Bordil, Perlukah Dilegalisasi di Indonesia?
Begini, tadi siang saya dengar acara di suatu radio swasta Jakarta bahwa pemerintah Inggris hendak melegalisasi rumah bordil, seperti Belanda lakukan. Saya dengar pula tanggapannya yang bernada positif. Yaitu bahwa dengan lokalisasi semacam tadi, pajak jadi jelas, jalur penyebaran risiko penyakit jadi jelas (maka pencegahannya pun jadi lebih jelas dan terkendali), tingkat kejahatan seksual seperti pemerkosaan menurun.
Saya pun ingin menanggapi dan mengimbuhi, dengan kecenderungan positif berdasarkan informasi awal di atas.
1.Kebutuhan seks merupakan salah satu kebutuhan asasi (dasar) manusia. Selama ia dipenuhi lewat norma2 yang ada (lembaga perkawinan, dsb), tak ada masalah yang timbul. Tapi, kehidupan normal yang normatif tak selamanya terpenuhi. Ada saja pemerkosaan, KDRT, kumpul kebo, seks bebas remaja, dst. Hal ini bisa terjadi karena norma2 dan lembaga2 yang ada sudah sesak tak mampu memuat kebutuhan masyarakat yang kian berkembang sesuai perkembangan jaman pula.
Di satu sisi para ulama (yang sekarang sudah gak berani turun sendiri ke jalan tapi mempergunakan tenaga anak2 muda ndeso yang polos macam santri2 atau penganggur2 macam FPI) menutupi lokalisasi (pelacuran). Lalu didirikan islamic center di atasnya. Kalau kebutuhan seksual BISA dikompensasi/disubstitusi dengan kebutuhan agama (bukan spiritual, lho sebab dalam islam gak ada spiritualitasnya!), itupun tak jadi soal. Masalahnya, benarkah demikian? Yang ada, kebutuhan seksual kian ditekan, 'wilayah' pelampiasannya kian dipersempit, akhirnya kasus pemerkosaan 'meledak'. Yang jelas, kasus2 pemerkosaan dan seks bebas tidak mereda. Yang disebut terakhir ini malahan yang kian merebak di kalangan amat-belia.
Yang saya lihat di sini ialah ketimpangan berpikir ulama. Ulama2 ingin eksistensinya diakui. 'Menyerang' dan 'menduduki' lokalisasi untuk digantikan dengan IC. Tapi tak mampu memenuhi/menggantikan kebutuhan dasar manusia, yaitu seks tadi. Entah apakah mereka tidak tahu/kurang cerdas. Atau apakah ini sekadar pelampiasan ego elitis kaum ulama, supaya tetap mendapat tempat dan pengakuan di masyarakat. Kehidupan seks para ulama sendiri seperti diberitakan banyak surat kabar sangatlah berantakan. Dari yang poligami hingga mencabuli anak2 (persis nabinya...). Dari jaman Bung Karno pun ternyata sudah banyak ulama model begini di Indonesia. Dari situlah Bung Karno mendapatkan cap nama Islam Sontoloyo, yang lalu diterapkannya melebar hingga ke dunia politik.
2. Bila seksualitas dikaitkan dengan moralitas, maka teriakan ulama utk menutup lokalisasi2 sesungguhnya merupakan teriakan kegagalan ulama untuk mendidik umatnya. Tapi kalau agama (Islam) sendiri merupakan wilayah abu2 untuk seksualitas, maka akarnya ya di Islamnya itu sendiri, bukan?
