Ki S Patty:Lika-liku Kebatinan dan Agama Asli
User Rating: / 5
PoorBest
Catatan Mbah Soeloyo: Berikut adalah manuskrip paparan Ki Patty tentang pengamatan dan studinya dalam ranah 'Sosiologi Agama' seperti judul program studi yang beliau kepalai...: Ki Semuel berkisah tentang DEPAG dan arogansi pemerintah atas agama-agama dengan pijakan waktu sejak Kemerdekaan. Dah mudahan ada mangpangatnya:
KEBEBASAN BERAGAMA ADALAH HAK AZASI MANUSIA
Oleh: Ki Semuel Patty
Pendahuluan
Dalam studi sejarah perkembangan agama, setiap anggota masyarakat betapapun sederhana perkembangan masyarakat itu, mereka telah memiliki keyakinan akan adanya kemahakuasaan atau the supranatural being yang kita sebut sebagai agama atau religion. Karena itu agama adalah hal yang sangat esensial dalam kehidupan manusia. Jarang ditemukan suatu masyarakat di dunia yang tidak memiliki agama. Munculnya agama dalam masyarakat adalah berhubungan dengan usaha manusia agar ia dapat survive atau bertahan terhadap seleksi alam. Karena keterbatasan akal dan pengetahuan manusia pada masyarakat yang masih sederhana, padahal mereka sangat tergantung pada alam, maka akhirnya mereka berpendapat bahwa dalam kehidupannya ada "sesuatu" yang luar biasa yang memiliki kekuasaan yang dapat menghancurkan manusia dan juga dapat memberi kebahagiaan kepada manusia. Bilamana "ia" marah, maka dapat merugikan manusia, akan tetapi bila "ia" senang, akan memberi kesenangan dan kebahagiaan kepada manusia.{moscomment}
Oleh karena itu, bagi manusia sebagai anggota masyarakat, agama
adalah kebutuhan maha penting dan sangat esensial untuk memenuhi
kebutuhan hidupnya. Tanpa campur tangan siapapun, negara sekalipun
juga, manusia tetap membutuhkan agama sebagai keyakinannya. Dalam
masyarakat Jawa, sebelum datangnya agama-agama asing seperti Hindu,
Buddha, Islam dan Kristen, mereka sudah memiliki agamanya sendiri
yang dapat kita ketahui dalam kebudayaan dan peradaban Jawa yang
masih terpelihara. Memang dalam sejarah berkembangnya kerajaan-
kerajaan besar di Indonesia, selalu diwarnai oleh adanya pengaruh
agama Hindu atau Buddha dalam kerajaan itu. Akan tetapi hal itu
bukanlah berarti seluruh rakyat yang menganut agama Hindu atau
Buddha itu benar-benar melaksanakan dengan konsekuen ajaran agama
tersebut. Karena sudah barang tentu sistem kerajaan yang feodal,
agama yang dianut raja belum tentu ditaati sepenuhnya oleh seluruh
rakyat begitu saja. Begitu juga dalam proses pertemuan kedua agama
itu akan terjadi berbagai kemungkinan.
Sejarah Perkembangan Agama di Pulau Jawa
-----------------------------------------
Pengaruh Agama Hindu dan Buddha
Berdasarkan bukti sejarah, melalui prasasti Ciaruteun, prasasti Tugu
dan prasasti Kebun Kopi diketahui bahwa di Jawa Barat pada abad ke-4
telah ada sebuah kerajaan bernama Tarumanagara dengan rajanya yang
bernama Purnawarman yang beragama Hindu karena disebutkan adanya
pendeta-pendeta yang menyelenggarakan upacara agama Hindu, sedangkan
di daerah Kota Bangun, Kutai di Kalimantan juga ditemukan adanya
sebuah arca Buddha dan Wisnu dalam prasasti yang ditulis dalam
bahasa Pallawa disebutkan nama rajanya Mulawarman dengan tidak
menyebutkan nama kerajaannya. Diduga kerajaan-2 itu sudah berkembang
sejak permulaan abad Masehi. Kemudian pada abad ke-5 berkembang
kerajaan Kalinga di Jawa Tengah yang diperintah oleh seorang ratu
bernama Sima. Kemudian tidak banyak berita tentang perkembangan
agama Hindu di Jawa Tengah itu hingga abad ke-8.
