MUSLIM DAN ORANG BARAT: BEDA PSIKOLOGIS

Mengungkapkan cara berpikir Muslim pada umumnya dan Muslim di FFIndonesia pada khususnya.
Post Reply
User avatar
Kibou
Posts: 1359
Joined: Mon Nov 03, 2008 11:30 am
Location: Land of the free

MUSLIM DAN ORANG BARAT: BEDA PSIKOLOGIS

Post by Kibou »

Muslims and Westerners: The Psychological Differences
by Nicolai Sennels (May 2010)
http://www.newenglishreview.org/custpag ... c_id/63122

LATAR BELAKANG

27 Februari 2008. Di hari Rabu yang dingin dan berangin, aku menarik napas yang panjang, mengambil microphone dan melakukan sesuatu yang mengubah jalan hidupku. Di hadapan Kantor Pelayanan Integrasi dan Sosial milik Walikota Copenhagen, telah berkumpul wartawan, pemusik muslim dari band ‘Outlandish’, lusinan imam dan pembicara muslim, dan beberapa ratus pekerja sosial dengan latar belakang muslim dan juga warga Denmark sendiri.

Aku mulai mengatakan apa yang sebenarnya diketahui semua orang, namun yang tidak satu pun mau atau berani mengatakan: bahwa mereka yang disebut sebagai kriminal imigran, ekstremis relijius, dan calon teroris yang merupakan penyebab dari komunitas paralel tak kenal hukum (lawless) adalah SEMUANYA muslim. Aku berargumen bahwa kita harus berhenti menggunakan istilah “kriminal imigran” dan mulai menggunakan istilah yang lebih tepat, yaitu ”kriminal muslim”.

Sebagai seorang psikolog yang pernah menangani lebih dari seratus klien muslim, aku katakan kepada para hadirin bahwa para politikus dan para pekerja sosial harus memahami latar belakang budaya dan religi dari para kriminal imigran. Itu sih kalau kita mau untuk setidaknya mencari rencana yang efektif dan tepat sasaran guna mengurangi pergolakan sosial, gerakan relijius anti-demokrasi, dan kekerasan anti-sosial di kalangan imigran.

Aku dikritik pedas dari semua sisi dan tidak mendapat dukungan sama sekali!

Sama halnya seperti prajurit yang mati di garis depan pertempuran, banyak orang yang menyerang political correctness mendapatkan dampak buruk secara profesional atau sosial. Aku bukan perkecualian. Walikota Pelayanan Sosial sudah tegas. Aku harus berhenti menggunakan istilah yang memojokkan (islam) atau mulailah cari pekerjaan baru. Faktanya sih aku berusaha berhenti menggunakan istilah yang memojokkan para imigran non-muslim dengan cara memfokuskan hanya kepada satu kelompok yang menjadi penyebab semua masalah tersebut. Tapi Walikota tidak bisa dilawan.

Surat kabar terbesar nasional dan siaran-siaran radio mencium berita ini dan Walikota banyak mendapat kritik mengenai kebebasan berpendapat dari para ahli media dan komunitas blogger Denmark. Selama sekitar satu bulan namaku tidak pernah absen dari surat kabar dan para pejuang kebebasan pendapat. Aku bukan lagi psikolog yang tidak dikenal. Namaku dikenal semua pembaca surat kabar di Denmark dan khususnya di kalangan blogger yang kritis terhadap islam.

Daripada tutup mulut, aku memutuskan untuk menulis buku mengenai pengalamanku mempraktekkan terapi terhadap ratusan muslim. Apa yang terjadi terhadapku telah menunjukkan perlunya mendobrak tabu mengenai kriminal muslim. Lebih lagi, diskusi serius mengenai hubungan antara kultur muslim dan kriminalitas, serta perilaku anti-sosial, amat sangat diperlukan. Aku berhasil mendapatkan uang putus kerja sebesar gaji untuk empat bulan. Mungkin akulah psikolog pertama di Copenhagen yang ditawarkan $ 20,000 untuk berhenti kerja secara sukarela. Aku rasa mereka memang ingin membuang aku secepatnya.

