Jawa Barat : penghancuran agama Sunda Wiwitan oleh Islam

Khusus ttg sepak terjang/sejarah jihad dan penerapan Syariah di INDONESIA & negara jiran (MALAYSIA)
Post Reply
Laurent
Posts: 6083
Joined: Mon Aug 14, 2006 9:57 am

Jawa Barat : penghancuran agama Sunda Wiwitan oleh Islam

Post by Laurent »

Mereka Dianggap Berbeda, Dibungkam, dan Dipaksa Mengikuti Identitas 'Resmi'
Rabu, 28 November 2012 11:25 Rosyid




Karena dinilai 'berbeda' dan tak mampu mengungkapkan identitas agama, etnis, dan bangsanya. Mereka dipaksa mengikuti identitas yang resmi. Perlakuan-perlakuan tidak adil pun tak jarang harus mereka terima...

Selain tentang Ahmadiyah, Syiah, dan sejumlah komunitas lain yang semakin akrab kita ketahui melalui media massa. Tentunya kita juga pernah mengetahui tentang bagaimana seseorang dari sebuah komunitas sulit mendapatkan kartu tanda penduduk (KTP), hanya karena ia bukan termasuk penganut agama resmi seperti diakui Negara. Pengalaman ini sudah biasa dialami oleh komunitas Sunda Wiwitan. Mereka terbiasa dimainkan aparat birokrasi.

Seperti keterangan yang diungkapkan Pengeran Djatikusuma, tetua adat Sunda Wiwitan yang akrab disapa Rama Djati, ini melalui pengalaman pribadinya, keluarganya, serta sejumlah penganut Sunda Wiwitan terutama di Cigugur Kuningan, tak jarang harus berhadapan dengan perlakuan tidak adil para pejabat negara setempat. Khususnya berkaitan soal agama. Para penghayat (sebutan untuk penganut Sunda Wiwitan) ditanya agama mereka masuk agama mana: Islam, Katolik, Protestan, Hindu, Buddha? Jika sudah demikian, maka penghayat Sunda Wiwitan akan menjawab: “agamanya, ya, Sunda Wiwitan”.

Demikianlah, terutama sejak masa Orde Baru (Orba), para penghayat masih juga mengalami diskriminasi. Hak-hak sipil dan politik mereka tidak diperhatikan oleh pemerintah. Alasan yang diberikan oleh pemerintah dan petugas biasanya adalah karena masalah agama. Seperti dalam kasus untuk mendapatkan KTP, birokrasi hanya mengetahui dan mengakui Lima Agama (Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Budha, dalam perkembangannya kemudian Khong Hu Cu masuk di dalamnya sehingga menjadi Enam agama resmi yang diakui pemerintah) berdasarkan Penjelasan Atas Penetapan Presiden No 1 Tahun 1965 Tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama pasal 1, "Agama-agama yang dipeluk oleh penduduk di Indonesia ialah Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Budha dan Khong Hu Cu (Confusius)" (Penetapan Presiden No 1 Tahun 1965 Tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama). Dari sini lah kemudian perlakuan-perlakuan tidak adil sering diterima penghayat Sunda Wiwitan.

Agama yang diakui oleh pemerintah hanya Lima pada waktu itu (enam saat sekarang) menghambat para pengikut Sunda Wiwitan untuk mendapatkan kartu tanda penduduk, akta lahir, dan surat kependudukan lainnya. Bahkan, anak-anak para pengikut Sunda Wiwitan mengalami kesulitan saat hendak masuk sekolah pemerintah. Oleh karena itu, banyak sekali warga Sunda Wiwitan yang akhirnya memeluk agama Islam maupun Katolik. Meskipun sekarang masyarakat Sunda Wiwitan memeluk agama yang berbeda akan tetapi mereka menjiwai ajaran dan filosofi hidup yang sama yang menjamin kerukunan umat beragama tetap lestari juga menciptakan pluralisme yang berlandaskan pada kultur asli tanpa rekayasa sosial apapun. Prinsip pluralisme yang tertanam jauh di lubuk hati masyarakat Sunda Wiwitan dan selalu didengungkan oleh mereka adalah meskipun tidak sekeyakinan akan tetapi sepengakuan.

Persoalan pembuatan KTP dan administrasi lainnya, hanyalah bagian kecil dari sejumlah masalah ketidakadilan yang harus diterima penganut Sunda Wiwitan. Remeh kelihatannya. Tapi itulah fakta. Penganut Sunda Wiwitan telanjur dicap negara sebagai anonimitas, tak punya status. Di zaman Orde Baru, mereka akan diidentifikasi sebagai subversif. Setiap penduduk harus memiliki identitas yang lengkap. Petugas sensus yang ditunjuk Badan Pusat Statistik tidak diperkenankan mengosongkan kolom agama pada lembar identitas penduduk. Kolom agama harus diisi.

Namun sebenarnya apa dan bagaimana sesungguhnya Sunda Wiwitan ? Dalam laporan kali ini, bersama Rama Djati, penghayat asal Cigugur Kuningan Jawa Barat (Jabar) megulas apa dan bagaimana Sunda Wiwitan. Para penganut Sunda Wiwitan di Cigugur telah akrab dengan perlakuan tidak adil pemerintah. Namun di tengah-tengah pemeberitaan miring tentang kerukunan umat beragama dengan maraknya kekerasan atas nama agama, radikalisme, terorisme, dan lain sebagainya, siapa sangka dari mereka yang selama ini diperlakukan tidak adil, kita mendapatkan pelajaran berharga bagaimana seharusnya berkehidupan di tengah perbedaan agama.

Menengok Kehidupan Sunda Wiwitan di Cigugur

Sebelumnya mungkin tidak pernah terbayang dalam benak kita betapa dalam satu kampung, setiap rumahnya terdapat perbedaan agama, ayah seorang penghayat, tapi anak-anaknya ada yang beragama muslim dan katolik. Tapi hal demikian nyata terjadi di tengah-tengah kehidupan masyarakat desa Cigugur Kabupaten Kuningan. Di desa yang terletak di kaki Gunung Ciremai tersebut, masyarakat hidup rukun walaupun berbeda agama.

Kerukunan ini bisa dilihat misalkan jika ada salah satu masyarakat beragama Islam meninggal dunia, maka tak sungkan orang yang beragama Katolik maupun Penghayat untuk mengurus acara pengurusan jenazah hingga tahlilan. Begitu pun jika yang meninggal adalah orang yang beragama kristen, maka orang dari umat agama lain tak segan untuk terlibat dalam acara pengurusan jenazah. Selain itu, di Desa Cigugur sendiri terdapat berbagai macam tempat ibadah dari berbagai agama, dari mulai gereja hingga masjid.

Awalnya masyarakat Cigugur adalah pemeluk ajaran adat Sunda Wiwitan yang dikembangkan oleh Ki Madrais. Akan tetapi, oleh karena ada larangan dan tekanan dari Pemerintah di masa Orde Baru (Orba), maka pemeluk ajaran ini ada yang berpindah ke agama katolik dan Islam untuk mendapatkan hak sipil dan politiknya nya sebagai warga negara yang sah. Sampai saat ini, hak sipol masih menjadi masalah bagi sebagian warga Cigugur yang masih berpegang teguh menjadi penghayat adat Sunda Wiwitan.

Lebih Dekat Mengenal Sunda Wiwitan

Dari arti bahasa, Sunda Wiwitan berarti Sunda Permulaan, akar, pertama. Makna Sunda Wiwitan sama dengan yang tertulis dalam naskah Carita Parahiyangan dengan apa yang disebut Jati Sunda. Ajaran sunda wiwitan sangat berpegang teguh dengan adat budaya sunda, tempat di mana para pemeluknya hidup. Pangkal ajaran ini sebenarnya adalah mendasari hidup dengan memaknai kehidupan sehari-hari, dari tanah dan air yang dipijak.

Berdasarkan penuturan dari Pengeran Djatikusuma, tetua adat Sunda Wiwitan, ajaran Sunda Wiwitan pada dasarnya meyakini bahwa setiap manusia yang dilahirkan ke dunia tidak merasa mempunyai keinginan untuk menjadi manusia. Juga tidak memiliki pilihan untuk menjadi orang Sunda atau pun orang Jawa. Semuanya itu atas kehendak Maha Pencipta. Dengan kata lain, menjadi manusia adalah perintah dari Maha Pencipta.

Setiap manusia mempunyai kodratnya sendiri-sendiri menyebutnya dengan Cara-ciri. Karena itu, Sunda Wiwitan sangat memegang teguh Pikukuh Tilu, yakni, pertama, cara-ciri manusia (kodrat manusia) yakni unsur-unsur dasar yang ada di dalam kehidupan manusia. Dalam konsep Sunda Wiwitan, ada lima unsur yang termasuk di dalamnya, Welas Asih (cinta kasih), Undak Usuk (tatanan/hierarki dalam kekeluargaan, Tata krama (tatanan perilaku), Budi bahasa dan budaya, Wiwaha Yudha Naradha (sifat dasar manusia yang selalu memerangi segala sesuatu sebelum melakukannya). Kalau satu saja Cara-ciri manusia yang lain tidak sesuai dengan hal tersebut maka manusia pasti tidak akan melakukannya.