Baru pada abad ke-8 terlihat begitu banyak aktivitas kegiatan dimana
melalui banyak prasasti dan bangunan-bangunan seperti candi-candi,
kita mengetahui bahwa kerajaan Mataram yang dipimpin oleh dinasti
Sanjaya yang mendapat pengaruh agama Hindu itu telah mengalami
kemajuan yang luar biasa karena kerajaan di pedalaman ini pasti
telah mengalami kemakmuran luar biasa sehingga rakyatnya dapat
digerakkan untuk membangun bangunan-bangunan keagamaan yang
mengagumkan. Jelas, bahwa pembangunan proyek-proyek fisik keagamaan
hanya dapat dilakukan apabila ada kesejahteraan yang tinggi dalam
masyarakat serta adanya sikap religius yang kuat sehingga mereka
dapat digerakkan untuk membangun proyek-proyek yang besar seperti
kompleks candi Prambanan, candi Sari, Plaosan dan kompleks candi-
candi di dataran tinggi Dieng.
Meskipun kerajaan Mataram Hindu itu begitu maju di bawah dinasti
Sanjaya, akan tetapi nampaknya kemudian telah terjadi perebutan
kekuasaan dengan dinasti Sailendra yang beragama Buddha melalui
suatu peperangan. Akan tetapi sebelum dinasti Sailendra mengalami
kekalahan, ia telah membangun bangunan agama yang merupakan proyek
raksasa berupa pembangunan candi Borobudur dan candi Mendut serta
candi Sewu yang begitu mengagumkan bagi dunia arsitektur pada jaman
itu. Nampaknya dinasti Sailendra tidak lama bertahan di Jawa Tengah,
karena kemudian ia memperlihatkan aktivitasnya di Sumatera Selatan.
Nampaknya dinasti Sailendra telah bekerja sama dengan kerajaan
Sriwijaya di Sumatera sejak abad ke tujuh dan setelah mengalami
kekalahan di Jawa Tengah akhirnya pindah ke Sumatera untuk terus
bekerja sama dengan kerajaan Sriwijaya yang menguasai kekuatan di
laut.
Sesudah abad ke-9 aktivitas kerajaan Mataram di Jawa Tengah tidak
banyak diketahui dan mungkin karena terjadinya bencana alam, hingga
aktivitas kerajaan di Jawa Tengah tidak nampak lagi, akan tetapi
mulai menonjol di Jawa Timur di bawah kekuasaan dinasti Sindok dan
di Jawa Timur aktivitas kerajaan-kerajaan di sana ditandai juga oleh
pengaruh dua agama dari India, Buddha dan Hindu. Kita dapat
simpulkan bahwa agama Hindu dan Buddha telah menunjukkan pengaruhnya
dalam kehidupan masyarakat di Jawa sejak abad ke-4 hingga abad ke-
XIII, yaitu suatu jangka waktu yang cukup panjang, sehingga sudah
tentu kedua agama itu sudah sangat meresap dalam kehidupan
masyarakat Jawa.
Meskipun demikian dengan adanya sistem upacara slametan yang masih
kuat diselenggarakan oleh masyarakat Jawa, kita dapat menduga bahwa
sisa-sisa kepercayaan Jawa asli masih tetap dipertahankan dan hal
ini dapat kita buktikan dengan perkembangan aliran-aliran kebatinan
Jawa yang bersemi dengan cepat yaitu pada saat dimana kehidupan
ekonomi masyarakat menjadi sangat sulit sekitar tahun 1930 ketika
dunia mengalami depresi ekonomi dan sekitar jaman penjajahan Jepang
di tahun 1942 - 1945, kemudian di saat masyarakat Indonesia
mengalami kesulitan ekonomi di sekitar tahun 1961 - 1965 dimana
Sukarno menjalankan politik berdikarinya serta tidak mau bekerjasama
dengan negara-negara kolonial hingga harus keluar dari PBB.
