NASIB AGAMA ASLI INDONESIA SAAT INI

a/l ttg hak2 kaum dhimmi, kafir, minoritas non-Muslim, murtadin, musryikun dlm Islam.
Laurent
Posts: 6083
Joined: Mon Aug 14, 2006 9:57 am

NASIB AGAMA ASLI INDONESIA SAAT INI

Post by Laurent »

Perlukah negara tetapkan status agama?
Terbaru 5 April 2011 - 04:50 GMT
Facebook Twitter Kirim kepada teman Print page .
Umat Ugamo Parmalim tengah melaksanakan ibadah mingguan di Tangerang, Banten.
Sebagian besar warga Indonesia pasti akan menjawab ada lima agama besar yang diakui negara. Kelima agama itu adalah Islam, Kristen Protestan, Kristen Katolik, Hindu dan Budha.

Beberapa orang lainnya mungkin akan menambahkan Kong Hu Cu setelah negara mengakui Kong Hu Cu sebagai keenam.

Berita terkaitRibuan Injil akan 'dimusiumkan' Dialog soal Ahmadiyah tetap berlangsung Agama diperkirakan akan matiLink terkait
agamaNamun banyak yang tidak menyadari bahwa di Indonesia ternyata hidup banyak agama lain selain keenam agama besar itu.

Direktorat Kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata mencatat ratusan agama dan kepercayaan asli Indonesia masih memiliki pengikut hingga saat ini.

"Menurut data yang kami miliki ada sekitar 200-an agama dengan jumlah pengikut sekitar 9 juta jiwa," kata Direktur Kepercayaan kepada Tuhan yang Maha Esa Gendro Nurhadi kepada BBC Indonesia.

Tetapi, lanjut Gendro, angka yang disebutkannya itu bukanlah sebuah data pasti. Sebab, jumlah organisasi keagamaan asli Indonesia ini tidak menentu.

"Jumlah pastinya tidak bisa dipastikan. Karena ada agama yang setelah pemimpinnya meninggal dunia organisasinya tidak dilanjutkan," papar Gendro.

Agama-agama asli Indonesia semisal Parmalim, Sunda Wiwitan, Kapribaden dan Kaharingan sudah terlebih dulu eksis dan memiliki pengikut jauh sebelum agama-agama Samawi dari Timur Tengah dan Asia Selatan merambah Nusantara.

"Jauh sebelum agama-agama Samawi datang ke Indonesia, masyarakat Batak sudah memiliki konsep Tuhan dan kehidupan beragama. Sudah ada keyakinan kepada Tuhan pencipta alam semesta," kata salah seorang penganut Ugamo Malim atau Parmalim Maringan Simanjuntak.

Begitu pula dengan kepercayaan Kapribaden yang dianut sebagian warga etnis Jawa diyakini sudah ada sejak jaman dahulu.

Kapribaden adalah kepercayaan yang menekankan pengenalan dan pengendalian pribadi untuk mengenal Tuhan Yang Maha Esa. Kepercayaan ini pertama kali muncul di Purworejo, Jawa Tengah.

"Jelas, kapribaden sudah ada sejak jaman dahulu, sebelum agama ada di Indonesia. Namun secara organisasi kami baru resmi terbentuk 1978 dan terdaftar di Departemen Dalam Negeri tahun 1981," kata pinisepuh Paguyuban Kapribaden Hartini Wahyono.

Salah kaprah"Dalam penjelasannya tidak berarti agama-agama lain tidak diakui atau dilarang di Indonesia"

Anick HT
Dengan kenyataan banyaknya agama-agama asli di Indonesia yang tak membuat pengakuan negara menimbulkan banyak pertanyaan.

Sebab, di Indonesia tak satupun undang-undang yang secara tegas menyebut agama-agama yang dianggap resmi dan diakui negara.

Satu-satunya peraturang perundangan yang menyebutkan nama-nama agama yang dianut rakyat Indonesia hanyalan Undang-undang nomor 1/PNPS/1965 tentang penodaan agama.

"Tetapi dalam penjelasannya tidak berarti agama-agama lain tidak diakui atau dilarang di Indonesia," kata Direktur Indonesian Conference on Religion and Peace (ICRP) Anick HT.

Sehingga, lanjut Anick, anggapan bahwa negara hanya mengakui enam agama resmi di Indonesia adalah salah kaprah.

"Kenapa itu salah kaprah? Sebab undang-undang itu diterjemahkan secara salah oleh pejabat-pejabat masa Orde Baru," lanjut Anick.

Anggapan adanya agama resmi, tambah Anick, berasal dari surat edaran menteri dalam negeri.

"Tapi itu konteksnya adalah soal pengisian kolom agama di KTP," papar Anick.

Tak ada larangan
Menteri Agama mengklaim negara menjamin kebebasan beragama.
Menanggapi masalah ini, Menteri Agama Surya Darma Ali menyatakan negara pada dasarnya menjamin kebebasan semua agama untuk hidup dan berkembang di Indonesia.

"Di Indonesia ini bebas, Kristen, Katolik, Islam, Hindu, Budha, Sikh, Zoroaster, Tao, animisme, dinamisme kan tidak ada yang melarang. Tetapi agama-agama itu tidak bersinggungan dengan agama lain," kata menteri yang berasal dari Partai Persatuan Pembangunan itu saat ditemui BBC Indonesia.

Agama-agama yang tidak disebutnya, lanjut Surya Darma, bukan berarti negara melarang mereka untuk tumbuh dan berkembang.

"Kalau sebuah komunitas menyebut kepercayaan itu sebagai agama, maka jadilah dia agama," tambah Surya Darma.

Jika menyimak penjelasan Menteri Agama itu, terkesan negara memberikan kesempatan yang sama bagi seluruh agama untuk berkembang.

Namun, pada kenyataannya pemerintah malah tidak mengkatagorikan agama dan kepercayaan asli Indonesia sebagai agama.

"Pada tahun 1978, negara memasukkan agama-agama asli dimasukkan ke dalam Departemen Kebudayaan, karena dianggap sebagai sebuah budaya spiritual bukan agama," kata Gendro Nurhadi.

Sebelumnya keputusan itu, papar Gendro, agama dan kepercayaan asli Indonesia menjadi tanggung jawab Kementerian Agama.

Uniknya, keputusan mengkatagorikan agama dan kepercayaan Indonesia ke dalam ranah kebudayaan tak dilandasi kriteria yang memadai.

“Kriteria resmi tidak ada. Kepercayaan kepada Tuhan itu bukan agama. Itu saja,” papar Gendro.

Dan nampaknya pemerintah tak menyadari bahwa keputusan tersebut berujung dengan terabaikannya hak-hak sipil warga pemeluk agama-agama yang tak dianggap resmi itu.

http://www.bbc.co.uk/indonesia/laporan_ ... satu.shtml
Laurent
Posts: 6083
Joined: Mon Aug 14, 2006 9:57 am

Re: NASIB AGAMA ASLI INDONESIA SAAT INI

Post by Laurent »

Hak-hak sipil yang terabaikan
Terbaru 5 April 2011 - 04:54 GMT
Facebook Twitter Kirim kepada teman Print page .
Pemeluk Hindu Kaharingan masih kerap mendapat diskriminasi dalam beberapa hal.
Salah satu kesulitan akibat tak diakuinya aliran kepercayaan dan agama-agama asli Indonesia sebagai agama adalah dalam dunia pendidikan.

Di sekolah, para siswa siswi yang datang dari keluarga penganut ajaran kepercayaan terpaksa harus beragama lain saat berada di lingkungan sekolah.

Berita terkaitPerlukah negara tetapkan status agama?Ribuan Injil akan 'dimusiumkan' Agama diperkirakan akan matiLink terkait
agamaSalah satu contoh adalah Yeti Riana Rahmadani seorang siswi sekolah menengah atas di Bekasi, Jawa Barat.

Yeti yang menganut Kapribaden "terpaksa" memilih agama Islam untuk mata pelajaran agama. Sejauh ini, aku Yeti, dia tak menghadapi kendala apapun.

"Saya mengikuti pelajaran (agama Islam) di sekolah, tapi saya tetap kapribaden," kata Yeti.

Meski mengaku tak menemukan masalah dengan pelajaran agamanya namun terkadang kawan-kawannya tak urung mempertanyakan kadar keagamaannya.

"Kadang-kadang temen bilang, Yeti Islamnya KTP doang. Memangnya kamu shalat di rumah," kisah Yeti menirukan pertanyaan beberapa teman sekolahnya.

Sementara itu, Hedi Purwanto mahasiswa Universitas Negeri Jakarta penganut aliran kepercayaan, juga mencantumkan Islam sebagai agamanya di dalam KTP.

Masalah muncul saat Hedi kerap tidak terlihat dalam ibadah rutin umat Islam, misalnya ibadah shalat Jumat.

"Teman sering menanyakan kenapa saya tidak Jumatan. Saya terkadang menjawab saya belum dapat hidayah," kata Hedi sambil tertawa.

Sementara itu, seorang penganut Parmalim Mulo Sitorus mengatakan masalah tak diakuinya agama-agama asli Indonesia ini menyebabkan anak-anak Parmalim sulit mendaftarkan diri ke Perguruan Tinggi.

"Sekarang (pendaftaran) dilakukan secara online lewat internet. Masalahnya dalam formulir pendaftaran online hanya dicantumkan kolom enam agama," kata Mulo.

Dosa besarDiskriminasi dalam dunia pendidikan ini hanyalah satu dari sederet masalah yang dialami para pemeluk agama dan kepercayaan asli Indonesia ini.

"Ini adalah sebuah hipokrisi publik yang dilegalkan negara. Dan menurut saya ini adalah dosa besar"

Anick HT
Para pemeluk agama Kaharingan di Kalimantan Tengah juga menghadapi diskriminasi. Padahal sejak tahun 1980, agama Kaharingan sudah berada di bawah naungan Agama Hindu yang diakui negara.

"Kami masih sulit bersaing meski kami memiliki pendidikan yang sama. Kami sering kalah sebelum berkompetisi misalnya dalam perekrutan pegawai negeri sipil, para penganut Hindu Kaharingan selalu disisihkan,” kata Susanto Kurniawan seorang penganut Hindu Kaharingan.

Kondisi seperti ini, menurut Direktur Indonesian Conference on Religion and Peace (ICRP) Anick HT, mengakibatkan kebingungan di kalangan penganut agama dan kepercayaan asli Indonesia.

"Akibat diskriminasi banyak dari mereka yang memilih salah satu agama misalnya Islam atau Kristen," papar Anick.

"Secara public mereka Islam, misalnya. Namun, mereka tidak menikmati ke-Islaman mereka. Ini adalah sebuah hipokrisi publik yang dilegalkan negara. Dan menurut saya ini adalah dosa besar," tegasnya.

Akibat kondisi ini, dalam jangka panjang keberadaan aliran kepercayaan dan agama asli Indonesia terancam kepunahan.

"Pada sekitar 1965 penganut kepercayaan ini menjadi sasaran pembunuhan karena dianggap komunis akibat tidak memilih salah satu agama," tekan Anick.

"Ada fakta bahwa pengikut kepercayaan semakin berkurang. Penyebabnya, selain pembunuhan, juga tergerus akibat konversi ke agama lain," terangnya.

http://www.bbc.co.uk/indonesia/laporan_ ... adua.shtml
User avatar
APEL EMAS
Posts: 903
Joined: Wed Aug 25, 2010 11:42 am
Location: PIKIRAN JERNIH DAN AKAL SEHAT

Re: NASIB AGAMA ASLI INDONESIA SAAT INI

Post by APEL EMAS »

kasihan juga melihat nasib bangsa ini...!! hanya agama islam yang selalu memaksakan ajarannya...!! tapi gua percaya hukum karma atau hukum tabur tuai...!!!
siapa yang menabur kejahatan akan menuai kejahatan...!!! islam akan semakin di benci di dunia ini...!!!
NEMO
Posts: 47
Joined: Sat Feb 06, 2010 9:28 am

Re: NASIB AGAMA ASLI INDONESIA SAAT INI

Post by NEMO »

sebenarnya negara tidak usah mencampuri urusan agama tiap penduduknya…pencantuman kolom agama pada KTP adalah penyesatan yang nyata…menimbulkan diskriminasi bagi minoritas…semua itu dimulai pada jaman soeharto…demi naik "tahta", dia memanfaatkan muslim yang suka gelap mata kalo udah liat kapir untuk membantu menghabisi kaum komunis yang dianggap tidak bertuhan…

pengadaan pelajaran agama di sekolah adalah hal konyol berikutnya…contohnya anak kristen yang celakanya sekolah di sekolah negeri yang mayoritas muslim g bakal dapet pelajaran agama…karena mereka minoritas…bahkan ada sekolah negeri di daerah saya yang mewajibkan semua siswinya berjilbab…ini sungguh konyol…apakah ntar kalo ada penganut kepercayaan yang bersekolah disitu juga akan mengenakan jilbab seperti muslim???g habis pikir dah…

contoh lain adalah agama siwa budha yang dulu dianut oleh majapahit sekarang perlahan2 telah hilang eksistensinya di Jawa Timur yang dulunya merupakan pusat kerajaan majapahit…para penganutnya sering mendapat terror dan ancaman dari muslim…bahkan untuk mengadakan upacara keagamaan saja dilarang sehingga harus ngungsi ke Bali…anda bisa tanya sri brahmaraja…

kalaupun nasib agama asli indonesia terpuruk seperto ini…kesalahan akan saya timpakan pada soeharto dan muslim2 di belakangnya…merekalah yang bertanggung jawab…
Laurent
Posts: 6083
Joined: Mon Aug 14, 2006 9:57 am

Re: NASIB AGAMA ASLI INDONESIA SAAT INI

Post by Laurent »

Gus Dur Pergi Tinggalkan Pesan Nakal
5 Januari 2010 - 13:53 WIB

Gus Dur pergi meninggalkan banyak pelajaran bagi bangsa Indonesia. Juga warga dunia. Pesan-pesan mendalam dibingkai guyon nakal.

"Ngono yo ngono ning ojo ngono." Itulah salah satu ungkapan terkenal yang sering dilontarkan Semar, Gareng, Petruk, dan Bagong, punakawan dalam tokoh pewayangan Jawa. Sosok rakyat biasa yang rendah hati, tapi guyonannya kerap mengingatkan kita mengenai pentingnya nilai tradisi.

Bentuk tubuh yang lucu, pendek, gendut, membuatnya tidak terlalu diperhitungkan. Namun, kehadirannya selalu dinanti. Wejangan yang orisinal melalui guyonan itu bisa membuat kita langsung tertawa. Namun juga merangsang nalar untuk berpikir panjang, introspeksi, dan akhirnya mengakui, “'Benar juga ya....”

Begitulah Semar, Gareng, Petruk, dan Bagong. Simbol rakyat jelata yang senantiasa mengingatkan penguasa saat tidak peduli terhadap rakyat. Biar bagaimanapun, rakyat mempunyai kewajiban dan hak untuk senantiasa mengingatkan ketika pemerintah mulai keblinger. Bentuk pengingatan itu juga ada yang mengartikan bentuk kekuatan rakyat (people power) atau dalam bahasa Latin vox populi vox dei yang berarti suara rakyat adalah suara Tuhan.

Hal senada sering dilakukan KH Abdurrahman Wahid yang kerap melontarkan humor segar tapi kritis. Tak jarang joke Gus Dur mengundang polemik dan kontroversi. Dasar Gus Dur, ketika banyak kritik, dia enteng menanggapi, “Gitu aja kok repot!”

Sekilas sederhana. Tapi celutukan itu sebenarnya mengandung makna yang kuat. Misalnya saja dalam sambutan pada sidang paripurna Dewan Perwakilan Rakyat, Gus Dur sebagai Presiden Republik Indonesia mengatakan, “DPR kita sudah turun pangkat, dari TK menjadi playgroup.” Tentu saja para wakil rakyat yang terhormat gusar. Namun, demikianlah cara Gus Dur mengingatkan. Sebagai wakil rakyat seharusnya lebih mengedepankan kepentingan rakyat, bukan justru ribut dan saling hantam.

Menengok salah satu pemikiran Mohammad Hatta bahwa membangun demokrasi adalah mengajari rakyat agar cerdas, mengerti persoalan ekonomi, politik, hukum, dan tidak hanya mengekor. Gus Dur menawarkan ajaran dengan cara berbeda. Serius tapi santai. Mungkin pula “bebas, boleh agak tidak sopan”. "Dengan lelucon, kita bisa sejenak melupakan kesulitan hidup. Dengan humor, pikiran kita jadi sehat," kata Gus Dur.

Pelajaran Demokrasi
Di tangan Gus Dur, demokrasi menjadi bahasa yang sederhana dan mudah dipahami oleh siapa saja, tanpa mengurangi substansinya. Tidak harus diucapkan, tapi lebih sering ditunjukkan melalui tindakan. Bahkan aturan dan protokoler Istana Negara dihancurkan. Para kiai Nahdlatul Ulama bisa bebas masuk Istana Negara hanya mengenakan sarung dan sandal. Saat Gus Dur menjadi presiden, Medan Merdeka Utara dikembalikan menjadi istana rakyat. "Gus Dur orang yang berani. Beliau tidak takut dibenci teman dan musuh politiknya. Bahkan, juga tidak takut kehilangan kekuasaannya," kata Engkus Ruswana, Ketua Presidium Badan Kerja Sama Organisasi epercayaan.

Bagi para penganut kepercayaan, Gus Dur tidak hanya seorang guru bangsa, tapi juga sosok humanis yang berani membela tanpa takut. Dalam sebuah pembicaraan, Engkus pernah bertanya kepada Gus Dur, aliran kepercayaan yang diyakininya benar atau salah. Tak diduga, cucu pendiri NU, KH Hasyim Ansyari, ini menjawab dengan “cerdas”, "Saya juga penganut kepercayaan."

Menurut Gus Dur, Islam juga terkandung nilai lokal seperti ajaran kepercayaan dan penghayat. Dan di Indonesia, penganut kepercayaan bukanlah kelompok minoritas, melainkan sebaliknya. "Beliau sempat berpesan, janganlah takut memperjuangkan hak, karena Tuhan memberikan hak yang sama kepada semua orang," kenang Engkus.

Ada kalanya Gus Dur “agak” serius. Salah satunya pesan mengenai umat beragama. "Seluruh umat bertanggung jawab atas masa depan bangsa. Boleh berantem satu sama lain, tapi keselamatan bangsa tetap diutamakan," katanya suatu ketika. Bisa diartikan, kepentingan yang terbesar adalah kepentingan masyarakat, dan bangsa. Semua ajaran agama dan kepercayaan mengajarkan hal tersebut.

"Kami sangat berutang kepada beliau. Gus Dur tidak hanya sebagai ayah, teman, tapi juga guru bangsa. Beliau selalu mengingatkan kita dan telah mewariskan nilai. Dan tugas kita untuk melanjutkan," kata Ahmad Mubarik, dari Jemaat Ahmadiyah Indonesia.

Selain sebagai mantan presiden keempat Indonesia, Gus Dur juga dikenal sebagai bapak pluralisme. Konsep pluralismenya dinilai tidak ada duanya di Indonesia. Tak heran bila Gus Dur mendapat anugerah Medals of Valor dari The Simon Wiesenthal Center, Amerika Serikat. Ketika semua orang beranggapan miring terhadap budaya Imlek, Gus Dur justru menjadikan Imlek sebagai hari libur nasional. Gus Dur mencabut Inpres Nomor 14/1967, produk Orde Baru, yang melarang perayaan Imlek oleh kaum Tionghoa.

Peringatan Nyeleneh
Tidak hanya humornya yang selalu mengingatkan, sikap nyeleneh cucu pendiri Nahdlatul Ulama ini juga sarat niat mengingatkan. Mungkin kita masih ingat bagaimana reaksi kalangan Islam ketika Gus Dur melakukan kunjungan negara ke Israel pada tahun 1994. Kunjungan ini juga dilanjutkan imbauan agar Indonesia membuka hubungan diplomatik dengan Israel. Gus Dur sadar betul, betapa kejam Israel terhadap Palestina. Namun, untuk mengubah sikap buruk tidak harus dengan cara memusuhi. Nabi Muhammad juga tidak memusuhi orang yang membencinya, tapi justru mendoakan agar berubah.

Gus Dur pulalah yang menggagas agar Soeharto diadili, hartanya disita, lalu dimaafkan kesalahannya. Dan 30 Agustus 2000 untuk kali pertama pengadilan terhadap Soeharto di buka. Di luar dugaan pula, dalam program 100 hari sebagai presiden, sang kiai eksentrik membubarkan Departemen Sosial dan Departemen Penerangan, yang dinilai sebagai gudang korupsi. Gus Dur juga memecat Menteri Perindustrian dan Perdagangan Jusuf Kalla dan Menteri Negara BUMN Laksamana Sukardi. Keduanya diduga terlibat kasus korupsi, meski tidak pernah mengeluarkan bukti yang kuat.

Di akhir kepemimpinannya sebagai presiden, Gus Dur sempat mengancam mengeluarkan dekrit presiden. Beberapa pengamat menilai ancaman itu bisa menunjukkan agar Majelis Permusyawaratan Rakyat tidak bisa menghentikan presiden begitu saja.

"Beliau tidak mau bertele-tele dan tidak mau repot. Ketika ada diskriminasi, beliau tidak takut untuk melawannya, meski harus dengan musuh politiknya," kata Arkilaus Arnesius Baho, Ketua Liga Perjuangan Nasional Rakyat Papua.

Pada awal 2000, di sebuah GOR di Manokwari, Gus Dur mengembalikan nama Papua yang sudah berpuluh tahun diubah menjadi Irian Jaya. Tindakan tersebut dinilai sebagai bentuk mengembalikan identitas lokal masyarakat Papua. Di masa pemerintahannya, Gus Dur juga pernah mencabut TAP MPRS No XXV/1966 tentang larangan ajaran marxisme dan leninisme yang merupakan inti ajaran komunis.

"Bapak tidak pernah membedakan. Tukang becak atau siapa saja. Semua orang sama di mata Bapak," kata Sinta Nuriyah, istri Gus Dur, dalam percakapan di televisi.

Dalam pandangan Presiden Yudhoyono, Gus Dur adalah sosok yang berani dan terus konsisten memperjuangkan tegaknya demokrasi dan hak asasi manusia. Presiden meminta seluruh rakyat Indonesia untuk mengibarkan bendera setengah tiang untuk menghormati jasa mantan presiden tersebut.

Karakter Semar dalam budaya Jawa mewakili karakter pemimpin yang seharusnya. Pemimpin yang rendah hati, tidak mengedepankan pencitraan, tetapi selalu melayani rakyat tanpa pamrih dan dapat dijadikan teladan. Tidak perlu banyak kata, yang penting tindakannya. Semua itu ada dalam kesederhanaan Gus Dur.

Pada petang 30 Desember 2009 Abdurrahman Wahid meninggal di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo Jakarta. Sang pengingat itu telah menuntaskan kewajibannya sebagai manusia.