Kedua, Cara-ciri bangsa (kodrat kebangsaan). Secara universal, semua manusia memang mempunyai kesamaan di dalam hal Cara-ciri Manusia. Namun, ada hal-hal tertentu yang membedakan antara manusia satu dengan yang lainnya. Dalam ajaran Sunda Wiwitan, perbedaan-perbedaan antar manusia tersebut didasarkan pada Cara-ciri bangsa yang terdiri dari Rupa, Adat, Bahasa, Aksara, Budaya. Pikukuh yang ketiga adalah Madep ka ratu raja (mengabdi kepada yang seharusnya).

Sampai di sini bisa dilihat kenapa masyarakat adat Sunda Wiwitan sangat toleran, mereka sangat meyakini bahwa semua manusia itu pada dasarnya adalah sama dan tak berdaya terhadap kodrat kemanusiaannya. Pada taraf yang sangat hakiki, manusia itu sama dalam Cara-cirinya, terbedakan dari hewan dan tumbuhan serta makhluk hidup lainnya. Selanjutnya, universalitas kemanusiaan yang melekat pada diri setiap manusia tersebut menampakan perbedaanya saat manusia harus menempati ruang dan waktu. Manusia menempati tempat tertentu di waktu tertentu yang dia juga tidak bisa menentukan sendiri tempat lahir hidup dan berkembangnya. Dari lingkungan kehidupan yang tidak bisa manusia negosiasikan. Inilah kemudian manusia mempunyai adat, budaya, bahasa, rupa, aksara dan mungkin agama yang berbeda-beda.

Ciptakan Kehidupan Damai di Bumi Cigugur

Toleransi dan kerukunan yang diresapi oleh masyarakat Sunda Wiwitan adalah toleransi yang berpegang teguh pada adat budayanya, kesadaran ruang dan waktu menjadikan mereka kukuh pada adat dan budaya sunda. Kalau mereka berada di daerah yang bukan sunda mungkin mereka akan berpegang pada kultur mereka bertempat tinggal tersebut. Inti dan akar toleransi yang dimiliki mereka bukan pada adat sundanya tapi pada cara berfikir mereka terhadap kehidupan, budaya dan adat. Jadi, sikap seperti ini sepertinya bisa juga untuk diadopsi oleh orang di daerah lain (selain sunda) dengan cara berfikir seperti demikian.

Menurut Rama Djati, seorang yang mengamalkan Sunda Wiwitan tidak harus beragama tertentu, dia boleh beragama apa saja tapi dia menghayati benar tempat dan waktu dia hidup. Rama mencontohkan bagaimana seharusnya orang yang beragama Islam tanpa harus berbangsa Timur Tengah ataupun beragama Kristen tanpa harus berbangsa Romawi. Akan tetapi beragama apapun dengan menghayati tempat dimana dia hidup. Dia juga mencontohkan bagaimana hidup harus mengikuti zaman (berbeda dengan keyakinan Sunda Wiwitan Kanekes Banten). Artinya kesadaran akan kehidupan yang dimiliki oleh masyarakat Sunda Wiwitan adalah kesadaran kodrat manusia, kemanusiaan yang terbatas ruang dan juga waktu. Oleh karena itu, masyarakat Sunda Wiwitan tidak anti dan menutup diri dari teknologi atau apapun yang muncul pada zaman sekarang yang bersifat positif.

Sikap hidup yang demikian menciptakan kehidupan yang damai di bumi Cigugur. Setiap orang di kampung ini menghayati kehidupan beragama dengan tidak mengadu kepercayaan, akan tetapi dengan mengembalikan perbedaan kepada yang sama, yakni sama-sama percaya kepada Yang Maha Pencipta, Tuhan. Seperti yang diutarakan oleh warga Sunda Wiwitan setempat Arga dan Sarka sebagaimana saat berbincang-bincang dengan mereka di tengah-tengah kesibukan mereka menyiapkan acara Seren Taun. Mereka meyakini bahwa apapun agamanya itu tidak penting yang penting adalah dia percaya ada Tuhan Maha Pencipta.

Arga (73), salah seorang Penghayat Sunda Wiwitan, mempunyai anak yang memeluk Agama Islam dan Kristen, tapi dia tetap mempersilahkan anak-anaknya untuk memeluk agama sesuai dengan keyakinannya. Rama Djati sendiri membebaskan anak-anaknya untuk memeluk agama sesuai dengan keyakinannya. Walaupun dari kecil anak-anaknya dididik dengan ajaran adat, akan tetapi setelah menginjak dewasa mereka dibebaskan untuk memeluk agama yang diyakininya. Kecuali untuk anak laki-laki yang paling tua, dia harus kukuh menjaga dan meneruskan ajaran adat Sunda Wiwitan.

Agama dilihat oleh mereka hanya sebagai kodrat kebangsaan, kodrat yang melekat setelah kita memasuki dimensi ruang dan waktu. Hal demikian tersebut lebih rendah dan bersifat permukaan dan untuk memahaminya lebih mendalam harus ditarik ke arah kodrat yangn lebih tinggi yakni kodrat manusia, dimana setiap orang yang dilahirkan sebagai manusia mempunyai cara-ciri yang sama.

Ajaran Sunda Wiwitan tentang kodrat manusia dan kodrat kebangsaan yang ditanamkan oleh Ki Madrais meniscayakan bahwa kehidupan manusia yang benar adalah dengan berpegang teguh hanya pada kodrat kebangsaan dalam hal sosial dengan tanpa melupakan kodrat manusia dalam hal spiritual. Kedua kesadaran terhadap kodrat ini saling berkait, tidak bisa dilepaskan satu dengan yang lain, artinya landasan spiritual kemanusiaan seperti yang diajarkan oleh Madrais akan paripurna jika terejawantahkan dalam kehidupan sosial dengan landasan sosial tentunya. Karena spiritualisme tanpa sosial akan sulit dipahami oleh orang lain, sebagaimana Rama Djati mencontohkan sosok Syeikh Siti Jenar sebagai manusia yang mempunyai pemahaman spiritual yang tinggi akan tetapi tidak menggunakan sifat sosialnya.

Ajaran sosial Sunda Wiwitan berprinsip pada kodrat kebangsaan, artinya dalam kehidupan sosial manusia tidak lepas dari karakteristik masing-masing daerah. Beda tempat beda zaman, beda pula karakteristiknya. Setiap karakter muncul dari dalam hidup keseharian manusia, dari tanah dan air yang dipijaknya, sehingga setiap manusia mempunyai budaya sebagai usaha mengatasi kehidupan sehari-harinya, mempunya bahasa sebagai usaha berkomunikasi satu sama lain/bersosialisasi, dan lain-lain. Madrais meyakini bahwa setiap bangsa akan berbeda dalam menghayati hidup, sehingga bangsa yang satu tidak bisa memaksakan nilai, norma, aturan, atau agama kepada bangsa yang lain. Ajaran Madrais inilah yang kemudian menjadi batu sandungan dan kerikil tajam bagi usaha pemerintah Belanda untuk menjajah.

Kalau kita Ingat, penjajahan (imperialisme) pada prinsipnya adalah menguasai kelompok tertentu secara ekonomi politik. Sebelum dapat dilaksanakan dengan baik, Imperialisme meniscayakan terjadinya kolonisasi. Kolonisasi lebih bersifat paradigmatik, artinya dia mempengaruhi wilayah kesadaran dengan pemaksaan nilai, moral, agama, aturan, dan semacamnya. Ajaran Madrais dalam hal ini adalah ajaran yang menggelorakan semangat anti-kolonial dalam arti yang sebenarnya. Oleh karena itu, wajar jika kemudian Belanda sangat membenci Madrais dan ajaran yang dibawanya. Hingga untuk mengawasi gerak-gerik Madrais, Belanda harus mengirimkan mata-mata yang menginap di Cigugur, yang diingat oleh masyarakat nama mereka adalah Yakob, Steepen, Relles dan Destra.

Marginalisasi Sunda Wiwitan

Bagi pemerintah Belanda, Madrais adalah biang kerok yang selalu dicurigai siang dan malam. Segala cara pun dilakukan oleh pemerintah belanda untuk menghilangkan pengaruh ajarannya dari masyarakat Cigugur. Pada tahun 1901-1908 Belanda mengasingkan Madrais ke Marauke setelah sebelumnya dia dituduh melakukan pemerasan dan penipuan kepada masyarakat. Setalah pulang dari marauke dan kembali ke Cigugur pada tahun 1908, Belanda melarang para pengikutnya mendatangi Ki Madrais.

Tak habis akal, setelah pesantrennya dilarang oleh belanda, Madrais pun berjuang di wilayah pertanian, selain menanam padi beliau juga dikenal sebagai orang yang pertama kali menanam bawang merah di Cigugur. Pada akhirnya, pengikutnya pun bisa sering bertemu dengan madrais sebelum akhirnya ketahuan juga dan sempat beberapa kali keluar masuk bui.