Pengaruh Agama Islam di Jawa
Berdasarkan bukti-bukti sejarah, diperkirakan masyarakat pantai
Utara Jawa Timur dan Jawa Tengah telah menerima agama Islam pada
abad ke-14 dan berkembangnya agama Islam ke Jawa adalah karena
pengaruh dari para pedagang Jawa yang berdagang dengan daerah di
semenanjung Malaka dan Sumatera Utara yang telah menerima agama
Islam pada abad ke-12. Itulah sebabnya agama Islam mulai berkembang
di kota-kota pesisir di pantai utara Jawa seperti Cirebon, Demak,
Tuban, Gresik, dan Surabaya. Agama Islam kemudian meresap ke dalam
masyarakat Jawa melalui pimpinan Kerajaan yaitu Raja. Diketahui
secara luas bahwa agama Islam disebarluaskan di Jawa oleh para Wali
atau Sunan yaitu orang yang dianggap suci dan dihormati,
diantaranya: Sunan Gunung Jati, Sunan Muria, Sunan Kudus, Sunan
Bonang, Sunan Giri, Sunan Drajat, Sunan Paku, Sunan Kalijaga, Syech
Sitijenar, Sunan Ngampel, dan Sunan Walilanang. Mereka dalam
menyebarkan agama Islam menggunakan kekuatan-kekuatan mistik.
Daerah paling penting dalam perkembangan Islam di Jawa adalah Demak
dan diduga bahwa Demak ini didirikan oleh seorang Cina yang beragama
Islam bernama Cek Ko Po. Dari Demak agama Islam kemudian disebarkan
ke seluruh daerah di Jawa Bahkan ke Maluku, Indonesia Timur. Raja
demak pertama ialah Raden Patah yang dianggap sebagai putera raja
Majapahit. Majapahit sebagai suatu kerajaan besar yang mempunyai
wilayah luas di Nusantara dengan rajanya Hayam Wuruk dan perdana
menterinya yang cakap patih Gajah Mada akhirnya runtuh karena
masuknya agama Islam. Rakyat Majapahit yang tidak mau menerima agama
Islam melarikan diri ke Bali dan pegunungan Tengger dan di kedua
daerah itu mereka berusaha mempertahankan agama mereka tetapi sangat
bercampur dengan agama asli masyarakat setempat yang kemudian atas
perjuangannya diakui oleh pemerintah sebagai agama Hindu Bali di
tahun 1964, sedangkan usaha untuk mengakui agama Buddha Tengger
ditolak oleh pemerintahan Suharto (Orde Baru).
Suatu hal yang menarik untuk diperhatikan adalah bahwa masyarakat
Jawa yang sudah lama menganut agama Hindu dan Buddha selama sepuluh
abad melalui beberapa generasi, setelah bertemu dengan agama Islam
yang baru, mereka kemudian menerimanya dan ini berarti Islam
memiliki daya tarik yang kuat bagi masyarakat waktu itu.
Agama Islam di Jaman Kemerdekaan
---------------------------------
Ketika Indonesia berhasil merebut kemerdekaan dan mendirikan Negara
Kesatuan Republik Indonesia, sebagian saudara-saudara yang bergama
Islam tidak puas ole karena keinginan mereka ialah agar negara yang
baru itu adalah negara yang berdasarkan agama Islam. Namun demikian,
setelah menempuh perdebatan politik,akhirnya kelompok nasionalis
menang karena Pancasila telah ditetapkan menjadi dasar negara.
Kelompok politik Islam mau menerimanya dengan syarat pemerintah
perlu mengadakan "departemen agama yang bertugas untuk mengurus
pelaksanaan pengiriman jemaah haji ke Mekah." Meskipun kesepakatan
bersama itu sudah diterima, akan tetapi sebagian tokoh Islam tidak
dapat menerimanya dan oleh karena itu pada bulan Mei 1949
Kartosuwiryo dari Garut Jawa Barat memproklamasikan dirinya sebagai
Imam atau pemimpin negara baru yang ia sebut Negara Islam Indonesia
dan yang lebih lazim disebut Darul Islam atau DI (dari bahasa Arab
dar al-Islam Artinya wilayah atau rumah Islam). Pemerintah Darul
Islam didasarkan pada hukum Islam dan diselenggarakan oleh para
Kyai. Gerakan ini mendapat dukungan luas di daerah Jawa Barat dan
Sulawesi Selatan dimana DI dipimpin oleh Kahar Muzakar dan Aceh yang
dipimpin oleh Daud Beureh. Gerakan DI ini mendapat dukungan dari
partai Masyumi akan tetapi kemudian dapat ditumpas oleh Pemerintah
Indonesia tahun 1955 yang didukung oleh TNI.
