http://www.islam-watch.org/authors/163- ... -mind.html
Bagaimana Muslim Membela Islam
Part 1: Memahami Pikiran Muslim!
Sunday, 30 June 2013 09:03 Abid Ali
“Tujuan Pendidikan adalah untuk menanamkan budaya pada individu dan mengembangkan kapasitasnya hingga maksimal”-- Bertrand Russell (Pendidikan dan Tatanan Sosial)
“Pendidikan terbangun dari pembudidayaan penalaran dan penilaian, bukan memanipulasinya.” -- Bertrand Russell (Mengenai Pendidikan)
Ketakutan terbesar Muslim adalah takut kehilangan kepercayaan (‘Imaan’) mereka. Ini karena ketakutan tersebut ditanamkan di diri mereka sejak kecil, yakni bahwa informasi apapun yang tidak sesuai dengan teori-teori dan hukum Islam adalah salah dan dapat merusak iman mereka.
Hal ini justru menyuburkan tahyul-tahyul agama yang mereka puja dan agung-agungkan. Kebenaran tidak memiliki rasa takut. Namun, saat mereka begitu ketakutan kehilangan kepercayaan, apa yang dapat diperbuat dengan kepercayaan seperti itu? Yang tidak memiliki dasar yang kuat? Tidak lebih dari tahyul b0doh.
Sejak kecil, muslim didorong untuk memegang erat kepercayaan mereka, memperkuat ‘imaan’, agar tidak ada yang menggoyahkan kepercayaan mereka pada Islam dan integritas Muhammad. Ini hanyalah suatu cara menanamkan keyakinan dan ide-ide seseorang ke orang lain, dan tidak membiarkan mereka belajar berdasarkan bukti dan penalaran. Tidak lebih dari ‘pencucian otak.’ Pelatihan terhadap otak anak-anak yang rentan ini merupakan cara sempurna untuk mengubah mereka menjadi keras kepala terhadap bukti, membutakan mereka terhadap argumen yang masuk akal.
Pendidikan tidak perlu dijejalkan pada seseorang. Pendidikan diperoleh melalui kekuatan realisasi dan mengevaluasi premis berdasarkan integritas dan hati nurani. Dikala penalaran seorang anak meningkat, ia sendiri yang akan memutuskan apa yang benar dan apa yang salah. Ini adalah hak istimewa yang dirampas dari anak-anak muslim. Muslim hidup di dalam sejenis suasana masyarakat yang sakit, dimana pendidikan disensor, pengetahuan dikekang dari kemungkinan mengetahui sebanyak-banyaknya, pendekatan serta pengalaman kehidupan nyata dimanipulasi agar sesuai ideologi Islam!
Jika Allah sedemikian senang dengan ketidaktahuan dan kebodohan ilahiah, maka pengetahuan yang terverifikasi dan pendidikan yang teruji pasti dianggap dari Setan , bukan?
Muhammad mengajarkan para pengikutnya untuk percaya buta pada segala omong kosongnya, bukannya mengajarkan pentingnya kecerdasan, nalar, pikiran terbuka dan meragukan. Ia tidak pernah menganjurkan para pengikutnya untuk hebat dalam kreativitas, seni, inovasi, pengetahuan, sains, pendidikan, disiplin dan integritas. Sebaliknya ia justru memerintahkan untuk menikah dan memiliki anak sebanyak mungkin. Ia ingin jumlah pengikut yang banyak, bukan berkualitas, agar mereka dapat dimanipulasi dan dilibatkan dalam perang untuk mewujudkan maksud tersembunyinya yang hina dan tercela. Muslim selalu berkata bahwa sains tidak sempurna dan tidak memiliki semua jawaban. Ini sejenis fallacy lain yang mereka suka lakukan. Kegagalan suatu hal tidak menjadikan hal lain sukses. Ia harus membuktikan klaimnya sendiri.
Kedua, alasan muslim percaya buta apa yang dikatakan pada mereka tentang Islam adalah karena mereka tidak pernah membaca Sunnah—perkataan dan perbuatan Muhammad, nabi Islam yang memproklaim sendiri kenabiannya. Kebenaran tentang Muhammad tercantum dalam Sunnah. Masalah pada muslim adalah, mereka secara total tidak mampu berpikir bagi diri mereka sendiri. Tidak ada muslim yang berani menentang Quran atau mempertanyakan integritas Muhammad. Segalanya yang mereka pelajari tentang Quran dan Sunnah terutama dari kata orang lain. Dan disanalah terletak penyebab semua masalah dalam Islam. Muslim diperintah dalam Quran untuk menjadikan Muhammad sebagai suri tauladan mereka. Muhammad dianggap ‘teladan’ sempurna dan penerima kuasa ilahiah dalam Islam. Karena perkataan dan perbuatan Muhammad hanya ditemukan dalam Sunnah, sangat penting muslim membaca Sunnah tersebut. Hanya sedikit muslim yang membaca Sunnah, bahkan Quran, dalam bahasa yang mereka pahami. Mereka percaya apapun yang dikatakan kepada mereka oleh imam/ulamanya.
Ketiga, dalam budaya Islam anak-anak diinstruksikan untuk percaya apapun yang dikatakan dan dilakukan Muhammad, serta mencintai dan menghormatinya melebihi keluarga mereka, suatu hal yang Muhammad sendiri perintahkan agar dilaksanakan para pengikutnya. Mereka sama sekali tidak pernah boleh meragukan pesan Quran dan Hadist. Seumpama seorang anak, sejak usia yang sangat dini telah diajarkan bahwa dua tambah dua sama dengan 5, dan hingga dewasa, semua orang di sekitarnya—guru, pendakwah, ayah, ibu, paman atau bibi, dsbnya—membenarkan dan mengatakan hal serupa, maka anak tersebut, bahkan setelah usia lanjut, tidak akan mampu menyadari bahwa dua tambah dua sebenarnya empat. Malah, ia akan menganggap klaim tersebut salah atau tidak logis.