Page 1 of 1

Sekularisme yang Jahil, Tidak Progresif, dan Terpenjara Oleh

Posted: Thu May 10, 2007 10:23 pm
by idolaislam
Sekularisme yang Jahil, Tidak Progresif, dan Terpenjara Oleh Teks
sumber : http://akmal.multiply.com/journal/item/525

assalaamu’alaikum wr. wb.

Barangkali orang-orang sekuler akan terheran-heran melihat judul yang saya pilih di atas, karena mereka sendirilah pihak yang paling rajin menyematkan gelar-gelar hina tersebut kepada orang lain. Kini, saya akan membalikkan senjata mereka kepada dirinya sendiri.

Salah satu keahlian orang-orang sekuler adalah menciptakan (atau lebih tepatnya memanipulasi) istilah sesuai keinginan mereka sendiri. Misalnya, mereka memberikan istilah ‘fundamentalis’ untuk orang lain, sementara istilah ‘kooperatif’ mereka berikan bagi diri mereka sendiri. Mereka berikan gelar ‘sektarian’ kepada orang lain, sementara kata sifat ‘toleran’ hanya diperuntukkan bagi diri mereka saja. Karena mereka pun memberi gelar sesuka hatinya sendiri, maka gelar-gelar itu boleh kita kritisi kapan saja kita mau.
Jahil
“Jahil” itu artinya ****. Sekularisme adalah sebuah pola pikir yang sarat dengan kebodohan karena mencampakkan solusi tanpa menawarkan alternatif yang lebih baik. Sebagaimana yang pernah disampaikan oleh Adian Husaini, kaum ‘sepilis’ (sekularis-pluralis-liberalis) di seluruh dunia, termasuk di Indonesia, sejauh ini baru bisa melakukan dekonstruksi, bukan rekonstruksi dalam urusan agama. Mereka hanya bisa bilang “masalah ini sudah kuno”, atau “aturan ini sudah tidak up to date”, namun tidak pernah bisa menawarkan jalan keluar. Mereka bilang fiqih yang diperbincangkan para ulama kini tidak lagi menawarkan solusi dalam hidup manusia, namun tidak satu pun kitab fiqih yang komprehensif bisa mereka hasilkan. Sebaliknya, ulama-ulama yang mereka cela itu telah menghasilkan sekian banyak kitab fiqih yang diperbincangkan para ulama kini tidak lagi menawarkan solusi dalam hidup manusia, namun tidak satu pun kitab

yang memperkaya khazanah keilmuan umat Islam.

Adnin Armas dalam bukunya, “Pengaruh Kristen-Orientalis Terhadap Islam Liberal”, menulis bahwa istilah ‘teologi sekuler’ yang sering digunakan oleh orang-orang sekuler itu sendiri salah kaprah besar-besaran. Teologi adalah ilmu tentang ketuhanan, sedang sekuler adalah paham ‘kekini-disinian’. Sungguh ajaib rasanya membayangkan masalah ketuhanan yang tidak dibatasi oleh ruang dan waktu harus dibahas dengan pola pikir yang begitu terkurung dalam ruang dan waktu itu sendiri. Ketika sekularisme dipaksakan untuk bercampur dengan agama, terjadilah kerancuan. Pasalnya, sekularisme itu sendiri memang anti-agama. Bagaimana pun, gagasan manusia untuk membatasi seperangkat aturan yang berasal dari Tuhan (yaitu agama) memang terlalu menggelikan untuk dibahas. Dari sudut pandang ini, sekularisme terlihat seperti atheisme yang malu-malu, atau spiritualisme yang asal-asalan.

Tidak Progresif
Pada dasarnya sedikit saja di antara orang-orang sekuler yang benar-benar berpikiran progresif. Ide sekularisasi Nurcholis Madjid sama sekali bukan barang baru, karena ia mencatutnya langsung dari Harvey Cox, nyaris tanpa kritik. Sungguh ajaib jika orang-orang sekuler menuduh ulama-ulama telah bersikap anti-kemajuan dengan menerima bulat-bulat pemikiran ulama terdahulu, karena sebenarnya mereka sendirilah yang berbuat begitu.

Kalau mau jujur, perdebatan antarulama di dunia ini sangatlah lazim terjadi. Ada ruang untuk terjadinya ikhtilaf, dan tidak ada ulama yang saling bentrok hanya karena berbeda pendapat. Ibnu Taimiyah, seorang ulama besar di masa lalu, tidak menganut suatu mazhab tertentu. Ada kalanya beliau sependapat dengan mazhab yang satu, ada kalanya beliau mengambil pendapat mazhab yang lain. Mazhab itu sendiri bukan suatu pilihan yang kaku. Syaikh Ali ath-Thanthawi menjelaskan bahwa mazhab itu hanyalah seperangkat fatwa dari sebagian ulama yang dikumpulkan oleh murid-muridnya. Banyak ulama lain yang juga berfatwa, namun tidak sempat dibukukan. Ustadz Ahmad Sarwat yang mengasuh kolom konsultasi di situs www.eramuslim.com bahkan menjelaskan bahwa setiap orang menganut mazhab dirinya sendiri. Semua hal ini menunjukkan bahwa perbedaan pendapat di antara para ulama adalah hal yang sangat biasa dan tidak pernah dibesar-besarkan. Sebaliknya, orang-orang sekuler tidak dapat melepaskan diri dari pakem-pakem Harvey Cox, Arthur Jeffries, Nasr Hamid Abu Zaid, dan sebagainya.

