noor_al_maseeh wrote:MOHON MAAF NIH BUKAN SOK PAKAR HADITH, TAPI APA YG DI DESKRIPSIKAN OLEH REBECA (SEMOGA DIRAHMATI OLEH ALLAH), MEMANG BENAR BERSANDARKAN DAN BERSEDUDUKAN DENGAN KEYAKINAN ANDA (QURAN DAN HADITH), ADA BEGITU LANCANG MENGATAKAN HADITH (SHAHIH) ITU DHAEEF TAPI TAK BISA MENUNJUKKAN DIMANA KE DHAEEF-AN NYA, TETAPI BERDASARKAN
KUTIPAN REBECA ITU ADALAH HADITH SHAHIH (MAQBOOL/DAPAT DITERIMA), MAKA OTOMATIS SANAD DAN PERAWINYA JUGAN SHAHIH DAN TIDAK MUNGKIN DHAEEF (LEMAH) APALAGI MARDOOD (DITOLAK).
JGN COBA2 BER T.I.A (TAQIYYA IN ACTION) DENGAN SAYA, SAYA TAU TRICK ANDA KELIGHO SOK TAU HADITH
===============================================
APA TITLE "SAW" PADA MUHAMMAD ----------->
"SIKAT ABIEZ WANITA"
Syarat Hadist itu Shahih adalah
1. beberapa orang saksi yang bersaksi bahwa Nabi Muhammad pernah bersabda
2. sejalan dengan Ayat di ALQUR'AN
3. Rawinya bersifat Adil
3.1 Selalu memelihara perbuatan taat dan menjahui perbuatan maksiat.
3.2 Menjauhi dosa-dosa kecil yang dapat menodai agama dan sopan santun
3.3 Tidak melakukan perkara-perkara Mubah yang dapat menggugurkan iman kepada kadar dan mengakibatkan penyesalan
3.4 Tidak mengikuti pendapat salah satu madzhab yang bertentangan dengan dasar Syara'.
4. Sempurna ingatan
5. Sanadnya tidak terputus
6. Hadits itu tidak berillat dan
7. Hadits itu tidak janggal
Hadits Makbul adalah hadits- hadits yang mempunyai sifat-sifat yang dapat diterima sebagai Hujjah. Yang termasuk hadits makbul adalah Hadits Shohih dan Hadits Hasan.Hadits Hasan adalah hadits yang diriwayatkan oleh Rawi yang adil, tapi tidak begitu kuat ingatannya (hafalan), bersambung sanadnya, dan tidak terdapat illat serta kejanggalan pada matannya. Hadits Hasan termasuk hadits yang Makbul, biasanya dibuat hujjah buat sesuatu hal yang tidak terlalu berat atau terlalu penting.Hadits Dlaif adalah hadits yang kehilangan satu syarat atau lebih dari syarat-syarat hadits shohih atau hadits hasan. Hadits Dlaif banyak macam ragamnya dan mempunyai perbedaan derajat satu sama lain, disebabkan banyak atau sedikitnya syarat-syarat hadits shohih atau hasan yang tidak dipenuhinya.
Klasifikasi hadits Dlaif berdasarkan kecacatan perawinya
Hadits Maudlu' : adalah hadits yang dicipta serta dibuat oleh seorang pendusta yang ciptaan itu mereka bangsakan ( katakan Sabda nabi SAW ) secara palsu dan dusta, baik hal itu disengaja maupun tidak.
Hadits Matruk : adalah hadits yang menyendiri dalam periwayatan, yang diriwayatkan oleh orang yang tertuduh dusta dalam perhaditsan.
Hadits Munkar : adalah hadits yang menyendiri dalam periwayatan, yang diriwayatkan oleh orang yang banyak kesalahannya, banyak kelengahannya atau jelas kefasiqkannya yang bukan karena dusta. Di dalam satu jurusan jika ada diriwayatkan dua hadits lemah yang berlawanan sedang yang satu lemah sanadnya Sedang yang lain lebih lemah sanadnya maka yang lemah sanadnya dinamakan Hadits Ma'ruf dan yang lebih lemah dinamakan hadits Munkar.
Hadits Mu'allal ( Ma'lul, Mu'all ) : adalah hadits yang setelah diadakan suatu penelitian dan penyelidikan tampak adanya salah sangka dari rawinya dengan menganggap sanadnya bersambung (padahal tidak). Hal ini hanya bisa diketahui oleh orang-orang yang ahli hadits.
Hadits Mudraj ( saduran ) : adalah hadits yang disadur dengan sesuatu yang bukan hadits atas perkiraan bahwa saduran itu termasuk hadits.
Hadits Maqlub : adalah hadits yang terjadi mukhalafah (menyalahi hadits lain), disebabkan mendahului atau mengakhirkan.
Hadits Mudltharrib : adalah hadits yang menyalahi dengan hadits lain terjadi dengan pergantian pada satu segi yang saling dapat bertahan, dengan tidak ada yang dapat ditarjihkan (dikumpulkan).