Aku menemukan pekerjaan dengan upah yang bagus sebagai psikolog militer dengan tugas memeriksa prajurit yang pulang dari perang di Afghanistan. Aku juga mulai menulis buku, di mana aku menjelaskan profil psikologis dari kultur muslim. Judul bukunya adalah Among Criminal Muslims: A Psychologist’s Experiences from the Copenhagen Municipality (Free Press Society, 2009).

Setelah berkonsultasi dengan 150 kriminal muslim dan 100 kriminal Denmark (yang secara rata-rata memiliki usia dan latar belakang sosial yang sama dengan kriminal muslim), aku menemukan bahwa kultur dan pengalaman relijius para kriminal muslim adalah pusat pengaruh yang membentuk psikologi dan perilaku kriminal mereka. Istilah “kriminal imigran” adalah generalisasi dan tidaklah tepat. Ini tidak adil bagi para imigran non-muslim dan menyesatkan.

--- belum selesai ---
User avatar
Kibou
Posts: 1359
Joined: Mon Nov 03, 2008 11:30 am
Location: Land of the free

Re: Imigran Muslim adalah Kriminal

Post by Kibou »

Berdiskusi mengenai karakteristik psikologis kultur muslim adalah sangat penting. Di Denmark ada imigran dari seluruh dunia dan menurut statistika resmi dari Danmarks Statistik semua kelompok imigran non-muslim jumlah kriminalnya tidak sebanyak etnis Denmark (penduduk asli). Sebaliknya, menurut tingkatan pendidikan dan ekonomi, bahkan setelah beradaptasi, semua kelompok muslim adalah lebih kriminal daripada kelompok etnis lainnya. Tujuh dari sepuluh tahanan dalam penjara remaja di mana aku bekerja, adalah muslim.

Buku yang aku tulis diulas oleh beberapa majalah dan surat kabar dan mulai memunculkan perdebatan di Denmark mengenai hubungan latar belakang kultur dan perilaku kriminal.

Berikut ulasan dari Majalah Psikolog Profesional Denmark:

“... Among Criminal Muslims adalah pembuka mata yang provokatif, sangat meyakinkan dan didasari oleh banyak contoh konkret.”

Majalah Professional Guru untuk Remaja menulis:

“Pemikiran dan diskusi kritis Sennel mengenai usaha kita terhadap pemuda kriminal pantas untuk dikenal luas.”

Surat kabar terbesar kita, Jyllands-Posten yang menerbitkan kartum Muhamad, menulis:
“Buku ini adalah karya pelopor yang orisinal dengan memfokuskan tanggung-jawab individu dan melibatkan dampak agama dalam pembentukan identitas orang muda.”

Ini adalah rangkuman atas beberapa hal yang aku temukan.


KEMARAHAN (ANGER)

Kultur muslim punya pandangan berbeda mengenai kemarahan yang dalam banyak hal adalah kebalikan dari pandangan Barat.

Ekspresi dari kemarahan atau mengancam adalah cara tercepat mempermalukan diri sendiri di kultur Barat. Dalam diskusi, mereka yang naik darah (ngamuk) otomatis sudah kalah, dan saya rasa kebanyakan orang sudah melihat sendiri rasa malu dan kerugian sosial yang diakibatkan ekspresi kemarahan di tempat kerja atau di tempat tinggal.

Dalam kultur muslim, perilaku agresif, terutama mengancam, biasanya diterima dan bahkan diharapkan sebagai cara menangani konflik dan perbedaan sosial. Jika seorang muslim tidak merespon penghinaan atau iritasi sosial dengan cara mengancam, maka dia (maksudnya laki-laki muslim. muslimah biasanya harus tunduk dan tidak menunjukkan kuasa) dianggap lemah, tidak bisa diandalkan dan kehilangan muka.