Pada tahun 1955 ketika diadakan pemilihan umum pertama di Indonesia,
ternyata kemenangan diraih oleh Partai Nasional Indonesia, kedua
oleh Masyumi, ketiga oleh NU dan ke-4 oleh Partai Komunis Indonesia,
ke-5 PSII, ke-6 Parkindo. Hasil ini menunjukkan bahwa partai-partai
Islam menunjukkan kegagalan meskipun dikatakan bahwa 90% penduduk
Indonesia beragama Islam. Memang kita harus menyadari bahwa tidak
semua orang yang beragama Islam tertarik memasuki partai Islam
karena banyak di antara mereka yang menjadi anggota Partai Nasional
Indonesia, bahkan anggota PKI, PSI, Murba dan lain-lain.
Ketika terjadi peristiwa G30S PKI, Suharto telah menuduh PKI sebagai
pelaku Cup de `Etat dengan melakukan pembunuhan kejam atas beberapa
Perwira militer dan akibatnya PKI kemudian dinyatakan sebagai partai
terlarang dan disusul dengan penumpasan dan penangkapan atas orang-
orang yang dianggap sebagai PKI atau simpatisannya. Akibat dari
peristiwa itu, tidak sedikit masyarakat Indonesia terutama dari
kalangan orang Jawa yang dibunuh bukan saja oleh militer tetapi juga
oleh pemuda-pemuda Islam. Di Jawa Timur, Gerakan Pemuda Ansor dari
NU diberi semangat bahwa jika seorang berhasil membunuh seorang PKI,
maka nilainya sama dengan menunaikan ibadah haji sebanyak 4 kali.
Demikian banyak orang yang meskipun bukan PKI tetapi dituduh PKI
karena pelbagai alasan yang dibuat, umpamanya bila ada yang memiliki
rumah bagus ataupun isteri cantik maka bisa saja dituduh PKI dan
kemudian dibunuh sehingga hartanya dapat dirampas. Suharto sendiri
telah mengambil alih harta beberapa pejabat militer yang dituduh PKI
tanpa melalui proses peradilan/hukum.
Kita menyadari bahwa situasi ekonomi pada saat itu memang sangat
sulit oleh karena mental para pejabat yang korup dan Sukarno sedang
berusaha untuk merebut kembali Irian melalui kekuatan Mmiliter
dengan komando Trikoranya pada tahun 1961 dan melaksanakan politik
Berdikari (berdiri diatas kaki sendiri, Artinya Indonesia jangan
mengharapkan bantuan negara lain) sehingga telah mengisolasi
Indonesia dari negara Barat dan membangun aliansi politik baru
dengan negara-negara komunis: Rusia dan Cina, Vietnam dan Korea
Utara dengan mengumumkan poros Jakarta-Phnompenh-Hanoi-Beijing-
Pyongyang pada pidato 17 Agustus 1965.
Setelah PKI dilarang, Partai Nasional Indonesia juga mengalami
dampak politik tersebut. Hal ini disebabkan oleh sering
disebutkannya bahwa Marhaenis adalah Marxis yang diterapkan di
Indonesia oleh pimpinan PNI dan akibatnya banyak juga pemimpin PNI
yang terlibat atau terpengaruh pemikiran PKI. Akibatnya PNI terpecah
menjadi PNI Ali Surahman dan PNI Osamalika-Usep sehingga situasi
politik menjadi kacau dan diramalkan kekuatan politik Islamlah yang
akan muncul dengan tidak ada pesaing lain dan kekuatan Islam mulai
muncul dengan memberi tekanan kepada semua kekuatan politik yang ada
(sebagaimana kita ketahui pada waktu itu berlaku penghimpunan
kekuatan melalui apa yang ikenal dengan NASAKOM).
Pada saat dan kondisi yang serba tidak menentu itu, keluar
pernyataan-pernyataan dari kelompok Islam yang menyatakan bahwa
barang siapa yang tidak menganut suatu agama, ia dituduh sebagai PKI
dan itu berarti ia dapat dibunuh atau ditangkap dan dijebloskan ke
dalam penjara. Dengan demikian agar seseorang terhindar dari
pembunuhan yang dilakukan oleh para pemuda Islam ataupun tentara, ia
harus berusaha menyelamatkan diri dengan cara memasuki suatu agama
tertentu. Jadi beragama adalah agar supaya terhindar dari tuduhan
sebagai PKI. Inilah situasi pelanggaran hak azasi yang terbesar yang
pernah dilakukan oleh kelompok Islam dan pemerintah pada periode
1966 - 1970 sehingga dengan demikian ada banyak orang Jawa yang
terpaksa harus memeluk agama Islam. Demikian juga pada waktu itu
tidak sedikit orang Jawa yang menjadi penganut agama Kristen. Dalam
laporan dari gereja-gereja di Jawa sesudah tahun 1966, mereka
dibanjiri oleh masyarakat yang ingin dibaptis menjadi Kristen. Jadi
menganut agama bukanlah karena keyakinan untuk memuja Yang Maha
Kuasa melainkan hanya demi terlindung dari ancaman pembunuhan
politik.
