"Berpikir Kritis (thinking skills)
Menurut Beyer (1988) mengatakan bahwa kemampuan berpikir kritis adalah kemampuan:
(1) menentukan kredibilitas suatu sumber;
(2) membedakan antara yang relevan dari yang tidak relevan;
(3) membedakan fakta dari penilaian;
(4) mengidentifikasi dan mengevaluasi asumsi yang tidak terucapkan;
(5) mengidentifikasi bias yang ada;
(6) mengidentifikasi sudut pandang;
(7) mengevaluasi bukti yang ditawarkan untuk mendukung pengakuan.
(8) mengidentifikasi kesalahan logika;
(9) mengidentifikasi tidak adanya konsistensi logika dalam suatu garis pemikiran atau ide; dan
(10) menentukan kekuatan argumen atau pernyataan.
Kemampuan Menghafal / Memorization (rote learning)
Rote Learning adalah teknik menghafal berdasarkan pengulangan. Kemampuan menghafal merupakan bagian dari pembelajaran, menjadi unsur penting dalam mempelajari bidang-bidang keilmuan misalnya mempelajari bahasa asing, tabel periodik kimia, tabel perkalian dalam matematika, anatomi dalam kedokteran, undang-undang dalam hukum, rumus-rumus dalam fisika, dll. Jadi kemampuan menghafal sangat dibutuhkan dalam pembelajaran, misalnya agar siswa dapat dengan cepat mengingat suatu rumus percepatan yang telah dihapalnya untuk menyelesaikan suatu soal fisika yang membutuhkan perhitungan percepatan. Namun rote learning adalah sebuah alat bantu dalam pembelajaran, dimana kemampuan pemahaman dan berpikir kritis untuk menyelesaikan suatu masalah adalah tingkatan pembelajaran yang sesungguhnya ingin dicapai dalam pendidikan, misalnya menurunkan suatu rumus fisika atau suatu besaran turunan.
Referensi:
Beyer, B. K. (1988). Developing a thinking skills program. Boston, MA: Allyn & Bacon, Inc."
Kritik dari Rhenald Kasali menurut saya cukup tepat, hanya saja kurang mendalam penjelasan, mungkin karena waktunya yang terbatas.
Kemampuan menghafal berdasarkan kutipan di atas justru sangat fundamental. Dapat dibayangkan bagaimana potensialnya seorang siswa kalo kemampuan menghafal + kemampuan berpikir kritisnya sama-sama oke. Inilah target ideal dalam dunia pendidikan yang sebenarnya, namun sayangnya pendidikan di Indonesia kebablasan, para siswa dididik kemampuan menghafal sampai keblinger dan sangat sedikit diberikan kemampuan berpikir kritis, sehingga para siswa ketika berhasil menyelesaikan sekolahnya harus lebih banyak lagi meluangkan waktu untuk belajar berpikir secara kritis. Karena dalam dunia nyata ataupun ketika siswa melanjutkan studi ke jenjang yang lebih tinggi, mereka diminta/menghadapi (wajib) untuk mencari penyelesaian masalah (problem solving). Dengan hanya mahir menghafal, dapat dipastikan mantan siswa tersebut akan keteteran dan ketinggalan ketika bersaing di dunia kerja atau di universitas berkualitas (bukan yang abal-abal...
).
Sehubungan dengan islam, dengan banyaknya larangan yang tak masuk akal dalam ajarannya, termasuk larangan untuk bertanya tentang kebenaran al quran-nya, menyebabkan kemampuan berpikir kritis para muslim menjadi tidak sepenuhnya bebas karena takut azab dari auloh katanya kebanyakan.
Dari beberapa poin yang dikemukakan Beyer (kutipan di atas), Keterampilan Berpikir Kritis tidak dapat dilakukan oleh kebanyakan muslim, karena:
(1) menentukan kredibilitas suatu sumber --> kalo tidak berani mempertanyakan kebenaran al quran maka bagaimana kredibilitas sumber (al quran) itu sendiri dapat dipercaya;
(2) membedakan antara yang relevan dari yang tidak relevan --> bagaimana bisa membedakan relevan dengan tidak jika memikirkan kemungkinan akan adanya kesalahan dalam al quran-pun tidak berani;
(3) membedakan fakta dari penilaian --> bagaimana bisa membedakan antara fakta dengan penilaian ketika hati nurani ditutupi fanatisme membabi-buta
(4) mengidentifikasi dan mengevaluasi asumsi yang tidak terucapkan --> bahasa kerennya menafsir yang tersirat dari yang tersurat, dibutuhkan poin (1), (2), dan (3) untuk menguasai poin ini.
Poin (5)-(10) tidak akan dapat dikuasai ketika seorang muslim dalam dirinya telah mengklaim bahwa ajaran islam adalah yang paling sempurna. Sudut pandangnya telah dipagari oleh tembok keakuan islamnya, sehingga dirinya akan selalu menolak tanpa mengevaluasi terlebih dahulu bukti yang ditawarkan. Keadaan ini tidak akan membuka peluang untuk mengidentifikasi terjadinya kesalahan logika (karena logikanyalah yang paling benar) dan celakanya lagi, kondisi ini menyebabkan si muslim ini menganggap argumennyalah yang paling benar.
Jadi dari penjelasan di atas secara singkat dapat diperoleh premis mayornya bahwa di dalam islam berpikir kritis itu sulit dilakukan. Premis minornya islam menyebabkan pendidikan di Indonesia sulit untuk maju. Konklusinya pendidikan di Indonesia gagal oleh islam...
(bagus niy buat judul penelitian phd)
Rhenald Kasali Menghafal Menciptakan Generasi Bukan Pemikir
Mirror
Faithfreedom forum static