Setelah ditekan selama bertahuan-tahun, Belanda memperbolehkan Madrais meneruskan ajarannya dengan syarat menyanjung-nyanjung Belanda. Meskipun pada akhirnya Belanda mengakui ajaran Madrais dalam adapt recht (hukum adat) akan tetapi hasutan terus dilakukan oleh pihak Belanda kepada Madrais. Segala cara diusahakan untuk melumpuhkan pengaruh ajaran anti-kolonial dari Madrais, termasuk saat memplintir salah satu ajaran pokok madrais. Belanda menghembuskan berita bahwa “madrais mengajarkan pengikutnya untuk minum air keringatnya sendiri”, dia adalah tukang sihir dan segala macam (kekeliruan dan stigma ini sempat dijadikan inspirasi pembuatan film Kafir yang disutradarai oleh Mardali Syarif dengan pemeran utama Sudjiwo Tejo). Padahal ucapan Madrais yang sebenarnya adalah “makan minumlah kalian dari keringat sendiri” yang berarti pengikutnya harus makan dan minum dari hasil kerja kerasnya sendiri, tidak dengan memeras orang lain ataupun meminta-minta. Inilah prinsip kehidupan mandiri, berdikari dan anti-kolonial yang diajarkan Madrais. (Rosyid)

http://www.fahmina.or.id/artikel-a-beri ... htmlMirror
Mirror Rss Feed
Laurent
Posts: 6083
Joined: Mon Aug 14, 2006 9:57 am

Re: Jawa Barat : penghancuran agama Sunda Wiwitan oleh Islam

Post by Laurent »

Pangeran Djatikusumah: Mempertahankan Tradisi, Terasing di Negeri Sendiri Nov 29th, 2011 @ 11:18 am › superadmin

Pangeran Djatikusumah (79) adalah sosok yang paling tepat untuk menjelaskan ajaran serta peran tokoh “perlawanan senyap” itu pada masa penjajahan Belanda. Berikut perbincangan Warisan Indonesia dengan pemimpin Komunitas Adat Cigugur itu di sela-sela persiapan “Seren Taon” yang tahun ini berlangsung pada 14-19 November 2011. Berikut petikannya.

Bisa diceritakan bagaimana Komunitas Adat Cigugur ini bermula? Secara getok tular (mulut ke mulut) dari leluhur kami. Dulu sembunyi-sembunyi, dengan datangnya Islam, ada yang namanya Islam abangan, nah kami dikatakan Sunda Wiwitan, istilah wiwitan itu maknanya yang pertama. Sebelum kedatangan agama dari luar Nusantara, kami sudah ada. Pegangannya adalah yang dikenal dengan tritangtu, yakni tri tangtu dibuana, tritangtu dinaraga, tritangtu dinagara, jadi itu juga termasuk apa yang ada dalam pikiran, naluri, rasa, dan pikir.

Jadi, sebelum Kiai Madrais lahir, komunitas ini sudah ada. Dasarnya, kepercayaan pada ajaran lama Sunda Wiwitan. Semasa Kiai Madrais ada masalah, ketika Belanda memorakporandakan Kepangeranan Gebang karena menolak kedatangan Belanda. Gebang akhirnya bekerja sama dengan Mataram menyerang Batavia. Masyarakat Gebang sering melakukan kraman—kerusuhan untuk menyabotase—tanam paksa di daerah kekuasaan Cirebon yang bekerja sama dengan kompeni. Akhirnya, ada yang menyampaikan kepada pemerintahan Belanda bahwa kerusuhan itu direstui oleh Pangeran Gebang. Sejak itulah kekuasaan Gebang dilumpuhkan dan wilayahnya dibagikan kepada tiga kasultanan, yaitu Kanoman, Kasepuhan, dan Kacirebonan.

Akhirnya, Pangeran Gebang mengungsikan putranya, Kiai Madrais, ke Cigugur ini. Karena Cigugur daerah basis tentara Mataram manakala ingin menyerang Batavia. Kiai Madrais yang dulunya Pangeran Sadewa Alibassa, mengajarkan kerohanian. Pada waktu itu, asal ada orang tua mengajarkan kerohanian disebut kiai dan tempatnya disebut pesantren.

Kiai Madrais tidak hanya mengajarkan agama Islam, muridnya ada yang Khonghucu dan agama lain. Beliau mengarahkan agar umat benar-benar menghayati ajaran agama. Bahwa engkau orang muslim tidak akan menjadi orang Arab, engkau seorang Katolik atau Kristen tidak menjadi orang Romawi atau Eropa, engkau penganut Hindu tidak menjadi orang India, engkau tetap berpijak di bumi Sunda.

Kiai Madrais tidak mengatakan Sunda itu sebagai Jawa Barat saja, tetapi Sunda Besar dan Sunda Kecil, yang tak lain adalah Nusantara ini. Belanda akhirnya curiga, lalu menghimpun kekuatan dan kami dipecah belah dengan stigma dan label sebagai orang kafir yang menyesatkan. Hingga akhirnya Kiai Madrais dibuang ke Tanah Merah, Merauke (Papua) selama tahun 1901-1908.

Jadi, kami ini meneruskan ajaran Kiai Madrais itu. Ada yang murni artinya memakai ajaran Sunda, ada yang Islam, ada Kristen, tetapi mereka tetap percaya ajaran leluhur. Maka setiap tahun yang jatuh pada 22 Rayagung ada upacara syukuran yang diselenggarakan secara plural, doa lintas agama. (WI/E. Pudjiachirusanto/ Bambang Triyono)

http://warisanindonesia.com/2011/11/pan ... i-sendiri/

Jawa Barat : penghancuran agama Sunda Wiwitan oleh Islam
Jawa Barat : penghancuran agama Sunda Wiwitan oleh Islam Mirror
Mirror Rss Feed
Faithfreedom forum static
Laurent
Posts: 6083
Joined: Mon Aug 14, 2006 9:57 am

Re: Jawa Barat : penghancuran agama Sunda Wiwitan oleh Islam

Post by Laurent »

‘Aliran Perjalanan’, Spiritualitas Kebangsaan dari Tatar Sunda
25 September 2011 | 10:44 WIB



Begitu banyak sumber daya kultural dinegeri ini yang secara esensial mengandung spirit kebangsaan dan kemanusiaan, namun karena berbagai faktor seolah menjadi hilang ‘ditelan’ pusaran sejarah. Tak dapat dipungkiri, imperialisme dan kolonialisme selama ratusan tahun atas nusantara tercinta menyebabkan bangsa ini kehilangan jati dirinya dan tidak berkepribadian dalam budaya. Salah satu sumber daya kultural yang seolah terlupakan dalam peradaban nusantara kini adalah suatu ajaran yang berbasiskan pada agama warisan leluhur (karuhun) masyarakat Sunda atau Sunda Wiwitan. Kini, ajaran Sunda Wiwitan berkembang dalam berbagai varian, meskipun tetap bersumber dari substansi yang sama. Aliran Kepercayaan Perjalanan, adalah salah satu varian dari agama Sunda Wiwitan di masa sekarang.

Aliran Perjalanan muncul pada tanggal 17 September 1927 di Cimerta, Subang. Ajaran ini bersumber dari pemikiran Mei Kartawinata. Beliau mengagas ajaran Perjalanan sebagai hasil dari kontemplasinya yang mendalam terhadap situasi alam, khususnya air. Dalam mengembangkan ajarannya, Kartawinata dibantu oleh dua sahabatnya, Sumitra dan Rasyid.

Nama ‘Perjalanan’ yang digunakan oleh Mei Kartawinata memang mengandung makna filosofis. Hal ini berdasarkan pada pengamatan beliau terhadap ‘perjalanan’ air sungai Cileuleuy yang mengalir menuju hilir (lautan). Dalam perjalanan tersebut, aliran air itu telah banyak mendatangkan manfaat bagi kehidupan para penghuni alam seperti hewan, tumbuhan dan manusia. Esensi inilah yang ingin diadopsi oleh Mei Kartawinata dalam mengembangkan ajarannya, bahwa kita sebagai manusia haruslah memberikan manfaat bagi alam sekitar kita selama ‘perjalanan’ manusia ‘mengaliri’ dinamika kehidupan. Kenyataannya, banyak lagi istilah yang digunakan oleh berbagai pihak untuk menamakan ajaran Kartawinata ini, seperti agama Buhun, Agama Pancasila serta Agama Kuring. Sebagai catatan, istilah agama Kuring lebih banyak diartikan sebagai suatu stigma dari pihak-pihak yang tidak menyukai perkembangan ajaran Kartawinata.

Lalu siapakah sebenarnya Mei Kartawinata?

