Mahasiswa98 wrote:
Bro Kibou numpang tanya. apakah Nilai Nurani manusia adalah pasti sama? sejak manusia diciptakan sampai manusia terakhir adalah sama dan tidak berubah?
katakanlah nilainya 10 (paling tinggi) mulai dari awal sampai akhir?
Terima kasih Bro Mahasiswa.
Saya bingung mau menjawab sebagai murid filsafat, ataukah sebagai orang yang sudah ditebus Kristus?
Kalau sebagai kristen, jawaban saya dapatkan di Genesis 3. Tidak usah saya ulas supaya tidak OOT yah Bro.
Kalau sebagai murid filsafat, terus terang saya tidak tahu jawaban pastinya. Tapi saya rasa intuisi moral itu bisa kita analogikan dengan intuisi logika/matematika.
Tentunya ada manusia-manusia yang intuisi logika demikian hebat, mereka bisa memperkenalkan manusia lain kepada kalkulus (Sir Isaac Newton dan G.W. Leibniz).
Tentunya juga ada manusia-manusia yang intuisi moralnya demikian hebat, mereka bisa memperkenalkan manusia lain kepada ajaran-ajaran Kasih. Misalnya Zoroaster dan Siddarta Gautama.
Dengan demikian, saya mau sumbang lagi pemikiran:
Saya sudah ajukan pemikiran bahwa belief yang dihasilkan intuisi moral itu sifatnya properly basic, tentunya dengan kondisi bahwa intuisi moral tersebut (sebagai salah satu kemampuan kognitif manusia) sedang berfungsi sebagaimana mestinya, tidak dalam kondisi dysfunction atau malfunction. Ini disebut Plantinga sebagai proper function.
Konsep proper function menjadi sangat penting dalam menentukan moral dan etika manusia.
Saya coba ilustrasikan sbb:
Analogikan intuisi moral seperti sebuah organ fisik seperti penciuman. Untuk bisa berfungsi, organ penciuman memerlukan input (bau atau aroma) dan bisa menghasilkan output dari input yang bersangkutan.
Organ penciuman saya mendapat input bau kotoran kucing yang sangat menyengat, dan sebagai output dalam diri saya timbul rasa mual, rasa jijik, rasa ingin menjauhi sumber bau tersebut secepat mungkin.
Kalau kita kembali ke intuisi moral, input bisa (tapi tidak terbatas pada) berupa penggambaran suatu peristiwa (state of affairs). Misalnya:
P = Seorang pria memperkosa, menyiksa, dan membunuh anak kecil.
Setelah menangkap penggambaran P secara abstrak, maka dalam diri Budi timbul rasa mual, rasa jijik, dan sebagai output susulan timbul belief pada diri Budi bahwa P itu tidak baik, tidak pantas, dan tidak boleh ditiru apalagi diteladani.
Jadi dari input P, keluar output belief bahwa P itu salah, tidak semestinya dilakukan.
Tapi bagaimana jika ada orang yang juga mendapat input P, tapi menghasilkan output yang berbeda?
Robot Gedek menangkap P, dan timbul dalam dirinya sexual arousal, dan bahkan kepuasan. Timbul output belief dalam diri Robot Gedek bahwa P itu menyenangkan, membahagiakan.
Sekarang barulah terlihat betapa pentingnya menilai intuisi moral melalui kacamata proper function.
Karena kini kita bisa mempertanyakan, antara Budi dan Robot Gedek, manakah yang intuisi moralnya berfungsi sebagaimana mestinya? Apakah Budi? Ataukah Robot Gedek? Atau tidak keduanya (moral relativism)?
Nanti kalau ada waktu luang saya lanjutkan lagi...