Kebatinan Jawa suatu Pergerakan Keagamaan
-------------------------------------------
Kebatinan Jawa sebenarnya adalah peninggalan tradisi agama Jawa asli
sebelum adanya pengaruh agama-agama besar (Hindu, Buddha, Islam dan
Kristen). Setelah masuknya Hindu, Buddha, Islam dan Kristen, maka
terjadilah akulturasi budaya dimana agama asli penduduk bercampur
dengan agama baru. Dalam proses akulturasi itu, biasanya terjadi
beberapa kemungkinan. Pertama, unsur-unsur agama baru diterima akan
tetapi unsur agama lama tidak hilang dan bercampur dengan unsur
agama baru (contoh Islam abangan dimana ia menyebut dirinya Islam,
teapi melaksanakan upacara-upacara selamatan dan tidak berdoa
sebagaimana mestinya orang Islam). Kedua, unsur-unsur agama baru
makin menguat dan mendominasi unsur agama lama makin menghilang
(contoh agama Kristen dalam budaya Batak). Ketiga, unsur agama baru
bercampur dengan unsur agama lama dan menghasilkan agama baru yang
memiliki cirri tersendiri (contoh agama Hindu Bali yang berbeda
dengan ajaran Hindu di Hindustan). Keempat, unsur agama lama
mengalami revival dan menjadi menonjol meskipun menggunakan juga
unsur-unsur agama baru (contoh agama Wudu di Brasilia). Dengan empat
kemungkinan dalamproses akulturasi ini, kita akan mempelajari
pelbagai aliran kebatinan yang berkembang di Jawa.
Berbicara mengenai aliran kebatinan jawa, terdapat berbagai variasi
diantara kelompok-kelompok aliran tersebut. Selain kita mengenal
aliran-aliran kebatinan, kita juga mengenal apa yang disebut
Kejawen. Cliford Geertz memberi judul disertasinya "Religion of
Jawa" atau agama Jawa tetapi ia menjelaskan Kejawen sebagai ilmu
Jawi atau Javanese-ism (Geertz 1960:339). Kejawen adalah segala adat
istiadat masyarakat orang Jawa khususnya Jawa Tengah yang merupakan
warisan leluhur yang tidak termasuk dalam hukum Islam. Atau tradisi
Jawa yang berhubungan dengan keyakinan agama mengenai ketuhanan,
peribadatan atau keimanan di luar Islam (Kamil Kartapraja, 1985:59).
Kejawen sering juga disebut agami Jawi yaitu sistem budaya dari
agama yang dianut orang Jawa dimana terdapat keyakinan akan adanya
Tuhan, yakni akan adanya dewa-dewa tertentu yang menguasai alam
serta memiliki konsep-konsep tentang hidup dan kehidupan setelah
kematian, yakni akan adanya makhluk-makhluk halus penjelmaan nenek
moyang yang sudah meninggal, yakin adanya roh-roh penjaga, yakin
akan adanya setan-sentan, hantu, dan rasaksa dan yakin akan adanya
kekuatan-kekuatan gaib dalam alam semesta (Koentjaraningrat 1984:319)
Sedangkan kebatinan Jawa adalah praktek-praktik spiritual didasarkan
pada alam pemikiran Jawa yang terwujud dalam aliran-aliran atau
sekte-sekte yang dipimpin oleh seorang guru yang kemudian memberi
ajaran-ajaran tertentu untuk mencapai kebahagiaan hidup. Beberapa
pemikiran yang disampaikan Niel Mulder tentang kebatinan antara
lain: Kebatinan dianggap sebagai intipati dari Javanisme: gaya hidup
orang Jawa ialah kebatinan yaitu gaya hidup yang memupuk batinnya
agar dapat mencapai suatu hubungan langsung dengan Yang Maha Kuasa
yang disebut dengan faham manunggaling kawula Gusti. Dalam kebatinan
Jawa terdapat banyak aliran yang sangat bervariasi ajarannya. Tetapi
umumnya aliran-aliran kebatinan menganjurkan untuk mengosongkan
batin sehingga dapat diisi dengan kehadiran Yang Maha Kuasa.