Dalam buku Teologi Kebatinan Sunda karya peneliti UIN Sunan Gunung Djati, Abdul Rozak, disebutkan bahwa tokoh yang dikenal sebagai spiritualis ini lahir di Bandung pada tanggal 1 Mei 1898. Konon beliau masih keturunan kerabat kerajaan Majapahit (dari garis ayah) dan keluarga Prabu Siliwangi dari Pajajaran (garis ibu). Kondisi masyarakat Sunda dan nusantara secara umum yang terkurung dalam alam penjajahan Eropa ketika itu menimbulkan keprihatinan yang mendalam dalam diri Mei Kartawinata. Keprihatinan itulah yang memicu keinginan beliau untuk terjun ke dunia pergerakan nasional demi mencapai kemerdekaan.

Menurut para penganut ajaran Mei Kartawinata, dimasa pergerakan nasional beliau sangat dekat dengan kalangan pergerakan yang berideologi Marhaenis, termasuk Bung Karno. Bahkan menurut salah satu sumber, sang spiritualis adalah kawan diskusi Bung karno mengenai berbagai hal menyangkut politik dan ideologi, termasuk mengenai ideologi Indonesia bila merdeka kelak. Kedekatan dengan kalangan Marhaenis itulah yang mendorong beliau bersama beberapa tokoh lainnya seperti J.B.Assa mendirikan Partai Persatuan Rakyat Marhaenis Indonesia (Partai Permai) pada tahun 1945. Nama Partai ini tentu tidak asing bagi mereka yang mengalami dinamika politik diera demokrasi liberal tahun 1950-an. Pada Pemilu Konstituante 1955, Partai Permai berhasil mendapatkan dua kursi dalam lembaga itu.

Selain berkecimpung dalam pergerakan politik, seperti yang telah dibahas sebelumnya, Kartawinata juga mengembangkan konsepsi spiritual yang berbasis ajaran Sunda Wiwitan, yang ia namakan aliran Perjalanan. Aliran ini berintikan pada tiga hal, yakni spiritualitas individu berdasarkan ketuhanan, kemanusiaan berbasiskan persamaan, serta kebangsaan berlandaskan karakter dan nation building. Sebagai pedoman bagi para pengikutnya, Kartawinata menulis beberapa buku yang berisi hasil pemikirannya mengenai hakekat kehidupan manusia di dunia. Salah satu buku yang terpenting adalah Budi Daya. Buku ini seringkali dianggap sebagai kitab suci bagi pengikut aliran Perjalanan oleh banyak pihak, meskipun para penganut ajaran Kartawinata sendiri tidak menganggapnya demikian.

Dalam buku Budi Daya, disebutkan makna dari masing-masing sila dalam Pancasila. Sila KeTuhanan Yang Maha Esa diartikan sebagai “daya kaula”, sila Kemanusiaan bermakna “badan kaula”, sila Kebangsaan maknanya “bakat kaula”, sila Kedaulatan Rakyat berarti “darah kaula”, serta sila Keadilan Sosial memiliki makna “kacukupan kaula”. Jadi dalam arti lain, peran Pancasila dalam kehidupan berbangsa adalah sebagai pemberi kekuatan dan energi bagi rakyat dalam mencapai kesejahteraan bersama seluruh rakyat (kacukupan kaula).

Menurut ajaran Kartawinata, kekuatan untuk mencapai kesejahteraan bersama tersebut tiada lain adalah kesatu paduan seluruh insan masyarakat atau masyarakat gotong royong. Hal ini serupa dengan konsepsi Bung Karno mengenai sosialisme Indonesia. Tampak adanya benang merah antara Marhaenisme ajaran Bung Karno dengan perspektif kebangsaan dalam ajaran Kartawinata.

Bila ditelaah, ajaran Kartawinata memang sangat sosialistis. Dalam ajaran tersebut dianjurkan agar manusia menempuh cara hidup sosialistis yang tidak individualis. Kartawinata juga mengintrodusir bentuk masyarakat sosialis yang setiap anggota masyarakatnya harus dapat menyatukan kepentingan dirinya sebagai individu dalam kepentingan masyarakat secara luas. Di sisi lain, kepentingan dan potensi individu akan dilindungi dan dikembangkan oleh masyarakat. Inilah yang menjadi artikulasi dari makna Pancasila dalam kehidupan berbangsa, ketika setiap insan menjadi penggerak sistem/bangunan kemasyarakatan secara aktif dan kreatif bagaikan darah yang menjadi penggerak atau pemberi daya bagi manusia secara jasmaniah.

Karakter sosialis dalam ajaran Kartawinata juga terlihat dalam Dasa Wasita atau sepuluh wangsit yang menjadi sumber ajaran ini. Pada wangsit kesepuluh ditegaskan bahwa seorang insan harus bergerak untuk kepentingan bersama, dengan cara membantu mereka yang kesulitan agar berkurang penderitaannya. Hal ini perlu dilakukan agar kelak tercapai masyarakat humanis yang merdeka dan gandrung kebenaran.

Di masa kini, komunitas pengikut aliran Perjalanan yang berbasis di daerah Ciparay, Bandung masih tetap teguh menganut ajaran Mei Kartawinata. Meskipun berbagai hambatan berupa diskriminasi dari aparatur negara dan stigmatisasi dari kalangan fundamentalis agama kerap mereka terima.

Sejatinya, aliran Perjalanan yang berlandaskan spriritualitas kebangsaan dapat menjadi energi kultural bagi peradaban bangsa yang kini tengah terancam penjajahan gaya baru. Mengingat realitas kekinian, ketika para pemegang kendali pemerintahan di republik ini justru abai dengan nilai-nilai kebangsaan dan kemanusiaan, hingga berakibat pada terjerumusnya bangsa ini menjadi bangsa kuli dalam pusaran arus globalisasi.

*) Kader Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) dan alumnus Antropologi Universitas Padjajaran (Unpad)

http://m.berdikarionline.com/sisi-lain/ ... sunda.html

Jawa Barat : penghancuran agama Sunda Wiwitan oleh Islam
Jawa Barat : penghancuran agama Sunda Wiwitan oleh Islam Mirror
Mirror Rss Feed
Faithfreedom forum static
Laurent
Posts: 6083
Joined: Mon Aug 14, 2006 9:57 am

Re: Jawa Barat : penghancuran agama Sunda Wiwitan oleh Islam

Post by Laurent »

Menggagas Dialog, Menanam Keterbukaan, Menuai Kerukunan
Ditulis: 10 - Mar - 2008
Oleh: admindes

“….dalam negara-negara yang terdapat minoritas etnik, agama dan bahasa, persoalan-persoalan yang menjadi bagian dari minoritas tersebut tidak seharusnya ditolak dalam mencapai haknya dalam sebuah komunitas bersama dengan anggota lain dari kelompok mereka untuk menikmati budaya mereka, untuk mengakui dan mempraktikkan agama mereka ataupun menggunakan bahasa mereka.” ( dikutip dari Kovenan Internasional untuk Hak Sipil, Budaya, Ekonomi artikel 27)

(Laporan Pertemuan Komunitas Adat dan Pesantren di Pesantren Cipasung Tasikmalaya)

DESANTARA dan Pakuan menyelenggarakan pertemuan komunitas Adat dan pesantren, ini dimaksudkan sebagai upaya membangun dialog yang komunikatif dan dinamis antara kelompok pesantren sebagai pemilik otoritas syari’at dan komunitas-komunitas adat pemilik dan pelaku kebudayaan yang plural, serta kelompok Jemaah Ahmadiyah yang selama ini terlibat ketegangan dengan mayoritas kalangan muslim dan pesantren. Hal ini tidak dimaksudkan sebagai upaya sinkronisasi tetapi membangun kesadaran hidup bersama dengan semangat berbeda dan melahirkan sikap saling menghargai dan apresiasi terhadap masing-masing perbedaan itu. Hadir pada pertemuan tersebut perwakilan dari masyarakat adat Cisuru, Cigugur, Garut, Kampung Naga dan dari Bandung. Sedangkan dari kalangan pesantren hadir dari Pesantren Al-Wasilah Garut, Pesantren Cipasung, Pesantren Al-Masturiyah Sukabumi dan Pesantren As-salam Bandung. Pertemuan itu juga dihadiri Jemaah Ahmadiyah.

Ada pemaparan kasus-kasus diskriminasi, baik yang dialami komunitas adat dan kelompok Ahmadiyah, maupun tanggapan komunitas pesantren terhadap persoalan tersebut. Kasus-kasus yang menimpa masyarakat adat di Jawa Barat, seperti pembubaran suatu kelompok organisasi penghayat seperti di Subang, Sumedang dan Cianjur, Majalengka, dan daerah lainnya. Pembubaran ini terletak pada pendiskreditan suatu kelompok sebagai satu ajaran yang menyimpang, terlibat gerakan PKI sampai terjadi kekerasan pada suatu kelompok penghayat. Ada kasus di Cimulya Luragung Kuningan di mana kelompok masyarakat tertentu diwajibkan untuk memeluk agama Islam. Juga ada kasus pembunuhan yang terjadi pada tahun 50-an, pada masa pesatnya gerakan DI/TII atas nama purifikasi dan pemurnian ajaran Islam.