Di mata kebanyakan orang Barat, orang yang mengancam karena dirinya tidak menyukai sesuatu dianggap seperti anak kecil alias belum dewasa. Sebuah pepatah Denmark berbunyi, “Cuma anjing kecil yang menggonggong. Anjing besar tidak perlu.” Pepatah ini bertalian erat dengan kultur psikologis kita dan menjadi pedoman perilaku sosial yang beradab. Bagi kita, perilaku agresif adalah tanda kelemahan. Itu adalah tanda kehilangan kuasa atas diri sendiri dan kurangnya kemampuan menangani situasi. Kita memandang kemampuan menjaga ketenangan diri sebagai kepercayaan diri (confidence), ini memungkinkan kita membuat dialog yang membangun. Pengetahuan atas fakta, penggunaan akal sehat dan kemampuan membuat argumen valid dipandang sebagai tanda kekuatan.

Ekspresi islamiah berupa “kemarahan suci” adalah bertolak belakang dengan pandangan Barat. Kedua kata tersebut di kalimat yang sama terdengar kontradiktif bagi kita. Adalah ironis saat kita melihat bagaimana muslim mengancam dan mengamuk gara-gara dalam di dalam kartun Muhamad digambarkan sebagai seseorang yang menggunakan kekerasan untuk menyebarkan pesannya. Reaksi agresif muslim atas karikatur nabi mereka yang digambarkan agresif, secara menyeluruh membuktikan kebenaran dari pernyataan Kurt Westergaard sang penggambar karikatur.

Perbedaan kultur inilah yang teramat sangat penting ketika berurusan dengan rezim dan organisasi muslim. Cara kita menangani perbedaan politik adalah dengan diplomasi, dan kita harapkan pemimpin muslim untuk menggunakan belas kasihan, kompromi dan akal sehat. Pendekatan damai seperti ini dipandang muslim sebagai ekspresi kelemahan dan kurangnya keberanian. Jadi usaha menghindari pertempuran fisik dipandang mereka sebagai kelemahan; jika pendekatan seperti ini berhadapan dengan kultur muslim, jadinya akan dieksploitasi oleh muslim.

--- bersambung ---
User avatar
keeamad
Posts: 6954
Joined: Tue Aug 23, 2011 4:06 pm

Re: Penelitian atas Politik Islam

Post by keeamad »

Untuk memahami seperti apa doktirm islam yg sesungguhnya, kita (dan para pemimpin kafir) harus melihat wajah islam adalah seperti yg di bawah ini:
Image
User avatar
keeamad
Posts: 6954
Joined: Tue Aug 23, 2011 4:06 pm

Re: Imigran Muslim adalah Kriminal

Post by keeamad »

Taktik islam (Yg Mengaku) sebagai agama damai (dan sayangnya ada saja USEFUL IDIOTS yg percaya hal tsb),
terbukti amat jitu dalam memenangkan sebuah perang - melawan kafir ....

Di satu sisi Islam hanya memandang musuhnya adalah kafir (nasrani, yahudi dan non muslim) titik,
tidak ada nasrani damai atau jahat, tidak ada yahudi damai atau jahat di mata islam,
semuanya harus diperangi ....

Sebaliknya pd sisi non muslim, mereka akan kesulitan melawan muslim dan islam,
karena dualisme islam di atas ....
INI ADALAH FAKTANYA .....

SO bagi kafir untuk memerangkan perang tsb,
harus disamakan/disatukan persepsi bahwa islam adalah ANCAMAN - titik, mau itu yg damai atau teroris.....,
dan itu berarti banyak orang harus keluar dari USEFUL IDIOTSnya ....
User avatar
IslamBb
Posts: 53
Joined: Sun Mar 10, 2013 5:26 am

Re: MUSLIM DAN ORANG BARAT: BEDA PSIKOLOGIS

Post by IslamBb »

Terima kasih bro kibou atas terjemahannya.
Bantu sundul ke atas.
User avatar
Kibou
Posts: 1359
Joined: Mon Nov 03, 2008 11:30 am
Location: Land of the free

