http://www.indonesia.faithfreedom.org/f ... hp?t=12299
LIHAT JUGA:
belajar-islam-lewat-statistik-t42074/
jihad-besar-jihad-kecil-t42075/
Bill Warner dari Centre of the Study of Political Islam) mengatakan :
Dlm Bukhari, 97% perintah jihad merujuk kpd PERANG dan 3% kpd perjuangan batin. Jadi jawaban statistik adalah : jihad adalah 97% perang dan 3% perjuangan batin. Apakah jihad berarti perang ? Ya—97%. Apakah jihad perjuangan batin ? Ya—3%.
Paling tidak 75% dari Sirat Rasulullah adalah ttg jihad. Sekitar 67% dari bagian Quran yg didapatkan di Mekah adalah tentang kafir atau politik. Dari bagian Quran yg 'diturunkan' di Medinah, 51% berbicara ttg kafir. 20% dari Hadis Bukhari adalah ttg jihad dan politik. Jadi, agama (perjuangan batin) hanya merupakan bagian yg paling kecil dari teks fundasi Islam.
Dan apa kata teman2 Muslim tulen kita dibawah ini ?
----------------------------------------------------------------
http://www.indonesiawatch.org/islam.php?news_id=65
Hentikan Manipulasi Makna Jihad!
“Kini ada banyak pembahasan tentang makna jihad. Sungguh kita harus mengerti arti yang sebenarnya, khususnya karena buku-buku yang beredar di Indonesia mengajarkan bahwa ada tiga langkah untuk Islam mendominasi seluruh bumi:
i. Langkah dakwah yaitu mengajak orang masuk Islam
ii. Langkah jizyah yaitu membayar pajak perlindungan supaya yang non-Muslim boleh hidup di bawah perlindungan pemerintahan Islam
iii. Langkah jihad yaitu penggunaan paksaan secara militer untuk membunuh semua orang yang menolak langkah dakwah dan langkah jizyah.
Oleh karena itu, hal ini harus benar-benar dimengerti sementara terjadi pembahasan tentang perubahan makna jihad masa kini.” IW
-------------------------------------------------------------
Edisi 80, Al-Islam On Line
Ibarat menyaksikan saudara kita babak-belur dipukuli penjahat, kita lantas berdiam diri dan malah berusaha mencegah saudara kita yang lain untuk menolongnya. Lebih dari itu, kita malah menyalahkan saudara kita yang akan menolong itu dan menilainya sebagai kekanak-kanakan, emosional, dan 'tidak pakai otak'; sembari membiarkan saudara kita yang babak belur itu tetap dipukuli. Tidak cukup dengan itu, kita kemudian berusaha menafsirkan kata 'menolong' sebagai tidak harus dengan melawan penjahat tersebut, tetapi cukup dengan memberikan bantuan berupa makanan, obat-obatan dll. kepada saudara kita yang menjadi korban itu. Lebih dari itu, kita malah menangkapi sekaligus memukuli saudara-saudara kita yang lain, meskipun mereka hanya sekadar menuntut dilakukannya upaya menolong saudara kita yang babak-belur itu.
Naif! Akan tetapi, kira-kira seperti itulah sikap yang ditunjukkan oleh sebagian umat Islam saat ini—terutama penguasa dan para 'cendekiawan'—dalam mencegah umat Islam lain yang menuntut dilakukannya jihad terhadap AS dan sekutu-sekutunya yang sudah lebih dari dua pekan ini membantai umat Islam di Afghanistan. Dalam hal ini, Allah Swt. berfirman:
Mereka tidak henti-hentinya memerangi kalian sampai mereka (dapat) mengembalikan kalian dari agama kalian (kepada kekafiran), seandainya mereka sanggup. (QS al-Baqarah [2]: 217).
Allah swt. mengajarkan bahwa sikap dalam merespon kenyataan ini adalah jihad fi sabilillah. Allah Dzat Maha Perkasa berfirman:
Perangilah di jalan Allah orang-orang yang memerangi kalian, (QS al-Baqarah: 190).
Meluruskan Makna Jihad
Meskipun telah demikian jelas sikap permusuhan orang-orang kafir— terutama yang direpresentasikan oleh AS dan sekutu-sekutunya—terhadap Islam dan umatnya, sikap sebagian umat Islam malah tampak lemah dan pengecut. Setelah umat Islam dihina dengan cap teroris dan sekaligus diperangi oleh orang-orang kafir, mereka bukannya membela diri serta mempertahankan harga diri dan kehormatan mereka. Sebaliknya, mereka—baik yang bersembunyi di balik baju-baju ormas Islam ataupun mengatasnamakan dirinya sebagai cendekiawan/ulama—sengaja atau tidak, telah tergelincir dalam aksi ikut-ikutan memanipulasi makna jihad. Padahal, justru dengan jihadlah harga diri dan kehormatan Islam dan kaum Muslim dapat terpelihara.
