A Sina : Tuhan mana yang harus diikuti ? 2 artikel

SAMBUTAN, PENJELASAN, artikel dan debat dari PENDIRI SITUS; ALI SINA. Artikel2 A Sina lainnya masih bisa ditemukan dalam Ruang REFERENSI sesuai dgn topiknya.
Post Reply
User avatar
Adadeh
Posts: 8184
Joined: Thu Oct 13, 2005 1:59 am

A Sina : Tuhan mana yang harus diikuti ? 2 artikel

Post by Adadeh »

http://www.faithfreedom.org/Articles/si ... s_king.htm
Logika adalah Kuncinya
Oleh Ali Sina

Dapatkah sebuah kebudayaan dibangun diatas fondasi yang lemah ? Dapatkah kita mendirikan kemakmuran manusia diatas kebohongan?

Dari hari ke hari, penderitaan dunia kian bertambah. Sumber derita ini adalah perpecahan, ketidakpedulian dan ketiadaan toleransi. Kedamaian tidak akan pernah terwujud sebelum kita meninggalkan ajaran yang menganjurkan kebencian. Bagaimana kita dapat menganjurkan toleransi, apalagi persatuan, jika yang kita ikuti adalah ajaran yang menuntut untuk membenci orang lain ?

Islam tidak mengajarkan kasih, Islam mengajarkan perang. Islam mengajak pengikutnya untuk berperang melawan orang yang tidak memilih Islam, membunuh dan menundukkan mereka sampai Islam menjadi satu2nya agama di dunia. Islam bukanlah agama yang mengijinkan perbedaan pendapat, apalagi perbedaan kepercayaan. Islam menuntut kesamaan/uniformitas. Islam menuntut kontrol ketat atas pemikiran pengikutnya. Perbedaan apapun akan dihukum berat.

Semua bentuk kediktatoran berbahaya, tapi kediktatoran agama itulah yang paling berbahaya. Semua doktrin politik, baik paham kiri atau kanan, begitu terbukti salah, mudah ditinggalkan, tapi agama yang sesat akan bertahan terus, karena penganutnya percaya itu dari Tuhan dan karenanya : tidak mungkin salah.

“Langit dan bumi dapat berlalu, tapi firman Tuhan tidak”. Orang2 rasional bersedia menerima agama yang tidak rasional itu dan para filosof berusaha keras untuk membuatnya jadi masuk akal dan mensahkannya sbg santapan pemikiran kaum intelektual. Tapi kebohongan tetaplah kebohongan. Kenyataan bahwa kebohongan itu diterima orang banyak tidak merubahnya menjadi suatu kebenaran. Kalaupun seluruh dunia menolak kebenaran, dunia tetap tidak akan dapat menutupi sinarnya.

Ada agama yg yakin bahwa ular dan sapi adalah makhluk suci, ada juga yg percaya akan roh2 halus. Semua ini tampaknya tidak masuk akal.
Muslim menuduh Kristen percaya trinitas yang menurut Muslim sangat menggelikan. Tapi anehnya, Muslim tidak punya masalah mempercayai kisah2 konyol dlm Qur’an tentang jin, penciptaan Hawa dari rusuk Adam, kisah bahtera Nuh ataupun kisah pembelahan bulan. Tidak jelas mengapa semua kepercayaan lain yang tak masuk akal dianggap salah, tapi kepercayaannya sendiri yang juga tidak masuk akal dianggap betul !

Jika kita tidak menggunakan akal untuk membedakan mana agama yang betul, bagaimana kita bisa menentukan pilihan agama yang tepat?

Banyak sekali agama yang tak masuk akal tapi semuanya mengatakan bahwa agamanya-lah yg paling benar. Bahkan orang2 cerdaspun bersedia menerima irasionalitas agamanya. Mereka lebih berpihak pada agamanya saat terjadi bentrok antara iman dan logika. Mereka bersikeras bahwa agama itu satu2nya sumber Kebenaran. Inilah dasar pemikiran semua orang beragama.

Andaikata memang benar begitu, agama mana yang benar2 betul? Mengapa semuanya berbeda satu sama lain? Bagaimana seseorang dapat yakin kalau agamanya sendiri yang benar dan agama lain salah?

Mudah saja. Hanya melalui LOGIKA manusia bisa mencari jalan yang benar. Dan jika kita uji dengan logika, maka kita dapatkan banyak ajaran2 agama yang tidak masuk akal.

