Page 1 of 1

Kewajiban Jilbab dan Anjuran Memakainya untuk non-muslim

Posted: Fri Jun 01, 2007 11:57 am
by mr. Hercule Poirot
Kasus Jilbab Padang dan ‘Fasisme Kaum Moralis’
Oleh Novriantoni
06/06/2005

Kasus pewajiban jilbab dan busana islami (bagi orang Islam) dan anjuran memakainya (untuk non-Islam) yang diberlakukan lewat Instruksi Walikota Nomor 451.422/Binsos-III/2005, tertanggal 7 Maret, di Padang, sesungguhnya telah menimbulkan gap antara kebangsaan dan keislaman yang eksklusif di Indonesia. Simbol-simbol keislaman eksklusif tidak lagi dipandang sebagai komplementer atas kemajemukan simbol dan nilai agama dan kebudayaan Indonesia, tapi sudah mengatasinya. Sayangnya, gejala ini luput dari kesadaran banyak pihak.
Kasus pewajiban jilbab dan busana islami (bagi orang Islam) dan anjuran memakainya (untuk non-Islam) yang diberlakukan lewat Instruksi Walikota Nomor 451.422/Binsos-III/2005, tertanggal 7 Maret, di Padang, sesungguhnya telah menimbulkan gap antara kebangsaan dan keislaman yang eksklusif di Indonesia. Simbol-simbol keislaman eksklusif tidak lagi dipandang sebagai komplementer atas kemajemukan simbol dan nilai agama dan kebudayaan Indonesia, tapi sudah mengatasinya. Sayangnya, gejala ini luput dari kesadaran banyak pihak.

Perda-perda syariat dan aturan lokal yang kental bersemangat provinsial dan sektarian pada era otonomi daerah ini, mestinya sudah menjadi kajian dan pusat perhatian pakar hukum dan orang-orang yang peduli pada nilai-nilai kebhinekaan Indonesia. Mereka seyogyanya turun gunung demi mengkaji kemungkinan gap antara perda-perda tersebut dengan aturan dan perundang-undangan yang lebih tinggi, yang menjadi perekat dan filosofi keindonesiaan kita.

Betapa tidak, formalisasi syariat di banyak tempat sudah berlangsung cukup liar. Cianjur, Sukabumi, Pamekasan, Bulukumba, adalah beberapa contoh saja. Yang unik dari Padang hanya soal pewajibannya yang sudah menyentuh privasi umat non-Islam dan eksistensi keragaman aspirasi agama dan kultur masyarakat Padang yang (tentu) juga majemuk. Dalam kasus Padang, pewajiban jilbab ditopang pula oleh klaim sosio-kultural masyarakat Padang yang konon tidak mengenal lagi keterbelahan antara adat dan agama. Kredo ‘adat basandi syara’, syara’ basandi kitabullah’ yang secara historis menjadi formula untuk mendamaikan kelompok adat dan kelompok paderi, kini sudah bergeser pemahaman. Aspirasi adat dan agama, bahkan antara keminangan dan keislaman, kini telah bersatu.

Mungkin orang Padang kini mengklaim bahwa keminangan adalah keislaman itu sendiri. Menjadi orang Minang atau sekadar tinggal di Padang, seakan-akan sama artinya dengan menjadi Islam, persis seperti salah satu ciri kemelayuan. Karena itu, orang-orang yang menentang kebijakan ini, tak ayal akan tertumbuk ‘dua karang’ sekaligus: karang keislaman dan keminangan. Penentang islamisasi yang formalistik itu akan divonis durhaka pada agama (Islam) sekaligus mendelegitimasi identitas keminangannya sendiri.

Makna Politis Pewajiban Jilbab

Cermatilah ungkapan-ungkapan Walikota Padang dan para buya yang mendukung kebijakan itu. Dalam talkshow di sebuah televisi swasta (18/5), Walikota Padang, Fauzi Bahar, sontak menganggap yang kontra kebijakannya sebagai bukan orang Padang; mungkin pendatang. Dia juga mengimbau agar kasus ini tidak dipolitisasi. Tapi dia lupa bahwa kebijakan itu sendiri merupakan kebijakan politik. Instruksi bapak Wali tentu dilakukan dalam sebuah proses politik, dan akan otomatis punya implikasi politik luas baik pada tingkat lokal maupun nasional.