Karena tidak termasuk ke dalam 5 (lima) agama resmi yang ditentukan oleh pemerintah, komunitas penghayat juga mengalami kesulitan dalam pemenuhan hak-hak sipil, seperti: pencatatan pernikahan dan pencatatan akta kelahiran di Kantor Catatan Sipil. Demikian juga mereka mengalami kesulitan dalam pelaksanaan penguburan jenazah. Mereka juga sulit menjadi pegawai negeri atau menjadi anggota TNI/POLRI. Dampaknya, kini ada semacam perasaan frustrasi yang dialami penganut penghayat. Juga dalam bidang pendidikan, pada Undang-Undang Sisdiknas belum ada peluang untuk anak didik penghayat kepercayaan untuk menikmati pendidikan agama dan kepercayaan sesuai dengan yang dianutnya. Banyak dari mereka diharuskan mengikuti salah satu pelajaran agama resmi, dan bila tidak bersedia mereka harus menerima konsekuensi kehilangan satu nilai mata pelajaran. Sikap akomodatif dari pihak sekolah baru terlihat pada salah satu sekolah di Ciawi, Garut, yang membebaskan muridnya untuk menerima pelajaran agama berdasarkan keyakinan yang dianutnya.

Dalam kesempatan itu Jemaah Ahmadiyah juga memanfaatkan kesempatan itu untuk berdialog dan membuka diri terhadap masyarakat luas terutama terhadap komunitas Pesantren yang selama ini memandang negatif terhadap keberadaan dan aktivitas mereka. Dijelaskan bahwa Ahmadiyah sebagai organisasi Jemaah Ahmadiyah di Indonesia telah memiliki status hukum berdasarkan Keputusan Mentreri Kehakiman RI No.J.A.5/23/13. Namun sejak tahun 1980 ada fatwa MUI melarang aktivitas Ahmadiyah karena dianggap menyimpang dari garis Islam, mereka dianggap sebagai aliran yang sesat dan menyesatkan. Semenjak itu banyak hujatan yang diterima Ahmadiyah, namun hal itu tidak menyurutkan semangat mereka untuk mengembangkan dirinya dalam bidang dakwah, pendidikan dan penyantunan yatim-piatu serta kegiatan yang bersifat profit dalam bentuk koperasi kepemilikan saham dalam berbagai bidang usaha lainnya.

Regulasi dan kebijakan di atas akhirnya semakin meneguhkan prasangka dan stereotype yang berkembang pada masyarakat tentang Jemaah Ahmadiyah yang dianggap “berbeda” dan bahkan “sesat dan menyesatkan”. Bisa dipahami kemudian ketika persoalan yang sudah mengkristal tersebut memunculkan sikap antipati dan lebih jauh melibatkan tindakan kekerasan fisik. Pada tahun 1995 di Sukabumi masjid Ahmadiyah dirobohkan, yang konon dipicu oleh eksklusivitas dan perbedaan ajaran Ahmadiyah dari ajaran Islam yang umumnya dipahami masyarakat. Berturut-turut pada tahun 2002-2003 di dua daerah yang berbeda di Jawa Barat terjadi tindak kekerasan dan tindakan lain yang mengintimidasi kelompok Ahmadiyah. Di Manislor Kuningan, Oktober 2002, November 2002 dan Oktober 2003, terjadi perusakan tempat ibadah dan rumah tinggal Jemaat Ahmadiyah oleh ormas dan Pemda setempat. Di Tolenjeng Tasikmalaya, April 2003 lalu, terjadi perusakan masjid Al-Hidayah, dengan pembakaran lemari, buku, karpet dan mimbar yang ada di Masjid. Di kecamatan Kawalu Tasikmalaya, terjadi perusakan rumah tinggal dan panti Asuhan, apotik dan sejumlah toko yang disinyalir sebagai milik kalangan Ahmadiyah.

Dari pemaparan tersebut bisa dibaca bagaimana negara dan aparatnya begitu dominan mengontrol ajaran dan praktik-praktik keagamaan. Lebih parah lagi, upaya kontrol agama itu kemudian menjadi urusan kejaksaan dan kepolisian. Terlihat dari keberadaan lembaga Pakem (Pengawas Aliran Kepercayaan Masyarakat) yang dibentuk mulai dari tingkat pusat hingga ke tingkat kejaksaan wilayah atau propinsi, karena didorong sebagian besar oleh kehendak untuk menjaga stabilitas. Indikasinya terlihat dari rencana negara menerbitkan RUU Kerukunan Umat Beragama, di mana seolah-olah semua konflik atau permasalahan yang berkaitan dengan kehidupan beragama dibatasi oleh negara, baik hal-hal yg bersifat fisik maupun kepercayaan dan agama. Kelompok-kelompok yang dianggap berbeda atau bertentangan dengan kaidah-kaidah agama resmi dianggap kriminal. Banyak hal dari kebijakan negara yang hanya menguntungkan kelompok mayoritas saja, dan tidak menyentuh misalnya pada kepentingan kelompok penghayat kepercayaan, komunitas adat, kelangan Ahmadiyah dan lain-lainnya yang dianggap minoritas. Bahkan pada kenyataannya, segala kebijakan negara ini malahan menghancurkan komunitas mereka.

Menanggapi persoalan tersebut, masyarakat pesantren sebagai salah satu institusi keagamaan diharapkan bisa memberikan perimbangan: bagaimana membangun kesadaran pada lingkungan sekitarnya. Bila dulu salah satu fungsi pesantren adalah sebagai basis pertahanan dan perlawanan terhadap sesuatu yang dipandang dapat merusak tatanan masyarakat, hal itu diharapkan masih bisa diperankan dengan baik. Yakni, pesantren tidak lagi terjebak untuk mewartakan pesan “perang” terhadap sesuatu di luar Islam. Sebaliknya, kalangan pesantren ini diharapkan bisa membangun pemahaman bahwa Islam tidak pernah memaksakan kekuasaan atas orang lain atau merampas kemerdekaan, menganiaya dan menumpahkan darah orang lain. Islam tidak membenarkan sama sekali tindakan memaksa orang lain untuk memeluk suatu agama, juga tidak memaksa orang lain meninggalkan keyakinan yang telah dipeluknya. Perjuangan Islam ditujukan untuk mengakhiri penganiayaan dan untuk melindungi orang-orang lemah dari penindasan orang-orang kuat

Akhirnya dengan mengucap puji syukur, meski baru pertama kali diadakan, pertemuan tersebut bisa membuka sekat-sekat yang selama ini menjadi ganjalan dalam proses komunikasi di antara komunitas yang ada. Yakni, bagaimana membangun kebersamaan dalam perbedaan keyakinan sebagai sarana tukar informasi dan kontra narasi terhadap kecenderungan negara yang mengintervensi wilayah agama. Disepakati bahwa dialog ini tidak berhenti di forum ini saja, disamping ada keinginan untuk mengadakan pertemuan serupa secara berkala, juga terus mensosialisasikan hasil-hasilnya ke berbagai pihak terkait, seperti: tokoh-tokoh agama dan pesantren, pemda dan DPR. Sebagai bahan pertimbangan dalam memberlakukan suatu kebijakan yang menyangkut hak hidup masyarakat, khususnya dalam hal agama dan kepercayaan.Desantara

http://www.desantara.or.id/03-2008/443/ ... kerukunan/

Jawa Barat : penghancuran agama Sunda Wiwitan oleh Islam
Mirror
Faithfreedom forum static
Laurent
Posts: 6083
Joined: Mon Aug 14, 2006 9:57 am

Re: Jawa Barat : penghancuran agama Sunda Wiwitan oleh Islam

Post by Laurent »

http://ronyzakaria.blogspot.com/2006/10 ... r.html?m=1

Desa Cigugur

Pada 13-15 Oktober kemarin, saya melakukan perjalanan ke sebuah Desa bernama Cigugur. Desa Cigugur terletak di kaki gunung Ciremai dan sekitar 3 kilometer dari kota Kuningan, Jawa Barat. Saya dan teman saya Henri Ismail kesana dalam rangka mendokumentasikan desa dimana di desa ini toleransi dan pluralitas agama benar-benar diterapkan dan dirasakan serta desa Cigugur merupakan salah satu tempat dimana komunitas terbesar pemeluk Agama Djawa Sunda atau yang juga dikenal sebagai Sunda Wiwitan berada.

Perjalanan menuju desa Cigugur sendiri memakan waktu kira-kira 4 jam menggunakan mobil dari kota Bandung. Kami menggunakan jasa travel untuk pergi ke desa tersebut. Ketika kami tiba di Cigugur, hari sudah gelap dan kami turun di depan Paseban Tri Panca Tunggal yang merupakan tempat tinggal dari tokoh agama Sunda Wiwitan, Pangeran Djatikusuma. Paseban atau orang disana biasa menyebutnya dengan gedong dibangun pada 1860, merupakan tempat berkumpulnya orang-orang di desa Cigugur semacam balai desa, pusat kebudayaan dan juga merupakan tempat tinggal Pangeran Djatikusuma. Paseban sendiri dahulunya merupakan tempat tinggal dari Kiai Madrais yang pertama kali mengembangkan ajaran agama Sunda Wiwitan ini. Anaknya, Pangeran Tedjabuana juga menempati paseban ini sebelum akhirnya Pangeran Djatikusuma yang merupakan cucu dari Kiai Madrais menempatinya.