Re: MUSLIM DAN ORANG BARAT: BEDA PSIKOLOGIS

Post by Kibou »

Kendali atas Diri Sendiri (Locus of Control )

Ada lagi satu perbedaan besar antara orang dari budaya Barat dengan orang dari budaya muslim; yaitu kendali atas diri (locus of control). Locus of control adalah istilah psikologis yang menggambarkan apakah pengalaman hidup seseorang lebih dipengaruhi oleh faktor internal ataukah faktor eksternal. Adalah jelas bahwa dari sudut pandang psikologis, orang Barat merasa bahwa hidup mereka lebih dipengaruhi oleh faktor internal – oleh diri sendiri. Ini dicerminkan lewat sudut pandang kita, cara kita menangani emosi, cara kita berpikir, cara kita berinteraksi dengan orang di sekitar kita, motivasi, surplus, dan cara kita berkomunikasi.

Faktor-faktor internal inilah yang memandu hidup kita dan menentukan apakah kita merasa baik dan apakah kita percaya diri atau tidak. Setiap perpustakaan di Barat punya bermeter-meter buku “self help”. Setiap kios punya lusinan majalah yang mengajar laki-laki dan perempuan bagaimana supaya hidup semakin bahagia dan sukses. Buku telepon kita punya banyak sekali kolom-kolom alamat untuk psikolog, pelatih, dan ahli terapi. Semua ini bertujuan untuk membantu kita membentuk sendiri hidup yang kita inginkan.

Semua hal ini tidak eksis di budaya dan negara-negara muslim. Minim sekali ilmu psikiater dan psikologi yang diajarkan di segelintir perguruan tinggi di dunia muslim, dan itu pun diimpor dari Barat. Umumnya itu diajarkan oleh dosen-dosen lulusan Barat dan tidak punya akar dalam budaya muslim.

Muslim punya hal lain. Mereka punya aturan eksternal yang kaku, tradisi dan hukum atas perilaku manusia. Mereka punya tuhan yang menentukan jalan hidup mereka <tidak ada free will – Kibou>. “Inshallah” membuntuti setiap pernyataan muslim mengenai rencana masa depan; kalau tuhan memang ingin. Mereka punya imam-imam berpengaruh yang menyetir arah komunitas mereka setiap Jumat. Imam-imam ini mendikte pandangan politik <terutama untuk membenci kafir - Kibou>, bagaimana membesarkan anak, dan apakah boleh ber-integrasi di dalam lingkungan sosial Barat.

Kendali atas diri sendiri mengambil posisi sentral dalam memahami permasalahan dan mencari solusi. Jika kita dibesarkan dalam kultur yang yang menyatakan “...Aku adalah penentu nasibku; aku adalah kapten dari jiwaku” (dari puisi Invictus, oleh William Ernest Henley, 1875), maka saat kita menghadapi masalah pribadi, kita introspeksi dan bertanya kepada diri sendiri, “kesalahan apa yang telah aku lakukan?” dan “apa yang bisa aku lakukan untuk mengubahnya?”. Orang yang dibesarkan oleh kultur dimana sepanjang hidup mereka diajarkan bahwa aturan eksternal dan tradisi lebih penting daripada kebebasan individu dan introspeksi akan bertanya, “Siapa yang menyalahi aku?” dan “siapa yang harus melakukan sesuatu untukku?”

Maka, kendali atas diri sendiri adalah sentral bagi pemahaman pribadi atas kebebasan dan tanggungjawab. Biarpun budaya kita yang didasari kristen, dalam situasi tertentu, bisa terlalu menekankan rasa bersalah; namun ini juga menguatkan kesadaran individu untuk mengambil tanggungjawab dan merubah hidup sendiri. Dalam lingkungan sosial yang dibentuk oleh islam dan dipengaruhi Quran maka hanya sedikit sekali perasaan bersalah <yang bunuh orang bukan aku, tapi Allah – Kibou> sehingga yang muncul adalah lebih merasa bebas untuk menuntut lingkungan untuk beradaptasi dengan permintaan dan keinginan muslim. Ini bisa berupa tuntutan untuk memakai pakaian muslim yang bisa menghasilkan lebih banyak lagi tuntutan muslim untuk melakukan islamisasi atas budaya Barat; ini juga merupakan sumber dari “victim mentality” (perasaan bahwa diri sendiri selalu dirugikan oleh orang lain) dan berujung kepada tuntutan terus menerus kepada lingkungan sekitar.