Karena itu, absah saja bila orang coba menghubungkan instruksi itu dengan konteks perpolitikan lokal seperti momentum Pilkada. Konteks Pilkada menjadi variabel penting karena pada dasarnya setiap kandidat yang berkompetisi berusaha mencitrakan diri sebagai pendukung aspirasi agama mayoritas dan pengayom syariat. Dalam masyarakat berbasis sosio-kultural yang ‘religius’ seperti Padang, strategi itu tentu akan diberdayakan tiap-tiap kandidat. Dalam konteks itu pula, masuk akal kalau upaya menentang campur tangan birokrasi negara atas aspek yang sangat privat pada diri masyarakat (soal memakai apa) menjadi tidak strategis dan dihindari semua pihak. Mereka yang tetap nekat memilih aspirasi sebaliknya, cepat sekali terstigma sebagai kelompok sekuler, fobia Islam, berikut diragukan identitas lokal kepadangannya.

Suara Lirih Kaum Minoritas

Karena itulah aspirasi-aspirasi kaum minoritas menjadi tersumbat. Kepada penulis, Sudarto, Direktur Pusat Studi Antar Komunitas (Pusaka) yang giat dalam kegiatan dialog lintas iman di Padang, mengibaratkan aspirasi kaum minoritas seperti suara lirih di tengah koor serentak mayoritas. Pengajar agama Islam di Sekolah Katolik Don Bosco Padang itu menyebutkan bahwa kaum minoritas terpaksa mencari jalan selamat karena kuatir dianggap melawan penguasa dan suara mainstream yang kini sedang mengalunkan melodi yang sudah mulai sumbang.

Upaya-upaya penolakan hanya akan dituding fobia Islam dan tidak taat pada penguasa yang mengadopsi aspirasi Islamis yang tidak inklusif dan kurang toleran. Upaya penentangan jelas tindakan konyol yang akan membuahkan stigma. Walhasil, sambil mengurut dada, mereka hanya berharap proses itu cepat surut dan akan menuai resistensi dari kalangan pendukung Islam kultural dan elemen-elemen masyarakat sipil.

Tapi ironis, kalangan Islam kultural sudah terkooptasi dalam aspirasi Islamis yang menstruktur. Kalangan adat yang dalam sejarah Sumbar berkonflik cukup lama dengan kalangan paderi, kini sudah tidak lagi memandang perlu melakukan penentangan. Selain kekuatan mereka tidak lagi signifikan, kebijakan formalisasi syariat juga belum lagi menyentuh kepentingan mereka (seperti persoalan tanah ulayat dan persoalan lainnya).

Fasisme Kaum ‘Moralis’?

Tapi adakah semua orang alpa bahwa aspek paling mengkhawatirkan dari kasus ini adalah potensinya yang mengarah liar pada fasisme berlabel agama? Simaklah komentar Walikota Padang, Fauzi Bahar, soal mengapa kalangan non-muslim juga dianjurkan berjilbab. Dalam talkshow yang sama beliau mengatakan, “Kalau ada sekawanan domba berwarna putih disela oleh beberapa domba berwarna biru, tentu tidak akan enak dipandang.”

Tanpa konsultasi dengan agamawan non-Islam, Pak Wali sudah tetap melangkah tanpa mempertimbangkan aspirasi minoritas di negara-bangsa yang majemuk ini. Klaim-klaim moralnya yang sepihak, ikut didiktekan untuk berlaku universal. “Saya rasa, umat agama lain juga tidak senang melihat pakaian muda-mudi yang tidak sopan,” tegasnya yakin.

Ungkapan Pak Wali mungkin saja benar. Tapi ia juga mengindikasikan kecenderungan fasisme yang bernafsu menyeragamkan dan mendisiplinkan masyarakat dalam satu corak pikir dan cara bertindak. Sungguh sayang jika pola pikir seperti itu merasuki pemimpin daerah yang mestinya sensitif akan pluralitas masyarakat. Lebih dari itu, kecenderungan itu sungguh telah mengalahkan falsafah dasar kebhinekaan yang menjadi corak identitas keindonesiaan.

