Islamic Learning: the Myth/ Mitos Kecendekiaan Islami Lihat saja apa yang dicatat dalam
Wikipedia (Islamic science) dengan ratusan bahan rujukan dan buku-buku referensi lainnya :
Islam mengalami Jaman Emas (
Golden Age) di abad 7, 8 & 9. Selama periode ini, cendekiawan Muslim memikirkan misteri alam semesta; membuat peta bumi dan bintang-bintang, menemui sistim matematika baru, menulis buku-buku berpikiran maji tentang topik-topik bervariasi seperti medisin dan filosofi dan mereka mendirikan karya-karya arsitektur, isntana dan tempat-tempat ibadat menawan yang tidak ada pendahlunya di Eropa buas jaman itu.
Kebangkitan sains dan seni ini adalah sang kalif legendaris, Harun al-Rashid (yang menjadi tokoh cerita Seribu Satu Malam oleh Scheherazade) di Bagdad yagn besar dan luar biasa kaya, dan berpenduduk 1 juta jiwa. Kordoba, ibukota Al-Andalus, dikatakan setingkat dengan Bagdad dalam hal kekayaan dan berpenduduk setengah juta. Tidak ada kota di Eropa Kristen, konon dikatakan, memiliki lebih dari 50.000 penduduk. Memang, Islam dan dunia islam-LAH, kata mereka, yang membantu rakyat terbelakang Eropa untuk kembali membangun peradaban mereka : jadi, para cendekiawan IslamLAH yang menunjukkan respek bagi pendidikan yang sama sekali ABSEN dari Eropa, dan menyimpan karya-karya besar dunia Klasik dan lalu mentransmisinya kembali ke Eropa, begitu penduduk Eropa siap menghargainya kembali.
Bladibladibalaaaaa … begitu ceritanya.
Jadi kesimpulan wikipedia dkk Islam adalah SUPERIOR secara budaya dan materi dibandingkan Eropa yang dihancurkan kaum barbar Eropa (kaum Salibi) dan kaum barbar Asia Pusat, yaitu kaum Mongol.
Sebelum munculnya buku Henri Pirenne ke permukaan, pemikiran romantis akan Islam ini berlangsung tanpa tantangan, terutama oleh penulis Islamophile seperti Robert Briffault. Katanya, Spanyol dan bukan Italia yang merupakan cikal bakal kelahiran Eropa. Kota-kota Islamiah seperti Bagdad, Kairo, Kordoda, Toledo, adalah “pusat-pusat perkembangan aktivitas peradaban dan intelektual.” Dan, yang paling parah, ia menyimpulkan;
“Sangat dimungkinkan bahwa tanpa Arab, peradaban Eropa tidak akan pernah timbul …” [??????]Untuk mendukung statementnya, Briffault merujuk kepada penemuan dan inovasi Arab; astronomer Al-Zarkyal dan Al-Farani, yang menemukan bahwa orbit planet adalah eliptik dan bukan bundar seperti yang dipercaya Ptolemy. Ia menulis bagaimana Ibn Sina (Avicenna) menggunakan termometer udara dan Ibn Yunis menggunakan sebuah pendulum bagi penentuan waktu. Ia menunjuk kepada karya Al-Byruny, yang berkelana selama 40 tahun untuk mengumpulkan spesimen mineral, dan Ibn Baitar, yagn mengkoleksi spesimen botanik dari seluruh dunia Muslim, dan yang membandingkan flora India dan Persia dengan flora Yunani dan Spanyol.
Ia memuji prestasi Arab yang memberlakukan angka 0 kedalam matematika (padahal ini datang dari INDIA!) dan menunjuk kepada penemuan aljebra oleh Aran yang merevolusi matematika. Seakan ini masih belum cukup, ia menegaskan bahwa ARABLAH yang menciptakan metode pemikiran empiris yang merjadi dasar sains modern, dan menuju kepada prestasi para ahli kimia Arab, atau
alchemists, yang “
organized passion for research … led them to the invention of distillation, sublimation, filtration, to the discovery of alcohol, or nitric acid and sulphuric acids (the only acid known to the ancients was vinegar), of the alkalis, of the salts of mercury, of antimony and bismuth, and laid the basis of all subsequent chemistry and physical research.”
Islamic Learning: the RealityMemang ada kebenaran dalam beberapa pernyataan diatas. Tidak dipungkiri bahwa dunia Arab memang luar biasa kaya. Bagaimana tidak ? Dalam waktu yang sangat singkat mereka merebut dan menduduki semua pusat budaya dan penduduk maju kawasan Turki. Pada tahun 650, tentara-tentara Islam menundukkan semua kawasan dari Mesir dan Libya di barat ke Persia dan Afghanistan di timur.