Tapi, yang hendak saya kemukakan, dengan dilegalisasikannya bordil, bila kita hendak 'meluruskan'/ 'menormalisasi' penghuni maupun juga pengguna di dalamnya, bukankah akan lebih mudah? Kampanye kesehatan seksual, pendidikan keagamaan bisa bermula dari situ. Bandingkan bila rumah bordil dikejar2 terus, ditutup, akhirnya yang terjadi adalah PASAR GELAP transaksi seksual. Di sini, penyebaran penyakit seksual jadi kian tak terkendali. Pelakunya dikriminalisasi. Penyakit sosial jadi kian berbiak di jalan2. Penutupan lokalisasi, disertai pengingkaran munafik terhadap seksualitas yang justru merupakan salah satu kebutuhan dasar manusia justru meledakkan keliaran seksual; penekanan pada akhirnya selalu membuahkan banyak kemudharatan dibandingkan kemaslahatan. Di situlah motivasi munafik menutup lokalisasi2 saya sebut sebagai biang dan bahkan penambah keburukan.
3. Tapi ada juga komentar yang tak saya setujui dari acara tsb. Yaitu bahwa dg lokalisasi, para pekerja seksual di sana dapat menjadikan lahan kerja di sana sebagai profesi, dg akibat ada standar gaji yang jelas, dan kesejahteraan ekonominya meningkat.
Saya turut senang2 saja bila mendengar ada optimisme peningkatan kesejahteraan. Namun saya tidak memandang pekerja seksual sbg profesi, apalagi yang menjanjikan karir. Saya pribadi lebih suka menghargai mereka - para pekerja seksual itu - sebagai manusia pribadi, bukan sbg profesional yg dihargai dengan uang. Di samping itu, saya termasuk yg tidak percaya bahwa ada orang yang bercita2 sbg pekerja seksual, dg dedikasi utk meniti karir hidup di sana. Kebanyakan mereka yg terjerumus di sana karena keterdesakan ekonomi. Bila memang ada yang maniak seks, motivasinya tentu bukanlah uang yang utama.........
Mohon tanggapan netter sekalian. Ini terkait masalah sosial yang nyata terjadi di depan mata......
Bordil, Perlukah Dilegalisasi di Indonesia?
- wicked_witch
- Posts: 25
- Joined: Sun Jan 13, 2008 2:41 am
hahahaha..
kalo menurut saya sih tentunya lebih baik dilegalisasi.
karena bila dilegalisasi tentu lebih bisa dikontrol, lalu bukankah bisa ditarik pajak yg jumlahnya tidak sedikit untuk membantu melunasi hutang2 indonesia? :P
yg jadi masalah disini, menurut saya, adalah sebagian besar penduduk indonesia adalah muslim2 yg berpikiran sempit dan sok suci.
padahal bila tidak dilegalisasi pun malah akan tetap ada dan tidak terkontrol kan?
lalu seringkali pula,uang yg harusnya masuk ke kas negara bila hal tersebut dilegalisasi,malah jadinya masuk ke kantong oknum2 polisi agar bisnis tetap berjalan secara terselubung.
yah..kita lihat sajalah,apakah orang2 indonesia sudah cukup mampu berpikir secara logis dan rasional dalam masalah ini?
kalo menurut saya sih tentunya lebih baik dilegalisasi.
karena bila dilegalisasi tentu lebih bisa dikontrol, lalu bukankah bisa ditarik pajak yg jumlahnya tidak sedikit untuk membantu melunasi hutang2 indonesia? :P
yg jadi masalah disini, menurut saya, adalah sebagian besar penduduk indonesia adalah muslim2 yg berpikiran sempit dan sok suci.
padahal bila tidak dilegalisasi pun malah akan tetap ada dan tidak terkontrol kan?
lalu seringkali pula,uang yg harusnya masuk ke kas negara bila hal tersebut dilegalisasi,malah jadinya masuk ke kantong oknum2 polisi agar bisnis tetap berjalan secara terselubung.
yah..kita lihat sajalah,apakah orang2 indonesia sudah cukup mampu berpikir secara logis dan rasional dalam masalah ini?
ini dilematis.
saya ingat betul saat masih ada PORKAS, SDSB, kita punya olahraga jaya di ASEAN. karena ada banyak aliran dana ke Koni.
tapi,
saat ini, saat judi di haramkan, olarraga menjadi loyo. sebaliknya Judi tetap ada, namun pindah tangan2 bandar dan bos2.
