TAFSIR, TAFSIR DAN TAFSIR

Pembelaan bahwa Islam adalah ajaran dari Tuhan.
Post Reply
User avatar
Mifka
Posts: 5
Joined: Wed Sep 27, 2006 5:32 am
Location: Bandung
Contact:

TAFSIR, TAFSIR DAN TAFSIR

Post by Mifka »

Saya katakan saja: sejarah manusia adalah sejarah nalar yang bergumul dengan geriak tanda. Himpunan tanda kerapkali merupakan sketsa yang menegur ingatan kita tentang eksistensi sebagai anak haram absurditas, anyir, cemas—dan itu berarti dengan serta-merta di pecah sekaligus dilupakan. Pada akhirnya, pemaknaan nalar acapkali adalah penundaan ketidakpastian dalam jeda, untuk mengatakan bahwa hidup ini berharga, bermakna dan kita berharap untuk keutuhan iman tentang makna, kepastian, tentang Tuhan. Namun, pembacaan atas riwayat iman kerapkali pembacaan atas baying-bayang masa lalu dengan gemetar nalar yang samara, mungin atau bahkan entah. Memang, sebuah gamang yang sublum; sebuah dramaturgi “masokisme” dalam kompromi, sebut saja begitu.
Persoalannya, di sisi lain, keberadaan iman hanya berupa sebuah mekanisme “estafeta kesadaran” (atau mungkin anda lebih suka menyebutnya ideologisasi-doktrinal?) yang dalam kondisi keterdesakan akan rasa cemas dan gentar terhadap misteri dan “ancaman” realitas, kita mesti menerima segenap sabda sebagai gema yang ternyata tak pernah tersentuh, apriori dan disini kita tak henti berkelindan dengan tafsir sebagai—sebut saja—judi! Maka, kelak kita hanya menerka, menghimpun sekedar baying-bayang tentang firman yang tak kunjung utuh—dan kita tak henti bermain diatas, meminjam celoteh Derri (panggilan akrab Derrida), “papan catur tanpa dasar.” Rumit, memangt. Tapi kita harus menerimanya, meski terkesan cukup pongah dan konyol.
Namun kita tahu, konon, Tuhan bernyanyi di luar sejarah. Di dunia ini, di dalam sejarah, manusia menari menebar bermilyar tafsir (agama), blingsatan dalam tebakan-tebakan teologis. Adalah kitab suci—yang dianggap sebagai refresentasi pesan metafisik—telah demikian tak utuh dalam tafsir pergumulan histories. Tuhan, pada akhirnya, menjadi konsep, menjadi agama, menjadi ayat-ayat beku, menjadi teks (dan di ranah itu Tuhan mungkin menjadi bedebah, galak atau bahkan bisa memalukan!). dan kita tahu pula bahwa teks telah sendirian, Tuhan raib entah kemana—“sang pengarang” bisik Barthes,”telah mati.” Maka, sebuah kunci kebenaran begitu sunyi; sebuah otoritas primer telah menguap dalam bisu, senyap dan kekal. Lantas, benarkah ambivalensi sejarah kian tegas meniscayakan dinamika tafsir di satu sisi, dan di sisi lain menjadi arena eksekusi sang pemegang hegemoni tafsir terhadap pluralitas (pe)makna(an)?
Saya katakana saja: sejarah manusia punya banyak fragmen kekalahan dengan sepenuh kegelisahan tentang pertanyaan diatas. Terlalu banyak orang yang punya alas an yang cukup untuk merdeka menjadi penafsir; selalu, mereka berhadapan dengan otoritarianisme tafsir agama. Namun kita tahu, ikhtiar mereka untuk berijtihad dengan merdeka pada akhirnya harus ditebus oleh caci maki, keterasingan, penindasan, marjinalisasi, penghakiman atau bahkan berhenti dalam kematian. Celakanya para tokoh ulama yang mengklaim punya wewenang untuk menyeleksi tafsir dapat sekaligus menjadi “polisi aqidah.” Dan para tokoh agama yang dianggap otoritatif dalam tafsir-menafsir itu meraung dengan kekuatan despotic yang punya potensi memaksa terhadap “yang lain” bahkan destruktif. Ada banyak golongan atau aliran keberagamaan yang sempat mencicipi “kebrutalan” kelompok lain hanya karena perbedaan pendapat. Muncul fatwa dan menggeliat dari para tokoh agama yang merasa kebakaran jenggot menghadapi perbedaan; mereka yang kerapkali mendaku tafsirnya sebagai “suara Tuhan.” Mereka yang tak lagi berbicara tentang Tuhan, melainkan ngomong “atas-nama-Tuhan” atau bahkan seolah-olah menjadi “mulut” Tuhan itu sendiri.
Namun, terlepas dari persoalan diatas, pada akhirnya saya percaya bahwa tafsir, bagaimanapun juga, merupakan reduksi. Tesis tersebut telah jauh hari di lontarkan oleh kalangan pasca-strukturalis bahwa “setiap penafsiran adalah perkosaan.” Ketika sang penafsir berpelukan dengan teks-teks keagamaan, sesungguhnya di situ telah terjadi semacam “perkosaan” teks: otonomi teks di nafikan, dan kandungan makna teks disesuaikan dengan maksud dan kehendak (atau ambisi) sang penafsir—sebuah perselingkuhan antara teks dengan kepentingan kurapan manusia yang profane. Lantas tafsir mana yang benar, yang shahih? Atau benarkah tafsir kita memang tidak pernah tepat menyentuh seluruh bentuk utuh firman-firman? Tidak akan pernah. Siapa yang dapat menamin bahwa tafsir yang paling edun dan diucapkan oleh penafsir yang popular sekalipun tak akan salah? Toh kita hanya menafsir; setiap kepala punya tafsirnya sendiri, maka tak heran banyak perbedaan tafsir. Itu bukan persoalan; yang patut dipersoalkan, tentu saja, selembar tafsir yang dianggap agama itu sendiri, Tuhan sendiri. Maka, kita benar-benar terlalu angkuh jika telah merasa “memiliki Tuhan dengan lengkap, Tuhan it`s self, sembari membunuh tafsir yang lain. Namun, bukannya tidak harus selektif terhadap tafsir; ada tafsir yang tak berangkat dari akal dan hati nurani dan rasa kemanusiaan, tafsir yang jumud. Mari menafsir terus-menerus!! []