Latihan tari oleh para bapak-bapak

Ketika kami masuk ke dalam paseban, sedang ada kegiatan latihan tarian untuk acara esok hari, yaitu peresmian perbaikan dari paseban dan peluncuran batik resmi desa Cigugur ditambah dengan perayaan ulang tahun Pangeran Djatikusuma. Baru sebentar kami duduk, seorang bapak kemudian datang dan berbincang-bincang dengan kami yang merupakan orang asing disana. Perbincangan tersebut akhirnya berlanjut ke taman, dimana makanan untuk kami disiapkan, ternyata setelah berbincang-bincang seputar Sunda Wiwitan dan Cigugur diketahui bahwa bapak tersebut adalah putra dari Pangeran Djatikusuma, Gumirat Barna Alam. "Saya putranya Rama Djati", seraya memperkenalkan siapa dirinya, Rama merupakan panggilan yang artinya bapak. Sebagai putra satu-satunya, oleh ayahnya ia dipersiapkan untuk meneruskan ajaran ini.

Gumirat Barna Alam yang akrab dengan panggilan Rama Anom

Malam sudah larut dan akhirnya kami bertemu juga dengan Mas Ira, yang lebih dahulu dikenal oleh Henri. Ia merupakan penganut agama Sunda Wiwitan dan berprofesi sebagai dosen antropologi di Unpad Bandung. Selama 3 hari kedepan kami menginap di rumah keluarga mas Ira yang berbaik hati dan ramah menerima kami sebagai tamu di rumahnya. Tidur saya nyenyak sekali malam itu, udara dingin dan keramahan warga desa Cigugur memberikan kesan pertama yang baik di hari saya. Keesokan harinya kami bertemu dengan ayah mas Ira yang merupakan seniman yang membuat motif-motif batik Cigugur yang rencananya akan diluncurkan sore hari itu. Bersama dengan Ayah dan Ibunya, kami dan mas Ira berdiskusi mengenai agama Sunda Wiwitan, Rama Djati, Paseban dan Cigugur. Dari obrolan tersebut berulang kali saya dengar pengalaman tentang susahnya urusan administratif dengan pemerintah dikarenakan agama yang mereka anut. Seperti halnya agama asli dan tradisional Indonesia lainnya, agama Sunda wiwitan tidak diakui sebagai agama resmi oleh karena itu tidak dapat dicantumkan dalam KTP (penganut agama Sunda Wiwitan mempunya tanda strip pada kolom agama di KTP mereka). Karena 'polos'-nya KTP mereka, seringkali penganut agama "tidak resmi" ini disalah artikan sebagai orang atheis atau tidak mempunyai agama.

Mas Ira (paling kanan) dengan ayah dan ibunya

Siang harinya kami menuju Paseban untuk bertemu dengan Rama Djati. Kami hanya sebentar berbicang dengan beliau dikarenakan ia sangat sibuk mempersiapkan segala sesuatunya untuk acara sore hari. Jadilah kami berkeliling paseban untuk melihat-lihat dan mendokumentasikannya. Sore harinya banyak orang yang datang ke paseban. Kursi yang disediakan penuh terisi dan pintu-pintu dan jendela-jendela tampak orang-orang berjejalan memperlihatkan antusiasme warga Cigugur terhadap acara tersebut. Di Cigugur sendiri dari perbincangan kami dengan beberapa orang diketahui bahwa dahulu mayoritas penduduk desa itu merupakan penganut Sunda Wiwitan namun karena susahnya urusan administratif dengan pemerintah dan faktor lainnya maka pada sekarang ini Islam, Katolik dan Protestan merupakan mayoritas agama yang dianut oleh penduduk sekitar dan sisanya baru Sunda Wiwitan. Kembali ke acara sore itu, Rama Djati sendiri yang membawakan acara peluncuran batik resmi desa Cigugur yang resminya baru akan dilepas ke pasaran akhir tahun di Jakarta nanti. Suaranya tegas namun tetap terdengar ramah dan simpatik, semangatnya terlihat dalam suaranya ketika menjelaskan arti tentang masing-masing motif batik, tidak memperlihatkan usianya yang sudah cukup sepuh hari itu, 74 tahun. Acara hari itu cukup meriah dan walaupun cukup ramai namun jumlah tersebut katanya hanya sepersepuluh dari jumlah yang datang pada acara Seren Taun yang diperingati pada 22 Rayagung penanggalan Sunda, yang tahun depan jatuh pada tanggal 12 Januari 2006.

Rama Djatikusuma (baju putih) tengah duduk disela-sela acara

Tidak terasa sudah tiga hari kami berada di Cigugur, hari itu merupakan hari terakhir kami disana, rencananya malamnya kami akan pulang ke Bandung. Hari itu kami dibawa oleh mas Ira untuk melihat kuburan setempat di Cigugur, dimana pemakaman di desa ini mempunyai keunikan yaitu semua yang dikuburkan dicampur tanpa membeda-bedakan atau mengkotak-kotakkan berdasarkan agamanya. Saya sempat melihat sebuah makam orang Kristiani tepat bersebelahan dengan makam seorang muslim, suatu hal yang belum pernah kita lihat di pemakaman di kota besar seperti Jakarta. Di pemakaman ini pula terletak makam Kiai Madrais dan Pangeran Tedjabuana yang menurut dengan cerita orang disana mengalami ngahiyang atau moksa dimana tubuhnya hilang sama sekali tanpa bekas ketika kuburannya dibongkar untuk dipugar.

Sore hari dan malamnya kami masih sempat untuk melihat dan mendokumentasikan proses perbaikan Paseban yang dilakukan warga sekitar. Perbaikan paseban dilakukan dalam tiga shift, yaitu pagi, siang dan malam hari sehingga proses perbaikan berlangsung non-stop selama 2 bulan. Saat kami mendokumentasikan proses perbaikan tersebut tampak bagian tengah dan atas dari paseban yang mengalami perbaikan besar-besaran. Yang menjadi pertanyaan saya dan Henri, mengapa warga sekitar mau membantu perbaikan paseban tersebut? Sebegitu besarkah pengaruh dari seorang sosok Rama Djati pada warga sekitar? Pertanyaan itu yang membuat saya ingin kembali ke Cigugur awal tahun depan, sebelum Seren Taun dimulai.

Warga bergotong-royong memperbaiki Paseban

Warga tetap bekerja memperbaiki Paseban di malam hari

Malamnya kami pulang ke Bandung, tepat pukul 1 malam travel menjemput didepan rumah dan kami pamit kepada Ibu mas Ira yang sangat ramah dan baik selama kami tinggal di rumahnya. Sewaktu pulang, mobil melintasi Paseban yang tampak masih terang dengan lampu yang menerangi para pekerja memperbaiki gedung tersebut.

Jawa Barat : penghancuran agama Sunda Wiwitan oleh Islam
Mirror
Faithfreedom forum static
Laurent
Posts: 6083
Joined: Mon Aug 14, 2006 9:57 am

Re: Jawa Barat : penghancuran agama Sunda Wiwitan oleh Islam

Post by Laurent »

http://www.anbti.org/content/cigugur-se ... -bagi-bumi

Laporan Advokasi UU Adminduk Cigugur, Sejuk di Hati, Damai bagi Bumi

Cigugur, desa yang terletak di kaki Gunung Ciremai, berjarak sekitar 3 kilometer dari kota Kuningan, Jawa Barat, banyak menyimpan budaya yang unik dan patut dilestarikan. Selain situs purbakala yang ada di daerah Cipari, Cigugur juga terkenal dengan acara Seren Taun, dan sebuah aliran kepercayaan terhadap ajaran leluhur mereka yang beretnis Sunda. Adat cara karuhun urang.

Beberapa hari yang lalu berlangsung perkawinan masyarakat penghayat di Cigugur. Masyarakat Penghayat adalah mereka yang meyakini ajaran leluhur dan tidak memeluk satupun agama di Indonesia. Di Cigugur, Kuningan, kepercayaan yang dianut kebanyakan warganya dikenal dengan sebutan agama Djawa Sunda atau adat cara Karuhun Urang.

Ini adalah pernikahan Susi Suwarsih dan Maman Sudirman. Dalam masyarakat Penghayat, yang bertugas menjadi penghulu cukup sang ayah dari calon mempelai perempuan sekaligus mensahkan perkawinan itu.

Secara keseluruhan, upacara perkawinan kaum Penghayat tidak berbeda dengan perkawinan penganut agama lain, yang berlatar belakang etnis Sunda. Siraman dan Ngeuyeuk Seureuh juga dilakukan sebagai bagian dari ritual perkawinan.