nah, jika
1. Indonesia ingin di jadikan negara Teokrasi maka hal2 spt judi dan prostitusi tidaklah boleh ada.
2. namun jika kita bukan negara teokrasi, maka hal ini tidak dapat kita ingkari. so dari pada mengapai utopia yang tidak akan teraih, legalkan saja prostitusi dan judi, buat lokalisasinya, sehingga tidak mencemari anak anak dan generasi muda, tarik pajak setinggi mungkin demi poembangunan bangsa.
nb. ini pendapat pribadi, bukan atas dasar keyakinan agama saya.
saya ingat betul saat masih ada PORKAS, SDSB, kita punya olahraga jaya di ASEAN. karena ada banyak aliran dana ke Koni.
tapi,
saat ini, saat judi di haramkan, olarraga menjadi loyo. sebaliknya Judi tetap ada, namun pindah tangan2 bandar dan bos2.
nah, jika
1. Indonesia ingin di jadikan negara Teokrasi maka hal2 spt judi dan prostitusi tidaklah boleh ada.
2. namun jika kita bukan negara teokrasi, maka hal ini tidak dapat kita ingkari. so dari pada mengapai utopia yang tidak akan teraih, legalkan saja prostitusi dan judi, buat lokalisasinya, sehingga tidak mencemari anak anak dan generasi muda, tarik pajak setinggi mungkin demi poembangunan bangsa.
nb. ini pendapat pribadi, bukan atas dasar keyakinan agama saya.
@gaston
dengan memberlakukan itu berarti pemerintahan muslim malay itu memberlakukan standar ganda dunk?
tapi kita ga ush bahas itu.
jgn menutup mata,
dengan kita melarang judi dan prostitusi, apakah itu MENJAMIN kedua hal itu tidak ada di negri kita?
pencegahan Zina, judi bukan dengan peraturan, akrena banyak orang justru menganggap peraturan dibuat tuk di langgar.
pertebal pembelajaran agama, itu solusi yg paling mujarab menurut saya.
dan jika itu masih juga tidak cukup, ya mo gimana lagi?
please take a note
bahkan TUHAn sendiri tidak bisa mencegah manusia berbuat dosa, apalagi cuma negara?
dengan memberlakukan itu berarti pemerintahan muslim malay itu memberlakukan standar ganda dunk?
tapi kita ga ush bahas itu.
jgn menutup mata,
dengan kita melarang judi dan prostitusi, apakah itu MENJAMIN kedua hal itu tidak ada di negri kita?
pencegahan Zina, judi bukan dengan peraturan, akrena banyak orang justru menganggap peraturan dibuat tuk di langgar.
pertebal pembelajaran agama, itu solusi yg paling mujarab menurut saya.
dan jika itu masih juga tidak cukup, ya mo gimana lagi?
please take a note
bahkan TUHAn sendiri tidak bisa mencegah manusia berbuat dosa, apalagi cuma negara?
- BIG BROTHER
- Posts: 95
- Joined: Sun Aug 31, 2008 9:05 pm
- Location: Jakarta
- Contact:
Khas Muslim
Umat muslim selalu melihat bahwa legalisasi rumah bordil adalah bukti dari nyelenehnya pendapat sekuler.
Jangan keliru, di negara maju pun rumah bordil pun di larang, bahkan ada vice police, atau polisi kesusilaan yang menjaga masyarakat dari bahaya seks belanja di aquarium (bordil), penyalahgunaan tembakau, dan sajam (senjata tajam) atau senpi (senjata api) yang beredar di masyarakat.
Dari sisi kesusilaan rumah bordil JELAS HARUS DILARANG, tetapi sebagaimana kita ketahui, salah satu perjuangan kelas termasuk wangsa lacur adalah membela kepentingannya untuk di akomodir dalam keragaman kepentingan yang ada di masyrakat.
Akomodasinya tidak harus berbentuk kawasan pelacuran, tetapi in informal language of the law, kaya memperbolehkan anak kecil kita ambil kueh saat bertamu di rumah orang, atau kaya menolehkan pandangan saat temen perempuan kita pakai baju dengan belahan dada membusung.