Dalam bentuk konkret, kecenderungan budaya seperti ini muncul dalam terapi sebagai hilangnya rasa penyesalan. Jawaban standar dari muslim beringas selalu berupa, “...itu salah dia kenapa sampai aku pukuli. Dia yang provokasi aku.” Alasan seperti ini menunjukkan bahwa muslim merasa bahwa reaksi mereka disebabkan oleh faktor eksternal dan bukan karena emosi, motivasi, dan kebebasan kehendak diri sendiri. Biarpun perasaan seseorang ketika menghadapi penghinaan bisa dilembutkan oleh sudut pandang dirinya sendiri, introspeksi seperti ini tidak banyak ditemukan dalam diri muslim ketimbang orang Barat. Cuma perlu satu orang untuk memukuli orang lain: si pemukul. Cuma perlu satu orang untuk merasa dihina. Karena itu “dipukuli” dengan “merasa dihina” adalah peristiwa sosial yang terpisah. “Merasa dihina” bergantung kepada diri sendiri, sementara “dipukuli” bergantung kepada faktor eksternal. Sayangnya fakta ini tidak dipedulikan dalam budaya muslim dan juga para pendukung peraturan anti-penghinaan dan anti-rasialisme <para useful idiot yang menganggap kritik terhadap islam sebagai rasisme – Kibou>.

Perbedaan mentalitas ini dengan jelas dinyatakan oleh pepatah kuno India:

“Kamu bisa berjalan dengan lembut dengan mengunakan sepasang sepatu, atau kamu bisa menuntut agar seluruh dunia dilapisi dengan kulit yang lembut.”

Ini adalah masalah kendali atas diri sendiri.

---bersambung---
User avatar
Kibou
Posts: 1359
Joined: Mon Nov 03, 2008 11:30 am
Location: Land of the free

Re: MUSLIM DAN ORANG BARAT: BEDA PSIKOLOGIS

Post by Kibou »

Introspeksi dan Konsekuensi

Aku sudah menyaksikan perbedaan kultur muslim mengenai kendali atas diri sendiri. Hal ini menjadi sumber kegagalan usaha integrasi dan sosial (terhadap muslim). Selain dukungan besar dari sistem tunjangan sosial, departemen negara juga menawarkan hiburan dan bimbingan kepada remaja kriminal muslim dengan harapan akan menumbuhkan rasa terima kasih dan rasa percaya sehingga tercipta hubungan yang baik, hormat, dan kesediaan untuk berkerjasama. Tapi ketika program sosial dan perjumpaan dengan pekerja sosial dihentikan dan saat mereka diharapkan mulai berperilaku dewasa, maka “rasa saling menghormati” seringkali menguap.

Orang Barat merasa bahwa “standar kami” menentukan konsekuensi bagi orang-orang. Kami berpikir, jika diberi bimbingan dan kesempatan kedua maka kebanyakan orang belajar dari bimbingan tersebut dan menggunakan kesempatan untuk menjadi lebih baik. Kita takut memberi batasan yang ketat karena kita tidak ingin orang merasa dihukum, padahal motivasi kita adalah mencegah mereka merusak kehidupan diri sendiri dan orang lain.

Kita harus sadar bahwa kita perlu fleksibel untuk berpikir di luar kotak kultur kita sendiri. Saya ingin mengutip dari filsuf Denmark, Soren Kierkegaard:

“Jika seseorang sungguh ingin membantu orang lain, ia harus terlebih dulu mulai mencari di mana orang itu berada. Inilah rahasia dalam menolong orang. Yang tidak bisa melakukan ini adalah sombong.”

