Koran Tempo, Kamis, 20 Juli 2006

Pembelaan bahwa Islam adalah ajaran dari Tuhan.
Post Reply
Uwan N.S.
Posts: 61
Joined: Sat Jun 17, 2006 1:45 am

Koran Tempo, Kamis, 20 Juli 2006

Post by Uwan N.S. »

Assalamualaikum wr.wb.
-----------------------------------Forwarding
Message------------------------------------------------
Koran Tempo, Kamis, 20 Juli 2006
MUI dan Fatwa-fatwanya
Syu'bah Asa
Wartawan, Mantan Anggota Dewan Pertimbangan MUI Daerah

Rangkaian pertandingan Piala Dunia telah selesai, tapi
perjudian lewat layar televisi jalan terus. Itu karena
judi yang memakai sarana pesan pendek (SMS) telepon
seluler itu sudah dimulai sebelum program Piala Dunia.
Memang, acara sepakbola kemarin itu menambahkan
satu-dua item yang kelihatan sangat laris. Tapi judi
SMS sudah bermula sejak penyelenggaraan kuis Tebak
Kata. Dan itulah --ditambah satu-dua jenis 'kreasi
baru'-- yang tetap berlangsung sampai sekarang.

Semua itu memang judi --kalau kita mematuhi Majelis
Ulama Indonesia (MUI) yang beberapa waktu yang lalu
mengeluarkan fatwa haram terhadap kegiatan tersebut.
Kunci keharaman itu, menurut MUI, terletak pada biaya
SMS yang jauh lebih besar dibanding biaya normal yang
dipungut Telkomsel yang hanya Rp 350 per SMS. Sekarang
ini rata-rata Rp 2.000 per SMS, tapi pernah ada yang
sampai Rp 4.000 per SMS. Dan di situlah terdapat
ongkos judinya. Hadiahnya memang besar: dari Rp 1 juta
sampai tak kurang dari sebuah mobil.

Pembubaran ormas
Betapapun, fatwa judi Kuis SMS Berhadiah adalah contoh
fatwa MUI yang tidak diindahkan. Stasiun televisi tak
ada yang peduli, sementara pemerintah juga diam saja.
Nasib fatwa ini memang berbeda dari aspirasi MUI yang
lain, yang menginginkan agar tidak ada pembubaran
organisasi massa Islam oleh pemerintah sebagaimana
dikehendaki sebagian kalangan.

Luas diketahui bahwa kasus ini bermula dari peristiwa
pengusiran Abdurrahman Wahid dari sebuah acara lintas
organisasi agama di Purwakarta, Jawa Barat, khususnya
oleh Front Pembela Islam (FPI) dan Majelis Mujahidin
Indonesia (MMI). Apapun yang terjadi dalam acara itu,
dorongan 'mengusir' itu dalam kenyataannya diperkuat
oleh kemauan 'membalas' perbuatan Gus Dur yang
sebelumnya diberitakan menyatakan Alquran sebagai
kitab 'paling porno'. Itu dimuat dalam wawancara situs
Jaringan Islam Liberal.

Peristiwa pengusiran itu sendiri kemudian ditanggapi
kalangan pembela Gus Dur dengan tuntutan kepada
pemerintah agar membubarkan 'ormas-ormas keras'
sebangsa FPI dan MMI. MUI sebaliknya, mengimbau agar
pemerintah tidak membubarkan ormas Islam manapun,
meskipun pemerintah tentu boleh mengambil tindakan
hukum bila sebuah ormas bersalah.

