau juga bersabda, "Jikalau aku sampai menemui mereka, niscaya akan aku bunuh mereka seperti pembunuhan yang dilakuksn terhadap kaum 'Aad," dan juga menyebutkan bahwa mereka adalah kaum yang paling buruk akhlak dan bentuk ciptaannya.
Dalam hadits yang diriwayatkan oleh Imam at-Tirmizi dan yang lainnya dan Abu Umamah disebutkan, bahwa Nabi bersabda:
"Mereka adalah sejelek-jelek kaum yang mati terbunuh di bawah kolong langit (atau di bumi), sedangkan sebaik-baik orang yang mati terbunuh adalah orang-orang yang telah mereka bunuh."
Intinya, barangsiapa yang meyakini bahwa Nabi tidak adil dalam pembagiannya, sedangkan Nabi mengatakan bahwa beliau melakukan itu atas perintah Allah , maka orang itu tidak lain adalah orang yang mendustakan Nabi .
Barangsiapa yang mengklaim bahwa Nabi tidak adil dalam masalah putusan atau pembagiannya, maka berarti dia telah mengklaim bahwa beliau berlaku zalim dan bahwa mengikutinya menjadi tidak wajib, dan dia pun menyelisihi apa yang terkandung dalam risalah yang berupa keamanahan Nabi , kewajiban unruk menaatinya, serta hilangnya dosa dari badan oleh karena keputusan beliau melalui perkataan dan perbuatannya. Karena, Nabi telah menyampaikan dari Allah bahwa Dia (Allah) telah mewajibkan untuk menaatinya dan tunduk terhadap hukumnya, dan bahwa dia tidak akan menzalimi siapa pun. Maka, barangsiapa yang mencerca putusan dan pembagiannya ini, maka dia sungguh telah mencerca ajakannya; dan itu berarti dia mencerca kerisalahannya. Dengan demikian, maka terbuktilah keshahihan riwayat orang yang telah meriwayatkan hadits:
"Lalu siapa lagi orang yang berbuat adil, bila ternyata aku saja tidak bisa berbuat adil? Sungguh, kamu pasti merugi jika aku saja tidak bisa berbuat adil."30.
30.Hadits ini d\-takhrij oleh Imam al-Bukhari di dalam kitab pembahasan tentang istitabah terhadap orang-orang yang murtad, (12/303, hadits no. 6933); juga telah d\-takhrij oleh Imam al-Baihaqi di dalam as-Sunan al-Kubra dalam kitab pembahasan tentang pembunuhan terhadap kaum pembangkang (bughat), (8/171); dan juga telah d\-takhrij oleh Imam al-Hakim di dalam a/-Mustadrak dalam kitab pembahasan tentang pembunuhan terhadap kaum pembangkang, (2/145).
Karena, orang yang mencerca ini juga mengatakan bahwa beliau (Muhammad) adalah utusan Allah dan bahwa wajib baginya untuk membenarkan dan menaatinya. Jika dia mengatakan bahwa Nabi tidak berbuat adil, maka berarti dia telah membenarkan seseorang yang tidak adil dan tidak dapat dipercaya (tidak amanah), dan barangsiapa yang mengikuti orang semacam ini, pastilah dia akan merugi.
Sebagaimana Allah telah menyifati atau menggambarkan bahwa mereka termasuk orang-orang yang benar-benar merugi, sekalipun mereka menganggap bahwa mereka selalu melakukan sesuatu yang terbaik. Di samping bahwa orang yang tidak percaya terhadap masalah harta, berarti dia tidak akan pemah percaya terhadap masalah yang lebih besar darinya. Oleh karena itu, Nabi bersabda:
"Tidakkah kalian mempercayaiku, padahal aku adalah kepercayaan yang ada di langit?! Berita dari langit selalu datang kepadaku pagi dan sore."31.31. Hadits ini telah d\-takhrij oleh Imam al-Bukhari dalam kitab pembahasan tentang peperangan, (7/666, hadits no. 4351); juga telah d\-takhrij oleh Imam Muslim dalam kitab pembahasan zakat, (2/742); dan juga telah di-teW)ri/oleh Imam Ahmad di dalam kitab Musnacf-nya, (3/4).
Sabda Nabi :
"Mereka adalah kaum yang paling jelek akhlak dan bentuk ciptaannya."32
.32. Hadits ini telah disebutkan oleh Ibnu Hajar di dalam kitab Fathul Ban Syarfi al-Bukhari, (12/286); juga diriwayatkan oleh Imam Muslim dari hadits Abu Dzar yang berkaitan dengan gambaran kelompok Khawarij, yaitu, "Mereka adalah kelompok yang paling buruk akhlak dan ciptaannya." Juga diriwayatkan oleh Imam Ahmad dengan sanad yang jayyid (baik), semisal dari Anas.
Dan sabda beliau:
"Mereka adalah sejelek-jelek orang yang mati terbunuh di bawah kolong langit."33.
33.Hadits ini telah dt-takhrij oleh Imam Ahmad di dalam kitab Musnad-nya, (5/256); juga telah di-takhrij oleh Imam al-Hakim di dalam al-Mustadrak dalam kitab pembahasan tentang pembunuhan terhadap kaum pembangkang (bughat), (2/149); dan Imam al-Hakim berkata: Hadits ini shahih berdasarkan syarat Imam Muslim, dan telah disepakati oleh Imam adz-Dzahabi.
============
Last edited by
M-SAW on Mon Feb 05, 2007 2:25 pm, edited 1 time in total.