Review Buku: Meramalkan Kematian Islam*

Forum ini berisi artikel2 terjemahan dari Faithfreedom.org & situs2 lain. Artikel2 yg dibiarkan disini belum dapat dicakupkan kedalam Resource Centre ybs. Hanya penerjemah sukarelawan yang mempunyai akses penuh.
Post Reply
User avatar
Adadeh
Posts: 8184
Joined: Thu Oct 13, 2005 1:59 am

Review Buku: Meramalkan Kematian Islam*

Post by Adadeh »

Meramalkan Kematian Islam
Berbagai Krisis dalam Kebudayaan Islam
Oleh Ali A Allawi
Diulas oleh Spengler
May 5, 2009

Image

Kesimpulan suram akan prospek masa depan Islam mengakhiri buku yang ditulis oleh politikus Irak terkemuka, yang dulu bertugas sebagai Menteri Pertahanan dan Keuangan di Pemerintahan Irak yang didukung AS. Hanya jikalau umat Muslim mampu menempatkan kembali Islam sebagai “cara hidup yang menyeluruh” dalam kehidupan masyarakat dan kehidupan pribadi, maka gembar-gembor “kebangkitan” Islam akhir² ini tidak akan menghasilkan kelahiran kembali kebudayaan Islam; tapi malahan akan menghasilkan kemerosotan Islam. Murtad dari Islam akan menjadi pilihan utama yang mengakhiri kebudayaan Islam.

Begitulah kata² terakhir yang ditulis Ali W. Allawi dalam bukunya dan ini merupakan tulisan yang tercantum di batu nisan Islam, karena dia menganggap kebangkitan kembali kebudayaan Islam hanya merupakan mimpi muluk Muslim. Allawi juga menyangkal kemungkinan bahwa Islam dapat jadi agama pribadi saja. Islam, jelasnya, menawarkan pilihan untuk menerima semuanya atau tidak sama sekali. Muslim harus memilih:
(1) bersedia “hidup secara Islamiah sebagai wujud kepercayaan mereka yang paling hakiki” dan “meraih kembali kedudukan mereka dalam masyarakat dunia di masa lalu yang lalu menyerah pada kafir dalam kurun beberapa abad terakhir”, atau jika hal ini tidak dilakukan, maka (2) “pemerintahan budaya kafir yang dominan” akan “secara fatal memperlemah segala hal yang masih tersisa dari identitas dan otonomi Muslim.”

Dia menolak para Muslim yang menerapkan budaya modern barat secara serabutan seperti yang tampak di berbagai negara² Teluk Timur Tengah yang kebarat-baratan. Tapi dia lebih benci lagi terhadap para radikal Islam yang hanya mementingkan diri sendiri dengan cara memilih-milih menu yang tersedia dalam Islam dan apa yang bisa dimanfaatkan dari modernisasi. Buku Allawi menawarkan obat penangkal penerapan reformasi kebarat-baratan dalam menghadapi masalah Islam. Contohnya bisa dilihat dari Pemerintahan AS di bawah George Bush yang mengira bahwa dengan menerapkan demokrasi berbau Barat, maka negara² Islam dengan mudah bisa bergabung dengan masyarakat kafir dunia modern. Tapi perbedaan antara Islam dan Kristen-Yudaisme Barat terlalu dalam dan tidak bisa ditanggulangi dengan pendekatan politis dangkal ini, demikian kata Allawi. Lalu pihak Pemerintahan AS ini mulai dengan pandangan yang sangat berbeda akan jati diri setiap manusia (individu) karena dalam Islam tiada pengertian bahwa setiap orang itu unik dan tiada duanya.