Logika juga bukanlah satu2nya jalan. INTUISI dan INSPIRASI dapat membantu kita belajar, kala logika tidak bisa lagi. Beberapa orang mengaku bahwa melalui gagasan yang muncul tiba2, tahu2 pintu pengetahuan terbuka di depan mereka dan mereka bisa mengintip kedlm dunia mistik yg mengajarkan mereka hal2 yang tadinya tidak pernah terpikirkan. Tapi ini sangat berbeda dengan pernyataan2 nabi2 yang mengaku menerima wahyu dari Tuhan dan menuntut agar orang percaya khayalan mereka yang irasional sebagai kebenaran mutlak dan tak dapat dibantah.

Banyak ilmuwan dan penemu2 terkenal mengaku mendapat jawaban dari pertanyaan2 mereka secara intuitif. Meskipun begitu, LOGIKAlah yang tetap menentukan apakah kita benar2 mendapatkan inspirasi atau hanya angan2 kosong belaka. Orang2 beragama menyingkirkan logika mereka jika logika berlawanan dengan apa yang mereka percayai sebagai firman Tuhan. Mereka berkata, “Mengapa tergantung pada logika manusia yang telah terbukti sering salah jika kita dapat percaya pada firman Tuhan yang tak pernah salah?”

Masalahnya adalah bagaimana kita tahu pesan2 yang kita percayai itu benar2 dari Tuhan dan bagaimana kita bisa pasti bahwa Tuhan yang kita percayai itu adalah Tuhan yang sebenarnya? Bagaimana kita menemukan jalan yang benar? Bagaimana kita bisa yakin bahwa keyakinan kita, dan bukan ratusan keyakinan lainnya, adalah satu2nya yang benar ? Yang mana yang kita pilih?

Untuk bisa memilih dengan tepat, kita tetap harus menggunakan logika.
Tapi karena kita sadar bahwa logika manusia seringkali tidak dapat diandalkan, bagaimana kita yakin bahwa kita tidak mengikuti jalan yang salah?

Manusia selalu ingin mencari kebenaran. Tidak ada seorangpun yang sengaja memilih untuk dikelabui. Tidaklah tepat untuk menduga bahwa orang2 secara naluriah tahu akan kebenaran tapi lebih memilih untuk berontak karena gengsi untuk menerima kebenaran itu. Meskipun sukar dipercaya, tapi begitulah pendapat orang2 Muslim terhadap orang lain yang tidak percaya Islam. Muslim yakin bahwa orang tidak mau memeluk Islam hanya karena gengsi. Pendapat yang konyol!

Saya benar2 tidak dapat mengerti mengapa Muslim bersikeras utk bersikap irasional, menghipnotis diri dan memelihara iman mereka yang tak masuk akal. Pada kenyataannya, manusia dimanapun telah memilih jalan yang salah dan akhirnya mereka berperang satu dengan yang lain. Mereka rela mengorbankan dirinya untuk kepercayaannya (kecuali Muslim yang memilih untuk mengorbankan nyawa orang lain dulu) karena mereka percaya telah menemukan Kebenaran.

Orang sering bertanya: “Jika mereka benar, mengapa semua orang tidak mengikuti agama yang sama?” Jawabnya adalah karena pengertian setiap manusia berbeda-beda. Setiap manusia menggunakan logika masing2. Karena logika manusia tidak sempurna, maka mereka sering memilih jalan yang salah, mengikuti nabi yang salah, menyembah tuhan yang salah. Jika orang lain dapat melakukan kesalahan ini, bukankah saya dan kamu bisa pula mengalami hal yang sama?

...

Kalau begitu, mengapa tidak kuserahkan saja kpd Tuhan dan mengikuti agamaNya? Jawabnya adalah karena dalam prakteknya, pilihan mana agama yang benar itu tidak jelas. Jika benar2 jelas, mengapa ada begitu banyak sekte, aliran2, dan agama2?

Pertanyaannya masih tetap sama: Tuhan mana yang harus diikuti?

...
Saya tidak percaya nasib manusia ditentukan dari intensitas iman mereka. Setiap orang beriman pada agamanya, tapi tidak semuanya benar. Jadi apa yang harus saya lakukan? Mudah saja. Dlm upaya mencari Tuhan yang benar, sayapun tetap harus menggunakan logika. Saya harus mempertanyakan segalanya dan ber-hati2 agar tidak dibimbing ke jalan yang salah. Bukankah ini keputusan penting ? Jika saya ingin menyerahkan seluruh jiwa raga saya pada Tuhan, bukankah saya harus yakin dulu bahwa Dialah Tuhan yang benar ? Bagaimana saya dapat melakukan hal itu jika saya tidak berani mempertanyakan dan menggunakan LOGIKA SAYA SENDIRI? Saya katakan logika SAYA karena SAYA bertanggung jawab atas hidup SAYA dan tidak dapat ikut2 orang lain secara buta karena dia pun dapat saja mengikuti orang lain secara buta pula. Tetapi kala menggunakan logika untuk mengevaluasi sekte2 dan agama2 untuk menemukan Tuhan yang benar, saya juga sadar bahwa tidak satupun agama masuk akal.