Zona ini disebut amusement centre, atau dalam bahasa populer nya red district lah, based upon law, wilayah ini tidak membenarkan pelacuran, tetapi tidak punya wewenang untuk menginterogasi siapapun sebagai pesakitan lacur atau pria hidung belang atau penyuka sesama.
Masalah sesudah itu ada transaksi seks, maka itu menjadi wewenang pribadi, karena wilayah amusement centre tidak menyediakan six pack hotel, tetapi sekali lagi tindakan selingkuh adalah tindakan yang tidak dibenarkan oleh siapapun dan apapun itu, dan aparat penegak hukum punya wewenang penuh untuk mencegah perselingkuhan sebagai aspek dari perluasan law enforement untuk melindungi kepentingan wanita dan anak-anak.
100% muslim yang saya ajukan usul ini SETUJU, karena muslim pun ternyata punya kepentingan untuk melihat rumah bordil, singing room, atau karaoke, atau kabaret SPG yang cantik-cantik misalnya sebagai sumber untuk mencari istri muda, all inside the law regiment and at the envelope of interest.
Tetapi rumah bordil adalah bukan core issues, tetapi melawan atau berjuang untuk menyehatkan atau menjaga mental hygiene orang per orang adalah jauh lebih penting karena dengan imunitas bawaan orang akan terhindar untuk jajan, sekalipun jajanan itu sudah ada diantara jilatan lidahnya.
Imunitas bawaan itu adalah DHR, yang dalam bahasa hindu disebut Dharma dan dalam bahasa Budhist disebut Dhama, dan dalam bahasa kita disebut BUDI PEKERTI: DHR berarti imunitas yang muncul dari kemampuan MENAHAN DIRI.
DHR bisa diperoleh tanpa harus menjebak pikiran untuk boleh atau tidak memperbolehkan rumah bordil tetapi melalui pendidikan yang mantap, mapan dan berkesinambungan pada dimensi SATYA atau SETIA: ini harus dirumuskan sebagai NON ACADEMIC ACHIEVEMENT oleh sistem pendidikan.
Dengan cara ini muslim akan lebih mengerti bahwa sekulerimse bukan berarti melegalisasi kesundalan, tetapi cara untuk menangani kesundalan dengan dewasa, humanis, dan yang lebih penting REAL dan EFESIEN.
Propaganda Islam yang ANTI secara absolut terhadap rumah bordil sebagai soft sale atas ideologi mereka yang isi asli dan sebenarnya jahanam itu akan tidak laku, karena bahkan muslim pun akan menjadi nalar bahwa propaganda mereka tidak real dan tidak pernah efesien dalam mencarikan solusi efektif pada permasalah yang dihadapi oleh semua orang.
Jangan keliru, di negara maju pun rumah bordil pun di larang, bahkan ada vice police, atau polisi kesusilaan yang menjaga masyarakat dari bahaya seks belanja di aquarium (bordil), penyalahgunaan tembakau, dan sajam (senjata tajam) atau senpi (senjata api) yang beredar di masyarakat.
Dari sisi kesusilaan rumah bordil JELAS HARUS DILARANG, tetapi sebagaimana kita ketahui, salah satu perjuangan kelas termasuk wangsa lacur adalah membela kepentingannya untuk di akomodir dalam keragaman kepentingan yang ada di masyrakat.
Akomodasinya tidak harus berbentuk kawasan pelacuran, tetapi in informal language of the law, kaya memperbolehkan anak kecil kita ambil kueh saat bertamu di rumah orang, atau kaya menolehkan pandangan saat temen perempuan kita pakai baju dengan belahan dada membusung.
Zona ini disebut amusement centre, atau dalam bahasa populer nya red district lah, based upon law, wilayah ini tidak membenarkan pelacuran, tetapi tidak punya wewenang untuk menginterogasi siapapun sebagai pesakitan lacur atau pria hidung belang atau penyuka sesama.