2006
User avatar
Ibn Ghifarie
Posts: 33
Joined: Wed Sep 27, 2006 5:36 am
Location: Bandung Jawa Barat
Contact:

Rayakan Saja Pesta Teks Tersebut

Post by Ibn Ghifarie »

Alkisah, pada zaman dulu terdapat seorang manusia yang rajin menenun. Dari kebiasaan menyulam itu, hingga dikenal hampir di seluruh penjuru dunia. Ia acapkali memilah dan memilih benang bagus untuk menenun tersebut. Kini, Ia telah tiada dan berpesan lanjutkanlah tradisi menyulam tersebut.
Walhasil, orang itu bernama Idris. Karena kebiasaan menenun itu, Ia disebut sebagai 'Bapak Tafsir''. Kita pasti sudah mengenalnya, bahkan akrab dengan cara menafsirkan apapun.

Namun, seiring waktu sepenggal asa. Ganti generasi dan model membaca teks pun tak terelakan lagi. Semuanya, berujar beranggapan bahwa tafsir model diri atau kelompoknya merupakan gaya menafsir terbaik. Sementara yang lain tidak. Pemandangan ini kerapkali kita temuka bahkan melekat dan mendarah daging dalam diri kita. Meskipun, ikhtiar mereka untuk berijtihad dengan merdeka pada akhirnya harus ditebus oleh caci maki, keterasingan, penindasan, marjinalisasi, penghakiman atau bahkan berhenti dalam kematian. Celakanya para tokoh ulama yang mengklaim punya wewenang untuk menyeleksi tafsir dapat sekaligus menjadi “polisi aqidah.” Dan para tokoh agama yang dianggap otoritatif dalam tafsir-menafsir itu meraung dengan kekuatan despotic yang punya potensi memaksa terhadap “yang lain” bahkan destruktif. Ada banyak golongan atau aliran keberagamaan yang sempat mencicipi “kebrutalan” kelompok lain hanya karena perbedaan pendapat. Muncul fatwa dan menggeliat dari para tokoh agama yang merasa kebakaran jenggot menghadapi perbedaan; mereka yang kerapkali mendaku tafsirnya sebagai “suara Tuhan.” Mereka yang tak lagi berbicara tentang Tuhan, melainkan ngomong “atas-nama-Tuhan” atau bahkan seolah-olah menjadi “mulut” Tuhan itu sendiri, tulis Mifka

Lepas dari persoalan seakan-akan menjadi juru bicara Tuhan dalam menyampaikan risalahnya. Tentu dengan penfsiran yang kaku dan tak mau menerima pendapat dari golongan lain. Cara pandanga tipe ini, mesti kita bung jauh-jauh. Kalau perlu tutup rapat-rapat dan di peti keramatkan. Ambil contoh, salah satu kurangnya pemaknaan sekaligus pengkayaan dalam membaca teks kitab suci, kita acapkali berkutat pada satu penfsiran semata. Dengan demikian, bila kita terbuka dan mengakui perbedaan dalam menafsir, maka kita bisa membangun satu tatanan masyarakat arif dan bijaksana dalam penanggapi pelbagai persoalan bangsa. Bukan malah satu sama lain saling hujat-menghujat, casi-memaki, bahkan nyaris terjadi pertumpahan darah atas nama Tuhan.
Thus, rayakan saja pesta teks itu tak lain guna menghormati keragaman penafsir dalam menciptakan khazanah islam. [Ibn Ghifarie]

Cag Rampes, Pojok Ruang Prodi 29/07;01.24 wib
Post Reply