Hasil penelitian penulis menunjukkan bahwa aliran-aliran kebatinan
yang besar muncul sekitar tahun 1930 yaitu aliran kebatinan Pangestu
yang dirintis oleh R. Sunarto Mertowerdoyo. Kita tahu bahwa pada
waktu itu keadaan ekonomi dunia berada dalam situasi yang sangat
sulit akibat depresi ekonomi dunia dan tentu membawa dampak juga ke
masyarakat di Jawa. Tujuan utama dari ajaran Pangestu ialah
mengantar umat manusia kepada kesejahteraan abadi di pangkuan sang
Suksma Kawekas (Tuhan) dan memperkokoh para anggotanya untuk
kesejahteraan umat manusia dan Negara.
Munculnya banyak ajaran kebatinan baru yang dicatat oleh Departemen
Kehakiman ialah pada periode 1955 - 1966. Akibat banyaknya muncul
aliran-aliran kebatinan baru sehingga dibentuklah organisasi oleh
Kejaksaan Agung yaitu PAKEM (Pegawas Aliran Kepercauaan Masyarakat)
untuk memantau jangan-jangan aliran-aliran itu adalah tempat
persembunyian anggota PKI, dan sering kali kelompok Islam menuduh
aliran kebatinan sebagai tempat persembunyian anggota PKI. Karena
itu harus dilarang atau ditindak. Sebenarnya PAKEM pertama kali
didirikan oleh Departemen Agama pada tahun 1954 dengan tujuan untuk
mengerem lajunya pertumbuhan aliran kebatinan karena pada waktu itu
sudah terdapat kira-kira 360 aliran kebatinan sebagai agama baru.
Usaha Gerakan Kebatinan untuk Menjadi Agama
--------------------------------------------
Untuk pertama kali yaitu pada tahun 1955 diadakan Kongres Gerakan
Kebatinan yang pertama di Semarangf yang dihadiri oleh 680 orang
mewakili 67 aliran kebatinan. Dalam kongres itu dibenruk Badan
Kopngres Kebatinan Indonesia yang diketuai oleh Wongsonegoro SH.
Kemudian pada tanggal 7 - 10 Agustus 1956 BKKI menyelenggarakan
kongres kedua di Solo dan dalam kongres ini didefinisikan kebatinan
sebagai "sepi ing pamrih, rame ing gawe, memayu hayuning bawana".
Dalam kongrs itu ditegaskan bahwa kebatinan bukan agama baru,
melainkan usaha untuk meningkatkan mutu semua agama. Tahun
berikutnya yaitu tahun 1957 ketika diadakan musyawarah di Jogya,
Dewan Musyawarah BKKI meminta kepada presiden Sukarno untuk
menyamakan BKKI dengan agama-agama yang lain. Dalam kongres BKKI
yang keempat di Malang pada Juli 1960, Kongres menetapkan bahwa pada
dasarnya Kebatinan dan agama adalah sama, karena agama
menitikberatkan kepada penyembahan kepada Tuhan, sedangkan kebatinan
menekankan pengalaman batin dan penyempurnaan manusia. Pada tanggal
28 - 29 Januari 1961 diadakan Seminar Kebaginan BKKI II di Jakarta
dan diusulkan agar pengajaran Kebatinan diberikan juga di sekolah-
sekolah. Akan tetapi pada tahun itu juga Menteri Agama mengemukakan
definisi agama dengan maksud menolak aliran kebatinan sebagai agama
dan tidak memberinya tempat sebagai agama di seluruh Indonesia.
Ditetapkan oleh Departemen Agama bahwa agar suapaya suatu badan
kemasyarakatan dapat diterima sebagai agama, ia harus memiliki kitab
suci, nabi dan mengakui kekuasaan Tuhan yang Maha Esa serta memiliki
sistem hukum bagi penganutnya.
Antara tahun 1963 - 1964 Gerakan Kebatinan semakin meluas dan jumlah
aliran kebatinan telah mencapai 360 aliran tetapi terjadi banyak
infiltrasi golongan komunis ke dalam gerakan kebatinan sehingga BKKI
sebagai federasi tidak mampu menertibkan aliran-aliran kebatinan
yang tergabung di dalamnya dan pertentangan dengan kelompok agama
Islam semakin meruncing dan saling menfitnah di antara keduanya.