Masalah sesudah itu ada transaksi seks, maka itu menjadi wewenang pribadi, karena wilayah amusement centre tidak menyediakan six pack hotel, tetapi sekali lagi tindakan selingkuh adalah tindakan yang tidak dibenarkan oleh siapapun dan apapun itu, dan aparat penegak hukum punya wewenang penuh untuk mencegah perselingkuhan sebagai aspek dari perluasan law enforement untuk melindungi kepentingan wanita dan anak-anak.
100% muslim yang saya ajukan usul ini SETUJU, karena muslim pun ternyata punya kepentingan untuk melihat rumah bordil, singing room, atau karaoke, atau kabaret SPG yang cantik-cantik misalnya sebagai sumber untuk mencari istri muda, all inside the law regiment and at the envelope of interest.
Tetapi rumah bordil adalah bukan core issues, tetapi melawan atau berjuang untuk menyehatkan atau menjaga mental hygiene orang per orang adalah jauh lebih penting karena dengan imunitas bawaan orang akan terhindar untuk jajan, sekalipun jajanan itu sudah ada diantara jilatan lidahnya.
Imunitas bawaan itu adalah DHR, yang dalam bahasa hindu disebut Dharma dan dalam bahasa Budhist disebut Dhama, dan dalam bahasa kita disebut BUDI PEKERTI: DHR berarti imunitas yang muncul dari kemampuan MENAHAN DIRI.
DHR bisa diperoleh tanpa harus menjebak pikiran untuk boleh atau tidak memperbolehkan rumah bordil tetapi melalui pendidikan yang mantap, mapan dan berkesinambungan pada dimensi SATYA atau SETIA: ini harus dirumuskan sebagai NON ACADEMIC ACHIEVEMENT oleh sistem pendidikan.
Dengan cara ini muslim akan lebih mengerti bahwa sekulerimse bukan berarti melegalisasi kesundalan, tetapi cara untuk menangani kesundalan dengan dewasa, humanis, dan yang lebih penting REAL dan EFESIEN.
Propaganda Islam yang ANTI secara absolut terhadap rumah bordil sebagai soft sale atas ideologi mereka yang isi asli dan sebenarnya jahanam itu akan tidak laku, karena bahkan muslim pun akan menjadi nalar bahwa propaganda mereka tidak real dan tidak pernah efesien dalam mencarikan solusi efektif pada permasalah yang dihadapi oleh semua orang.
- moh_mad007
- Posts: 2164
- Joined: Tue Jan 15, 2008 12:18 am
- Contact:
- United Nation
- Posts: 1951
- Joined: Wed May 14, 2008 9:00 pm
- Location: Princeton University
- Contact:
gaston31 wrote:itu ide awal dr Ali Sadikin.
klo gw sih ga stuju!
emng ga ada cara lain tha buat nyari pendapatan negara?
tinggal tegakkan hukum aj buat masalah ini...
so plz, jgn nyalahin muslim aj, ini tanggung jawab umat lain jg. umat lain kan ga dukung zina jg, bkn?
Prinsip gua adalah:
1. Manusia berhak penuh atas dirinya sendiri.
2. Selama tidak merugikan orang lain, silahkan berbuat sebebas-bebasnya.
3. Orang tua hanya boleh memberikan bimbingan hingga anak mampu mengambil keputusan sendiri.
4. Negara bertindak apabila ada manusia yang merugikan manusia lain dengan hukuman yang setimpal.
Kesimpulan:
1. saya setuju kalau prostitusi dilegalkan.
2. menjadi pelacur kelas tinggi tidak gampang dan butuh perjuangan.
3. melacurkan diri adalah perbuatan yang mulia.
4. mencuri, membunuh adalah pekerjaan hina.
ttd
tante lucy berzelbap (panggil saya tante saja, tidak usah ditambahin lucy, apalagi zelbap)
- United Nation
- Posts: 1951
- Joined: Wed May 14, 2008 9:00 pm
- Location: Princeton University
- Contact: