"Joe" Satrianto: Islamku Model yang Mana?

Mencatat pendapat Muslim yg saling bentrok, berlawanan, Muslim 'moderat/reformis' vs Muslim 'radikal/fundamentalis' dan bgm Muslim memberlakukan sesama Muslim
Post Reply
User avatar
Fajar K
Posts: 480
Joined: Sat Jul 15, 2006 10:12 am
Location: The Secret Garden

"Joe" Satrianto: Islamku Model yang Mana?

Post by Fajar K »

Islamku Model yang Mana?
Diterbitkan Oktober 25, 2007

Aku lagi bosan. Bosan kalau ada yang bertanya ke aku, di manakah aku berpihak pada sebuah agama? Maka kalo sudah ditanya kayak gitu, tentu saja aku menjawab dengan egoku kalau aku berpihak pada Islam. Ya jelas, karena agamaku Islam. Tapi ternyata pertanyaan model kayak gitu selalu berlanjut, Islam model yang mana? Sangat liberal, liberal, moderat, konservatif, atau sangat konservatif?

Pertanyaan macam apa itu, batinku. Memangnya ada Islam model-modelan kayak gitu? Tapi tuduhan selalu berlanjut. Tulisan-tulisanku jaman dulu yang mengajak untuk menyikapi perbedaan secara indah dalam kehidupan beragama, baik dalam lingkup internal maupun eksternal, akhirnya berlanjut dengan cap bahwa aku adalah antek Islam model liberal cuma gara-gara aku mendukung pluralisme beragama dalam kehidupan bermasyarakat.

Pluralisme? Iya, memang iya aku mendukung itu. Aku beranggapan bahwa semua agama di dunia ini tidak beda. Iya, tidak beda. Bacalah (dengan menyebut nama Tuhanmu, kalau perlu), bahwa aku menuliskan “tidak beda”, bukan “sama”, dalam artian sama-sama mengajarkan kebaikan hidup buat pemeluknya. Pluralisme yang kumaksudkan di sini adalah untuk mendukung setiap manusia supaya bisa dengan bebas menjalankan ajaran agamanya, nggak ada tekanan, nggak ada intimidasi, nggak ada curiga-curigaan, nggak ada hujat-hujatan, dan sebangsanya. Pokoknya nggak ada hal dan aksi macam gituan lagi.

Tapi kok ya sulit…

Rasanya sulit banget mengampanyekan hal seperti itu, padahal teorinya kelihatannya gampang. Untukmu agamamu dan untukku agamaku. Terserah mau beragama Hindu, Islam, Kristen, Buddha, terserah kamu mau beranggapan bahwa agamamu adalah yang paling sakti, terserah mau beranggapan semua agama itu sama, terserah mau berpegangan pada ideologi (yang sebenarnya juga cuma istilah ciptaan manusia) liberal, moderat, atau konservatif, dan terserah juga kalau mau memuja setan sekalipun, asalkan kamu nggak ngisruh dan merugikan orang lain!

Aku cuma pengen kehidupan di Endonesa ini kayak gitu aja. Tapi ya itu tadi, rasanya kok ya sulit.

Sulit, soale di dalam agamaku sendiri ternyata terpecah-pecah menjadi beberapa golongan. Golongan A menganggap golongan B busuk, golongan B menganggap golongan C kampret, golongan C menganggap golongan A sebagai unta-unta yang tersesat. Sebenarnya hal itu bukan masalah asalkan (seperti yang aku bilang barusan) kita bisa menyikapi perbedaan dengan cara yang elegan. Kampretnya, ternyata nggak semua manusia itu pinter!

A long time ago, waktu aku hidup di Denpasar, rasanya kehidupan beragama, khususnya dalam Islam itu sendiri, sangatlah tenang. Tapi begitu pindah ke Jokja aku baru tahu bahwa ternyata ada Islam model gini dan Islam model gitu. Dulu aku berpikir, Islam itu paling-paling patokannya cuma NU sama Muhammadiyah. Yang bedanya paling kerasa paling-paling cuma mereka berdua, semisal dalam menyikapi jumlah rakaat shalat tarawih atau jatuhnya hari raya Idul Fitri atau Idul Adha. Tapi begitu nyampai di Jokja, lhadhalah… Makin macam-macam aja aliran-aliran di sini.

Makin macam-macamnya, tiap-tiap golongan itu hobinya ribut satu sama lain, bersikap seolah-olah dirinyalah yang paling benar di mata Tuhan. Tentu saja kadang-kadang aku jadi gatel ngeliat model dakwah yang seperti itu, dan mencobalah aku menulis untuk mengampanyekan tentang sebuah perdamaian atau minimalnya toleransi.

Tapi kok ya sulit lagi…

Sulitnya ya itu tadi, dituduh macam-macam, Bol! Ngomong tentang toleransi, aku dituduh antek liberal. Ngomong tentang persamaan hak, aku dituduh komunis. Ngomong tentang indahnya perbedaan, aku dituduh anti syariat. Bahkan ngomong tentang teknologi pun, aku dituduh sebagai ahli bid’ah! Bah, semprul!

Lama-lama kesel juga, John.

Tapi kalau aku cuma diam, apa iya keadaan yang menurutku nggak sehat ini bakal berubah?

Padahal, kalopun aku ini antek liberal, komunis, anti syariat, ahli bid’ah sekalipun, apa salahnya? Nggak bolehkah 4 jenis manusia tersebut mencita-citakan sebuah ketenangan hidup? Lagian, khususnya dalam agama Islam, pengkotak-kotakkan model gitu kan diciptakan oleh manusia sendiri, nggak ada dalam default-manual-book-nya umat Muslim (makanya kadang-kadang aku nggak sreg aja dengan istilah-istilah bangsanya Sunni, Syiah, Muhammadiyah, NU, dan sebagainya, dan sebagainya, dan sebagainya. Islam ya Islam aja, itu menurutku).

Aku cuma pengen, apapun jalan hidupmu, sudahlah, mbok jangan menjelek-jelekkan jalan hidup orang lain di depan umum. Mau mengagung-agungkan aliranmu, ya lakukanlah dengan elegan. Jangan dilakukan sambil menyinggung perasaan orang lain. Ini, sih, sama aja kayak ngomong, “Kenapa Liverpool waktu tahun 2005 menguasai Eropa? Ya, karena AC Milan itu pecundang!” Ya terang aja kalau kalian sebagai pendukung Liverpool bicara kayak gitu maka pendukung AC Milan bakal ngamuk.

Lalu juga, kalo ada yang mempertanyakan tentang keabsahan aliranmu, jawablah dengan sopan dan pintar. Jangan dijawab dengan ad-hominem atau sambil mengutuk pertanyaan dari si penanya. Yang kayak gitu jelas aja mancing keributan. Mbok ya jadi orang itu ya yang pintar sedikit… Dikit aja… (Jangan banyak-banyak. Kalau kebanyakan aku malah khawatir ladang pekerjaanku pun nantinya bakal kalian sikat, kekeke!)

Ngomongnya pengen ngajakin umat bersatu, tapi nyatanya kamu malah jadi tukang bikin umat terpecah-belah. Apanya yang ngajakin bersatu, hah?

Tapi kuakui, aku juga sering bandel waktu blogwalking ke blog-blog mereka. Kalau aku bertanya kepada “para tukang mengagungkan alirannya itu” kadang-kadang suka keterlaluan juga skenarionya. Kepada “para tukang” itu aku sering bertanya yang sebenarnya pengen menggiring ke toleransi di tingkah-laku mereka: “Siapa yang menjamin bahwa golongan kalian ini adalah golongan yang paling benar? Tuhankah atau cuma sekedar katanya pemuka-pemuka kalian?”

Biasanya jawaban mereka suka muter-muter. Nggak pa-pa, aku ikutin permainannya. Tapi begitu keadaan memungkinkan untuk mereka “terpaksa” menjawab sesuai dengan jawaban yang kuharapkan, skenarioku kembali berjalan. Pertanyaan tentang “siapa” itu kembali kutegaskan, dan hasilnya… Aku menuai kutukan, kekeke! (Itu juga sudah untung banget kalo komentarku ditampilin. Biasanya komentar-komentarku - yang pada akhirnya bertipe skak-mat - malah nggak ditampilkan, entah karena betul-betul nggak bisa jawab atau apa. Jadi kalo dalam kasus tanya-jawab berkesinambungan, seakan-akan merekalah “pemenang” perdebatan antara aku dan mereka itu )

Padahal kalau dipikir-pikir dan ditelaah lebih lanjut, pertanyaanku itu maknanya sederhana saja. Ketika mereka menjawab bahwa mereka pun cuma sebatas mengetahui dari orang yang dianggap lebih berilmu dari mereka, mereka akan kugiring pada suatu kesimpulan, “Oh, itu ternyata bukan jaminan dari Tuhan, kan? Itu cuma pendapat, kan? Kalau begitu ya mbok tolong hargai pendapat orang lain juga.” Toleransi.

Terserah kalau kalian mau hidup seperti jalan hidup yang kalian ambil sekarang ini, tapi tolong jangan suka mencacat jalan hidup orang lain yang kebetulan berbeda dengan jalan hidup kalian. Kalau kalian pengen menunjukkan jalan hidup kalian itu, sekali lagi, mohon lakukan dengan elegan tanpa harus menyinggung perasaan orang lain. Karena apa? Karena pendapat itu toh cuma sekedar pendapat. Pendapat bukanlah realita yang sebenarnya. Pendapat itu hanyalah hasil pemahaman terhadap suatu realita. Dan pemahaman tiap orang terhadap realita itu bisa berbeda-beda sesuai tingkat kecerdasannya. Ning yo mbok ra sah karo ngelek-ngelekke wong liyo nek kowe keroso uripmu luwih apik ketimbang wong liyo kui. Kalau kamu tidak sanggup menyampaikan pemahamanmu kepada orang lain dengan elegan, cukup simpan apa yang kamu yakini itu untuk dirimu sendiri.

Aku Islam berhubung aku berpendapat inilah jalan hidup yang paling cocok buatku. Dan aku pasti “meradang” kalau keyakinanku dihujat, karenanya aku nggak mau menghujat keyakinan orang lain.

Hell yeah, aku cuma pengen kita semua ini hidup saling menghormati terhadap keyakinan tiap orang yang mungkin berbeda-beda. Supaya apa? Supaya hidup ini tenang dan damai. Tapi ya nggak taunya mengajari seseorang yang sudah terbiasa makan dengan tangan tentang tabble-manner itu ternyata sulit sekali. Sulit banget mengajak orang yang sudah terdoktrin untuk mencoba berpikir di luar lingkaran doktrinnya.

Tobat…

(sumber: joesatch.wordpress.com)
User avatar
belajarsejarah
Posts: 469
Joined: Mon Feb 02, 2009 2:13 am

Re: "Joe" Satrianto: Islamku Model yang Mana?

Post by belajarsejarah »

Anda orang baik, tapi bukan orang "ISLAM" yang baik.

Situs ini memang di peruntukan untuk membuka "topeng ISLAM" yang sebenarnya.
Kenali dengan betul topeng-topeng tsb dan fakta-fakta tentang ISLAM yang sebenar-benarnya.
Sebelum anda menjadi Jahat karena mendalami ISLAM.

Bacalah tulisan2 dan debat2 Ali Sina, pendiri forum ini.
Akan jadi bahan masukan berharga dalam diskusi Anda dengan Forum-forum muslim di tanah air.

Buktikan ISLAM tahan kritik dan lolos uji kejujuran.

Barang kali ada masih bisa ditemui ISLAM yang Pancasilais :-)
ali5196
Posts: 16757
Joined: Wed Sep 14, 2005 5:15 pm

Post by ali5196 »

Apa sih Islam Radikal itu??
http://www.indonesia.faithfreedom.org/f ... 14&t=31145" onclick="window.open(this.href);return false;
Post Reply