Karena itu, kecenderungan fasisme mestinya dihambat untuk berkembang pada kalangan ‘moralis’ yang selalu tergoda untuk menyeragamkan masyarakat dalam satu klaim moral. Pada titik ini, relevan rasanya mengutip warning almarhum Mansour Fakih dalam pengantar buku Fasisme. Fakih jauh-jauh hari sudah mensinyalir indikasi kuat fasisme pada kaum ‘moralis’ amar makruf nahi munkar. Umpamanya, penertiban ‘tempat-tempat maksiat’ yang dianggap tidak bermoral, mereka lakukan sembari melabrak hak-hak asasi ekonomi, sosial, politik, dan budaya masyarakat yang beragam.

Artinya, atas nama menegakkan kebajikan dan memangkas kemungkaran, mereka tanpa sadar menggunakan pendekatan, metode, dan teknik-teknik fasistik. Saya kira, kecenderungan-kecenderungan seperti ini, di manapun ia terjadi, harus cepat-cepat dihentikan demi keutuhan nilai-nilai kebangsaan Indonesia nan majemuk. Ia juga perlu dilakukan demi menjaga proses konsolidasi demokrasi dari bajakan musuh-musuhnya. []

Novriantoni, alumnus Universitas Al-Azhar Cairo, aktivis Jaringan Islam Liberal

Posted: Fri Jun 01, 2007 12:07 pm
by mr. Hercule Poirot
Diskusi di UIN Jakarta
Menggugat Perda Syariat
Oleh Nurun Nisa'
13/07/2006

Akhir Juni lalu berlangsung seminar nasional bertemakan 'Menggugat Perda Syari'at' di UIN Jakarta. Seminar yang merupakan kerja bareng SEROJA-BEMJ PPI dan JIL-Yayasan TIFA ini mengupas perda bernuansa Syari'at Islam (perda SI) dari berbagai sudut pandang. Sengaja tema ini diangkat mengingat trend perda SI yang kian meruyak di berbagai daerah, mulai Bulukumba sampai Tasikmalaya. Bahkan ini sudah direspons oleh 56 anggota DPR yang menuntut agar perda SI dicabut diikuti 134 anggota DPR yang berpendapat sebaliknya. Tiga narasumber dari berbagai kubu—Ratna Sarumpaet (budayawan), Ahmad Sahal (JIL), dan Agus Purnomo (anggota DPR F-PKS)—sengaja dihadirkan untuk memperkaya pembahasan dan perdebatan di dalamnya.

Ratna mengawali diskusi dengan mengetengahakan fakta sejarah. "Di ruang republik ini, Islam selalu mayoritas. Jadi yang memutuskan Pancasila itu mayoritas Islam. Ini dulu yang harus disadari secara sejarah. Saya mencoba mengambil sebuah ilustrasi; kalau kita punya rumah di bukit dan kita tahu di negeri kita ini rawan akan longsor atau gempa karena hujan terus-menerus turun, tapi kemudian kita masih keluar untuk membeli taplak meja dan bunga lalu datanglah gempa. Maka rumah hancur. Taplak dan bunga tak ada gunanya," ungkap Ratna Sarumpaet yang merupakan narasumber pertama.

Dengan gambaran ini, baginya, lebih baik memikirkan perkara lain ketimbang mengangkat perda SI, mengatasi masalah kemiskinan misalnya. Sementara itu, persoalan kembali ke syari'at Islam adalah tanggung jawab sebagai umat Islam. Ia berlaku dan wajib sebagai kesadaran masing-masing. Ratna mengajak menjadi umat Islam yang baik—itulah yang harus selalu dirangsang. “Jangan memakai undang-undang ataupun peraturan. Tinggal al-Qur'an, yang sudah memuat kandungan moral, diterjemahkan dan diimplementasikan dengan baik.” Iapun disambut applaus para peserta.