Selamat jalan, Gus.... (E4)

http://www.vhrmedia.com/Gus-Dur-Pergi-T ... i2977.html
Laurent
Posts: 6083
Joined: Mon Aug 14, 2006 9:57 am

Re: NASIB AGAMA ASLI INDONESIA SAAT INI

Post by Laurent »

GUS DUR aja bilang kalo MUSLIM bukan mayoritas di Indonesia , melainkan agama asli bangsa sendiri
Laurent
Posts: 6083
Joined: Mon Aug 14, 2006 9:57 am

Re: NASIB AGAMA ASLI INDONESIA SAAT INI

Post by Laurent »

ISME AGAMA DAN MOKSWA

Posted by News abad-21 on 18:51



Isme, Adalah sebuah Keyakinan Pribadi, Kelompok bahkan bisa di Negarakan ini hanya berlaku di seluruh Dunia kecuali Indonesia, Isme di Dunia Luar suatu KEBEBASAN dan tidak bisa diganggu gugat, Karena Isme suatu Karya yang mempunyai Pengikut, Pendukung dan Pelaksana. Penggabungan Isme juga bebas dilakukan kecuali di Indonesia. Contoh Komunisme di China Sistem Pemerintahan adalah Komunis Sosialis dimana begitu Orang berdinas dan Pegawai Negara masuk wilayah Negara harus menuruti Aturan Negara yaitu Komunis Sosialis jadi Tidak menganut Isme lain, Akhirnya Netral lah Pegawai Negara melaksanakan Tugas Tanpa dipengaruhi Isme Lain yang membuat Kacau. Ini di Plesetkan di Indonesia Komunis Tidak Bertuhan dan Pengikutnya di Indonesia di Tumpas sampai Akar Akarnya padahal ini hanya Alat untuk Menumpas Bung Karno dan pengikut nya dan memutuskan Hubungan dengan China. Kehebatan China Begitu Pegawai Negara Keluar dari Wilayah Negara yang sistemnya Komunis, Orang ini bebas melaksanakan Isme lain Negara, seperti masuk Kelenteng, Berdoa Leluhur dan lain lain, Ini bisa dibuktikan di China bebas bahkan Adat nya lestari sampai kita lihat Film Kera Sakti, Film Kerajaan masa lalu yang tetap menjiwai dan Sistemnya juga di adopsi. Jadi Kehebatan Pemerintah memakai sistem satu yaitu Kumunis dimana Korupsi pun tidak ada, di Indonesia malah ada Orang yang Bangga jadi Anak PKI / Komunis karena tidak ada Mentri Komunis yang Korupsi di Jaman Bung Karno bahkan nantang di TV untuk menunjukkan Mentri Komunis yang korupsi, di TV China itu korupsi $ 200 beberapa Pegawai Bank dihukum Mati. Pemerintah tidak bisa dipengaruhi Isme [agama] apapun dari Isme Isme diluar Pemerintah yang dianut rakyatnya. Istilah nya adil lah jadi Pemerintah benar banar Netral tidak memihak salah satu Isme milik salah satu Kelompok di Negaranya ya kalau ada kesalahan salah satu Isme Lumrahlah tapi tidak besar. AGAMA ini sama dengan Isme hanya diistilahkan Agama asal kata Ageman / Pegangan hidup yang hanya ada di Indonesia setelah 1965-1966 Dimana Komunis dengan cap Tidak Ber Tuhan di Tumpas habis dengan Tujuan Menumpas Bung Karno Pendiri RI dan Penggali Pancasila untuk diganti Sariat Islam. Setelah Bung Karno habis dan Pengikutnya Tumpas dan Hubungan dengan China yang sejak Dahulu kala pun di Habisi dan segala Adat Budaya Tulisan China yang banyak menulis kesamaan Budaya dan Agama juga berhasil Di Tumpas Tas Tas Tas, Rakyat pun diganti Idiologi Arab Perang Salib, Semua Ajaran Apapun selain Islam di tumpas habis habisan termasuk Ajaran Bung Karno / Sukarnoisme, dan diawasi sampai kiamat oleh Islam yang menguasai Pemerintahan RI agar Ajaran Arab tetap langgeng tanpa saingan. Contoh Buku Buku Tulisan Jawa dan Ajaran nya seperti Tan Khoen Swie yang berisi pelajaran Mokswa dan Seajarah Majapahit dilarang Terbit agar Orang menjadi **** Buta Sejarah dan Budayanya dan dituduh Melecehkan Islam yang Ajarannya gemar Menumpas Orang selain Islam, Juga Tulisan China pun jangan sampai dipelajari karena sangat Tinggi Falsafahnya bayangkan dengan membaca Uang Kepeng Orang bisa Tahu Sejarah, Bahkan di Bali Pandita/ Tapakan / Orang Sakti bisa meramal secara Kerauhan dengan melihat Uang Kepeng / China Kuna. Untuk inilah Islam menumpas Orang Sakti agar bangsa ini **** tidak tahu Leluhurnya. Di Dunia hanya Indonesia setelah dibawah Arab Perang Salib yang diberi Hak Menumpas Habis jutaan Orang Indonesia termasuk Pimpinannya Bung Karno yang menggali Pancasila Majapahit bahkan terbukti bisa menyatukan Asia Afrika dan rukun dengan China dan Rusia dan Negara Negara Asia Afrika dan Amerika [AAA], Membuat Aturan Agama yang hanya 5 Agama yang boleh di Anut : Islam, Kristen, Katolik, Budha dan Hindhu ini di Embel Embeli harus punya Kitab dan Nabi dan sangat diperhitungkanan oleh Otak Otak Arab Perang Salib yang tidak mau ada selain Islam boleh hidup. Kristen dan Katolik sudah ada sejak Jaman Belanda dan Nabinya Jesus ini diberi seolah olah Agama Resmi untuk di lihat Dunia, Padahal ini pun di TUMPAS, lihat Ijin Gereja selama ini 1965- ? Tidak mungkin bisa Keluar, dan lihat TV banyak Gereja dihancurkan dengan Alasan Ijin belum ada kalau tidak salah HKBP dan Kristen lain yang nekat diserbu Islam dan dihancurkan, dan Islam kerjaannya mengawasi sampai tingkat RT di Dusun untuk menghancurkan selain Islam, Contoh Orang Kristen sembahyang di Ruko di Jakarta Langsung didatangi Habib Arab dan dihancurkan dan di TV berkata "Rumah kok untuk Ibadah" jadi Sembahyang di Rumah pun tidak boleh bikin Gereja pun tidak keluar ijin agar bisa dituduh Tidak ber Tuhan, demikian Habib ini menguasai Hukum dan Peraturan RI Otak Arab untuk menghancurkan dan Menumpas selain Islam, Contoh Tidak masuk TV sejak 1965-1966 Punden Punden Tempat Leluhur baik berupa Candi Makam Keramat di Hancurkan, adat Nyuguh, Nyumet Dupa dan sesaji diberantas bahkan di Koran waktu itu Bupati melarang Larung Sesaji di Telaga Ngebel cukup Larung Doa Arab tanpa Sesaji adat kita hormat leluhur, agar kita ditumpas Leluhur sendiri terbukti sekarang Alam dan Leluhur marah dan Arab nya cuci Tangan tetap menghalangi Muja Leluhur biar kita hancur, bahkan ada istilah Adat Orang Jawa ditumpas Jawa yang otaknya dijadikan Arab Perang Salib, Seperti Pembunuhan 1965-1966 kan Orang Jawa Islam numpas Jawa bukan Islam, yang diawali 1478 M atau 1400 Saka yang disebut Islam Sirna Ilang Kwertaning Bumi dimana Majapahit Trowulan di Tumpas Raden Patah, Kitab Kitab Budha dibakar, Orang yang tidak mau masuk Islam di tumpas hingga lari ke Pegunungan dan Bali. 1965-1966 kesempatan Menumpas sampai ke Hutan sekalipun setelah berhenti 350 tahun akibat Kristen Belanda Menjajah Negri ini dengan membebaskan Buku Buku Majapahit terbit, Memugar Candi Candi Purbakala dan menulis Ulang sejarah yang Hilang. Jadi Perhitungan Agama harus punya Kitab dan Nabi itupun Politik menumpas Aliran Jawa asli yang dibodohkan selama 500 tahun tidak kenal Kitab Budha Majapahit yang dibakar semua, BudhaChina yang punya Kitab dan Nabi Budha juga dibatasi, Antek Antek Budha seperti Klenteng atau Pemujaan Leluhur di Tumpas, Contoh Klenteng Jaman Majapahit di Demak di Hancurkan rata tanah jadi Perempatan Jalan. dan Sekolah China adat budayanya pun di Tumpas habis banyak yang dibunuh dan Klenteng di tuduh tempat Rapat Komunis yang tidak ber Tuhan, Hindhu Agama Baru yang lahir 1961 inipun diberi Ijin karena punya Bali yang melestarikan Adat Siwa Budha Majapahit, inipun diarahkan mirip Islam harus memuja Satu Tuhan yaitu Tempat Ibadah Hindu di Jawa satu Pelinggih Padmasana Hyang Widhi yang juga Ijinnya tidak pernah Turun kalau mengajukan 1965- ? Kecuali dikawasan Militer yang punya Bedil contoh Pura Jagatnata Perak Surabaya komplek TNI AL, dan Cimahi komplek TNI AD, dan Gunung yang jauh pemukiman jadi ijin Tetangga nya cukup Orang Halus, Wong Samar, Genderuwo dll seperti Mandara Giri, Gunung Salak dll ya belakangan ada juga mirip Penunggu Karang yang diperbesar di Daerah yang Kejawennya kuat dan Aparat nya Pancasila Era Reformasi. Untung nya Bali Pura Pura yang sudah 1000 tahun tetap lestari, Juga Orang Orang nya memiliki Mrajan / Tempat Leluhur sjak Zaman Majapahit dan sebelumnya hingga Adat masih Lestari biarpun ada Pura Jagadnata di Lapangan Puputan Badung tidak mengurangi Odalan dan Adat di Mrajan Mrajan dan Pura Peninggalan masa Majapahit dan sebelumnya seperti Durga Mahendradata yang sudah 1000 tahun. Jadi Agama Lima tadi sebenarnya hanya Simbol saja yang diakui sebab Islam lah yang boleh hidup Contoh Bikin Musala, Masjit bebas Lainnya jangan mimpi, contoh Kolonel TNI AU Agung Poerbodjgad Trowulan Hancur dan Padmasana nya sudah hancur dibakar lagi sampai hitam hangus, kini dibekas Padma dibangun Masjit tempat Allah, sebelumnya tempat Hyang Widhi kan sama saja? Kenapa Penghancuran ini sukses seperti Gereja tempat Allah, Masjit Achmadiah juga tempat Allah, Padma tempat Hyang Widhi, ini Arab Perang Salib tahu benar karena baik Allah dan Hyang Widhi tidak ada, Allah dan Hyang Widhi adalah Alam Semesta yang mengatur Matahari Planet dan Dunia agar simbang dan tidak saling bertabrakan, dan Allah pun sudah menurunkan Hukum nya kelima kita "Harus menghormati Orang Tua Agar dapat Surga dan Usia yang Panjang" jadi kita diatur Leluhur yang selalu ada di Pelinggih waktu Upacara Ada Kerauhan berarti leluhur kan ADA di Pelinggihnya kalau Tuhan / Allah / Hyang Widhi kan Alam Semesta ? jadi hanya Satu kan sulit melinggih di Pelinggih yang banyak ? Contoh Allah di Kaabah Arab jadi semua disuru ke Arab naik Haji, Jesus juga satu di Jerusalem yang pernah dihancurkan Islam juga dan Sengketa hingga kini dengan Israel Jesus pemilik awal Jerusalem yang berleluhur Ibrahim. Lha kalau Leluhur Kita ada di Mrajan masing masing Soroh dan Trah hanya di Bali, Leluhur Majapahit di Pura Majapahit Trowulan milik Sri Wilatikta Brahmaraja XI atau dikenal Hyang Suryo yang diserbu dan di Bom tapi tetap selamat karena Leluhur ada di Pelinggih yang pada Bulan Juli 2001 Hari Ulang Tahun Ibu Majapahit yang di manivestasikan Siwa Parwati / Dewi Kwan Im Tangan Seribu sedang di Upacarai Odalan dan Adat China yang waktui Itu Ada Barongsai nya Sumbangan Bingki Irawan Konghucu [belum diakui Agama] dan untuk Pertama Kalinya sejak 500 tahun ada Barongsai ikut Odalan dan Tatacara China menghormati Leluhur Ibu, Ini Beliau Turun bersama Dewa 17 dan mengaku Tinggal di Meru / Pagoda dan Padmasana Bhtara Wisnu Airlangga. "'Meme di Meru, di Padmasana Bhatara Pitulas Bhaatara Turun Kabeh", Juga Leluhur sempat Memperingatkan kalau ada yang mau merusak "Kengken Iye Nguwuke Meme kel Munggel" dan Leluhur akan mencegah, juga kata Beliau ada Orang tidak Senang "Nyen Sing Demen Meme kel Nguwuke" dan Ibu akan merusak mereka. Ini lah Contoh Leluhur ada di tempat Suci Keturunannya, akhirnya di Serbu entah bagaimana Leluhur menggagalkan, di Bom disambar Petir, di Tutup Camat yang nutup langsung Struk dan kurang lebih tiga tahun menderita Tewas, dan yang tidak senang dirusak Sakit, ginjal hilang, digebuki Orang dll. Sedang Tempat Hyang Widhi Pak Agung Hancur, awal 2000, Tempat Allah Gereja Gereja Hancur malam Natal 2000 kena Bom Teroris yang mengaku Islam di Mojokerto Wilayah majapahit Inilah Bukti bahwa Allah / Hyang Widhi sedang tidak ada di Tempat nya karena mungkin sibuk mengatur Alam Semesta untuk Kiamat 2012 atau mencegah, dan tidak ngurus Rumah nya yang kecil di Hancurkan, Bareng leluhur ? Beliau menjaga Rumahnya disamping Pemilik nya Hyang Suryo juga berusaha menyelamatkan Leluhur nya dengan berbagai kiat, seperti Cepat Lapor Gubernur, Pangdam dan Kapolda serta membentuk Team Pengacara untuk menghadapi MUSPIKA dan juga Latihan Nembak untuk menghadapi Hukum Rimba Imam Karyono dengan tidak malah mendekati Markus untuk minta tolong dan tetap percaya diri hingga di tutup yang tanpa dasar Hukum. Inilah Contoh Agama yang di Pakai Permainan oleh Arab Perang salib dan juga digunakan untuk menumpas Kepercayaan Adiluhung Bangsa ini dengan hanya memberi Titel Lima dan otomatis Hanya Islam yang gampang lha Orang jawa milih Islam yang bebas akhirnya juga di TUMPAS melecehkan Islam karena tidak sesuai Quran dan Hadist inilah Kepandaian Arab Perang salib menumpas Bangsa ini. Demikianlah Penjelasan Tentang Agama yang seharusnya Isme dan Bebas dianut tapi hanya 5 yang diakui dan hanya ada di Indonesia, Belakangan SBY mengakui Kong Hu Cu ini demi Hubungan dengan China yang sudah Harmonis meneruskan Gus Dur yang membebaskan Adat china seperti Barongsai bebas lagi di mainkan, dan Konghucu memenuhi Syarat punya Nabi dan Kitab, Ini pun memberi Kesempatan Orang Jawa kalau berani dan tidak takut Islam Arab Perang Salib untuk mengajukan Kepercayaan yang punya kitab dan Nabi, itu Hindhu Nabinya para Resi, kan Orang Jawa bisa mengajukan Resi ? Empu Tantular juga Maha Resi yang Ajarannya dipakai Dasar Negara sebagai yang disebut Pancasila kitab nya Sutasoma atau Empu Panuluh Kitabnya Bharatayudha yang ada Ajaran Kresna Menasihati Arjuna yang diperkecil jadi kitab Bagawadgita. ini untuk Jawa lho yang belum ada Payung nya karena bingung kalau di Payungi Hindhu yang Muja Hyang Widhi di Jawa, sedang Orang Jawa masih Muja Laluhur mirip Orang Bali. Sekarang tentang MOKSWA istilah ini adalah tujuan tiap Manusia Hidup selain Islam dan Kristen tapi umat kedua Agama ini pun boleh mempelajari untuk Pribadi asal diijinkan Habib dan Pendeta Kristennya sebab tanpa ijin dianggap Murtad. Siapaun berhak mencapai Mokswa, seperti Mati ngebom di jemput Bidadari, ini kan iming iming alam Mokswa, Yang Jelas Alam Mokswa ada di Film Film China seperti Kera Sakti disana ada terlihat Raja Langit, Dewa dan dewi disamping Alam Kasunyatan yang dialami Tong Sam Cong dan alam Dewa dan Nyata di Perantarai Sun Gao Kong / Ko Ce Thian *** Seng nya yang bisa ke Alam Dewa dan Dunia, Kalau Cerita Kera Sakti sampai mengambil Kitab Budha, kita pun Punya Candi Borobudur dengan Pelajaran Sempurna untuk Mokswa yaitu "KAMADATU-_RUPADATU-_ARUPADATU" ini tidak ada di Dunia Luar Karena Kesaktian Bangsa Kita Zaman Dahulu yang kini hilanglah sudah ilmu kita dijajah dan ditumpas Islam Perang Salib. Demikianlah Penjelasan ini dan ini tidak PERNAH ADA bila Pura Majapahit Trowulan tidak ditutup Islam. [Team Pakar The Majapahit Center] Bali 25-11-2009


http://prokontra-abad21.blogspot.com/20 ... okswa.html
Laurent
Posts: 6083
Joined: Mon Aug 14, 2006 9:57 am

Re: NASIB AGAMA ASLI INDONESIA SAAT INI

Post by Laurent »

NEMO wrote:sebenarnya negara tidak usah mencampuri urusan agama tiap penduduknya…pencantuman kolom agama pada KTP adalah penyesatan yang nyata…menimbulkan diskriminasi bagi minoritas…semua itu dimulai pada jaman soeharto…demi naik "tahta", dia memanfaatkan muslim yang suka gelap mata kalo udah liat kapir untuk membantu menghabisi kaum komunis yang dianggap tidak bertuhan…

pengadaan pelajaran agama di sekolah adalah hal konyol berikutnya…contohnya anak kristen yang celakanya sekolah di sekolah negeri yang mayoritas muslim g bakal dapet pelajaran agama…karena mereka minoritas…bahkan ada sekolah negeri di daerah saya yang mewajibkan semua siswinya berjilbab…ini sungguh konyol…apakah ntar kalo ada penganut kepercayaan yang bersekolah disitu juga akan mengenakan jilbab seperti muslim???g habis pikir dah…

contoh lain adalah agama siwa budha yang dulu dianut oleh majapahit sekarang perlahan2 telah hilang eksistensinya di Jawa Timur yang dulunya merupakan pusat kerajaan majapahit…para penganutnya sering mendapat terror dan ancaman dari muslim…bahkan untuk mengadakan upacara keagamaan saja dilarang sehingga harus ngungsi ke Bali…anda bisa tanya sri brahmaraja…

kalaupun nasib agama asli indonesia terpuruk seperto ini…kesalahan akan saya timpakan pada soeharto dan muslim2 di belakangnya…merekalah yang bertanggung jawab…
mengenai masalah ini, coba anda buka link di bawah ini :

http://indonesia.faithfreedom.org/forum ... is-t45503/

http://www.facebook.com/majapahit.nusantara
Laurent
Posts: 6083
Joined: Mon Aug 14, 2006 9:57 am

Re: NASIB AGAMA ASLI INDONESIA SAAT INI

Post by Laurent »

Ki S Patty:Lika-liku Kebatinan dan Agama Asli

User Rating: / 5
PoorBest
Catatan Mbah Soeloyo: Berikut adalah manuskrip paparan Ki Patty tentang pengamatan dan studinya dalam ranah 'Sosiologi Agama' seperti judul program studi yang beliau kepalai...: Ki Semuel berkisah tentang DEPAG dan arogansi pemerintah atas agama-agama dengan pijakan waktu sejak Kemerdekaan. Dah mudahan ada mangpangatnya:

KEBEBASAN BERAGAMA ADALAH HAK AZASI MANUSIA
Oleh: Ki Semuel Patty


Pendahuluan

Dalam studi sejarah perkembangan agama, setiap anggota masyarakat betapapun sederhana perkembangan masyarakat itu, mereka telah memiliki keyakinan akan adanya kemahakuasaan atau the supranatural being yang kita sebut sebagai agama atau religion. Karena itu agama adalah hal yang sangat esensial dalam kehidupan manusia. Jarang ditemukan suatu masyarakat di dunia yang tidak memiliki agama. Munculnya agama dalam masyarakat adalah berhubungan dengan usaha manusia agar ia dapat survive atau bertahan terhadap seleksi alam. Karena keterbatasan akal dan pengetahuan manusia pada masyarakat yang masih sederhana, padahal mereka sangat tergantung pada alam, maka akhirnya mereka berpendapat bahwa dalam kehidupannya ada "sesuatu" yang luar biasa yang memiliki kekuasaan yang dapat menghancurkan manusia dan juga dapat memberi kebahagiaan kepada manusia. Bilamana "ia" marah, maka dapat merugikan manusia, akan tetapi bila "ia" senang, akan memberi kesenangan dan kebahagiaan kepada manusia.{moscomment}


Oleh karena itu, bagi manusia sebagai anggota masyarakat, agama
adalah kebutuhan maha penting dan sangat esensial untuk memenuhi
kebutuhan hidupnya. Tanpa campur tangan siapapun, negara sekalipun
juga, manusia tetap membutuhkan agama sebagai keyakinannya. Dalam
masyarakat Jawa, sebelum datangnya agama-agama asing seperti Hindu,
Buddha, Islam dan Kristen, mereka sudah memiliki agamanya sendiri
yang dapat kita ketahui dalam kebudayaan dan peradaban Jawa yang
masih terpelihara. Memang dalam sejarah berkembangnya kerajaan-
kerajaan besar di Indonesia, selalu diwarnai oleh adanya pengaruh
agama Hindu atau Buddha dalam kerajaan itu. Akan tetapi hal itu
bukanlah berarti seluruh rakyat yang menganut agama Hindu atau
Buddha itu benar-benar melaksanakan dengan konsekuen ajaran agama
tersebut. Karena sudah barang tentu sistem kerajaan yang feodal,
agama yang dianut raja belum tentu ditaati sepenuhnya oleh seluruh
rakyat begitu saja. Begitu juga dalam proses pertemuan kedua agama
itu akan terjadi berbagai kemungkinan.


Sejarah Perkembangan Agama di Pulau Jawa
-----------------------------------------
Pengaruh Agama Hindu dan Buddha


Berdasarkan bukti sejarah, melalui prasasti Ciaruteun, prasasti Tugu
dan prasasti Kebun Kopi diketahui bahwa di Jawa Barat pada abad ke-4
telah ada sebuah kerajaan bernama Tarumanagara dengan rajanya yang
bernama Purnawarman yang beragama Hindu karena disebutkan adanya
pendeta-pendeta yang menyelenggarakan upacara agama Hindu, sedangkan
di daerah Kota Bangun, Kutai di Kalimantan juga ditemukan adanya
sebuah arca Buddha dan Wisnu dalam prasasti yang ditulis dalam
bahasa Pallawa disebutkan nama rajanya Mulawarman dengan tidak
menyebutkan nama kerajaannya. Diduga kerajaan-2 itu sudah berkembang
sejak permulaan abad Masehi. Kemudian pada abad ke-5 berkembang
kerajaan Kalinga di Jawa Tengah yang diperintah oleh seorang ratu
bernama Sima. Kemudian tidak banyak berita tentang perkembangan
agama Hindu di Jawa Tengah itu hingga abad ke-8.