“Pandangan Islam berbeda dengan pandangan modern tentang individu (perorangan) dan kelompok,” kata Allawi. Tidak ada pemikiran keberadaan satu individu/manusia yang unik dalam Islam, dan hal ini pun tidak bisa dijabarkan dalam bahasa Arab, katanya. Hanya Allâh saja yang bisa dijabarkan sebagai satu individu yang unik tiada duanya; dan manusia itu hanya jadi alatNya saja. Banyak para pembaca barat kafir yang tak mengerti akan hal ini sehingga tidak akan menangkap penjelasan Allawi. Para pengamat politik barat itu tidak belajar tentang agama Islam, tapi penjelasan Allawi itu bersumber dari dunia Islam di mana politik adalah bagian tak terpisahkan dari agama. Ini kutipan tulisan Allawi:

Dalam doktrin klasik Islam, perihal sifat manusia yang punya keinginan merdeka tidak muncul di luar konteks ketergantungannya pada Allâh. Kata Arab untuk individual adalah al-fard dan kata ini tidak dimengerti sebagai satu sosok manusia yang punya kemampuan memilih dan bernalar. Kata ini lebih berarti keesaan dan keagungan. Kemampuan memilih atau bernalar setiap orang berhubungan dengan kehendak Allâh, dan hal ini dikenal Muslim sebagai ikhtiar dan nasib – dan bukan ditetapkan oleh kebebasan atau hak² individu. Al-fard adalah julukan bagi Allâh, yang sangat unik tiada duanya. Julukan lain Allâh adalah al-Wahid, al-Ahad, Al-Fard, Al Samad: yang esa, yang ada, yang abadi. Julukan² ini menyatakan sifat² illahiNya. Orang sih tidak bisa bersifat seperti itu.

”Karena itu,” kata Allawi, “menganggap bahwa setiap orang punya hak dan kemampuan untuk bertindak sendiri tanpa bergantung pada Allâh merupakan penghujatan.” Penjelasan ini merupakan inti ajaran Islam, dan ini menjelaskan mengapa pengertian individualitas Barat tidak bisa diterima Islam: Allâh yang absolut tidak memberi ruang sedikitpun bagi kebebasan individu. Setiap orang mendapat apapun yang dianugerahkan Allâh padanya, tapi orang itu tidak memeliki otonomi atau hak atas dirinya sendiri, dan ini tentunya sangat berbeda dengan pandangan kafir Barat. “Seluruh struktur hak² azasi manusia yang berasal dari kemerdekaan setiap orang atau dari ajaran etika sekuler atau teori politik kafir tidak dikenal dalam struktur cara pikir Islam. Setiap individu menghadapi kenyataan yang berhubungan dengan kenyataan illahi.”

Pihak pengamat kafir barat seringkali membandingkan theokrasi Islam dengan rejim² diktator di abad ke 20. Hal ini dilakukan oleh Daniel Pipes, Paul Berman, dll. Tapi Islam jauh lebih tua daripada segala bentuk politik totalitarian modern. Allawi, sama seperti Tariq Ramadan dan filosof Islam modern lainnya, menjelaskan bahwa sifat “totalitarian” dalam masyarakat Islam bukanlah hasil dari mencontek model politik Eropa, tapi merupakan hasil langsung dari Islam itu sendiri.

Penjelasan Allawi mengapa keunikan individu tidak dipandang sebelah mata dalam Islam berbeda dengan penjelasan Franz Rosenzweig yang menyatakan Islam adalah lelucon pagan saja. Secara analitis, penjelasan Allawi tentang individual ternyata sama dengan penjelasan Rosenzweig; bedanya adalah Allawi menganggap hal ini baik, sedangkan Rosenzweig tidak menganggap begitu. Dari artikel Rosenzweig di bulan September, 2007, yang berjudul First Things, aku mengutip penjabarannya bagaimana masyarakat pagan menelan setiap individu menjadi tak lebih dari sekedar alat dari sebuah ras atau negara:

Masyarakat, Negara, atau masyarakat jaman dulu apapun mungkin sebelumnya tinggal di dalam gua² singa sebelum mereka melihat jejak² seseorang masuk ke dalam gua, dan bukan meninggalkan gua. Dalam masyarakat kuno ini, setiap manusia berdiri sendiri dalam suatu masyarakat sebagai keseluruhan: dia tahu bahwa dia hanyalah sebagian dari keseluruhan masyarakat. Orang itu hanyalah wakil kecil dari masyarakat ini yang punya kekuatan mutlak atas dirinya. Keseluruhan masyarakat itu merupakan contoh sebuah “Negara” atau “Bangsa.” Bagi setiap individu, bangsanya adalah bangsa yang utama…

Dalam Negara yang sangat mengontrol segala, baik Negara atau individu rakyat tidak berhubungan sebagai keseluruhan terhadap sebagian. Sebaliknya, Negara adalah segalanya, di mana kekuatannya mengalir melalui kaki tangan setiap individu warganya. Setiap warga negara memiliki tempatnya masing², dan jika dia berfungsi pada tempatnya, maka dia menjadi milik seluruh Negara itu.

Keberadaan setiap individu di jaman dulu, tidaklah hilang dalam masyarakat, tapi untuk menjaga keutuhan masyarakat, maka individu itu melebur di dalamnya. Perbedaan jelas antara konsep jaman dulu dan demokrasi modern muncul dari sini. Sudah jelas bahwa dari struktur masyarakat jaman dulu ini tidak menghasilkan konsep yang mewakili bentuk demokrasi apapun. Hanya tubuh saja yang punya organ²; sebuah gedung hanya memiliki bagian² gedung itu.

Melalui penjelasan Rosenzweig, mungkin kita bisa melihat ke belakang keberadaan masyarakat pagan jaman dulu agar bisa mengerti mengapa Islam perlu mengakui setiap aspek masyarakat dan kehidupan pribadi, dan bukannya terus saja melakukan gerakan² politik totaliter abad ke 20. Masyarakat Islam bukanlah karikatur dari gerakan² politik totaliter modern; sebaliknya, gerakan² totaliter merupakan neo-pagan, dan seperti semua masyarakat pagan lainnya, setiap individu melebur ke dalam masyarakat sampai tidak lebih daripada kepanjangan kebijaksanaan bangsa saja.

Kritik² Allawi pada para pembaharu Islam dan para Islamis sangatlah jelas. Yang tidak jelas adalah apa jalan keluar yang diajukannya. Pembentukan masyarakat Islam mutlak menyeluruh telah terjadi dan sedang berlangsung di Iran, di mana Muslim Syiah membentuk Republik Islam. Hasilnya adalah kekacauan yang mengakibatkan para wanita muda jadi pelacur² bagi kaum yang berkuasa. Aku telah menulis tentang ledakan masalah sosial di Iran dalam beberapa tulisan, termasuk Sex, drugs and Islam (Asia Times Online, February, 23, 2009 and Worst of times for Iran (Asia Times Online, June 24, 2008).

Kemerosotan angka kelahiran yang tercepat yang pernah dicatat manusia sekarang telah terjadi di Iran dalam generasi² terakhir, dan ini menunjukkan hebatnya kemerosotan moral yang terjadi. Akan hal ini, pak Allawi tidak mengatakan sepatah katapun. Membandingkan harapan pak Allawi bagi terwujudnya masyarakat Islam baru dengan contoh jelek luarbiasa yang terjadi di Iran sekarang tentunya bukanlah perbandingan yang benar, karena yang diharapkan pak Allawi adalah seluruh dunia di bawah Islam.

Meskipun begitu, kebusukan theokrasi Syiah di Iran harus diberi komentar. Meskipun kebobrokan Iran sudah tampak demikian jelas, pak Allawi tidak mengucapakan satu patah katapun akan hal ini. Catatannya mengungkapkan 9 referensi yang berhubungan dengan korupsi, termasuk banyak caci-maki terhadap negara² teluk dan julukan yang diberikannya kepada Aljeria sebagai “negara korup dan brutal.” Sikap diamnya terhadap Iran menunjukkan isi pikirannya dengan jelas.