Dalam hal ini, mereka tampak sangat tekstualistik-literalistik, yakni memaknai kata jihad sekadar dari perspektif bahasa semata, tidak dari perspektif yang lebih luas, yakni syariat. Dengan itu, seolah-olah mereka berkata benar. Padahal, mereka berkata tanpa satu dalil pun; tidak juga dengan merujukkannya pada pendapat para fuqaha atau ulama mujtahid yang kredibel.
Mereka mengatakan bahwa jihad itu maknanya luas. Esensinya adalah sungguh-sungguh. Di masa ekonomi sulit seperti sekarang, jihad yang paling pas adalah jihad melawan kemiskinan. Jihadlah dengan kemampuan masing-masing. Jangan mati konyol. Dengan sadis, mereka bahkan mengatakan bahwa orang yang memaknai jihad sebagai perang adalah picik! Subhânallâh!
Dengan menyatakan begitu, tanpa sadar orang seperti itu telah mencap Rasulullah saw. dan para sahabatnya—yang sebagian besar hidupnya setelah menerima risalah Islam bersungguh-sungguh dalam perjuangan dakwah dan jihad fi sabilillah—sebagai orang-orang yang picik. Na'ûdzu billâhi min dzâlik!
Bahkan, untuk mengecilkan makna jihad dalam perspektif syariat, yakni perang untuk menegakkan kalimat Allah, mereka mempertanyakan, “Mengapa jihad melawan orang-orang kafir yang merupakan “jihad kecil” (jihâd ashghar) dibesar-besarkan, sementara jihad melawan hawa nafsu yang merupakan “jihad besar” (jihâd akbar) tidak diperhatikan?”
Dalam hal ini, mereka menggunakan dalil berupa Hadis Nabi berikut:
“Kita kembali dari jihad kecil menuju jihad besar.” Para sahabat bertanya, “Apa jihad besar itu? Rasul menjawab, “Jihad melawan hawa nafsu.”
Muhammad as-Syuwaiki dalam buku Al-Khalâs wa ikhtilâf an-Nâs. hlm. 185, menjelaskan bahwa memang ada yang disebut dengan jihad memerangi hawa nafsu, termasuk jihad memerangi setan dan orang-orang fasik. Akan tetapi, jihad semacam ini tidak lebih utama dibandingkan dengan jihad memerangi orang-orang kafir. Tidak juga lebih besar—di sisi Allah swt.—ketimbang jihad memerangi orang-orang kafir. Apalagi jika sampai menafikan dan menghapuskan jihad memerangi orang-orang kafir. Bahkan, sebaliknya, jihad memerangi orang-orang kafir tetap wajib sampai Hari Kiamat, sebagaimana jihad melawan hawa nafsu.
Atas dasar ini, pendapat yang menyatakan bahwa jihad memerangi hawa nafsu di sisi Allah swt. lebih utama dan lebih besar dibandingkan dengan jihad memerangi orang-orang kafir adalah sangat keliru. Pendapat semacam ini absurd dan berbahaya karena bertentangan dengan—sekaligus mematikan—pemahaman mengenai jihad (perang) di jalan Allah. Oleh karena itu, pendapat semacam ini harus ditolak karena dua alasan berikut:
Pertama, jihad mengandung dua muatan makna: makna bahasa dan makna syariat.
Memerangi hawa nafsu termasuk kedalam pengertian jihad secara bahasa. Secara bahasa, di dalam Kamus al-Muhîth, jihad bermakna kesungguhan (juhd), kemampuan menanggung beban (thâqah), dan kesulitan (masyaqah). Ar-Razi mengatakan, “Mujâhadah asal katanya adalah juhd (kerja keras) yang bermakna masyaqah (kesulitan).”
Di dalam al-Majmû' juga disebutkan, “Jihad diambil dari kata juhd (kerja keras) yang bermakna masyaqah (kesulitan).”
Di dalam syarah Shahîh al-Bukhârî dijelaskan bahwa jihad secara bahasa bermakna masyaqah (kesulitan).
Di dalam Kitab Nayl al-Awthâr disebutkan juga bahwa jihad bermakna masyaqah (kesulitan).