Baru pada abad ke-8 terlihat begitu banyak aktivitas kegiatan dimana
melalui banyak prasasti dan bangunan-bangunan seperti candi-candi,
kita mengetahui bahwa kerajaan Mataram yang dipimpin oleh dinasti
Sanjaya yang mendapat pengaruh agama Hindu itu telah mengalami
kemajuan yang luar biasa karena kerajaan di pedalaman ini pasti
telah mengalami kemakmuran luar biasa sehingga rakyatnya dapat
digerakkan untuk membangun bangunan-bangunan keagamaan yang
mengagumkan. Jelas, bahwa pembangunan proyek-proyek fisik keagamaan
hanya dapat dilakukan apabila ada kesejahteraan yang tinggi dalam
masyarakat serta adanya sikap religius yang kuat sehingga mereka
dapat digerakkan untuk membangun proyek-proyek yang besar seperti
kompleks candi Prambanan, candi Sari, Plaosan dan kompleks candi-
candi di dataran tinggi Dieng.


Meskipun kerajaan Mataram Hindu itu begitu maju di bawah dinasti
Sanjaya, akan tetapi nampaknya kemudian telah terjadi perebutan
kekuasaan dengan dinasti Sailendra yang beragama Buddha melalui
suatu peperangan. Akan tetapi sebelum dinasti Sailendra mengalami
kekalahan, ia telah membangun bangunan agama yang merupakan proyek
raksasa berupa pembangunan candi Borobudur dan candi Mendut serta
candi Sewu yang begitu mengagumkan bagi dunia arsitektur pada jaman
itu. Nampaknya dinasti Sailendra tidak lama bertahan di Jawa Tengah,
karena kemudian ia memperlihatkan aktivitasnya di Sumatera Selatan.
Nampaknya dinasti Sailendra telah bekerja sama dengan kerajaan
Sriwijaya di Sumatera sejak abad ke tujuh dan setelah mengalami
kekalahan di Jawa Tengah akhirnya pindah ke Sumatera untuk terus
bekerja sama dengan kerajaan Sriwijaya yang menguasai kekuatan di
laut.


Sesudah abad ke-9 aktivitas kerajaan Mataram di Jawa Tengah tidak
banyak diketahui dan mungkin karena terjadinya bencana alam, hingga
aktivitas kerajaan di Jawa Tengah tidak nampak lagi, akan tetapi
mulai menonjol di Jawa Timur di bawah kekuasaan dinasti Sindok dan
di Jawa Timur aktivitas kerajaan-kerajaan di sana ditandai juga oleh
pengaruh dua agama dari India, Buddha dan Hindu. Kita dapat
simpulkan bahwa agama Hindu dan Buddha telah menunjukkan pengaruhnya
dalam kehidupan masyarakat di Jawa sejak abad ke-4 hingga abad ke-
XIII, yaitu suatu jangka waktu yang cukup panjang, sehingga sudah
tentu kedua agama itu sudah sangat meresap dalam kehidupan
masyarakat Jawa.


Meskipun demikian dengan adanya sistem upacara slametan yang masih
kuat diselenggarakan oleh masyarakat Jawa, kita dapat menduga bahwa
sisa-sisa kepercayaan Jawa asli masih tetap dipertahankan dan hal
ini dapat kita buktikan dengan perkembangan aliran-aliran kebatinan
Jawa yang bersemi dengan cepat yaitu pada saat dimana kehidupan
ekonomi masyarakat menjadi sangat sulit sekitar tahun 1930 ketika
dunia mengalami depresi ekonomi dan sekitar jaman penjajahan Jepang
di tahun 1942 - 1945, kemudian di saat masyarakat Indonesia
mengalami kesulitan ekonomi di sekitar tahun 1961 - 1965 dimana
Sukarno menjalankan politik berdikarinya serta tidak mau bekerjasama
dengan negara-negara kolonial hingga harus keluar dari PBB.


Pengaruh Agama Islam di Jawa


Berdasarkan bukti-bukti sejarah, diperkirakan masyarakat pantai
Utara Jawa Timur dan Jawa Tengah telah menerima agama Islam pada
abad ke-14 dan berkembangnya agama Islam ke Jawa adalah karena
pengaruh dari para pedagang Jawa yang berdagang dengan daerah di
semenanjung Malaka dan Sumatera Utara yang telah menerima agama
Islam pada abad ke-12. Itulah sebabnya agama Islam mulai berkembang
di kota-kota pesisir di pantai utara Jawa seperti Cirebon, Demak,
Tuban, Gresik, dan Surabaya. Agama Islam kemudian meresap ke dalam
masyarakat Jawa melalui pimpinan Kerajaan yaitu Raja. Diketahui
secara luas bahwa agama Islam disebarluaskan di Jawa oleh para Wali
atau Sunan yaitu orang yang dianggap suci dan dihormati,
diantaranya: Sunan Gunung Jati, Sunan Muria, Sunan Kudus, Sunan
Bonang, Sunan Giri, Sunan Drajat, Sunan Paku, Sunan Kalijaga, Syech
Sitijenar, Sunan Ngampel, dan Sunan Walilanang. Mereka dalam
menyebarkan agama Islam menggunakan kekuatan-kekuatan mistik.


Daerah paling penting dalam perkembangan Islam di Jawa adalah Demak
dan diduga bahwa Demak ini didirikan oleh seorang Cina yang beragama
Islam bernama Cek Ko Po. Dari Demak agama Islam kemudian disebarkan
ke seluruh daerah di Jawa Bahkan ke Maluku, Indonesia Timur. Raja
demak pertama ialah Raden Patah yang dianggap sebagai putera raja
Majapahit. Majapahit sebagai suatu kerajaan besar yang mempunyai
wilayah luas di Nusantara dengan rajanya Hayam Wuruk dan perdana
menterinya yang cakap patih Gajah Mada akhirnya runtuh karena
masuknya agama Islam. Rakyat Majapahit yang tidak mau menerima agama
Islam melarikan diri ke Bali dan pegunungan Tengger dan di kedua
daerah itu mereka berusaha mempertahankan agama mereka tetapi sangat
bercampur dengan agama asli masyarakat setempat yang kemudian atas
perjuangannya diakui oleh pemerintah sebagai agama Hindu Bali di
tahun 1964, sedangkan usaha untuk mengakui agama Buddha Tengger
ditolak oleh pemerintahan Suharto (Orde Baru).


Suatu hal yang menarik untuk diperhatikan adalah bahwa masyarakat
Jawa yang sudah lama menganut agama Hindu dan Buddha selama sepuluh
abad melalui beberapa generasi, setelah bertemu dengan agama Islam
yang baru, mereka kemudian menerimanya dan ini berarti Islam
memiliki daya tarik yang kuat bagi masyarakat waktu itu.



Agama Islam di Jaman Kemerdekaan
---------------------------------
Ketika Indonesia berhasil merebut kemerdekaan dan mendirikan Negara
Kesatuan Republik Indonesia, sebagian saudara-saudara yang bergama
Islam tidak puas ole karena keinginan mereka ialah agar negara yang
baru itu adalah negara yang berdasarkan agama Islam. Namun demikian,
setelah menempuh perdebatan politik,akhirnya kelompok nasionalis
menang karena Pancasila telah ditetapkan menjadi dasar negara.
Kelompok politik Islam mau menerimanya dengan syarat pemerintah
perlu mengadakan "departemen agama yang bertugas untuk mengurus
pelaksanaan pengiriman jemaah haji ke Mekah." Meskipun kesepakatan
bersama itu sudah diterima, akan tetapi sebagian tokoh Islam tidak
dapat menerimanya dan oleh karena itu pada bulan Mei 1949
Kartosuwiryo dari Garut Jawa Barat memproklamasikan dirinya sebagai
Imam atau pemimpin negara baru yang ia sebut Negara Islam Indonesia
dan yang lebih lazim disebut Darul Islam atau DI (dari bahasa Arab
dar al-Islam Artinya wilayah atau rumah Islam). Pemerintah Darul
Islam didasarkan pada hukum Islam dan diselenggarakan oleh para
Kyai. Gerakan ini mendapat dukungan luas di daerah Jawa Barat dan
Sulawesi Selatan dimana DI dipimpin oleh Kahar Muzakar dan Aceh yang
dipimpin oleh Daud Beureh. Gerakan DI ini mendapat dukungan dari
partai Masyumi akan tetapi kemudian dapat ditumpas oleh Pemerintah
Indonesia tahun 1955 yang didukung oleh TNI.


Pada tahun 1955 ketika diadakan pemilihan umum pertama di Indonesia,
ternyata kemenangan diraih oleh Partai Nasional Indonesia, kedua
oleh Masyumi, ketiga oleh NU dan ke-4 oleh Partai Komunis Indonesia,
ke-5 PSII, ke-6 Parkindo. Hasil ini menunjukkan bahwa partai-partai
Islam menunjukkan kegagalan meskipun dikatakan bahwa 90% penduduk
Indonesia beragama Islam. Memang kita harus menyadari bahwa tidak
semua orang yang beragama Islam tertarik memasuki partai Islam
karena banyak di antara mereka yang menjadi anggota Partai Nasional
Indonesia, bahkan anggota PKI, PSI, Murba dan lain-lain.


Ketika terjadi peristiwa G30S PKI, Suharto telah menuduh PKI sebagai
pelaku Cup de `Etat dengan melakukan pembunuhan kejam atas beberapa
Perwira militer dan akibatnya PKI kemudian dinyatakan sebagai partai
terlarang dan disusul dengan penumpasan dan penangkapan atas orang-
orang yang dianggap sebagai PKI atau simpatisannya. Akibat dari
peristiwa itu, tidak sedikit masyarakat Indonesia terutama dari
kalangan orang Jawa yang dibunuh bukan saja oleh militer tetapi juga
oleh pemuda-pemuda Islam. Di Jawa Timur, Gerakan Pemuda Ansor dari
NU diberi semangat bahwa jika seorang berhasil membunuh seorang PKI,
maka nilainya sama dengan menunaikan ibadah haji sebanyak 4 kali.
Demikian banyak orang yang meskipun bukan PKI tetapi dituduh PKI
karena pelbagai alasan yang dibuat, umpamanya bila ada yang memiliki
rumah bagus ataupun isteri cantik maka bisa saja dituduh PKI dan
kemudian dibunuh sehingga hartanya dapat dirampas. Suharto sendiri
telah mengambil alih harta beberapa pejabat militer yang dituduh PKI
tanpa melalui proses peradilan/hukum.


Kita menyadari bahwa situasi ekonomi pada saat itu memang sangat
sulit oleh karena mental para pejabat yang korup dan Sukarno sedang
berusaha untuk merebut kembali Irian melalui kekuatan Mmiliter
dengan komando Trikoranya pada tahun 1961 dan melaksanakan politik
Berdikari (berdiri diatas kaki sendiri, Artinya Indonesia jangan
mengharapkan bantuan negara lain) sehingga telah mengisolasi
Indonesia dari negara Barat dan membangun aliansi politik baru
dengan negara-negara komunis: Rusia dan Cina, Vietnam dan Korea
Utara dengan mengumumkan poros Jakarta-Phnompenh-Hanoi-Beijing-
Pyongyang pada pidato 17 Agustus 1965.


Setelah PKI dilarang, Partai Nasional Indonesia juga mengalami
dampak politik tersebut. Hal ini disebabkan oleh sering
disebutkannya bahwa Marhaenis adalah Marxis yang diterapkan di
Indonesia oleh pimpinan PNI dan akibatnya banyak juga pemimpin PNI
yang terlibat atau terpengaruh pemikiran PKI. Akibatnya PNI terpecah
menjadi PNI Ali Surahman dan PNI Osamalika-Usep sehingga situasi
politik menjadi kacau dan diramalkan kekuatan politik Islamlah yang
akan muncul dengan tidak ada pesaing lain dan kekuatan Islam mulai
muncul dengan memberi tekanan kepada semua kekuatan politik yang ada
(sebagaimana kita ketahui pada waktu itu berlaku penghimpunan
kekuatan melalui apa yang ikenal dengan NASAKOM).


Pada saat dan kondisi yang serba tidak menentu itu, keluar
pernyataan-pernyataan dari kelompok Islam yang menyatakan bahwa
barang siapa yang tidak menganut suatu agama, ia dituduh sebagai PKI
dan itu berarti ia dapat dibunuh atau ditangkap dan dijebloskan ke
dalam penjara. Dengan demikian agar seseorang terhindar dari
pembunuhan yang dilakukan oleh para pemuda Islam ataupun tentara, ia
harus berusaha menyelamatkan diri dengan cara memasuki suatu agama
tertentu. Jadi beragama adalah agar supaya terhindar dari tuduhan
sebagai PKI. Inilah situasi pelanggaran hak azasi yang terbesar yang
pernah dilakukan oleh kelompok Islam dan pemerintah pada periode
1966 - 1970 sehingga dengan demikian ada banyak orang Jawa yang
terpaksa harus memeluk agama Islam. Demikian juga pada waktu itu
tidak sedikit orang Jawa yang menjadi penganut agama Kristen. Dalam
laporan dari gereja-gereja di Jawa sesudah tahun 1966, mereka
dibanjiri oleh masyarakat yang ingin dibaptis menjadi Kristen. Jadi
menganut agama bukanlah karena keyakinan untuk memuja Yang Maha
Kuasa melainkan hanya demi terlindung dari ancaman pembunuhan
politik.


Kebatinan Jawa suatu Pergerakan Keagamaan
-------------------------------------------
Kebatinan Jawa sebenarnya adalah peninggalan tradisi agama Jawa asli
sebelum adanya pengaruh agama-agama besar (Hindu, Buddha, Islam dan
Kristen). Setelah masuknya Hindu, Buddha, Islam dan Kristen, maka
terjadilah akulturasi budaya dimana agama asli penduduk bercampur
dengan agama baru. Dalam proses akulturasi itu, biasanya terjadi
beberapa kemungkinan. Pertama, unsur-unsur agama baru diterima akan
tetapi unsur agama lama tidak hilang dan bercampur dengan unsur
agama baru (contoh Islam abangan dimana ia menyebut dirinya Islam,
teapi melaksanakan upacara-upacara selamatan dan tidak berdoa
sebagaimana mestinya orang Islam). Kedua, unsur-unsur agama baru
makin menguat dan mendominasi unsur agama lama makin menghilang
(contoh agama Kristen dalam budaya Batak). Ketiga, unsur agama baru
bercampur dengan unsur agama lama dan menghasilkan agama baru yang
memiliki cirri tersendiri (contoh agama Hindu Bali yang berbeda
dengan ajaran Hindu di Hindustan). Keempat, unsur agama lama
mengalami revival dan menjadi menonjol meskipun menggunakan juga
unsur-unsur agama baru (contoh agama Wudu di Brasilia). Dengan empat
kemungkinan dalamproses akulturasi ini, kita akan mempelajari
pelbagai aliran kebatinan yang berkembang di Jawa.


Berbicara mengenai aliran kebatinan jawa, terdapat berbagai variasi
diantara kelompok-kelompok aliran tersebut. Selain kita mengenal
aliran-aliran kebatinan, kita juga mengenal apa yang disebut
Kejawen. Cliford Geertz memberi judul disertasinya "Religion of
Jawa" atau agama Jawa tetapi ia menjelaskan Kejawen sebagai ilmu
Jawi atau Javanese-ism (Geertz 1960:339). Kejawen adalah segala adat
istiadat masyarakat orang Jawa khususnya Jawa Tengah yang merupakan
warisan leluhur yang tidak termasuk dalam hukum Islam. Atau tradisi
Jawa yang berhubungan dengan keyakinan agama mengenai ketuhanan,
peribadatan atau keimanan di luar Islam (Kamil Kartapraja, 1985:59).


Kejawen sering juga disebut agami Jawi yaitu sistem budaya dari
agama yang dianut orang Jawa dimana terdapat keyakinan akan adanya
Tuhan, yakni akan adanya dewa-dewa tertentu yang menguasai alam
serta memiliki konsep-konsep tentang hidup dan kehidupan setelah
kematian, yakni akan adanya makhluk-makhluk halus penjelmaan nenek
moyang yang sudah meninggal, yakin adanya roh-roh penjaga, yakin
akan adanya setan-sentan, hantu, dan rasaksa dan yakin akan adanya
kekuatan-kekuatan gaib dalam alam semesta (Koentjaraningrat 1984:319)
Sedangkan kebatinan Jawa adalah praktek-praktik spiritual didasarkan
pada alam pemikiran Jawa yang terwujud dalam aliran-aliran atau
sekte-sekte yang dipimpin oleh seorang guru yang kemudian memberi
ajaran-ajaran tertentu untuk mencapai kebahagiaan hidup. Beberapa
pemikiran yang disampaikan Niel Mulder tentang kebatinan antara
lain: Kebatinan dianggap sebagai intipati dari Javanisme: gaya hidup
orang Jawa ialah kebatinan yaitu gaya hidup yang memupuk batinnya
agar dapat mencapai suatu hubungan langsung dengan Yang Maha Kuasa
yang disebut dengan faham manunggaling kawula Gusti. Dalam kebatinan
Jawa terdapat banyak aliran yang sangat bervariasi ajarannya. Tetapi
umumnya aliran-aliran kebatinan menganjurkan untuk mengosongkan
batin sehingga dapat diisi dengan kehadiran Yang Maha Kuasa.


Hasil penelitian penulis menunjukkan bahwa aliran-aliran kebatinan
yang besar muncul sekitar tahun 1930 yaitu aliran kebatinan Pangestu
yang dirintis oleh R. Sunarto Mertowerdoyo. Kita tahu bahwa pada
waktu itu keadaan ekonomi dunia berada dalam situasi yang sangat
sulit akibat depresi ekonomi dunia dan tentu membawa dampak juga ke
masyarakat di Jawa. Tujuan utama dari ajaran Pangestu ialah
mengantar umat manusia kepada kesejahteraan abadi di pangkuan sang
Suksma Kawekas (Tuhan) dan memperkokoh para anggotanya untuk
kesejahteraan umat manusia dan Negara.


Munculnya banyak ajaran kebatinan baru yang dicatat oleh Departemen
Kehakiman ialah pada periode 1955 - 1966. Akibat banyaknya muncul
aliran-aliran kebatinan baru sehingga dibentuklah organisasi oleh
Kejaksaan Agung yaitu PAKEM (Pegawas Aliran Kepercauaan Masyarakat)
untuk memantau jangan-jangan aliran-aliran itu adalah tempat
persembunyian anggota PKI, dan sering kali kelompok Islam menuduh
aliran kebatinan sebagai tempat persembunyian anggota PKI. Karena
itu harus dilarang atau ditindak. Sebenarnya PAKEM pertama kali
didirikan oleh Departemen Agama pada tahun 1954 dengan tujuan untuk
mengerem lajunya pertumbuhan aliran kebatinan karena pada waktu itu
sudah terdapat kira-kira 360 aliran kebatinan sebagai agama baru.


Usaha Gerakan Kebatinan untuk Menjadi Agama
--------------------------------------------
Untuk pertama kali yaitu pada tahun 1955 diadakan Kongres Gerakan
Kebatinan yang pertama di Semarangf yang dihadiri oleh 680 orang
mewakili 67 aliran kebatinan. Dalam kongres itu dibenruk Badan
Kopngres Kebatinan Indonesia yang diketuai oleh Wongsonegoro SH.
Kemudian pada tanggal 7 - 10 Agustus 1956 BKKI menyelenggarakan
kongres kedua di Solo dan dalam kongres ini didefinisikan kebatinan
sebagai "sepi ing pamrih, rame ing gawe, memayu hayuning bawana".
Dalam kongrs itu ditegaskan bahwa kebatinan bukan agama baru,
melainkan usaha untuk meningkatkan mutu semua agama. Tahun
berikutnya yaitu tahun 1957 ketika diadakan musyawarah di Jogya,
Dewan Musyawarah BKKI meminta kepada presiden Sukarno untuk
menyamakan BKKI dengan agama-agama yang lain. Dalam kongres BKKI
yang keempat di Malang pada Juli 1960, Kongres menetapkan bahwa pada
dasarnya Kebatinan dan agama adalah sama, karena agama
menitikberatkan kepada penyembahan kepada Tuhan, sedangkan kebatinan
menekankan pengalaman batin dan penyempurnaan manusia. Pada tanggal
28 - 29 Januari 1961 diadakan Seminar Kebaginan BKKI II di Jakarta
dan diusulkan agar pengajaran Kebatinan diberikan juga di sekolah-
sekolah. Akan tetapi pada tahun itu juga Menteri Agama mengemukakan
definisi agama dengan maksud menolak aliran kebatinan sebagai agama
dan tidak memberinya tempat sebagai agama di seluruh Indonesia.
Ditetapkan oleh Departemen Agama bahwa agar suapaya suatu badan
kemasyarakatan dapat diterima sebagai agama, ia harus memiliki kitab
suci, nabi dan mengakui kekuasaan Tuhan yang Maha Esa serta memiliki
sistem hukum bagi penganutnya.


Antara tahun 1963 - 1964 Gerakan Kebatinan semakin meluas dan jumlah
aliran kebatinan telah mencapai 360 aliran tetapi terjadi banyak
infiltrasi golongan komunis ke dalam gerakan kebatinan sehingga BKKI
sebagai federasi tidak mampu menertibkan aliran-aliran kebatinan
yang tergabung di dalamnya dan pertentangan dengan kelompok agama
Islam semakin meruncing dan saling menfitnah di antara keduanya.


Pada tahun 1973 ketika Sidang MPR kelompok Kebatinan (Kepercayaan)
diberikan kedudukan yang sejajar dengan agama dalam GBHN yang
disusun oleh MPR, tetapi Partai Persatuan Pembangunan sebagai Partai
Islam berusaha agar kata "dan" pada kalimat "Kehidupan keagmaan dan
kehidupan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa diganti denan
garis miring, akan tetapi usaha itu gagal. Dalam GBHN tahun 1973 Tap
MPR No. IV agama dan kebatinan mempunyai kedudukan yang sama dan
sejak itu kelompok kebatinan mendapat hak untuk penyiaran di TVRI,
Koran dan lain-lain. Sehingga semangat untuk mendukung perkembangan
kebatinan semakin berkembang dalam masyarakat.


Pada sidang MPR 1978, PPP berkeberatan untuk aliran kebatinan
dijadikan agama dan karena itu dalam sidang MPR itu ditetapkan
kebatinan bukan agama tetapi kebudayaan dan untuk itu dalam
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan diadakan direktorat baru yaitu
Direktorat Himpunan Penghayat Kepercayaan terhadap Tuhan yang Maha
Esa (HPK) akan tetapi dalam masa reformasi yang dimulai tahun 1998
melalui ketetapan MPR oleh kekuatan politik Islam, kelompok aliran
kepercayaan kembali dikeluarkan dari Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan dan ditempatkan dalam Departemen Pariwisata, namun
keberadaannya sekarang tidak jelas lagi, dalam keputusan MPR itu
dikatakan bahwa aliran-aliran kepercayaan dikembalikan kepada agama-
agama yang ada.


Penutup
-------
Masalah penyembahan kepada Tuhan atau masalah agama,bukanlah masalah
Negara tetapi adalah hak azasi manusia yang secara bebas dapat
memilih agama atau kelompok kepercayaan yang cocok bagi seseorang.
Hal ini tidak dapa diatur oleh negara sebagaimana yang kita alami
saat ini di Indonesia.


Departemen agama, dalam menjalankan fungsi dan tugasnya lebih banyak
untuk kepentingan agama Islam dan tidak dinikmati oleh agama-agama
lain termasuk kelompok-kelompok agama suku atau agama asli Indonesia
dan kelompok Kebatinan yang jumlah anggotanya tidak sedikit.