Kekayaan dan pendidikan tinggi penduduk kawasan-kawasan itu, termasuk pusat-pusat pendudukan mereka yang besar dengan perpustakaan dan universitas-universitasnya, kini menjadi milik Muslim. Selain hasil dari jarahan, Muslim juga masih mendapat pemasukan dari pajak tinggi yang membangkrutkan penduduk yang menolak masuk islam, sementara kekayaan gereja-gereja tua dicongkel habis.
Jangan salah, semua ini dianggap Muslim sebagai sebuah kewajiban agama, termasuk melelehkan patung-patung gereja berlapis emas.
Di Mesir, bahkan kuburan-kuburan dari jaman para firaun dijarah habis. Selain itu mereka juga menemukan sumber-sumber baru bagi emas dan perak. Di Khorasan, Persia Timur, dan di Transoxiana –kawasan diantara Kashmir dan Laut Aral Sea, ditemukan TAMBANG-TAMBANG PERAK DALAM JUMLAH BESAR, sementara penjajahan Arab atas Nubia, Mesir Selatan, mereka juga menemukan tambang-tambang emas. Jelas kekayaan dalam jumlah tidak terhingga menghasilkan sebuah era kemakmuran.
Untuk sementara waktu, Muslim menjadi rektor universitas-universitas ternama. Memang dihasilkan karya-karya sains dan filosofi, dan Arab memiliki teks-teks klasik yang tidak tersedia secara umum di Eropa. Orang-orang ini memang membawa sumbangan besar dibidan saions dan pendidikan.
Sebagai tambahan, penguasa Arab di kawasan Turki (mayoritas populasi kawasan tersebut tetap berbahasa non-Arab dan beragama non-Muslim selama beberapa abad setelah penjajahan Isam), mempelajari rahasia pembuatan kertas, percetakan, kompas dan teknologi-teknologi penting dari Cina antara abad 8 & 11 yang akhirnya mereka sebarkan ke Eropa.
Tapi bagaimana dengan argumen bahwa ISLAMlah yang mendorong majunya sains dan seni? Nah, disini para Islamophiles agak kewalahan. Kaum Arab yang muncul dari Arabia dengan kalif Umar kebanyakan nomad buta huruf yang tidak mengenal sains sedikitpun. Seperti semua orang barbar, mereka sangat tercengang dengan kemajuan yang dicapai budaya-budaya yang mereka jajah. Mesir, Babylonia dan Persia adalah peradaban-peradaban kuno dengan ciri-ciri unik. Masing-masing memiliki universitas, perpustakaan dan tradisi pendidikan yang sangat tinggi. Nah, negara-negara ini, Persia khususnya, merupakan sumber arus ide dan teknik yang mereka pelajari dari budaya-budaya yang sama tingginya : INDIA dan CINA.
Malah, sebagian besar dari teknologi dan metode baru yang didapatkan orang Eropa di Abad Pertengaan dari Arab, BUKAN Arab, tapi Cina dan India.
Eropa menggunakan nama-nama Arab bagi hal-hal ini seperti 0, “zero”, dari kata Arab
zirr, karena mereka mempelajarinya dari sumber arab TAPI hal-hal itu sama sekali bukan Arab ataupun dari Timur Tengah.
Contohnya, claim bahwa Arab menemukan distilasi alkohol, yang diyakini Briffault, jelas salah ! Alkohol didistilasi di Babylonia sebelum penjajahan Arab. Dibawah Arab, teknik distilasi diperbaiki, ; tapi mereka tidak menciptakan distilasi. Lihat Charles Simmonds (1919), Alcohol: With Chapters on Methyl Alcohol, Fusel Oil, and Spirituous Beverages. (Macmillan, 1919). p. 6ff.

Al-Khwarizmi tidak menciptakan aljebra; ahli matematika Yunani,
Diophantes-LAH, yang meminjam pengetahuan Babylon, adalah yang pertama yang memaparkan prinsip-prinsip ini (dalam tulisannya “Arithmetica”) adalah sumber aljebra. Al-Khwarizmi menciptakan beberapa inovasi penting seperti quadratic equation dan sistim penghitungan (decenary numerical system) dari India, tapi karyanya tidak semaju Diophantes. Lagipula, ia berhutang banyak kepada ahli matematika dan astronomer India abad 5,
Aryabhata, yang tulisan berisi 121 ayatnya,
Aryabhatiya, menjabarkan tentang astronomi,
arithmetic, geometry, algebra, trigonometry, metode penentuan gerakan planet dan deskripsi gerekan-gerakan mereka, seeprti juga metode memnghitung gerakan matahari, bulan dan meramalkan eklips mereka. Aryabhata jugalah sumber ide-ide astronomi Al-Zarkyal and Al-Farani, yang begitu dipuja Briffault. See eg. Carl B. Boyer,
A History of Mathematics, Second Edition (Wiley, 1991) p. 228
Sangat penting diingat bahwa mereka ini, walau menggunakan nama dan tulisan Arab, MAYORITAS DARI MEREKA BUKAN ARAB ATAUPUN MUSLIM tapi Kristen dan Yahudi yang bekerja dibawah rejim-rejim Arab.