Sementara itu, secara syar'î, dalam hasyiyah Kitab Radd al-Mukhtâr disebutkan bahwa jihad adalah mengerahkan segenap potensi untuk berperang di jalan Allah; baik secara langsung ataupun secara tidak langsung—seperti melalui bantuan materi dan sumbangsih pendapat, memperbanyak logistik, dan lain-lain. (Lihat: Ibn Abidin, al- Hasyiyah Radd al-Mukhtâr).
Di dalam syarah Shahîh al-Bukhârî (Fath al-Bari karya Ibn Hajar al-Asqalani), disebutkan bahwa secara syar'î jihad bermakna mengerahkan segenap kesungguhan di dalam memerangi orang-orang kafir. Di dalam Nayl al-Awthâr karya Imam asy-Syaukani dan syarah az-Zarqani juga disebutkan hal yang sama.
Walhasil, secara bahasa, jihad mencakup segala makna yang dikandungnya selain perang. Sebaliknya, secara syar'î, jihad tidak mengandung makna apa pun selain perang. Adanya perbedaan makna jihad ini mengharuskan tidak adanya penyesuaian setiap nash yang memuat lafal jihâd atau mujâhadah dengan muatan makna tertentu—di antara kedua makna ini—kecuali adanya indikator (qarînah) yang menunjukkannya.
Namun demikian, dalam konteks jihad dalam pengertian syar'î, kita akan menemukan dua jenis penjelasan: yang eksplisit (gamblang) dan yang implisit (tersirat). Yang eksplisit antara lain adalah firman Allah berikut:
Perangilah oleh kalian mereka (orang-orang kafir) hingga tidak ada lagi fitnah (kekafiran) sehingga agama ini hanya milik Allah semata. (QS al-Anfal [8]: 39).
Sesungguhnya Allah telah membeli dari orang-orang Mukmin jiwa-jiwa mereka dan harta-harta mereka dengan imbalan surga bagi mereka; mereka berperang di jalan Allah kemudian membunuh atau terbunuh. (QS at-Taubah [9]: 111).
Rasulullah saw. juga pernah bersabda:
[ b]Siapa saja yang berperang untuk menegakkan kalimat Allah—sebagai kalimat yang tinggi—berarti dia telah berjihad di jalan Allah. [/b]
Masih banyak sejumlah nash lain yang mengandung pengertian secara jelas tentang upaya memerangi orang-orang kafir, yakni sebagai jihad dalam pengertian syariat.
Sementara itu, yang implisit, tetapi berbagai indikatornya tetap menunjukkan pada makna perang, contohnya adalah beberapa ayat berikut:
Hai Nabi, berjihadlah (melawan) orang-orang kafir dan orang-orang munafik itu, dan bersikap keraslah terhadap mereka. (QS at-Taubah [9]: 73).
Akan tetapi, Rasul dan orang-orang yang beriman bersamanya berjihad dengan harta dan diri mereka. (QS at-Taubah [9]: 88).
Frasa waghluzh 'alaiyim dan bi amwâlihim wa anfusihim merupakan indikasi (qarînah) yang menunjukkan bahwa jihad yang dimaksud dalam ayat itu adalah jihad syar'i, yakni memerangi orang-orang kafir.
Rasulullah saw. juga bersabda:
Jihad itu terus berlangsung sejak aku diutus oleh Allah Swt. hingga orang terakhir di antara umatku yang berperang melawan Dajjal.
Lafal an yuqâtila merupakan indikasi (qarînah) yang menunjukkan bahwa jihad dalam hadits itu maknanya syar'i, yakni memerang orang kafir.
Sementara itu, ada nash-nash jihad yang memang tidak mengandung indikasi ke arah peperangan, antara lain:
Orang-orang yang berjihad untuk (mencari keridhaan) Kami, benar-benar akan Kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami. (QS al-Ankabut [29]: 69).
Siapa saja yang berjihad, sesungguhnya jihadnya itu adalah untuk dirinya sendiri. (QS al-Ankabut [29]: 6).
Rasulullah saw. juga bersabda:
Jihad yang paling agung adalah kata-kata yang benar yang disampaikan kepada penguasa yang jahat.
Nash-nash terakhir ini menunjukkan jihad dalam arti bahasa.
Dibedakannya jihad menjadi dua antara lain didasarkan pada salah satu riwayat di atas, yakni ketika Aisyah bertanya tentang kewajiban jihad kaum wanita. Rasul kemudian menjawab (yang artinya), “Ada, tetapi jihad tanpa peperangan, yaitu haji dan umrah.”