Hadits Muharraf : adalah hadits yang menyalahi hadits lain terjadi disebabkan karena perubahan Syakal kata, dengan masih tetapnya bentuk tulisannya.
Hadits Mushahhaf : adalah hadits yang mukhalafahnya karena perubahan titik kata, sedang bentuk tulisannya tidak berubah.
Hadits Mubham : adalah hadits yang didalam matan atau sanadnya terdapat seorang rawi yang tidak dijelaskan apakah ia laki-laki atau perempuan.
Hadits Syadz (kejanggalan) : adalah hadits yang diriwayatkan oleh seorang yang makbul (tsiqah) menyalahi riwayat yang lebih rajih, lantaran mempunyai kelebihan kedlabithan atau banyaknya sanad atau lain sebagainya, dari segi pentarjihan.
Hadits Mukhtalith : adalah hadits yang rawinya buruk hafalannya, disebabkan sudah lanjut usia, tertimpa bahaya, terbakar atau hilang kitab-kitabnya.
Klasifikasi hadits dlaif berdasarkan gugurnya rawi
Hadits Muallaq: adalah hadits yang gugur (inqitha') rawinya seorang atau lebih dari awal sanad.
Hadits Mursal: adalah hadits yang gugur dari akhir sanadnya, seseorang setelah tabi'iy.
Hadits Mudallas: adalah hadits yang diriwayatkan menurut cara yang diperkirakan, bahwa hadits itu tiada bernoda. Rawi yang berbuat demikian disebut Mudallis.
Hadits Munqathi': adalah hadits yang gugur rawinya sebelum sahabat, disatu tempat, atau gugur dua orang pada dua tempat dalam keadaan tidak berturut-turut.
Hadits Mu'dlal : adalah hadits yang gugur rawi-rawinya, dua orang atau lebih berturut turut, baik sahabat bersama tabi'iy, tabi'iy bersama tabi'it tabi'in, maupun dua orang sebelum shahaby dan tabi'iy.
Klasifikasi hadits dlaif berdasarkan sifat matannya
Hadits Mauquf: adalah hadits yang hanya disandarkan kepada sahabat saja, baik yang disandarkan itu perkataan atau perbuatan dan baik sanadnya bersambung atau terputus.
Hadits Maqthu': adalah perkataan atau perbuatan yang berasal dari seorang tabi'iy serta di mauqufkan padanya, baik sanadnya bersambung atau tidak. Sumber pengambilan hukum bagi orang Islam adalah Al-Qur'an dan Hadist. Mengambil rujukan Al-Qur'an dengan mengikari keberadaan Hadist shoheh adalah tindakan mengingkari Al-Qur'an itu sendiri.
PENDAPAT BEBERAPA ULAMA TENTANG HADITS-HADITS DHAIF UNTUK FADHAA-ILUL A'MAAL
[KEUTAMAAN AMAL]
Di kalangan ulama, ustadz dan kyai sudah tersebar bahwa hadits-hadits dhaif boleh dipakai untuk fadhaa-ilul amaal. Mereka menyangka tentang bolehnya itu tidak ada khilaf di antara ulama. Mereka berpegang kepada perkataan Imam an-Nawawi yang menyatakan bahwa bolehnya hal itu sudah disepakati oleh ahli ilmu.
Apa yang dinyatakan Imam an-Nawawi rahimahullah tentang adanya kesepakatan ulama yang membolehkan memakai hadits dhaif untuk fadhaa-ilul amaal ini merupakan satu kekeliruan yang nyata. Sebab, ada ulama yang tidak sepakat dan tidak setuju digunakannya hadits dhaif untuk fadhaa-ilul amaal. Ada beberapa pakar hadits dan ulama-ulama ahli tahqiq yang berpendapat bahwa hadits dhaif tidak boleh dipakai secara mutlak, baik hal itu dalam masalah ahkam (hukum-hukum) maupun fadhail. Syaikh Muhammad Jamaluddin al-Qasimi menyebutkan dalam kitabnya, Qawaaidut Tahdits: Hadits-hadits dhaif tidak bisa dipakai secara mutlak untuk ahkaam maupun untuk fadhaa-ilul amaal, hal ini disebutkan oleh Ibnu Sayyidin Nas dalam kitabnya, Uyunul Atsar, dari Yahya bin Main dan disebutkan juga di dalam kitab Fat-hul Mughits. Ulama yang berpendapat demikian adalah Abu Bakar Ibnul Araby, Imam al-Bukhari, Imam Muslim dan Imam Ibnu Hazm. [Qawaaidut Tahdits min Fununi Musthalahil Hadits, hal. 113, tahqiq: Muhammad Bahjah al-Baithar]
Menurut Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albany rahimahullah (Ahli Hadits zaman sekarang ini), ia berpendapat: “Pendapat Imam al-Bukhari inilah yang benar dan aku tidak meragukan tentang kebenarannya.” [Tamaamul Minnah fii Taliq ala Fiqhis Sunnah hal. 34, cet. Daarur Rayah, th. 1409 H]
Menurut para ulama, hadits dhaif tidak boleh diamalkan, karena:
Pertama.