Pada permulaan, kaum Arab/Muslim sama sekali tidak menunjukkan interes dalam sains ataupun pendidikan tinggi. Karya Aristotle dalam bahasa Arab pada permulaan tidak diterjemahkan oleh Muslim sama sekali, tapi oleh KRISTEN di abad 5, oleh pendeta
Probus dari Antioch (Turki) yang memperkenalkan Aristotle pada dunai berbahasa Arab. Malah selama abad 8 & 9, “seluruh corpus sains dan filosofi Yunani diterjemahkan kedalam bahasa Arab, oleh Kristen-Kristen Nestorian.” (James Thompson and Edgar Johnson,
Introduction to Medieval Europe, 300-1500, p. 175)
Iluminure form the Hunayn ibn-Ishaq al-'Ibadi manuscript of the IsagogeKami tahu bahwa "Sekolah-sekolah yang sering dikepalai Kristen ... didirikan dalam koneksi dengan mesjid-mesjid" (Thompson and Johnson, p. 176). Tokoh utama pendidikan di Baghdad adalah seoragn Kristen,
Huneyn ibn Ishaq (809-873), yang menerjemahkan karya-karya Aristotle, Galen, Plato dan Hippocrates kedalam bahasa Syriac. Puteranya lalu menerjemahkannya kedalam bahasa Arab. Orang Kristen Syria,
Yahya ibn ‘Adi (893-974) juga menerjemahkan karya-karya filosofi kedalam bahasa Arab dan menulis karyanya sendiri,
The Reformation of Morals.
DISELURUH DUNIA MUSLIM, KRISTEN DAN YAHUDILAH (khususnya Yahudi) yang melakukan hampir semua riset sains dan penyidikan. Dan terdapat cukup bukti bawha majikan Muslim mereka sangat mencurigai cara pemikiran mereka. BUKAN Muslim yang memberi kafir motivasi untuk belajar, ataupun meriset, yang begitu dibanggakan Muslim dan rekan-rekan mereka di akademia Barat.
Bahkan jumlah cendekiawan "Arab" yang terbatas itu juga BUKAN ARAB. Al-Kindi dikatakan sebagai “salah satu dari segelintir orang Arab murni yang meraih prestasi intelektual” (Thompson and Johnson, p. 178). Lebih sering, mereka adalah orang PERSIA. Contohnya, Al-Khwarizmi dan Avicenna.
[...] Bahkan Briffault sendiri mengakui bahwa Arab-Arab jaman itu, sama sekali tidak interes pada budaya atau sejarah budaya-budaya tinggi yang mereka jajah/jarah/nikmati. Kenyataannya adalah bahwa pada abad 8, para penulis Arab SAMA SEKALI TIDAK MENGERTI BAGAIMANA MEMBANGUN PIRAMIDA atau monumen megah manapun di Mesir !!!
Great Pyramid of Giza from a 19th century stereopticon card photoPadahal pengetahuan ini sudah tersedia secara luas dalam tulisan penulis-penulis Jaman Klasik seperti Herodotus dan Diodorus, yang karya-karyanya diseimpan dalam perpustakaan besar Mesir dan Babylonia.
http://en.wikipedia.org/wiki/Egyptian_p ... us_SiculusPerhatikan saja komentar
Ibn Jubayr, yang bekerja sebagai sekretaris gubernur Muslim Granada dan mengunjungi Kairo thn 1182. Ia mengomentari “piramida-piramida kuno, dengan konstruksi gaib/menakjubkan dan indah dilihat …” Ia malah menyangka bahwa ini kuburan-kuburan nabi-nabi yang disebut dalam Qur'an tapi pada akhirnya ia hanya bisa menggerutu "Wallahualam ..." (Andrew Beattie, Cairo: A Cultural History, Oxford University Press, 2005, p. 50).
Ketidaktahuan total Arab dalam hal ini jelas membuktikan bahwa mereka memang menghancurkan literatur Klasik atau paling tidak buku-buku yang dianggap tidak memiliki kegunaan praktis. Bahkan di Persia saja, mualaf-mualaf baru dengan cepat kehilangan warisan budaya mereka sendiri. Pada saat tampilnya penyair dan ahli matematika Omar Khayyam (abad 11–12), bangsa aslinya sudah MELUPAKAN SEMUA sejarah kaya mereka.