Melihat banyak pejabat Negara yang melakukan korupsi dan
penyalahgunaan jabatan dan ternyata mereka juga merupakan orang
beragama, ini menunjukkan bahwa agama tidak lagi mampu membina
warganya. Maka kelompok kebatinan perlu mengambil peran untuk
membina warga bangsa agar menjadi insan masyarakat yang patuh kepada
ajaran moral demi kemajuan kepentingan bangsa.


Mengingat banyak kekacauan dan kerusuhan sering digunakan oleh orang-
orang yang mengatas-namakan kelompok agama, dan ternyata Departemen
Agama tidak lagi mampu membina kelompok-kelompok agama tersebut, dan
juga kelompok agama Islam telah banyak melakukan pengrusakan
terhadap gedung-gedung ibadah dari kelompok agama lain, maka hal ini
telah meresahkan kehidupan beragama dan kesatuan bangsa. Untuk itu
kelompok kebatinan Jawa perlu mengambil inisiatif untuk
menenteramkan dan menyejukkan situasi dengan banyak menyampaikan
pesan-pesan melalui pertemuan-pertemuan diskusi maupun sarasehan
seperti yang dilakukan pada hari ini untuk diteruskan kepada
pemerintah.


Dalam iklim globalisasi dan reformasi di tanah air, kelompok
kebatinan Jawa harus bangkit dan melakukan revival untuk memajukan
ajaran-ajaran yang merupakan nilai-nilai luhur kebudayaan Jawa yang
juga merupakan warisan nenek moyang untuk dikembangkan bagi
kesejahteraan dan kebahagiaan hidup generasi yang akan datang.
Semoga ajaran-ajaran yang memiliki nilai-nilai luhur kebudayaan
bangsa dapat dilestarikan demi kepentingan umat manusia.
[Salatiga, 2 September 2005]

{moscomment}



http://www.superkoran.info/content/view/137/88888889/
Laurent
Posts: 6083
Joined: Mon Aug 14, 2006 9:57 am

Re: NASIB AGAMA ASLI INDONESIA SAAT INI

Post by Laurent »

Hiski Darmayana
Masyarakat Adat Dalam Rantai Diskriminasi
Hiski Darmayana's Note - 3 Juni 2011

Sebelum menelaah lebih jauh mengenai masyarakat adat dan diskriminasi yang membelitnya, sangat penting untuk diketahui definisi dari masyarakat adat. Istilah masyarakat adat muncul di Indonesia diawal dekade 1990-an setelah diskursus mengenai hak-hak hidup kaum adat mengemuka serta organisasi yang concern akan nasib masyarakat adat banyak bermunculan. Pada bulan Maret 1999, Kongres Masyarakat Adat Nusantara I (KMAN I) telah menyepakati definisi dari masyarakat adat. Masyarakat adat merujuk pada definisi yang tertuang dalam Keputusan KMAN No.01/1999 adalah kelompok masyarakat yang memiliki asal-usul leluhur dalam wilayah geografis tertentu, memiliki sistem nilai, ekonomi, politik, budaya, sosial, ideologi serta wilayah sendiri.

Pada level internasional, Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) memberi ‘julukan’ indigenous peoples bagi masyarakat adat, yang secara harfiah berarti “masyarakat asli”. Sementara Konvensi ILO 169 tahun 1989 mengenai Bangsa Pribumi dan Masyarakat Adat di Negara-negara Merdeka mendefinisikan masyarakat adat sebagai suku-suku bangsa yang berdomisili di Negara merdeka yang kondisi sosial, budaya dan ekonominya berbeda dengan kelompok masyarakat lain. Selain itu ada definisi lainnya yang menarik dari Jose Martinez Cobo, seorang pejuang hak masyarakat adat yang bekerja untuk Komisi Pencegahan Diskriminasi dan Perlindungan Kaum Minoritas. Menurut beliau, masyarakat adat atau indigenous peoples merupakan kelompok masyarakat atau suku bangsa yang mempunyai kesinambungan sejarah antara masa sebelum invasi (kolonial) dengan masa sesudah invasi yang berkembang di wilayah mereka serta memiliki perbedaan dengan kelompok masyarakat lain atau mainstream. Bila merujuk pada pendapat Cobo tersebut, maka dapat diartikan bahwa masyarakat adat telah ada jauh sebelum era kolonial dimulai, bahkan sebelum Negara-negara baru post-colonial berdiri.

Dalam dunia keilmuan Antropologi, istilah masyarakat Sederhana lebih sering digunakan untuk menamakan suatu masyarakat yang masih terikat kuat dengan aturan warisan leluhur atau masyarakat adat. Masyarakat sederhana sendiri memiliki arti sekumpulan manusia yang hidup bersama dalam suatu tempat dengan ikatan atau aturan tertentu yang bentuknya masih sangat sederhana (Redfield, 1980). Biasanya yang termasuk kategori masyarakat sederhana adalah masyarakat yang masih hidup dengan pola berburu dan meramu (Band dan Tribes) serta ladang berpindah (slash and burn). Namun istilah ini masih dalam perdebatan, mengingat tidak semua masyarakat adat masih memiliki pola hidup berburu atau berladang.

Keberadaan atau eksistensi masyarakat adat di negeri ini mengalami berbagai dinamika, terutama ketika era kolonialisme Eropa dimulai serta Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) berdiri pasca Proklamasi 17 Agustus 1945. Beberapa kalangan,termasuk masyarakat adat sendiri, telah menyuarakan adanya diskriminasi dalam berbagai aspek kehidupan yang dialami masyarakat adat sejak era kolonial hingga kini.

Diskriminasi yang tiada usai

Berawal dari doktrin Terra Nullius yang menyatakan bahwa wilayah-wilayah yang didatangi bangsa Eropa pada awal masa Merkantilis merupakan daerah tak bertuan, maka para petualang Eropa pun berusaha menaklukkan dan menguasai daerah-daerah tak bertuan yang pada umumnya terletak di benua Asia, Afrika dan Amerika. Bila ada manusia di tempat-tempat tak bertuan itu, maka mereka bukanlah manusia karena belum beradab atau beragama (menurut pandangan orang Eropa). Para kolonialis Eropa menganggap masyarakat asli atau indigenous peoples adalah orang-orang yang perlu ‘diperadabkan’ dan ‘diagamakan’ (dalam hal ini agama yang banyak dianut orang Eropa yakni Kristen atau Katolik). Menurut orang Eropa, agama mereka (masyarakat asli) adalah agama primitif yang sesat. Meskipun tidak semua bangsa kolonialis dari Eropa mengemban misi penyebaran agama karena adapula yang hanya mencari keuntungan ekonomi maupun politik belaka.

Pasca Indonesia merdeka, politik diskriminasi terhadap masyarakat adat tidak berhenti. Diskriminasi dalam berbagai aspek, khususnya dalam hal agama, terhadap masyarakat adat tetap berlansung. Diskriminasi terhadap agama yang dianut masyarakat adat berakar dari diberlakukannya UU No.1 PNPS/1965 beserta regulasi turunannya seperti TAP MPR No.IV/1978 dan Instruksi Mentri Agama No.4 /1978 yang membatasi agama resmi yang diakui pemerintah hanya 6 yakni, Islam, Protestan, Katolik, Hindu, Budha dan Kong Huchu. Agama yang dianut oleh masyarakat adat yang biasa disebut dengan agama asli nusantara atau agama adat direduksi menjadi aliran kepercayaan. Dampak dari diberlakukannya serangkaian peraturan hukum tersebut adalah timbulnya diskriminasi terhadap pemeluk agama adat atau penghayat, terutama diskriminasi dalam akses hak-hak sipil mereka sebagai warga negara. Berikut beberapa kasus diskriminasi yang masih berlangsung hingga detik ini :

1.) Diterbitkannya SK Pelarangan dan Pembubaran organisasi kepercayaan Aliran Kebatinan “Perjalanan” dengan No. SK-23/ PAKEM/1967 tanggal 23 Mei 1967, oleh Bakor “PAKEM” Kejaksaan Negeri Kabupaten Sumedang, namun Organisasi yang bersangkutan tidak menerima SK tersebut. Pengurus organisasi kepercayaan terasebut telah mengajukan sanggahan dan penolakan atas pembubaran tersebut, serta memohon untuk pencairan kembali keberadaan organisasi tersebut, namun pada bulan Juni 1993 pihak Kejaksaan Negeri Sumedang telah memberi jawaban dan menyatakan bahwa Aliran Kebatinan Perjalanan Kabupaten Sumedang tetap dilarang, dengan alasan “bahwa Aliraan Kebatinan Perjalanan Kabupaten Sumedang merupakan penjelmaan dari partai PERMAI yang menurutnya telah dilarang Pemerintah, serta pengikutnya berasal dari pemeluk agama Islam yang telah keluar dari Islam.
Sebagai catatan, aliran Perjalanan merupakan ajaran Mei Kartawinata, seorang tokoh Marhaenis Bandung yang berbasiskan tiga inti ajaran, yakni spiritualitas berdasarkan ketuhanan, kemanusiaan berdasar persamaan, serta kebangsaan berdasarkan pembangunan karakter bangsa. Ajaran Mei Kartawinata merupakan bagian dari ajaran Sunda Buhun atau Sunda Wiwitan.

2.) Tanggal 29 April 1974, keluar larangan kegiatan dan pembubaran organisasi kepercayaan Aliran Kebatinan “Perjalanan” di wilayah hukum Kabupaten Subang oleh Bakor PAKEM Kejaksaan Negeri Subang tanpa proses peradilan, dengan alasan :
a.)tidak didukung masyarakat Kota Subang,
b.)ajarannya bertentangan dengan/dapat mengacaukan ajaran Islam dan menimbulkan/dapat menimbulkan gangguan keamanan dan ketertiban umum.
Warga penghayat kepercayaan “Perjalanan” melalui Perwakilan Departemen Agama dan Majelis Ulama Kabupaten Subang dibina (digiring) untuk memeluk agama Islam.

3.) Keputusan Jaksa Agung no Kep-006/B/ 2/7/1976 tentang Pelarangan terhadap Aliran Kepercayaan Manunggal. Kepercayaan Manunggal adalah bagian dari ajaran Kejawen yang berintikan kearifan hidup orang Jawa dan menitik beratkan pada harmonisasi manusia dengan alam dan sesamanya.

4.)Keputusan Kejaksaan Tinggi Jateng no. Skep 002/ K.3/2/1979 tentang Larangan Kegiatan Ajaran Agama Jowo Sanyoto (Kejawen).

5.)Keputusan Kejaksaan Tinggi Jabar No. Kep 15/ K.23/2/12/1979 tentang larangan Aliran Kepribadian (Kejawen),

6.)SK Kejati Jabar No. Kep-44/K.2.3/8/1982 tanggal 25 Agustus 1985 yang membubarkan Paguyuban Adat Cara Karuhun Urang (PACKU). PACKU merupakan organisasi para pengikut ajaran Pangeran Madrais yang didirikan oleh cucu Madrais, Pangeran Djatikusuma pada tanggal 11 Juli 1981. Ajaran Madrais pun bagian dari rumpun agama Sunda Buhun.

7.)Antara bulan Februari-April 1989 sebanyak 42 orang warga penghayat kepercayaan di Kecamatan Naringgul Kabupaten Cianjur dibawa ke Koramil untuk diinterogasi, serta mendapat perlakuan yang tidak manusiawi (disiksa, diancam dan sebagian ditahan), dengan tuduhan menganut aliran sesat dan punya kaitan dengan PKI.
Mereka diharuskan membuat pernyataan masuk Islam dan melaksanakan syariatnya, serta kepatuhan dalam pelaksanaannya dipantau oleh aparat desa dan masyarakat lainnya.

8.)Pada 15 Nopember 1992 Direktorat Sospol Depdagri menerima SK Nomor: 02/Kep/PAKEM/1970, yang berisikan tentang larangan dan pembubaran Aliran Kebatinan “Perjalanan” di wilayah hukum Kabupaten Majalengka dengan alasan tidak jelas, namun Kejaksaan Negeri Kabupaten Majalengka sendiri sangat terkejut dengan laporan adanya SK tersebut di atas, karena di dalam catatan arsip/file tersebut tidak terdapat surat keputusan tersebut.

9.)Maret 2001 di Desa Cimulya, Kecamatan Lur Agung Kabupaten Kuningan, sepasang calon pengantin warga penghayat PACKU berkonsultasi kepada Kepala desa untuk mengajukan perkawinan, namun berdampak sebanyak 30 KK warga penghayat kepercayaan dipanggil ke Balai Desa dan diinterograsi oleh aparat desa, ustadz dan warga desa selama 3 malam berturut-turut, dan selanjutnya keluar keputusan kepala desa yang mengatasnamakan seluruh warga desa Cimulya (keputusan tertulis tidak diberikan), yaitu Desa bersedia melaksanakan perkawinan kedua calon pengantin, dengan ketentuan :
mereka (30 orang yang dipanggil) bersama keluarganya harus bersedia menandatangani surat pernyataan keluar dari organisasi penghayat tersebut
mereka diwajibkan menyatakan masuk Islam, serta akan tunduk dan taat melaksanakan syariat Islam.
Di Desa Cimulya tidak boleh ada lagi kegiatan/kehidupan masyarakat Kepercayaan terhadap Tuhan YME termasuk organisasinya.

10.) Sardi, seorang warga penghayat Kecamatan Bantar Gebang-Bekasi yang sejak kecil bercita-cita menjadi tentara. Terpaksa harus membuang jauh cita-citanya, karena ketika lulus SMA dan bermaksud untuk melamar jadi calon Tantama, ketika mengurus surat-surat yang diperlukan ke kantor Polisi, dinyatakan tidak memenuhi persyaratan karena identitasnya sebagai penghayat kepercayaan.

11.) Sejak tanggal 2 Mei 2005 sampai saat ini warga Penghayat Parmalim di Kelurahan Binjai Kota Medan, tidak dapat melanjutkan pembangunan Ruma Parsaktian Parmalim (tempat saresehan/ritual). Warga penganut Parmalim pun sering mendapatkan kesulitan dalam mengakses hak-hak sipil seperti pembuatan KTP dan KK. Parmalim adalah agama asli Batak warisan dinasti Sisingamangaraja.

12.) Tanggal 19 Mei 2006, sebanyak 12 orang warga penghayat di Kelurahan Wanareja Kecamatan Cibogo Kabupaten Subang diundang (dipanggil untuk diintrograsi) oleh kepala desa yang juga dihadiri oleh Ketua MUI , Camat, Kapolsek serta Danramil Kecamatan Cibogo. Ke-12 warga penghayat tersebut kegiatannya dianggap telah meresahkan masyarakat, karena suka mengadakan pertemuan/kliwonan dan yang hadir pakai ikat kepala (iket Sunda), ucapan salamnya menggunakan kata-kata Sampurasun dan Rahayu, serta metik kecapi.

13.)Sepanjang periode tahun 1984 – 2006, di seluruh wilayah Republik Indonesia perkawinan warga penghayat kepercayaan tidak dapat dicatatkan perkawinannya oleh Negara, dan dianggap perkawinan tidak sah, kecuali mereka memeluk salah satu agama yang “diakui” oleh Negara sesuai UU No.1 PNPS tahun 1965.

14.) Dewi Kanti, putri Pangeran Djatikusuma dari PACKU gagal mendapatkan akta nikah karena birokrasi catatan sipil tidak bersedia mencatatnya. Penyebabnya adalah pernikahan Dewi Kanti yang menggunakan tata cara adat Sunda Wiwitan tidak diakui oleh catatan sipil maupun KUA. Selain itu, tokoh adat PACKU, Kento Subarman juga tidak dapat mencatatkan pernikahannya di Catatan Sipil karena konsistensinya dalam menggunakan tata cara perkawinan Sunda Wiwitan.
“Anak-anak kami yang lahir dari pernikahan adat, dianggap sebagai anak haram karena pernikahan orang tuanya tidak tercatat di Kantor Catatan Sipil,” ujar Kento Subarman.

15.) Warga penganut Sunda Wiwitan di kampung Cirendeu, Cimahi sulit memperoleh hak-hak sipilnya seperti KTP, KK dan urusan perkawinan hingga kini.[1]

Bukan hanya diskriminasi yang dilakukan Negara, para penghayat kepercayaan atau penganut agama asli nusantara juga kerap mendapatkan stigmatisasi, terror bahkan tindak kekerasan dari sekelompok masyarakat. Kasus-kasus berikut menjadi gambaran nasib masyarakat adat :
1. Penyerangan dan pembakaran Paseban milik warga PACKU di Cigugur Kuningan oleh gerombolan Darul Islam (DI/TII) pimpinan Kartosuwiryo pada tahun 1950-an,
2. Pembantaian warga penganut ajaran Perjalanan oleh gerombolan DI/TII di Ciparay, Bandung tahun 1954,
3. Pembantaian para Bissu (pemuka adat Bugis) oleh gerombolan DI/TII pimpinan Kahar Muzakar tahun 1960-an,
4. Stigmatisasi terhadap komunitas adat Sedulur Sikep di Jawa Tengah sebagai orang-orang yang tidak tahu aturan dan tidak bertata krama. Komunitas Sedulur Sikep merupakan para pengikut Samin Surosentiko yang menganut kearifan lokal Jawa,
5. Stigmatisasi terhadap komunitas Watu Telu Sasak (Lombok) yang sering dicemooh sebagai warga Islam yang “tidak penuh”.
6. Fatwa sesat Majelis Ulama Indonesia (MUI) terhadap komunitas adat Dayak Losarang Indramayu. Komunitas Dayak Losarang adalah penganut ajaran ngaji rasa alam semesta yang sama sekali tidak mengklaim diri sebagai penganut Islam.
7. Penyerangan terhadap aliran Kejawen Sapta Darma yang dilakukan Front Pembela Islam (FPI) pada tahun 2007 di Yogyakarta,

Dari berbagai fakta tersebut, terlihat bahwa diskriminasi maupun stigmatisasi (bahkan tindak kekerasan) masih tetap membayangi masyarakat adat penganut agama asli nusantara. Padahal agama mereka sudah “diturunkan derajatnya” oleh Negara menjadi aliran kepercayaan. Namun bukannya dijamin hak-hak dasarnya sebagai warga Negara, mereka tetap saja menjadi tumbal diskriminasi Negara dan kelompok tertentu dalam masyarakat. Pemerintahan Indonesia merdeka ternyata tak ubahnya pemerintah kolonial yang memiliki anggapan bahwa masyarakat adat nusantara menganut “agama primitif” dan harus “diberagamakan” dengan agama yang benar menurut ukuran penguasa. Maka masihkah kita meragukan fakta-fakta tersebut yang menjadikan kita memiliki “cacat” dalam kehidupan berbangsa dan benegara?!

Politik diskriminasi yang tiada usai itu menunjukkan pengingkaran terhadap Pancasila, UUD 1945 dan Kebhinekaan bangsa oleh otoritas Negara. Diskriminasi yang sejatinya telah menyalahi keberagaman sebagai suatu keniscayaan bangsa ini selama berabad-abad. Maka dibutuhkan perjuangan bersama dari semua pihak, baik kalangan civil society maupun kekuatan politik tertentu, yang concern akan pembebasan kaum adat yang tertindas dari kebijakan negara yang menganak tirikan kaum adat. Perjuangan atau perlawanan yang mutlak dilakukan guna memutus mata rantai diskriminasi yang membelenggu masyarakat adat selama puluhan tahun.

MERDEKA !!!

Penulis adalah alumni Antropologi Unpad dan Kader GMNI Cabang Sumedang*)

[1] Data ini diperoleh dari Catatan Perlakuan/Tindakan Diskriminasi yang Dialami Penghayat Kepercayaan Sebagai Dampak Keberadaan UU 1 PNPS 1965. Catatan ini merupakan lampiran dari makalah kaum penghayat yang membeberkan latar belakang dan dampak pemberlakuan UU 1 PNPS 1965.

Tue, 07/05/2011 - 11:14
Moderator

http://anbti.org/content/masyarakat-ada ... skriminasi
Laurent
Posts: 6083
Joined: Mon Aug 14, 2006 9:57 am

Re: NASIB AGAMA ASLI INDONESIA SAAT INI

Post by Laurent »

Tafsir Monolitik Agama dalam Kebijakan Publik

Cetak Artikel
Penulis : Miftahus Surur
Publikasi : 9-Agustus-2008 13:55

Suatu hari di bulan April 2007, beberapa orang dari komunitas Dayak Hindu-Budha Bumi Segandhu Indramayu “disidang” oleh beberapa orang dari aparat pemerintah, yang terdiri dari MUI, Kepolisian, Depag, Koramil, dan Kejaksaan. Beo Prakoso, salah satu dari komunitas itu menuturkan bagaimana para aparat itu bukan hanya menginterogasi tentang praktik keyakinan, melainkan juga dalam praktik dan relasi sosial.

Menurut Prakoso, para aparatur itu gelisah dengan berbagai praktik kehidupan Komunitas Dayak Hindu-Budha Bumi Segandhu Indramayu – yang dianggap mereka – telah mencampuradukkan berbagai ajaran agama. Sedangkan dari pihak kepolisian dan koramil sangat merasa terganggu oleh tindakan yang dilakukan warga komunitas yang dinilai tidak mematuhi peraturan hukum, seperti adminsitrasi kependudukan, tertib lalu lintas, dan sebagainya. Komunitas Dayak Hindu-Budha Bumi Segandhu Indramayu telah diposisikan sebagai kelompok yang bukan hanya “menodai” agama mainstream, melainkan juga sebagai warga pembangkang negara.

Pada saat yang lain, jauh sebelum itu, tahun 1982, kampung Cigugur-Kuningan geger. Suatu malam menjelang perayaan adat Seren Taun, sekelompok orang bertubuh kekar, berambut cepak dan berpakaian necis datang lalu mengobrak-abrik seluruh perangkat acara. Acara adat yang diselenggarakan untuk merayakan pesta panen itu pun akhirnya gagal digelar, bahkan telah menyisakan ketakutan di benak warga hingga tahun ke tahun. Karena setelah itu muncul instruksi dari pihak berwenang bahwa Seren Taun dilarang. Padahal, Seren Taun yang selalu digelar tiap tanggal 18-22 Rayagung itu merupakan ritual yang diyakini sebagai ruang pengabdian manusia kepada Sang Pencipta sekaligus sebagai sarana solidaritas sosial.

Orang luar, aparat kepolisian, atau mungkin juga kita yang belum akrab dengan kehidupan komunitas lokal seperti Komunitas Dayak Hindu-Budha Bumi Segandhu Indramayu atau Komunitas Cigugur itu akan selalu mempertanyakan atau juga mempersoalkan segala sesuatu yang terlihat aneh dalam praktik-praktik kehidupan mereka. Aneh, asing, nyleneh, tentu merupakan kategori sekaligus kenyataan yang kemudian dilihat dan ditafsir secara lain. Sejak lama, komunitas-komunitas lokal seperti itu sudah terlanjur diposisikan oleh negara secara tidak menguntungkan. Berbagai peristiwa politik yang memuncak pada tahun 1965, terutama ketika penganut keyakinan lokal – yang kemudian dirumuskan sebagai penganut aliran kepercayaan – dicurigai sebagai kelompok yang sangat potensial merongrong kestabilan pemerintah, saat itu pula berbagai kebijakan dibuat untuk mengontrol gerak mereka dengan mula-mula melekatkan suatu konstruksi, stigma, cemoohan sebagai komunis dan kelompok penoda agama.