Pada tahun 1973 ketika Sidang MPR kelompok Kebatinan (Kepercayaan)
diberikan kedudukan yang sejajar dengan agama dalam GBHN yang
disusun oleh MPR, tetapi Partai Persatuan Pembangunan sebagai Partai
Islam berusaha agar kata "dan" pada kalimat "Kehidupan keagmaan dan
kehidupan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa diganti denan
garis miring, akan tetapi usaha itu gagal. Dalam GBHN tahun 1973 Tap
MPR No. IV agama dan kebatinan mempunyai kedudukan yang sama dan
sejak itu kelompok kebatinan mendapat hak untuk penyiaran di TVRI,
Koran dan lain-lain. Sehingga semangat untuk mendukung perkembangan
kebatinan semakin berkembang dalam masyarakat.
Pada sidang MPR 1978, PPP berkeberatan untuk aliran kebatinan
dijadikan agama dan karena itu dalam sidang MPR itu ditetapkan
kebatinan bukan agama tetapi kebudayaan dan untuk itu dalam
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan diadakan direktorat baru yaitu
Direktorat Himpunan Penghayat Kepercayaan terhadap Tuhan yang Maha
Esa (HPK) akan tetapi dalam masa reformasi yang dimulai tahun 1998
melalui ketetapan MPR oleh kekuatan politik Islam, kelompok aliran
kepercayaan kembali dikeluarkan dari Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan dan ditempatkan dalam Departemen Pariwisata, namun
keberadaannya sekarang tidak jelas lagi, dalam keputusan MPR itu
dikatakan bahwa aliran-aliran kepercayaan dikembalikan kepada agama-
agama yang ada.
Penutup
-------
Masalah penyembahan kepada Tuhan atau masalah agama,bukanlah masalah
Negara tetapi adalah hak azasi manusia yang secara bebas dapat
memilih agama atau kelompok kepercayaan yang cocok bagi seseorang.
Hal ini tidak dapa diatur oleh negara sebagaimana yang kita alami
saat ini di Indonesia.
Departemen agama, dalam menjalankan fungsi dan tugasnya lebih banyak
untuk kepentingan agama Islam dan tidak dinikmati oleh agama-agama
lain termasuk kelompok-kelompok agama suku atau agama asli Indonesia
dan kelompok Kebatinan yang jumlah anggotanya tidak sedikit.
Melihat banyak pejabat Negara yang melakukan korupsi dan
penyalahgunaan jabatan dan ternyata mereka juga merupakan orang
beragama, ini menunjukkan bahwa agama tidak lagi mampu membina
warganya. Maka kelompok kebatinan perlu mengambil peran untuk
membina warga bangsa agar menjadi insan masyarakat yang patuh kepada
ajaran moral demi kemajuan kepentingan bangsa.
Mengingat banyak kekacauan dan kerusuhan sering digunakan oleh orang-
orang yang mengatas-namakan kelompok agama, dan ternyata Departemen
Agama tidak lagi mampu membina kelompok-kelompok agama tersebut, dan
juga kelompok agama Islam telah banyak melakukan pengrusakan
terhadap gedung-gedung ibadah dari kelompok agama lain, maka hal ini
telah meresahkan kehidupan beragama dan kesatuan bangsa. Untuk itu
kelompok kebatinan Jawa perlu mengambil inisiatif untuk
menenteramkan dan menyejukkan situasi dengan banyak menyampaikan
pesan-pesan melalui pertemuan-pertemuan diskusi maupun sarasehan
seperti yang dilakukan pada hari ini untuk diteruskan kepada
pemerintah.
Dalam iklim globalisasi dan reformasi di tanah air, kelompok
kebatinan Jawa harus bangkit dan melakukan revival untuk memajukan
ajaran-ajaran yang merupakan nilai-nilai luhur kebudayaan Jawa yang
juga merupakan warisan nenek moyang untuk dikembangkan bagi
kesejahteraan dan kebahagiaan hidup generasi yang akan datang.
Semoga ajaran-ajaran yang memiliki nilai-nilai luhur kebudayaan
bangsa dapat dilestarikan demi kepentingan umat manusia.
[Salatiga, 2 September 2005]
{moscomment}
http://www.superkoran.info/content/view/137/88888889/