Ngeuyeuk Seureuh, salah satu bagian dari rangkaian upacara perkawinan adat Sunda, sebelum kedua mempelai disahkan sebagai pasangan suami istri. Disini, kedua mempelai diberi wejangan, dan ajaran dari pihak keluarga yang dituakan.

Seputar kesiapan, dan bekal dalam menjalani bahtera rumah tangga. Tidak hanya dengan kata-kata, dalam Ngeuyeuk Seureuh, wejangan atau nasihat, juga diwakilkan dengan benda-benda, antara lain, buah kelapa, beras, umbi-umbian, dan sapu lidi, yang tentunya mengandung makna.

Setelah melaksanakan upacara pra nikah, tibalah hari pernikahan. Kedatangan calon mempelai pria, yang didampingi kedua orang tua, disambut keluarga calon mempelai perempuan, dengan tarian Pang bage’, tarian penyambutan untuk pengantin pria.

Kini sudah tidak banyak lagi masyarakat penghayat di Desa Cigugur. Tidak diakuinya perkawinan mereka di mata negara, akhirnya membuat kebanyakan dari mereka, memilih untuk memeluk agama yang diakui di Indonesia. Dalam peraturan negara, hingga saat ini hanya ada enam agama yang diakui.

Karena itu, berdasarkan hukum negara, sahnya sebuah pernikahan pun haruslah berdasarkan agama yang diakui negara tersebut. Tapi bagi para Penghayat, peraturan itu bertentangan dengan hak tiap manusia sebagai warga negara. Mereka merasa, perkawinan adat yang selama ini dilaksanakan, telah memenuhi peraturan yang ada, serta tata cara adat di nusantara ini.

Selama kepercayaan yang diyakini kaum Penghayat, tidak termasuk dalam agama yang ada di Indonesia, maka catatan sipil tidak dapat mengeluarkan akte perkawinan. Hingga kini, belum ada satupun masyarakat Penghayat yang tidak berorganisasi yang disahkan perkawinannya, dan dibuatkan akte pernikahan, oleh Catatan Sipil Kuningan. Selama undang-undang perkawinan masih belum berubah, masyarakat Penghayat kepercayaan hanya bisa berharap dan terus melakukan perjuangan untuk mencatatkan perkawinan mereka. (KH)

Jawa Barat : penghancuran agama Sunda Wiwitan oleh Islam
Mirror
Faithfreedom forum static
Laurent
Posts: 6083
Joined: Mon Aug 14, 2006 9:57 am

Re: Jawa Barat : penghancuran agama Sunda Wiwitan oleh Islam

Post by Laurent »

http://www.elsam.or.id/article.php?id=2 ... sAVlni7qYA

Dengar Kesaksian Korban Kekerasan Upaya Merawat Ingatan dan Memutus Impunitas

Dengar Kesaksian yang diselenggarakan oleh KKPK (Koalisi Keadilan dan Pengungkapan Kebenaran) pada hari ketiga, Rabu 27 November 2013 ini mendengarkan tuturan korban kekerasan dalam ideologi, beragama dan berkeyakinan. Dalam pembukaannya Direktur Eksekutif ELSAM, Indriaswati D. Saptaningrum memaparkan pada zaman Orde Baru, sejarah orba dibangun dengan upaya yang masif untuk mendisiplinkan warga dalam ideologi tertentu. Perangkat resmi negara dipakai untuk memastikan agar warga tidak memakai kebebasan berpikirnya. Kita tidak mungkin membuka seluruh historiografi kesejarahan tanpa menatap realita, mungkin ingatan pemerintah makin pendek, namun ingatan penyintas tidak. Upaya Dengar Kesaksian ini dilakukan untuk merawat ingatan, bahwa siklus dan pola yang sama kembali hadir bagai keseharian bagi kita yang mungkin bukan dalam ideologi, tapi hadir saat ada pikiran yang menyatakan bahwa pikiran yang berbeda harus ditumpas. Contoh dari pemaksaan pikiran itu menimpa penganut Ahmadiyah dan Sunda Wiwitan atau Djawa-Sunda.

Kekerasan dan diskriminasi terhadap penganut Djawa-Sunda

Sesi pertama diperdengarkan kesaksian dari ibu DK, penganut Djawa-Sunda di Jawa Barat yang menceritakan sejarah munculnya keyakinan Djawa-Sunda sejak jaman penjajahan Belanda, Jepang, masa Orde Lama, Orde Baru, dan Reformasi.

Cikal bakal keyakinan spiritual Djawa-Sunda (DS) hadir pada era penjajahan, bermula dari kegelisahan akan adanya kesadaran bahwa ada sesuatu yang salah dengan bangsa ini. Kenapa masih saja ada intimidasi dan kekerasan, jadi perlu ada gerakan spritual untuk melawan keterpurukan. Pendiri ajaran ini adalah Madrais yang memimpin pemberontakan di Tambun yang semua pasukannya dipancung Belanda, dan kemudian Madrais berpaling ke gerakan spiritual untuk perlawanan untuk menumbuhkan nilai-nilai kebangsaan lewat seni budaya. Gerakan ini mendapat stigma dari Belanda sebagai gerakan sesat, penyembah api, dan lain-lain untuk meredam perkembangannya di masyarakat. Dalam proses selanjutnya, di periode Jepang, komunitas ini semakin tertekan dan pemerintah Jepang memanfaatkannya dan menganggapnya sebagai bentukan Belanda. Pada jaman Jepang, hak-hak sipil komunitas tidak dipenuhi, pernikahan dianggap tidak sah, stigma semakin deras. Hal yang sama terjadi ketika DI/TII berkembang di Jawa Barat, DI/TII membakar rumah-rumah adat komunitas DS dan terjadi pengusiran. Di era RIS (Republik Indonesia Serikat) komunitas ini diakui sebagai aliran kepercayaan, diberi ruang untuk berkoordinasi dengan aliran-aliran lain. Tetapi di jaman Orde Lama, penganut keyakinan ini kembali diintimidasi dan dipermalukan. Supaya diakui sebagai warga negara mereka harus menganut agama-agama resmi yang diakui oleh negara. Sekitar tahun itu, kakek dari DK mendapat “wangsit” jika ingin selamat maka harus berlindung di bawah cemara putih, yang kemudian dimaknai sebagai masuk sebagai penganut agama Kristen atau Katolik. Keputusan itu yang menyelamatkan dua generasi dari bencana. Tahun 1979, pada saat peringatan tahun baru Sura ayah dari DK meminta liturgi gereja untuk memakai atribut kesundaan tetapi tidak ditepati, dan hal tersebut membuat dia keluar dari gereja dan diikuti oleh warga lainnya. Dari situ mulai muncul gejolak warga. Pada tahun 1981, sebagian besar penganut ajaran DS beralih ke kepercayaan Paguyuban Adat Cara Karuhun Urang (PACKU) yang kemudian dilarang oleh Kejaksaan Jawa Barat pada 1982. Kejaksaan juga melarang perayaan Seren Taun (perayaan panen padi) yang bermaksud memuliakan padi. Pada era Presiden Gus Dur, perayaan ini diperbolehkan lagi tetapi pemenuhan hak sipil (kartu identitas, surat perkawinan, akte kelahiran, dan lain-lain) masih terabaikan. Dalam akte kelahiran seorang anak hanya disebutkan nama ibunya, tidak nama ayahnya. Dan hal ini masih berlangsung sampai dengan saat ini.

Kasus yang diperdengarkan di hadapan Majelis Warga

Majelis warga yang bertugas hari ini adalah Nani Nurahman, Gomar Gultom, Imam Azis, Benny Susetyo, dan Elga Sarapung. Sedangkan kasus yang diperdengarkan, selain kasus kekerasan terhadap penganut Djawa-Sunda di Jawa Barat adalah penahanan tahun 1965, pengasingan di kamp Plantungan (Jawa Tengah), peristiwa Tanjung Priok (Jakarta), peristiwa Talangsari (Lampung), serangan terhadap penganut Ahmadiyah di Lombok (NTB).

Forum yang dihadiri oleh masyarakat umum ini dimaksudkan untuk merebut ruang narasi yang dimonopoli oleh mereka yang berkuasa, untuk memutus lingkar kekerasan dan impunitas. (an)

Jawa Barat : penghancuran agama Sunda Wiwitan oleh Islam
Mirror
Faithfreedom forum static
Laurent
Posts: 6083
Joined: Mon Aug 14, 2006 9:57 am

Re: Jawa Barat : penghancuran agama Sunda Wiwitan oleh Islam

Post by Laurent »



Laurent
Posts: 6083
Joined: Mon Aug 14, 2006 9:57 am

Re: Jawa Barat : penghancuran agama Sunda Wiwitan oleh Islam

Post by Laurent »

http://amanat-online.com/madrais-menyem ... kriminasi/

Madrais, Menyemai Tradisi Menuai Diskriminasi

685 Views Beberapa tokoh nasionalis dipahami secara keliru. Bahkan oleh bangsanya sendiri. Sebagai akibat rekayasa penjajah Belanda yang menyebarkan cerita dan fakta keliru terhadap tokoh-tokoh nasionalis pribumi. Sebab keberadaan mereka membahayakan posisi kolonialis.