Politikus Eropa, Australia, dan Amerika sudah menghabiskan trilliun Euro dan Dollar untuk mencegah apa yang tidak bisa dicegah; yaitu kegagalan muslim untuk integrasi. Uang dihabiskan untuk bantuan sukarela yang bisa digunakan oleh imigran kalau mereka mau. Kadang mereka coba, tapi jarang berhasil. Yang harus kita pahami adalah bahwa kita berurusan dengan orang yang besar dalam kultur di mana tidak ada kendali atas diri sendiri. Introspeksi dan rasa tanggungjawab tidak terlalu penting bagi mereka.

Selama bertahun-tahun aku bekerja sosial, dan kemudian menjadi psikolog bagi orang-orang antisosial, aku sadar bahwa satu-satunya jalan rasional adalah dengan mengikuti prosedur tiga langkah:

1. Sediakan bimbingan dan bantuan. Jika gagal, maka:
2. Tentukan batasan. Jika masih gagal, maka:
3. Konsekuensi.

Apa yang aku katakan mungkin lebih politis ketimbang psikologis. Tapi pengalamanku memberi terapi kepada muslim membuat aku menyatakan:

Kita tidak boleh biarkan kota-kota kita hancur oleh karena komunitas paralel yang tidak kenal hukum, dengan kelompok-kelompok kriminal muslim berkeliaran dan menguras habis tunjangan sosial kita dan juga rasa ketakutan non-muslim terhadap kekerasan. Konsekuensinya harus sangat keras sehingga setiap muslim yang antisosial dipulangkan saja ke negara muslim, di mana mereka bisa diterima oleh kultur mereka sendiri.

Kesalahan kita adalah memulai dengan peraturan yang terlalu longgar dan dengan setiap kesalahan yang dilakukan oleh remaja antisosial kita perlahan membatasi kebebasan mereka. Dalam proses ini mereka seringkali malah menghancurkan hidup sendiri dengan perilaku buruk, teman-teman berengsek, dan catatan kriminal. Pengalamanku dan teman-teman seprofesi, adalah cara paling fungsional yaitu dengan mulai dengan peraturan yang lebih ketat. Lalu, kalau mereka tidak menyalahgunakan kebebasan, berikan mereka pilihan-pilihan yang lebih luas.

Cara menggunakan peraturan ketat seperti ini sebenarnya sangat normal dalam bagaimana orang Barat mendidik anak kecil. Kita mulai dengan aturan ketat mengenai sekolah, pekerjaan rumah, dan kelakuan yang baik. Lalu, sembari anak semakin bertambah umur dan dewasa mereka akan diberikan lebih banyak kebebasan oleh orangtua mereka. Saat mereka mencapai umur 21 tahun mereka dianggap sudah mampu menentukan hidup sendiri dan bebas memilih pendidikan, pasangan hidup, agama, dan gaya hidup yang mereka inginkan.

Dalam kultur muslim sih beda – terutama bagi anak laki-laki. Awalnya mereka dapat banyak kebebasan dan semakin bertambah umur semakin dibatasi oleh harapan kultur/relijius guna mendukung struktur keluarga. Saat mencapai 20 tahun, orangtua mereka seringkali sudah menjodohkan mereka dengan calon isteri atau calon suami. Pilihan lain juga kurang bebas: harapan untuk mencapai status tinggi dalam pendidikan atau bekerja di toko milik keluarga, atau untuk mendukung reputasi keluarga dengan menghadiri salat Jumat di mesjid setempat. “Piramida pendidikan” berdiri terbalik di Barat; sedikit kebebasan di awal, lebih banyak tanggungjawab diri sendiri semakin bertambah umur. Dalam kultur muslim ini dibalik; sedikit aturan masa kecil, dan lebih banyak aturan ketika muslim semakin besar, untuk mendukung keluarga dan agama.

--- bersambung ---
Post Reply