Konkretisasi stigma itu, salah satunya yang sangat popular, termuat dalam UU No 1/PNPS/1965, suatu regulasi yang kini telah mengalami kontekstualisasi yang sangat luar biasa atraktif – bukan dalam pengertian untuk menghambat kemungkinan pemberontakan – tetapi untuk mematahkan berbagai artikulasi lokalitas yang tidak searus dengan keyakinan/agama mainstream. Bahkan, setiap artikulasi yang “dianggap” menodai itu bisa dikenai sanksi pidana yang artinya sejajar dengan perbuatan jahat, kriminal, sebagaimana pula yang tercantum dalam pasal 156a KUHP Indonesia.

Implementasi kebijakan itu tidak main-main. Pernah pada masanya, keyakinan lokal bernama Kaharingan dipaksa menjadi Hindu, Komunitas Towani diHindukan, komunitas Ganjar menjadi Budha, sampai merebak suatu peristiwa mutakhir seperti Ahmadiyah yang dipaksa untuk Islam kembali. Regulasi yang awalnya disusun sebagai “pemukul” bagi penganut aliran kepercayaan itu semakin meluas dengan semakin banyaknya aliran keyakinan lokal yang mati atau dipaksa menganut dan melebur diri ke dalam salah satu dari enam agama yang diakui oleh pemerintah.

Sejak lama, perdebatan seputar kata kunci dalam regulasi itu – baik UU No 1/PNPS/1965 maupun 156a KUHP – seperti menodai, menghina, dan sebagainya telah terjadi cukup gegap. Apa yang dimaksud dengan menodai sebagaimana termaktub dalam kamus Bahasa Indonesia selalu meleset ketika dipakai untuk melihat berbagai praktik keyakinan atau keagamaan masyarakat. Berbagai catatan etnografis menyebutkan bahwa Islamisasi atau Kristenisasi sebagai suatu pengenalan agama baru justru telah menyisakan suatu kreatifitas masyarakat dalam beragama dengan tidak lagi melaksanakan ajaran yang identik dengan yang baru itu. Dengan pengertian lain, kreatifitas “mencampurkan” itu menyiratkan adanya suatu identifikasi yang justru berbeda dari “yang asli”. Jadi, membayangkan atau mengharapkan suatu yang otentik dan orisinil sebagaimana yang diinginkan oleh MUI (Majelis Ulama Indonesia) atau Bakor Pakem (Badan Kordinasi Pengawas Aliran Kepercayaan Masyarakat) tentu sia-sia karena pada tataran empirik, agama dan/atau keyakinan bukanlah wahyu yang turun dari langit, tetapi praktik kehidupan yang selalu berdialektika dan berdialog dengan realitas sehari-hari.

Dengan demikian, mempertahankan regulasi itu demi sebuah otentisitas ajaran agama bisa dipahami sebagai ketidakmengertian tentang centang-perenang kehidupan keagamaan masyarakat yang demikian jamak. Selain sebagai suatu lingkaran hermeneutik yang bermakna bagi pemeluknya, agama adalah seluruh jalinan kehidupan masyarakat. Ia tidak lagi terbatas pada kisaran teks sebagai ujaran wahyu, tetapi pada sikap, pandangan, dan praktik pemeluknya terhadap keberagamaan mereka. Dalam konteks inilah, sikap dan pandangan yang berusaha dibakukan dalam produk kebijakan tetap tidak akan mampu mewakili dan menggambarkan rasa keberagamaan itu sendiri, karena bagi komunitas lokal, agama dan/atau keyakinan merupakan bagian penting dari kultur dan seluruh tata cara kehidupan mereka.

Visi Humanistis Kebijakan Publik


Di dalam mencermati regulasi seperti itu, paradoks yang muncul adalah mengenai ketidakkonsistenan jabaran tentang hak beragama. Di satu sisi, Konstitusi menjamin hak setiap orang untuk menjalankan ajaran agama dan kepercayaannya, tetapi di UU lain justru terdapat pembatasan. Sementara di sisi lain, terdapat kepentingan beberapa pihak yang (merasa) memiliki otoritas di dalam memaknai suatu praktik ajaran agama tertentu. Para pemegang otoritas kebijakan itu selalu mengatakan bahwa hak beragama senantiasa dijamin selama tidak bertentangan dengan agama yang diakui negara. Artinya, ketika terdapat praktik suatu kelompok masyarakat yang oleh pemerintah dan para partnernya dianggap bertentangan, menodai, menghina, dan sebagainya, maka praktik seperti itu harus dilarang dan bahkan bisa diancam dengan pidana. Mereka lalu mengatakan “....KUHP kita mengatur itu.”
Sebagian kita, apalagi para pemegang kebijakan itu tentu tahu bahwa setelah Indonesia meratifikasi Kovenan Internasional Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya melalui UU No 11/2005 dan Ratifikasi Hak Sipil dan Politik melalui UU No 12/2005, maka sejak itu pula pemerintah kita “terikat” untuk melaksanakan berbagai ketentuan mengenai perlindungan Hak-hak Asasi Manusia, tentu saja dengan salah satu di antaranya adalah perlindungan terhadap hak untuk memilih dan menjalankan aktifitas keagamaan. Bahkan di dalam Komentar Umum Hak Sipil dan Politik No 22 artikel 18 dijelaskan bahwa hak beragama atau berkeyakinan harus dilindungi, bukan hanya dalam status keberagamaannya, melainkan juga seluruh praktik dan tempat-tempat dilaksanakannya praktik itu. Okelah jika Kovenan itu tidak dianggap penting, tetapi gagasan mengenai hak untuk melaksanakan ajaran agama dan keyakinan sebagai hak setiap insan perlu dirujuk. Hanya saja, ketentuan ini tetap sulit dilaksanakan karena terhambat oleh tuntutan sekelompok orang yang tidak rela jika ajaran agamanya “tercampur” dengan kondisi lokalitas.

Mungkin benar bahwa setiap orang atau juga komunitas berhak mengatakan bahwa masing-masing kita memiliki rumusan mengenai hak asasi tanpa harus merujuk konsep hak asasi yang – menurut mereka – merupakan produk Barat. Dalam konteks perlawanan terhadap hegemoni modernitas, argumentasi seperti itu tampaknya bisa diterima. Karena dalam konteks perlawanan (resistensi) itu, para komunitas lokal seperti Sunda Wiwitan, Dayak Hindu-Budha Bumi Segandhu Indramayu, atau juga yang lain pasti selalu kreatif untuk menyiasati gempuran kebijakan publik tentang agama dalam berbagai bentuk dan cara; suatu cara yang membuat mereka tetap bertahan hingga saat ini. Tetapi ketika memakai agama dan juga regulasi – juga sebagai produk modernitas - untuk menghantam keyakinan lokal atau keyakinan lain yang dilakukan secara terus-menerus dengan alasan kemurnian dan otentisitas, maka yang terjadi bukan hanya paradoks modernitas, melainkan juga penyangkalan terhadap kemanusiaan. Pihak-pihak seperti ini tampaknya lupa bahwa praktik kreatif komunitas dalam beragama yang sinkretik sudah ada justru jauh sebelum berbagai konvensi internasional HAM itu lahir.
Regulasi, baik berupa kovenan internasional maupun Konstitusi masih membutuhkan dialog yang cukup panjang. Dimensi universalitas yang terdapat di dalam HAM merupakan salah satu yang menjadi bahan di dalam dialog itu, termasuk dalam hal kebutuhan setiap individu dan juga komunitas untuk mengartikulasi sisi religiusitas mereka. Universalitas nilai dan martabat di dalam HAM harus disadari sebagai kesepakatan politis antara negara-negara yang terlibat di dalamnya. Sebagai kesepakatan politis, ia sulit menghindar dari potensinya untuk berbenturan dengan konsep masyarakat tentang martabat, moral, dan tata cara hidup. Melalui dialog, terdapat dua sasaran penting yang dituju. Pertama, tumbuhnya kesadaran tentang tidak-adanya yang universal, otentik, murni, dan sebagainya, baik dalam konteks regulasi maupun keberagamaan. Apa yang universal hanyalah kesepakatan tentang ketentuan yang bisa diterima dan menjadi konsensus bersama, bukan dalam hal kebenarannya. Dengan kesadaran ini, berbagai praktik keagamaan yang berbeda-beda tetap dihargai sebagai bagian penting dari manusia dan kemanusiaan itu sendiri.

Kedua, tumbuhnya kesepakatan-kesepakatan baru mengenai apa yang harus diterima sebagai kehidupan bersama, termasuk berbagai perbedaan di dalamnya. Sejauh tidak terdapat upaya dan tindakan untuk menegasi yang lain, maka kesepakatan baru itu bisa dirujuk sebagai mekanisme untuk menciptakan kondisi masyarakat yang “bersama dalam perbedaan atau berbeda dalam kebersamaan.” Karena harus disadari pula bahwa di dalam kesepakatan itu selalu terdapat yang tidak setuju dengan yang mainstream.

Akhirnya menjadi jelas bahwa kebijakan publik sepatutnya tidak perlu masuk dan mengurus dimensi dalam dari suatu praktik keagamaan; bagaimana manusia beribadah, rujukannya, tempatnya, berpakaian atau tidak, memakai dupa atau ayat suci, memiliki kemiripan dengan yang lain atau tidak. Justru, kebijakan publik dibuat dalam rangka melindungi berbagai artikulasi yang beragam itu. Tokh, sejauh kita yakin bahwa agama memiliki dimensi pertanggungjawaban manusia terhadap Tuhan, maka biarlah masing-masing diri yang akan berjibaku di hadapan Tuhan-Nya. Siapapun, baik individu atau komunitas tidak akan pernah bisa diikat dalam satu identitas tunggal meskipun menyebut nama Nabi atau Kitab Suci yang sama. Oleh sebab itu, membuat dan mempertahankan kebijakan hukum yang berorientasi pada ketunggalan konseptual mengenai agama dan praktik beragamanya, bukan saja mustahil melainkan juga kontras dengan realitas manusia yang selalu bertindak kreatif untuk memaknai diri dan lingkungan sosial mereka.

Dalam konteks inilah, jika kita telaah lebih lanjut, masih perlukah bagi banyak Pemerintah Daerah untuk menyusun dan mengusung kebijakan publik yang mengontrol perilaku keagamaan masyarakat? Atau masih patutkah untuk tetap mempertahankan muatan ketentuan tentang Delik Pidana terhadap Agama di dalam Rancangan KUHP yang sedang digodok pemerintah? Jawaban pertanyaan itu dipastikan akan membentuk tumpukan agenda. Penulis tidak tahu pasti. Tapi tampaknya, proses mencari jawaban itu cukup menantang, bukan? *

http://tankinaya.org/esei/2008/08/09/ta ... ublik.html
User avatar
tukang ojek
Posts: 1527
Joined: Sun Sep 18, 2011 2:39 am
Location: Di hati kaum muslimin dan muslimah :)

Re: NASIB AGAMA ASLI INDONESIA SAAT INI

Post by tukang ojek »

Izin ke kantin bentar ya....cuma sebentar saja...
Ok..saya sudha kembali..

Terima kasih...
Laurent
Posts: 6083
Joined: Mon Aug 14, 2006 9:57 am

Re: NASIB AGAMA ASLI INDONESIA SAAT INI

Post by Laurent »

http://islamlib.com/id/artikel/ketika-m ... jug-tanduk

Ketika Masyarakat Adat Berada di Ujung Tanduk
Oleh Muhammad Arif
Berbicara masyarakat adat, mereka tidak hanya memiliki kearifan lokal,
tetapi juga memiliki tradisi kepercayaan terhadap hal-hal gaib. Dari situ
kemudian lahirlah agama yang sampai saat ini masih dianut oleh
masyarakat adat, seperti agama Merapu di Sumbawa, Kaharingan di
Kalimantan, Kejawen di Jawa, Buhun di Jawa Barat, parmalin di Sumatra
Utara, Kubu di Jambi, dan masih banyak lagi yang lainnya. Sayangnya
semangat pemerintah, sebagai penyelenggara negara dalam melindungi
eksistensi agama-agama atau keyakinan-keyakinan masyarakat adat
tersebut kini mulai memudar.
Siapa yang dapat menyangkal bahwa Indonesia adalah bangsa yang majemuk.
Sedikitnya tercatat terdapat lebih dari 700 masyarakat adat yang hidup di
Indonesia. Mereka hidup bersama dengan tata nilai, adat istiadat, dan bahkan
agama tersendiri di dalam sebuah komunitas di sebuah wilayah tertentu. Mereka
itulah penduduk asli Indonesia yang menyimpan dan masih memelihara budaya
(tradisi) Indonesia beserta kearifan lokalnya.
Sayangnya di era modern ini eksistensi mereka telah memudar. Tradisi dan
kearifan lokal yang selama ini mereka pertahankan harus rela disingkirkan oleh
kebudayaan modern. Mereka para pemegang teguh tradisi, kini dianggap kolot,
anti kemapanan, dan tidak relevan dengan budaya modern oleh orang-orang
yang mengangggap dirinya modern. Padahal tradisi dan kearifan lokal yang
selama ini mereka pertahankan tidaklah hadir begitu saja, bukan semata-mata
tercipta melainkan memelihara yang baik untuk alam.
Berbicara masyarakat adat, mereka tidak hanya memiliki kearifan lokal, tetapi
juga memiliki tradisi kepercayaan terhadap hal-hal gaib. Dari situ kemudian
lahirlah agama yang sampai saat ini masih dianut oleh masyarakat adat, seperti
agama Merapu di Sumbawa, Kaharingan di Kalimantan, Kejawen di Jawa, Buhun
di Jawa Barat, parmalin di Sumatra Utara, Kubu di Jambi, dan masih banyak lagi
yang lainnya. Sayangnya semangat pemerintah, sebagai penyelenggara negara
dalam melindungi eksistensi agama-agama atau keyakinan-keyakinan
masyarakat adat tersebut kini mulai memudar.
Bagi Indonesia keaneka ragaman etnik, kultural, dan agama adalah sebuah
keniscayaan. Akan tetapi, kebijaksanaan negara (pemerintah) seringkali justru
menyeragamkan kelompok-kelompok melti etnik tersebut. Di satu sisi negara
mengakui keberadaan hak-hak masyarakat adat melalui UUD 1945, tetapi di sisi
lain keberadaan mereka diberangus dan sisihkan.
Inilah kenyataan ironis. Indonesia sangat menjunjung tinggi kebebasan,
sebagaimana tercermin dalam UUD 1945 pasal 28. Khusus dalam kebebasan
memeluk dan menjalankan agama (termasuk agama-agama suku) ini dijamin
dalam UUD 1945 pasal 29 ayat 1 dan 2. Bahkan UU No. 39 tahun 1999 tentang
HAM juga memberikan landasan normatif bagi tiap-tiap orang untuk bebas
memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadah menurut agama dan
kepercayaanya itu (pasal 22 ayat 1) serta adanya jaminan negara bagi setiap
orang untuk secara bebas memeluk agamanya masing-masing dan untuk
beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu (pasal 22 ayat 2).
Sementara kebijakan pemerintah saat ini, cenderung mengelak dari statemen
tersebut. Coba kita lihat UU No 1/PNPS/1965 tentang Penyalahgunaan dan/atau
Penodaan Agama. Secara gamblang undang-undang tersebut
mendiskriminasikan agama-agama tidak resmi, seperti agama-agama minoritas
masyarakat adat. Penjelasan undang-undang tersebut jelas hanya
mengutamakan dan menjamin enam agama resmi saja, yaitu Islam, Katolik,
Kristen, Hindu, Budha, dan Kong Hu Cu. Dan tidak jarang ini menjadi legitimasi
bagi sekte-sekte ekstrem agama mayoritas yang ada di negri ini untuk
mengkafirkan dan bertindak anarkis terhadap penganut agama minoritas.
Selain itu, kebijakan pemerintah hanya meresmikan enam agama tersebut juga
menyisakan catatan-catatan yang cukup menyesakkan dada. Akibat pelaksanaan
kebijakan tersebut, masyarakat adat harus mengalami kesulitan dalam mengurus
KTP, akta kelahiran, dan akta nikah yang berbuntut pada sulitnya memasuki dunia
pendidikan formal dan mendapatkan hak-hak ekonomi, sosilal dan budaya.
Mengingat agama yang mereka anut tidak terdapat dalam daftar agama yang
tercatat resmi dalam kementrian agama Indonesia.
Tidak hanya berhenti di situ, kebijaksanaan tersebut juga merembet pada wilayah
pendidikan. Sebagaimana kita tahu, dalam kurikulum pendidikan kita mata
pelajaran agama merupakan materi wajib. Praktis materi dan pengajar agama
yang disediakan (fasilitasi) pun hanya materi dan pengajar agama-agama resmi
saja, yaitu Islam, Katolik, Kristen, Hindu, Budha, dan Kong Hu Cu. Padahal agama
yang di anut masyarakat Indonesia tidak hanya itu.
Inilah pil pahit yang harus ditelan oleh masyarakat adat. Ketika mereka mau
masuk dunia pendidikan formal mereka harus rela memalsukan KTP dan akta
lahir mereka. Tidak hanya itu, mereka juga harus rela mempelajari mata
pelajaran agama yang sama sekali tidak mereka pahami, karena itu bukan
agamanya sendiri.
Realitas yang demikian ini tentu sangat mengusik kebinekaan di negri ini. Oleh
karena itu, agar kehidupan agama yang majemuk ini terlepas dari dikriminasi
dan badai konflik keyakian kita harus menegakkan pluralisme di Indonesia.
Pluralisme tidak semata dengan menunjukkan kenyataan tentang adanya
kemajemukan, melainkan sikap keterlibatan aktif terhadap kenyataan
kemajemukan tersebut (dalam hal ini upaya pemerintah untuk serius peduli
terhadap masyarakat adat, baik dari segi agama, budaya, maupun ekonominya).
Relasi pluralitas yang di dalamnya terdapat problem minoritas versus mayoritas,
harus dibangun dengan tindakan nyata berdasarkan pengakuan atas persamaan,
kesetaraan, dan keadilan.
Sejatinya kebebasan memeluk agama merupakan hak dasar dari setiap manusia.
Di Indonesia ini dijamin melalui pasal 28 E ayat 1 dan 2 UUD 1945 hasil
amandemen yang kemudian ditegaskan lagi dalam pasal 29 ayat 1 dan 2. Oleh
karena itu, seharusnya negara (pemerintah) memberikan jaminan dan
perlindungan yang sama bagi setiap penganut agama atau kepercayaan adat
sebagaimana agama resmi. Kerena menurut saya, apa yang masyarakat adat
yaniki tersebut tidak ada bedanya dengan penganut agama lain yang meyakini
Tuhan Yang Maha Esa dan selalu taat untuk menjalani ibadah atau ritual sesuai
dengan tuntunan hukum agamanya. Dengan demikian, setidaknya diharapkan
keberdaan keberagaman agama dan kepercayaan adat tersebut tetap mewarnai
kebinekaan bangsa Indonesia.
Muhammad Arif UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
Laurent
Posts: 6083
Joined: Mon Aug 14, 2006 9:57 am

Re: NASIB AGAMA ASLI INDONESIA SAAT INI

Post by Laurent »

ternyata persis sama yang dikatakan link ini

http://indonesia.faithfreedom.org/forum ... ia-t44536/
Laurent
Posts: 6083
Joined: Mon Aug 14, 2006 9:57 am

Re: NASIB AGAMA ASLI INDONESIA SAAT INI

Post by Laurent »

situs resmi kapribaden

http://www.kapribaden.org/
Laurent
Posts: 6083
Joined: Mon Aug 14, 2006 9:57 am

Re: NASIB AGAMA ASLI INDONESIA SAAT INI

Post by Laurent »

Eksistensi “Agama Asli Indonesia” Dan Perkembangannya Dari Masa Ke Masa
Posted on Maret 29, 2010 by triwidodo






1 Votes


http://www.facebook.com/#!/notes/dullna ... 8637844662

ditulis di Facebook oleh Dullnaif Skeptyo

Hari ini jam 3:40

Oleh: K.P. Sena Adiningrat

*) Disampaikan dalam Sidang Mahkamah Konstitusi dalam rangka Permohonan Uji Materi Undang-undang Nomor 1/PNPS/ 1965, di Jakarta, 23 Maret 2010.

I. Pendahuluan

Undang-undang Nomor 1/PNPS/1965 tentang Pencegahan dan Penyalahgunaan/ Penodaan Agama − terlepas dari maksud untuk menjaga dan melindungi keluhuran nilai-nilai agama − kenyataannya jelas-jelas mengandung diskriminasi terhadap agama-agama tidak resmi, khususnya penghayat kepercayaan terhadap Tuhan Yang Mahaesa.

Penjelasan Pasal 1 undang-undang ini jelas hanya memprioritaskan 6 agama yang diakui pemerintah, sekaligus mendapat bantuan dan perlindungan, yaitu Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Buddha dan Kongfusius. Sedangkan agama-agama lain, misalnya Yahudi, Sarazustrian, Shinto, Thaoism, sekalipun tidak dilarang tetapi terkesan dinomor duakan, seperti tampak pada rumusan “…dan mereka dibiarkan adanya, asal tidak melanggar ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam peraturan ini atau peraturan perundang-undangan lainnya”.

Ada lagi penjelasan Undang-undang ini yang jelas-jelas merendahkan eksistensi aliran kepercayaan yang berbunyi: Terhadap badan/aliran kebatinan, Pemerintah berusaha menyalur-kan kearah pandangan yang sehat dan ke arah Ketuhanan Yang Maha Esa. Ungkapan ini jelas-jelas menempatkan para penghayat Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa seolah-olah mereka menjadi “objek binaan”, karena karena pandangannya tidak sehat dan tidak mengarah kepada Ketuhanan Yang Maha Esa.

Bahkan dalam Penjelasan Umum angka 2, disebutkan bahwa kelahiran undang-undang ini dilatarbelakangi oleh pertimbangan “… bahwa pada akhir-akhir ini hampir di seluruh Indo-nesia timbulnya aliran-aliran dan organisasi-organisiasi kebatinan/kepercayaan masyarakat yang bertentangan dengan ajaran-ajaran dan hukum agama”. Terkesan bahwa tolok ukur “ajaran-ajaran dan hukum agama” yang dimaksud di sini adalah agama-agama resmi yang diprioritaskan negara (Penjelasan pasal 1), dan aliran-aliran tidak resmi (termasuik yang muncul dari salah satu agama) harus tunduk pada definisi agama-agama resmi.

Karena itu, agama-agama resmi itu perlu dijaga dengan Pasal 1 Undang-undang ini, dimana “penafsiran yang berbeda” dan “membuat kegiatan keagamaan yang menyerupai” dari agama-agama resmi tersebut dianggap sebagai delik penodaan agama. Inilah letak masalah-nya, siapakah yang harus menentukan standarisasi tafsir agama, atau siapakah yang berhak menentukan salah atau benarkah suatu keyakinan? Jadi, sama sekali bukan menyetujui agama dinodai, tetapi masalahnya pada kriteria penodaan agama dalam undang-undang ini didominasi oleh agama-agama yang diakui pemerintah.

Kembali kepada eksistensi aliran kepercayaan yang terdiskriminasi, selanjutnya Penjelasan Umum angka 2 juga menyebutkan: “Di antara ajaran-ajaran/peraturan-pe

raturan pada pemeluk aliran-aliran tersebut sudah banyak yang menimbulkan hal-hal yang melanggar hukum, memecah persatuan nasional dan menodai agama”. Sejarah membuktikan justru ekstrimisme yang membahayakan persatuan nasional sering tumbuh subur dalam agama-agama resmi, bukan kepercayaan tradisional.