Dan benar. Di minggu ketiga bulan Juni itu Presiden
Susilo Bambang Yudhoyono menyatakan lewat Ketua Umum
PP Muhammadiyah, Din Syamsuddin, bahwa pemerintah
tidak pernah berpikir untuk itu. Dan karena itu tidak
akan membubarkan satu kelompok kemasyarakatan atau
ormas. Karena eksistensinya memang dijamin oleh hak
asasi manusia dan UUD 1945. Memang, Presiden
mengatakan pemerintah tentu akan menindak tegas setiap
kelompok yang melanggar hukum. Klop dengan kemauan
MUI, bukan? Meski MUI juga mengajukan dalih bahwa
kekerasan yang kadang dilakukan ormas Islam terhadap
praktik kemaksiatan disebabkan tidak optimalnya
tindakan polisi dalam hal itu. Dan inilah sebenarnya
rahasia di balik pembelaan MUI kepada ormas 'keras'
Islam. Dan kemudian, beberapa hari yang lalu,
pernyataan penolakan MUI kepada stigmatisasi
ormas-ormas itu sehubungan dengan terorisme.

Memang. Bagi MUI, yang tidak punya aparat pelaksana di
bawah, sekiranya tidak ada ormas sebangsa FPI,
siapakah kiranya yang akan tetap memperjuangkan
penolakan terhadap media yang dianggap lambang
pornografi seperti majalah Playboy, misalnya? Begitu
juga peranan MMI dalam mengumandangkan perjuangan
penegakan syariat Islam 'secara murni dan konsekuen'
terlepas dari soal efektivitasnya. Lebih-lebih di
tengah desakan arus pemikiran sekuler, liberal, dan
pluralis yang tidak pernah memandang sebelah mata
kepada organisasi para ulama itu. Maka yang kita
dapati di lapangan lalu bukan hanya MUI, melainkan
'MUI dan kawan-kawan'.

Dan itu tidak begitu enak. Soalnya, karena hubungan
MUI dengan ormas-ormas tertentu --termasuk FBR yang
saya tak tahu kaitan keagamaannya-- kelihatan lebih
dari hanya konsultatif. Malahan otomatis seperti yang
terjadi dengan NU, Muhammadiyah, Mathla'ul Anwar,
Persis, Al Irsyad, dan seterusnya, yang sebagiannya
mempunyai pejabat yang merangkap kepengurusan MUI.
Melainkan terkesan sebagai semacam perkawanan akrab,
kalau bukan perlindungan, yang menyebabkan baik-buruk
atau bijak-tidaknya tindakan ormas bersangkutan bisa
berimbas pada nama MUI.

Jembatan
Lebih enak, terus terang saja, melihat MUI sebagai
majelis ulama yang netral. Memang, bisa
dipertimbangkan kembali ujar-ujaran mengenai fungsi
MUI sebagai 'jembatan antara pemerintah dan umat'.
Sebab itukan rumusan dari era Soeharto, dan bukan
bikinan zaman ini, ketika prinsip keserbaterbukaan di
segala bidang menghilangkan sikap serba curiga dan
salah simpul.

Karena itu, tidakkah lebih baik kalau MUI lebih
menegaskan dirinya sebagai pemberi pedoman umat?
Kalaupun dia jembatan, bagus sekali kalau dia jembatan
antarkelompok pemahaman agama, fungsi yang sebagiannya
sudah terjalankan selama ini.

Fatwa-fatwa MUI selama ini tepat. Tak jadi soal bahwa
sebagian orang tak setuju. Putusan Gereja Katolik saja
dalam hal penggunaan alat-alat KB, misalnya, atau,
khususnya di luar negeri soal aborsi, berapa persen
yang menggubris? Fatwa dalam Islam tidak pernah
dimaksudkan sebagai paksaan, kecuali bila dia sudah
diambil oper pemerintah atau undang-undang.
Demikianlah aturan mainnya sejak zaman para khalifah
dahulu.

Sementara itu dalam dimensi pribadi, seseorang bebas
memilih fatwa yang sesuai dengan keyakinannya. Saya
sendiri, sekadar misal, setuju penuh pada fatwa Kuis
SMS Berhadiah itu --yang mestinya lebih
dikoordinasikan lagi dengan pihak Departemen Sosial.