Oleh Ali Romdhoni

Kiai Madrais Sadewa Alibasa Kusumah Wijaya Ningrat (m. 1939) dari Cigugur, Kuningan merupakan nasionalis. Namun karena sejarah ia pernah dipahami secara keliru dan dimusuhi oleh komunitasnya sendiri.

Awal September 2012 lalu penulis mendengar sosok Madrais melalui penuturan para penganutnya. Adalah tokoh pendiri sekaligus penyebar ajaran—untuk tidak menyebutnya ‘agama’—Sunda Wiwitan (Sunda permulaan; lama).

Menurut cerita, Madrais masih memiliki hubungan darah dengan Kepangeranan (keraton) Gebang. Seorang putera kandung raja Gebang yang bangunan keratonnya dibumihanguskan kolonial Belanda. Oleh ibunya, anak yang belum genap satu tahun itu kemuian diselamatkan dan disembunyikan di Cigugur supaya luput dari kejaran Belanda.

Madrais menjelma menjadi pribadi yang memiliki kepekaan rasa, kehalusan budi, kepedulian sosial, memiliki cinta yang tinggi terhadap budaya dan menjunjung tinggi kedaulatan bangsa. Madrais dewasa sangat prihatin dengan nasib bangsanya yang berada dalam cengkeraman kaum penjajah. Ia kemuian membuat semacam komunitas atau jamaah untuk selanjutnya ia didik dengan cara pandang yang memiliki kepedulian dan anti penjajahan. Komunitas itu ia wadahi dalam satu lembaga bernama perguruan (paguron), ada juga yang menyebutnya dengan pesantren.

Selama hidupnya, pangeran keturunan Kepangeranan Gebang Kinatar (sekarang lokasinya di Losari, Cirebon, Jawa Barat) itu pernah dibuang penjajah Belanda ke Tanah Merah, Maluku (1901-1908). Belanda menuduh Madrais telah menyebarkan ajaran sesat. Namun tokoh ini berhasil pulang ke kampung halaman, di Cigugur, dan kembali mengajarkan kepada rakyat pentingnya hidup sebagai orang yang mandiri dan mencintai sesama.

Salah satu ajaran Madrais yang popular di kalangan penganut Sunda Wiwitan adalah makan dan minumlah dari hasil keringat sendiri. Satu pesan yang menganjurkan untuk tidak mudah menerima uluran belas kasihan orang lain kecuali dari kerja keras. Orang yang tidak senang dengan Madrais, ajaran ini dipelintir sehingga berkesan tokoh ini mengharuskan para pengikutnya untuk menghisap keringat sang guru.

Sadar Kebangsaan

Madrais hidup sekitar tahun 1832 sampai 1939, ketika seluruh kekayaan bangsa Indonesia: sumber daya alam, ilmu pengetahuan, agama, budaya, hingga akal sehat sudah hilang dari manusianya.

Dalam kondisi yang demikian, Madrais tampil sebagai putera pribumi yang sadar dan merasa harus bangkit dari kehancuran sebagai bangsa. Kritik yang disampaikan Madrais, yang selanjutnya menjadi ajaran yang ia tanamkan kepada para pengikutnya adalah: tidak adanya tatanan sosial untuk menciptakan keadilan di masyarakat, tidak berfungsinya agama-agama dalam melahirkan manusia yang saling menghargai kedaulatan sebagai bangsa, dan hilangnya kepercayaan diri sebagai bangsa yang berdaulat di muka bumi.

Tiga hal ini, menurut saya, menjadi saka guru ajaran Kiai Madrais. Pangeran Madrais mengajarkan pentingnya kesadaran sebagai manusia dan bangsa yang mengenal cara dan ciri manusia, antara lain, welas asih (cinta) kepada sesama, tata kerama, berbudaya, berbahasa, beraksara dan wiwaha danaraga (mempertimbangkan segala keputusan dan perilaku dalam hidup). Sebagai manusia harus sadar atas keberadaannya sebagai ciptaan Sang Maha Kuasa. Cara-ciri ini, rupa, bahasa dan budaya tidak bisa dihindari. Karena merupakan karunia Tuhan, maka harus disyukuri, dijaga dan dilestarikan.

Eksistensi Ajaran Madrais

Para penganut ajaran Sunda Wiwitan tersebar di beberapa kota dan kabupaten di Jawa Barat, dan tidak menutup kemungkinan juga di Jawa Tengah dan Jawa Timur serta D.I. Yogyakarta. Namun kegiatan ritual budaya dan keagamaan komunitas ini berpusat di Cigugur. Di tempat ini juga terdapat gedung Paseban Tri Panca Tunggal (TPT), semacam keraton yang berfungsi sebagai sentra kegiatan keagamaan, budaya, hingga berfungsi sebagai tempat belajar dalam menjalani kehidupan. Di gedung Paseban tinggal keluarga keturunan Madrais yang sekaligus menjadi pimpinan warga adat. Pangeran Jatikusuma adalah ketua warga adat dan penganut kepercayaan Sunda Wiwitan saat ini.

Keberadaan Paseban Tri Panca Tunggal ini menjadi penting untuk melestarikan ajaran-ajaran yang telah ditanamkan para pendahulu. Ritual-ritual penting ajaran komunitas ini berlangsung di komplek paseban. Salah satu kegiatan tahunan yang digelar dengan cukup meriah dan melibatkan berbagai komunitas adalah upacara Seren Taun. Perhelatan ini dilakukan setahun sekali, dalam rangka menyongsong datangnya tahun baru Saka dalam hitungan kalender Jawa-Sunda. Motivasi pagelaran ini adalah mensyukuri nikmat dan karunia yang telah diberikan oleh Tuhan kepada kita semua. Di event ini sebagian masyarakat Cigugur bergotong-royong membawa hasil bumi mereka untuk iarak dalam satu episode pawai yang meriah.

Di komplek gedung Paseban TPT juga tinggal para penganut ajaran Sunda Wiwitan yang terdiri dari remaja, dewasa hingga orang tua. Mereka biasa disebut sebagai warga atau sawarga, yang berarti keluarga. Ini merupakan ekspresi dari pemahaman ajaran yang mereka yakini: setiap manusia bersaudara. Mereka yang tinggal di Paseban menjadi satu kesatuan dalam keluarga. Pangeran Jatikusuma, pimpinan ajaran Sunda Wiwitan saat ini juga membangun sekolah menengah pertama (SMP) Trimulya sejak tahun 1958, sebagai tempat belajar warga Paseban TPT, yang juga dibuka umum.

Perjalanan para penganut ajaran Sunda Wiwitan tidak selamanya mulus. Ada lembaran-lembaran kelam yang meninggalkan trauma tersendiri bagi warga adat dan penganut ajaran Kiai Madrais. Salah seorang anak Jatikusuma, Gumirat Barna Alam harus berurusan dengan pengadilan Jakarta Timur pada 1997. Gumirat ingin menikah dengan cara adat dan ajaran yang mereka yakini. Namun saat itu kantor catatan sipil tidak mengizinkan, sampai akhirnya harus diselesaikan di meja hijau.

Sejarah yang Kabur

Perjalanan sejarah terkadang bisa memutar-balik fakta. Pada satu waktu seseorang diproklamirkan sejarah sebagai sosok agung, dan pada masa berikutnya orang yang sama dijatuhkan—juga oleh sejarah itu sendiri—ke derajat pecundang.

Demikian yang terjadi pada Pangeran (Kiai) Madrais saat ini. Citra yang menempel pada sosok bangsawan keturunan keraton Gebang lama ini adalah seorang pemberontak, penyebar aliran sesat, orang yang tidak beragama, sampai anak haram. Selain itu juga ada masyarakat yang meyakininya sebagai bangsawan, kiai (agamawan), cendekia, tokoh pembela rakyat dalam menghadapi penjajah, sampai orang sakti yang rendah hati.

Menurut pendapat rektor Institut Studi Islam Fahmina Cirebon, Khozin Nasuha, misalnya, Madrais sejatinya seorang pimpinan pesantren. Bahkan nama Madrais, menurut salah seorang warga Cigugur, merupakan pengucapan dari nama muslim, Ahmad Rais. Namun komentar ini disanggah oleh para cucu Madrais sendiri. Dewi Kanthi menegaskan, kakek buyutnya bukan seorang muslim. Memang ia pernah belajar keislaman di pesantren, tetapi itu karena minatnya yang besar dalam hal ajaran keagamaan dan kemanusiaan yang universal.

Kita patut bangga memiliki pendahulu seperti Pangeran Madrais. Wallahu a’lam bis-shawab.

-Ali Romdhoni MA, Peneliti dan dosen di STAI Mathali’ul Falah Pati, Jawa Tengah.

Jawa Barat : penghancuran agama Sunda Wiwitan oleh Islam
Mirror 1: Jawa Barat : penghancuran agama Sunda Wiwitan oleh Islam
Follow Twitter: @ZwaraKafir
Faithfreedompedia static
Post Reply