xyxy wrote:ha ha ha kafir mmg tukang bingung,dikit-dikit bingung! belok sana,belok sini,tahu-tahu nyampe neraka deh! Hukumnya banci aja gak tahu,jelas tak ada satupun agama yg bener yg mengakui banci,kecuali agama yg desperate mulai ditinggalkan umatnya. lol
yg bingung bkn kafir slim!
ulama mu aja bingung tuh,,,,,,
jd mbak Dorce masuk yang mana slim ??? coz otongnya dah dipotong tuhhh....think!
---------------------------------------------------------------------
Oleh karena itu, adanya dua jenis kelamin pada seseorang –atau bahkan sama sekali tidak ada– -disebut sebagai musykil. Keadaan ini membingungkan karena tidak ada kejelasan, kendatipun dalam keadaan tertentu kemusykilan tersebut dapat diatasi, misalnya dengan mencari tahu dari mana ia membuang “air kecil”. Bila urinenya keluar dari penis, maka ia divonis sebagai laki-laki dan mendapatkan hak waris sebagaimana kaum laki-laki. Sedangkan jika ia mengeluarkan urine dari vagina, ia divonis sebagai wanita dan memperoleh hak waris sebagai kaum wanita. Namun, bila ia mengeluarkan urine dari kedua alat kelaminnya (penis dan vagina) secara berbarengan, maka inilah yang dinyatakan sebagai khuntsa munsykil. Dan ia akan tetap musykil hingga datang masa akil baligh.
Perbedaan Ulama Mengenai Hak Waris Banci
Ada tiga pendapat yang masyhur di kalangan ulama mengenai pemberian hak waris kepada banci musykil ini:
1.
Mazhab Hanafi berpendapat bahwa hak waris banci adalah yang paling (lebih) sedikit bagiannya di antara keadaannya sebagai laki-laki atau wanita. Dan ini merupakan salah satu pendapat Imam Syafi’i serta pendapat mayoritas sahabat.
2.
Mazhab Maliki berpendapat, pemberian hak waris kepada para banci hendaklah tengah-tengah di antara kedua bagiannya. Maksudnya, mula-mula permasalahannya dibuat dalam dua keadaan, kemudian disatukan dan dibagi menjadi dua, maka hasilnya menjadi hak/bagian banci.
3.
Mazhab Syafi’i berpendapat, bagian setiap ahli waris dan banci diberikan dalam jumlah yang paling sedikit. Karena pembagian seperti ini lebih meyakinkan bagi tiap-tiap ahli waris. Sedangkan sisanya (dari harta waris yang ada) untuk sementara tidak dibagikan kepada masing-masing ahli waris hingga telah nyata keadaan yang semestinya. Inilah pendapat yang dianggap paling rajih (kuat) di kalangan mazhab Syafi’i.