Hadits dhaif hanyalah mendatangkan sangkaan yang sangat lemah, orang
mengamalkan sesuatu dengan prasangka, bukan sesuatu yang pasti diyakini.Firman Allah:
Artinya : Sesungguhnya sangka-sangka itu sedikit pun tidak bisa mengalahkan kebenaran. [Yunus: 36]
Nabi Shallallahu alaihi wa sallam bersabda:
"Artinya : Jauhkanlah dirimu dari sangka-sangka, karena sesungguhnya
sangka-sangka itu sedusta-dusta perkataan. [HR. Al-Bukhari (no. 5143, 6066)
dan Muslim (no. 2563) dari Abu Hurairah radhiyallahu anhu
Kedua.
Kata-kata fadhaa-ilul amaal menunjukkan bahwa amal-amal tersebut harus sudah ada nashnya yang shahih. Adapun hadits dhaif itu sekedar penambah semangat (targhib), atau untuk mengancam (tarhiib) dari amalan yang sudah diperintahkan atau dilarang dalam hadits atau riwayat yang shahih.
Ketiga.
Hadits dhaif itu masih meragukan, apakah sabda Nabi Shallallahu alaihi wa sallam atau bukan. Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam bersabda:
"Artinya Tinggalkanlah apa-apa yang meragukan kamu (menuju) kepada yang tidak meragukan. [HR. Ahmad (I/200), at-Tirmidzi (no. 2518) dan an-Nasa-i
(VIII/327-328), ath-Thabrani dalam al-Mujamul Kabir (no. 2708, 2711), dan
at-Tirmidzi berkata, Hadits hasan shahih.]
Keempat.
Penjelasan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah tentang perkataan Imam Ahmad, Apabila kami meriwayatkan masalah yang halal dan haram, kami sangat keras (harus hadits yang shahih), tetapi apabila kami meriwayatkan masalah fadhaa-il, targhiib wat tarhiib, kami tasaahul (bermudah-mudah). Kata Syaikhul Islam: Maksud perkataan ini bukanlah menyunnahkan suatu amalan dengan hadits dhaif yang tidak bisa dijadikan sebagai hujjah, karena masalah sunnah adalah masalah syari, maka yang harus dipakai pun haruslah dalil syari. Barangsiapa yang mengabarkan bahwa Allah cinta pada suatu amalan, tetapi dia tidak bawakan dalil syari (hadits yang shahih), maka sesungguhnya dia telah mengadakan syariat yang tidak diizinkan oleh Allah,
sebagaimana dia menetapkan hukum wajib dan haram.[ Majmuu’ Fataawaa, oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah (XVIII/65).]
Kelima.
Syaikh Ahmad Muhammad Syakir menerangkan tentang maksud perkataan Imam Ahmad, Abdurahman bin Mahdi dan ‘Abdullah Ibnul Mubarak tersebut, beliau berkata, Bahwa yang dimaksud tasaahul (bermudah-mudah) di sini ialah mereka mengambil hadits-hadits hasan yang tidak sampai ke derajat shahih untuk masalah fadhaa-il. Karena istilah untuk membedakan antara hadits shahih dengan hadits hasan belum terkenal pada masa itu. Bahkan kebanyakan dari ulama mutaqadimin (ulama terdahulu) hanyalah membagi derajat hadits itu
kepada shahih atau dha’if saja. (Sedang yang dimaksud dhaif itu sebagiannya adalah hadits hasan yang bisa dipakai untuk fadhaa-ilul amaal-pen). [Baaitsul Hatsits Syarah Ikhtishaar Uluumil Hadiits, oleh Syaikh Ahmad Muhammad Syakir (hal 87), cet. III Maktabah Daarut Turats, th. 1979 M/1399 H atau cet. I Daarul Ashimah, taliq: Syaikh al-Albany]
Sebagai tambahan dan penguat pendapat ulama yang tidak membolehkan dipakainya hadits dhaif untuk fadhaa-ilul amaal. Saya bawakan pendapat Dr.Subhi Shalih, ia berkata: Menurut pendapat agama yang tidak diragukan lagi bahwa riwayat lemah tidak mungkin untuk dijadikan sumber dalam masalah ahkam syari dan tidak juga untuk fadhilah akhlaq (targhib wat tarhib), karena sesungguhnya zhan atau persangkaan tidak bisa mengalahkan yang haq sedikit pun. Dalam masalah fadhaa-il sama seperti ahkam, ia termasuk pondasi agama
yang pokok, dan tidak boleh sama sekali bangunan pondasi ini lemah yang berada di tepi jurang yang dalam. Oleh karena itu, kita tidak bisa selamat bila kita meriwayatkan hadits-hadits dhaif untuk fadhaa-ilul amaal, meskipun sudah disebutkan syarat-syaratnya.[ Lihat Uluumul Hadiits wa
Musthalaahuhu (hal. 211), oleh Dr. Subhi Shalih, cet. 1982 M]
Nah sekarang kalau akal-akalan ,kenapa gue kasih disumber Bukunya.Nah kalau yang dituliskan Rebeca Hadist itu jelas Lemah,karena sanadnya terputus