[font=verdana]HALAL BI HALAL[/font], adalah sebuah tradisi saling meminta dan memberi maaf satu sama lain di Indonesia. Kegiatan ini awalnya merupakan sebuah kegiatan ritual keagamaan, terutama bagi pemeluk agama islam di Indonesia.
Namun pada perkembangannya, halal bihalal diselenggarakan hampir oleh seluruh lapisan masyarakat muslim Indonesia, baik oleh kelompok dari suatu daerah tertentu, keluarga besar, kelompok kerja, kelompok pedagang, organisasi sosial-politik lembaga perusahaan swasta maupun intansi pemerintah. Asal-usul tradisi halal bi halal, dari daerah mana, siapa yang memulai dan kapan kegiatan tersebut mulai diselenggarakan sulit diketahui dengan pasti.
Drs. H. Ibnu Djarir (ketua MUI Jateng) menulis bahwa sejarah asal mula halal bi halal ada beberapa versi. Menurut sebuah sumber yang dekat dengan Keraton Surakarta, bahwa tradisi halal bihalal mula-mula dirintis oleh KGPAA Mangkunegara I, yang terkenal dengan sebutan Pangeran Sambernyawa. Dalam rangka menghemat waktu, tenaga, pikiran, dan biaya, maka setelah salat Idul Fitri diadakan pertemuan antara Raja dengan para punggawa dan prajurit secara serentak di balai istana. Semua punggawa dan prajurit dengan tertib melakukan sungkem kepada raja dan permaisuri.
Apa yang dilakukan oleh Pangeran Sambernyawa itu kemudian ditiru oleh organisasi-organisasi Islam, dengan istilah halal bi halal. Kemudian instansi-instansi pemerintah/ swasta juga mengadakan halal bi halal, yang pesertanya meliputi warga masyarakat dari berbagai pemeluk agama.
Seorang budayawan terkenal Dr Umar Khayam (alm), menyatakan bahwa tradisi Lebaran merupakan terobosan akulturasi budaya Jawa dan Islam. Kearifan para ulama di Jawa mampu memadukan kedua budaya tersebut demi kerukunan dan kesejahteraan masyarakat. Akhirnya tradisi Lebaran itu meluas ke seluruh wilayah Indonesia, dan melibatkan penduduk dari berbagai pemeluk agama. Untuk mengetahui akulturasi kedua budaya tersebut, kita cermati dulu profil budaya Islam secara global. Di negara-negara Islam di Timur Tengah dan Asia (selain Indonesia), sehabis umat Islam melaksanakan salat Idul Fitri tidak ada tradisi berjabatan tangan secara massal untuk saling memaafkan. Yang ada hanyalah beberapa orang secara sporadis berjabatan tangan sebagai tanda keakraban. Berbeda dengan Indonesia, budaya sungkem menggerakan orang-orang untuk saling menghargai, menghormati, dan menerima satu sama lain. Melalui perpaduan agama dan budaya lokal maka terciptalah 'Halal Bi Halal'.
Dibalik kepopulerannya, dari mana asal kata Halal Bihalal? Istilah Halal bi halal terdengar seperti berasal dari bahasa Arab. Namun sebenarnya istilah ini sama sekali tidak dikenal oleh kalangan bangsa Arab, tidak pula ada pada zaman Nabi saw. dan para sahabat. Karenanya, kamus bahasa Arab juga tak mengenal istilah itu. Justru halal bihalal masuk dan diserap Bahasa Indonesia dan diartikan sebagai “hal maaf-memaafkan setelah menunaikan ibadah puasa Ramadhan, biasanya diadakan di sebuah tempat (auditorium, aula, dsb) oleh sekelompok orang dan merupakan suatu kebiasaan khas Indonesia.”
Dalam tulisannya, menurut Dr. Quraish Shihab, halal-bihalal merupakan kata majemuk dari dua kata bahasa Arab halala yang diapit dengan satu kata penghubung ba (dibaca: bi) (Shihab, 1992: 317). Meskipun kata ini berasal dari bahasa Arab, konon masyarakat Arab sendiri tidak akan memahami arti halal-bihalal yang merupakan hasil kreativitas bangsa Indonesia. Halal-Bihalal adalah adalah hasil pribumisasi ajaran Islam di tengah masyarakat Asia Tenggara. Halal-bi halal merupakan tradisi khas dan unik bangsa ini.
Ada dua arti dalam kata halal. Pertama, berarti “diperkenankan”, dan sebagai lawan dari kata haram. Kedua, memiliki arti ˜baik” yang terkait dengan status kelayakan produk makanan.
Pendapat senada juga dikemukakan oleh seorang penulis bernama Iwan Ridwan bahwa Halal Bihalal adalah suatu tradisi berkumpul sekelompok orang Islam di Indonesia dalam suatu tempat tertentu untuk saling bersalaman sebagai ungkapan saling memaafkan agar yang haram menjadi halal di sebut “halal bi halal”. Umumnya kegiatan ini diselenggarakan setelah melakukan salat Idul Fitri.
Menurut Ensiklopedi Islam, 2000, hingga abad sekarang; baik di negara-negara Arab mau pun di negara Islam lainnya (kecuali di Indonesia) tradisi ini tidak memasyarakat atau tidak ditemukan. Halal bi halal bukan bahasa Arab. Ensiklopedi Indonesia, 1978, menyebutkan halal bi halal berasal dari bahasa (lafadz) Arab yang tidak berdasarkan tata bahasa Arab (ilmu nahwu), sebagai pengganti istilah silaturahmi. Sebuah tradisi yang telah melembaga di kalangan penduduk Indonesia.
Sampai poin ini, kita dapat menarik kesimpulan:
"Halal Bi Halal bukan produk asli Islam (Araf) tetapi inspirasi budaya asli Indonesia"
"Halal Bi Halal bukan produk asli Islam (Araf) tetapi inspirasi budaya asli Indonesia"
AIR