Jadi kota purbakala Persepolis, ibukota raja-raja Achaemenid, Darius I dan Xerxes, oleh Ibn Jubayr disangka telah didirikan oleh raja Muslim, Jamshid, dan jin-jin yang sama yang katanya, juga mendirikan piramida-piramida Mesir. Bahkan
penulis-penulis Muslim di Mesir lainnya masing-masing memiliki tokoh2 mitos ataupun jin yang mereka anggap sebagai pendiri piramida !!! Sebegitu pedulinya mereka pada literatur abad Klasik dan metoda kritis !
Dan lebih parah lagi, para penguasa Muslim SECARA SISTIMATIK MEMBONGKAR DAN MENJARAH MONUMEN-MONUMEN PURBAKALA DAN BERHARGA MESIR. Malah dari permulaan eksisnya Ilsam dinegeri tersebut, sang penguasa menciptakan sebuah departemen khusus untuk melokasi dan mendesekrasi kuburan-kuburan para firaun. Monumen-monumen yang lebih besar dijarah bagi batu bangunan merek. SALADIN, PAHLAWAN yang begitu dipuja-puja dunia Muslim dan diabadikan dalam berbagai bentuk seni, MEMULAI EKSPLIOTASI MONUMEN-MONUMEN GIZA. Dari batu-batuan yang dicongkelnya itu, ia mendirikan sebuah citadel Kairo (antara 1193 dan 1198) yang bernama Citadel Saladin
http://famouswonders.com/citadel-of-saladin/.
[Bahkan para pemandu turis di Citadel Saladin sekarang tidak akan menyebut bahwa citadel itu dibangun dari hasil vandalisasi piramida---penerjemah] Putera dan penerusnya, Al-Aziz Uthman, malah lebih parah lagi dan bersikeras untuk MENGANCURKAN PIRAMIDA MENKAURE (Andrew Beattie, Cairo: A Cultural History, p. 50 &
http://en.wikipedia.org/wiki/Pyramid_of_Menkaure).

Ia berhasil menghancurkan lapisan luar yang penuh dengan inskripsi-inskripsi kuno yang berharga, tapi proyek itu harus dibatalkan setelah 8 bulan karena terlalu mahal. Tapi kerusakan sudah terjadi. Lihat foto piramida diatas dengan lobang lonjong ditengah. Itulah kerusakan yang diakibatkan putera Saladin.
Sikap terbelakang Muslim macam itulah yang juga dihadapi oleh kedua cendekiawan terbesar dijaman Muslim Spanyol, Averroes dan Maimonides. Walau Averroes seorang hakim syariah, buku-bukunya tetap dibakar dan ia malah diusir, memaksanya beremigrasi ke Maroko (thn 1195) dimana ia wafat tahun 1198. Maimonides juga harus melarikan diri dari penindasan Almohad. Ia mengatakan :
“Arab menindas kami [YAHUDI] dengan sangat keji dan meloloskan undang-undang yang menjijikkan dan diskriminatoris terhadap kita … Belum pernah ada bangsa yang menghina, melecehkan, merendahkan
dan membenci kami seperti mereka.” Yahudi boleh mengajarkan hukum Yahudi ke Kristen tapi Muslim, katanya, akan menafsirkannya "sesuai dengan prinsio-prinsip rancu mereka dan mereka akan menindas kami, dan oleh karena itu mereka BENCI SEMUA [NON-Muslim] YANG HIDUP DIANTARA MEREKA.” Tapi Kristen “mengakui bahwa teks Taurat, seperti yang kita punya ini, sebagai asli."
Kesemuanya ini membuat kita bertanya apakah, “sains Arab” tidak lebih dari sisa-sisa pengetahuan Yunani dan
Persia/Babylon, sebuah pengetahuan YANG DIHANCURKAN SECARA SISTIMATIS OLEH ARAB BEGITU MEREKA MENAMPAKKAN KAKI DIWILAYAH NON-MUSLIM TERSEBUT.
[...] Memang banyak sejarawan yang mengakui bahwa Jaman Emas Islam — ketiga abad kejayaan yang konon katanya,
menandai kalifat-kalifat
Umayyad dan Abbasid (750–1258), memang ada. Tapi ketiga abad yang menandai Abad Pertengahan --abad 7-10-- sama sekali tidak memiliki bukti arkeologis. Jadi, Bagdadnya Harun al-Rashid yang gilang gemilang dengan penduduk satu juta jiwanya, sama sekali tidak didukung oleh satupun batu ataupun inskripsi. Begitu juga dengan Kordoba.
TIdak adanya bukti-bukti arkeologis dari
Islamic Golden Age ini menunjukkan bahwa dampak budaya Arab terhadap Eropa hanya dimulai pada pertengahan kedua abad 10 dan permulaan abad 11. Apakah arti semuanya ini ? Jawabannya akan anda temukan dalam aritkel-artikel dimasa depan.