Narasumber kedua, Ahmad Sahal, menyinggung soal prosedur formalisasi perda SI. "Menurut saya perda SI bisa diperjuangkan melalui parlemen atas nama demokrasi. Meski di saat yang sama, pandangan itu hanya mengandalkan prosedur demokrasi, sementara tujuan demokrasi yang dijamin oleh konstitusi dilanggar. Ini karena perda SI banyak merugikan hak dasar. Seperti mewajibkan untuk mengaji. Itu lebih baik anjuran. Dua hal tersebut tidak bisa dipisahkan kalau kita mau konsisten sebagai republik; kita tidak hanya melihat prosedur demokrasi tetapi juga harus melihat tujuan demokrasi," ujar Sahal. Mahasiswa politik tingkat doktoral University of Pennsylvania ini menyatakan bahwa jika masyarakat Islam mencita-citakan izzul islam wal muslimin mestinya menggarisbawahi pentingnya cita-cita republik. Indonesia adalah negara republik; negara yang memberikan tempat yang sama kepada setiap warganya baik yang beragama Islam, Kristen, perempuan, untuk menikmati kebebasan dalam satu aturan bersama yaitu konstitusi. Di situlah, terdapat 'proyek bersama' yang harus tetap diperjuangkan sampai kapanpun. Proyek bersama itu bernama Indonesia dengan dasar Pancasila.

Isi perda SI, bagi Sahal, sebenarnya juga bertentangan dengan konstitusi. Jika perda SI ingin diterapkan melalui mekanisme formal ala DPR, maka perda SI harus dilihat seberapa jauh kontribusinya terhadap potensi bangsa. Bila kontribusinya tidak signifikan, lebih baik ditangguhkan.

Pendapat berseberangan datang dari narasumber ketiga, Agus Purnomo. Anggota DPR dari F-PKS ini mempertanyakan kembali definisi perda SI. UU Anti Pelacuran, UU Anti Miras, wajib memakai jilbab atau Gerbang Marhamah di Cianjur apakah terdapat perdanya atau bagaimana? Ini harus diklasifikasi satu persatu baru bisa dianggap berbau syariat atau tidak. Jadi, urusan (wajib) ngaji adalah urusan politik—agar guru ngaji itu menjadi profesi yang menggiurkan. Ini tafsir ekonomi.

"PKS kalau mau cabut, ya cabut saja karena demokrasi kita ini baru latihan. Jadi latihan demokrasi dalam semangat syariat misalnya mensosialisasikan jilbab nggak ada masalah. Jangan dianggap sebagai semacam fundamentalis. Biar saja jika mau dicabut melalui prosedurnya dan yang bertanggung jawab adalah Mendagri dan yudikatif (MA). Nah, kalau sekarang kita permasalahkan perda SI, yang disalahkan Mendagri, ngapain aja kerjanya. Saya lihat itu produknya zaman Megawati di tahun 2002 dan tahun 2003," jelas Magister Komunikasi Politik UI ini.

Selanjutnya, pada sesi tanya jawab, terbetik penyataan menarik dari seorang mahasiswi Adab. Syari'at Islam, menurutnya, harus dimulai dengan paksaan seperti halnya anak kecil yang harus dipaksa agar terbiasa melakukan ajaran Islam. Ini karena pada fitrahnya manusia mempunyai rasa malas; di setiap punggung individu terdapat setan yang selalu mengganggu. Dari Sahal, muncul jawaban praktis.

"Jangan menganggap orang Islam itu anak kecil. Kalau misalkan tujuan syariat itu menganggap orang Islam adalah anak kecil terus kalau tidak dikekang menjadi brutal, belum tentu itu terjadi. Kebebasan justru akan menciptakan hal-hal yang tak terduga. Kreatifitas itu muncul mungkin lewat kebebasan. Jadi menurut saya, ada yang salah dari strategi umat Islam dalam memperjuangkan izzul Islam wal muslimin. Mereka ingin al-islamu ya'lu tapi wala ya'lu ya'lu, " kelakarnya.

Secara keseluruhan, diskusi dalam seminar ini berjalan 'panas'. Kubu kontra perda SI berhadapan langsung dengan kubu pro perda SI yang didominasi anggota HTI. Tak seperti biasa, bangku peserta di ruang teater Ushuluddin dan Filsafat—tempat seminar ini dihelat—penuh hingga acara berakhir sekitar jam satu. Terungkap pula sebuah komentar yang kontroversial. "Astaghfirullah, kok di UIN Syahid masih diperdebatkan masalah ini? Harusnya temanya 'bagaimana da'wah yang efektif untuk penerapan syari'at Islam secara kaffah," tulis seorang peserta dalam lembar evaluasi seminar.[]

Sumber: Jaringan Islam Liberal website