Sejarah panjang perjalanan bangsa Indonesia justru menunjukkan bahwa “agama asli” bersikap sangat ramah, inklusif, dan toleran terhadap agama-agama pendatang. Lalu mengapa yang jadi “tolok ukur” justru agama-agama pendatang, dan bukan pada keyakinan tradisional yang memang jarang mendefinisikan atau membuat pembakuan keyakinan? Di bawah ini akan dibuktikan eksistensi agama asli Indonesia dan bagaimana perkembangannya dari masa ke masa. Dalam lintas sejarah dibuktikan bahwa agama-agama pendatang disambutnya ramah, bukan dianggap sebagai musuh dan ancaman, sebaliknya dihargai, diadaptasi dan diterima untuk menghiasai mozaik keyakinan asli yang menyangga dan mendasarinya.

II. Definisi Agama (Religion)

Sebelum menguraikan apakah yang disebut “Folk Religion” (agama asli) dan bagaimana perkembangannya dalam lintasan sejarah bangsa Indonesia, izinkanlah saya menguraikan dahulu definisi agama itu sendiri dari beberapa bahasa yang akhirnya diserap dalam bahasa Indonesia.

H. Zainal Arifin Abbas dalam bukunya Perkembangan Pemikiran terhadap Agama, kata “agama” berasal dari bahasa Sanskerta “tidak kacau”: a berarti “tidak”, dan gama berarti “kacau”. Sedangkan menurut P.J. Zoelmulder dan R.O. Robson dalam Kamus Jawa Kuno-Indonesia, kata “agama” telah diserap dalam bahasa Jawa kuno yang mengandung beberapa arti: “doktrin atau ajaran tradisional yang suci”, “himpunan doktrin”, “karya-karya suci”. Dalam makna ini kata agama muncul dalam berbagai karya sastra Jawa kuna, antara lain: Adiparwa, Wirataparwa, Ramayana, dan sebagainya.

Tidak jauh berbeda dengan P.J. Zoelmulder, menurut L. Mardiwarsito dalam Kamus Jawa Kuna-Indonesia kata agama berarti: (1) ilmu, ilmu pengetahuan; (2) hukum atau perundang-undangan; dan (3) agama atau religi. Kata “agama” dalam makna religi ini misalnya dijumpai dalam Kakawin Negarakertagama (XXV,2): “Mapanji santara widagdheng agama wruh kawi”. Artinya: “Para panji yang lain ahli dalam pengetahuan agama dan mahir pula dalam kesusastraan”.

Kata “agama” memang diserap dari bahasa Sanskerta: a berarti “tidak” dan gama “bergerak”, artinya sesuatu yang dianut dan dianggap pasti dan mengikat bagi yang mempercayainya. Dalam makna seperti ini, dalam bahasa Jawa kuna “agama” berarti “aturan-aturan hukum” yang salah satu aspeknya “kepastian”. Karena itu, kitab undang-undang Majapahit yang berlaku pada zaman Prabu Hayamwuruk (1350-1389 M) disebut Sang Hyang Agama (nama lain dari Kutaramanawa), dan kitab undang-undang yang berlaku pada zaman Prabu Wikramawardhana (1389-1427 M) disebut Sang Hyang Adi Āgama. Perlu dicatat pula, bahwa Undang-undang Adi Agama warisan Majapahit ini sampai sekarang masih diberlakukan di Bali, khususnya berkaitan dengan tindak pidana adat Lokika Sanggraha yang diatur dalam Pasal 384 Adi Agama jo. Pasal 5 ayat (3) sub b Undang-undang Nomor 1/Drt/1951.

Ungkapan lain yang diserap dari bahasa-bahasa Barat adalah “Religi”, “Religion”. Kata religi berasal dari bahasa Latin religio yang akar katanya religare yang berarti “mengikat”. Jadi, arti “religio” disini adalah way of life lengkap dengan peraturan-peraturannya tentang kebaktian dan kewajibannya, sebagai alat untuk mengikat seseorang atau sekelompok orang dalam relasinya dengan Tuhan, sesama manusia dan alam semesta.

Sedangkan dalam bahasa-bahasa semitik di Timur Tengah, “agama” disebut dalam bahasa Arab “Dîn”, yang sering dimaknai sebagai lembaga ilahi yang memimpin manusia untuk mencapai keselamatan dunia dan akhirat. Terlepas dari makna syar’i dalam konteks Islam, kata Arab dîn ternyata cognate dengan bahasa-bahasa semitik: danu (Akkadia), den (Ibrani), dîn/dîna (Aramaik/Suryani) yang berarti “religion”, “cult”. Selain itu dalam bahasa Ibrani dan Aramaik, kata den juga berarti “pengadilan”, misalnya seperti ungkapan Ibrani: Yom ha-Den (hari Pengadilan), yang sejajar juga dengan bahasa Arab: Yaum ad-dîn (hari pembalasan/ hari pengadilan).

Selain kata din, dalam bahasa Arab juga dikenal kata Millah, yang juga sejajar dengan bahasa Aramaik Milta (firman, kata). Sekali lagi, terlepas dari makna syar’i-nya, kata Arab millah juga berkaitan dengan “ketaatan”, “kepasrahan” manusia kepada Allah, yang dalam agama-agama semitik diteladankan dari sosok kepasrahan Ibrahim kepada Sang Pencipta (Abraham), yang dijuluki “Bapa orang-orang beriman” (Arab: Abu al-Mu’minin, Ibrani: Ab ha Ma’a-minim) dalam Yudaisme, Kristen dan Islam.

Dari ungkapan-ungkapan berbagai bahasa di atas, maka dapat disimpulkan bahwa agama atau religi mengandung baik unsur “pengabdian”, “kepasrahan” − sebagai kata kerja − maupun “sekumpulan ajaran yang dianggap benar” − sebagai kata benda. Yang pertama “agama” sebagai gerak hati dan religiusitas, yang kedua “agama” sebagai “ajaran-aajran baku”, atau “ajaran-ajaran yang dibakukan” oleh lembaga keagamaan (the organized religion). Jadi, dalam makna di atas maka apa yang disebut “kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa” adalah agama (religion) dalam makna yang semurni-murninya secara ilmu agama-agama (Inggris: the sciense of religions, Jerman: Religionswisseschaft; Perancis: la science de religion).

Bahwa definisi agama atau religion ini tidak sesuai dengan definisi yang diberikan oleh agama-agama besar dunia (Islam, Kristen, Hindu, Buddha, dan sebagainya) ini adalah masalah lain. Lebih tegasnya, “dîn” atau “millah” dalam Islam, “dîn/dîna” atau “religio” dalam Kristen, atau “agama”, “dharma”, “dhamma” dalam Hindu dan Buddha adalah makna teologis yang diberikan oleh agama-agama tersebut terhadap suatu ungkapan yang secara bahasa adalah netral. Padahal soal teologi atau akidah adalah “wilayah” keyakinan, dan soal itu di luar wewenang ilmu agama-agama, yang tidak berpretensi membenarkan atau menyalahkan keyakinan suatu agama.

III. Eksistensi “Agama Asli” dan Perkembangannya Dari Masa Ke Masa

Sebelum masuknya agama-agama besar dunia ke Indonesia, masyarakat Indonesia sudah berTuhan dan menjunjung tinggi prinsip Ketuhanan Yang Maha Esa di atas segala-galanya. Di bawah ini adalah bukti-bukti bahwa prinsip “Ketuhanan Yang Maha Esa” dijunjung tinggi, dan meskipun agama-agama dalam perjalanan selanjutnya diterima, tetapi direfleksikan kembali dalam prinsip Ketuhahan yang lebih universal, mengatasi “agama-agama terorganisasi” (organized religions) yang sepanjang sejarah masuk dan diterima ramah oeh bangsa Indonesia.

Bangsa Indonesia dalam lintasan sejarahnya selama beribu-ribu tahun adalah bangsa yang luwes, toleran dan terbuka. Sejak awal sejarahnya yang paling dini, pengaruh agama-agama luar diterima dengan ramah, tetapi direfleksikan kembali dalam konteks ke-budayaannya sendiri.

Beberapa bukti sejarah membuktikan kesimpulan di atas, antara lain dapat diikuti dari bukti-bukti di bawah ini:

1. “Agama Asli” Pada Era Pra-Hindu

Prof. Dr. Purbatjaraka mencatat bahwa jauh sebelum kedatangan Hindu/Buddha sudah mempunyai keyakinan mengenai Tuhan Yang Maha Esa, dan menyembah-Nya menurut tatacaranya sendiri. Salah satu sebutan untuk Tuhan dari era pra-Hindu dapat dilacak dari penggunaan bahasa-bahasa Nusantara asli, sebelum dipengaruhi bahasa Sanskerta, Arab atau bahasa-bahasa Barat. Salah satu sebutan untuk Sang Pencipta adalah Hyang (Tuhan, yang diagungkan), Sang Hyang Tunggal (Tuhan Yang Maha Esa), dan Sang Hyang Taya (Sang Maha Tiada). Maksudnya “tiada kasat mata namun ada”, kata Jawa kuna ini masih terpelihara dalam bahasa Sunda Teu Aya (tidak ada).

Prof. Mr. Muhammad Yamin dalam bukunya Sapta Parwa (Jilid II) membuktikan eksistensi keyakinan asli jauh sebelum kedatangan agama-agama besar dunia, antara lain mengutip ungkapan Van Vollenhoven: “In den beginne was de magie” (Pada mulanya adalah kesaktian). Ide tentang “alam gaib” yang penuh tuah (Melayu), kacaktyan (Jawa kuna), sati (Batak), dan lain-lain, menunjukkan ada keyakinan tentang Yang maha Gaib yang menyebar di seluruh wilayah Nusantara. Akar kata bahasa-bahasa Austronesia tuh, tuah inilah yang menjadi kata Tuhan, sejajar dengan bahasa Nusantara kuna lainnya: Hyang. Kata Hyang (Tuhan) sampai kini masih terpelihara menjadi kata “sembahyang” (Sembah dan Hyang, “menyembah Tuhan”).

J. Ensink, seorang sarjana Belanda, mendukung kesimpulan Pigeaud, sarjana Peran-cis pendahulunya, yang mencatat salah satu ciri kepercayaan asli Indonesia antara lain tercermin dalam klasifikasi alam “serba dua” (mono-dualistis): Bapa angkasa-Ibu pertiwi; Nini among-Kaki among, Kiri-Kanan, Kaja-Kelod, dan sebagainya, dimana keduanya berbeda tetapi saling berdampingan secara abadi. Filosofi inilah yang menyangga pendekatan alam yang serba harmoni, yang terbukti menjadi tiang penyangga tradisional perekat kebangsaan kita dari zaman pra-sejarah hingga NKRI.

Selanjutnya, kekuatan Yang Maha tinggi itu sering diibaratkan dengan “gunung”. Simbol keyakinan asli Indonesia ini, meskipun tidak dibuktikan oleh tradisi tertulis tertua dari Indonesia sendiri, uniknya justru diabadikan dalam syair India Ramayana, berbahasa Sanskerta (150 M) yang berbunyi: “Yavadwipa matikramya sisiro nama parwatah, diwam sprasati srngena Dewa danawasevitah” (Di ujung Nusantara, berdiri gunung Sisira, yang puncaknya bersaju menyaput langit, dikunjungi oleh para dewa dan danawa).

Jadi, sebelum bangsa India datang ke Nusantara, sudah terdengar dari India sendiri tentang negeri Nusantara dengan gunung Parwata-nya yang dikunjungi Dewa. Maksudnya, gunung yang menjadi simbol penyembahan kepada Sang Pencipta. Akan dibuktikan dalam tulisan ini selanjutnya, bahwa pemujaan kepada Sang Pencipta dengan simbol “gunung Parwata” ini, masih terus bertahan di tengah-tengah berjayanya agama Hindu/Buddha pada zaman majapahit. Sebab tenyata Mpu Tantular sendiri (abad XIV M) bukan pemuja Siwa maupun Buddha, melainkan seorang yang memuja Sri Parwata Raja, istilah yang lahir dari local genius bangsa Indonesia pada zamannya. Istilah ini kini sejajar dengan konsep Ketuhanan Yang Maha Esa.

2. “Agama Asli” Pada Era Hindu-Buddha

Pada masa kejayaan Hindu-Buddha, konsep agama asli secara ramah menyambut kedatangan Hindu/Buddha. Namun pengaruh Hindu/Buddha ini hanya memperindah mozaik spiritualitas Nusantara, tetapi sama sekali tidak sampai larut dalam samudera spiritualitas India. Bahkan sering kali spiritualitas asli ditempatkan di atas agama-agama India. Ungkapan-ungkapan India sering dipinjam tetapi disesuaikan dengan alam pikiran asli Indonesia. Beberapa contoh di bawah ini membuktikannya:

2.1. Zaman Kerajaan Sriwijaya

Prasasti Kedukan Bukit (683 M). Prasasti yang berasal dari kerajaan nasional pertama, yaitu kedatuan Sriwijaya ini, menyebutkan bahwa Dapunta Hyang melakukan “ziarah raja” (siddhiyatra) demi kejayaan Sriwijaya: Dapunta Hyang nayik di samwau manalap siddhayatra. Artinya: “Dapunta Hyang naik naik ke bahtera pergi menjemput berkah keba-hagiaan tuah-kesaktian”. Menurut Mr. Muhammad Yamin, siddhiyatha adalah perjalanan “ngalap berkah” kepada kekuatan adikodrati yang disebutnya Hyang (Tuhan Yang Maha Esa). Bahkan dibuktikan bahwa nama Dapunta Hyang secara jelas membuktikan pemujaan kepada Sang Hyang (Tuhan) sebelum masuknya pengaruh Hindu/ Buddha.

2.2. Zaman Kerajaan Sunda

Naskah Sanghyang Siksakanda ng Karesian dari kerajaan Sunda kuno, ditulis kira-kira abad V M. Ketika pengaruh Hindu dan Buddha mulai masuk, keduanya disambut ramah: Hongkara namo Siwa (Selamatlah dengan nama Siwa), dan Sembah ing Hulun di Sanghyang Pancatatagatha (Sembah hamba kepada Sang Panca Tatagata). Keduanya disambut baik, karena “ya eta pahayuon sareanana” (Itu demi kebaikan semuanya). Meskipun demikian, agama-agama yang datang – yang diwakili dengan kata “Bathara” – ditempatkan di bawah Hyang (prinsip Ketuhanan universal, penghayatan asli bangsa Indonesia): “…mangkubhumi bakti di ratu, ratu bakti di dewata, dewata bakti di Hyang” (Mangkubumi berbakti kepada Raja, Raja berbakti kepada dewa-dewa, dan dewa-dewa berbakti kepada Hyang/Prinsip Ketuhanan yang universal).

2.3. “Agama Asli” Pada Era Kerajaan Mataram Kuno, Kediri, Singasari dan Majapahit

Perkembangan kedua agama selanjutnya menarik untuk disimak. Hindu, khususnya madzab Siwa dan Buddha, pada masa-masa sesudah itu sangat menonjol. Pada era kerajaan Mataram Hindu (Jawa Tengah), kedua agama itu masih terpisah, berjalan sendiri-sendiri tanpa saling menganggu (co-existence), tetapi pada masa kerajaan-kerajaan Jawa Timur secara bertahap, dari relasi co-exixtence meningkat menjadi relasi “pro-existence” (saling ada dan saling berbagi). Tahap-tahap itu misalnya dapat dibaca pada karya-karya sastra sebagai berikut:

Dalam Kunjarakarna (abad XI) dari Kerajaan Singasari) ditekankan kerukunan antara kedua agama: Tunggal ika kabeh, kami Siwa kami Buddha (Semua menjadi satu, kita yang Siwa, maupun kita yang beragama Buddha), tetapi rupanya masih dalam tahap co-existence sebagai satu kesatuan sosiologis. Sedangkan dalam Sang Hyang Kamahayanikan (abad X, Mpu Sindok) ungkapan: Buddha tunggal lawan Siwa (Buddha dan Siwa itu satu), mulai merenungkan relasi keduanya secara metafisik. Raja Kertanegara, pencetus politik persatuan Nusantara, menyebut “Sang Hyang Siwa-Buddha” dalam praxis Sangkan Paraning Dumadi (asal muasal dan tujuan Kehidupan). Ungkapan Sang Hyang Siwa-Buddha disini dipahami dalam makna prinsip tertinggi Ketuhanan yang Maha Esa, yang mengatasi baik Siwa maupun Buddha itu sendiri.

Puncak dari refleksi mengenai prinsip universal Ketuhanan Yang Maha Esa yang “beyond religions” (mengatasi agama-agama) ini terjadi pada era kejayaan Majapahit. Majapahit adalah negara nasional kedua, yang jelas-jelas bukan negara Hindu. Sekalipun sebagian besar masyarakatnya beragama Hindu, tetapi Majapahit tidak menjadikan hukum Hindu sebagai “hukum negara”. Pada era keemasan Majapahit, prinsip Ketuhahan Yang Maha Esa itu disebut oleh Mpu Prapanca dan Mpu Tantular sebagai Sri Parwatharaja, yang bukan Siwa dan bukan Buddha, melainkan mengandung unsur-unsur prinsipil baik Siwa maupun Buddha.

Prinsip Ketuhanan yang lebih universal tersebut dapat dibaca dalam Kakawin Sutasoma Pupuh 89,5 sebagai berikut:

Rwaneka dhatu winuwus wara Buddha wiswa, Bhinneki rakwa ring apan kena parwanosen. Mangkang Jinatwa kalawan Siwatatwa tunggal Bhinneka Tunggal ika, Tan Hana dharma mangrwa. Artinya: “Disebutkan bahwa Sang Hyang Buddha dan Sang Hyang Siwa adalah dua substansi yang berbeda. Keduanya sungguh-sungguh berbeda, namun bagaimana mungkin mengenal sekilas perbedaan keduanya. Karena hakikat Siwa dan hakikat Buddha adalah tunggal. Berbeda-beda tetapi satu juga, dan tidak ada kebenaran yang mendua”.

Siapakah Sri Parwataraja? Seperti telah disinggung sebelumnya dalam tulisan ini, Sri Parwata Raja adalah istilah bagi prinsip Ketuhanan Yang Maha Esa pada zaman Majapahit, terlepas dari melalui agama-agama India (Siwa, Buddha) atau penghayat kepercayaan asli (karesian). Bahwa Sri Parwata Raja adalah “prinsip tertinggi, yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa”, terbukti dari syair Mpu Prapanca dalam Negara Kertagama bahwa Sri Parwataraja adalah “Prinsip Ketuhanan Yang Maha Esa sebagai konsep penyatu nasional, bukan Siwa dan bukan Buddha, melainkan Sang Hyang Siwa-Buddha, “Pelindung Mutlak” (Natha ning anatha), “Raja dari segalka raja di dunia” (Pati ning Jagad pati), dan “Tuhan dari segala konsep Tuhan personal dalam masing-masing agama (Hyang ning hyang inisthi).

Ungkapan Parwatharaja, Girinatha, Girindra yang semuanya menunjuk kepada “Sang Raja Gunung”, maksudnya “Sang Penguasa tertinggi”, berakar pada ungkapan bahasa Nusan-tara Dapunta Hyang (yang menguasai alam tertinggi). Jadi, kesadaran rohani akan Ketuhanan Yang Maha Esa sudah ada jauh sebelum kedatangan agama-agama ke Indonesia. Dan terbukti pula, bahwa kesadaran itu yang memandu bangsa Indonesia untuk menerima, sekaligus mengolah pengaruh-pengaruh luar, yang ternyata tidak pernah menenggelamkan jatidiri bangsa kita.

Spiritualitas agung Nusantara yang mengatasi aspek lahiriah agama-agama itu, telah memandu bangsa Indonesia dalam menapaki perjalanan sejarahnya yang panjang. Prinsip itu pula yang mempersatukan Sriwijaya dan Majapahit, dan mengantarkan kedua negara nasional itu ke puncak kemegahannya.

2.4. Kerajaan Demak dan Pajang

Kebebasan beragama yang bersumber pada kesadaran Holistic spirituality ini hilang pada masa Demak dan Pajang, ketika prinsip negara nasional digantikan dengan prinsip “negara agama” (theokrasi). Bukti bahwa prinsip “Negara agama” yang intoleran dan rawan memecah belah Nusantara itu, antara lain ditunjukkan dengan “pengadilan atas keyakinan yang berbeda” berdasarkan tafsir tunggal sebuah (aliran) agama. Kasus hukuman mati atas Syekh Siti Jenar pada zaman kerajaan Demak dengan jelas membuktikan kebangkrutan sebuah ideologi agama yang bercorak “imperialisme doktriner” yang kurang memberi tempat pada keyakinan iman yang berbeda-beda.

Dalam kaitannya dengan paham kebangsaan, Bung Karno, dalam pidatanya tanggal 1 Juni 1945 ketika mengusulkan Dasar negara Pancasila, mengatakan bahwa kita hanya memiliki dua kali negara nasional (Nationele Staat) sebelum NKRI, yaitu Sriwijaya dan Majapahit. Karena keduanya bukan “negara agama”, maka keduanya pernah berhasil mempersatukan Nusantara. Pada masa kedua “negara nasional” sebelum NKRI ini tidak pernah ada orang yang berbeda dalam formula iman dipidana, rumah-rumah ibadah dibakar apapun alasannya. Tetapi ketika Demak menjadi “negara agama” dan filosofi Bhinneka Tunggal Ika diganti dengan Agama ageming aji (agama raja, agama negara) barulah muncul kasus Syek Siti Jenar, dan sejak Demak Nusantara terpecah-pecah. Jangankan mempersatukan Nusantara, sesama Jawa saja tidak mau mengakui kedaulatan Demak.

2.5. Kerajaan Mataram

Mataram mulai menyadari kegagalan ideologi agama, dan mencoba mengembalikan “spirit Majapahit”, namun gagal dan kalah cepat dengan kekuatan kolonialisme dan Impe-rialisme Barat. Salah satu indikator kebebasan beragama yang mulai dirintis dan dikembalikan oleh Mataram adalah diampuninya Haji Mutamakin yang mengajarkan ajaran Manunggaling Kawula-Gusti berdasarkan “Serat Dewa Ruci”, atas laporan dari Ketib Anom yang mewakili Islam Santri. Serat Dewa Ruci adalah salinan dan pengembangan dari naskah Jawa kuna berjudul Nawa Ruci, karya Mpu Siwamurti dari masa akhir Majapahit. Kasus “beda tafsir agama” ini dicatat dalam Serat Cabolek.

Selanjutnya menarik untuk dicatat pula, bahwa dibiarkannya kedua pendapat ber-kembang, di kemudian hari masing-masing telah mengkristal menjadi dua kelompok: Santri (Islam ortodoks), dan Abangan-Priyayi (yang cenderung kepada Kejawen). Serat Cabolek sendiri lebih condong ke pandangan santri, karena itu kita tidak bisa menyalahkan Haji Muta-makin yang “dituduh mengajarkan aliran sesat”, tanpa kita mendengar dan membaca sendiri argumentasi teologisnya. Sinuhun Paku Buwana II tampaknya tidak suka kepada para ulama yang berusaha mengadili keyakinan Mutamakin, sehingga Mutamakin dibebaskan dari tuduhan mengajarkan ajaran sesat. Kedua paham yang berbeda tersebut akhirnya boleh berkembang. Hal ini menunjukkan bahwa negara secara bijak mengambil jarak dari soal-soal yang termasuk dalam ”ruang privat” warganega.

