akhirnya ada juga muslim yg ngaku dakwah tuh islamisasi

Yang santai dan rileks. Gosip juga boleh.
Post Reply
User avatar
peacemaker
Posts: 174
Joined: Tue Feb 13, 2007 3:49 pm

akhirnya ada juga muslim yg ngaku dakwah tuh islamisasi

Post by peacemaker »

Selayang Pandang Kebebasan Beragama di Sumatera Utara
Agustus 28th, 2007



kebebasan-beragama.jpgMembincang Sumatera Utara dalam bingkai “kekebasan beragama” agaknya merupakan tema yang kurang menarik untuk dibicarakan. Sebab, boleh dikatakan Sumatera Utara masih “kondusif” untuk persoalan kebebasan beragama. Bahkan, beberapa tokoh agama – yang pernah penulis temui – menyebutkan bahwa Sumatera Utara boleh jadi merupakan satu-satunya daerah di Indonesia yang dapat dijadikan sebagai contoh masyarakat yang pluralis. Belum ditemukan kasus yang serius dalam masalah intoleran menyangkut persoalan kebebasan beragama di Sumatera Utara. Karenanya, tema kebebasan beragama di Sumatera Utara hanya menarik dibincangkan manakala yang ingin dilihat adalah tingkat kondusifitas kebebasan beragama itu sendiri.

Tentu perlu dipertanyakan pula, mengapa tema ini yang harus penulis angkat jika memang kebebasan beragama cukup kondusif di Sumatera Utara?. Penulis ingin menjawab pertanyaan ini dengan kembali mengajukan pertanyaan: apakah yang dimaksud dengan kebebasan beragama? Apakah kebebasan beragama berarti bebas melakukan ibadah?, bebas memeluk agama sesuai dengan keyakinan masing-masing?, atau kebebasan beragama berarti bebas berpindah agama? Dan atau kebebasan beragama itu sendiri tidak memiliki batasan yang jelas?.

Benar bahwa belum ditemukan bentuk-bentuk diskriminasi pada agama manapun di Sumatera Utara. Bahkan ketika pemeluk Ahmadiyah diserang habisa-habisan dibeberapa wilayah Indonesia, diskriminasi yang sama tidak pernah terjadi di Sumatera Utara. Jamaah Ahmadiyah masih bebas menjalankan ibadahnya. Ambilah contoh “Mesjid Mubarok” yang terletak di Jl. Pasar III Kec. Medan Perjuangan, sebagai Mesjid milik Jamaah Ahmadiyah, aktivitas pada rumah ibadah ini tidak mengalami gangguan sedikitpun. Bahkan Jamaah lain diluar Ahmadiyah, sekali waktu menyempatkan diri untuk beribadah ke Mesjid tersebut, boleh jadi kurang faham dengan status mesjid tersebut sebagai mesjid Jamaah Ahmadiyah, atau memang masyarakat Sumatera Utara – Medan khususnya – tidak mau ambil pusing mempersoalkan hal tersebut.

Namun demikian, penulis menilai ada beberapa contoh kasus yang masih bias dan penting dicatat, apakah kasus ini sebagai bentuk lain dari belenggu “ketidakbebasan beragama” atau sama sekali tidak ada hubungannya dengan persoalan kebebasan beragama. Contoh kasus, misalnya pertengahan Juli 2006 lalu, masyarakat Medan-Sumatera Utara digemparkan dengan tindakan yang dilakukan istri Gubernur Sumatera Utara, Ny. Vera Natrida Tambunan dengan membagikan buku-buku yang bermuatan “misi kekristenan”. Tentu saja tindakan ini menyulut kemarahan umat Islam di Sumatera Utara. Beberapa elit politik partai Islam dan Lembaga Islam merespon keras tindakan tersebut. Mahasiswa yang bergabung dalam Forum Silaturahmi Lembaga Dakwah Kampus Pusat Komunikasi Daerah (FSLDK Puskomda) Sumatera Utara menuntut Ny Vera minta maaf kepada umat Islam. Pasalnya, Ny Vera dinilai telah membagi-bagikan buku bernuansa ajaran agama Kristen.

Ini bukanlah aksi yang pertama. Sebelumnya, massa dari berbagai elemen masyarakat telah mendatangi DPRD Sumut, Kejaksaan Tinggi, dan Markas Polda Sumut untuk menuntut kegiatan yang dinilai sebagai praktik pemurtadan ini agar segera diproses secara hukum. Ny Vera sendiri diketahui membagi-bagikan buku teks yang bermuatan ajaran Kristen pada awal tahun ajaran baru dengan menjadikan objek pembagian adalah murid-murid SD beragama Islam di kawasan Belawan. bahkan, Ny Vera juga membagikan buku-buku itu ke sejumlah madrasah dan pesantren.

