rahimii wrote:Apanya yang jelas dalam link anda diatas? Ketika kita mengatakan bahwa TUHAN itu baik, kita mengartikan itu dengan cara yang berbeda dari cara yang kita maksudkan ketika kita mengatakan bahwa manusia itu baik. Bagi kita, kebaikan adalah partisipasi dalam kebaikan, kita dapat berpartisipasi lebih atau kurang berdasarkan tingkatan, dan oleh karena itu kita bisa lebih baik atau lebih buruk. Itu bukan apa yang kita maksud ketika kita mengatakan bahwa TUHAN itu baik.
Pikirkan tentang perbedaan antara mengatakan "anjing basah" dan "cairan basah". Kita bisa membayangkan anjing dalam kondisi yang tidak basah, cukup dengan mengeringkannya dengan handuk yang baik, dia tidak akan memiliki basah lagi. Kita bisa membayangkan anjing basah dan anjing kering, dan segala sesuatu di antaranya. Tapi ketika kita mengatakan bahwa cairan basah, itu berarti bahwa kebasahan adalah atribut melekat dari apa yang kita maksud dengan "cair." Jika seseorang bisa mengklaim memiliki "cairan yang kering", kita harus menyimpulkan bahwa orang seperti ini memiliki disfungsi pemahaman akan apa yang dimaksud dengan "cair" atau "kering" Itulah yang terjadi jika anda memposisikan tuhan sebagai kebenaran tapi dilain sisi dia mentolerir kesalahan sebagai sesuatu yang relatif. Tuhan seperti itu bukan tuhan yang maha dalam segala atributnya.
Captain Pancasila wrote:Tuhan tidak mentolerir kesalahan manusia yang tidak diniatkan, adalah Tuhan lupa jika Dia menciptakan manusia dengan keterbatasan! maksud saya Tuhan itu sudah selayaknya mempunyai standar baik/buruk tersendiri terhadap manusia, karena Tuhan tidak menciptakan manusia sekapasitas dengan DiriNya!
Apakah pendapat anda ini mewakili pandangan islam mainstream? Pendapat anda dengan muslim patah salero saja sudah sangat bertentangan dalam hal ini. Dalam islam jelas ada konsep reward and punishment. Loyalis allah akan menerima reward surga, non loyalis akan dihukum di neraka. Berdasarkan argument anda diatas, buat apa allah islam menciptakan konsep neraka bila dia sudah tahu dari awalnya kalau manusia tidak akan mampu mengikuti kapasitas atau standardnya? Coba kita perhatikan ayat-ayat berikut :
-Al baqarah : 98 "Barang siapa yang menjadi musuh Allah, malaikat-malaikat-Nya, rasul-rasul-Nya, Jibril dan Mikail, maka sesungguhnya Allah adalah musuh orang-orang kafir."
-Ali imran : 32 "Katakanlah: Taatilah Allah dan Rasul-Nya; jika kamu berpaling, maka sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang kafir"
-Al maidah : 87 "Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu haramkan apa-apa yang baik yang telah Allah halalkan bagi kamu, dan janganlah kamu melampaui batas. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas."
-Ali imran :57 "Adapun orang-orang yang beriman dan mengerjakan amalan-amalan yang saleh, maka Allah akan memberikan kepada mereka dengan sempurna pahala amalan-amalan mereka; dan Allah tidak menyukai orang-orang yang zalim."
Bila merujuk pada pengetahuan allah islam akan kapasitas manusia tadi, bagaimana allah secara objektif dapat membenci perilaku seperti yang dia firmankan pada ayat-ayat diatas? Mengapa allah tidak menunjukkan toleransi atau kemakluman saja pada perilaku manusia yang dia ketahui berbeda secara kapasitas dan standard dengan dirinya? Bagaimana cara allah menentukan standard antara manusia yang satu dengan yang lainnya bila memang standardnya tidak dapat diterapkan pada manusia karena perbedaan kapasitas? Mengapa allah memberikan privelege kehendak bebas kepada manusia, dan dia membenci pilihan tindakan yang diambil manusia saat menggunakan kehendak bebasnya? Atas standard apa allah membenci pilihan-pilihan bebas itu?
rahimii wrote:Coba perbaiki kembali logika berpikir anda dan berusahalah mencerna argumen awal dari trit ini. Tidak ada hal pemaksaan standar moral objektif TUHAN kepada manusia dibicarakan disini. Trit ini "memaksakan" argumen bahwa jika TUHAN yang benar memang ada, maka standard moralnya haruslah ojektif. Saya harap anda memahami perbedaannya.
Bentuk silogisme berikut dapat kita gunakan untuk membuktikan bahwa hanya semua yang baik yang dapat dikorelasikan kepada TUHAN yang baik, bukan yang abu-abu.
Premis 1: Jika anda ingin mencapai yang baik, anda harus melakukan apa yang sesuai dengan kehendak TUHAN (dan menghindari apa yang tidak konsisten dengan itu).
Premis 2: Secara alami, semua orang ingin mencapai yang baik.
Konklusi : Oleh karena itu, setiap orang pasti akan melakukan apa yang sesuai dengan kehendak Tuhan.
Jadi, berdasarkan argumen diatas, tidak logis ada orang yang melakukan kejahatan namun mengatakan ia sedang melakukan kehendak tuhan. Bila anda memiliki keyakinan bahwa ketidakmampuan manusia melakukan standard moral objektif sebagai bentuk toleransi tuhan dalam pelaksanaan keobjektivannya itu, silahkan dibantah dengan argumen logis pula.
Captain Pancasila wrote:lha masalahnya kan tiap2 orang punya persepsi tersendiri tentang kebaikan/kehendak Tuhan!
Justru itu yang menurut saya anda sulit sekali menangkapnya. Moralitas objektif itu adalah standard moral yang menilai salah adalah salah, benar adalah benar terlepas dari persepsi anda menilainya. Apakah menurut anda, TUHAN yang sejati itu seharusnya objektif dalam standard moral nya atau mencla-mencle seperti konsep anda? Kalau menurut anda konsep tuhan yang standardnya mencla-mencle itulah yang layak dinominasikan sebagai gambaran tuhan sebenar-benarnya, silahkan anda turunkan premisnya, argumentasinya, logikanya. Itulah yang diinginkan oleh trit ini.