simplyguest wrote:
Jika Duladi adalah analogi dari Islam, lalu apa maksud anda dengan menceritakan bahwa Duladi keburu mati dan meninggalkan pekerjaannya yang belum selesai?
Dalam cerita tersebut dapat dimaklumi jika Duladi tidak berdaya dalam menyelesaikan tugasnya, karena dipanggil oleh penciptanya. Tapi kalo anda menganalogikan Duladi sebagai Islam, apa berarti Islam juga tidak berdaya dalam menyelesaikan tugasnya karena campur tangan Allah? Berarti Islam belum sempurna dong pekerjaannya....
Kre-setan wrote:
taruhlah islam tidak berdaya merampungkan pekerjaanya...
nah, pertanyaan saya :
apa kerja yang belum rampung itu bisa di jadikan dasar bhw islam lah yang bertanggung jawab atas tercemarnya sungai itu ?? terus apa kontribusi duladi berupa ide ide dan sumbangan pemikiran itu nggak patut di apresiasi ??
Tapi kenyataannya apakah menurut anda Islam tidak berdaya dalam menyelesaikan pekerjaannya? Sampai sekarang Islam masih ada dan aktif bukan?
Karena itulah kenapa saya menanyakan dulu apa yang anda maksud Duladi (Islam) dalam analogi di atas diceritakan "mati".
Sebab menurut saya analogi seperti itu tidak tepat, karena kenyataannya Islam masih ada sampai sekarang dan
masih bertanggung jawab dalam mengatur umatnya, sama seperti Duladi yang seharusnya masih hidup dan bertanggung jawab dalam mengawasi pekerjaannya.
Jadi jika misalnya kampung2 lain ternyata sudah selesai membuat TPA2nya masing2, sedangkan Duladi masih mempertahankan sistem membuang sampah di kali, bahkan cenderung melestarikan budaya itu, tentu saja Duladi patut dipersalahkan. Sebab menurut analogi di atas, planning awalnya adalah untuk menghilangkan budaya membuang sampah di kali bukan?
Mengenai kontribusi Duladi, tentu saja patut di apresiasi
jika memang aturannya lebih baik dari yang ada sebelumnya. Tapi apakah kenyataannya Islam memang menyediakan aturan yang lebih baik?
Contohnya aja masalah poligami. Agama sebelah ratusan tahun sebelum nabi Muhammad muncul sudah dari dulu menetapkan aturan monogami. Tapi Islam malah kembali lagi melestarikan budaya poligami, bahkan pemimpinnya sendiri malah berpoligami tanpa batas.
Jadi analogi di atas juga tidak tepat kalo dibilang Duladi menyediakan aturan yang lebih baik.
simplyguest wrote:
Anda sendiri bilang bahwa umat memerlukan PROTOTIPE yang bisa dijadikan contoh.
Tapi faktanya adalah kenapa nabi Muhammad tidak menjadi prototipe yang "mensortir sampah" tapi malah ikut2an mengikuti kebiasaan "membuang sampah sembarangan"?
Kre-setan wrote:
loh,, dari contoh di atas justru "penyortiran sampah" itu lah bentuk prototipe nya...
Muhammad lah yang mengajari cara memilah milah mana sampah yang sementara boleh di buang ke sungai dan mana yang tidak boleh
Kurang tepat.
Karena "penyortiran sampah" adalah metode yang ditawarkan oleh Duladi pada penduduk. Agar metode tersebut dapat diterima, perlu ada prototipe bukan? Nah, seharusnya nabi Muhammad lah yang harus menjadi prototipe dalam memberi contoh.
Kalau Muhammad hanya mengajari tapi tidak mempraktekkan, apakah bisa dibilang guru yang baik? Prototipe yang baik?
simplyguest wrote:
Yang anda maksud "oknum" itu masyarakat yang menolak poligami, atau yang mendukung poligami?
Kre-setan wrote:
semua pendapat pribadi baik yang mendukung mau pun tidak mendukung sebaiknya nggak usah di bawa kemari sebagai sumber dalil, itu maksud saya. Karna dalam debat islam yang di akui sbg sumber ajaran islam AQ dan hadis, bukan pendapat oknum oknum.
Anda belum menjawab siapa yang anda maksud "
oknum" disini.
Mohon dijawab.
Tentu saja pendapat masing2 pribadi tidak bisa dijadikan acuan.
Tapi kalo melihat lagi analogi di atas, bagaimana penduduk yang Duladi ajar akan mau berubah kalau Duladi tidak segera menyelesaikan TPAnya, bahkan terus melestarikan budaya membuang sampah di kali? Bagaimana mereka mau berubah kalau prototipenya saja tidak mencontohkan hal yang benar? Padahal kampung2 di sebelah sudah berhenti membuang sampah di kali.
Apakah Duladi patut dipersalahkan? Tentu saja. Karena Duladi (Islam) belum mati kan?
Terima kasih. Salam.
NB : Bung Duladi jadi beken nih disebut terus