Alih-alih, menanggapi protes masyarakat atas tindakan-tindakan Ny Vera tersebut, Komisi IV DPRD Sumut telah melayangkan panggilan kepada Ny Vera. DPRD Sumut sendiri merasa perlu memanggil istri Rudolf Pardede guna dimintai keterangannya. Pemanggilan itu juga sekaligus untuk mengklarifikasi mengenai tujuannya membagi-bagikan buku tersebut kepada para siswa Muslim di Medan.

Seperti diberitakan beberapa media massa lokal dan nasional, demonstrasi yang dilakukan umat Islam menampilkan sejumlah spanduk dan pamflet yang antara lain bertuliskan: ‘Ny Vera Natarida Jangan Ganggu Umat Islam’, ‘Ny Vera Rudolf Pardede Belum Minta Maaf, Itu Artinya Menantang Umat Islam’, ‘Tarik Semua Buku yang Dibagikan Ny Vera Tambunan Karena Ada Misi Pemurtadan’, dan ‘Karena Belum Minta Maaf, Jangan Salahkan Umat Islam Jika Bertindak’.

Selain meminta Ny Vera untuk minta maaf, demonstran juga menyeru umat Islam bersatu padu melawan misi-misi pemurtadan. Untuk permintaan maaf Ny Vera, para demonstran memberi batas waktu 10×24 jam. ”Jika tuntutan ini tidak diindahkan, jangan salahkan bila kemarahan umat Islam tidak dapat terbendung lagi,” demikian pernyataan sikap FSLDK yang dibuat oleh Puskomda.

Ironisnya, aksi ini dikaitkan dengan posisi Rudolf Pardede sebagai Gubernur Sumatera Utara. Pasalnya, salah satu parpol terbesar di Sumut, PPP, juga telah menyatakan ‘perang’ terbuka terhadap kepemimpinannya. Alasannya, hanya beberapa bulan menjabat gubernur menggantikan Rizal Nurdin yang meninggal dunia tahun lalu, Rudolf telah bertindak primordialistik dengan mengangkat lebih banyak pejabat dari non-Muslim. ”Dia telah menebarkan bibit-bibit perpecahan di kalangan masyarakat,” ujar Hasrul Azwar, anggota DPR yang tergabung dalam Partai Persatuan Pembangunan Sumut.

Kasus yang lain juga, penggunaan Asrama Haji Pangkalan Mahsyur Medan sebagai tempat acara festival Paduan Suara Gerejawi (Pesparawi). Hal ini juga melahirkan respon dari umat Islam, khususnya para elit politik. Misalnya, sebagaimana diberitakan media lokal: Fraksi Partai Bintang Reformasi (FPBR) DPRDSU memprotes lokasi Asrama Haji dijadikan sebagai tempat acara festival Paduan Suara Gerejawi (Pesparawi). “Asrama Haji merupakan simbol bagi umat Islam, khususnya untuk musim haji. Kita sangat menyayangkan mengapa pemerintah memberikan izin pemakaian tempat Asrama Haji untuk acara Pesparawi,” ujart Ketua FPBR DPRD Sumut H Romo Raden Imam Syafi’i, SH di Gedung Dewan, Selasa 4 Juli 2006 lalu.

Romo menilai, tidak etis jika acara Pesparawi digelar di Asrama Haji Medan, karena bernuansa kebaktian. Asrama Haji sebagai simbol umat Islam dan tempat berkumpulnya umat muslim akan berangkat dan pulang ke tanah suci Mekkah. “Pesparawi merupakan acara paduan suara bagi agama Kristen. Terlebih di Asrama Haji ada satu masjid jaraknya sangat dekat dengan aula. Jika tepat pada acara paduan suara atau kebaktian, maka akan dapat beradu dengan suara berkumandang azan,” ujar Romo yang juga sebagai Wakil Ketua Umum DPP Partai Bintang Reformasi. Romo mengaku, pihaknya tidak keberatan jika asrama haji digunakan atau didiami umat yang berbeda agama. Yang dipersoalkan siapa menggunakan dan mendiami di Asrama Haji. Setiap orang berbeda agama dan partai boleh memakainya. Tapi Romo keberatan asrama haji digunakan sebagai acara kebaktian untuk agama lain.