Mereka yang mengaku nabi berkata manusia tidak berhak menguji Tuhan. Adalah hak Tuhan untuk menguji manusia. Tapi jika kita tidak mempertanyakan pernyataan mereka ini, bagaimana kita tahu bahwa mereka bukan nabi palsu? Bagaimana kita tahu apakah mereka yang menyatakan diri nabi bukan penipu dan pembual?

Memang mengerikan kalau manusia dibiarkan untuk mengatur hidup dan menentukan pilihan sendiri. Bgm kalau kita salah pilih ? Tentu saja bisa. Tapi manusia memiliki kemampuan utk memperbaiki kesalahannya. Di lain pihak, bayangkan betapa celakanya kalau orang mengikuti secara buta aliran sesat seperti Sun M. Moon, Children of God, Temple of Sun, dll.

Jadi bagaimana ? Memilih Tuhan persis seperti main roulet Rusia. Dan karena ada ribuan kepercayaan yang masing2 menjual jalan keselamatan, kemungkinan untuk menemukan satu yang sejati adalah kecil.

Kau lihat sekarang mengapa logika adalah kuncinya? Kau harus menguji Tuhanmu dulu dengan logika sebelum kau menyerahkan dirimu padaNya. Dan karena tiada agama atau doktrin yang menawarkan Tuhan yang dapat diuji secara logika, maka saya, ALI SINA, menolak semuanya karena mereka semua hanyalah imajinasi manusia belaka dan hasil pikiran manusia.

Manusia berkembang melalui adaptasi dan ujian dan cobaan alami. Gen manusia terus berubah dan setiap perubahan melahirkan satu mutasi baru. Kebanyakan mutasi ini gugur, tapi yang berhasil hidup merupakan keunggulan alami. Hal yang sama terjadi dalam masyarakat kita. Kita membuat hukum berdasarkan kebutuhan2 tertentu dan mengubahnya jika tidak dibutuhkan lagi. Hukum tertentu bernilai baik, yang lain dapat pula jelek. Tapi hukum2 itu dibuat oleh kita dan bagi kita. Hukum2 agama dibuat oleh orang2 yang hidup di jaman lampau. Mereka tidak tahu apa yang kita butuhkan di jaman kita ini. Ajaran2 sosial mereka tampak sangat menekan bagi kita dan pesan2 mereka tidak masuk akal.

Manakah yang lebih baik? Manakah yang harus dituruti? Kecuali kau bisa membuktikan secara logis bahwa Tuhanmu adalah Tuhan yang sejati, kamu pun sebenarnya sedang mengikuti suatu aliran sesat.

Kebenaran hanya ada satu meskipun yang satu ini punya banyak sisi / komponen. Karena kapasitas mental setiap orang berbeda, latar belakang sosial dan budaya berbeda, maka kebenaran bagi satu orang tidak sesuai dgn definisi kebenaran bagi orang lain. Variasinya bukan pada Kebenaran itu sendiri, tapi pada wadah2nya.

Ambil contoh cahaya matahari. Tampaknya benar2 putih. Tapi ketika menimpa bumi, cahaya itu menjelma jadi jutaan warna-warni. Yang membedakan adalah kapasitas benda2 yang memantulkan cahaya matahari tersebut. Jika kau mencampurkan semua warna-warni itu, maka kau akan mendapatkan warna putih lagi.

Begitu pula dengan Kebenaran yang dipercaya seluruh umat manusia di dunia dalam berbagai warna-warni. Jika kita bersatu, dan tidak memeluk satu warna saja, tidak memeluk satu bentuk agama, tapi mempertahankan warna-warni setiap kelompok masyarakat, maka cahaya Kebenaran akan bersinar dengan terang Tuhan.//
ali5196
Posts: 16757
Joined: Wed Sep 14, 2005 5:15 pm

Post by ali5196 »

Artikel dibawah iNi ditulis oleh orang Indonesia, jadi tidak diterjemahkan oleh saya. Menarik sekali tapi saya tidak tahu harus diletakkan di subforum mana. Biar MOd aja yg nentukan

http://groups.google.fr/group/berpikirb ... raot&hl=fr

Subyektivitas vs Obyektivitas kehidupan rohani

Kehidupan Rohani merupakan tema yang penting buat saya. Tapi, agama? Mungkin tidak. Mudah ditebak. Kalimat berikut yang akan saya katakan: "Kehidupan rohani tidak sama dengan agama!". Benar sekali.

Di mana perbedaannya?