Tapi, tidak seperti MUI, saya tidak menganggap bunga
bank riba karena saya tidak memandang bank sebagai
lembaga penindasan seperti yang diperangi oleh
Alquran. Dalam hal itu saya menyetujui fatwa Ustadz A
Hassan dari Persis maupun keyakinan almarhum Mr
Sjafruddin Prawiranegara yang menganggap halal bunga
bank. Meski begitu, saya punya kesimpulan bahwa
ekonomi yang diinginkan Islam bukanlah yang didirikan
di atas prinsip rente, melainkan yang berdasarkan
sistem yang memasukkan moral sebagai landasannya.
Karena itu bank konvensional belum ideal, dan ekonomi
syariah merupakan cita-cita.

Tidak mutlaknya atau kemungkinan pluralnya fatwa dalam
Islam (dalam agama lain hanya ada keputusan tunggal)
itu sebetulnya sudah merupakan jawaban atas keberatan
sebagian orang terhadap fatwa MUI. Khususnya mengenai
bunga bank di atas --dari segi dampaknya yang memang
bisa membingungkan mereka yang bekerja di bank
konvensional. Padahal, sekali lagi, mereka bisa
memilih fatwa lain berdasarkan nurani, seperti yang
diberikan ancar-ancarnya oleh Nabi SAW dengan sabda
beliau,''Istafti qalbak (Mintalah fatwa kepada kalbumu
sendiri)''.

Malahan masih ada lagi pemakaian prinsip keterpaksaan
(idhthirar), meski ini agak kontroversial. Seperti
yang menyangkut belum adanya pekerjaan pengganti (yang
terus dicari) untuk mereka yang memutuskan pindah
kerja dari bank.

Yang tentu lebih serius ialah dampak yang menyangkut
keamanan diri, seperti dalam hal fatwa MUI tentang
Ahmadiyah. Fatwa itu rupanya menggembirakan
saudara-saudara Muslim yang selama ini tidak pernah
bisa hidup harmonis dengan kalangan Ahmadiyah
--Ahmadiyah memang susah bisa hidup berdampingan--
untuk melakukan beberapa tindak kekerasan. Sangat
menyedihkan. Tapi ini tidak bisa dipersalahkan kepada
MUI. Fatwa itu memang layak ada. Lagi pula sebenarnya
bukan hal baru. Sudah lama dunia Islam lewat
rekomendasi Rabithah Alam Islami di Makkah, memutuskan
kemurtadan jemaah yang mendakwakan nabi lain sesudah
Muhammad SAW itu.

Dan itulah cara sebuah agama. Agama apa saja.
Memelihara keutuhan diri dan ajarannya. Sebagaimana
dalam hal fatwa MUI tentang sekularisme, liberalisme,
dan pluralisme. Arus-arus pikiran yang dinilai merusak
integritas keberagamaan umat. Lebih dari itu,
urusannya tentu berada di luar wilayah kewenangan MUI.
Itu urusan polisi. Yang tidak diseyogiakan dikerjakan
MUI ialah meminta kepada pemerintah untuk membubarkan
Jamaah Ahmadiyah, misalnya, sebagaimana untuk tidak
membubarkan organisasi apapun. Bukan tidak boleh,
sebenarnya, tapi itulah sikap yang elegan dalam udara
kebebasan yang terbuka sekarang ini. Biarlah fatwa itu
saja diterima masyarakat dan dalam kenyataan sudah
diterima secara luas. Biarlah ada suatu badan yang
selalu, dan secara lugas dan apa adanya, mengingatkan
umat akan batas-batas agama mereka.
-------------------ending forwarding message-------------------------

Syubaah Asa , wartawan senior majalah Tempo, penyusun laporan utama Tempo
1974...Ahmadiyah sebuah Titik yang dilupa... Penilaian objektif tentang Ahmadiyah dari
sebuah Majalah Berita yang Terkemuka ketika itu...
Uwan N.S.
Posts: 61
Joined: Sat Jun 17, 2006 1:45 am

Post by Uwan N.S. »

Bukan Koran Tempo tetapi Republika. Mohon maaf salah kutip...

Terima kasih.
User avatar
Binyok
Posts: 639
Joined: Wed Jun 07, 2006 12:56 pm

Post by Binyok »

Uwan deket gak ama Mentawai??
Bisa diceritakan kehidupan beragama di Sumatera Barat??
Post Reply