===== sedang diterjemahkan =======

Rather, Allawi dismisses the nation-state as a Western construct that does not serve the requirements of Islam. He cites a 2005 Pew Research Center survey showing that "large majorities of Muslims in countries as diverse as Pakistan (79%), Morocco (70%) and Jordan (63%) viewed themselves as Muslims rather than citizens of their nation-states.

Even in countries such as Turkey with its long secular history as a nation-state, 43% viewed themselves as Muslims in the first place, although 29% saw themselves as citizens of the nation-state. But where does this desire lead? Not to a Muslim super-state in the form of a revived caliphate, despite the fact that "the existence of a caliphate has been integral to the idea of Islamic civilization. ... However, the reality is such that the caliphate, at least in its historical form, is unlikely to be resuscitated. The current division of the Muslim world into nation-states, republics and monarchies, democracies and autocracies, is too far advanced to assume that they could ever be regrouped within a single empire or super-state inspired by religion."

Although Allawi does not hold out much hope for the political unification of the Muslim world, he toys with the idea of a Shi'ite block centered in Iran:
The Shi'ite world, also a block of nearly 200 million Muslims, is one that cuts across ethnic and cultural lines. Shi'itism will continue to be colored by its status as the national religion of Iran and by the powerful role of Iranian ayatollahs. But it will have to contend with the possibility of a reinvigorated and independent hierarchy emerging from the upheaval in Iraq. A combination of a territorial Shi'ite hierarchy, focused on a particular country but with grand ayatollahs hailing from different parts of the world (a phenomenon which seems to be emerging in Iraq) may co-exist with a "national" Shi'ite authority, as in Lebanon.
Although Allawi does not spell it out, the reader is left with the impression that his hopes for Islamic civilization are centered in his own Shi'ite world. About the means by which a Shi'ite bloc might consolidate its influence, such the importance of a future Iranian nuclear umbrella for the irregular military and terrorist units that the Islamic Republic employs to extend its influence, Allawi, again, says nothing.

There is not a word about the most contentious issue dividing the West and the Muslim world, namely the suspected Iranian nuclear weapons program. That is a major weakness, for he wants to portray the revival of Islamic civilization as a project that in no way threatens the West. The West, however, does perceive a threat in the form of nuclear proliferation, and it seems incongruous to speak of a Shi'ite bloc without addressing this issue.

Allawi's failure to mention the issue of nuclear proliferation raises a larger question: to whom is this book addressed? Perhaps one cannot really address a global Islamic audience that variously reads Arabic, Farsi, Turkish, Punjabi, Urdu and Malay except in English, and in the form of a polemic directed against the Western view of Islam.

If Allawi's book really is addressed to Muslims, and Westerners are reading it over their shoulders, it seems reasonable to ask why the West should want his project to succeed. If Islamic civilization cannot prevail except by dissolving the individual into a collective, why should the West want to see anything but the last of it?

The Crisis of Islamic Civilization by Ali A Allawi (Yale University Press: New Haven, 2009). ISBN-10: 0300139314. Price US$27.50, 304 pages.
"Spengler" is channeled by David P Goldman, associate editor of First Things (http://www.firstthings.com" onclick="window.open(this.href);return false;).

(Copyright 2009 Asia Times Online (Holdings) Ltd. All rights reserved. Please contact us about sales, syndication and republishing.)
ali5196
Posts: 16757
Joined: Wed Sep 14, 2005 5:15 pm

Post by ali5196 »

Setelah gua baca, ternyata ulasan Spengler lebih penting dari isi buku itu : bahwa Islam memang akan mati, bukan karena Muslim gagal menjadikannya sbg way of life---spt yg diharapkan Alawi--- tapi karena Islam memang dari sononya tidak mengenal hak individu dan akan tertelan oleh budaya yg lebih individualistis.
Post Reply