page 233 http://books.google.com/books?id=OMnt1i ... &q&f=false
http://www.amazon.com/Indonesia-Histori ... 464&sr=1-1
Diponegoro menekankan karakter Muslimnya dengan menyebut perangnya sebagai JIHAD. Ia melihat jauh keluar kepulauannya, mengambil kaisar Ottoman sebagai contoh sebagai kepala dunia Islam. Busana perangnya di Jawa saja mengundang perhatian karena mencontoh busana Ottoman, turban dan celana serta baju putih. Di kawasan yang dikuasainya, ia menerapkan administrasi syariah. Pejabat2nya diinstruksikan untuk memungut pajak sesuai dgn syariah: barang rampasan dan budak manusia harus dibagi2kan sesuai dengan hukum islam. Tahanan perang diberi dua pilihan: MASUK ISLAM ATAU MATI.
[...] ia percaya bahwa komunitas2 islam harus dijalankan oleh hakim2 dan guruh syariah, bukan raja2.Ini aneh, karena Diponegoro sendiri seorang produk kerajaan jawa. Seperti layaknya raja2 Yawa, ia juga mengumumkan penyatuannya dengan Nyi Loro Kidul.
Ia mengalami kekalahan dalam peperangan karena orang2 Cina tidak lagi mau mensuplainya dengan amunisi, setelah pasukan Diponegoro membantai komunitas2 Cina, termasuk Cina2 Muslim. [Tahu sendiri lahhh ... sambil teriak2 Allahuoooo AwkboaaaAAAARRR!!]
Tahun 1827, kekalahan Diponegoro semakin telak. Ia menyatakan diri sbg imam, melangkahi para pemimpin Muslim penting shg pemimpin2 Muslim itu menolak mendukungnya, menyuruh rakyat meletakkan senjata dan malah beralih mendukung Belanda.
LIHAT JUGA darimana datangnya ideologi Diponegoro ini!
http://muslimvoicesfestival.org/events/ ... -indonesia
TERJEMAHAN:The eighteenth and early nineteenth centuries witnessed an increase in Arab and Ottoman Turkish influence in Indonesia when increased numbers of Arab migrants from the Hadhramaut (present-day South Yemen) – an area renowned for its religious schools and Muslim scholars – began to settle in the archipelago. The quickening tempo of pilgrim traffic across the Indian Ocean also exposed Indonesians to the teachings of Islamic reformers, in particular those linked to the strict Wahhabi sect which briefly controlled the holy cities of
Islam (Mecca and Medina) (1803-1812).
Further west, the fading glory of the Ottoman empire inspired Indonesian Muslims with an admiration for the one Islamic state which had withstood the might of Christian Europe. Such examples stiffened the resolve of Indonesian Muslim rulers and Islamic divines in the face of post-1816 Dutch imperial expansion. In West Sumatra, a Wahhabi-influenced religious leader (tuanku), Imam Bonjol (1772-1864), emerged as the principal leader of armed resistance to the Dutch in the so-called Paderi (from the Dutch padre = ‘priest’) War (1821-37).
Abad2 18 & 19 menyaksikan meningkatnya pengaruh Arab dan Ottoman Turki di Indonesia saat migran2 Arab dalam jumlah banyak dari Hadhramaut (Yaman sekarang), kawasan yang dikenal karena madrasah2 dan ahli2 Islam-mulai menetap di kepulauan. Meningkatnya arus Muslim ini mengekspos Muslim2 Indonesia kepada ajaran Wahhabi.
Semakin ke barat, lunturnya kejayaan Ottoman menginspirasi Muslim2 Indonesia yang terkesan pada satu negara Islam yang melawan kekuatan Eropa yang Kristen. Contoh2 ini mengeraskan niat penguasa Muslim Indonesia dan imam2 mereka melawan ekspansi kekuasaan Belanda masa pasca 1816. Di Sumatera Barat, seorang pemimpin yang dipengaruhi secara religius (tuanku) Imam Bonjol, 1772-1864, muncul sebagai pemimpin utama perlawanan bersenjata melawan Belanda dalam perang Paderi (paderi, dari kata Belanda padre, yg berarti: pendeta)
http://www.thejakartapost.com/news/2010 ... egoro.html
FOTO ATAS: Opera Diponegoro untuk generasi muda Indonesia yang terus dijejali dengan kebohongan pesona Diponegoro,
tapi tidak mampu melihat pesan dibelakang ceritanya. Kalau memang mang Dipo ini begitu 'bangga dengan kejawaannya' mengapa dia harus memakai julukan Muslim, Ali Bashja Sentot Prawirodirjo? Tidak ada satupun orang Indonesia yang bisa melihat bahwa ia ini sudah di-Arabisasi. Aduuuhhh bangsaku .. piye toh!!