Jika kita melakukan pembacaan pada dua contoh kasus yang penulis sebutkan diatas, agaknya kita perlu mengkaji ulang istilah “kondusif” dalam persoalan kebebasan beragama yang dilabelkan untuk Sumatera Utara. Istilah kondusif itu sendiri umumnya datang dari para tokoh dan pemuka agama serta pemerintah setempat, tapi melihat kasus pembagian buku oleh Ny. Vera dan penggunaan Asrama Haji oleh Pesparawi, apakah kita masih yakin untuk menyebutkan Sumatera Utara sebagai wilayah yang kondusif?. Sungguhpun belum ada batasan yang jelas tentang makna “kebebasan beragama”, bagi penulis sendiri kasus ini merupakan contoh kecil pelanggaran kebebasan beragama, dari sekian banyak kasus lain di Sumatera Utara yang pada gilirannya akan menjadi “bom waktu” terhadap kondusifitas tadi.

Didalam Islam kita mengenal istilah “Dakwah” sebagai suatu kewajiban yang berulang kali ditegaskan dalam Al-Qur’an. Misalnya ditegaskan pada Surat Ali Imran ayat 110: “Kamu adalah umat terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyeru kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang mungkar”. Beberapa tokoh perumus dakwah menyebutkan ayat ini sebagai ayat yang mengisyaratkan kewajiban dakwah, ini artinya dakwah merupakan satu bagian yang pasti yang dibebankan kepada setiap pemeluk Islam. Dakwah sendiri dapat dilakukan dengan berbagai cara, baik lisan, tulisan dan aksi sosial. Aksi sosial yang dimaksud disini dapat dipahami sebagai bantuan berupa infaq, sadakah dan bantuan-bantuan sosial lainnya.

Seandainya kita menggunakan logika yang sama untuk kasus Ny. Vera Natrida Tambunan, katakanlah pembagian buku merupakan bentuk lain dari aksi sosial yang diajarkan dalam keyakinannya, lantas bagaimana mungkin umat Islam dapat “keberatan” dengan tindakan yang dilakukan Ny. Vera sekalipun itu kita sebut sebagai missi. Padahal, jika dianalisis lebih jauh, misi pada agama Kristen memiliki makna yang sama dengan dakwah pada agama Islam.

Ada sebuah ilustrasi menarik tentang hal ini, ketika Kepala Laboraturium Fak. Dakwah IAIN Sumut akan mengesahkan penelitian Skrispi seorang mahasiswa yang berjudul: “Stategi Dai Dalam Mengantisipasi Misi Kristenisasi di Sumatera Utara”, sejenak beliau termenung lantas bertanya: “apa alasan anda memilih judul ini?”, pada mahasiswa bersangkutan. Mahasiswa tadi menjawab “Misi Kristenisasi di Sumatera Utara sudah semakin marak dan perlu diwaspadai”. Lantas dosen tadi menyangkal jawaban tersebut dengan mengatakan “kadang kita tidak adil, mengapa kita harus mengkhawatirkan misi sementara kita terus berdakwah?, mengapa pula kita marah dengan Kristenisasi sementara kita mengumandangkan Islamisasi?”.

Penulis ingin menganggap perbicangan dalam ilustrasi diatas hanya sebatas guyonan saja. Tapi, penulis – yang berada disana ketika itu – sempat berfikir dan membenarkan guyonan ini. Ada semacam sikap tidak fair ketika umat Islam keberatan denagan Misi Kristenisasi, sementara dakwah dikumandangkan dimana-mana. Mengapa kita selalu menganggap Islamlah yang paling benar?.

Sama halnya dengan kasus pelarangan penggunaan Asrama Haji oleh Pesparawi, hal ini menurut hemat penulis telah melunturkan apa yang disebut sebagai “sampel masyarakat pluralis” untuk Sumatera Utara. Karenanya, menurut hemat penulis, masih banyak kasus-kasus lain sebagai bentuk pelanggaran kebebasan beragama di Sumatera Utara, namun kita hanya “menutup mata” untuk mengatakan kasus-kasus tersebut sebagai kasusu pelanggaran kebebasan beragama.=
User avatar
Rashidi
Posts: 1196
Joined: Wed Sep 14, 2005 10:15 pm

Post by Rashidi »

hehe sebenarnya cukup berat bagi muslim untuk mengakui sebagai islam-isasi, sebab itu artinya dilegalkan pula untuk melakukan:
  • kresten-isasi
  • Budhis-isasi
  • Hindu-isasi
  • Kejawen-isasi
  • Atheis-isasi
  • Agnostic-isasi
  • dst....
jika tidak dilegalkan dengan mudahnya pengkritik islam menghancurkan citra islam yg konon katanya adil.

Dan jika itu terjadi maka doktrin islam yg tidak menarik dan keji akan terbongkar, dan kemudian ditinggalkan

sebagai cult yg membangga-banggakan jumlah rekrut / penganut, proses xxx-isasi sangat mudah membuat tersinggung & emosional penganut islam tentunya bila yg muslim yg meninggalkan islam

heh di forum ini kita kan sudah lihat contohnya hmm?
Post Reply