Bercermin dari “kaca benggala” sejarah di atas, patut dipertanyakan apakah beberapa kasus pengadilan atas keyakinan seseorang atau sekelompok orang a la Syeh Siti Jenar ini akan terus berlangsung, gara-agara negara terlalu turut campur dalam menentukan sesat tidaknya sebuah aliran agama, seperti tersirat dan tersurat dari Pasal 1 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1965? Sekali lagi, dengan mengatakan bahwa undang-undang penodaan agama harus dicabut tidak berarti bahwa saya menyetujui penodaan terhadap nilai-nilai luhur agama. Sama sekali bukan, melainkan jangan sampai negara terlalu jauh mencampuri urusan sesat/ tidaknya sebuah agama atau aliran kepercayaan yang sepanjang sejarah dari zaman ke zaman selalu tumbuh dalam masyarakat Indonesia.

IV. Mengkritisi unsur-unsur Tindak Pidana Penodaan Agama

Jelaslah bahwa pembatasan terhadap hanya 6 agama yang diakui pemerintah, ditinjau dari sudut ilmu agama-agama − dan ini jelas di luar kewenangan pemerintah untuk mengu-rusinya − jelas-jelas tidak bisa dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Tampak sekali “definisi agama” yang melatarbelakangi munculnya undang-undang diskriminatif ini adalah jelas-jelas definisi agama menurut agama tertentu. Misalnya, syarat-syarat bahwa agama harus mempunyai konsep Tuhan, Kitab Suci, dan Nabi adalah jelas-jelas definisi Islam. Diantara agama-agama semitik saja (Yahudi, Islam dan Kristen), konsep Nabi, Kitab Suci dan pe-wahyuan saja sudah berbeda, lebih-lebih lagi agama-agama non-Semitik, seperti Hindu dan Buddha.

Agama-agama semitik mengklaim diri sebagai “agama monoteis”, dan bisa saja menuduh agama lain “politheis”, atau minimal “kurang monotheis”. Padahal baik tradisi monotheisme, monisme dan pantheisme semua ada dalam agama Hindu. Sebaliknya, agama Buddha jelas-jelas terpaksa menerima syarat harus ber-“Ketuhanan Yang Maha Esa”, padahal filosofi ajaran Buddha jelas-jelas bersifat non-theis (bukan atheis, melainkan non-theis sebab tidak mengenal konsep Tuhan sebagai Personal God). Lebih-lebih lagi dalam satu agama, misalnya Kristen/ Protestan, ada lebih dari “satu penafsiran”. Begitu juga dalam Islam, Hindu, Buddha dan sebagainya. Lalu apabila terjadi lebih dari satu tafsir terhadap kitab suci masing-masing, bagaimana harus menerapkan ketentuan dalam pasal 1 “melakukan penafsiran ter-hadap suatu agama yang berlaku di Indonesia?”

Ketentuan dalam Pasal 1 Undang-undang Nomor 1/PNPS/1965 juga bisa menghalangi studi ilmu agama-agama. Misalnya, dalam Kristen kadang-kadang berkembang penafsiran akademis atas agama Islam. Tentu saja “penafsiran Kristen” atas Islam ini berbeda dengan Islam. Apakah ini termasuk penodaan agama? Sebaliknya, apabila seorang teolog Muslim mengembangkan penafsiran atas Kristen dengan memakai ayat-ayat Alkitab yang jelas-jelas berbeda dengan pandangan Kristen sendiri. Apakah perbedaan penafsiran ini juga melanggar undang-undang penodaan agama? Kalau dijawab, “Ya!”, berarti Ibnu Taimiyyah dan Imam al-Ghazali juga bisa dikenakan tuduhan melakukan penodaan terhadap agama Kristen. Karena Ibnu Taimiyyah dalam bukunya Al-Jawâb ash-Shahîh li Man Baddala Dîn al-Masîh (Jawaban yang Benar atas orang Yang mengubah agama Kristus), yang menafsirkan ayat-ayat Alkitab berbeda dengan “penafsiran resmi” Kristen.

Begitu juga dengan Imam al-Ghazali (wafat 1111 M), dalam bukunya Ar-Radd al-Jamîl li Ilahiyyati ‘Isa bi Syarîh al-Injîl (Penolakan Sempurna atas keilahian Yesus berdasarkan Injil yang Otentik), seharusnya juga bisa dikenakan Pasal 1 Undang-undang Penodaan Agama, karena buku ini berisi penafsiran a la Islam atas teks-teks Suci Kristen demi mendukung pandangan teologis Islam sendiri. Kalau kita menengok sejarah agama-agama dan penyiaran-nya, pertanyaan bisa semakin panjang. Misalnya, proses “islamisasi” (yang bisa disambung dengan “kristenisasi”) cerita-cerita wayang yang cerita-ceritanya banyak mengadaptasi dari India.

Jangan-jangan penulis “Babad Cirebon” dapat dikenai delik penodaan agama, karena menafsirkan pustaka Kalimasada dengan tafsiran Islam Kalimat Syahadat. Padahal Kalimasada berasal dari bahasa Sanskerta Kalimahosadha (Kali, “zaman Kali”, “zaman Kegelapan”; maha, “besar” dan usadha “penyembuh”), artinya “Penyembuh besar pada zaman Kegelapan”. Keterangan mengenai pustaka Kalimahosada ini dapat dibaca dalam Kakawin Barata Yuddha (syair XLI,5), karya Mpu Sedah (1135-1157 M), seorang pujangga Prabu Jayabaya Kediri, sebagai berikut:

“….enget ring wekasan Yudhisthira sukang pinituturan tan dwang sanjata pustaka Kalimahosada rinegepira. Sampun sida sinidikara dadi tomara mangarab-arab. Artinya: “Akhirnya Yudistira menemukan kembali kesadarannya dan ia suka dalam hati, karena ada orang-orang yang mengingatkannya. Dengan wajarnya ia memegang senjata pu-saka Kalimahosada, mantera-menteranya diucapkan secara sempurna, sehingga sen-jata itu memiliki kekuatan gaib dan menjelma menjadi tombak sakti yang berkobar-kobar”.

Kalau kita lacak lebih jauh lagi, sebagaimana disimpulkan dari hasil penelitian Hazeu, Rassers dan Kruyt, wayang adalah seni pertunjukan asli Jawa yang berfungsi untuk pe-nyembahan kepada Sang Pencipta. Pada awal kerajaan Hindu, wayang masih berfungsi se-bagai ritual penyembahan”, sekalipun sudah diisi dengan cerita-cerita Hindu. Hal ini terbukti dari prasasti Balitung (905 M): “…Si Galigi mawayang bwat Hyang, macarita Bhima ya kumara” (Si Galigi memainkan wayang untuk menyembah Tuhan, bercerita tentang Bhima ketika masih muda).

Apakah memakai pertunjukan wayang Jawa demi menyiarkan prinsip-prinsip ajaran Hindu dan kemudian dilanjutkan oleh Islam adalah “penodaan agama”? Pada zaman Islam para wali memakai wayang demi dakwah Islam, dan kisah-kisah Hindu di-“islam”-kan habis-habisan, sampai-sampai dalam Serat Kanda Bathara Guru (Sang Hyang Siwa), Dewa Pralina dalam agama Hindu, diidentikkan dengan Iblis, yang mengaku diri Tuhan? Begitu juga, dalam sejumlah naskah Jawa-Islam dewa-dewa Hindu diturunkan derajatnya menjadi keturunan Nabi Adam? Bukankah ini memenuhi rumusan delik “… atau membuat kegiatan keagamaan yang menyerupai kegiatan-kegiatan keagamaan dari agama itu”?

Memang, bagi orang Muslim dan Kristen, pertunjukan wayang hanyalah tontonan, tetapi bagi orang Jawa kuna adalah kegiatan keagamaan. Jadi, apakah menggunakan istilah-istilah Jawa-Hindu dan menafsirkan dengan ajaran Islam bukan merupakan penodaan agama menurut Penjelasan pasal 2 Undang-undang Nomor 1/PNPS/1965?

“Dengan kata-kata “kegiatan keagamaan” dimaksudkan segala macam kegiatan yang bersifat keagamaan, misalnya menamakan suatu aliran dengan agama, mempergu-nakan istilah dalam menjalankan atau mengamalkan ajaran-ajaran kepercayaannya dan sebagainya (Penjelasan Pasal 2).

Perlu dipertanyakan “menggunakan istilah dalam menjalankan atau mengamalkan ajaran-ajaran kepercayaannya”. Siapakah yang bisa mengklaim bahwa suatu “pola ibadah” dan term-term keagamaan tanpa pengaruh dari bahasa-bahasa yang digunakan oleh komunitas agama sebelumnya. Misalnya, membaca Kitab dengan tartil yang dikenal Tilawat Al-Qur’an dalam Islam, ternyata sebelumnya sudah ada dalam komunitas Kristen Ortodoks di Timur Tengah dengan sebutan “mulahan Injil”. Dari zaman pra-Islam sampai sekarang adab pembacaan Kitab Suci ini dikenal di seluruh gereja-gereja ortodoks, baik di Timur Tengah, Ero-pa Timur dan Rusia. Kita semua bisa menyaksikan di negera-negara Arab, bagaimana orang Kristen mengajikan Injil sangat mirip dengan umat Islam mengajikan ayat-ayat Al-Qur’an.

Begitu juga pemakaian jilbab sudah dikenal di Code Hamurrabi (abad XIV SM), yang kemudian dilestarikan oleh orang Yahudi, Kristen Timur dan kemudian dilanjutkan oleh Islam. Bagi kita yang hidup di Indonesia, kalau ada orang Kristen membaca Injil dengan dingajikan bisa dituduh membuat “kegiatan keagamaan yang menyerupai kegiatan-kegiatan keagamaan dari agama itu (Islam)”, padahal di Timur Tengah orang Yahudi, Kristen dan Islam mempunyai adab ibadah yang hampir sama, karena ketiga agama itu memang mempunyai akar dan rumpun yang sama.

Khususnya untuk penghayat Kepercayaan dilarang menggunakan istilah “agama” (se-telah istilah yang diambil dari bahasa Jawa kuna ini mengalami pembakuan oleh pemerintah), secara historis bisa dipertanyakan: “Siapakah yang lebih dahulu memakai istilah agama”? Bukankah kata “agama” telah terlebih dahulu diserap dalam bahasa Jawa kuna, sedangkan kata ini tidak dijumpai baik dalam Injil maupun Al-Qur’an? Begitu juga soal pembakuan bahwa agama harus mempunyai konsep “Tuhan”, “Nabi”, “Kitab Suci”, ini benar-benar sebuah bentuk imperialisme doktriner yang menggunakan kekuasaan negara, bahkan tidak sesuai dengan jalannya logika dan fakta sejarah.

Sebab faktanya kaum penghayat mempunyai konsep yang sama sekali berbeda. Orang Jawa tidak pernah mengenal nabi atau rasul. Kasunyatan Jawi, misalnya, memandang bahwa ibu kita sendiri adalah utusan Tuhan untuk melahirkan kita. Tentu saja konsep “utusan” ini sangat berbeda bila dipahami menurut logika agama-agama Yahudi, Kristen dan Islam. Namun paham Kristen atau Islam ini tentu tidak bisa dijadikan “tolok ukur” untuk menilai keyakinan atau pandangan lain yang berbeda. Sebab sekali lagi, dalam konteks ilmu agama-agama, Keper-cayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa adalah “agama dalam pengertian yang sebenar-benarnya”.

V. Kesimpulan

Berdasarkan uraian di atas maka kami memandang bahwa Undang-undang Nomor 1/PNPS/1965 tidak diperlukan dan harus dicabut, karena telah mendeskriminasi agama dan kepercayaan lain di luar yang diakui oleh Pemerintah. Rumusan delik sebagaimana yang terdapat dalam pasal 1 sangat sulit dilaksanakan, karena secara faktual bertentangan dengan sejarah agama-agama itu sendiri:

Pertama, kriteria “melakukan penafsiran terhadap suatu agama yang berlaku di Indonesia” bertentangan dengan fakta bahwa tidak pernah ada tafsir tunggal dalam satu agama itu sendiri, apalagi antara agama yang satu dengan agama lainnya. Kegiatan saling menaf-sirkan agama dari perspektif agama yang dianut oleh penafsirnya, justru sepanjang sejarah telah terjadi. Lebih-lebih dalam prakteknya selama ini, perbedaan tafsir dengan “versi agama resmi” ini telah menjadi justifikasi terhadap tindakan kekerasan atas nama kebenaran agama, seperti yang khususnya dialami oleh kaum penghayat Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa.

Kedua, kriteria “membuat kegiatan keagamaan yang menyerupai kegiatan-kegiatan agama itu” juga bertentangan dengan fakta sejarah agama. Kesamaan istilah atau term-term keagamaan, pola ibadah, dan sebagainya, kadang-kadang muncul karena keserumpunan aga-ma (misalnya: Yahudi, Kristen dan Islam di Timur Tengah; Hindu dan Buddha di India; Konfusius dan Tao di Cina, dan sebagainya), atau beberapa agama dalam perkembangannya tumbuh di suatu tempat yang sama.

Sekali lagi harus ditekankan bahwa pencabutan Undang-undang Nomor 1/PNPS/1965 tidak berarti membiarkan terjadi penodaan agama, sebab pasal-pasal KUHP sudah menga-turnya. Pada prinsipnya, usulan pencabutan Undang-undang Penodaan Agama ini salah satunya dilandasi oleh alasan bahwa keberadaan Undang-undang ini telah membuat peme-rintah terlalu jauh mengintervensi keyakinan seseorang, yang seharusnya termasuk “wilayah privat” masing-masing orang dalam tanggungjawab penuh kepada Sang Hyang Tunggal, Gusti Kang Akarya Jagad (Tuhan Yang Maha Esa, Pencipta alam semesta) dan sesame manusia, dan segenap makhluk ciptaan-Nya.

—–

http://triwidodo.wordpress.com/2010/03/ ... a-ke-masa/
Laurent
Posts: 6083
Joined: Mon Aug 14, 2006 9:57 am

Re: NASIB AGAMA ASLI INDONESIA SAAT INI

Post by Laurent »

Bersembunyi Dalam Terang

Selasa, 06-03-2007 16:45:16 oleh: bajoe
Kanal: Peristiwa
Bersembunyi Dalam Terang

Di negeri yang konon dulu gemah ripah loh jinawi ini, ternyata masih banyak menyimpan duka dan kekerasan. Masih tersisa banyak pekerjaan rumah yang mesti dibereskan. Salah satunya adalah pengekangan hak-hak untuk beragama atau memeluk keyakinan tertentu secara asasi.

Di bawah terang purnama dan iringan musik Sunda, sebuah diskusi digelar di bilangan Pondok Gede, Taman Mini - Jakarta. Diskusi yang sengaja dinamakan Diskusi Bulan Purnama, selalu digelar sebulan sekali, tentu saja pada saat bulan sedang cantik-cantiknya. Penggiat diskusi ini adalah para aktivis, seniman, akademisi dkk, yaitu orang-orang pencari makna hidup....

Kali ini diskusi mengambil tema Agama-agama Lokal dalam Kebangsaaan, dengan menghadirkan AA Sudirman, penganut / penghayat keyakinan Sunda dan Martin Sinaga dari STF Driyarkara.

Martin Sinaga membuka paparannya tentang bagaimana agama-agama Timur termasuk agama-agama lokal di Indonesia seperti agama lokal di Sunda, Jawa, Tanah Karo, Borneo, dll, adalah keyakinan yang lebih banyak mencari bagaimana menyelaraskan / menyatukan diri dengan Yang Tertinggi.

Agama-agama lokal lebih menekankan ajaran untuk bertingkah laku baik dan selaras dengan alam, Maka tak heran bila di agama-agama lokal lebih banyak ajaran yang sangat memperhatikan lingkungan hidup.

Namun di agama-agama lokal ini tidak banyak membahas dengan detil Siapakah Yang Tertinggi tersebut. Yang utama adalah berbuat kebaikan di dunia ini. Konsep kehidupan sesudah mati tidak terlalu dibahas, bahkan di beberapa agama lokal tidak mengenal konsep surga dan neraka.

Berbeda dengan agama-agama Samawi (yang berasal dari Tanah Palestina) atau agama anak-anak Ibrahim/Abraham (Islam, Kristen, Yahudi). Agama-agama ini lebih banyak mengajarkan Siapakah Yang Tertinggi itu, atau dinamakan Allah dan bagaimana cara menyembahNya. Maka agama-agama ini mempunyai kitab suci, berisi sifat-sifat Allah itu dan ritual-ritual dan seperangkat aturan untuk memuliakanNya. Termasuk juga di agama-agama Samawi membahas soal kehidupan sesudah mati, dengan surga dan neraka.

Kedatangan modernitas di Indonesia mendorong berdirinya negara-bangsa. Berdirinya negara-bangsa, akhirnya mendorong diperlukan formalisasi terhadap agama-agama yang ada. Seperti di Indonesia, muncullah lembaga pemerintah yang bernama Departemen Agama. Departemen inilah yang menjadi mesin formalisasi agama-agama yang ada.

Dari kacamata agama-agama Samawi, maka yang disebut agama adalah mereka yang mempunyai kitab suci. Di luar itu, mereka dikategorikan kepercayaan. Beberapa fakta kemudian bergulir, seperti upaya pemerintah untuk mengajak komunitas-komunitas penghayat untuk menjadi pengikut agama formal.

Dari diskusi ini aku baru paham ternyata di Bali sebelum negara Indonesia ini berdiri, penduduk asli Bali tidak menyebut diri mereka pemeluk Hindu, tetapi mereka adalah penganut keyakinan Tirte (tirta=air). Namun atas 'bujuk rayu' pemerintah kala itu, maka lama kelamaan masyarakat Bali mengidentifikasi dirinya adalah pemeluk Hindu.

Begitu juga di banyak daerah lain. Banyak penganut-penganut kepercayaan yang dengan terpaksa memeluk agama-agama formal seperti Islam dan Kristen, demi menghindari kesulitan-kesulitan sosial. Seperti tidak diakui pernikahannya, anak tidak mendapat surat tanda lahir, atau dianggap anak haram.

Cerita yang sama, diungkapkan AA Sudirman salah satu penghayat Keyakinan Sunda, Pernikahan mereka yang sesuai dengan keyakinan Sunda, ternyata tidak diakui oleh Negara. Anak-anak mereka mendapat status anak haram, walaupun kedua pasangan orang tuanya menikah resmi secara keyakinan mereka. Bahkan pada awal tahun 50-an, sebuah desa di Ciparay, para penganut keyakinan Sunda sempat dibantai oleh golongan lain, hanya semata mereka menganut keyakinan yang berbeda.

Para penganut keyakinan Sunda (dan penganut keyakinan yang lain di Nusantara) sampai sekarang masih mempertahankan ajaran mereka, walaupun secara sosial mereka kadang mesti mengaku pemeluk agama-agama formal.

Ini mirip seperti situasi para penganut Khong Hu Chu sebelum keyakinan ini diakui agama oleh negara saat pemerintahan Gus Dur. Banyak penganut Khong Hu Chu yang kemudian di KTP beragama Budha. Semata-mata untuk menghindari kesulitan-kesulitan sosial.

Mereka para penganut keyakinan Sunda ini mengistilahkan tindakan ini sebagai "Bersembunyi Dalam Terang". Istilah yang puitis, tapi sebenarnya merupakan luka yang perih, karena mereka tidak diperbolehkan hidup dalam keyakinan sendiri.

Dalam diskusi ini juga membuka mata peserta, bahwa labelisasi adalah sesuatu hal yang mesti dihindari. Perspektif multikultural yang menghormati dengan cara pandang masing-masing komunitas mesti kedepankan. Karena labelisasi ini justru sering menimbulkan salah persepsi dan penindasan-penindasan berikutnya.

Salah satu contoh adalah kita sudah terbiasa menyebut sebuah masyarakat di kaki pegunungan Kendeng, dengan sebutan Baduy. Padahal mereka sendiri tidak pernah menyebut diri Baduy. Masyarakat itu menyebut diri mereka masyarakat Kanekes. Istilah Baduy dilabelkan masyarakat luar, karena mereka sering berladang pindah, sehingga mirip dengan sebuah suku di Arab yaitu Badawi. Maka sejak itulah mereka disebut Baduy.

Begitu juga kita mengenal masyarakat Samin di daerah Blora - Jawa Tengah. Istilah samin adalah julukan dari luar. Mereka sendiri menyebut dirinya adalah masyarakat Sedulur Sikep. Kata samin sendiri di Jawa konotasinya lalu berkembang menjadi: ****. Padahal masyarakat Sedulur Sikep -lah yang berani melawan kolonial Belanda lewat kata-kata.

Hal ini sebenarnya sama saja kalau kita menyebut diri kita orang Indonesia, tapi orang Belanda menyebut kita : inlander.

Ternyata masih banyak hal yang belum aku pahami dan masih perlu banyak kearifan untuk memajukan bangsa ini.

http://www.wikimu.com/News/Print.aspx?id=1621
Laurent
Posts: 6083
Joined: Mon Aug 14, 2006 9:57 am

Re: NASIB AGAMA ASLI INDONESIA SAAT INI

Post by Laurent »

SUARA PEMBARUAN DAILY
----------------------------------------------------------------------
----------

EKSKLUSIF

Penghayat Kepercayaan (1)

Keberadaannya Nyaris Tidak Diakui
Oleh Elly Burhaini Faizal


"KETIKA kami mencoba untuk mengakui apa yang tidak pernah kami
yakini, sebetulnya kami sedang menipu diri sendiri," Tuti Ekawati
mengawali kisah pahit hidupnya sebagai seorang penghayat kepercayaan
kepada Pembaruan.

Walaupun pemerintah sudah mengakui keberadaan para penghayat
kepercayaan, segudang aturan menyangkut hal itu masih miskin
implementasi. Dalam UUD 1945 hasil amendemen keempat, khususnya Pasal
28E (2) tentang Hak Asasi Manusia disebutkan, "Setiap orang berhak
atas kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap,
sesuai hati nuraninya." Pada Pasal 29 (2) dinyatakan, "Negara
menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-
masing dan beribadat menurut agama dan kepercayaannya itu."

Warisan budaya bangsa yang memuat nilai-nilai spiritual, termasuk
kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha, diakui dalam Pasal 32 (1).
Disebutkan di situ, "Negara memajukan kebudayaan nasional Indonesia
di tengah peradaban dunia dengan menjamin kebebasan masyarakat dalam
memelihara dan mengembangkan nilai-nilai budayanya."

Sekilas eksistensi para penghayat kepercayaan diakui. Namun,
praktiknya diskriminasi tetap menyelimuti. Dalam kartu identitas
penduduk, contohnya, mereka tidak pernah bisa menorehkan penghayat
kepercayaan. Dari KTP merembet ke masalah perkawinan, yang juga tidak
bisa dicatat di Kantor Catatan Sipil apabila tetap mengaku sebagai
seorang penghayat kepercayaan.

Kasus seperti itu menimpa Asep Setia Pujanegara (32), yang kemudian
terpaksa menggugat Badan Koordinasi Catatan Sipil Kabupaten Bandung,
Jawa Barat. Gugatan diajukan setelah lembaga itu menolak mencatat
perkawinannya dengan Rela Susanti. Padahal, mereka telah menikah
memakai adat Sunda, 23 Agustus 2001. Kantor Catatan Sipil itu
beralasan, Asep bersikeras menolak mengisi kolom agama di kartu tanda
penduduknya. Pengisian kolom itu termasuk syarat mencatatkan
perkawinan.

