by swatantre » Wed Jan 16, 2008 6:04 pm
Bordil, Perlukah Dilegalisasi di Indonesia?
Begini, tadi siang saya dengar acara di suatu radio swasta Jakarta bahwa pemerintah Inggris hendak melegalisasi rumah bordil, seperti Belanda lakukan. Saya dengar pula tanggapannya yang bernada positif. Yaitu bahwa dengan lokalisasi semacam tadi, pajak jadi jelas, jalur penyebaran risiko penyakit jadi jelas (maka pencegahannya pun jadi lebih jelas dan terkendali), tingkat kejahatan seksual seperti pemerkosaan menurun.
Saya pun ingin menanggapi dan mengimbuhi, dengan kecenderungan positif berdasarkan informasi awal di atas.
1.Kebutuhan seks merupakan salah satu kebutuhan asasi (dasar) manusia. Selama ia dipenuhi lewat norma2 yang ada (lembaga perkawinan, dsb), tak ada masalah yang timbul. Tapi, kehidupan normal yang normatif tak selamanya terpenuhi. Ada saja pemerkosaan, KDRT, kumpul kebo, seks bebas remaja, dst. Hal ini bisa terjadi karena norma2 dan lembaga2 yang ada sudah sesak tak mampu memuat kebutuhan masyarakat yang kian berkembang sesuai perkembangan jaman pula.
Di satu sisi para ulama (yang sekarang sudah gak berani turun sendiri ke jalan tapi mempergunakan tenaga anak2 muda ndeso yang polos macam santri2 atau penganggur2 macam FPI) menutupi lokalisasi (pelacuran). Lalu didirikan islamic center di atasnya. Kalau kebutuhan seksual BISA dikompensasi/disubstitusi dengan kebutuhan agama (bukan spiritual, lho sebab dalam islam gak ada spiritualitasnya!), itupun tak jadi soal. Masalahnya, benarkah demikian? Yang ada, kebutuhan seksual kian ditekan, 'wilayah' pelampiasannya kian dipersempit, akhirnya kasus pemerkosaan 'meledak'. Yang jelas, kasus2 pemerkosaan dan seks bebas tidak mereda. Yang disebut terakhir ini malahan yang kian merebak di kalangan amat-belia.
Yang saya lihat di sini ialah ketimpangan berpikir ulama. Ulama2 ingin eksistensinya diakui. 'Menyerang' dan 'menduduki' lokalisasi untuk digantikan dengan IC. Tapi tak mampu memenuhi/menggantikan kebutuhan dasar manusia, yaitu seks tadi. Entah apakah mereka tidak tahu/kurang cerdas. Atau apakah ini sekadar pelampiasan ego elitis kaum ulama, supaya tetap mendapat tempat dan pengakuan di masyarakat. Kehidupan seks para ulama sendiri seperti diberitakan banyak surat kabar sangatlah berantakan. Dari yang poligami hingga mencabuli anak2 (persis nabinya...). Dari jaman Bung Karno pun ternyata sudah banyak ulama model begini di Indonesia. Dari situlah Bung Karno mendapatkan cap nama Islam Sontoloyo, yang lalu diterapkannya melebar hingga ke dunia politik.
2. Bila seksualitas dikaitkan dengan moralitas, maka teriakan ulama utk menutup lokalisasi2 sesungguhnya merupakan teriakan kegagalan ulama untuk mendidik umatnya. Tapi kalau agama (Islam) sendiri merupakan wilayah abu2 untuk seksualitas, maka akarnya ya di Islamnya itu sendiri, bukan?
Tapi, yang hendak saya kemukakan, dengan dilegalisasikannya bordil, bila kita hendak 'meluruskan'/ 'menormalisasi' penghuni maupun juga pengguna di dalamnya, bukankah akan lebih mudah? Kampanye kesehatan seksual, pendidikan keagamaan bisa bermula dari situ. Bandingkan bila rumah bordil dikejar2 terus, ditutup, akhirnya yang terjadi adalah PASAR GELAP transaksi seksual. Di sini, penyebaran penyakit seksual jadi kian tak terkendali. Pelakunya dikriminalisasi. Penyakit sosial jadi kian berbiak di jalan2. Penutupan lokalisasi, disertai pengingkaran munafik terhadap seksualitas yang justru merupakan salah satu kebutuhan dasar manusia justru meledakkan keliaran seksual; penekanan pada akhirnya selalu membuahkan banyak kemudharatan dibandingkan kemaslahatan. Di situlah motivasi munafik menutup lokalisasi2 saya sebut sebagai biang dan bahkan penambah keburukan.
3. Tapi ada juga komentar yang tak saya setujui dari acara tsb. Yaitu bahwa dg lokalisasi, para pekerja seksual di sana dapat menjadikan lahan kerja di sana sebagai profesi, dg akibat ada standar gaji yang jelas, dan kesejahteraan ekonominya meningkat.
Saya turut senang2 saja bila mendengar ada optimisme peningkatan kesejahteraan. Namun saya tidak memandang pekerja seksual sbg profesi, apalagi yang menjanjikan karir. Saya pribadi lebih suka menghargai mereka - para pekerja seksual itu - sebagai manusia pribadi, bukan sbg profesional yg dihargai dengan uang. Di samping itu, saya termasuk yg tidak percaya bahwa ada orang yang bercita2 sbg pekerja seksual, dg dedikasi utk meniti karir hidup di sana. Kebanyakan mereka yg terjerumus di sana karena keterdesakan ekonomi. Bila memang ada yang maniak seks, motivasinya tentu bukanlah uang yang utama.........
Mohon tanggapan netter sekalian. Ini terkait masalah sosial yang nyata terjadi di depan mata......