Mereka juga selalu berpendapat bahwa fundamentalisme agama selalu menghasilkan pertumpahan darah. Ini adalah pola pikir yang terpenjara oleh sejarah. Pengalaman pahit ini dialami oleh Eropa ketika Gereja menguasai segala lini kehidupan mereka dan memerintah dengan otoriter. Kejadian berabad-abad yang lalu hendak dipakai sebagai cermin untuk masa kini. Lebih parahnya lagi, kesengsaraan akibat dominasi Gereja dijadikan alasan untuk memberangus Islam. Padahal kondisi umat beragama sudah sangat jauh berubah, pola pikirnya pun sudah berubah. Ironisnya, justru kaum sekulerlah yang sejak ratusan tahun yang lalu masih sama saja cara berpikirnya.

Terpenjara Oleh Teks
Orang-orang sekuler seringkali menuduh musuh-musuhnya sebagai kaum literalis, yaitu mereka yang hanya bisa membaca teks (baik Qur’an maupun Hadits) dengan arti harfiahnya, tanpa mampu meneliti latar belakang dari setiap permasalahan dengan cermat. Memang yang semacam ini ada di antara semua umat beragama, namun tidak semua penentang sekularisme seperti itu. Generalisasi ini sangat keterlaluan, apalagi mengingat kaum sekuler sendiri juga tidak mampu berontak terhadap teks-teks tertentu yang mereka anggap ‘suci’.

Di Kanada, seorang Muslimah tidak boleh mengikuti kompetisi sepak bola hanya karena berjilbab. Belum lama ini, di negeri yang sama, ada pula Muslimah yang tidak boleh mengikuti pertandingan Taekwondo lantaran berjilbab. Di Eropa, banyak Muslimah yang tidak boleh mengenakan jilbab di sekolahnya. Semua pelarangan itu bermuara pada satu alasan : karena peraturan tidak membolehkannya. Tidak ada penjelasan lebih lanjut.

Apa susahnya mengubah peraturan? Bagaimana pun peraturan bikinan manusia memang wajar direvisi secara berkala. Sungguh wajar jika ada hal-hal yang tidak mendapat perhatian di saat peraturan itu pertama kali dirumuskan. Apa salahnya menambahkan hal-hal baru dalam peraturan, sekiranya hal itu tidak mengganggu kegiatan yang sedang berlangsung? Apakah jilbab membahayakan pertandingan sepakbola atau taekwondo? Apakah jilbab mengganggu proses belajar-mengajar? Hanya orang **** saja yang mengiyakan! Ini artinya, orang-orang sekuler tidak mampu berpikir lebih jauh daripada teks peraturan yang sudah ada. Ini sekaligus memperkuat anggapan bahwa mereka memang pantas diberi gelar jahil dan tidak progresif.

wassalaamu’alaikum wr. wb.

sumber : http://akmal.multiply.com/journal/item/525

Posted: Thu May 10, 2007 11:05 pm
by osho
loh.....
kok ini lagi yang di copy-paste......?
kok tak ada inspirasi dari akalmu sendiri.....
semuanya kopidarat.....sekali-kali kopi pahitlah

dasar onta dongok

Posted: Mon May 21, 2007 3:49 pm
by japra
dasar onta dongok lo kagak ngerti sekuler nulis2 sekuler2an.
nih gw ambil dari wikipedia :

==============
Sekuler dalam arti umum berarti "di luar keagamaan". Dia dapat digunakan sebagai arti netral.

Dalam hubungan denga politik dan filosofi, dia menunjuk kepada pemerintah yang melaksanakan hukum sipil ( bertentangan dengan ajaran agama seperti shariah Islam, hukum kanon Katholik dan hukum rabbinakal), bebas dari agama apa pun, dan tidak mendukung ke ajaran agama tertentu.
=============

sekuler bukan mengarah kepada orang ; dongok, tp pemerintahan / negara. Indonesia juga termasuk negara SEKULER kalo lo gak mau bisa disebut juga negara DEMOKRASI (sami mawon si) -- lo gak usah jauh2 ngomongin luar negeri ;

jahil = **** ? pasti nilai bahasa indonesia lo jeblok.

kalo kagak berbobot; jgn posting2 lah ; cuman menuh2in tread doangan; isinya sampah ---

lagian, lo mau ? misalnya ade lo nyolong ; trus lo minta tangan ade lo dibuntungin karena sesuai dengan ajaran islam ??? HA ???? MIKIR LA ONTA DONGOK. KALO LO MAU SILAHKAN AJA. TP JGN AJAK YG LAEN JADI DONGOK KAYAK ELO. KWKWKWWKWKKW.