Pertama-tama, spiritualitas yang saya anut bersifat 100% subyektif.
Sebelum ada yang mengatakan bahwa kebenaran bersifat obyektif dst dsb, perkenankan saya menegaskan bahwa ini adalah PILIHAN saya. Jadi jangan buang-buang waktu untuk berusaha mengubah keputusan saya itu.

Kedua, berbeda dengan pendapat beberapa orang, saya tidak begitu saja
membuat pemisahan yang simplistik antara yang subyektif dan yang
obyektif. Apa yang diberi label "obyektif" bisa saja ternyata
adalah subyektif, dan sebaliknya.

Jika seratus orang di puncak gunung kawi secara serempak melihat
penampakan hantu mBah Sastro yang melayang-layang, apakah pengalaman mereka itu subyektif atau obyektif. Saya tidak tahu. Tetapi bisa saja keseratus orang itu mengalami pengalaman subyektif yang SAMA.

Seorang penyair menulis puisi, yang dimaksudkan untuk menyampaikan
suatu pesan tertentu. Seorang pembaca melakukan tafsiran subyektif
terhadap puisi itu. Namun, secara tidak sengaja, tafsiran si pembaca
itu ternyata cocok dengan apa yang dimaksud oleh si penyair.

Seorang produser ternama menyeleksi calon-calon penyanyi yang akan
diorbitkan oleh perusahaan rekamannya. Seleksi itu sepenuhnya
subyektif, berdasarkan selera si produser itu. Namun, calon penyanyi
yang lolos seleksi biasanya akan menghasilkan album yang meledak di
pasaran. Orang bilang, selera subyektif si produser itu memang ampuh.

Selera kita terhadap makanan pun bisa dikatakan subyektif. Tetapi jika
ada restoran yang begitu ramai pengunjung bahkan harus antri berdiri,
maka kita melihat subyektivitas orang banyak yang secara serempak cocok satu sama lain.

Saya bisa menyebut ratusan contoh lain di mana subyektivitas yang ampuh ternyata bisa membawa kepada kebenaran. Sebaliknya, obyektivitas yang lemah akan membawa kepada kesesatan.

Kembali kepada agama. Penganut agama bisa saja mengatakan bahwa ajaran agama (mereka) merupakan "kebenaran-genuine-mutlak-obyektif-satu-satunya-yang-diakui-Tuhan-dan-seterusnya". Fine. Good for them.

Berhubung saya bukan penganut agama, statement di atas tidak relevan
bagi saya. Lalu apakah yang saya anut? Saya penganut spiritualitas,
bukan agama. Bagi saya, spiritualitas barulah menjadi spiritualitas
kalau itu bersifat subyektif.

Anda akan menjawab:"Bagaimana kalau subyektifitas anda itu adalah
subyektifitas yang lemah, yang membawa pada kesesatan?"

Benar, jika saya adalah subyek yang terisolasi, hidup di dalam dunianya
sendiri, seperti seorang pengidap schizophrenia.

Namun, spiritualitas saya bukanlah spiritualitas yang saya jalani
SENDIRIAN. Apakah artinya menjalani kehidupan rohani? Satu kata:
"Persekutuan". Pertama-tama, persekutuan dengan Tuhan. Tetapi juga,
persekutuan dengan sesama. Agama bicara tentang ajaran-ajaran yang
benar secara obyektif (atau paling tidak, demikianlah klaimnya).
Spiritualitas bicara tentang persekutuan antara subyek-subyek (oleh
karenanya bersifat subyektif).

Ajaran agama itu seperti buku teori berenang. Sedangkan kehidupan
rohani itu ketika anda menyeburkan diri anda ke dalam air. Agama bicara TENTANG Tuhan. Spiritualitas berbicara KEPADA Tuhan, dan MENDENGAR Tuhan yang berbicara kepada anda.

Ajaran agama mengatakan:"Homoseksualitas itu dosa!". Spiritualitas
adalah RASA belas kasih ketika teman anda yang gay menelpon, dan
menangis tersedu-sedu, karena ditinggal pergi oleh pacarnya.

"Subyektif" artinya "berpusatkan pada subyek". Manusia bukan
obyek. Tuhan juga bukan obyek. Jadi Tuhan pun subyek-tif, manusia
subyek-tif. Hubungan Tuhan-manusia adalah hubungan yang subyek-tif

Jika anda berfokus pada ajaran, maka manusia menjadi obyek ajaran
agama, bahkan obyek Tuhan. Tuhan pun bisa menjadi obyek manusia
(seperti Tuyul yang disuruh-suruh mengerjakan apa yang dimaui manusia).

Jika anda berfokus pada manusia dan Tuhan (sebagai subyek) maka anda akan menemukan persekutuan, yang adalah esensi dari kehidupan rohani.

TJ
Post Reply