Penolakan juga didasarkan pada Surat Gubernur Jawa Barat tertanggal
16 Februari 2000. Surat itu menyebutkan, kantor Badan Koordinasi
Catatan Sipil tidak dapat mencatat perkawinan para penghayat aliran
kepercayaan. Selain itu, surat Mendagri tanggal 17 April 1989 juga
menyebutkan, perkawinan harus disaksikan pemuka agama yang
bersangkutan.

Badan Koordinasi Catatan Sipil juga merujuk Pasal 2 (1) Undang-Undang
Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 yang berbunyi "Perkawinan adalah sah,
apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan
kepercayaannya itu." Istilah "kepercayaannya" dianggap tidak bisa
dimaknai sebagai penganut kepercayaan. Karena itu, para penghayat
harus menganut salah satu agama yang diakui negara. Meski akibatnya
hal itu hanya sebatas identitas saja.

Perlakuan itulah yang dianggap tidak adil. Sebagai seorang pituin
atau orang Sunda asli, Asep dan keluarganya memegang teguh adat
istiadat Sunda. Adat ini diwarisi secara turun-temurun dari para
leluhur. Ia juga lebih memilih menganut aliran kebatinan, yang
bersumber pada budaya spiritual masyarakat pasundan. Warisan budaya
rohaniah itu sudah berkembang sejak lama. "Buat apa kami mengaku
beragama, kalau cuma sebatas formalitas saja?" kata Tuti Ekawati,
istri Engkus Rusmana (mantan Ketua Aliran Kebatinan "Perjalanan"),
dengan nada tinggi.

Ia mengaku sebetulnya kecewa karena gugatan Asep Setia, adik
kandungnya, kalah di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Bandung,
Maret 2002. Pengalaman buruk Asep bukan yang pertamakali dialami oleh
seorang penghayat kepercayaan. Sering mereka putus asa, dan akhirnya
terpaksa mengalah pada tekanan birokrasi. Namun demi merebut hak-
haknya sebagai warga negara, Tuti sepakat ketika Asep memutuskan naik
banding.

Cuma segelintir penghayat kepercayaan saja yang punya keberanian
seperti Asep. Sejumlah pengikut aliran kebatinan yang berdomisili di
Kampung Babakan, Bekasi, contohnya, tidak berani melawan pemaksaan
aparat setempat. Meski formulir sengaja dikosongkan, atau
diisi "penghayat kepercayaan", sering tiba-tiba muncul identitas
agama tertentu. Mereka hanya bisa diam saja. Akibat tekanan berat,
dan tidak mau susah payah berurusan dengan pengadilan, akhirnya
mereka terpaksa tunduk, meskipun sehari-harinya mereka tetap saja
penghayat.

Surat nikah dari catatan sipil sebetulnya untuk menghindari munculnya
dampak hukum negatif bagi perkawinan para penghayat, yang selama ini
sudah mengalami tekanan. Contohnya, anak dan istri tidak bisa
memperoleh warisan dan perlindungan apabila terjadi perceraian,
termasuk tunjangan bagi pegawai negeri sipil.



Secara psikologis, hidup bersama tanpa surat nikah, menimbulkan
tekanan batin tersendiri. Tetapi, demi secarik kertas itu, mereka
harus rela kehilangan hak-hak sipilnya.

Eksistensi para penghayat kepercayaan sempat muncul di permukaan
ketika Abdurrahman Wahid, alias Gus Dur, menjadi presiden. Proses
persidangan yang diwarnai perdebatan tentang Undang-Undang Perkawinan
Nomor 1 Tahun 1974, sejumlah di antaranya bisa dimenangkan para
penghayat. Catatan sipil tidak bisa bersikukuh menolak perkawinan
para penghayat, bila hakim sudah ketok palu menandai kemenangan
gugatan para penghayat.

Namun sekarang catatan sipil bisa menolak keputusan hakim. Catatan
sipil bisa mengatakan pihaknya tidak bertanggung jawab kepada
pengadilan dan hanya mengacu aturan gubernur, walikota, serta tetek
bengek birokrasi di departemennya. Ganti pejabat, ganti kebijakan,
tampaknya bukan retorika belaka dalam urusan itu. Era kebebasan bagi
penghayat kepercayaan semasa Gus Dur menjadi presiden, sekejap musnah
seiring datangnya rezim baru. Seolah sudah kodrat mereka diombang-
ambingkan kekuasaan rezim yang muncul silih-berganti. Seperti diakui
Koesumo Hartami, Ketua Himpunan Penghayat Kepercayaan. Awalnya aliran
kebatinan dan kepercayaan masuk struktur keagamaan. Tetapi, akibat
perbedaan persepsi, di awal zaman Orde Baru aliran kebatinan
disubordinasi Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Setelah
lengsernya rezim pada Orde Baru tahun 1998, aliran kebatinan
dimasukkan ke Kementerian Negara Kebudayaan dan Pariwisata. "Bagi
kami bukan masalah, tetapi kalau juga diharuskan memeluk salah satu
agama, itu kan sama saja dipaksa. Wong keyakinan kok double
(rangkap)," Hartami melontarkan kekesalannya.

Sebagai orang Jawa asli, ia menganut aliran kebatinan kejawen sebagai
warisan budaya rohaniah leluhurnya. Tidak ada kultus yang amat rumit
apalagi yang aneh-aneh, selain hanya mempercayai Gusti Ingkang
Murbeng Dumadi, serta datangnya hari pembalasan.

Tekanan negara yang hanya mengakui lima agama, membuat Hartami
terpaksa ikut memeluk satu agama. "Supaya bisa kawin, kami harus
memilih agama yang ditentukan negara. Akibatnya kan melecehkan agama
itu sendiri, karena resminya beridentitas agama tertentu, tapi tidak
pernah betul-betul melaksanakannya," kata Hartami kepada Pembaruan.
Sebab memang kenyataannya mereka tidak pernah memeluk agama, tetapi
dipaksa birokrasi negara.

Aliran kebatinan bukan agama dan tidak ingin menjadi agama baru. "Itu
sudah jaminan," Hartami menegaskan. Yang diharapkan hanyalah
pengakuan negara terhadap hak-hak sipil mereka. Mampukah pemerintah
sekarang mewujudkannya?




----------------------------------------------------------------------
----------
Last modified: 9/1/2003

http://groups.yahoo.com/group/wanita-mu ... sage/17467
Laurent
Posts: 6083
Joined: Mon Aug 14, 2006 9:57 am

Re: NASIB AGAMA ASLI INDONESIA SAAT INI

Post by Laurent »

SUARA PEMBARUAN DAILY
----------------------------------------------------------------------
----------

EKSKLUSIF

Penghayat Kepercayaan (2-habis)

Terganjal Catatan Sipil

Oleh Elly Burhaini Faizal


ALIRAN kebatinan dan kepercayaan merupakan realitas yang sudah tumbuh
sejak zaman nenek moyang orang Indonesia ada. Warisan budaya rohaniah
itu tetap bertahan di tengah derasnya syiar agama-agama yang masuk ke
Indonesia kemudian. Tidak heran apabila para penganut aliran
kebatinan dan kepercayaan menuntut eksistensi mereka diakui.

"Sebelum datangnya agama, bangsa kita sudah berbudaya. Sesuai alam
kita yang subur makmur, ada ungkapan rasa terima kasih kita kepada
Tuhan. Keyakinan hubungan dengan Tuhan itu sudah lama ada," ungkap
Engkus Rusmana, seorang penghayat, mantan Ketua Aliran Kebatinan
Perjalanan yang memiliki sedikitnya 60.000 pengikut.

Namun, era reformasi tidak membuat situasi semakin baik. Klaim-klaim
tentang keberagamaan, kata Engkus, sekarang cuma menjadi milik
agama "pendatang". Antagonisme kultural dan ideologis semacam itu,
menurut Muhammad Kamal Hassan (1982), sejak lama mengakar secara
historis. Misalnya saja antara pandangan dunia budaya Jawa-Hindu
sinkretis, yang dihormati oleh para penguasa kolonial Indonesia,
dengan pandangan dunia ortodoksi Islam puritan sebagai musuh penguasa
Belanda, sebelum masuknya nasionalisme Indonesia modern.

Awalnya, aliran kebatinan masuk ke dalam struktur keagamaan. Namun,
sejak awal zaman Orde Baru, bertolak dari pemikiran aliran kebatinan
bukanlah agama, pembinaannya dimasukkan ke dalam departemen
pendidikan dan kebudayaan.

Alamsjah Ratu Prawiranegara, dalam suratnya 3 Juli 1976 selaku
Menteri Agama, pernah mengatakan, kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha
Esa bukan merupakan agama. Pembinaan terhadap kepercayaan itu tidak
mengarah kepada pembentukan agama baru. Karena aliran kepercayaan
bukan agama melainkan kebudayaan, maka orang yang mengikuti aliran
kepercayaan tidak kehilangan agamanya yang dipahami dan dipeluknya.
Tidak ada tatacara sumpah, perkawinan, dan sebagainya menurut aliran
kepercayaan.

Bertolak dari sikap tersebut, legislasi yang bersinggungan dengan
masalah agama mengalami perdebatan besar ketika dibahas. Misalnya
yang menyangkut UU Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974.



Pasal-pasal awal yang tidak disetujui menyangkut perkawinan antara
pemeluk agama yang berbeda, pertunangan, dan konsekuensinya, adopsi,
prosedur perkawinan dan prosedur perceraian, akhirnya dibuang. Pasal
2 (1) undang-undang itu menjadi berbunyi, "Perkawinan adalah sah,
apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan
kepercayaannya itu."

Kendala dalam masalah perkawinan warga negara tidak otomatis sirna.
Sebab istilah "kepercayaannya" dalam UU Perkawinan itu ternyata
kemudian ditafsirkan berbeda-beda.

Seorang staf Litbang Kehidupan Beragama, Departemen Agama,
berpendapat, istilah "kepercayaannya" dalam UU Perkawinan tidak bisa
dimaknai sebagai aliran kepercayaan. "Istilah 'kepercayaan' itu tetap
merujuk kepada agama sebagai sebuah bentuk kepercayaan," kata staf
tersebut menjawab Pembaruan. Konsekuensinya, negara hanya mencatat
perkawinan apabila dilakukan menurut hukum agama Islam, Kristen
Protestan dan Katolik, Hindu, serta Budha.

Sementara sebagian kalangan berpendapat, istilah "kepercayaannya"
dalam UU Perkawinan bisa dimaknai sebagai aliran kepercayaan. Negara
dinilai semestinya menghargai hak-hak para penghayat kepercayaan,
termasuk mencatat perkawinan mereka di catatan sipil tanpa harus
memilih agama. "Akibatnya kan melecehkan agama itu sendiri. Sebab
memang kenyataannya kami tidak pernah memeluk agama," ungkap Koesumo
Hartami, Ketua Himpunan Penghayat Kepercayaan.

Tidak seluruh penghayat berani mempersoalkan diskriminasi yang
dialami, misalnya dalam masalah identitas dan perkawinan. Perasaan
sebagai minoritas, memicu keengganan mereka melawan birokrasi negara.
Hanya sedikit yang mencoba menghadapi perlakuan yang diskriminatif.

Asep Setia Pujanegara (32), misalnya, terpaksa menggugat Badan
Koordinasi Catatan Sipil Kabupaten Bandung, Jawa Barat. Ia menggugat
penolakan lembaga itu mencatat perkawinannya dengan Rela Susanti.
Mereka menikah secara adat Sunda, 23 Agustus 2001. Penolakan itu
menyusul sikap Asep yang menolak mengisi kolom agama di kartu tanda
penduduknya. Pengisian kolom agama itu merupakan syarat mencatatkan
perkawinan. Meskipun kalah dalam persidangan, Maret 2002, Asep dan
istrinya memutuskan naik banding.

Asep hanyalah segelintir penghayat kepercayaan yang berani bersikap,
agar negara mengakui hak-hak sipil penganut aliran kebatinan. Bagi
mereka, negara harus mengakui eksistensi siapa pun yang ingin menjadi
seorang penghayat murni. "Buat apa kami mengaku penghayat kalau
memang harus melakukan dualisme. Kalau memang bisa diarahkan untuk
memilih salah satu agama itu baik. Tapi juga tolong pemerintah
menghargai penghayat yang ingin tetap murni," ungkap Tuti Ekawati,
kakak kandung Asep Setia, yang juga seorang penghayat.

Keberadaan penghayat juga tak perlu ditakuti, sebab mereka tidak
pernah berkeinginan menjadikan kepercayaan mereka sebagai agama baru.
Kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa bukanlah agama, dan tidak ada
keinginan untuk menjadi agama baru. "Itu sudah jaminan," ungkap
Koesumo Hartami, Ketua Himpunan Penghayat Kepercayaan. Aliran
kebatinan dan kepercayaan, kata Hartami, adalah warisan budaya
rohaniah bangsa yang telah ada sejak dulu kala.

Pendiskreditan terhadap aliran kebatinan sering muncul dengan
berbagai cara. Contohnya, anggapan bahwa penghayat aliran tersebut
gemar menyembah benda-benda seperti kuburan, bebatuan dan pepohonan
besar. Padahal, mereka tetap mempercayai adanya Tuhan yang Maha Esa.
Dia jelaskan, inti ajaran aliran kebatinan "Perjalanan" yaitu manusia
harus mengenali dirinya terlebih dahulu sebelum mengenal Tuhan.

"Kalau sudah memahami tentang dirinya sendiri, maka manusia akan bisa
mengenal Tuhannya," kata Engkus Rusmana.

Aliran-aliran kebatinan umumnya tumbuh menjadi semacam kesadaran
terhadap keberadaan yang murni di seberang subjek dan objek. "Kalau
menyebut Tuhan, kita harus menyerahkan diri, tidak bisa memikirkan
Tuhan itu seperti apa bentuknya," kata Haryono Sumohadiwidjojo,
pengikut aliran olah kejiwaan Susilo Budhi Darmo (SUBUD) kepada
Pembaruan.

Pemerintah membantah tudingan tidak mengakui eksistensi para
penghayat. "Aliran itu bukan agama, dan merupakan budaya spiritual
bangsa kita. Kalau pemerintah tidak mengakui, kenapa membentuk
organisasi yang membina penghayat kepercayaan," kata M Sinaga, Kepala
Seksi Pemberdayaan Organisasi, Subdirektorat Penghayat Kepercayaan,
Depdiknas. Tetapi, ia sendiri mengaku tidak tahu persis, ketika
ditanya Pembaruan mengapa perkawinan para penghayat bisa terganjal di
catatan sipil. Jadi siapa yang salah?



----------------------------------------------------------------------
----------
Last modified: 10/1/2003

http://groups.yahoo.com/group/wanita-mu ... sage/17467
Laurent
Posts: 6083
Joined: Mon Aug 14, 2006 9:57 am

Re: NASIB AGAMA ASLI INDONESIA SAAT INI

Post by Laurent »

Menyoal Dikotomi Agama Resmi dan Agama Tidak Resmi
Published 4 February 2012 | By admin


Oleh Royyan Julian

Adakah kita berpikir bahwa negara kita yang di bangun atas dasar demokrasi yang konon mampu mewadahi segala macam perbedaan ternyata dalam praktiknya justru mencampakkan yang namanya keberagaman? Pernahkah kita membayangkan bahwa negara kita yang memiliki slogan bhinneka tunggal ika tapi pada kenyataannya memiliki sejumlah persoalan vital menyangkut pluralitas? Tahukah bahwa negara majemuk yang kita pijak ternyata memiliki sejumlah cacat hukum hingga gagap berbicara masalah heterogenitas budaya?

Pertanyaan-pertanyaan eksistensial tersebut diajukan atas satu masalah yang saya anggap cukup fatal menggerogoti toleransi bangsa kita, yaitu masalah pengakuan kepercayaan lokal. Tentu saja permasalan ini saya anggap sebagai krisis akut karena sebenarnya kita sudah tidak perlu lagi membicarakannya mengingat negara kita telah menjamin kebebasan beragama dan berkepercayaan sesuai Undang-undang Dasar ‘45. Namun, dalam realitasnya, landasan konstitusional tersebut berbenturan dengan peraturan-peraturan hukum lainnya, bahkan dikalahkan oleh peraturan-peraturan kecil itu sehingga terjadilah diskriminasi terhadap kepercayaan lokal.

Atas nama suara mayoritas, suara minoritas dimarginalkan demi alasan keamanan dan ketertiban umum. Implikasinya, selarik Undang-undang ’45 yang berbunyi, Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu mandul tatkala dihadapkan pada suara mayoritas tersebut hingga lahirlah anak haram undang-undang diskriminatif, misalnya Penetapan Presiden RI No. 1 Tahun 1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama. Negara menjadikan wacana penilaian itu sebagai alat hukum mengikat yang bertujuan mengontrol dan mengintervensi kebebasan dan hak asasi masyarakat, termasuk kebebasan masyarakat dalam memilih dan menentukan keyakinan dan ritus keagamaannya. Selain itu, melalui Lembaga Pengawas Aliran Kepercayaan Masyarakat (Pakem), Kejaksaan berhak mengontrol keberadaan praktik-praktik keagamaan, bahkan pihak kepolisian dan tentara ikut dilibatkan bilamana ada hal-hal yang dianggap menodai agama sehingga praktik-praktik ibadah mereka dianggap sepadan dengan perilaku kriminal.

Dampak lebih jauh lagi, terjadilah dikotomi penamaan agama, yang satu berstatus agama resmi dan yang lain dianggap tidak resmi. Nahasnya, kepercayaan-kepercayaan lokal masuk dalam kutub agama tidak resmi. Akhirnya, penganutnya bukan disebut umat beragama, tetapi disebut penghayat kepercayaan. Kita akan menemui masalah lagi bila kita mengamati, mengapa yang satu disebut “agama” sedangkan yang lain disebut “kepercayaan”. Penamaan yang tidak setara ini seolah-olah menganggap bahwa yang bernama “kepercayaan” adalah iman yang purba dan primitif, sedangkan yang bernama “agama” adalah iman yang kompleks dan telah memenuhi “standar” universal.

Tidak dapat dipungkiri, duo bersaudara agama semit (yang dikenal dengan nama agama samawi/langit), Islam dan Kristen ingin mendominasi kebenaran sehingga mereka berlomba-lomba melakukan kegiatan penyebaran agama mereka terhadap kaum-kaum zindik kafir. Munculnya peraturan baru yang melarang menyebarkan agama terhadap orang yang sudah beragama, menjadikan para penghayat kepercayaan sebagai sasaran dakwah dan missionaris mereka. Mereka menganggap bahwa para penghayat kepercayaan adalah kaum kafir dan domba yang tersesat. Hak penyebaran agama tersebut tidak diberikan kepada kepercayaan lokal, sebab mereka berstatus sebagai agama tidak resmi. Boro-boro diberi hak menyebarkan kepercayaannya, justru merekalah yang menjadi sasaran utama Islamisasi dan Kristenisasi.

Sebagai seorang muslim, saya mengakui bahwa ada banyak borok dalam agama saya (meminjam istilah Ulil Abshar Abdalla). Saya menganggap bahwa agama-agama semitik pada umumnya dan Islam pada khususnya ingin memonopoli kebenaran. Adanya teks autentik/syar’i dalam Islam (baca: Al-Quran) yang menegaskan bahwa agama yang paling benar di sisi Allah adalah Islam, membuat umat Islam menegasikan agama lain. Karena mayoritas di Indonesia berpenduduk muslim, maka elit agamawan muslim mempengaruhi bentukan undang-undang yang mendiskreditkan agama lain, terutama penghayat kepercayaan dengan mengatasnamakan suara mayoritas.

Adanya dikotomi agama resmi dan agama tidak resmi semakin menyulitkan hidup para penghayat kepercayaan. Penyediaan fasilitas negara hanya diperuntukkan bagi mereka yang memiliki status KTP agama resmi (Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Budha, dan Konghucu). Misalnya, masalah pernikahan. Para penghayat kepercayaan terpaksa tidak dapat mencatatkan pernikahan mereka kepada pemerintah disebabkan oleh status mereka. Akibatnya, anak yang dilahirkan tidak akan memiliki akta kelahiran. Dampak lebih serius, si anak akan mengalami kesulitan pendidikan dan ekonomi, seperti pada saat ia akan mendaftar ke sekolah atau pekerjaan. Bila hal ini tidak ingin terjadi, mereka harus mengisi salah satu agama resmi pada kolom agama di KTP mereka. Bukankah ini kemunafikan yang dipaksa? Mereka harus mengisi kolom agama dengan agama yang bukan kepercayaan mereka demi mendapatkan perlakuan yang sama. Selain itu, mereka mengisi kolom agama dengan salah satu agama resmi agar mereka tidak dicap komunis/PKI, sebab bila mereka adalah penghayat kepercayaan, mereka harus mengosongkan kolom agama pada KTP mereka.

Mari kita refleksi diri, sebenarnya, apakah kesalahan menganut kepercayaan lokal? Apakah selama ini para menganut kepercayaan lokal seringkali melakukan perilaku kriminal sehingga mereka pantas dicap sebagai “sesuatu yang lain”? Pantaskah mereka dimarginalkan? Saya sendiri heran, mengapa kepercayaan lokal yang lebih lama tinggal di Indonesia justru menjadi budak di rumah sendiri? Bukankah dahulu kala saat agama-agama—yang kini menjadi agama resmi—datang ke Indonesia disambut baik oleh penduduk pribumi yang notabene menganut kepercayaan lokal? Tapi justru sekarang mengapa kepercayaan-kepercayaan lokal disingkirkan? Apakah karena selama ini mereka dianggap telah menodai agama-agama “besar” itu? Letak penodaannya di mana? Bukankah mereka juga memiliki kebenaran-kebenaran yang sama dengan agama lain? Bukankah mereka juga memiliki kearifan yang sama dengan agama lain? Saya sepakat dengan sastrawan kita, Ayu Utami dalam novelnya, Bilangan Fu bahwa kepercayaan-kepercayaan lokallah yang justru peka terhadap isu kontemporer pemanasaan global. Mereka telah menjaga alam dengan baik di tengah kepercayaan (Islam) yang menganggap bahwa pohon besar adalah berhala jahiliyah yang harus ditebang.

Terakhir, saya mengajak pembaca untuk merenung. Sebenarnya, mengapa agama seperti Islam, Kristen, Hindu, Budha mendunia? Ini hanya masalah keberuntungan saja. Bila untung, kepercayaan-kepercayaan lokal yang ada saat ini pun bisa menjadi besar. Sungguh ini hanya masalah kebetulan saja.

“Semua agama besar dimulai sebagai serangkaian impian,” kata Okri. Siapa yang mengira bahwa Muhammad, seorang yatim-piatu dari kota kecil di Semenanjung Arab, akan mengubah sejarah dunia dalam waktu yang singkat? Siapa yang dapat menerka, Yesus atau Isa, dengan ‘Khotbah di Bukit’-nya, akan meninggalkan sebuah ajaran yang kemudian menjadi salah satu agama terbesar di dunia saat ini, dengan pengikut yang jumlahnya lebih dari satu miliar. (Abdalla, 2006: 127-128)

Intinya, agama-agama besar pada saat ini adalah kepercayaan-kepercayaan lokal pada zaman dahulu. Agama-agama besar itu hanya menunggu waktu saja. Ini pun bisa terjadi pada kepercayaan-kepercayaan lokal saat ini. Siapa yang dapat menyangka bahwa kelak, kepercayaan-kepercayaan lokal saat ini akan menjadi agama-agama besar?

http://ukmpenulis.um.ac.id/2012/02/04/m ... dak-resmi/
Post Reply