Ucapan Rasulullah saw. ini menunjukkan bahwa jihad bisa bermakna peperangan dan bisa juga tanpa peperangan. Jihad tanpa perang termasuk ke dalam pengetian bahasa, sementara jihad dengan perang termasuk ke dalam pengertian syariat. Jihad tanpa peperangan misalnya memerangi hawa nafsu, berbuat baik kepada dua orang tua, mengoreksi penguasa, mendebat orang-orang kafir dengan hujjah, amar makruf nahi mungkar, ibadah haji, dll.
Sebaliknya, jihad dalam pengertian perang bisa dilakukan dengan cara melibatkan diri dalam perang secara langsung, memberikan bantuan baik berupa materi ataupun sekadar pendapat mengenai strategi, menyampaikan pidato untuk membakar semangat tentara, dan hal-hal lain yang terkait dengan perang.
Kedua, lemahnya kedudukan hadis mengenai "jihad kecil" dan "jihad besar" dari segi riwâyah maupun dirâyah-nya.
Hadis ini, secara faktual, tidak layak dipandang sebagai dalil. Hal ini setidaknya didasarkan pada alasan bahwa bahwa hadis tersebut mardûd (tertolak), baik dari segi substansi (dirâyah) maupun periwayatannya (riwâyah).
Dari segi periwayatan, hadis ini statusnya dha'îf/lemah (Lihat: As-Suyuthi, Al-Jâmi' ash-Shaghîr). Sementara itu, dari segi substansi, pengertian hadis tersebut berseberangan dengan sejumlah nash yang mewajibkan jihad fi sabilillah dalam memerangi orang-orang kafir, yang justru dipandang sebagai amalan yang sangat agung. Allah, misalnya, berfirman tentang keutamaan jihad:
Tidaklah sama antara Mukmin yang duduk (yang tidak turut berperang) yang tidak mempunyai uzur dengan orang-orang yang berjihad di jalan Allah dengan harta mereka dan jiwanya. Allah melebihkan orang-orang yang berjihad dengan harta dan jiwanya atas orang-orang yang duduk satu derajat. Kepada masing-masing mereka, Allah menjanjikan pahala yang baik (surga) dan Allah melebihkan orang-orang yang berjihad atas orang yang duduk dengan pahala yang besar. (QS an-Nisa' [4]: 95).
Allah juga memuji aktivitas jihad memerangi orang-orang kafir, sebagaimana firman-Nya:
Sesungguhnya Allah telah membeli dari orang-orang Mukmin, diri dan harta mereka dengan memberikan surga untuk mereka. Mereka berperang di jalan Allah, lalu mereka membunuh atau terbunuh. (QS at-Taubah [9]: 111).
Sebaliknya, Allah mencela dan mengancam orang-orang yang tidak berangkat jihad memerang orang-orang kafir, misalnya:
Jika kalian tidak berangkat untuk berperang, niscaya Allah akan menyiksa kalian dengan siksa yang pedih dan digantinya lian dengan kaum yang lain. (QS at-Taubah [9] : 38-39).
Banyak juga nash hadis yang menyebut keutamaan jihad dalam arti berperang melawan orang-orang kafir, misalnya:
“Berdirinya salah seorang di antara kalian dalam jihad fi sabilillah adalah lebih utama daripada shalatnya di rumahnya selama 70 tahun…."
Berjaga-jaga di perbatasan dengan negeri kufur dalam jihad fi sabilillah lebih baik daripada dunia dan segala yang ada di atasnya.
Dengan demikian, jika ada orang yang terus memanipulasi makna jihad sekaligus mempropagandakan bahwa jihad melawan hawa nafsu adalah lebih urgen daripada jihad memerangi orang-orang kafir, ia berarti telah terjebak pada kungkungan hawa nafsunya sendiri yang enggan berperang melawan orang-orang kafir.
Padahal, bukankah Allah Swt. telah berfirman:
Diwajibkan atas kalian berperang, sementara berperang itu adalah sesuatu yang kalian benci. Boleh jadi kalian membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagi kalian; boleh jadi pula kalian menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagi kalian. Allah mengetahui, sedangkan kalian tidak mengetahui. (QS al-Baqarah [2]: 216).
Wallâhu a'lam bish-shawâb. (IYA DEH, SALAM WALLAHU ALAM BUAT SETAN ELU !!)
NOHH !! HAYOOOO ... siapa yg masih bilang bahwa jihad berarti hanya BERTAPA ????
SIAPA YANG MASIH PERCAYA BAHWA ISLAM = AGAMA DAMAI ????
ITU TANDA KAU SAKIT JIWA !!